Lagu Laskar

Lagu Laskar

Offenbar hast du diese Funktion zu schnell genutzt. Du wurdest vorübergehend von der Nutzung dieser Funktion blockiert.

Wenn dies deiner Meinung nach nicht gegen unsere Gemeinschaftsstandards verstößt,

WAKIL KETUA BIDANG SOSIAL DAN KEMASYARAKATAN MARCAB KOTA TANGERANG

Laskar Pelangi By : Andrea Hirata ISBN : 979-3062-79-7 1 Laskar Pelangi

Novel Laskar Pelangi, novel yang sangat inspiratif bagi yang punya kemampuan rasa buat menangkapnya, maav mas Andrea, karena aku telah membantu melengkapi 10 bab terakhir yang tidak kutemukan potongan sambungannya di internet, itupun dengan bantuan OCR nya Microsoft Office, jadi maklumin saja kalo ada huruf-huruf yang tidak semestinya tercetak, itu bukan disengaja, tapi karena kemampuan baca OCR-nya yang mungkin kurang sempurna, thanks buat Caslovb yang udah capek-capek ngetik sampe bab 20, juga thanks buat somebody yang udah ngetik bab 21 ampe 24. Buat mas Andrea Hirata, makasih.. Seandainya ada pembaca yang terinspirasi dari novel gratis ini, semoga pahalanya jadi amal jariah buat anda. Buat pembaca budiman yang punya apresiasi bagus atas novel versi gratis ini, belilah novel aslinya, untuk koleksi pribadi atau “kado” buat orang-orang yang menurut anda perlu juga dapat inspirasi dari novel ini.. “Atau sekurang-kurangnya anjurkanlah mereka untuk membeli dan membacanya..” Buat jeyek di fkunri , titik dua -p Adef may 08 Pujian untuk Laskar Pelangi “Saya larut dalam empati yang dalam sekali. Sekiranya novel ini difilmkan, akan dapat membangkitkan ruh bangsa yang sedang mati suri.” --Ahmad Syafi’I Maarif, mantan Ketua PP Muhammadiyah “Ramuan pengalaman dan imajinasi yang menarik, yang menjawab inti pertanyaan kita tentang hubungan-hubungan antara gagasan sederhana, kendala, dan kualitas pendidikan.” 2 Laskar Pelangi

--Sapardi Djoko Damono, sastrawan dan guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UI “Cerita Laskar Pelangi sangat inspiratif. Andrea menulis sebuah novel yang akan mengobarkan semangat mereka yang selalu dirundung kesulitan dalam menempuh pendidikan.” --Arwin Rasyid, Dirut Telkom dan Dosen FEUI. “Inilah cerita yang sangat mengharukan tentang dunia pendidikan dengan tokoh-tokoh manusia sederhana, jujur, tulus, gigih, penuh dedikasi, ulet, sabar, tawakal, takwa, [yang] dituturkan secara indah dan cerdas. Pada dasarnya kemiskinan tidak berkorelasi langsung dengan kebodohan atau kegeniusan. Sebagai penyakit sosial, kemiskinan harus diperangi dengan metode pendidikan yang tepat guna. Dalam hubungan itu hendaknya semua pihak berpartisipasi aktif sehingga terbangun sebuah monumen kebajikan di tengah arogansi uang & kekuasaan materi.” --Korrie Layun Rampan, sastrawan dan Ketua Komisi I DPRD Kutai Barat “Di tengah berbagai berita dan hiburan televisi tentang sekolah yang tak cukup memberi inspirasi dan spirit, maka buku ini adalah pilihan yang menarik. Buku ini ditulis dalam semangat realis kehidupan sekolah, sebuah dunia tak tersentuh, sebuah semangat bersama untuk survive dalam semangat humanis yang menyentuh.” --Garin Nugroho, sineas. “Andrea Hirata memberi kita syair indah tentang keragaman dan kekayaan tanah air, sekaligus memberi sebuah pernyataan 3 Laskar Pelangi

keras tentang realita politik, ekonomi, dan situasi pendidikan kita. Tokoh-tokoh dalam novel ini membawa saya pada kerinduan menjadi orang Indonesia…. A must read!!!” --Riri Riza, sutradara “Sebuah memoar dalam bentuk novel yang sulit dicari tandingannya dalam khazanah kontemporer penulis kita.” --Akmal Nasery Basral, jurnalis-penulis “Saya sangat mengagumi Novel Laskar Pelangi karya Mas Andrea Hirata. Ceritanya berkisah tentang perjuangan dua orang guru yang memiliki dedikasi tinggi dalam dunia pendidikan. [Novel ini menunjukkan pada kita] bahwa pendidikan adalah memberi hati kita kepada anak-anak, bukan sekadar memberikan instruksi atau komando, dan bahwa setia panak memiliki potensi unggul yang akan tumbuh menjadi prestasi cemerlang pada masa depan, apabila diberi kesempatan dan keteladanan oleh orang-orang yang mengerti akan makna pendidikan yang sesungguhnya.” --Kak Seto, Ketua Komnas Perlindungan Anak “Andrea berhasil menyajikan kenangannya menjadi cerita yang menarik. Apalagi dibalut sejumlah metafora dan deskripsi yang kuat, filmis ketika memotret lanskap dan budaya….” --Majalah Tempo “Novel tentang dunia anak-anak yang mencuri perhatian. Berhasil memotret fakta pendidikan dan ironi dunia korporasi di tengah komunitas kaum terpinggirkan.” --Gerard Arijo Guritno, Majalah Gatra 4 Laskar Pelangi

“Secuil potret pendidikan di negara kita yang memprihatinkan.” --Majalah Femina “Seru! Novel ini tidak mengajak pembaca menangisi kemiskinan, sebaliknya mengajak kita memandang kemiskinan dengan cara lain.” --Koran Tempo “Sebuah kisah tentang anak-anak yang luar biasa, yang mampu melahirkan semangat serta kreativitas yang men- cengangkan.” --Harian Pikiran Rakyat “Metafora-metafora yang ditulis Andrea demikian kuat karena unik dan orisinal.” --Harian Tribun Jabar “Kehadiran novel realis ini membawa angin segar bagi kesusastraan Indonesia.” --Harian Media Indonesia “Kita akan tertawa, menangis, dan merenung bersama buku ini.” --Harian Belitung Pos “Rasa humor yang halus dan luasnya cakrawala pengetahuan Andrea adalah daya tarik utama Laskar pelangi.” --Harian Bangka Pos “Gaya bahasa yang mengasyikkan, menantang untuk dibaca.” 5 Laskar Pelangi

--Harian galamedia “Sebagai penulis pemula, Andrea menakjubkan karena mampu menampilkan deskripsi dengan detail yang kuat.” --Tabloid Indago “Ketika membaca Laskar Pelangi, kita seolah menemukan gabriel Garcia Marquez, Nicolai Gogol, atau Alan Lightman, sebuah bacaan yang sangat inspiratif dan mampu memberi kekuatan.” --www.indosiar. com “Buku Laskar Pelangi memberiku semangat baru yang tak ternilai untuk mengajar murid-murid meskipun kami selalu dirundung kesusahan demi kesusahan, meskipun dunia tak perduli. Buku ini membuatku sangat bangga menjadi seorang guru.” --Herni Kusyari, guru SD di daerah terpencil. “Andrea seperti sedang trance, menulis Laskar Pelangi dengan kadar emosi demikiankental, bertabur metafora penuh pesona, hanya dalam waktu tiga pekan. ” --Rita Achdris, wartawati Majalah Gatra Spekulasi tentang trance ketika ia menulis, setiap kata dalam Laskar Pelangi berasal dari dalam hati Andrea. Moralitas hubungan antar ibu, anak, guru, dan murid sangat instingtif dan memikat. Sebagai seorang ibu, aku dapat merasakan buku ini memiliki semacam tenaga telepatik.” --Ida Tejawiani, ibu rumah tangga 6 Laskar Pelangi

“Yang trance bukan Andrea, tapi pembacanya….” --Fadly Arifin, dikutip dari milis pasar buku “Kekuatan deskripsi Andrea membuatku ingin sekali berjumpa dengan setiap anggota Laskar Pelangi. Kekuatan karakter tokoh-tokohnya membuatku ingin berbuat sesuatu untuk membantu murid-murid cerdas yang miskin. Laskar Pelangi adalah sebuah buku yang sangat menggerakkan hati untuk berbuat lebih banyak.” --Febi Liana, karyawati di Jakarta, pencinta buku 7 Laskar Pelangi

Buku ini kupersembahkan untuk: Guruku Ibu Muslimah Hafsari dan Bapak Harfan Effendy Noor, Sepuluh sahabat masa kecilku anggota Laskar Pelangi, Ucapan Terima Kasih.. Ucapan terima kasih kusampaikan kepada Ally, Katja Kochling, Saskia de Rooij, Basuni Hamin, Cindy Riza Stella, Heldy Suliswan Hirata, Yan Sancin, Zaharudin, Roxane, Resval, Gatot Indra, Olan, Hazuan Seman Said, K.A. Arizal Artan, Okin di Telkom Jember, dan terutama untuk Mas Gangsar Sukrisno serta Mbak Suhindratia. Shinta di Bentang Pustaka. Isi Buku Ucapan Terima Kasih Bab 1 Sepuluh Murid baru Bab 2 Antediluvium Bab 3 Inisiasi Bab 4 Perempuan-Perempuan Perkasa Bab 5 The Tower of Babel Bab 6 Gedong Bab 7 Zoom Out Bab 8 Center of Excellence Bab 9 Penyakit Gila No. 5 Bab 10 Bodenga Bab 11 Langit Ketujuh Bab 12 Mahar Bab 13 Jam Tangan Plastik Murahan Bab 14 Laskar Pelangi dan Orang-Orang Sawang 8 Laskar Pelangi

Bab 15 Euforia Musim Hujan Bab 16 Puisi Surga dan Kawanan Burung Pelintang Pulau Bab 17 Ada Cinta di Toko Kelontong Bobrok Itu Bab 18 Moran Bab 19 Sebuah Kejahatan Terencana Bab 20 Miang Sui Bab 21 Rindu Bab 22 Early Morning blue Bab 23 Billitonite Bab 24 Tuk Bayan Tula Bab 25 Rencana B Bab 26 Be There or Be Damned! Bab 27 Detik-Detik Kebenaran Bab 28 Societeit de Limpai Bab 29 Pulau Lanun Bab 30 Elvis Has Left the Building Dua belas tahun kemudian Bab 31 Zaal Batu Bab 32 Agnostik Bab 33 Anakronisme Bab 34 Gotik Glosarium Tentang Penulis ***** “… and to every action there is always an equal and opposite or contrary, reaction …” Isaac newton, 1643-1727 9 Laskar Pelangi

Bab 1 Sepuluh Murid Baru PAGI itu, waktu aku masih kecil, aku duduk di bangku panjang di depan sebuah kelas. Sebatang pohon tua yang riang meneduhiku. Ayahku duduk di sampingku, memeluk pundakku dengan kedua lengannya dan tersenyum mengangguk-angguk pada setiap orangtua dan anak-anaknya yang duduk berderet-deret di bangku panjang lain di depan kami. Hari itu adalah hari yang agak penting: hari pertama masuk SD. Di ujung bangku-bangku panjang tadi ada sebuah pintu terbuka. Kosen pintu itu miring karena seluruh bangunan sekolah sudah doyong seolah akan roboh. Di mulut pintu berdiri dua orang guru seperti para penyambut tamu dalam perhelatan. Mereka adalah seorang bapak tua berwajah sabar, Bapak K.A. Harfan Efendy Noor, sang kepala sekolah dan seorang wanita muda berjilbab, Ibu N.A. Muslimah Hafsari atau Bu Mus. Seperti ayahku, mereka berdua juga tersenyum. Namun, senyum Bu Mus adalah senyum getir yang dipaksakan karena tampak jelas beliau sedang cemas. Wajahnya tegang dan gerak-geriknya gelisah. Ia berulang kali menghitung jumlah anak-anak yang duduk di bangku panjang. Ia demikian 10 Laskar Pelangi

khawatir sehingga tak peduli pada peluh yang mengalir masuk ke pelupuk matanya. Titik-titik keringat yang bertimbulan di seputar hidungnya menghapus bedak tepung beras yang dikenakannya, membuat wajahnya coreng moreng seperti pameran emban bagi permaisuri dalam Dul Muluk, sandiwara kuno kampung kami. “Sembilan orang … baru sembilan orang Pamanda Guru, masih kurang satu…,” katanya gusar pada bapak kepala sekolah. Pak Harfan menatapnya kosong. Aku juga merasa cemas. Aku cemas karena melihat Bu Mus yang resah dan karena beban perasaan ayahku menjalar ke sekujur tubuhku. Meskipun beliau begitu ramah pagi ini tapi lengan kasarnya yang melingkari leherku mengalirkan degup jantung yang cepat. Aku tahu beliau sedang gugup dan aku maklum bahwa tak mudah bagi seorang pria berusia empat puluh tujuh tahun, seorang buruh tambang yang beranak banyak dan bergaji kecil, untuk menyerahkan anak laki-lakinya ke sekolah. Lebih mudah menyerahkannya pada tauke pasar pagi untuk jadi tukang parut atau pada juragan pantai untuk menjadi kuli kopra agar dapat membantu ekonomi keluarga. Menyekolahkan anak berarti mengikatkan diri pada biaya selama belasan tahun dan hal itu bukan perkara gampang bagi keluarga kami. “Kasihan ayahku ….. Maka aku tak sampai hati memandang wajahnya. “Barangkali sebaiknya aku pulang saja, melupakan keinginan sekolah, dan mengikuti jejak beberapa abang dan sepupu- sepupuku, menjadi kuli ….. Tapi agaknya bukan hanya ayahku yang gentar. Setiap wajah orangtua di depanku mengesankan bahwa mereka tidak sedang duduk di bangku panjang itu, karena pikiran mereka, seperti pikiran ayahku, melayang-layang ke pasar pagi atau ke keramba di tepian laut membayangkan anak lelakinya lebih baik menjadi pesuruh di sana. Para orangtua ini sama sekali tak yakin bahwa pendidikan anaknya yang hanya mampu mereka biayai paling tinggi sampai 11 Laskar Pelangi

SMP akan dapat mempercerah masa depan keluarga. Pagi ini mereka terpaksa berada di sekolah ini untuk menghindarkan diri dari celaan aparat desa karena tak menyekolahkan anak atau sebagai orang yang terjebak tuntutan zaman baru, tuntutan memerdekakan anak dari buta huruf. Aku mengenal para orangtua dan anak-anaknya yang duduk di depanku. Kecuali seorang anak lelaki kecil kotor berambut keriting merah yang meronta-ronta dari pegangan ayahnya. Ayahnya itu tak beralas kaki dan bercelana kain belacu. Aku tak mengenal anak beranak itu. Selebihnya adalah teman baikku. Trapani misalnya, yang duduk di pangkuan ibunya, atau Kucai yang duduk di samping ayahnya, atau Syahdan yang tak diantar siapa-siapa. Kami bertetangga dan kami adalah orang-orang Melayu belitong dari sebuah komunitas yang paling miskin di pulau itu. Adapun sekolah ini, SD Muhammadiyah, juga sekolah kampung yang paling miskin di Belitong. Ada tiga alasan mengapa para orangtua mendaftarkan- anaknya di sini. Pertama, karena sekolah Muhammadiyah tidak menetapkan iuran dalam bentuk apa pun, para orangtua hanya menyumbang sukarela semampu mereka. Kedua, karena firasat,- anak-anak mereka dianggap memiliki karakter yang mudah disesatkan iblis sehingga sejak usia muda harus mendapatkan pendadaran Islam yang tangguh. Ketiga, karena anaknya memang tak diterima di sekolah mana pun. Bu Mus yang semakin khawatir memancang pandangannya ke jalan raya di seberang lapangan sekolah berharap kalau-kalau masih ada pendaftar baru . Kami prihatin melihat harapan hampa itu. Maka tidak seperti suasana di SD lain yang penuh kegembiraan ketika menerima murid angkatan baru, suasana hari pertama di SD Muhammadiyah penuh dengan kerisauan, dan yang paling risau adalah Bu Mus dan Pak Harfan. Guru-guru yang sederhana ini berada dalam situasi genting karena Pengawas Sekolah dari Depdikbud Sumsel telah memperingatkan bahwa jika SD Muhammadiyah hanya mendapat murid baru kurang dari sepuluh orang maka sekolah paling tua di 12 Laskar Pelangi

Belitong ini harus ditutup. Karena itu sekarang Bu Mus dan Pak Harfan cemas sebab sekolah mereka akan tamat riwayatnya, sedangkan para orangtua cemas karena biaya, dan kami, sembilan anak-anak kecil ini yang terperangkap di tengah cemas kalau- kalau kami tak jadi sekolah. Tahun lalu SD Muhammadiyah hanya mendapatkan sebelas siswa, dan tahun ini Pak Harfan pesimis dapat memenuhi target sepuluh. Maka diam-diam beliau telah mempersiapkan sebuah pidato pembubaran sekolah di depan para orangtua murid pada kesempatan pagi ini. Kenyataan bahwa beliau hanya memerlukan satu siswa lagi untuk memenuhi target itu menyebabkan pidato ini akan menjadi sesuatu yang menyakitkan hati. “Kita tunggu sampai pukul sebelas,” kata Pak Harfan pada Bu Mus dan seluruh orangtua yang telah pasrah. Suasana hening. Para orang tua mungkin menganggap kekurangan satu murid sebagai pertanda bagi anak-anaknya bahwa mereka memang sebaik nya didaftarkan pada para juragan saja. Sedangkan aku dan agaknya juga anak-anak yang lain merasa amat pedih: pedih pada orangtua kami yang tak mampu, pedih menyaksikan detik-detik terakhir sebuah sekolah tua yang tutup justru pada hari pertama kami ingin sekolah, dan pedih pada niat kuat kami untuk belajar tapi tinggal selangkah lagi harus terhenti hanya karena kekurangan satu murid. Kami menunduk dalam-dalam. Saat itu sudah pukul sebelas kurang lima dan Bu Mus semakin gundah. Lima tahun pengabdiannya di sekolah melarat yang amat ia cintai dan tiga puluh dua tahun pengabdian tanpa pamrih pada Pak Harfan, pamannya, akan berakhir di pagi yang sendu ini. “Baru sembilan orang Pamanda Guru …,” ucap Bu Mus bergetar sekali lagi. Ia sudah tak bisa berpikir jernih. Ia berulang kali mengucapkan hal yang sama yang telah diketahui semua orang. Suaranya berat selayaknya orang yang tertekan batinnya. Akhirnya, waktu habis karena telah pukul sebelas lewat lima dan jumlah murid tak juga genap sepuluh. Semangat besarku untuk 13 Laskar Pelangi

sekolah perlahan-lahan runtuh. Aku melepaskan lengan ayahku dari pundakku. Sahara menangis terisak-isak mendekap ibunya karena ia benar-benar ingin sekolah di SD Muhammadiyah. Ia memakai sepatu, kaus kaki, jilbab, dan baju, serta telah punya buku-buku, botol air minum, dan tas punggung yang semuanya baru. Pak Harfan menghampiri orangtua murid dan menyalami mereka satu per satu. Sebuah pemandangan yang pilu. Para orangtua menepuk-nepuk bahunya untuk membesarkan hatinya. Mata Bu Mus berkilauan karena air mata yang menggenang. Pak Harfan berdiri di depan para orangtua, wajahnya muram. Beliau bersiap-siap memberikan pidato terakhir. Wajahnya tampak putus asa. Namun ketika beliau akan mengucapkan kata pertama Assalamu’alaikum seluruh hadirin terperanjat karena Tripani berteriak sambil menunjuk ke pinggir lapangan rumput luas halaman sekolah itu. “Harun!. Kami serentak menoleh dan di kejauhan tampak seorang pria kurus tinggi berjalar terseok-seok. Pakaian dan sisiran rambutnya sangat rapi. Ia berkemeja lengan panjang putih yang dimasukkan ke dalam. Kaki dan langkahnya membentuk huruf x sehingga jika berjalan seluruh tubuhnya bergoyang-goyang hebat. Seorang wanita gemuk setengah baya yang berseri-seri susah payah memeganginya. Pria itu adalah Harun, pria jenaka sahabat kami semua, yang sudah berusia lima belas tahun dan agak terbelakang mentalnya. Ia sangat gembira dan berjalan cepat setengah berlari tak sabar menghampiri kami. Ia tak menghiraukan ibunya yang tercepuk-cepuk kewalahan menggandeng-nya. Mereka berdua hampir kehabisan napas ketika tiba di depan Pak Harfan. “Bapak Guru …, ” kata ibunya terengah-engah. “Terimalah Harun, Pak, karena SLB hanya ada di Pulau Bangka, dan kami tak punya biaya untuk menyekolahkannya ke 14 Laskar Pelangi

sana. Lagi pula lebih baik kutitipkan dia disekolah ini daripada di rumah ia hanya mengejar -ngejar anak-anak ayamku ….. Harun tersenyum lebar memamerkan gigi-giginya yang kuning panjang-panjang. Pak Harfan juga terseyum, beliau melirik Bu Mus sambil mengangkat bahunya. “Genap sepuluh orang …,” katanya. Harun telah menyelamatkan kami dan kami pun bersorak. Sahara berdiri tegak merapikan lipatan jilbabnya & menyandang tasnya dengan gagah, ia tak mau duduk lagi. Bu Mus tersipu. Air mata guru muda ini surut dan ia menyeka keringat di wajahnya yang belepotan karena bercampur dengan bedak tepung beras. 15 Laskar Pelangi

Bab 2 Antediluvium IBU Muslimah yang beberapa menit lalu sembab, gelisah, dan coreng-moreng kini menjelma menjadi sekuntum Crinum giganteum. Sebab tiba-tiba ia mekar sumringah dan posturnya yang jangkung persis tangkai bunga itu. Kerudungnya juga berwarna bunga crinum demikian pula bau bajunya, persis crinum yang mirip bau vanili. Sekarang dengan ceria beliau mengatur tempat duduk kami. Bu Mus mendekati setiap orangtua murid di bangku panjang tadi, berdialog sebentar dengan ramah, dan mengabsen kami. Semua telah masuk ke dalam kelas, telah mendapatkan teman sebangkunya masing-masing, kecuali aku dan anak laki-laki kecil kotor berambut keriting merah yang tak kukenal tadi. Ia tak bisa tenang. Anak ini berbau hangus seperti karet terbakar. “Anak Pak Cik akan sebangku dengan Lintang,” kata Bu Mus pada ayahku. Oh, itulah rupanya namanya, Lintang, sebuah nama yang aneh. Mendengar keputusan itu Lintang meronta-ronta ingin segera masuk kelas. Ayahnya berusaha keras menenangkannya, tapi ia 16 Laskar Pelangi

memberontak, menepis pegangan ayahnya, melonjak, dan menghambur ke dalam kelas mencari bangku kosongnya sendiri. Di bangku itu ia seumpama balita yang dinaikkan ke atas tank, girang tak alang kepalang, tak mau turun lagi. Ayah nya telah melepaskan belut yang licin itu, dan anaknya baru saja meloncati nasib, merebut pendidikan. Bu Mus menghampiri ayah Lintang. Pria itu berpotongan seperti pohon cemara angin yang mati karena disambar petir: hitam, meranggas, kurus, dan kaku. Beliau adalah seorang nelayan, namun pembukaan wajahnya yang mirip orang Bushman adalah raut wajah yang lembut, baik hati, dan menyimpan harap. Beliau pasti termasuk dalam sebagian besar warga negara Indonesia yang menganggap bahwa pendidikan bukan hak asasi. Tidak seperti kebanyakan nelayan, nada bicaranya pelan. Lalu beliau bercerita pada Bu Mus bahwa kemarin sore kawalaburung pelintang pulau mengunjungi pesisir. Burung-burung keramat itu hinggap sebentar di puncak pohon ketapang demi menebar pertanda bahwa laut akan diaduk badai. Cuaca cenderung semakin memburuk akhir-akhir ini maka hasil melaut tak pernah memadai. Apalagi ia hanya semacam petani penggarap, bukan karena ia tak punya laut, tapi karena ia tak punya perahu. Agaknya selama turun temurun keluarga laki-laki cemara angin itu tak mampu terangkat dari endemik kemiskinan komunitas Melayu yang menjadi nelayan. Tahun ini beliau meng-inginkan perubahan dan ia memutuskan anak laki-laki tertuanya, Lintang, tak akan menjadi seperti dirinya. Lintang akan dudu k di samping pria kecil berambut ikal yaitu aku, dan ia akan sekolah di sini lalu pulang pergi setiap hari naik sepeda. Jika panggilan nasibnya memang harus menjadi nelayan maka biarkan jalan kerikil batu merah empat puluh kilometer mematahkan semangatnya. Bau hangus yang kucium tadi ternyata adalah bau sandal cunghai, yakni sandal yang dibuat dari ban mobil, yang aus karena Lintang terlalu jauh mengayuh sepeda. Keluarga Lintang berasal dari Tanjong Kelumpang, desa nun jauh di pinggir laut. Menuju kesana harus melewati empat kawasan 17 Laskar Pelangi

pohon nipah, tempat berawa-rawa yang dianggap seram di kampung kami. Selainitu di sana juga tak jarang buaya sebesar pangkal pohon sagu melintasi jalan. Kampung pesisir itu secara geografis dapat dikatakan sebagai wilayah paling timur di Sumatra, daerah minus nun jauh masuk ke pedalaman Pulau Belitong. Bagi Lintang, kota kecamatan, tempat sekolah kami ini, adalah metropolitan yang harus ditempuh dengan sepeda sejak subuh. Ah! Anak sekecil itu …. Ketika aku menyusul Lintang kedalam kelas ia menyalamiku dengan kuat seperti pegangan tangan calon mertua yang menerima pinangan. Energi yang berlebihan di tubuhnya serta-merta menjalar padaku laksana tersengat listrik. Ia berbicara tak henti- henti penuh minat dengan dialek Belitong yang lucu, tipikal orang Belitong pelosok. Bola matanya bergerak-gerak cepat dan menyala-nyala. Ia seperti pilea, bunga meriam itu, yang jika butiran air jatuh di atas daunnya, ia melontarkan tepung sari, semarak, spontan, mekar, dan penuh daya hidup. Di dekatnya, aku merasa seperti ditantang mengambil ancang-ancang untuk sprint seratus meter. Sekencang apa engkau berlari? Begitulah makna tatapannya. Aku sendiri masih bingung. Terlalu banyak perasaan untuk ditanggung seorang anak kecil dalam waktu demikian singkat. Cemas, senang, gugup, malu, teman baru, guru baru … semuanya bercampur aduk. Ditambah lagi satu perasaan ngilu karena sepasang sepatu baru yang dibelikan ibuku. Sepatu ini selalu kusembunyikan ke belakang. Aku selalu menekuk lututku karena warna sepatu itu hitam bergaris-garis putih maka ia tampak seperti sepatu sepak bola, jelek sekali. Bahannya pun dari plastik yang keras. Abang-abangku sakit perut menahan tawa melihat sepatu itu waktu kami sarapan pagi tadi. Tapi pandangan ayahku menyuruh mereka bungkam, membuat perut mereka k aku. Kakiku sakit dan hatiku malu dibuat sepatu ini. Sementara itu, kepala Lintang terus berputar-putar seperti burung hantu. Baginya, penggaris kayu satu meter, vas bunga tanah liat hasil prakarya anak kelas enam di atas meja Bu Mus, papan tulis lusuh, dan kapur tumpul yang berserakan di atas lantai kelas yang 18 Laskar Pelangi

sebagian telah menjadi tanah, adalah benda-benda yang menakjubkan. Kemudian kulihat lagi pria cemara anginitu. Melihat anaknya demikian bergairah ia tersenyum getir. Aku mengerti bahwa pira yang tak tahu tanggal dan bulan kelahirannya itu gamang membayangkan kehancuran hati anaknya jika sampai drop out saat kelas dua atau tiga SMP nanti karena alasan klasik: biaya atau tuntutan nafkah. Bagi beliau pendidikan adalah enigma, sebuah misteri. Dari empat garis generasi yang diingatnya, baru Lintang yang sekolah. Generasi kelima sebelumnya adalah masa antediluvium, suatu masa yang amat lampau ketika orang-orang Melayu masih berkelana sebagai nomad. Mereka berpakaian kulit kayu dan menyembah bulan. UMUMNYA Bu Mus mengelompokkan tempat duduk kami berdasarkan kemiripan. Aku dan Lintang sebangku karena kami sama-sama berambut ikal. Trapani duduk dengan Mahar karena mereka berdua paling tampan. Penampilan mereka seperti para penaltun irama semenanjung idola orang Melayu pedalaman. Trapani tak tertarik dengan kelas, ia mencuri-curi pandang ke jendela, melirik kepala ibunya yang muncul sekali-sekali di antara kepala orangtua lainnya. Tapi Borek, (bacanya Bore’, “e”-nya itu seperti membaca elang, bukan seperti menyebut “e” pada kata edan, dan “k ”-nya itu bukan “k” penuh, Anda tentu paham maksud saya) dan Kucai didudukkan berdua bukan karena mereka mirip tapi karena sama-sama susah diatur. Baru beberapa saat di kelas Borek sudah mencoreng muka Kucai dengan penghapus papan tulis. Tingkah ini diikuti Sahara yang sengaja menumpahkan air minum A Kiong sehingga anak Hokian itu menangis sejadi-jadinya seperti orang ketakutan dipeluk setan. N.A. Sahara Aulia Fadillah binti K.A. Muslim Ramdhani Fadillah, gadis kecil berkerudung itu, memang keras kepala luar biasa. Kejadian itu menandai perseteruan mereka yang akan berlangsung akut bertahun-tahun. Tangisan A Kiong nyaris merusak acara perkenalan yang menyenangkan pagi itu. Sebaliknya, bagiku pagi itu adalah pagi yang tak terlupakan sampai puluhan tahun mendatang karena pagi itu aku melihat Lintang dengan canggung 19 Laskar Pelangi

menggenggam sebuah pensil besar yang belum diserut seperti memegang sebilah belati. Ayahnya pasti telah keliru membeli pensil karena pensil itu memiliki warna yang berbeda di kedua ujungnya. Salah satu ujungnya berwarna merah dan ujung lainnya biru. Bukankah pensil semacam itu dipakai para tukang jahit untuk menggaris kain? Atau para tukang sol sepatu untuk membuat garis pola pada permukaan kulit? Sama sekali bukan untuk menulis. Buku yang dibeli juga keliru. Buku bersampul biru tua itu bergaris tiga. Bukankah buku semacam itu baru akan kami pakai nanti saat kelas dua untuk pelajaran menulis rangkai indah? Hal yang tak akan pernah kulupakan adalah bahwa pagi itu aku menyaksikan seorang anak pesisir melarat—teman sebangku—untuk pertama kalinya memegang pensil dan buku, dan kemudian pada tahun-tahun berikutnya, setiap apa pun yang ditulisnya merupakan buah pikiran yang gilang gemilang, karena nanti ia—seorang anak miskin pesisir—akan menerangi nebula yang melingkupi sekolah miskinini sebab ia akan berkembang menjadi manusia paling genius yang pernah kujumpai seumur hidupku. ******** 20 Laskar Pelangi

Bab 3 Inisiasi TAK susah melukiskan sekolah kami, karena sekolah kami adalah salah satu dari ratusan atau mungkin ribuan sekolah miskin di seantero negeri ini yang jika disenggol sedikit saja oleh kambing yang senewen ingin kawin, bisa rubuh berantakan. Kami memiliki enam kelas kecil-kecil, pagi untuk SD Muhammadiyah dan sore untuk SMP Muhammadiyah. Maka kami, sepuluh siswa baru ini bercokol selama sembilan tahun di sekolah yang sama dan kelas-kelas yang sama, bahkan susunan kawan sebangku pun tak berubah selama sembilan tahun SD dan SMP itu. Kami kekurangan guru dan sebagian besar siswa SD Muhammadiyah ke sekolah memakai sandal. Kami bahkan tak punya seragam. Kami juga tak punya kotak P3K. Jika kami sakit, sakit apa pun: diare, bengkak, batuk, flu, atau gatal-gatal maka guru kami akan memberikan sebuah pil berwarna putih, berukuran besar bulat seperti kancing jas hujan, yang rasanya sangat pahit. Jika diminum kita bisa merasa kenyang. Pada pil itu ada tulisan besar APC. Itulah pil APC yang legendaris di kalangan rakyat pinggiran 21 Laskar Pelangi

Belitong. Obat ajaib yang bisa menyembuhkan segala rupa penyakit. Sekolah Muhammadiyah tak pernah dikunjungi pejabat, penjual kaligrafi, pengawas sekolah, apalagi anggota dewan. Yang rutin berkunjung hanyalah seorang pria yang berpakaian seperti ninja. Di punggungnya tergantung sebuah tabung aluminium besar dengan slang yang menjalar ke sana kemari. Ia seperti akan berangkat ke bulan. Pria ini adalah utusan dari dinas kesehatan yang menyemprot sarang nyamuk dengan DDT. Ketika asap putih tebal mengepul seperti kebakaran hebat, kami pun bersorak- sorak kegirangan. Sekolah kami tidak dijaga karena tidak ada benda berharga yang layak dicuri. Satu-satunya benda yang menandakan bangunan itu sekolah adalah sebatang tiang bendera dari bambu kuning dan sebuah papan tulis hijau yang tergantung miring di dekat lonceng. Lonceng kami adalah besi bulat berlubang-lubang bekas tungku. Di papan tulis itu terpampang gambar matahari dengan garis- garis sinar berwarna putih. Di tengahnya tertulis: SD MD Sekolah Dasar Muhammadiyah Lalu persis di bawah mathari tadi tertera huruf-huruf arab gundul yang nanti setelah kelas dua, setelah aku pandai membaca huruf arab, aku tahu bahwa tulisan itu berbunyi amar makruf nahi mungkarartinya: menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar”. Itulah pedoman utama warga Muhammadiyah. Kata-kata itu melekat dalam kalbu kami sampai dewasa nanti. Kata-kata yang begitu kami kenal seperti kami mengenal bau alami ibu-ibu kami. Jika dilihat dari jauh sekolah kami seolah akan tumpah karena tiang- tiang kayu yang tua sudah tak tegak menahan atap sirap yang berat. Maka, sekolah kami sangat mirip gudang kopra. Konstruksi bangunan yang menyalahi prinsip arsitektur ini menyebabkan tak ada daun pintu dan jendela yang bisa dikun ci karena sudah tidak simetris dengan rangkakusennya. Tapi buat apa pula dikunci? Di dalam kelas kami tidak terdapat tempelan poster operasi kali-kalian 22 Laskar Pelangi

seperti umumnya terdapat di kelas-kelas sekolah dasar. Kami juga tidak memiliki kalender dan tak ada gambar presiden dan wakilnya, atau gambar seekor burung aneh berekor delapan helai yang selalu menoleh ke kanan itu. Satu-satunya tempelan di sana adalah sebuah poster, persis di belakang meja Bu Mus untuk menutupi lubang besar di dinding papan. Poster itu memperlihatkan gambar seorang pria berjenggot lebat, memakai jubah, dan ia memegang sebuah gitar penuh gaya. Matanya sayu tapi meradang, seperti telah mengalami cobaan hidup yang mahadahsyat. Dan agaknya ia memang telah bertekad bulat melawan segala bentuk kemaksiatan di muka bumi. Di dalam gambar tersebut sang pria tadi melongok ke langit dan banyak sekali uang-uang kertas serta logam berjatuhan menimpa wajahnya. Di bagian bawah poster itu terdapat dua baris kalimat yang tak kupahami. Tapi nanti setelah naik ke kelas dua dan sudah pintar membaca, aku mengerti bunyi kedua kalimat itu adalah: RHOMA IRAMA, HUJAN DUIT! Maka pada intinya tak ada yang baru dalam pembicaraan tentang sekolah yang atapnya bocor, berdinding papan, berlantai tanah, atau yang kalau malam dipakai untuk menyimpan ternak, semua itu telah dialami oleh sekolah kami. Lebih menarik membicarakan tentang orang-orang seperti apa yang rela menghabiskan hidupnya bertahan di sekolah semacam ini. Orang- orang itu tentu saja kepala sekolah kami Pak K.A. Harfan Efendy Noor bin K.A. Fadillah Zein Noor dan Ibu N.A. Muslimah Hafsari Hamid binti K.A. Abdul Hamid. Pak Harfan, seperti halnya sekolah ini, tak susah digambarkan. Kumisnya tebal, cabangnya tersambung pada jenggot lebat berwarna kecokelatan yang kusam dan beruban. Hemat kata, wajahnya mirip Tom Hanks, tapi hanya Tom Hanks di dalam film di mana ia terdampar di sebuah pulau sepi, tujuh belas bulan tidak pernah bertemu manusia dan mulai berbicara dengan sebuah bola voli. Jika kita bertanya tentang jenggotnya yang awut-awtuan, beliau tidak akan repot-repot berdalih tapi segera menyodorkan sebuah buku karya Maulana Muhammad Zakariyya Al Kandhallawi Rah, R.A. yang berjudul Keutamaan Memelihara Jenggot . Cukup membaca pengantarnya saja Anda akan merasa malu sudah bertanya. K.A. pada nama depan Pak Harfan berarti Ki Agus. Gelar 23 Laskar Pelangi

K.A. mengalir dalam garis laki-laki silsilah Kerajaan Belitong. Selama puluhan tahun keluarga besar yang amat bersahaja ini berdiri pada garda depan pendidikan di sana. Pak Harfan telah puluhan tahun mengabdi di sekolah Muhammadiyah nyaris tanpa imbalan apa pun demi motif syiar Islam. Beliau menghidupi keluarga dari sebidang kebun palawija di pekarangan rumahnya. Hari ini Pak Harfan mengenakan baju takwa yang dulu pasti berwarna hijau tapi kini warnanya pudar menjadi putih. Bekas- bekas warna hijau masih kelihatan di baju itu. Kaus dalamnya berlubang di beberapa bagian dan beliau mengenakan celana panjang yang lusuh karena terlalu sering dicuci. Seutas ikat pinggang plastik murahan bermotif ketupat melilit tubuhnya. Lubang ikat pinggang itu banyak berderet-deret, mungkin telah dipakai sejak beliau berusia belasan. Karena penampilan Pak Harfan agak seperti beruang madu maka ketika pertama kali melihatnya kami merasa takut. Anak kecil yang tak kuat mental bisa-bisa langsung terkena sawan. Namun, ketika beliau angkat bicara, tak dinyana, meluncurlah mutiara- mutiara nan puitis sebagai prolog penerimaan selamat datang penuh atmosfer sukacita di sekolahnya yang sederhana. Kemudian dalam waktu yang amat singkat beliau telah merebut hati kami. Bapak yang jahitan kerah kemejanya telah lepas itu bercerita tentang perahu Nabi Nuh serta pasangan-pasangan binatang yang selamat dari banjir bandang. “Mereka yang ingkar telah diingatkan bahwa air bah akan datang …,” demikian ceritanya dengan wajah penuh penghayatan. “Namun, kesombongan membutakan mata dan menulikan telinga mereka, hingga mereka musnah dilamun ombak ….. Sebuah kisah yang sangat mengesankan. Pelajaran moral pertama bagiku: jika tak rajin sahalat maka pandai-pandailah berenang. Cerita selanjutnya sangat memukau. Sebuah cerita peperangan besar zaman Rasulullah di mana kekuatan dibentuk oleh iman bukan oleh jumlah tentara: perang Badar! Tiga ratus tiga 24 Laskar Pelangi

belas tentara Islam mengalahkan ribuan tentara Quraisy yang kalap dan bersenjata lengkap. “Ketahuilah wahai keluarga Ghudar, berangkatlah kalian ke tempat-tempat kematian kalian dalam masa tiga hari!” Demikian Pak Harfan berteriak lantang sambil menatap langit melalui jendela kelas kami. Beliau memekikkan firasat mimpi seorang penduduk Mekkah, firasat kehancuran Quraisy dalam kehebatan perang Badar. Mendengar teriakan itu rasanya aku ingin melonjak dari tempat duduk. Kami ternganga karena suara Pak Harfan yang berat menggetarkan benang-ben ang halus dalam kalbu kami. Kami menanti liku demi liku cerita dalam detik-detik menegangkan dengan dada berkobar-kobar ingin membela perjuangan para penegak Islam. Lalu Pak Harfan mendinginkan suasana yang berkisah tentang penderitaan dan tekanan yang dialami seorang pria bernama Zubair bin Awam. Dulu nun di tahun 1929 tokoh ini bersusah payah, seperti kesulitan Rasulullah ketika pertama tiba di Madinah, mendirikan sekolah dari jerjak kayu bulat seperti kandang. Itulah sekolah pertama di Belitong. Kemudian muncul para tokoh seperti K.A. Abdul Hamid dan Ibrahim bin Zaidin yang berkorban habis-habisan melanjutkan sekolah kandang itu menjadi sekolah Muhammadiyah. Sekolah ini adalah sekolah Islam pertama di Belitong, bahkan mungkin di Sumatra Selatan. Pak Harfan menceritakan semua itu dengan semangat perang badar sekaligus setenang hembusan angin pagi. Kami terpesona pada setiap pilihan kata dan gerak lakunya yang memikat. Ada semacam pengaruh yang lembut dan baik terpancar darinya. Ia mengesankan sebagai pria yang kenyang akan pahit getir perjuangan dan kesusahan hidup, berpengetahuan seluas samudra, bijak, berani mengambil risiko, dan menikmati daya tarik dalam mencari-cari bagaimana cara menjelaskan sesuatu agar setiap orang mengerti. Pak Harfan tampak amat bahagia menghadapi murid, tipikal “guru” yang sesungguhnya, seperti dalam lingua asalnya, India, yaitu orang yang tak hanya mentransfer sebuah pelajaran, tapi juga yang secara pribadi menjadi sahabat dan pembimbing spiritual bagi muridnya. Beliau sering men aikturunkan intonasi, menekan kedua 25 Laskar Pelangi

ujung meja sambil mempertegas kata-kata tertentu, dan mengangkat kedua tangannya laksana orang berdoa minta hujan. Ketika mengajukan pertanyaan beliau berlari-lari kecil mendekati kami, menatap kami penuh arti dengan pandangan matanya yang teduh seolah kami adalah anak-anak Melayu yang paling berharga. Lalu membisikkan sesuatu di telinga kami, menyitir dengan lancarayat-ayat suci, menantang pengetahuan kami, berpantun, membelai hati kami dengan wawasan ilmu, lalu diam, diam berpikir seperti kekasih merindu, indah sekali. Beliau menorehkan benang merah kebenaran hidup yang sederhana melalui kata- katanya yang ringan namun bertenaga seumpama titik-titik air hujan. Beliau mengobarkan semangat kami utnuk belajar dan membuat kami tercengang dengan petuahnya tentang keberanian pantang men yerah melawan kesulitan apa pun. Pak Harfan memberi kami pelajaran pertama tentang keteguhan pendirian, tentang ketekun an, tentang keinginan kuat untuk mencapai cita- cita. Beliau meyakinkan kami bahwa hidup bisa demikian bahagia dalam keterbatasan jika dimaknai dengan keikhlasan berkorban untuk sesama. Lalu beliau menyampaikan sebuah prinsip yang diam-diam menyelinap jauh ke dalam dadaku serta memberi arah bagiku hingga dewasa, yaitu bahwa hiduplah untuk memberi sebanyak -banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya. Kami tak berkedip menatap sang juru kisah yang ulung ini. Pria ini buruk rupa dan buruk pula setiapapa yang di-sandangnya, tapi pemikirannya jernih dan kata-katanya bercahaya. Jika ia mengucapkan sesuatu kami pun terpaku menyimaknya dan tak sabar menunggu untaian kata berikutnya. Tiba-tiba aku merasa sangat beruntung didaftarkan orangtuaku di sekolah miskin Muhammadiyah. Aku merasa lelah terselamatkan karena orang tuaku memilih sebuah sekolah Islam sebagai pendidikan paling dasar bagiku. Aku merasa amat beruntung berada di sini, di tengah orang-orang yang luar biasa ini. Ada keindahan di sekolah Islam melarat ini. Keindahan yang tak ‘kan kutukar dengan seribu kemewahan sekolah lain. 26 Laskar Pelangi

Setiap kali Pak Harfan ingin menguji apa yang telah diceritakannya kami berebutan mengangkat tangan, bahkan kami mengacung meskipun beliau tak bertanya, dan kami mengacung walaupun kami tak pasti akan jawaban. Sayangnya bapak yang penuh daya tarik ini harus mohon diri. Satu jam dengannya terasa hanya satu menit. Kami mengikuti setiap inci langkahnya ketika meninggalkan kelas. Pandangan kami melekat tak lepas-lepas darinya karena kami telah jatuh cinta padanya. Beliau telah membuat kami menyayangi sekolah tua ini. Kuliah umum dari Pak Harfan di hari pertama kami masuk SD Muhammadiyah langsung menancapkan tekad dalam hati kami untuk membela sekolah yang hampir rubuh ini, apa pun yang terjadi. Kelas diambil alih oleh Bu Mus. Acaranya adalah perkenalan dan akhirnya tibalah giliran A Kiong. Tangisnya sudah reda tapi ia masih terisak. Ketika diminta ke depan kelas ia senang bukan main. Sekarang di sela-sela isaknya ia tersenyum. Ia menggoyang- goyangkan tubuhnya. Tangan kirinya memegang botol air yang kosong—karena isinya tadi ditumpahkan Sahara—dan tangan kanannya menggenggam kuat tutup botol itu. “Silahkan ananda perkenalkan nama dan alamat rumah …,” pinta Bu Mus lembut pada anak Hokian itu. A Kiong menatap Bu Mus dengan ragu kemudian ia kembali tersenyum. Bapaknya menyeruak di antara kerumunan orangtua lainnya, ingin menyaksikan anaknya beraksi. Namun, meskipun berulang kali ditanya A Kiong tidak menjawab sepatah kata pun. Ia terus tersenyum dan hanya tersenyum saja. “Silakan ananda …,” Bu Mus meminta sekali lagi dengan sabar. Namun sayang A Kiong hanya menjawabnya dengan kembali tersenyum. Ia berkali-kali melirik bapaknya yang kelihatan tak sabar. Aku dapat membaca pikiran ayahnya, “Ayolah anakku, kuatkan hatimu, sebutkan namamu! Paling tidak sebutkan nama bapakmu ini, sekali saja! Jangan bikin malu orang Hokian!” Bapak Tionghoa berwajah ramah ini dikenal 27 Laskar Pelangi

sebagai seorang Tionghoa kebun, strata ekonomi terendah dalam kelas sosial orang-orang Tionghoa di Belitong. Namun, sampai waktu akan berakhir a Kiong masih tetap saja tersenyum. Bu Mus membujuknya lagi. “Baiklah ini kesempatan terakhir untukmu mengenalkan diri, jika belum bersedia maka harus kembali ke tempat duduk.. A Kiong malah semakin senang. Ia masih sama sekali tak menjawab. Ia tersenyum lebar, matanya yang sipit menghilang. Pelajaran moral nomor dua: jangan tanyakan nama dan alamat pada orang yang tinggal di kebun. Maka berakhirlah perkenalan di bulan Februari yang mengesankan itu. 28 Laskar Pelangi

Bab 4 Perempuan-Perempuan Perkasa AKU pernah membaca kisah tentang wanita yang membelah batu karang untuk mengalirkan air, wanita yang menenggelamkan diri belasan tahun sendirian di tengah rimba untuk menyelamatkan beberapa keluarga orang utan, atau wanita yang berani mengambil risiko tertular virus ganas demi menyembuhkan penyakit seorang anak yang sama sekali tak dikenalnya nun jauh di Somalia. Di sekolah Muhammadiyah setiap hari aku membaca keberanian berkorban semacam itu di wajah wanita muda ini. N.A. Muslimah Hafsari Hamid binti K.A. Abdul Hamid, atau kami memanggilnya Bu Mus, hanya memiliki selembar ijazah SKP (Sekolah Kepandaian Putri), namun beliau bertekad melanjutkan cita-cita ayahnya—K.A. Abdul Hamid, pelopor sekolah Muhammadiyah di Belitong—untuk terus mengobarkan pendidikan Islam. Tekad itu memberinya kesulitan hidup yang tak terkira, karena kami kekurangan guru—lagi pula siapa yang rela diupah beras 15 kilo setiap bulan? Maka selama enam tahun di SD Muhammadiyah, beliau sendiri yang mengajar semua mata pelajaran—mulai dari 29 Laskar Pelangi

Menulis Indah, Bahasa Indonesia, Kewarganegaraan, Ilmu Bumi, sampai Matematika, Geografi, Prakarya, dan Praktik Olahraga. Setelah seharian mengajar, beliau melanjutkan bekerja menerima jahitan sampai jauh malam untuk mencari nafkah, menopang hidup dirinya dan adik-adinya. BU MUS adalah seroang guru yang pandai, karismatik, dan memiliki pandangan jauh ke depan. Beliau menyusun sendiri silabus pelajaran Budi Pekerti dan mengajarkan kepada kami sejak dini pandangan-pandangan dasar moral, demokrasi, hukum, keadilan, dan hak-hak asasi—jauh hari sebelum orang-orang sekarang meributkan soal materialisme versus pembangunan spiritual dalam pendidikan. Dasar-dasar moral itu menuntun kami membuat konstruksi imajiner nilai-nilai integritas pribadi dalam konteks Islam. Kami diajarkan menggali nilai luhur di dalam diri sendiri agar berperilaku baik karena kesadaran pribadi. Materi pelajaran Budi Pekerti yang hanya diajarkan di sekolah Muhammadiyah sama sekali tidak seperti kode perilaku formal yang ada dalam konteks legalitas institusional seperti sapta prasetya atau pedoman-pedoman pengalaman lainnya. “Shalatlah tepat waktu, biar dapat pahala lebih banyak,” demikian Bu Mus selalu menasihati kami. Bukankah ini kata-kata yang diilhami surah An-Nisa dan telah diucapkan ratusan kali oleh puluhan khatib? Sering kali dianggap sambil lalu saja oleh umat. Tapi jika yang mengucapkannya Bu Mus kata-kata itu demikian berbeda, begitu sakti, berdengung- dengung di dalam kalbu. Yang terasa kemudian adalah penyesalan mengapa telah terlamabat shalat. Pada kesempatan lain, karena masih kecil tentu saja, kami sering mengeluh mengapa sekolah kami tak seperti sekolah-sekolah lain. Terutama atap sekolah yang bocor dan sangat menyusahkan saat musim hujan. Beliau tak menanggapi keluhan itu tapi mengeluarkan sebuah buku berbahasa Belanda dan memerplihatkan sebuah gambar. Gambar itu adalah sebuah ruangan yang sempit, dikelilingi tembok tebal yang suram, tinggi, gelap, dan berjeruji. Kesan di 30 Laskar Pelangi

dalamnya begitu pengap, angker, penuh kekerasan dan kesedihan. “inilah sel Pak Karno di sebuah penjara di Bandung, di sini beliau menjalani hukuman dan setiap hari belajar, setiap waktu membaca buku. Beliau adalah salah satu orang tercerdas yang pernah dimiliki bangsa ini.. Beliau tak melanjutkan ceritanya.. Kami tersihir dalam senyap. Mulai saat itu kami tak pernah lagi memprotes keadaan sekolah kami. Pernah suatu ketika hujan turun amat lebat, petir sambar menyambar. Trapani dan Mahar memakai terindak, topi kerucut dari daun lais khas tentara Vietkong, untuk melindungi jambul mereka. Kucai, Borek, dan Sahara memakai jas hujan kuning bergambar gerigi metal besar di punggungnya dengan tulisan “UPT Bel” (Unit Penambangan Timah Belitong)—jas hujan jatah PN Timah milik bapaknya. Kami sisanya hampir basah kuyup. Tapi sehari pun kami tak pernah bolos, dan kami tak pernah mengeluh, tidak, sedikit pun kami tak pernah mengeluh. Bagi kami Pak Harfan dan Bu Mus adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang sesungguhnya. Merekalah mentor, penjaga, sahabat, pengajar, dan guru spiritual. Mereka yang pertama menjelaskan secara gamblang implikasi amar makruf nahi mungkar sebagai pegangan moral kami sepanjang hayat. Mereka mengajari kami membuat rumah- rumahan dari perdu apit-apit, mengusap luka-luka di kaki kami, membimbing kami cara mengambil wudu, melongok ke dalam sarung kami ketika kami disunat, mengajari kami doa sebelum tidur, memompa ban sepeda kami, dan kadang- kadang membuatkan kami air jeruk sambal. Mereka adalah ksatria tampa pamrih, pangeran keikhlasan, dan sumur jernih ilmu pengetahuan di ladang yang ditinggalkan. Sumbangan mereka laksana manfaat yang diberikan pohon filicium yang menaungi atap kelas kami. Pohon ini meneduhi kami dan dialah saksi seluruh drama ini. Seperti guru-guru kami, filicium memberi napas kehidupan bagi ribuan organise dan menjadi tonggak penting mata rantai ekosistem. 31 Laskar Pelangi

Bab 5 The Tower of Babel JUMLAH orang Tionghoa di kampung kami sekitar sepertiga dari total populasi. Ada orang Kek, ada orang Hokian, ada orang Tongsan, dan ada yang tak tahu asal usulnya. Bisa saja mereka yang lebih dulu mendiami pulau ini daripada siapa pun. Aichang, phok, kiaw, dan khaknai, seluruhnya adalah perangkat penambangan timah primitf yang sekarang dianggap temuan arkeologi, bukti bahwa nenek moyang mereka telah lama sekali berada di Pulau Belitong. Komunitas ini selalu tipikal: rendah hati ddan pekerja keras. Meskipun jauh terpisah dari akar budayanya namun mereka senantiasa memelihara adat istiadatnya, dan di Belitong mereka beruntung karena mereka tak perlu jauh-jauh datang ke Jinchanying kalau hanya ingin melihat Tembok Besar Cina. Persis bersebelahan dengan toko-toko kelontong milik warga Tionghoa ini berdiri tembok tinggi yang panjang dan di sana sini tergantung papan peringatan: “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK”. Di atas tembok ini tidak hanya ditancapi pecahan-pecahan kaca yang mengancam tapi juga dililitkan empat jalur kawat berduri seperti di kamp Auschwitz. Namun, tidak seperti Temok Besar Cina 32 Laskar Pelangi

yang melindungi berbagai dinasti dari sebuan suku-suku Mongol di utara, di Belitong tembok yang angkuh dan berkelak-kelok sepanjang kiloan meter ini adalah pengukuhan sebuah dominasi dan perbedaan status sosial. Di balik tembok itu terlindung sebuah kawasan yang disebut Gedong, yaitu negeri asing yang jika berada di dalamnya orang akan merasa tak sedang berada di Belitong. Dan di dalam sana berdiri sekolah-sekolah PN. Sekolah PN adalah sebutan untuk sekolah milik PN (Perusahaan Negara) Timah, sebuah perusahaan yang paling berpengaruh di Belitong, bahkan sebuah hegemoni lebih tepatnya, karena timah adalah denyut nadi pulau kecil itu. Suatu sore seorang gentleman keluar dari balik tembok itu untuk berkeliling kampung dengan sebuah Chevrolet Corvette, lalu esoknya di depan sebuah majelis ia mencibir. “Tak satu pun kulihat ada anak muda memegang pacul! Tak pernah kulihat orang- orang muda demikian malas seperti di sini.. Ha? Apa dia kira kami bangsa petani? Kami adalah buruh- buruh tambang yang bangga, padi tak tumbuh di atas tanah-tanah kami yang kaya material tambang! LAKSANA the Tower of Babel— yakni Menara Babel, metafora tangga menuju surga yang ditegakkan bangsa babylonia sebagai perlambang kemakmuran 5.600 tahun lalu, yang berdiri arogan di antara Sungai Tigris dan Eufrat di tanah yang sekarang disebut Irak—timah di Belitong adalah menara gading kemakmuran berkah Tuhan yang menjalar sepanjang Semenanjung Malaka, tak putus-putus seperti jalian urat di punggung.tangan. Orang Melayu yang mer ogohkan tangannya ke dalam lapisan dangkal aluvium, hampir di sembarang tempat, akan mendapati lengannya berkilauan karena dilumuri ilmenit atau timah kosong. Bermil-mil dari pesisir, Belitong tampak sebagai garis pantai kuning berkilauan karena bijih-bijih timah dan kuarsa yang disirami cahaya matahari. Pantulan cahaya itu adalah citra yang lebih kemilau dari riak-riak gelombang laut dan membentuk semacam fatamorgana pelangi sebagai mercusuar yang menuntun para nakhoda. 33 Laskar Pelangi

Tuhan memberkahi Belitong dengan timah bukan agar kapal yang berlayar ke pulau itu tidak menyimpang ke Laut Cina Selatan, tetapi timah dialirkan-Nya ke sana untuk menjadi mercusuar bagi penduduk pulau itu sendiri. Adakah mereka telah semena- mena pada rezeki Tuhan sehingga nanti terlunta-lunta seperti di kala Tuhan menguji bangsa Lemuria? Kilau itu terus menyala sampai jauh malam. Eksploitasi timah besar-besaran secara nonstop diterangi ribuan lampu dengan energi jutaan kilo watt. Jika disaksikan dari udara di malam hari Pulau Belitong tampak seperti familia besar Ctenopore, yakni ubur-ubur yang memancarkan cahaya terang berwarna biru dalam kegelapan latu: sendiri, kecil, bersinar, indah, dan kaya raya. Belitong melayang-layang di antara Selat Gaspar dan Karimata bak mutiara dalam tangkupan kerang. Dan terberkatilah tanah yang dialiri timah karena ia seperti knautia yang dirubung beragam jenis lebah madu. Timah selalu mengikat material ikutan, yakni harta karun tak ternilai yang melimpah ruah: granit, zirkonium, silika, senotim, monazite, ilmenit, siderit, hematit, clay, emas, galena, tembaga, kaolin, kuarsa, dan topas …. Semuanya berlapis- lapis, meluap-luap, beribu-ribu ton di bawah rumah-rumah panggung kami. Kekayaan ini adalah bahan dasar kaca berkualitas paling tinggi, bijih besi dan titanium yang bernas, … material terbaik untuk superkonduktor, timah kosong ilmenit yang digunakan laboratorium roket NASA sebagai materi antipanas ekstrem, zirkonium sebagai bahan dasar produk-produk tahan api, emas murni dan timah hitam yang amat mahal, bahkan kami memiliki sumber tenaga nuklir: uranium yang kaya raya. Semua ini sangat kontradiktif dengan kemiskinan turun temurun penduduk asli Melayu Belitong yang hidup berserakan di atasnya. Kami seperti sekawanan tikus yang paceklik di lumbung padi. Belitong dalam batas kuasa eksklusif PN Timah adalah kota praja Konstantinopel yang makmur. PN adalah penguasa tunggal Pulau Belitung yang termasyhur di seluruh negeri sebagai Pulautimah. Nama itu tercetak di setiap buku geografi atau buku Himpunan Pengetahuan Umum pustaka wajib sekolah dasar. PN amat kaya. Ia punya jalan raya, jembatan, pelabuhan, real estate, 34 Laskar Pelangi

bendungan, dok kapal, saran a telekomunikasi, air, listrik, rumah- rumah sakit, sarana olahraga—termasuk beberapa padang golf, kelengkapan sarana hiburan, dan sekolah-sekolah. PN menjadikan Belitong --sebuah pulau kecil-- seumpama desa perusahaan dengan aset triliunan rupiah. PN merupakan penghasil timah nasional terbesar yang mempekerjakan tak kurang dari 14.000 orang. Ia menyerap hampir seluruh angkatan kerja di Belitong dan menghasilkan devisa jutaan dolar. Lahan eksploiotasinya tak terbatas. Lahan itu disebut kuasa penambangan dan secara ketat dimonopoli. Legitimasi ini diperoleh melalui pembayaran royalti—lebih pas disebut upeti—miliaran rupiah kepada pemerintah. PN mengoperasikan 16 unit emmer bageratau kapal keruk yang bergerak lamban, mengorek isi bumi dengan 150 buah mangkuk-mangkuk baja raksasa, siang malam merambah laut, sungai, dan rawa-rawa, bersuara mengerikan laksana kawanan dinosaurus. Di titik tertinggi siklus komidi putar, di masa keemasan itu, penumpangnya mabuk ketinggian dan tertidur nyenyak, melanjutkan mimpi gelap yang ditiup-tiupkan kolonialis. Sejak zaman penjajahan, sebagai platform infrastruktur ekon omi, PN tidak hanya memonopoli faktor produksi terpenting tapi juga mewarisi mental bobrok feodalistis ala Belanda. Sementara seperti sering dialami oleh warga pribumi dimanapun yang sumber daya alamnya dieksploitasi habis-habisan, sebagaian komunitas di Belitong juga termarginalkan dalam ketidak adilan kompensasi tanah ulayah, persamaan kesempatan, dan trickle down effects . 35 Laskar Pelangi

Bab 6 Gedong PULAU Belitong yang makmur seperti mengasingkan diri dari tanah Sumatra yang membujur dan di sana mengalir kebudayaan Melayu yang tua. Pada abad ke-19, ketika korporasi secara sistematis mengeksploitasi timah, kebudayaan bersahaja itu mulai hidup dalam karakteristik sosiologi tertentu yang atribut-atributnya mencerminkan perbedaan sangat mencolok seolah berdasarkan status berkasta-kasta. Kasta majemuk itu tersusun rapi mulai dari para petinggi PN Timah yang disebut “orang staf” atau urang setap dalam dialek lokal sampai pada para tukang pikul pipa di instalasi penambangan serta warga suku Sawang yang menjadi buruh-buruh yuka penjahit karung timah. Salah satu atribut diskriminasi itu adalah sekolah-sekolah PN. Maka lahirlah kaum menak, implikasi dari institusi yang ingin memelihara citra aristokrat. PN melimpahi orang staf dengan penghasilan dan fasilitas kesehatan, pendidikan, promosi, transportasi, hiburan, dan logistik yang sangat diskriminatif dibanding kompensasi yang diberikan kepada mereka yang bukan orang staf. Mereka, kaum borjuis ini, bersemayam di kawasan eksklusif yang disebut Gedong. Mereka seperti orang-orang kulit putih di wilayah selatan Amerika pada tahun 70-an. Feodalisme di 36 Laskar Pelangi

Belitong adalah sesuatu yang unik, karena ia merupakan konsekuensi dari adanya budaya korporasi, bukan karena tradisi paternalistik dari silsilah, subkultur, atau privilese yang di anugerahkan oleh penguasa seperti biasa terjadi di berbagai tempat lain. Sepadan dengan kebun gantung yang memesona di pelataran menara Babylonia, sebuah taman kesayangan Tiran Nebuchadnezzar III untuk memuja Dewa Marduk, Gedong adalah landmark Belitong. Ia terisolasi tembok tinggi berkeliling dengan satu akses keluar masuk seperti konsep cul de sac dalam konsep pemukiman modern. Arsitektur dan desain lanskapnya bergaya sangat kolonial. Orang-orang yang tinggal di.dalamnya memiliki nama-nama yang aneh, misalnya Susilo, Cokro, Ivonne, Setiawan, atau Kuntoro, tak ada Muas, Jamali, Sa’indun, Ramli, atau Mahader seperti nama orang- orang Melayu, dan mereka tidak pernah menggunakan bin atau binti. Gedong lebih seperti sebuah kota satelit yang dijaga ketat oleh para Polsus (Polisi Khusus) Timah. Jika ada yang lancang masuk maka koboi-koboi tengik itu akan menyergap, mengintergoasi, lalu interogasi akan ditutup dengan mengingatkan sang tangkapan pada tulisan “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK” yang bertaburan secara mencolok pada berbagai akses dan fasilitas di sana, sebuah power Statement tipikal kompeni. Kawasan warisan Belanda ini menjunjung tinggi kesan menjaga jarak , dan kesan itu diperkuat oleh jajaran pohon-pohon saga tua yang menjatuhkan butir-butir buah semerah darah di atas kap mobil-mobil mahal yang berjejal-jejal sampai keluar garasi. Di sana, rumah-rumah mewah besar bergaya Victoria memiliki jendela- jendela kaca lebar dan tinggi dengan tirai yang berlapis-lapis laksana layar bioskop. Rumah-rumah itu ditempatkan pada kontur yang agak tinggi sehingga kelihatan seperti kastil-kastil kaum bangsawan dengan halaman terpelihara rapi dan danau-danau buatan. Di dalamnya hidup tenteram sebuah keluarga kecil dengan dua atau tiga-anak yang selalu tampak damai, temaram, dan sejuk. Setiap rumah memiliki empat bangunan terpisah yang disambungkan oleh selasar- selasar panjang. Itulah rumah utama sang majikan, rumah bagi para pembantu, garasi, dan gudang- gudang. Selasar-selasar itu mengelilingi kolam kecil yang ditumbuhi 37 Laskar Pelangi

Nymphaea caereulea atau the blue water lily yang sangat menawan dan di tengahnya terdapat patung anak-anak gendut semacam Manequin Piss legenda negeri Belgia yang menyemprotkan air mancur sepanjang waktu dari kemaluan kecilnya yang lucu. Pot-pot kayu anggrek mahal Tainia shimadai Dan Chysis digantungkan berderet- deret di bibiratap selasar dan di bawahnya tersusun rapi bejana keramik antik bertangga- tangga berisi kaktus Chaemasereas dan Parodia scopa . Untuk urusan bunga ini ada petugas khusus yang merawatnya. Di luar lingkar kolam didirikan sebuah kandang berlubang kotak-kotak kecil persegi berbentuk piramida yang berseni dan ditopang oelh sebuah pilar bergaya Romawi, itulah rumah burung merpati Inggris. Di dalam rumah utama sang majikan terdapat ruang tamu dengan lampu-lampu yang teduh dan perabot utama di sana adalah sebuah sofa Victorian rosewood berwarna merah. Jika duduk di atasnya seseorang dapat merasa dirinya seperti seorang paduka raja. Di samping ruang tamu adalah ruang makan tempat para penghuni rumah makan malam mengenakan busana senja yang terbaik dan bersepatu. Di meja makan mewah dengan kayu Cinnamonglaze , mereka duduk mengelilingi makanan yang namanya bahkan belum ada terjemahannya. Pertama-tama perangsang lapar pumpkin and Gorgonzola soup , lalu hadir caesar salad menu utama, chicken cordon bleu, vitello alla Provenzale , atau … Pada bagian akhir sebagai makanan penutup adalah creamy cheesecake topped with stawberry puree , buah-buah persik dan prem. Mereka makan dengan tenang sembari mendengarkan musik klasik yang elegan: Mozart: Haffner No. 35 in D Major . Mereka mematuhi table manner’ Setelah melampirkan serbet di atas pangkuannya makan malam dimulai nyaris tanpa suara dan tak ada seorang pun yang menekan bibir meja dengan sikunya... Sarapan pagi disajikan di ruangan yang berbeda. Ruangan ini terbuka, menghadap ke kebun anggrek dan kolam renang dangkal yang biru. Mejanya juga berbeda yakni terracotta tile top oval yang lucu namun berkelas. Di pagi hari mereka senang mencicipi omelet dan menyeruput the. Earl Grey, atau cappuccino, lalu mereka melemparkan remah-remah roti pada burung-burung merpati Inggris yang berebutan, rakus tapi jinak. 38 Laskar Pelangi

Halaman setiap rumah sangat luas dan tak dipagar. Kebanyakan didekorasi dengan karya seni instalasi dari konstruksi logam yang maknanya tak mudah dicerna orang awam. Hamparan rumput manila di halaman menyentuh lembut bibir jalan raya dengan tinggi permukaan yang sama. Ada daya tarik tersendiri di situ. Tak ada parit, karena semua sistem pembuangan diatur di bawah tanah. Pekarangan ditumbuhi pinang raja, bambu Jepang, pisang kipas, dan berjenis-jenis palem yang berselang-seling di antara taman-taman bunga umum, ornamen, galeri, angsa-angsa besar yang berkeliaran, kafe members only , patung-patung, nooker bar , sudut-sudut tempat bermain anak-anak berisi ayam-ayam kalkun yang dibiarkan bebas, trotoar untuk membawa anjing jalan- jalan, kolam-kolam renang, dan lapangan-lapangan golf. Tenang dan tidak berisik, kecuali sedikit bunyi, rupanya anjing pudel sedang mengejar beberapa ekor kucing anggora. Namun, selain suara hewan-hewan lucu itu sore ini terdengar lamat-lamat denting piano dari salah satu kastil Victoria yang terututp rapat berpilar-pilar itu. Floriana atau Flo yang tomboi, salah seorang siswa sekolah PN, sedang les piano. Guru privatnya sangat bersemangat tapi Flo sendiri terkantuk-kantuk tanpa minat. Kedua tangannya menopang wajah murungnya sambil menguap berulang- ulang di samping sebuah instrumen megah: grand piano merk Steinway and sons yang hitam, dingin, dan berkilauan. Wajah Flo seperti kucing kebanyakan tidur dan bangun magrib-magrib. Bapaknya—seorang Mollen Bas , kepala semua kapal keruk—duduk di sebuah kursi besar semacam singgasana sehingga tubuh kecilnya tenggelam. Kakinya dibungkus sepatu mahal De Carlo cokelat yang elegan, tergantung berayun-ayun lucu. Ia geram pada tingkah si tomboi dan malu pada sang guru, seorang wanita berkacamata, setengah baya, berwajah cerdas dan hanya bisa tersenyum-senyum. Beliau tak henti-henti memohon maaf pada wanita Jawa yang sangat santun itu atas kelakuan anaknya. Bapak Flo adalah orang hebat, seseorang yang amat terpelajar. Ia adalah insinyur lulusan terbaik dari Technische 39 Laskar Pelangi

Universiteit Delf di Holland dari Fakultas Werktuiq bouwkunde, Maritieme techniek & technische materiaal wetenschappen, yang artinya kurang lebih: jago teknik. Ia adalah salah satu dari segelintir orang Melayu asli Belitong yang berhak tinggal di Gedong dan orang kampung yang mampu mencapai karier tinggi di jajaran elite orang staf karena kepintarannya. Sebagai Mollen Bas, beliau sanggup mengendalikan shift ribuan karyawan, memperbaiki kerusakan kapal keruk yang tenaga-tenaga ahli asing sendiri sudah menyerah, dan mengendalikan aset produksi miliaran dolar. Tapi menghadapi anak perempuan kecilnya, si tomboi gasing yang tak bisa diatur ini, beliau hampir menyerah. Semakin keras suara bapaknya menghardik semakin lebar Flo menguap. Pokok perkaranya sederhana, yakni beliau telah memiliki beberapa anak laki-laki dan Flo si bungsu, adalah anak perempuan satu-satunya. Namun anak perempuannya ini bersikeras ingin menjadi laki-laki. Setiap hari beliau berusaha memerempuankan Flo antara lain dengan memaksanya kursus piano. Grand piano itu didatangkan dengan kapal khusus dari Jakarta. Guru privat yang merupakan seorang instruktur musik profesional, juga khusus dijemput dari Tanjong Pandan. Lebih dari itu, di sela kesibukannya, bapaknya rela menunggui Flo kursus, namun yang beliau dapat tak lebih dari uapan- uapan itu. Flo bahkan tak berminat menyentuh tuts-tuts hitam putih yang berkilat-kilat karena pikirannya melayang ke sasana tempat ia latihan kick boxing dan angkat barbel. Flo tak suka menerima dirinya sebagai seorang perempuan. Mungkin karena pengharuh dari saudara-saudara kandungnya yang seluruhnya laki-laki atau karena suatu ketidak seimbangan dalam kimia tubuhnya. Maka ia memotong rambut dengan model lurus pendek dan ia belajar mengubah ekspresi wajah cantiknya agar merefleksikan seringai laki-laki. Ia bercelana jeans , kaos oblong, dan membuang anting- anting yang dibelikan ibunya. Guru privat itu memperkenalkan dengan lembut notasi do, mi, sol, si dalam lintasan empat oktaf dan memperlihatkan posisi jari-jemari pada setiap notasi itu sebagai dasar bagi Flo untuk berlatih fingering . Flo menguap lagi... 40 Laskar Pelangi

Bab 7 Zoom Out TAK disangsikan, jika di- zoom out , kampung kami adalah kampung terkaya di Indonesia. Inilah kampung tambang yang menghasilkan timah dengan harga segenggam lebih mahal puluhan kali lipat dibanding segantang padi. Triliunan rupiah aset tertanam di sana, miliaran rupiah uang berputar sangat cepat seperti putaran mesin parut, dan miliaran dolar devisa mengalir deras seperti kawanan tikus terpanggil pemain seruling ajaib Der Rattenfanger von Hameln . Namun jika di- zoom in , kekayaan itu terperangkap di satu tempat, ia tertimbun di dalam batas tembok-tembok tinggi Gedong. Hanya beberapa jengkal di luar lingkaran tembok tersaji pemandangan kontras seperti langit dan bumi. Berlebihan jika disebut daerah kumuh tapi tak keliru jika diumpamakan kota yang dilanda gerhana berkepanjangan sejakera pencerahan revolusi industri. Di sana, di luar lingkar tembok Gedong hidup komunitas Melayu Belitong yang jika belum punya enam anak belum berhenti beranak pinak. Mereka menyalahkan pemerintah karena tidak menyediakan hiburan yang memadai sehingga jika malam tiba mereka tak punya kegiatan lain selain membuat anak-anak itu. 41 Laskar Pelangi

Di luar tembok feodal tadi berdirilah rumah-rumah kami, beberapa sekolah negeri, dan satu sekolah kampung Muhammadiyah. Tak ada orang kaya di sana, yang ada hanya kerumunan toko miskin di pasar tradisional dan rumah-rumah panggung yang renta dalam berbagai ukuran. Rumah-rumah asli Melayu ini sudah ditinggalkan zaman keemasannya. Pemiliknya tak ingin merubuhkannya karena tak ingin berpisah dengan kenangan masa jaya, atau karena tak punya uang. Di antara rumah panggung itu berdesak-desakan kantor polisi, gudang-gudang logistik PN, kantor telepon, toapekong, kantor camat, gardu listrik, KUA, masjid, kantor pos, bangunan pemerintah—yang dibuat tanpa perencanaan yang masuk akal sehingga menjadi bangunan kosong telantar, tandon air, warung kopi, rumah gadai yang selalu dipenuhi pengunjung, dan rumah panjang suku Sawang. Komunitas Tionghoa tinggal di bangunan permanen yang juga digunakan sebagai toko. Mereka tidak memiliki pekarangan. Adapun pekarangan rumah orang Melayu ditumbuhi jarak pagar, beluntas, beledu, kembang sepatu, dan semak belukaryang membosankan. Pagar kayu saling-silang di parit bersemak di mana tergenang air mati berwarna cokelat—juga sangat membosankan. Entok dan ayam kampung berkeliaran seenaknya. Kambing yang tak dijaga melalap tanaman bunga kesayangan sehingga sering menimbulkan keributan kecil. Jalan raya di kampung ini panas menggelegak dan ingar- bingar oleh suara logam yang saling beradu ketika truk-truk reyot lalu-lalang membawa berbagai peralatan teknik eksplorasi timah. Kawasan kampung ini dapat disebut sebagai urban atau perkotaan. Umumnya tujuh macam profesi tumpang tindih di sini: kuli PN sebagai mayoritas, penjaga toko, pegawai negeri, pengangguran, pegawai kantor desa, pedagang, dan pensiunan. Sepanjang waktu mereka hilir mudik dengan sepeda. Semuanya, para penduduk, kambing, entok, ayam, dan seluruh bangunan itu tampak berdebu, tak teratur, tak berseni, dan kusam. Keseharian orang pinggiran ini amat monoton. Pagi yang sunyi senyap mendadak sontak berantakan ketika kantor pusat PN Timah membunyikan sirine, pukul 7 kurang 10. Sirine itu 42 Laskar Pelangi

memekakkan telinga dalam radius puluhan kilometer seperti peringatan serangan Jepang dalam pengeboman Pearl Harbour. Demi mendengar sirine itu, dari rumah-rumah panggung, jalan-jalan kecil, sudut-sudut kampung, rumah-rumah dinas permanen berdinding papan, dan gang-gang sempit bermunculan- lah parakuli PN bertopi kuning membanjiri jalan raya. Mereka berdesakan, terburu-buru mengayuh sepeda dalam rombongan besaratau berjalan kaki, karena sepuluh menit lagi jam kerja dimulai. Jumlah mereka ribuan. Mereka menyerbu tempat kerja masing-masing: bengkel bubut, kilang minyak, gudang beras, dok kapal, dan unit-unit pencucian timah. Parakuli yang bekerja shift di kapal keruk melompat berjejal-jejal ke dalam bak truk terbuka seperti sapi yang akan digiring ke penjagalan. Tepat pukul 7 kembali dibunyikan sirene kedua tanda jam resmi masuk kerja. Lalu tiba-tiba jalan-jalan raya, kampung-kampung, dan pasar kembali lengang, sunyi senyap. Setelah pukul 7 pagi, rumah orang Melayu Belitong hanya dihuni kaum wanita, para pensiunan, dan anak-anak kecil yang belum sekolah. Kampung kembali hidup pada pukul 10, yaitu ketika wanita-wanita itu memainkan orkestra menumbuk bumbu. Suara alu yang dilantakkan ke dalam lumpang kayu bertalu-talu, sahut- menyahut dari rumah ke rumah. Pukul 12 sirine kembali berbunyi, kali ini adalah sebagai tanda istirahat. Dalam sekejap jalan raya dipenuhi parakuli yang pulang sebentar. Lapar membuat mereka tampak seperti semut-semut hitam yang sarangnya terbakar, lebih tergesa dibanding waktu mereka berangkat pagi tadi. Pukul 2 siang sirine berdengung lagi memanggil mereka bekerja. Parakuli ini akan kembali pulang ke peraduan setelah terdengar sirine yang sangat panjang tepat pukul 5 sore. Demikianlah yang berlangsung selama puluhan tahun lamanya. **** TIDAK seperti di Gedong, jika makan orang urban ini tidak mengenal appetizer sebagai perangsang selera, tak mengenal main course , ataupun dessert . Bagi mereka semuanya adalah menu 43 Laskar Pelangi

utama. Pada musim barat ketika nelayan enggan melaut, menu utama itu adalah ikangabus. Parakuli yang bernafsu makan besar sesuai dengan pembakaran kalorinya itu jika makan seluruh tubuhnya seakan tumpah ke atas meja. Agar lebih praktis tak jarang baskom kecil nasi langsung digunakan sebagai piring. Di situlah diguyur semangkuk gangan , yaitu masakan tradisional dengan bumbu kunir. Ketika makan mereka tak diiringi karya MozartHaffner No. 35 in D Major tapi diiringi rengekan anak -anaknya yang minta dibelikan baju pramuka. Setiap subuh para istri meniup siong (potongan bambu) untuk menghidupkan tumpukan kayu bakar. Asap mengepul masuk ke dalam rumah, menyembul keluar melalui celah dinding papan, dan membangunkan entok yang dipelihara di bawah rumah panggung. Asap itu membuat penghuni rumah terbatuk-batuk, namun ia amat diperlukan guna menyalakan gemuk sapi yang dibeli bulan sebelumnya dan digantungkan berjuntai- juntai seperti cucian di atas perapian. Gemuk sapi itulah sarapan mereka setiap pagi. Sebelum berangkat parakuli itu tidak minum teh Earlgrey atau cappuccino , melainkan minum air gula aren dicampur jadam untuk menimbulkan efek ten aga kerbau yang akan digunakan sepanjang hari. Apabila persediaan gemuk sapi menipis dan angin barat semakin kencang, maka menu yang disajikan sangatlah istimewa, yaitu lauk yang diasap untuk sarapan, lauk yang diasin untuk makan siang, dan lauk yang dipepes untuk makan malam, seluruhnya terbuat dari ikangabus. DI luar lingkungan urban, berpencar menuju dua arah besaradalah wilayah rural atau pedesaan. Daerah ini memanjang dalam jarak puluhan kilometer menuju ke barat ibu kota Kabupaten Tanjong Pandan. Sebaliknya, ke arah selatan akan menelusuri jalur ke pedalaman. Jalur ini berangsur-angsur berubah dari aspal menjadi jalan batu merah dan lama-kelamaan menjadi jalan tanah setapak yang berakhir di laut. Di sepanjang jalur pedesaan rumah penduduk berserakan, berhadap-hadapan dipisahkan oleh jalan raya. Dulu nenek moyang 44 Laskar Pelangi

mereka berladang di hutan. Belanda menggiring mereka ke pinggir jalan raya, agar mudah dikendalikan tentu saja. Orang-orang pedesaan ini hidup bersahaja, umumnya berkebun, mengambil hasil hutan, dan mendapat bonus musiman dari siklus buah-buahan, lebah madu, dan ikan air tawar. Mereka mendiami tanah ulayat dan di belakang rumah mereka terhampar ribuan hektar tanah tak bertuan, padang sabana, rawa-rawa layaknya laboratorium alam yang lengkap, dan aliran air bening yang belum tercemar. Kekuatan ekonomi Belitong dipimpin oleh orang staf PN dan para cukong swasta yang mengerjakan setiap konsesi eksploitasi timah. Mereka menempati strata tertinggi dalam lapisan yang sangat tipis. Kelas menengah tak ada, oh atau mungkin juga ada, yaitu para camat, para kepala dinas dan pejabat-pejabat publik yang korupsi kecil- kecilan, dan aparat pen egak hukum yang mendapat uang dari menggertaki cukong- cukong itu. Sisanya berada di lapisan terendah, jumlahnya banyak dan perbedaannya amat mencolok dibanding kelas di atasnya. Mereka adalah para pegawai kantor desa, karyawan rendahan PN, pencari madu dan nira, para pemain organ tunggal, semua orang Sawang, semua orang Tionghoa kebun, semua orang Melayu yang hidup di pesisir, para tenaga honorer Pemda, dan semua guru dan kepala sekolah—baik sekolah negeri maupun sekolah kampung—kecuali guru dan kepala sekolah PN. 45 Laskar Pelangi

Bab 8 Center of Excellence SEKOLAH-SEKOLAH PN Timah, yaitu TK, SD, dan SMP PN berada dalam kawasan Gedong. Sekolah-sekolah ini berdiri megah di bawah naungan Aghatis berusia ratusan tahun dan dikelilingi pagar besi tinggi berulir melambangkan kedisiplinan dan mutu tinggi pendidikan. Sekolah PN merupakan center of excellence atau tempat bagi semua hal yang terbaik. Sekolah ini demikian kaya raya karena didukung sepenuhnya oleh PN Timah, sebuah korporasi yang kelebihan duit. Institusi pendidikan yang sangat modern ini lebih tepat disebut percontohan bagaimana seharusnya generasi muda dibina. Gedung-gedung sekolah PN didesain dengan arsitektur yang tak kalah indahnya dengan rumah bergaya Victoria di sekitarnya. Ruangan kelasnya dicat warna-warni dengan tempelangambar kartun yang edukatif, poster operasi dasar matematika, tabel pemetaan unsur kimia, peta dunia, jam dinding, termometer, foto para ilmuwan dan penjelajah yang memberi inspirasi, dan ada kapstok topi. Di setiap kelas ada patung anatomi tubuh yang lengkap, globe yang besar, white board , dan alat peraga konstelasi planet-planet. 46 Laskar Pelangi

Di dalam kelas-kelas itu puluhan siswa brilian bersaing ketat dalam standar mutu yang sanggat tinggi. Sekolah-sekolah ini memiliki perpustakaan, kantin, guru BP, laboratorium, perlengkapan kesenian, kegiatan ekstra kurikuler yang bermutu, fasilitas hiburan, dan sarana olahraga —termasuk sebuah kolam renang yang masih disebut dalam bahasa Belanda: zwembad. Di depan pintu masuk kolam renang ini tentu saja terpampang peringatan tegas “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK”. Di setiap kelas ada kotak P3K berisi obat-obat pertolongan pertama. Kalau ada siswanya yang sakit maka ia akan angsung mendapatkan pertolongan cepat secara profesional atau segera dijemput oleh mobil ambulans yang meraung-raung. Mereka memiliki petugas-petugas kebersihan khusus, guru- guru yang bergaji mahal, dan para penjaga sekolah yang berseragam seperti polisi lalu lintas dan selalu meniup-niup peluit. Tali merah bergulung-gulung keren sekali di bahu seragamnya itu. “Jumlah gurunya banyak.. Demikian ujar Bang Amran Isnaini bin Muntazis Ilham—yang pernah sekolah di sana—persis pada malam sebelum esoknya aku masuk pertama kali di SD Muhammadiyah itu. Aku termenung. “Setiap pelajaran ada gurunya masing-masing, walaupun kau baru kelas satu.” Maka pada malam itu aku tak bsia tidurakibat pusing menghitung berapa banyak jumlah guru di sekolah PN, tentu saja juga selain karena rasa senang akan masuk sekolah besok. Murid PN umumnya anak-anak orang luar Belitong yang bapaknya menjadi petinggi di PN. Sekolah ini juga menerima anak kampung seperti Bang Amran, tapi tentu saja yang orangtuanya sudah menjadi orang staf. Mereka semua bersih-bersih, rapi, kaya, necis, dan pintar-pintar luar biasa. Mereka selalu mengharumkan nama Belitong dalam lomba-lomba kecerdasan, bahkan sampai tingkat nasional. Sekolah PN sering dikunjungi para pejabat, pengawas sekolah, atau sekolah lain untuk melakukan semacam benchmarking melihat bagaimana seharusnya ilmu pengetahuan 47 Laskar Pelangi

ditransfer dan bagaimana anak-anak kecil dididik secara ilmiah. Pendaftaran hari pertama di sekolah PN adalah sebuah perayaan penuh sukacita. Puluhan mobil mewah berder et di depan sekolah dan ratusan anak orang kaya mendaftar. Ada bazar dan pertunjukan seni para siswa. Setiap kelas bisa menampung hampir sebanyak 40 siswa dan paling tidak ada 4 kelas untuk setiap tingkat. SD PN tidak akan membagi satu pun siswanya kepada sekolah-sekolah lain yang kekurangan murid karena sekolah itu memiliki sumber daya yang melimpah ruah untuk mengakomodasi berapapun jumlah siswa baru. Lebih dari itu, bersekolah di PN adalah sebuah kehormatan, hingga tak seorang pun yang berhak sekolah di situ sudi dilungsurkan ke sekolah lain. Ketika mendaftar badan mereka langsung diukur untuk tiga macam seragam harian dan dua macam pakaian olah raga. Mereka juga langsung mendapat kartu perpustakaan dan bertumpuk- tumpuk buku acuan wajib. Seragamnya untuk hari Senin adalah baju biru bermotif bunga rambat yang indah. Sepatu yang dikenakan berhak dan berwarna hitam mengilat. Sangat gagah ketika ber-marching band melintasi kampung. Melihat mereka aku segera teringat pada sekawanan anak kecil yang lucu, putih, dan bersayap, yang turun dari awan—seperti yang biasa kita lihat pada gambar-gambar buku komik. Setiap pagi para murid PN dijemput oleh bus-bus sekolah ber warna biru. Kepala sekolahnya adalah seorang pejabat penting, Ibu Frischa namanya. Caranya ber- make up jelas memperlihatkan dirinya sedang bertempur mati-matian melawan usia dan tampak jelas pula, dalam pertempuran itu, beliau telah kalah. Ia seorang wanita keras yang terpelajar, progresif, ambisius, dan sering habis- habisan menghina sekolah kampung. Gerak geriknya diatur sedemikian rupa sebagai penegasan kelas sosialnya. Di dekatnya siapa pun akan merasa terintimidasi. Kalau sempat berbicara dengan beliau, maka ia sama seperti orang Melayu yang baru belajar memasak, bumbunya cukup tiga macam: pembicaraan tentang fasilitas- fasilitas sekolah PN, anggaran ekstrakurikuler jutaan rupiah, dan tentang murid-muridnya yang telah menajdi dokter, insinyur, ahli ekonomi, pengusaha, dan orang-orang sukses di kota atau bahkan di luar negeri. Bagi kami yang waktu itu masih kecil, 48 Laskar Pelangi

masih berpandangan hitam putih, beliau adalah seorang tokoh antagonis. Yang dimaksud dengan sekolah kampung tentu saja adalah perguruan Muhammadiyah dan beberapa sekolah swasta miskin lainnya di Belitong. Selain sekolah miskinitu memang terdapat pula beberapa sekolah negeri di kampung kami. Namun kondisi sekolah negeri tentu lebih baik karena mereka disokong oleh negara. Sementara sekolah kampung adalah sekolah swadaya yang kelelahan menyokong dirinya sendiri. 49 Laskar Pelangi

Bab 9 Penyakit Gila No. 5 FILICIUM decipiens biasa ditanam botanikus untuk mengundang burung. Daunnya lebat tak kenal musim. Bentuk daunnya cekung sehingga dapat menampung embun untuk burung-burung kecil minum. Dahannya pun mungil, menarik hati burung segala ukuran. Lebih dari itu, dalam jarak 50 meter dari pohon ini, di belakang sekolah kami, berdiri kekar menjulang awan sebatang pohon tua ganitri (Elaeocarpus sphaericus schum). Tingginya hampir 20 meter, dua kali lebih tinggi dari filicium . Konfigurasi ini menguntungkan bagi burung-burung kecil cantik nan aduhai yang diciptakan untuk selalu menjaga jarak dengan manusia (sepertinya setiap makhluk yang merasa dirinya cantik memang cenderung menjaga jarak), yaitu red breasted hanging parrots atau tak lain serindit Melayu. Sebelum menyerbu filicium , serindit Melayu terlebih dulu melakukan pengawasan dari dahan-dahan tinggi ganitri sambil jungkir balik seperti pemain trapeze . Melangak- longok ke sana kemari apakah ada saingan atau musuh. Buah ganitri yang biru mampu menyamarkan kehadiran mereka. Kemampuan burung ini berakrobat menyebabkan ahli ornitologi Inggris menambahkan nama hanging pada nama gaulnya itu . Jika keadaan sudah aman 50 Laskar Pelangi

kawanan ini akan menukik tajam menuju dahan-dahan filicium dan tanpa ampun, dengan paruhnya yang mampu memutuskan kawat, secepat kilat, unggas mungil rakus ini menjarah buah-buah kecil filicium dengan kepala waspada menoleh ke kiri dan kanan. Pelajaran moral nomor tiga: “Jika Anda cantik, hidup Anda tak tenang.. Seumpama suku-suku Badui di Jazirah Arab yang menggantungkan hidup pada oasis maka filicium tua yang menaungi atap kelas kami ini adalah mata air bagi kami. Hari-hari kami terorientasi pada pohon itu. Ia saksi bagi drama masa kecil kami. Di dahannya kami membuat rumah-rumahan. Di balik daunnya kami bersembunyi jika bolos pelajaran kewarganegaraan. Di batang pohonnya kami menuliskan janji setia persahabatan dan mengukir nama-nama kecil kami dengan pisau lipat. Di akarnya yang menonjol kami duduk berkeliling mendengar kisah Bu Mus tentang petualangan Hang Jebat, dan di bawah keteduhan daunnya yang rindang kami bermain lompat kodok, berlatih sandiwara Romeo dan Juliet, tertawa, menangis, bernyanyi, belajar, dan bertengkar. Setelah serindit Melayu terbang melesat pergi seperti anak panah Winetou menembus langit maka hadirlah beberapa keluarga jalak kerbau. Penampilan burung ini sangat tak istimewa. Karena tak istimewa maka tak ada yang memerhatikannya. Mereka santai saja bertamu ke haribaan dedaunan filicium , menikmati setiap gigitan buah kecilnya, buang hajat sesuka hatinya.. Bahkan ketika mulutnya penuh, mereka pun kan membersihkan paruhnya dengan menggosok-gosokkannya padakulit filicium yang seperti handuk kering. Mereka kemudian ak an turun ke tanah, buncit, penuh daging, bulat beringsut-ingsut laksana seorang MC. Tak peduli pada dunia. Sebaliknya, kami pun tak tertarik menggodanya. Interaksi kami dengan jalak kerbau adalah dingin dan individualistis. Demikian pula hubungan kami dengan burung ungkut-ungkut yang mematuki ulat di kulit filicium . Menurutku ungkut-ungkut mendapat nama lokal yang tidak adil. Bayangkan, nama bukunya adalah coppersmith barbet . Nyatanya ia tak lebih dari burung biru pucat membosankan dengan bunyi yang lebih membosankan 51 Laskar Pelangi

kut...kut...kut... namun kehadirannya sangat kami tunggu karena ia selalu mengunjungi pohon filicium sekitar pukul 10 pagi. Pada jam ini kami mendapat pelajaran kewarganegaraan yang jauh lebih membosankan. Suarakut-kut-kut persis di luar jendela kelas kami jelas lebih menghibur dibanding materi pelajaran bergaya indoktrin asi itu. Setelah ungkut-ungkut berlalu hinggaplah kawanan cinenen kelabu yang mencari serangga sisa garapan ungkut-ungkut. Tak pernah kulihat mereka hadir bersamaan karena peringai Coppersmith yang tak pernah mau kalah. Lalu silih berganti sampai menjelang sore berkunjung burung-burung madu sepah, pipit, jalak biasa, gelatik batu, dan burung matahari yang berjingkat-jingkat riang dari dahan ke dahan. Demikian harmonisnya ekosistem yang terpusat pada sebatang pohon filicium anggota familia Acacia ini. Seperti para guru yang mengabdi di bawahnya, pohon ini tak henti-hentinya menyokong kehidupan sekian banyak spesies. Padam usim hujan ia semakin semarak. Puluhan jenis kupu-kupu, belalang sembah, bunglon, lintah, jamur telur beracun, kumbang, capung, ulat bulu, dan ular daun saling berebutan tempat. Drama, opera, dan orkestra yang manggung di dahan-dahan filicium sepanjang hari tak kalah seru dengan panggung sandiwara yang dilakoni sepuluh homo sapiens di sebuah kelas di bawahnya. Seperti episode pagi ini misalnya. “Aku mau ikut ke pasar, Cai,” Syahdan memohon kepada Kucai, ketika kami dibagi kelompok dalam pelajaran pekerjaan tangan dan harus membli kertas kajang di pasar. “Tapi sandal dan bajuku buruk begini”, katanya lagi dengan polos dan tahu diri sambil melipat karung kecampang yang dipakainya sebagai tas sekolah. “Jangan kau bikin malu aku, Dan, apa kata anak- anak SD PN nanti?” jawab Kucai sok gengsi padahal satu pun ia tak kenal anak- anak kaya itu. Mengesankan dirinya kenal dengan anak-anak 52 Laskar Pelangi

sekolah PN dikiranya mampu menaikkan martabatnya di mata kami. Maka sepatuku yang seperti sepatu bola itu kupinjamkan padanya. Borek rela menukar dulu bajunya dengan baju Syahdan. Lalu Syahdan pun, yang memang berpembawaan ceria, kali ini terlihat sangat gembira. Ia tak peduli kalau baju Borek kebesaran dan sebenarnya tak lebih bagus dari bajunya. Ada pula kemungkinan Borek kurapan, aku pernah melihat kurap itu ketika kami ramai-ramai mandi di dam tempo hari. Seperti Lintang, Syahdan yang miskin juga anak seorang nelayan. Tapi bukan maksudku mencela dia, karena kenyataannya secara ekonomi kami, sepuluh kawan sekelas ini, memang semuanya orang susah. Ayahku, contohnya, hanya pegawai rendahan di PN Timah. Beliau bekerja selama 25 tahun mencedok tailing , yaitu material buangan dalam instalasi pencucian timah yang disebut wasserij . Selain bergaji rendah, beliau juga rentanpada risiko kontaminasi radio aktif dari monazite dan senotim. Penghasilan ayahku lebih rendah dibandingkan penghasilan ayah Syahdan yang bekerja di bagan dan gudang kopra, penghasilan sampingan Syahdan sendiri sebagai tukang dempul perahu, serta ibunya yang menggerus pohon karet jika digabungkan sekaligus. Masalahnya di mata Syahdan, gedung sekolah, bagan ikan, dan gudang kopra tempat kelapa-kelapa busuk itu bersemedi adalah sama saja. Ia tidak punya sense of fashion sama sekali dan di lingkungannya tidak ada yang mengingatkannya bahwa sekolah berbeda dengan keramba. Sebangku dengan Syahdan adalah A Kiong, sebuah anomali. Tak tahu apa yang merasuki kepala bapaknya, --yaitu A Liong, seorang Kong Hu Cu sejati,-- waktu mendaftarkan anak laki-laki satu-satunya itu ke sekolah Islam puritan dan miskinini. Mungkin karena keluarga Hokian itu, yang menghidupi keluarga dari sebidang kebun sawi, juga amat miskin. Tapi jika melihat A Kiong, siapa pun akan maklum kenapa nasibnya berakhir di SD kampung ini. Ia memang memiliki penampilan akan ditolak di mana-mana. Wajahnya seperti baru 53 Laskar Pelangi

keluar dari bengkel ketok magic , alias menyerupai Frankenstein. Mukanya lbar dan berbentuk kotak, rambutnya serupa landak, matanya tertarik ke atas seperti sebilah pedang dan ia hampir tidak punya alis. Seluruh giginya tonggos dan hanya tinggal setengah akibat digerogoti phyrite Dan markacite dari air minum. Guru mana pun yang melihat wajahnya akan tertekan jiwanya, membayangkan betapa susahnya menjejalkan ilmu ke dalam kepala aluminiumnya itu. Dia sangat naif dan tak peduli seperti jalak kerbau. Jika kitam engatakan bahwa dunia akan kiamat besok maka ia pasti akan bergegas pulang untuk menjual satu-satunya ayam yang ia miliki, bahkan meskipun sang ayam sedang mengeram. Dunia baginya hitam putih dan hidupadalah sekeping jembatan papan lurus yang harus dititi. Namun, meskipun wajahnya horor, hatinya baik luar biasa. Ia penolong dan ramah, kecuali pada Sahara. Tapi tak dinyana, sekian lama waktu berlalu, rupanya kepala kalengnya cepat juga menangkap ilmu. Justru pria beraut manis manja yang duduk di depannya dan berpenampilan layaknya orangpintar serta selalu mengangguk-angguk kalau menerima pelajaran, ternyata lemot bukan main, namanya Kucai. Kucai sedikit tak beruntung. Kekurangan gizi yang parah ketika kecil mungkin menyebabkan ia menderita miopia alias rabun jauh. Selian itu pandangan matanya tidak fokus, melenceng sekitar 20 derajat. Mak a jika ia memandang lurus ke depan artinya yang ia lihat adalah ben da di samping benda yang ada persis di depannya dan demikian sebaliknya, sehingga saat berbicara dengan seseorang ia tidak memandang lawan bicaranya tapi ia menoleh ke samping. Namun, Kucai adalah orang paling optimis yang pernah aku jumpai. Kekurangannya secara fisik tak sedikit pun membuatnya minder. Sebaliknya, ia memiliki kepribadian populis, oportunis, bermulut besar, banyak teori, dan sok tahu. Kucai memiliki Network yang luas. Ia pintar bermain kata- kata. Kalau hanya perkara perselisihan pen eng sepeda dengan aparat desa, informasi di mana bisa menjual beras jatah PN, atau bagaimana cara mendapatkan karcis pasar malam separuh harga, serahkan saja padanya, ia bisa memberi solusi total. Kelemahannya 54 Laskar Pelangi

adalah nilai-nilai ulangannya tidak pernah melampaui angka enam karena ia termasuk murid yang agak kurang pintar, bodoh yang diperhalus. Maka jika digabungkan sifat populis, sok tahu, dan oportunis dengan otaknya yang lemot Kucai memiliki semua kualitas untuk menjadi seorang politisi. Kenyataannya memang begitu. Seperti kebanyakan politisi jika ia bicara tatapan matanya dan gayanya sangat meyakinkan walaupun dungunya minta ampun. Kualitas kepolitisiannya itu mungkin menurun dari bapaknya. Beliau adalah seorang pensiunan tukang bagi beras di PN Timah dan telah bertahun-tahun menjabat sebagai ketua Badan Amil masjid kampung. Kucai juga bertahun-tahun menjadi ketua kelas kami namun bagi kami ketua kelas adalah jabatan yang paling tidak men yenangkan. Jabatan itu menyebalkan antara lain karena harus mengingatkan anggota kelas agar jangan berisik padahal diri sendiri tak bisa diam. Ini men yebabkan tak ada dari kami yang ingin menjadi ketua kelas, apalagi kelas kami ini sudah terkenal susah dikendalikan. Berulang kali Kucai menolak diangkat kembali menduduki jabatan itu, namun setiap kali Bu Mus mengingatkan betapa mulianya menjadi seorang pemimpin, Kucai pun luluh dan dengan terpaksa bersedia menjabat lagi. Suatu hari dalam pelajaran bdui pekerti kemuhamadiyahan, Bu Mus menjelaskan tentang karakter yang dituntut Islam dari seorang amir. Amir dapat berarti seorang pemimpin. Beliau menyitir perkataan Khalifah Umar bin Khatab. “Barangsiapa yang kami tunjuk sebagai amir dan telah kami tetapkan gajinya untuk itu, maka apa pun yang ia terima selain gajinya itu adalah penipuan!. Rupanya Bu Mus geram dengan korupsi yang merajalela di negeri ini dan beliau menyambung dengan lan tang. “Kata-kata itu mengajarkan arti penting memegang amanah sebagai pemimpin dan Al-Qur’an mengingatkan bahwa kepemimpinan seseorang akan dipertanggung jawabkan nanti di akhirat ..... 55 Laskar Pelangi

Kami terpesona mendengarnya, namun Kucai gemetar. Mendapati dirinya sebagai seorang pemimpin kelas ia gamang pada pertanggungjawaban setelah mati nanti, apalagi sebagai seorang politisi ia menganggap bahwa menjadi ketua kelas itu tidak ada keuntungannya sama sekali. Tidak adil! Lagi pula ia sudah muak mengurusi kami. Kami terkejut karena serta-merta ia berdiri dan berdalih secara diplomatis. “Ibunda Guru, Ibunda mesti tahu bahwa anak-anak kuli ini kelakuannya seperti setan. Sama sekali tak bisa disuruh diam, terutama Borek, kalautak ada guru ulahnya ibarat pasien rumah sakit jiwa yang buas. Aku sudah tak tahan, Ibunda, aku menuntut pemungutan suara yang demokratis untuk memilih ketua kelas baru. Aku juga tak sanggup mempertanggung jawabkan kepemimpinanku di padang Masyar nanti, anak-anak kumal ini yang tak bisa diatur ini hanya akan memberatkan hisabku!. Kucai tampak sangat emosional. Tangannya menunjuk-nunjuk ke atas dan napasnya tersengal setelah menghamburkan unek-unek yang mungkin telah dipendamnya bertahun-tahun. Ia menatap Bu Mus dengan mata nanar tapi pandangannya ke arah gambar R.H. Oma Irama Hujan Duit. Kami semua menahan tawa melihat pemandangan itu tapi Kucai sedang sangat serius, kami tak ingin melukai hatinya. Bu Mus juga terkejut. Tak pernah sebelumnya beliau menerima tanggapan selugas itu dari muridnya, tapi beliau meklum pada beban yang dipikul Kucai. Beliau ingin bersikap seimbang maka beliau segera menyuruh kami menuliskan nama ketua kelas baru yang kami inginkan di selembar kertas, melipatnya, dan menyerahkannya kepada beliau. Kami menulis pilihan kami dengan bersungguh-sungguh dan saling berahasiakan pilihan itu dengan sangat ketat. Kucai senang sekali. Wajahnya berseri-seri. Ia merasa telah mendapatkan keadilan dan menganggap bahwa bebannya sebagai ketua kelas akan segera berakhir. Suasana menjadi tegang menunggu detik-detik penghitungan suara. Kami gugup mengantisipasi siapa yang akan menjadi ketua kelas baru. 56 Laskar Pelangi

Sembilangulungan kertas telah berada dalam genggaman Bu Mus. Beliau sendiri kelihatangugup. Beliau membuka gulungan pertama. “Borek!” teriak Bu Mus. Borek pucat dan Kucai melonjak girang. Terang-terangan ia menunjukkan bahwa ia sendiri yang telah memilih Borek, kawan sebangkunya yang ia anggap pasien rumah sakit jiwa yang buas. Bu Mus melanjutkan. “Kucai!. Kali ini Borek yang melonjak dan Kucai terdiam. Kertas ketiga. “Kucai!. Kucai tersenyum pahit. Kertas keempat. “Kucai!. Kertas kelima. “Kucai!. Kucai pucat pasi. Demikian seterusnya sampai kertas kesembilan. Kucai terpuruk. Ia jengkel sekali kepada Borek yang tubuhnya menggigil menahan tawa. Ia memandang Borek dengan tajam tapi matanya mengawasi Trapani. Karena Harun tak bisa menulis maka jumlah kertas hanya sembilan tapi Bu Mus tetap menghargai hak asasi politiknya. Ketika Bu Mus mengalihkan pandangan kepada Harun, Harun mengeluarkan senyum khas dengan gigi-gigi panjgannya dan berteriak pasti. “Kucai ...!. Kucai terkulai lemas. Hari ini kami mendapat pelajaran penting tentang demokrasi, yaitu bahwa ternyata prinsip-prinsipnya 57 Laskar Pelangi

tidakefektif untuk suksesi jabatan kering. Bu Mus menghampirinya dengan lembut sambil tersenyum jenaka. “Memegang amanah sebagai pemimpin memang berat tapi jangan khawatir orang yang akan mendoakan. Tidakkah Ananda sering mendengar di berbagai upacara petugas sering mengucap doa: Ya, Allah lindungilah para pemimpin kami? Jarang sekali kita mendengar doa: Ya Allah lindungilah anak-anak buah kami ....” DUDUK di pojok sana adalah Trapani. Namanya diambil dari nama sebuah kota pantai di Sisilia. Nyatanya ia memang seelok kota pantai itu. Ia memesona seumpama bondol peking. Si rapi jali ini adalah maskot kelas kami. Seorang perfeksionis berwajah seindah rembulan. Ia tipe pria yang langsung disukai wanita melalui sekali pandang. Jambul, baju, celana, ikat pinggang, kaus kaki, dan sepatunya selalu bersih, serasi warnanya, dan licin. Ia tak bicara jika tak perlu dan jika angkat bicara ia akan menggunakan kata-kata yang dipilih dengan baik. Baunya pun harum. Ia seorang pemuda santun harapan bangsa yang memenuhi semua syarat Dasa Dharma Pramuka. Cita- citanya ingin jadi guru yang mengajar di daerah terpencil untuk memajukan pendidikan orang Melayu pedalaman, sungguh mulia. Seluruh kehidupannya seolah terinspirasi lagu Wajib Belajar karya R.N. Sutarmas. Ia sangat berbakti kepada orangtua, khususnya ibunya. Sebaliknya, ia juga diperhatikan ibunya layaknya anakemas. Mungkin karena ia satu-satunya laki-laki di antara lima saudara perempuan lainnya. Ayahnya adalah seorang operator vessel board di kantor telepon PN sekaligus tukang sirine. Meskipun rumahnya dekat dengan sekolah tapi sampai kelas tiga ia masih diantar jemput ibunya. Ibu adalah pusat gravitasi hidupnya. Trapani agak pendiam, otaknya lumayan, dan selalu menduduki peringkat ketiga. Aku sering cemburu karena aku kebajiran salam dari sepupu-sepupuku untuk disampaikan pada laki-laki muda flamboyan ini. Dia tak pernah menanggapi salam- salam itu. Di sisi lain kami juga sering jengkel pada Trapani karena setiap kali kami punya “acara”, misalnya menyangkutkan sepeda Pak Fahimi—guru kelas empat yang tak bermutu dan selalu 58 Laskar Pelangi

menggertak murid—di dahan pohongayam, Trapani harus minta izin dulu pada ibunya. Lalu ada Sahara, satu-satunya hawa di kelas kami. Dia secantik grey cheeked green , atau burung punai lenguak. Ia ramping, berjilbab, dan sedikit lebih beruntung. Bapaknya seorang Taikong, yaitu atasan para Kepala Parit, orang-orang lapangan di PN. Sifatnya yang utama: penuh perhatian dan kepala batu. Maka tak ada yang berani bikin gara-gara dengannya karena ia tak pernah segan mencakar. Jika marah ia akan mengaum dan kedua alisnya bertemu. Sahara sangat temperamental, tapi ia pintar. Peringkatnya bersaing ketat dengan Trapani. Kebalikan daira Kiong, Sahara sangat skeptis, susah diyakinkan, dan tak mudah dibaut terkesan. Sifat lain Sahara yang amat menonjol adalah kejujurannya yang luar biasa dan benar-benar menghargai kebenaran. Ia pantang berbohong. Walaupun diancam akan dicampakkan ke dalam lautan api yang berkobar- kobar, tak satu pun dusta akan keluar dari mulutnya. Musuh abadi Sahara adalah A Kiong. Mereka bertengkar hebat, berbaikan, lalu bertengkar lagi. Sepertinya mereka sengaja dipertemukan nasib untuk selalu berselisih. Mereka saling memprotes dan berbeda pendapat untuk hal-hal sepele. Sahara menganggap apa pun yang dilakukan A Kiong selalu salah, dan demikian pula sebaliknya. Kadang-kadang perseteruan mereka itu lucu dan membuka wawasan. Milsanya ketika kami berkumpul dan Trapani bercerita tentang bagusnya buku Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk , karya legendaris Buya Hamka. “Aku juga sudah pernah membaca buku itu, maaf aku tak suka, terlalu banyak nama dan tempat, susah aku mengingatnya.” Demikian komentara Kiong mencari penyakit. Sahara yang sangat menghargai buku tertusuk hatinya dan menyalak tanpa ampun, “Masya Allah! Dengaranak muda, mana bisa kauhargai karya sastra bermutu, nanti jika Buya menulis lagi buku berjudul Si Kancil Anak Nakal Suka Mencuri Timun barulah buku seperti itu cocok buatmu ….. Kami semua tertawa sampai berguling-guling. 59 Laskar Pelangi

A Kiong tersinggung, tapi ia kehabisan kata, maka ditelannya saja ejekan itu mentah-mentah, pahit memang. Apa boleh buat, ia tak bisa mengonter cemoohan secerdas itu. Sebaliknya, Sahara sangat lembut jika berhadapan dengan Harun. Harun adalah seorang pria santun, pendiam, dan murah senyum. Ia juga merupakan teman yang menyenangkan. Model rambutnya seperti Chairil Anwar dan pakaiannya selalu rapi. Masalah pakaian itu benar-benar diperhatikan oleh ibunya. Ia lebih kelihatan seperti pejabat kantoran di PN daripada anak sekolahan. Bagian belakang bajunya, yang disetrika dengan lipatan berpola kotak-kotak—lagi mode ketika itu—tampak serasi di punggung Harun. Harun memiliki hobi mengunyah permen asam jawa dan sama sekali tidak bisa menangkap pelajaran membaca atau menulis. Jika Bu Mus menjelaskan pelajaran, ia duduk tenang dan terus-menerus tersenyum. Pada setiap mata pelajaran, pelajaran apa pun, ia akan mengacung sekali dan menanyakan pertanyaan yang sama, setiap hari, sepanjang tahun, “Ibunda Guru, kapan kita akan libur lebaran?. “Sebentar lagi Anakku, sebentar lagi …,” jawab Bu Mus sabar, berulang-ulang, puluhan kali, sepanjang tahun, lalu Harun pun bertepuk tangan. Jika istirahat siang Sahara dan Harun duduk berdua di bawah pohon filicium . Mereka memiliki kaitan emosi yang unik, seperti persahabatan Tupai dan Kura-Kura. Harun dengan bersemangat menceritakan kucingnya yang berbelang tiga baru saja melahirkan tiga ekoranak yang semuanya berbelang tiga pada tanggal tiga kemarin. Sahara selalu sabar mendengarkan cerita itu walaupun Harun menceritakannya setiap hari, berulang-ulang, puluhan kali, sepanjang tahun, dari kelas satu SD sampai kelas tiga SMP. Sahara tetap setia mendengarkan. Jika kami naik kelas harun juga ikut naik kelas meskipun ia tak punya rapor. Pengecualian dari sistem , demikian orang-orang pintar di Jakarta menyebut kasus seperti ini. Aku sering 60 Laskar Pelangi

memandangi wajahnya lama-lama untuk menebak apa yang ada di dalam pikirannya. Dia hanya tersen yum menanggapi tingkahku. Harun adalah anak kecil yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa. Pria kedelapan adalah Borek. Pada awalnya dia adalah murid biasa, kelakuan dan prestasi sekolahnya sangat biasa, rata-rata air. Tapi pertemuan tak sengajanya dengan sebuah kaleng bekas minyak penumbuh bulu yang kiranya berasal dari sebuah negeri nun jauh di Jazirah Arab sana telah mengubah total arah hidupnya. Gambar di kaleng itu memperlihatkan seorang pria bercelana dalam merah, berbadan tinggi besar, berotot kawat tulang besi, dan berbulu laksana seekor gorila jantan. Ia menemukan kaleng itu di dapur seorang pedagang kaki lima spesialis penumbuh segala jenis rambut. Sejak itu Borek tidak tertarik lagi dengan hal lain dalam hidup ini selain sesuatu yang berhubungan dengan upaya membesarkan ototnya. Karena latihan keras, ia berhasil, dan mendapat julukan Samson. Sebuah gelar ningrat yang disandangnya dengan penuh rasa bangga. Agak aneh memang, tapi paling tidak sejak usia muda Borek sudah menjadi dirinya sendiri dan sudah tau pasti ingin menjadi apa dia nanti, l.alu secara konsisten ia berusaha mencapainya. Ia melompati suatu tahap pencarian identitas yang tak jarang mengombang-ambingkan orang sampai tua. Bahkan sering sekali mereka yang tak kunjung menemukan identitas menjalani hidup sebagai orang lain. Borek lebih baik dari mereka. Samson demikian terobsesi dengan body building dan tergila- gila dengan citra cowok macho, dan pada suatu hari aku termakan hasutannya. AKU tak mengerti dari mana ia mendapat sebuah pengetahuan rahasia untuk membesarkan otot dada. “Jangan bilang siapa-siapa …!” katanya berbisik. Ia menoleh ke kiri dan kanan, seakan takut ada yang memerhatikan dan mencuri idenya. Lalu ia menarik tanganku, kami pun berlari menuju belakang sekolah, sembunyi di ruangan bekas gardu listrik. 61 Laskar Pelangi

Daridalam tasnya ia mengeluarkan sebuah bola tenis yang dibelah dua. “Kalau ingin dadamu menonjol seperti dadaku, inilah rahasianya!” Kembali ia berbisik walaupun ia tahu di sana tak mungkin ada siapa-siapa. Agaknya bola tenis itu mengandung sebuah keajaiban. “Pasti sebuah penemuan yang hebat, rupanya bola tenis inilah rahasia keindahan tubuhnya,” pikirku. Tapi akan diapakan aku ini? “Buka bajumu!” perintahnya. “Biar kujadikan kau pria sejati pujaan kaum Hawa….” Wajahnya menunjukkan bahwa ia tak habis pikir mengapa semua laki-laki di lua sana tidak melakukan metode praktisnya ini, jalan pintas menuju kesempurnaan penampilan seorang lelaki. Sesungguhnya aku ragu tapi tak punya pilihan lain. Pintu gardu sudah ditutup. “Cepatlah!. Aku semakin ragu. Namun, belum sempat aku berpikir jauh tiba-tiba ia merangsek maju ke arahku dan dengan keras menekankan bola tenis itu ke dadaku. Aku terjajar ke belakang sampai hampir jatuh. Aku tak berdaya. Dengan leluasa dan sekuat tenaga ia membenamkan benda sialan itu ke kulit dadaku karena sekarang punggungku terhalang oleh tumpukan balok. Badannya jauh lebih besar, tenaganya seperti kuli, alisnya sampai bertemu karena ia mengerahkan segenap kekuatannya, membuatku meronta-ronta. Kupaham, belahan bola tenis ini dimaksudkan bekerja seperti sebuah benda aneh bertangkai kayu dan berujung karet yang dipakai orang untuk menguras lubang WC. Bola tenis itu adalah alat bekam yang akan menarik otot sehingga menonjol dan bidang, itu idenya.. Sekarang tekanan tenaga Samson dan daya isap bola tenis itu mulai bereaksi menyiksaku.Yang akurasakan adalah seluruh isi dadaku: jantung, hati, paru-paru, limpa, berikut isi perut dan darahku seperti terisap oleh bola tenis itu. Bahkan mataku rasanya akan meloncat. Aku tercekat, tak sanggup mengeluarkan kata-kata. Aku memberi isyarat agar ia melepaskan pembekam itu. 62 Laskar Pelangi

“Belum waktunya, harus seslesai hitung nama dan orangtua, baru ada khasiatnya!. Hitung nama dan orangtua? Aduh! Celaka! Hitung nama dan orangtua adalah inovasi konyol kami sendiri, yaitu mengerjakan sesuatu dalam durasi menyebut nama sekaligus nama orang tua, misalnya Trapani Ihsan Jamari bin Zainuddin Ilham Jamari atau Harun Ardhli Ramadhan bin Syamsul Hazana Ramadhan. Aku sudah tak sanggup menanggungkan benda yang menyedot dadaku ini selama menyebut nama sepuluh teman sekelas apalagi dengan nama orangtuanya. Nama orang Melayu tak pernah singkat. Samson tak peduli, ia tetap menekan belahan bola tenis itu tanpa perasaan. Ini adalah adu kekuatan antara David yang kecil dan goliath sang raksasa. Aku terperangkap seperti ikan kepuyu di dalam bubu. Aku mulai sesak napas. Tubuhku rasanya akan meledak. Isapan bola tenis itu laksana sengatan lebah tanah kuning yang paling berbisa dan tubuhku mulai terasa menciut. Kakiku mengais-ngais putus asa seperti banteng bernafsu menanduk matador. Namun, pada detik paling gawat itu rupanya Tuhan menyelamatkanku karena tanpa diduga salah satu balok di belakangku jatuh sehingga sekarang aku memiliki ruang utnuk mengambil ancang-ancang. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, kuambil seluruh tenaga terakhir yang tersisa lalu dengan sekali jurus kutendang selangkang Samson, tepat di belahan pelirnya, sekuat- kuatnya, persis pegulat Jepang Antonio Inoki menghantam Muhammad Ali di lokasi tak sopan itu pada pertarungan absurd tahun ’76. Samson melolong-lolong seperti kumbang terperangkap dalam stoples. Aku melompat kabur pontang-panting. Belahan bola tenis inovasi genius dunia body building itu pun terpental ke udara dan jatuh berguling-guling lesu di atas tumpukan jerami. Sempat aku menoleh ke belakang dan melihat Samson masih berputar-putar memegangi selangkang-nya, lalu manusia Herucles itu pun tumbang berdebam di atas tanah. Di dadaku melingkar tanda bulat merah kehitam-hitaman, sebuah jejak kemaha-tololan. 63 Laskar Pelangi

Ketika ibuku bertanya tentang tanda itu aku tak berkutik, karena pelajaran Budi Pekerti Kemuhammaddiyahan setiap Jumat pagi tak membolehkan aku membohongi orangtua, apalagi ibu. Maka dengan amat sangat terpaksa kutelanjangi kebodohan- ku sendiri. Abang-abang dan ayahku tertawa sampai menggigil dan saat itulah untuk pertama kalinya aku mendengar teori canggih ibuku tentang penyakit gila. “Gila itu ada 44 macam,” kata ibuku seperti seorang psikiater ahli sambil mengunyah gambir dan sirih. “Semakin kecil nomornya semakin parah gilanya,” beliau menggeleng-gelengkan kepalanya & menatapku seperti sedang menghadapi seorang pasien rumah sakit jiwa. “Maka orang-orang yang sudah tidak berpakaian dan lupa diri di jalan-jalan, itulah gila no.1, dan gila yang kau buat dengan bola tenis itu sudah bisa masuk no. 5. Cukup serius! Hati-hati, kalautak pakai akal sehat dalam setiap kelakuanmu maka angka itu bisa segera mengecil.. Bukan bermaksud berpolemik dengan temuan para ahli jiwa. Kami mengerti bahwa teori ini tentu saja hanya untuk mengingatkan anak-anaknya agar jangan bertindak keterlaluan. Tapi begitulah teori penyakit gila versi ibuku dan bagiku teori itu efektif. Aku malu sudah bertindak konyol. **** Aku tak yakin apakah Samson benar-benar menerapkan teknik sinting itu untuk memperbesar otot-ototnya, ataukah ia hanya ingin membodohi aku. Yang kutahu pasti adalah selama tiga hari berikutnya ia ke sekolah dengan berjalan terkangkang-kangkang seperti orang pengkor, badannya yang besar membuat ia tampak seperti kingkong. PADA sebuah pagi yang lain, pukul sepuluh, seharusnya burung kut-kut sudah datang. Tapi pagi ini senyap. Aku tersenyum sendiri 64 Laskar Pelangi

melamunkan seifat-sifat kawan sekelasku. Lalu aku memandangi guruku Bu Mus, seseorang yang bersedia menerima kami apa adanya dengan sepenuh hatinya, segenap jiwanya. Ia p aham betul kemiskinan dan posisi kami yang rentan sehingga tak pernah membuat kebijakan apa punyang mengandung implikasi biaya. Ia selalu membesarkan hati kami. Kupandangi juga sembilan teman sekelasku, orang-orang muda yang luar biasa. Sebagian mereka ke sekolah hanya memakai sandal, sementara yang bersepatu selalu tampak kebesaran sepatunya. Orangtua kami yang tak mampu memang sengaja membeli sepatu dua nomor lebih besaragar dapat dipakai dalam dua tahun ajaran. Ada keindahan yang unik dalam interaksi masing-masing sifat para sahabatku.Tersembunyi daya tarik pada cara mereka mengartikan sekstan untuk mengukur diri sendiri, menilai kemampuan orang tua, melihat arah masa depan, dan memersepsi pandangan lingkungan terhadap mereka. Kadang kala pemikiran mereka kontradiktif terhadap pendapat umum, laksana gurun bertemu pantai atau ibarat hujan ketika matahari sedang terik. Tak jarang mereka seperti kelelawar yang tersasar masuk ke kamar, menabrak-nabrak kaca ingin keluar dan frustasi. Mereka juga seperti seekor parkit yang terkurung di dalam gua, kebingungan dengan gema suaranya sendiri. Sejak kecil aku tertarik untuk menjadi pengamat kehidupan dan sekarang aku menemukan kenyataan yang memesona dalam sosiologi lingkungan kami yang ironis. Di sini ada sekolahku yang sederhana, para sahabatku yang melarat, orang Melayu yang terabaikan, juga ada orang staf dan sekolah PN mereka yang glamor, serta PN Timah yang gemah ripah dengan gedong, tembok feodalistisnya. Semua elemen itu adalah perpustakaan berjalan yang memberiku pengetahuan baru setiap hari. Pengetahuan terbesar terutama kudapat dari sekolahku, karena perguruan Muhammadiyah bukanlah center of excellence , tapi ia merupakan pusat marginalitas sehingga ia adalah sebuah universitas kehidupan. Di sekolah ini aku memahami arti keikhlasan, perjuangan, dan integritas. Lebih dari itu, perintis peruguran ini mewariskan pelajaran yang amat berharga tentang ide-ide besar 65 Laskar Pelangi

Islam yang mulia, keberanian untuk merealisasi ide itu meskipun tak putus-putus dirundung kesulitan, dan konsep menjalani hidup dengan gagasan memberi manfaat sebesar-besarnya untuk orang lain melalui pengorbanan tanpa pamrih. Maka sejak waktu virtual tercipta dalam definisi hipotesis manusia tatkala nebula mengeras dalam teori lubang hitam, di antara titik-titik kurunnya yang merentang panjang tak tahu akan berhenti sampai kapan, aku pada titik ini, di tempat ini, merasa bersyukur menjadi orang Melayu Belitong yang sempat menjadi murid Muhammadiyah. Dan sembilan teman sekelasku memberiku hari-hari yang lebih dari cukup untuk suatu ketika di masa depan nanti kuceritakan pada setiap orang bahwa masa kecilku amat bahagia. Kebahagiaan yang spesifik karena kami hidup dengan persepsi tentang kesenangan sekolah dan persahabatan yang kami terjemahkan sendiri. Kami adalah sepuluh umpan nasib dan kami seumpama kerang-kerang halus yang melekat erat satu sama lain dihantam deburan ombak ilmu. Kami seperti anak-anak bebek. Tak terpisahkan dalam susah dan senang. Induknya adalah Bu Mus. Sekali lagi kulihat wajah mereka, Harun yang murah senyum, Trapani yang rupawan, Syahdan yang lilipu, Kucai yang sok gengsi, Sahara yang ketus, A Kiong yang polos, dan pria kedelapan— yaitu Samson—yang duduk seperti patung Ganesha. Lalu siapa pria yang kesembilan dan kesepuluh? Lintang dan Mahar. Pelajaran apa yang mereka tawarkan? Mereka adalah pria- pria muda yang sangat istimewa. Memerlukan bab tersendiri untuk menceritakannya. Sampai di sini, aku sudah merasa menjadi seorang anak kecil yang sangat beruntung. 66 Laskar Pelangi

Bab 10 Bodenga PAGI ini Lintang terlambat masuk kelas. Kami tercengang mendengar ceritanya. “Aku tak bisa melintas. Seekor buaya sebesar pohon kelapa tak mau beranjak, menghalang di tengah jalan. Tak ada siapa-siapa yang bisakumintai bantuan. Aku hanya berdiri mematung, berbicara dengan diriku sendiri.. Lima belas meter. “Buaya sebesar itu tak ‘kan mampu menyerangku dalam jarak ini, ia lamban, pasti kalah langkah. Kalau cukup waktu aku dapat menghitung hubungan massa, jarak, dan tenaga, baik aku maupun buaya itu, sehingga aku dapat memperkirakan kecepatannya menyambarku dan peluangku untuk lolos. Ilmu menyebabkan aku berani maju beberapa langkah lagi. Apalagi fisikia tidak mempertimbangkan psy war , kalau aku maju ia pasti akan terintimidasi dan masuk lagi ke dalam air. “Aku maju sedikit, membunyikan lonceng sepeda, bertepuk tangan, berdeham- deham, membuat bun yi-bunyian agar dia 67 Laskar Pelangi

merayap pergi. Tapi ia bergeming. Ukurannya dan teritip yang tumbuh di punggungnya memperlihatkan dia penguasa rawa ini. Dan sekarang saatnya mandi matahari. Secara fisik dan psikologis binatang atau secara apa pun, buaya ini akan men ang. Ilmu tak berlaku di sini. “Tapi lebih dari setengah perjalalasudah, aku tak ‘kan kembali pulang gara-gara buaya bodoh ini. Tak adakata bolos dalam kamu sku, dan hari ini ada tarikh Islam, mata pelajaran yang menarik. Ingin kudebatkan kisah ayat-ayat suci yang memastikan kemenangan Byzantium tujuh tahun sebelum kejadian. Sudah siang, aku maju sedikit, aku pasti terlambat tiba di sekolah.” Dua belas meter “Aku hanya sendirian. Jika ada orang lain aku berani lebih frontal. Tahukah hewan ini pentingnya pendidikan? Aku tak berani lebih dekat. Ia menganga dan bersuara rendah, suara dari perut yang menggetarkan seperti sendawa seekor singa atau seperti suara orang menggeser sebuah lemari yang sangat besar. Aku diam menunggu. Tak ada jaluralternatif dan kekuatan jelas tak berimbang. Aku mulai frustasi. Suasana sunyi senyap. Yang ada hanya aku, seekor buaya ganas yang egois, dan intaian maut.. Kami prihatin dan tegang mendengar kisah perjuangan Lintang menuju sekolah. “Tiba-tiba dari arah samping kudengar riak air. Aku terkejut dan takut. Menyeruak di antara lumut kumpai, membelah genangan setinggi dada, seorang laki-laki seram naik dari rawa. Ia berjalan menghampiriku, kakinya bengkok seperti huruf O,” lanjutnya. “Siapa laki-laki itu Lintang?” tanya Sahara tercekat. “Bodenga ….. “Ooh …,” kami serentak menutup mulut dengan tangan. Menakutkan sekali. Tak ada yang berani berkomentar. Tegang menunggu kelanjutan cerita Lintang. “Aku lebih takut padanya daripada buaya mana pun. Pria ini tak mau dikenal orang tapi sepanjang pesisir Belitong Timur, siapa tak kenal dia? “Dia melewatiku seperti aku tak ada dan dia melangkah tanpa ragu 68 Laskar Pelangi

mendekati binatang buas itu. Dia menyentuhnya! Men epuk-nepuk lembut kulitnya sambil menggumamkan sesuatu. Ganjil sekali, buaya itu seperti takluk, mengibas-ngibaskan ekornya laksana seekoranjing yang ingin mengambil hati tuannya, lalu mendadak sontak, dengan sebuah lompatan dahsyat seperti terbang reptil zaman Cretaceous itu terjun ke rawa menimbulkan suara laksana tujuh pohon kelapa tumbang sekaligus. Lintang menarik napas. “Aku terkesima dan tadi telah salah hitung. Jika binatang purba itu mengejarku maka orang-orang hanya akan menemukan sepeda reyot ini. Fisika sialan. Memprediksi perilaku hewan yang telah bertahan hidup jutaan tahun adalah tindakan bodoh nan sombong. “Dari permukaan air yang bening jelas kulihat binatang itu menggoyangkan ekor panjangnya untuk mengambil tenaga dorong sehingga badannya yang hidrodinamis menghujam mengerikan ke dasar air. “Bodenga berbalik ke arahku. Seperti selalu, ekspresinya dingin dan jelas tak menginginkan ucapan terima kasih. Kenyataannya aku tak berani menatapnya, nayliku runtuh. Dengan sekali sentak ia bisa menenggelamkanku sekaligus sepeda ini ke dalam rawa. Aku mengenal reputasi laki-laki liar ini. Tapi aku merasa beruntung karena aku telah menjadi segelintir orang yang pernah secara langsung menyaksikan kehebatan ilmu buaya Bo denga.. AKU termenung mendengar cerita Lintang. Aku memang tidak pernah menyaksikan langsung Bodenga beraksi tapi aku mengenal Bodenga lebih dari Lintang mengenalnya. Bagiku Bodenga adalah guru firasat dan semua hal yang berhubungan dengan perasaan gamang, pilu, dan sedih. Tak seorang pun ingin menjadi sahabat Bodenga. Wajahnya carut-marut, berusia empat puluhan. Ia menyelimuti dirinya dengan dahan-dahan kelapa dan tidur melingkar seperti tupai di bawah p 69 Laskar Pelangi

ohon nifah selama dua hari dua malam. Jika lapar ia terjun ke sumur tua di kantor polisi lama, menyelam, menangkap belut yang terperangkap di bawah sana dan langsung memakannya ketika masih di dalam air. Ia makhluk yang merdeka. Ia seperti angin. Ia bukan Melayu, bukan Tionghoa, dan bukan pula Sawang, bukan siapa-siapa. Tak ada yang tahu asal usulnya. Ia tak memiliki agama dan tak bsia bicara. Ia bukan pengemis bukan pula penjahat. Namanya tak terdaftar di kantor desa. Dan telinganya sudah tak bisa mendengar karena ia pernah menyelami dasar Sungai Lenggang untuk mengambil bijih-bijih timah, demikian dalam hingga telinganya mengeluarkan darah, setelah itu menjadi tuli. Bodenga kini sebatang kara. Satu-satunya ekluarga yang pernah diketahui orang adalah ayahnya yang buntung kaki kanannya. Orang bilang karena tumbal ilmu buaya. Ayahnya itu seorang dukun buaya terkenal. Serbuan Islam yang tak terbendung ke seantero kampung membuat orang menjauhi mereka, karena mereka menolak meninggalkan penyembahan buaya sebagai Tuhan. Ayahnya telah mati karena melilit tubuhnya sendiri kuat-kuat dari mata kaki sampai ke leher dengan akar jawi lalu menerjunkan diri ke Sungai Mirang. Ia sengaja mengumpankan tubuhnya pada buaya-buaya ganas di sana. Masyarakat hanya menemukan potongan kaki buntungnya. Kini Bodenga lebih banyak menghabiskan waktu memandangi aliran Sungai Mirang, sendirian sampai jauh malam. Pada suatu sore warga kampung berduyun-duyun menuju lapangan basket Sekolah Nasional. Karena baru saja ditangkap seekor buaya yang diyakini telah menyambar seorang wanita yang sedang mencuci pakaian di Manggar. Karena aku masih kecil maka aku tak dapat menembus kerumunan orang yang mengelilingi buaya itu, aku hanya dapat melihatnya dari sela-sela kaki pengunjung yang rapat berselang-seling. Mulut buaya besar itu dibuka dan disangga dengan sepotong kayu bakar. 70 Laskar Pelangi

Ketika perutnya dibelah, ditemukan rambut, baju, jam tangan, dan kalung. Saat itulah aku melihat Bodenga mendesak maju di antara pengunjung. Lalu ia bersimpuh di samping sang buaya. Wajahnya pucat pasi. Ia memberi isyarat kepada orang-orang, memohon agar berhenti mencincang binatang itu. Orang-orang mundur dan melepaskan kayu bakaryang menyangga mulut buaya tersebut. Mereka paham bahwa penganut ilmu buaya percaya jika mati mereka akan menjadi buaya. Dan mereka maklum bahwa bagi Bodenga buaya ini adalah ayahnya karena salah satu kaki buaya ini buntung. Bodenga menangis... Suaranya pedih memilukan. “Baya … Baya … Baya …,” panggilnya lirih. Beberapa orang menangis sesenggukan. Aku menyaksikan dari sela-sela kaki pengunjung air matanya mengalir membasahi pipinya yang rusak berbintik-bintik hitam. Air mataku juga mengalir tak mampu kutahan. Buaya ini satu-satunya cinta dalam hidupnya yang terbuang, dalam dunianya yang sunyi senyap. Ia mengucapkan ratapan yang tak jelas dari mulutnya yang gagu. Ia mengikat sang buaya, membawanya ke sungai, menyeret bangkai ayahnya itu sepanjang pinggiran sungai menuju ke muara. Bodenga tak pernah kembali lagi. Bodenga dalam fragmen sore itu menciptakan cetak biru rasa belas kasihan dan kesedihan di alam bawah sadarku. Mungkin aku masih terlalu kecil utnuk menyaksikan tragedi sepedih itu. Ia mewakili sesuatu yang gelap di kepalaku. Pada tahun-tahun mendatang bayangannya sering mengunjungiku. Jika aku dihadapkan pada situasi yang menyedihkan maka perlahan-lahan ia akan hadir, mewakili semua citra kepedihan di dalam otakku. Maka sore itu sesungguhnya Bodenga telah mengajariku ilmu firasat. Ia juga yang pertama kali memeprlihatkan padaku bahwa nasib bisa memperlakukan manusia dengan sangat buruk, dan cinta bisa menjadi demikian buta. Lintang memang tak memiliki pengalaman emosional dengan Bodenga seperti yang aku alami, tapi bukan baru sekali itu ia dihadang buaya dalam perjalanan ke sekolah. Dapat dikatakan tak jarang Lintang mempertaruhkan nyawa demi menempuh 71 Laskar Pelangi

pendidikan, namun tak sehari pun ia pernah bolos. Delapan puluh kilometer pulang pergi ditempuhnya dengan sepeda setiap hari. Tak pernah mengeluh. Jika kegiatan sekolah berlangsung sampai sore, ia akan tiba malam hari di rumahnya. Sering aku merasa ngeri membayangkan perjalan annya. Kesulitan itu belum termasuk jalan yang tergenang air, ban sepeda yang bocor, dan musim hujan berkepanjangan dengan petir yang menyambar-nyambar. Suatu hari rantai sepedanya putus dan tak bisa disambung lagi karena sudah terlalu pendek sebab terlalu sering putus, tapi ia tak menyerah. Dituntunnya sepeda itu puluhan kilometer, dan sampai di sekolah kami sudah bersiap-siapakan pulang. Saat itu adalah pelajaran seni suara dan dia begitu bahagia karena masih sempat menyan yikan lagu Padamu Negeri Di depan kelas. Kami termenung mendengarkan ia bernyanyi dengan sepenuh jiwa, tak tampak kelelahan di matanya yang berbinar jenaka. Setelah itu ia pulang dengan menuntun sepedanya lagi sejauh empat puluh kilometer. Pada musim hujan lebat yang bisa mengubah jalan menjadi sungai, menggenangi daratan dengan air setinggi dada, membuat guruh dan halilintar membabat pohon kelapa hingga tumbang bergelimpangan terbelah dua, pada musim panas yang begitu terik hingga alam memuai ingin meledak, pada musim badai yang membuat hasil laut nihil hingga berbulan-bulan semua orang tak punya uang sepeser pun, pada musim buaya berkembang biak sehingga mereka menjadi semakinganas, pada musim angin barat putting beliung, pada musim demam, pada musim sampar—sehari pun Lintang tak pernah bolos. Dulu ayahnya pernah mengira putranya itu akan takluk pada minggu-minggu pertama sekolah dan prasangka itu terbukti keliru. Hari demi hari semangat Lintang bukan semakin pudar tapi malah meroket karena ia sangat mencintai sekolah, mencintai teman- temannya, menyukai persahabatan kami yang mengasyikkan, dan mulai kecanduan pada daya tarik rahasia-rahasia ilmu. Jika tiba di rumah ia tak langsung beristirahat melainkan segera ber gabung degan anak-anak seusia di kampungnya untuk bekerja sebagai kuli kopra. Itulah penghasilan sampingan keluarganya dan juga sebagai 72 Laskar Pelangi

kompensasi terbebasnya dia dari pekerjaan di laut serta ganjaran yang ia dapat dari “kemewahan” bersekolah. Ayahnya, yang seperti orang Bushman itu, sekarang menganggap keputusan menyekolahkan Lintang adalah keputusan yang tepat, paling tidak ia senang melihat semangat anaknya menggelegak. Ia berharap suatu waktu di masa depan nanti Lintang mampu menyekolahkan lima orang adik-adiknya yang lahir setahun sekali sehingga berderet-deret rapat seperti pagar, dan lebih dari itu ia berharap Lintang dapat mengeluarkan mereka dari lingkaran kemiskinanyang telah lama mengikat mereka hingga sulit bernapas. Maka ia sekuat tenaga mendukung pendidikan Lintang dengan cara-caranya sendiri, sejauh kemampuannya. Ketika kelas satu dulu pernah Lintang menanyakan kepada ayahnya sebuah persoalan perkerjaan rumah kali-kalian sederhana dalam mata pelajaran berhitung. “Kemarilah Ayahanda … berapa empat kali empat?. Ayahnya yang buta huruf hilir mudik. Memandang jauh ke laut luas melalui jendela, lalu ketika Lintang lengah ia diam-diam menyelinap keluar melalui pintu belakang. Ia meloncat dari rumah panggungnya dan tanpa diketahui Lintang ia berlari sekencang- kencangnya menerabas ilalang. Laki-laki cemara anginitu berlari pontang- panting sederas pelanduk untuk minta bantuan orang- orang di kantor desa. Lalu secepat kilat pula ia menyelinap ke dalam rumah dan tiba-tiba sudah berada di depan Lintang. “Em … emm… empat belasss … bujangku … tak diragukan lagi empat belasss .. tak lebih tak kurang …,” jawab beliau sembari tersengal-sengal kehabisan napas tapi juga tersenyum lebar riang gembira. Lintang menatap mata ayahnya dalam-dalam, rasa ngilu menyelinap dalam hatinya yang masih belia, rasa ngilu yang mengikrarkan nazar aku harus jadi manusia pintar , karena Lintang tahu jawaban itu bukan datang dari ayahnya. Ayahnya bahkan telah salah mengutip jawaban pegawai kantor desa. Enam belas, itulah seharusnya jwaban nya, tapi yang 73 Laskar Pelangi

diingat ayahnya selalu hanya angka empat belas, yaitu jumlah nyawa yang ditanggungnya setiap hari. Setelah itu Lintang tak pernah lagi minta bantuan ayahnya. Mereka tak pernah membahas kejadian itu. Ayahnya diam-diam maklum dan mendukung Lintang dengan cara lain, yakni memberikan padanya sebuah sepeda laki bermerk Rally Robinson, made in England . Sepeda laki adalah sebutan orang Melayu untuk sepeda yang biasa dipakai kaum lelaki. Berbeda dengan sepeda bini, sepeda laki lebih tinggi, ukurannya panjang, sadelnya lebar, keriningannya lebih maskulin, dan di bagian tengahnya terdapat batang besi besar yang tersambung antara sadel dan setang. Sepeda ini adalah harta warisan keluarga turun-temurun dan benda satu- satunya yang paoling berharga di rumah mereka. Lintang menaiki sepeda itu dengan terseok-seok. Kakinya yang pendek menyebabkan ia tidak bisa duduk di sadel, melainkan di atas batang sepeda, dengan ujung-ujung jari kaki menjangkau-jangkau pedal. Ia akan beringsut-ingsut dan terlonjak-lonjak hebat di atas batangan besi itu sambil menggigit bibirnya, mengumpulkan tenaga. Demikian perjuangannya mengayuh sepeda ke pulang dan pergi ke sekolah, delapan puluh kilometer setiap hari. Ibu Lintang, seperti halnya Bu Mus dan Sahara adalah seorang N.A. Itu adalah singkatan dari Nyi Ayu, yakni sebuah gelar bangsawan kerajaan lama Belitong khusus bagi wanita dari ayah seorang K.A. atau Ki Agus. Adat istiadat menyarankan agar gelar itu diputus pada seorang wanita sehingga Lintang dan adik-adik per empuannya tak menyandang K.A. atau N.A. di depan nama-nama mereka. Meskipun begitu, tak jarang pria-pria keturunan N.A. menggunakangelar K.A., dan hal itu bukanlah persoalan karena gelar-gelar itu adalah identitas kebanggaan sebagai orang Melayu Belitong asli. Jika benar kecerdasan bersifat genetik maka kecerdasan Lintang pasti mengalir dari keturunan nenek mo yang ibunya. Meskipun buta huruf dan kurang beruntung karena waktu kecil terkena polio sehingga salah satu kakinya tak bertenaga, tapi ibu Lintang berada dalam garis langsung silsilah K.A. Cakraningrat Depati Muhammad Rahat, seseorang bangsawan cerdas anggota 74 Laskar Pelangi

keluarga Sultan Nangkup. Sultan ini adalah utusan Kerajaan Mataram yang membangun keningratan di tanah Belitong. Beliau membentuk pemerintahan dan menciptakan klan K.A. dan N.A. itu. Anak cucunya tidak diwarisi kekuasaan dan kekayaan tapi kebijakan, syariat Islam, dan kecendekiawanan. Maka Lintang sesungguhnya adalah pewaris darah orang-orang pintar masa lampau. Meskipun tak bisa membaca, ibu Lintang senang sekali melihat barisan huruf dan angka di dalam buku Lintang. Beliau tak peduli, atau tak tahu, jika melihat sebuah buku secara terbalik. Di beranda rumahnya beliau merasa takjub mengamati rangkaian kata dan terkagum-kagum bagaimana baca-tulis dapat mengubah masa dep an seseorang. Beranda itu sendiri merupakan bagian dari gubuk panggung dengan tiang-tiang tinggi untuk berjaga-jaga jika laut pasang hingga meluap jauh ke pesisir. Adapun gubuk ini merupakan bagian dari pemukiman komunitas orang Melayu Belitong yang hidup di sepanjang pesisir, mengikuti kebiasaan leluhur mereka para penggawa dan kerabat kerajaan. Oleh karena itu, dalam lingkungan Lintang banyak bersemayam keluarga- keluarga K.A. dan N. A. Gubuk itu beratap daun sagu dan berdinding lelak dari kulit pohon meranti. Apa pun yang dilakukan orang di dalam gubuk itu dapat dilihat dari luar karena dinding kulit kayu yang telah berusia puluhan tahun merekah pecah seperti lumpur musim kemarau. Ruangan di dalamnya sempit dan berbentuk memanjang dengan dua pintu di depan dan belakang. Seluruh pintu dan jendela tidak memiliki kunci, jika malam mereka ditutup dengan cara diikatkan padakusennya. Benda di dalam rumah itu ada enam macam: beberapa helai tikar lais dan bantal, sajadah dan Al-Qur’an, sebuah lemari kaca kecil yang sudah tidak ada lagi kacanya, tungku dan alat-alat dapur, tumpukan cucian, dan enam ekor kucing yang dipasangi kelintingan sehinga rumah itu bersuara gemerincing sepanjang hari. Di luar bangunan sempit memanjang tadi ada semacam pelataranyang digunakan oleh empat orang tua untuk menjalin 75 Laskar Pelangi

pukat. Bagian ini hanya ditutupi beberapa keping papan yang disandarkan saja pada dahan-dahan kapuk yang menjulur-julur, bahkan untuk memaku papan-papan itu pun keluarga ini tak punya uang. Empat orang tua itu adalah bapak dan ibu dari bapak dan ibu Lintang. Semuanya sudah sepuh dan kulit mereka keriput sehingga dapat dikumpulkan dan digenggam. Jika tidak sedang menjalin pukat, keempat orang itu duduk menekuri sebuah tampah memunguti kutu-kutu dan ulat-ulat lentik di antara bulir-bulir beras kelas tiga yang mampu mereka beli, berjam-jam lamanya karena demikian banyak kutu dan ulat pada beras buruk itu. Selain empat orang itu ikut pula dalam keluarga ini dua orang adik laki-laki ayah Lintang, yaitu seorang pria mudayang kerjanya hanya melamun saja sepanjang hari karena agak terganggu jiwanya dan seorang bujang lapuk yang tak dapat bekerja keras karena menderita burut akibat persoalan kand ung kemih. Maka ditambah lima adik perempuan Lintang, Lintang sendiri, dan kedua orangtuan ya, seluruhnya berjumlah empat belas orang. Mereka hidup bersama, berdesak-desakan di dalam rumah sempit memanjang itu. Empat orangtua yang sudah sepuh, dua adik laki-laki yang tak dapat diharapkan, semua ini membuat keempat belas itu kelangsungan hidupnya dipanggul sendiri oleh ayah Lintang. Setiap hari beliau menunggu tetangganya yang memiliki perahu atau juragan pukat harimau memintanya untuk membantu mereka di laut. Beliau tidak mendapatkan persentasi dari berapa pun hasil tangkapan, tapi memperoleh upah atas kekuatan fisiknya. Beliau adalah orang yang mencari nafkah dengan menjual tenaga. Tambahan penghasilan sesekali beliau dapat dari Lintang yang sudah bisa menjadi kuli kopra dan anak-anak perempuannya yang mengumpulkan kerang saat angin teduh musim selatan. Lintang hanya dapat belajar setelah agak larut karena rumahnya gaduh, sulit menemukan tempat kosong, dan karena harus berebut lampu minyak. Namun sekali ia memegang buku, terbanglah ia meninggalkangubuk doyong berdinding kulit itu. Belajar adalah hiburan yang membuatnya lupa pada seluruh penat dan kesulitan hidup. Buku baginya adalah obat dan sumur kehidupan yang airnya selalu memberi kekuatan baru agar ia mampu mengayuh sepeda menantang angin setiap hari. Jika 76 Laskar Pelangi

berhdapan dengan buku ia akan terisap oleh setiap kalimat ilmu yang dibacanya, ia tergoda oleh sayap-sayap kata yang diucapkan oleh para cerdik cendekia, ia melirik maksud tersembunyi dari sebuah rumus, sesuatu yang mungkin tak kasat mata bagi orang lain. Lalu pada suatu ketika, saat hari sudah jauh malam, di bawah temaram sinar lampu minyak, ditemani deburan ombak pasang, dengan wajah mungil dan matanya yang berbinar-biran, jari-jari kurus Lintang membentang lembar demi lembar buku lusuh stensilan berjudul Astronomi dan Ilmu Ukur. Dalam sekejap ia tenggelam dilamun kata- kata ajaib pembangkangan galileo Galilei terhadap kosmologi Aristoteles, ia dimabuk rasa takjub pada gagasangila para astronom zaman kuno yang terobsesi ingin mengukur berapa jarak bumi ke Andromeda dan nebula-nebula Triangulum. Lintang menahan napas ketika membaca bahwa gravitasi dapat membelokkan cahaya saat mempelajari tentang analisis spektral yang dikembangkan untuk studi bintang gemintang, dan juga saat tahu mengenai teori Edwin Hubble yang menyatakan bahwa alam hidup mengembang semakin membesar. Lintang terkesima pada bintang yang mati jutaan tahun silam dan ia terkagum-kagum pada pengembaraan benda-benda langit di sudut- sudut gelap kosmos yang mungkin hanya per nah dikunjungi oleh pemikiran-pemikiran Nicolaus Copernicus dan Isaac Newton. Ketika sampai pada Bab Ilmu Ukur ia tersenyum riang karena nalarnya demikian ringan mengikuti logika matematis pada simulasi ruang berbagai dimensi. Ia dengan cepat segera menguasai dekomposisi tetrahedral yang rumit luar biasa, aksioma arah, dan teorema Phytagorean. Semua materi ini sangat jauh melampaui tingkat usia dan pendidikannya. Ia merenungkan ilmu yang amat menarik ini. Ia melamun dalam lingkar temaram lampu minyak. Dan tepat ketika itu, dalam kesepian malam yang mencekam, lamunannya sirna karena ia terkejut menyaksikan keanehan di atas lembar- lembar buram yang dibacanya. Ia terheran-heran menyaksikan angka-angka tua yang samar di lembaran itu seakan bergerak-gerak hidup, menggeliat, berkelap-kelip, lalu menjelma menjadi kunang-kunang yang ramai beterbangan memasuki pori- pori kepalanya. Ia tak sadar bahwa saat itu arwah para pendiri 77 Laskar Pelangi

geometri sedang tersenyum padanya dan Copernicus serta Lucretius sedang duduk di sisi kiri dan kanannya. Di sebuah rumah panggung sempiot, di sebuah keluarga Melayu pedalaman yang sangat miskin, nun jauh di pinggir laut, seorang genius alami telah lahir. Esoknya di sekolah Lintang heran melihat kami yang kebingungan dengan persoalan jurusan tiga angka. “Apa, sih yang dipusingkan orang-orang kampung ini dengan arah anginitu?” Demikian suara dari dalam hatinya. Seperti juga kebodohanyang sering tak disadari, beberapa orang juga tak menyadari bahwa dirinya telah terpilih, telah ditakdirkan Tuhan untuk ditunangkan dengan ilmu. 78 Laskar Pelangi

Bab 11 Langit ketujuh KEBODOHAN berbentuk seperti asap, uapair, kabut. Dan ia beracun. Ia berasal dari sebuah tempat yang namanya tak pernah dikenal manusia. Jika ingin menemui kebodohan maka berangkatlah dari tempat di mana saja di planet biru ini dengan menggunakan tabung roket atau semacamnya, meluncur ke atas secara vertikal, jangan pernah sekali pun berhenti. Gapailah gumpalan awan dalam lapisan troposfer, lalu naiklah terus menuju stratosfer, menembus lapisan ozon, ionosfer, dan bulan-bulan di planet yang asing. Meluncurlah terus sampai ketinggian di mana gravitasi bumi sudah tak peduli. Arungi samudra bintang gemintang dalam suhu dingin yang mampu meledakkan benda padat. Lintasi hujan meteor sampai tiba di eksosfer—lapisan paling luaratmosfer dengan bentangan selebar 1.200 kilometer, dan teruslah melaju menaklukkan langit ketujuh. Kita hanya dapat menyebutnya langit ketujuh sebagai gambaran imajiner tempat tertinggi dari yang paling tinggi. Di tempat asing itu, tempat yang tak ‘kan pernah memiliki nama, di atas langit ke tujuh, di situlah kebodohan bersemanyam. Rupanya seperti kabut tipis, seperti asap cangklong, melayang-layang pelan, memabukkan .makaapabila kita tanyakan sesuatu kepada orang- 79 Laskar Pelangi

orang bodoh, mereka akan menjawab dengan merancau, menyembunyikan ketidaktahuannya dalam omongan cepat, mencari beragam alasan, atau membelokkan arah pertanyaan. Sebagaian yang lain diam terpaku, mulutnya ternganga, ia diselubungi kabut dengan tatapan mata yang kosong dan jauh. Kedua jenis reaksi ini adalah akibat keracunan asap tebal kebodohan yang mengepul di kepala mereka. Kita tak perlu men empuh ekspedisi gila-gilaan itu. Karena seluruh lapisan langit dan gugusan planit itu sesungguhnya terkonstelasi di dalam kepala kita sen diri. Apa yang ada pada pikiran kita, dalam gumpalan otak seukurangenggam, dapat menjangkau ruang seluas jagat raya. Para pemimpi seperti Nicolaus Copernicus, Battista Della Porta, dan Lippershey malah menciptakan jagat rayanya sendiri, di dalam imajinasinya, dengan sistem tata suryanya sendiri, dan Lucretius, juga seoerang pemimpi, menuliskan ilmu dalam puisi-puisi. Tempat di atas langit ketujuh, tempat kebodohan bersemanyam, adalah metafor dari suatu tempat di mana manusia tak bisa mempertanyakan zat-zat Allah. Setiap usaha mempertanyakannya hanya akan berujung dengan kesimpulan yang mempertontonkan kemahatololan sang penanya sendiri. Maka semua jangkauan akal telah berakhir di langit ketujuh tadi. Di tempat asing tersebut, barangkali Arasy, di sana kembali metafor kagungan Tuhan bertakhta. Di bawah takhta-Nya tergelar Lauhul Mahfuzh, muara dari segala cabang anak-anak sungai ilmu dan kebijakan, kitab yang telah mencatat setiap lembar daunyang akan jatuh. Ia juga menyimpan rahasia ke mana nasibakan membawa sepuluh siswa baru perguruan Muhammadiyah tahun ini. Karena takdir dan nasib termasuk dalam zat-Nya. Tuhan menakdirkan orang-orang tertentu untuk memiliki hati yang terang agar dapat memberi pencerahan pada sekelilingnya. Dan di malam yang tua dulu ketika Copernicus dan Lucretius duduk di samping Lintang, ketika angka-angka dan huruf menjelma menjadi kunang-kunang yang berkelap-kelip, saat itu Tuhan menyemaikan bijizarah klecerdasan, zarah yang jatuh dari langit dan menghantam kening Lin tang. 80 Laskar Pelangi

Sejak hari perkenalan dulu aku sudah terkagum-kagum pada Lintang. Anak pengumpul kerang ini pintar sekali. Matanya menyala-nyala memancarkan inteligensi, keingintahuan menguasai dirinya seperti orang kesurupan. Jarinya tak pernah berhenti mengacung tanda ia bisa menjawab. Kalau melipat dia paling cepat, kalau membaca dia paling hebat. Ketika kami masih gagap menjumlahkan angka-angka genap ia sudah terampil mengalikan angka-angka ganjil. Kami baru saja bisa mencongak, dia sudah pintar membagi angka desimal, menghitung akar dan menemukan pangkat, lalu, tidak hanya menggunakan, tapi juga mampu menjelaskan hubungan keduanya dalam tabel logaritma. Kelemahannya, aku tak yakin apakah hal ini bisa disebut kelemahan, adalah tulisannya yang cakarayam tak keruan, tentu karena mekanisme motorik jemarinya tak mampu mengejar pikiran nya yang berlari sederas kijang. “13 kali 6 kali 7 tambah 83 kurang 39!” tantang Bu Mus di depan kelas. Lalu kami tergopoh-gopoh membuka karet yang mengikat segenggam lidi, untuk mengambil tiga belas lidi, mengelompokkannya menjadi enam tumpukan, susah payah menjumlahkan semua tu mpukan itu, hasilnya kembali disusun menjadi tujuh kelompok, dihitung satu per satu sebagai total dua tahap perkalian, ditambah lagi 83 lidi lalu diambil 39. Otak terlalu penuh untuk mengorganisasi sinyal-sinyal agar mengambil tindakan praktis mengurangkan dulu 39 dari 83. Menyimpang sedikit dari urutan cara berpikir orang kebanyakan adalah kesalahan fatal yang akan mengacaukan ilmu hitung aljabar. Rata-rata dari kami menghabiskan waktu hampir selama 7 menit. Efektif memang, tapi tidak efisien, repot sekali. Sementara Lintang, tidak memegang sebatang lidi pun, tidak berpikir dengan cara orang kebanyakan, hanya memjamkan matanya sebentar, tak lebih dari 5 detik ia bersorak. “590!. 81 Laskar Pelangi

Tak sebiji pun meleset, meruntuhkan semangat kami yang sedang belepotan memegangi potongan lidi, bahan belum selesai dengan operasi perkalian tahap pertama. Aku jengkel tapi kagum. Waktu itu kami baru masuk hari pertama di kelas dua SD! “Superb ! Anak pesisir, superb !” puji Bu Mus. Beliau pun tergoda untuk menjangkau batas daya pikir Lintang. “18 kali 14 kali 23 tambah 11 tambah 14 kali 16 kali 7!. Kami berkecil hati, temangu-mangu menggenggami lidi, lalu kurang dari tujuh detik, tanpa membuat catatan apa pun, tanpa keraguan, tanpa ketergesa-gesaan, bahkan tanpa berkedip, Lintang berkumandang. “651.952!. “Purnama! Lintang, bulan purnama di atas Dermaga Olivir, indah sekali! Itulah jawabanmu, ke mana kau bersembunyi selama ini …?. Ibu Mus bersusah payah menahan tawanya. Ia menatap Lintang seolah telah seumur hidup mencari murid seperti ini. Ia tak mungkin tertawa lepas, agama melarang itu. Ia menggeleng- gelengkan kepalanya. Kami terpesona dan bertanya-tanya bagaimana cara Lintang melakukan semua itu. Dan inilah resepnya …. “Hafalkan luar kepala semua perkalian sesama angka ganjil, itulah yang sering menyusahkan. Hilangkan angka satuan dari perkalian dua angka puluhan karena lebih mudah mengalikan dengan angka berujung nol, kerjakan sisanya kemudian, dan jangan kekenyangan kalau makan malam, itu akan membuat telingamu tuli dan otakmu tumpul!” Polos, tapi ia telah menunjukkan kualifikasi highly cognitive complex dengan mengembangkan sendiri teknik- teknik melokalisasi kesulitan, menganalisis, dan memecahkannya. Ingat dia baru kelas dua SD dan ini adalah hari pertamanya. Selainitu ia juga telah mendemonstrasikan kualitas nalar kuantitatif level tinggi. Sekarang aku mengerti, aku sering melihatnya berkonsentrasi memandangi angka-angka. Saat itu dari keningnya 82 Laskar Pelangi

seolah terpancar seberkas sinar, mungkinitulah cahaya ilmu. Anak semuda itu telah mampu mengontemplasikan bagaimana angka- angka saling bereaksi dalam suatu operasi matematika. Kontemplasi- kontemplasi ini rupanya melahirkan resep ajaib tadi. Lintang adalah pribadi yang unik. Banyak orang merasa dirinya pin tar lalu bersikap seenaknya, congkak, tidak disiplin, dan tak punya integritas. Tapi Lintang sebaliknya. Ia tak pernah tinggi hati, karena ia merasa ilmu demikian luas untuk disombongkan dan menggali ilmu tak akan ada habis-habisnya. Meskipun rumahnya paling jauh tapi kalau datang ia paling pagi. Wajah manisnya senantiasa bersinar walaupun baju, celana, dan sandal cunghai -nya buruknya minta ampun. Namun sungguh kuasa Allah, di dalam tempurung kepalanya yang ditumbuhi rambut gimbal awut-awutan itu tersimpan cairan otak yang encer sekali. Pada setiap rangkaian kata yang ditulisnya secara acak-acakan tersirat kecemerlangan pemikiran yang gilang gemilang. Di balik tubuhnya yang tak terawat, kotor, miskin, serta berbau hangus, dia memiliki an absolutely beautiful mind . Ia adalah buah akal yang jernih, bibit genius asli, yang lahir di sebuah tempat nun jauh di pinggir laut, dari sebuah keluarga yang tak satu pun bisa membaca. Lebih dari itu, seperti dulu kesan pertama yang kutangkap darinya, ia laksana bunga meriam yang melontarkan tepung sari. Ia lucu, semarak, dan penuh vitalitas. Ia memperlihatkan bagaimana ilmu bisa menjadi begitu menarik dan ia menebarkan hawa positif sehingga kami ingin belajar keras dan berusaha menunjukkan yang terbaik. Jika kami kesulitan, ia mengajari kami dengan sabar dan selalu membesarkan hati kami. Keunggulannya tidak menimbulkan perasaan terancam bagi sekitarnya, kecemerlangannya tidak menerbitkan iri dengki, dan kehebatannya tidak sedikit pun mengisyaratkan sifat-sifat angkuh. Kami bangga dan jatuh hati padanya sebagai seorang sahabat dan sebagai seorang murid yang cerdas luar biasa. Lintang yang miskin duafa adalah mutiara, galena, kuarsa, dan topas yang paling berharga bagi kelas kami. Lintang selalu terobsesi dengan hal-hal baru, setiap informasi adalaha sumbu ilmu yang dapat meledakkan rasa ingin tahunya 83 Laskar Pelangi

kapan saja. Kejadian ini terjadi ketika kami kelas lima, pada hari ketika ia diselamatkan oleh Bodenga. “Al-Qur’an kadangkala menyebut nama tempat yang harus diterjemahkan dengan teliti ….” Demikian penjelasan Bu Mus dalam tarikh Islam, pelajaran wajib perguruan Muhammadiyah. Jangan harap naik kelas kalau mendapat angka merah untuk ajaran ini. “Misalnya negeri yang terdekat yang ditaklukkan tentara Persia pada tahun ….” “620 Masehi! Persia merebut kekaisaran Heraklius yang juga berada dalam ancaman pemberontakan Mesopotamia, Sisilia, dan Palestina. Ia juga diserbu bangsa Avar, Slavia, dan Armenia ….. Lintang memotong penuh minat, kami ternganga-nganga, Bu Mus tersenyum senang. Beliau menyampingkan ego. Tak keberatan kuliahnya dipotong. Beliau memang menciptakan atmosfer kelas seperti ini sejak awal. Memfasilitasi kecerdasan muridnya adalah yang paling penting bagi beliau. Tidak semua guru memiliki kualitas seperti ini. Bu Mus menyambung, “Negeri yang terdekat itu ….. “Byzantium! Namakuno untuk Konstantinopel, mendapat nama belakangan itu dari The Great Constantine. Tujuh tahun kemudian negeri itu merebut lagi kemerdekaannya, kemerdekaanyang diingatkan dalam kitab suci dan diingkari kaum musyrik Arab, mengapa ia disebut negeri yang terdekat Ibunda Guru? Dan mengapa kitab suci ditentang?. “Sabarlah anakku, pertanyaanmu menyangkut pernjelasan tafsir surah Ar-Ruum dan itu adalah ilmu yang telah berusia paling tidak seribu empat ratus tahun. Tafsir baru akan ktia diskusikan nanti kalau kelas dua SMP….. “Tak mau Ibunda, pagi ini ketika berangkat sekolah aku hampir diterkam buaya, maka aku tak punya waktu menunggu, jelaskan di sini, sekarang juga! ” Kami bersorak dan untuk pertama kalinya kami mengerti makna adnal ardli , yaitu tempat yang dekat atau negeri yang terdekat dalam arti harfiah dan tempat paling 84 Laskar Pelangi

rendah di bumi dalam konteks tafsir, tak lain dari Byzantium di kekaisaran Roma sebelah timur. Kami bersorak tentu bukan karena adnal ardli , apalagi Byzantium yang merdeka, tapi karena kagum dengan sikap Lintang menantang intelektualitasnya sendiri. Kami merasa beruntung menjadi saksi bagaimana seseorang tumbuh dalam evolusi inteligensi. Dan ternyata jika hati kita tulus berada di dekat orang berilmu, kita akan disinari pancaran pencerahan, karena seperti halnya kebodohan, kepintaran pun sesungguhnya demikian mudah menjalar. ORANG cerdas memahami konsekuensi setiap jawaban dan menemukan bahwa di balik sebuah jawaban tersembunyi beberapa pertanyaan baru. Pertanyaan baru tersebut memiliki pasangan sejumlah jawaban yang kembali akan membawa pertanyaan baru dalam deretan eksponensial. Sehingga mereka yang benar-benar cerdas kebanyakan rendah hati, sebab mereka gamang pada akibat dari sebuah jawaban. Konsekuensi-konsekuensi itu mereka temui dalam jalur-jalur seperti labirin, jalur yang jauh menjalar- jalar, jalur yang tak dikenal di lokus-lokus antah berantah, tiada ber ujung. Mereka mengarungi jalur pemikiran ini, tersesat di jauh di dalamnya, sendirian. Godaan-godaan besar bersemayam di dalam kepala orang- orang cerdas. Di dalamnya gaduh karena penuh dengan skeptisisme. Selesai menyerahkan tugas kepada dosen, mereka selalu merasa tidak puas, selalu merasa bisa berbuat lebih baik dari apa yang telah mereka presentasikan. Bahkan ketika mendapat nilai A plus tertinggi, merek amasih saja mengutuki dirinya sep anjang malam. Orang cerdas berdiri di dalam gelap, sehingga mereka bisa melihat sesuatu yangtak bisa dilihat orang lain. Mereka yang tak dipahami oleh lingkungannya, terperangkap dalam kegelapan itu. Semakin cerdas, semakin terkucil, semakin aneh mereka. Kita menyebut mereka: orang-orang yang sulit. Orang-orang sulit ini tak berteman, dan mereka berteriak putus asa memohon pengertyian. Ditambah sedikit saja dengan sikap introver, maka orang-orang cerdas semacam ini tak jarang berakhir di sebuah kamar dengan perabot berwarna teduh dan musik klasik yang terdengar lamat- lamat, itulah ruang terapi kejiwaan. Sebagian dari mereka amat menderita. 85 Laskar Pelangi

Sebaliknya, orang-orang yang tidak cerdas hidupnya lebih bahagia. Jiwanya sehat walafiat. Isi kepalanya damai, tenteram, sekaligu s sepi, karena tak ada apa-apa di situ, kosong. Jika ada suara memasuki telinga mereka, maka suara itu akan terpantul- pantul sendirian di dalam sebuah ruangan yang sempit, berdengung-dengung sebentar, lalu segera keluar kembali melalui mulut mereka. Jika menyerahkan tugas, mereka puas sekali karena telah berhasil memenuhi batas akhir, dan ketika mendapat nilai C, mereka tak henti-hentinya bersyukur karena telah lulus. Mereka hidup di dalam terang. Sebuah senter menyiramkan sinar tepat di atas kepala mereka dan pemikiran mereka hanya sampai pada batas lingkaran cahaya senter itu. Di luar itu adalah gelap. Mereka selalu berbicara keras-keras karena takut akan kegelapan yang mengepung mereka. Bagi sebagian orang, ketidaktahuan adalah berkah yang tak terkira. Aku pernah mengen al berbagai jenis orang cerdas. Ada orang genius yang jika menerangkan sesuatu lebih bodoh dari orang yang p aling bodoh. Semakin keras ia berusaha menjelaskan, semakin bingung kita dibuatnya. Hal ini biasanya dilakukan oleh mereka yang sangat cerdas. Ada pula yang kurang cerdas, bahkan bodoh sebenarnya, tapi kalau bicara ia terlihat paling pintar. Ada orang yang memiliki kecerdasan sesaat, kekuatan menghafal yang fotografis, namun tanpa kemampuan analisis. Ada juga yang cerdas tapi berpura-pura bodoh, dan elbih banyak lagi yang bodoh tapi berpura-pura cerdas. Namun, sahabatku Lintang memiliki hampir semua dimensi kecerdasan. Dia seperti toko serba ada kepandaian. Yang paling menonjol adalah kecerdasan spasialnya,sehingga ia sangat unggul dalam geometri multidimensional. Ia dengan cepat dapat membayangkan wajah sebuah konstruksi suatu fungsi jika digerak - gerakkan dalam variabel derajat. Ia mampu memecahkan kasus- kasus dekomposisi modern yang runyam dan mengajari kami teknik menghitung luas poligon dengan cara membongkar sisi- sisinya 86 Laskar Pelangi

sesuai Dalil Geometri Euclidian. Ingin kukatakan bahwa ini sama sekali bukan perkara mudah. Ia sering membuat permainan dan mendesain visualisasi guna menerjemahkan rumusangeometris pada tingkat kesulitan yang sangat tinggi. Tujuannya agar gampang disimulasikan sehingga kami sekelas dapat dengan mudah memahami kerumitan Teorema Kupu- Kupu atau Teorema Morley yang menyatakan bahwa pertemuan segitiga yang ditarik dari trisektor segitiga bentuk apa pun akan membentuk segitiga inti yang sama sisi. Semua itu dilengkapinya dengan bukti-bukti matematis dalam jangkauan analisis yang melibatkan kemampuan logika yang sangat tinggi. Ini juga sama sekali bukan urusan mudah, terutama untuk tingkat pendidikan serendah kami serta. Dan mengingat kopra makakuanggapapa yang dilaku kan Lintang sangat luar biasa. Lintang juga cerdas secara experiential yang membuyatnya piawai menghubungkan setiap informasi dengan konteks yang lebih luas. Dalam kaitan ini, ia memiliki kapasitas metadiscourse selayaknya orang-orang yang memang dilharikan sebagai seorang genius. Artinya adalah jika dalam pelajaran biologi kami baru mempelajari fungsi-fungsi otot sebagai subkomponen yang membentuk sistem mekanik parsial sepotong kaki maka Lintang telah memahami sistem mekanika seluruh tubuh dan ia mampu menjelaskan peran sepotong kaki itu dalam keseluruhan mekanika persendian dan otot-otot yang terintegrasi. Kecerdasannya yang lain adalah kecerdasan linguistik. Ia mudah memahami bahasa, efektif dalam berkomunikasi, memiliki nalar verbal dan logikakualitatif. Ia juga mempunyai descriptive power , yakni suatu kemampuan menggambarkan sesuatu dan mengambil contoh yang tepat. Pengalamanku dengan pelajaran bahasa Inggris di hari- hari pertama kelas 2 SMP nanti membuktikan hal itu. Saat itu aku mendapat kritikan tajam dari ayahku karena nilai bahasa Inggris yang tak kunjung membaik. Aku pun akhirnya menghadap pemegang kunci pintu ilmu filsafat untuk mendapat satu dua resep ajaib. Aku keluhkan kesulitanku memahami tense . “Kalautak salah jumlahnya sampai enam belas, dan jika ia sudah berada dalam sebuah narasi aku ekhliangan jejak dalam 87 Laskar Pelangi

konteks tense apa aku berada? Pun ketika ingin membentuk sebuah kalimat, bingung aku menentukan tense -nya. Bahasa Inggrisku tak maju-maju.. “Begini,” kata Lintang sabar menghadapi ketololanku. Ketika itu ia sedang memaku sandal cungha i -nya yang menganga seperti buaya lapar. Kupikir ia pasti mengira bahwa aku mengalami disorientasi waktu dan akan menjelaskan makna tense secara membosankan. Tapi petuahnya sungguh tak kuduga. “Memikirkan struktur dan dimensi waktu dalam sebuah bahasa asing yang baru saja kita kenal tidak lebih dari hanya akan merepotkan diri sendiri. Sadarkah kau bahasa apa pun di dunia ini, di mana pun, mulai dari bahasa Navajo yang dipakai sebagai sandi tak terpecahkan di perang dunia kedua, bahsa Gaelic yang amat langka, bahasa Melayu pesisir yang berayun-ayun, sampai bahasa Mohican yang telah punah, semuanya adalah kumpulan kalimat, dan kalimat tak lain adalah kumpulan kata=kata, paham kau sampai di sini?. Aku mengangguk, semua oarng tahu itu. Lalu ia melanjutkan, “Nah, kata apa pun, pada dasarnya adalah kata ben da, kata kerja, kata sifat, dan kata keterangan, paham? Ini bukan masalah bahasa yang sulit tapi masalah cara berpikir.. Sekarang mulai menarik. “Berangkatlah dari sana, pelajari bagaimana menggunakan kata benda, kata kerja, kata sifat, dan kata keterangan dalam sebuah kalimat Inggris, itu saja, Kal. Tak lebih dari itu!. Belajar kata terlebih dulu, bukan belajar bahasa, itulah inti paradigma belajar bahsa Inggris versi Lintang. Sebuah ide cemerlang yang hanya terpikirkan oleh orang- orang yang memahami prinsip-prinsip belajar behasa. Dengan paradigma ini aku mengalami kemajuan pesat, bukan hanya karena aku dapat mempelajari bahsa Inggris dengan bantuan analogi bahasa Indonesia, tapi petuahnya mampu melenyapkan sugesti kesulitan belajar bahasa asing yang umum melanda siswa-siswa daerah. 88 Laskar Pelangi

Bahwa bahasa, baik lokal maupun asing, adalah permainan kata- kata, tak lebih dari itu! Setelah aku mampu membangun konstruksiku sendiri dalam memahami kalimat- kalimat Inggris, kemudain Lintang menunjukkan cara meningkatkan kualitas tata bahasaku dengan mengenalkan teori strktur dan aturan-aturan tense . Pendekatan ini diam- diam kami sebarkan pada seluruh teman sekelas. Dan ternyata hal ini sukses besar, sehingga dapat dikatakan Lintanglah yang telah mengakhiri masa kejahiliahan bahasa Inggris di kelas kami. Mungkin kami telah belajar bahasa Inggris dengan pendekatanyang keliru, tapi cara ini efektif. Dan cara ini diajarkan oleh seseorang yang percaya bahwa setiap orang memiliki jalan yang berbeda untuk memahami bahasa. Aku kagum dengan daya pikir Lintang, dalam usia semuda itu ia mampu melihat elemen- elemen filosofis sebuah ilmu lalu jmenerjemahkannya menjadi taktik-taktik praktsi untuk menguasainya. Yang lebih istimewa, orang yang mengajariku ini bahkan tak mampu membeli buku teks wajib bahasa Inggris. Lintang memasuki suatu tahap kreatif yang melibatkan intuisi dan pengembangan pemikiran divergen yang orisinal. Ia menggali rasai ngin tahunya dan tak henti mencoba- coba. Indikasi kegeniusannya dapat dilihat dari kefasihannya dalam berbahasa numerik, yaitu ia terampil memproses sebuah pernyataan matematis mulai dari hipotesis sampai pada kesimpulan. Ia membuat penyangkalan berdasarkan teorema, bukan hanya berdasarkan pembuktian kesalahan, apalagi simulasi. Dalam usia muda dia telah memasuki area yang amat teoretis, cara berpikirnya mendobrak, mengambil risiko, tak biasa, dan menerobos. Setiap hari kami merubungnya untuk menemukan kejutan-kejutan pemikirannya. Baru naik ke kelas satu SMP, ketika kami masih pusing tujuh keliling memetakan absis dan ordinat pada produk cartesius dalam topik relasi himpunan sebagai dasar fungsi linear, Lintang telah mengutak-atik materi-materi untuk kelas yangj auh lebih tinggi di tingkat lanjutan atas bahkan di tingkat awal per guruan tinggi seperti implikasi, biimplikasi, filosofi Pascal, binomial Newton, limit, diferensial, integral, teori-teori peluang, dan vektor. Ketika kami baru 89 Laskar Pelangi

saja mengenal dasar-dasar binomial ia telah beranjak ke pengetahuan tentang aturan multinomial dan teknik eksploitasi polinomial, ia mengobrak-abrik pertidaksamaan eksponensial, mengilustrasikangrafik-grafik sinus, dan membuat pembuktian sifat matematis menggu nakan fungsi-gunsgi trigonometri dan aturan ruang tiga dimensi. Suatu waktu kami belajar sistem persamaa nlinier dan tertatih- tatih mengurai- uraikan kasusnya dengan substitusi agar dapat menemukan nilai sebuah variabel, ia bosan dan menghambur ke depan kelas, memenuhi papan tulis dengan alternatif-alternatif solusi linier, di antaranya dengan metode eliminasi Gaus-Jordan, metode Crammer, metode determinan, bahkan dengan nilai Eigen. Setelah itu Lintang mulai menggarap dan tampak sangat menguasai prinsip- prinsip penyelesaian kasus nonlinier. Ia dengan amat lancar menejlaskan persamaan multivariabel, mengeksploitasi rumus kuadrat, bahkan menyelesaikan operasi persamaan menggunakan metode matriks! Padahal dasar-dasar matriks paling tidak baru dikhotbahkan para guru pada kelas dua SMA. Yang lebih menakjubkan adalah semua pengetahuan itu ia pelajari sendiri dengan membaca bermacam-macam buku milik kepala sekolah kami jika ia mendapat giliran tugas menyapu di ruangan beliau. Ia bersimpuh di balik pintu ayun, semacam pintu koboi, menekuni angka-angka yang bicara, bahkan dalam buku-buku berbahasa Belanda. Ia memperlihatkan bakat kalkulus yang amat besar dan keahliannya tidak hanya sebatas menghitung guna menemukan solusi, tapi ia memahami filosofi operasi-operasi matematika dalam hubungannya dengan aplikasi seperti yang dipelajari para mahasiswa tingkat lanjut dalam subjek metodologi riset. Ia membuat hitunganyang iseng namun cerdas mengenai berapa waktu yang dapat dihemat atau berapa tambahan surat yang dapat diantar per hari oleh Tuan Pos jika mengubah rute antarnya. Ia membuat perkiraan ketahanan benang gelas dalam adu layangan untuk berbagai ukuran nilon berdasarkan perkiraan kekuatan angin, ukuran layangan, dan panjang benang. Rekomendasinya menyebabkan kami tak pernah terkalahkan. 90 Laskar Pelangi

Prediksinya tak pernah meleset dalam menghitung waktu kuncup, bersemi, dan mati untuk bunga red hot cat tail dengan meneliti kadar pupuk, suplai air, dan sinar matahari. Ia mengompilasi dengan cermat tabel pengamatan distribusi durasi, frekuensi dan waktu curah hujan lalu menghitung rata-rata, variansi, dan koefisien korelasi dalam rangka memperkirakan berapa kali Pak Harfan bolos karena bengek itu menunjukkan pola yang konsisten terhadap fungsi hujan dan lebih ajaib lagi Lintang mampu membuat persentase bias dugaannya. Lintang bereksperimen merumuskan metode jembatan keledainya sendiri untuk pelajaran-pelajaran hafalan. Biologi misalnya. Ia menciptyakan sebuah konfigurasi belajar metabolisme dengan merancang kelompok sistem biologis mulai dari sistem alat tubuh, pernapasan, pencernaan, gerak, sampai sistem saraf dan indra, baik untuk manusia, vertebrata, maupun avertebrata, sehingga mudah dipahami. Maka jika kita tanyakan padanya bagaiaman seekor cacing melakukan hajat ke3cilnya, siap-siap saja menerima penjelasan yang rapi, kronologis, terperinci, dan sangat cerdas mengenai cara kerja rambut getar di dalam sel-sel api, lalu dengan santai saja, seumpama seekor monyet sedang mencari kutu di punggung pacarnya, ia akan membuat analogi buang hajat cacing itu pada sistem ekskresi protozoa dengan anatomi vakuola kontraktil yang rumit itu, bahkan jika tidak distop, ia akan dengan senang hati menjelaskan fungsi-fungsi korteks, simpai bowman, medulla, lapisan malpigi, dan dermis dalam sistem ekskresi manusia. Karena bagi Lintang, melalui desain jembatan keledainya tadi, benda-benda hafalan ini dengan mudah dapat iakuasai, satu malam saja, sekali tepuk. Masih dalam pelajaran biologi, terjadi perdebatan sengit di antara kami tentang teori yang memaksakan pendapat bahwa manusia berasal dari nenek moyang semacam lutung, kami terperangah oleh argumentasi lintang: “Persoalannya adalah apakah Anda seorang religius, seorang darwinian, atau sekadar seorang oportunis? Pilihan sesungguhnya hanya antara religius dan darwinian, sebab yang tidak memilih adalah oportunis! Yaitu 91 Laskar Pelangi

mereka yang berubah-ubah sikapnya sesuai situasi mana yang akan lebih menguntungkan mereka. Lalu pilihan itu seharusnya menentukan perilaku dalam menghargai hidup ini. Jika Anda seorang darwinian, silakan berperilaku seolah tak ada tuntutan akhirat, karena bagi Anda ktia bsuci yang memaktub bahwa manusia berasal dari Nabi Adam adalah dusta. Tapi jika Anda seorang religius maka Anda tahu bahwa teori evolusi itu palsu, dan ketika Anda tak kunjung mempersiapkan diri untuk dihisab nanti dalam hidup setelah mati, maka dalam hal ini anda tak lebih dari seorang sekuler oportunis yang akan dibakar di dasar neraka!. Itulah Lintang dengan pandangannya. Pikirannya memang telah sangat jauh meninggalkan kami. Dan dengarlah itu, bicaranya lebih pintar dari bicara seluruh menteri penerangan yang pernah dimiliki republik ini. “Ayo yang lain, jangan hanya anak Tanjong keriting ini saja yang terus menjawab,” perintah Bu Mus. Biasanay setelah itu aku tergoda utnuk menjawab, agak ragu- ragu, canggung, dan kurang yakin, sehingga sering sekali salah, lalu Lintang membetulkan jawabanku, dengan semangat konstruktif penuh rasa akrab persahabatan. Lintang adalah seorang cerdas yang rendah hati dan tak pernah segan membagi ilmu. Aku belajar keras sepanjang malam, tapi tak pernah sedikit pun, sedetik pun bisa melampaui Lintang. Nilaiku sedikit lebih baik dari rata-rata kelas namun jauh tertinggal dari nilainya. Aku berada di bawah bayang-bayangnya sekian lama, sudah terlalu lama malah. Rangking duaku abadi, tak berubah sejak caturwulan pertama kelas satu SD. Abadi seperti lukisan ibu menggendong anak di bulan. Rival terberatku, musuh bebuyutanku adalah temanku sebangku, yang aku sayangi. Dapat dikatakan bahwa Bu Mus sering kewalahan mengh adapi Lintang, terutama utnuk pelajaran matematika, sehingga ia sering diminta membantu. Ketika Lintang menerangkan sebuah persoalan rumit dan membaut simbol-simbol rahasia matematika menjadi sinar yang memberi terang bagi kami, Bu Mus memerhatikan dengan seksama bukan hanya apa yang diucapkan 92 Laskar Pelangi

Lintang tapi juga pendekatannya dalam menjelaskan. Lalu beliau menggeleng-gelengkan kepalanya, komat-kamit, berbicara sendiri tak jelas seperti orang menggerendeng. Belakangan aku tahu apa yang dikomat-kamitkan beliau.; Bu Mus mengucapkan pelan-pelan kata-kata penuh kagum, “Subhanallah….Subhanallah….. “Yang paling membautku terpesona,” cerita Bu Mus pada ibuku. “Adalah kemampuannya menemukan jawaban dengan cara lain, cara yang tak pernah terpikirkan olehku,” sambungnya sambil membetulkan jilbab. “Lintang mampu menjawab sebuah pertanyaan matematika melalui paling tidak tiga cara, padahal aku hanya mengajarkan satu cara. Dan ia menunjukkan padaku bagaimaan menemukan jawaban tersebut melalui tiga cara lainnya yang tak pernah sedikit pun aku ajarkan! Logikanya luar biasa, daya pikirnya meluap-luap. Aku sudah tak bisa lagi mengatasi anak pesisir ini Ibunda Guru.. Bu Mus tampak bingung sekaligus bangga memiliki murid sepandai itu. Sebaliknya, ibuku, seperti biasa, sangat tertarik pada hal-hal yang aneh. “Ceritakan lagi padaku kehebatannya yang lain,” pancing beliau memanasi Bu Mus sambil memajukan posisi duduknya, mendekatkan keminangan tempat cupu-cupu gambir dan kapur, lalu meludahkan sirih melalui jendela rumah panggung kami. Dan tak ada yang lebih membahagiakan seorang guru selain mendapatkan seorang murid yang pintar. Kecemerlangan Lintang membawa gairah segar di sekolah tua kami yang mulai kehabisan napas, megap-megap melawan paradigma materialisme sistem pendidikan zaman baru. Sekarang suasana belajar mengajar di sekolah kami menjadi berbeda karena kehadiran Lintang, hanya tinggal menunggu kesempatan saja baginya untuk mengharumkan nama perguruan Muhammadiyah. Lintang dengan segala daya tarik kecerdasannya daalah gemerincing tamborin yang nakal, bernada miring, dalam alunan stambul gaya lama. Dialah mantar dalam rima-rima gurindam yang itu-itu saja. Dia ikan lele yang menggeliat dalam timbunan lumpur berku kemarau sekolah kami yang telah 93 Laskar Pelangi

bosan dihina. Tubuhnya yang kurus menjadi siku-siku yang mengerakkan kembali tiang utama perguruan Muhammadiyah yang bahkan belum tentu tahun depan mendapatkan murid baru. Dewan guru tak henti-hentinya membicarakan nilai rapor Lintang. Angka sembilan berjejer mulai dari pelajaran Aqaid (akidah), Al-Qur’an, fikih, tarikh Islam, budi pekerti, Kemuhammadiyahan, pendidikan kewarganegaraan, ilmu bumi, dan bahasa Inggris. Untuk biologi, matematika dan semua variannya: ilmu ukur, aritmatika, aljabar, dan ilmu pengetahuan alam bahkan Bu Mus berani bertanggung jawab untuk memberi nilai sempurna: sepuluh. Kehebatan Lintang tak terbendung, kepiawaiannya mulai kondang ke seantero kampung. Dan yang lebih mendebarkan, karena reputasinya itu, kami dipertimbangkan untuk diundang mengikuti lomba kecerdasan antarsekolah yang daat menaikkangengsi sekolah setinggi rasi bintang Auriga. Sudah demik ian lama kami tak diundang dalam acara bergengsi ini karena prestasi sekolah selalu di bawah rata-rata. Nilai terendah di rapor Lintang, yaitu delapan, hanya pada mata pelajaran kesenian. Walaupun sudah berusaha sekuat tenaga dan mengerahkan segenap daya pikir dia tak mampu mencapai angka sembilan karena tak memapu bersaing dengan seorang pria muda berpenampilan eksentrik, bertubuh ceking, dan berwajah tampan yang duduk di pojok sana sebangku dengan Trapani. Nilai sembilan untuk pelajaran kesenian selalu milik pria itu, namanya Mahar. 94 Laskar Pelangi

BAB 12 MAHAR BAKAT laksana Area 51 di Gurun Nevada, tempat di mana mayat-mayat alien disembunyikan: misterius! Jika setiap orang tahu dengan pasti apa bakatnya maka itu adalah utopia. Sayangnya utopia tak ada dalam dunia nyata. Bakat tidak seperti alergi, dan ia tidak otomatis timbul seperti jerawat, tapi dalam banyak kejadian ia harus ditemukan. Banyak orang yang berusaha mati-matian menemukan bakatnya dan banyak pula yang menunggu seumur hidup agar bakatnya atau dirinya ditemukan, tap i lebih banyak lagi yang merasa dirinya berbakat padahal tidak. Bakat menghinggapi orang tanpa diundang. Bakat main bola seperti Van Basten mungkin diam- diam dimiliki sorang tukang taksir di kantor pegadaian di Tanjong Pandan. Seorang Karl Marx yang lain bisa saja sekarang sedang duduk menjaga wartel di sebuah kampus di Bandung. Seorang kondektur ternyata adalah John Denver, seorang salesman ternyata berpotensi menjadi penembak jitu, atau salah seorang tukang nasi bebek di Surabaya ternyata berbakat menjadi komposer besar seperti Zuybin Mehta Namun, mereka sendiri tak pernah mengetahui hal itu. Si tukang taksir terlalu sibuk melayani orang Belitong yang kehabisan uang sehingga tak punya waktu main bola, 95 Laskar Pelangi

sang penjaga wartel sepanjang hari hanya duduk memandangi struk yang menjulur- julur dari printer Epson yang bunyinya merisaukan seperti lidah wanita dalam film Perempuan Berambut Api , kondektur dan salesman setiap hari mengukur jalan, dan lingkungan si tukang nasi bebek sama sekali jauh dari sesuatu yang berhubungan dengan musik klasik. Ia hanya tahu bahwa jika mendengarkan orkestra telinganya mampu melacak nada demi nada yang berdenting dari setiap instrumen dan hatinya bergetar hebat. Sayangnya sepanjang hidupnya ia tak pernah mendapat kesempatan sekali pun memegang alat musik, dan tak juga pernah ada seorang pun yang menemukannya. Maka ketika ia mati, bakat besar gilang ge3milang pun ikut terkubur bersamanya. Seperti mutiara yang tertelan kerang, tak pern ah seorang pun melihat kilaunya Karena bakat sering kali harus ditemukan, maka ada orang yang berprofesi sebagai pemandu bakat. Di Amerika orang-orang seperti ini khusus berkeliling dari satu negara bagian ke negara baigan lain untuk mencari pemain baseball potensial. Jika—satu di antara sejuta kemungkinan—orang ini tak pernah menghampiri seseorang yang sesungguhnya berbakat, maka hanya nasib yang menentukan apakah bakat seseorang tersebut pernah ditemukan atau tidak, pelajaran moral nomor empat: Ternyata nasib yang juga sangat misterius itu adalah seorang pemandu bakat! Hal ini paling tidak dibuktikan oelh Forest Gump, jika ia tidak mendaftar menjadi tentara dan jika ia tidak mengikuti kegiatan ekstraku rikuler di barak pada suatu sore maka mungkinia tak pernah tahu kalau ia sangat berbakat bermain tenis meja. Ritchie Blackmore juga begitu, kalau orang tuanya membelikan papan catur untuk hadiah ulang tahun mungkinia tak pernah tahu kalau dia berbakat menjadi seorang gitaris classic rock . Dan di siang yang panas menggelegak ini, ketika pelajaran seni suara, di salah satu sudut kumuh perguran miskin Muhammadiyah, kami menjadi saksi bagaimana nasib menemukan bakat Mahar. Mulanya Bu Mus meminta A Kiong maju ke depan kelas untuk menyanyikan sebuah lagu, dan seperti diduga—hal ini sudah delapan belas kali terjadi—ia akan membawakan lagu yang sama yaitu Berkibarlah Benderaku karya Ibu Sud. 96 Laskar Pelangi

“…berkiballah bendelaku….. “…lambang suci gagah pelwila ….. “… bergelak-bergelak! Selentak … selentak … !. A Kiong membawakan lagu itu dengan gaya mars tanpa rasa sama sekali. Ia memandang keluar jendela dan pikirannya tertuju pada labu siam yang merambati dahan- dahan rendah filicium serta buah-buahnya yang gendut-gendut bergelantungan. Ia bahkan tidak sedikit pun memandang ke arah kami. Ia mengkhianati penonton. Telinganya tak mendengarkan suaranya sendiri karena ia agaknya mendengarkan suara ribut burung-burung kecil prenjak saya pgaris yang berteriak-teriak beradu kencang dengan suarakumbang-kumbang betina pantat kuning. Ia tak mengindahkan jangkauan suaranya serta tak ambil pusing dengan notasi. Kali ini ia mengkhianati harmoni. Kami juga tak memerhatikannya bernyanyi. Lintang sibuk dengan rumus phytagoras, Harun tertid ur pulas sambil mendengkur, Samson menggambar seorang pria yang sedang mengangkat sebuah rumah dengan satu tangan kiri. Sahara asyik menyulam kruistik kaligrafi tulisan Arab Kulil Haqqu Walau Kana Murron artinya: Katakan kebenaran walaupun pahit dan Trapani melipat-lipat sapu tangan ibunya. Sementara itu Syahdan, aku dan Kucai sibuk mendiskusikan rencana kami menyembunyikan sandal Pak Fahimi (guru kelas empat yang galak itu) di Masjid Al-Hikmah. Maharadalah orang satu-satunya yang menyimaknya. Sedangkan Bu Mus menutup wajahnya dengan kedua tangan, beliau berusaha keras menahan kantuk dan tawa mendengar lolongan A Kiong. Lalu giliran aku. Tak kalah membosankan, lebih membosankan malah. Setelah dimarahi karena selalu menyanyikan lagu Potong Bebek Angsa , kini aku membuat sedikit kemajuan dengan lagu baru Indonesia Tetap Merdeka karya C. Simanjuntak yang diaransemen Damoro IS. Ketika aku mulai menyanyi Sahar mengangkat sebentar wajahnya dari kruistiknya dan terang-terangan memandangku dengan jijik karena aku menyanyikan lagu cepat- 97 Laskar Pelangi

tegap itu dengan nada yang berlari-lari liar sesuka hati, ke sana kemari tanpa harmonisasi. Aku tak peduli dengan pelecehan itu dan tetap bersemangat. “…Sorak-sorai bergembira…ber gembira semua….. “…telah bebas negeri kita…Indonesia merdeka ….. Namun, aku menyanyi melompati beberapa oktaf secara drastis tanpa dapat kukendalikan sehingga tak ada keselarasan nada dan tempo. Aku telah mengkhianati keindahan. Kali ini Bu Mus sudah tak bisal agi menahan tawanya, beliau terpingkal-pingkal sampai berair matanya. Aku berusaha keras memperbaiki harmonisasi lagu itu tapi semakin keras aku berusaha semakin an eh kedengarannya. Inilah yang dimaksud dengan tidak punya bakat. Aku susah payah menyelesaikan lagu itu dan teman- temanku sama sekali tak mengindahkan penderitaanku karena mereka juga menderita menahan kantuk, lapar, dan haus di tengah hari yang panas ini, dan batin mereka semakin tertekan karena mendengar suaraku. Bu Mus menyelamatkan aku dengan buru-buru menyuruhku berhenti bernyanyi sebelum lagu merdu itu selesai, dan sekarang beliau menunjuk Samson. Kenyataannya semakin parah, Samson menyanyikan lagu yang berjudul Teguh Kukuh Berlapis Baja juga karya C. Simanjuntak sesuai dengan citra tubuh raksasanya. Ia menyanyikan lagu itu dengan sangat nyaring sambil menunduk dalam dan menghentak-hentakkan kakinya dengan keras. “…Teguh kukuh berlapis baja!. “…rantai smangat mengikat padu!. “…tegak benteng Indonesia!. Tapi ia juga sama sekali tidak tahu konsep harmonisasi sehingga ia menjadikan lagu itu seperti sebuah lagu lain yang belum pernah kami kenal. Ia mengkhianati C. 98 Laskar Pelangi

Simanjuntak. Maka sebelum bait pertama selesai, Bu Mus segera menyuruhnya kembali ke tempat duduk. Samson membatu, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya, ia terheran- heran. “mengapa aku dihentikan, Ibunda Guru …?. Inilah yang dimaksud dengan tak punya bakat dan tak tahu diri. Maka seni suara adalah mata pelajaran yang paling tidak prospektif di kelas kami. Oleh karena itu, ia ditempatkan di bagian akhir paling siang. Fungsinya hanya untuk menunggu waktu Zuhur, yaitu saatnya kami pulang, atua untuk sekadar hiburan bagi Bu Mus karena dengan menyuruh kami bernyanyi beliau bisa menertawakan kami. Pada umumnya kami memang tak bisa menyanyi. Bahkan Lintang hanya bisa menampilkan dua buah lagu, yaitu Padamu Negeri dan Topi Saya Bundar . Lagu tentang topi ini adlaah lagu superringkas dengan bait yang dibalik-balik. Lintang menyanyikannya dengan tergesa-gesa sehingga seperti rapalan agar tugas itu cepat selesai. Adapun Trapani, sejak kelas satu SD tak pernah menyanyikan lagu lain selain lagu Kasih Ibu Sepanjang Jalan . Sahar menyanyikan lagu Rayuan Pulau Kelapa dengan gaya seperti seriosa yang menurut dia sangat bagus padahal sumbangnya minta ampun. Sedangkan Kucai—juga dari kelas satu SD—hanya menampilkan dua buah lagu yang sama, kalautidak lagu Rukun Islam ia akan menyanyikan lagu Rukun Ima n . “Masih ada lima menit sebelum azan zuhur. Ah, masih bisa satu lagu lagi,” kata Bu Mus sambil tersenyum simpul. Kami memandang beliau dengan benci. “Ibunda, kenapa tak pulang saja!. Kami sudah mengantuk, lelah, lapar, dan haus. Siang ini panas sekali. Burung- burung prenjak sayap garis semakin banyak 99 Laskar Pelangi

dan tak mau kalah dengan kumbang- kumbang betina pantat kuning. Kadang-kadang mereka hinggap di jendela kelas sambil menjerit sejadi-jadinya, menimbulkan suara bising yang memusingkan bagi perut-perut yang keroncongan. “Nah, sekarang giliran ….” Bu Mus memandangi kami satu per satu untuk menjatuhkan pilihan secara acak … dan kali ini pandangannya berhenti pada Mahar. “Ya, Mahar, silakan ke depan anakku, nyanyikan sebuah lagu sambil kita menunggu azan zuhur.. Bu Mus terus tersenyum mengantisipasi kekonyolan apa lagi yang akan ditampilkan muridnya. Sebelumnya kami tak pernah mendengar Mahar bernyanyi, karena setiap kali tiba gilirannya, azan zuhur telanjur berkumandang sehingga ia tak pernah mendapat kesempatan tampil. Kami tidak peduli ketika Mahar beranjak. Ia menyandang tasnya, sebuah karung kecampang, karena ia juga sudah bersiap- siapakan pulang. Kami sibuk sendiri-sendiri. Sahara sama sekali tak memalingkan wajah dari kruistiknya, Lintang terus menghitung, Samson masih menggambar, dan yang lain asyik berdiskusi. Mahar melangkah ke depan dengan tenang, anggun, tak tergesa-gesa. Di depan kelas ia tak langsung menyanyikan lagu pilihannya, tapi menatap kami satu per satu. Kami terheran-heran melihat tingkahnya yang ganjil, namun tatapannya penuh arti, seperti sebuah tatapan kerinduan dari seorang penyanyi pop gaek yang melakukan konser khusus untuk para ibu-ibu single parent , dan kaum ibu ini adalah para penggemar setia yang sudah amat lama tak bersua dengan sang artis nostalgia. Setelah memandangi kami cukup lama, ia memalingkan wajahnya ke arah Bu Mus sambil tersenyum kecil dan menunduk, layaknya peserta lomba bintang radio yang memberi hormat kepada dewan juri. Mahar merapatkan kedua tangannya di dadanya seperti 100 Laskar Pelangi

seniman India, seperti orang memohon doa. Tampak jelas jari-jari kurusnya yang berminyak seperti lilin dan ujung-ujung kukunya yang bertaburan bekas-bekas luka kecil sehingga seluruh kukunya hampir cacat. Sejak kelas dua SD Mahar bekerja sampingan sebagai pesuruh tukang parut kelapa di sebuah toko sayur milik seorang Tiongho a miskin. Tangannya berminyak karena berjam-jam meremas ampas kelapa sehingga tampak licin, sedangkan jemari dan kukunya cacat karena disayat gigi-gigi mesin parut yang tajam dan berputar kencang. Mesinitu mengepulkan asap hitam dan harus dihidupkan dengan tenaga orang dewasa dengan cara menarik sebuah tuas berulang- ulang. Bunyi mesinitu juga merisaukan, suatu bunyi kemelaratan, kerja keras, dan hidup tanpa pilihan. la membantu menghidupi keluar ga dengan menjadi pesuruh tukang parut karena ayahnya telah lama sakit-sakitan. Bu Mus membalas hormat takzimnya yang santun dengan tersenyum ganjil. “Anak muda ini pasti tak pandai melantun tapi jelas ia menghargai seni,\" mungkin demikian yang ada dalam hati Bu Mus. Tapi tetap saja beliau menahan tawa. Lalu Mahar mengucapkan semacam prolog. “Aku akan membawakan sebuah lagu tentang cinta Ibunda Guru, cinta yang teraniaya lebih tepatnya . .... Tuhanku! Kami terperangah dan Bu Mus terkejut. Prolog semacam ini tak pernah kami lakukan, dan tema lagu pilihan Mahar sangat tak biasa. Lagu kami hanya tiga ma- cam yaitu: lagu nasional, lagu kasidah, dan lagu anak-anak. Lagu apakah gerangan yang akan dibawakan anak muda berwajah manis ini? Kini kami semua memandanginya de- ngan heran, Sahara melepaskan kruistiknya. Belum sempat kami mencerna ia menyambung kalem dengan gaya seperti seorang bijak berpetuah. \"Lagu ini bercerita tentang seseorang yang patah hati karena kekasih yang sangat ia cintai direbut oleh teman baiknya sendiri ..... Mahar tercenung syahdu, tatapan matanya kosong jauh melintasi jendela, jauh melintasi awan-awan berarakan, hidup memang kejam .... 101 Laskar Pelangi

Bu Mus termenung ragu-ragu. Beliau menatap Mahar sambil tersenyu m penuh tanda tanya. Hati kami juga penasaran. Lalu Bu Mus mengamb il sebuah keputusan yang puitis. \"Jalan ke ladang berliku-liku , jangan lewat hutan cemara, segera nyanyikan lagumu , biar kutahu engkau merana ..... Mahar tersenyum dalam duka. \"Terima kasih Ibunda Guru.. Mahar bersiap-siap, kami menunggu penu h keingin tahuan, dan kami semak in takjub ketika ia membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah alat musik: ukulele! Suasana jadi hening dan kemu dian perlahan-lahan Mahar memulai intro lagunya dengan memainkan melodi ukulele yang mendayu-dayu, ukulele itu dipelu knya dengan sendu , matanya terpejam, dan wajahnya syah du pen uh kesed ihanyang mengharu biru, pias menahan kan rasa. Jiwanya seolah terbang tak berada di tempat itu. Lalu dengan interlude yang halus meluncur lah syair-syair lagu menakjubkan dalam tempo pelan penuh nuansa duka yang dinyanyikan dengan keindahan andante ma estoso yang tak terlu kiskan kata-kata \"...I was dancing with my darling to the Tennesse waltz.... \"...when an old friend I happened to see... . \"..into duced her to my love one and while they were dancing... \"...my friend stole my sweetheart from me.... Seketika kami tersentak dalam pesona, itulah lagu Tennesse Wa ltz yang sangat terken al karya Anne Muray, dan lagu itu dibawakan Mahar dengan tekn ik menyanyi seindah Patti Page yang melambungkan lagu lama itu. Ritme ukulele mengiringi vibrasi sempurna suaranya disertai sebuah penghayatan yang luar biasa sehingga ia tampak demik ian men derita karena kehilangan seorang kekasih. 102 Laskar Pelangi

Syair demi syair lagu itu merambati dinding-dinding papan tua kelas kami, hinggap di daun-daun kecil linaria seperti kup u-kupu cantik thistle crescent , lalu terbang hanyut dibawa awan-awan tipis menuju ke utara. Suara Mahar terdengar pilu merasuki relung hati setiap orang yang ada di ruangan. Intonasinya lembut membelai- belai kalbu dan Mahar memaku hati kami dalam rasa pukau menyaksikannya menyanyi sambil men itikkan air mata. Apa p unyang sedang kami kerjakan terhenti karena kami telah terkesima. Kami tersihir oleh aura seni yang terpancar dari soso kanak mu da tampanyang menyanyi dari jiwanya, bukan hanya dari mulutnya, sehingga lagu itu menjadi sebuah simfoni yang agung. Kami terbawa suasana melankolis karena Mahar benar-benar mengembuskan napas lagu itu. Rasa kantu k, lapar, dan dahaga menjadi tak terasa. Bahkan kumbang-kumbarrg dan kawanan burung prenjak sayap gar is menjadi senyap, berhenti menjerit-jerit demi mendengar lan tunannya. Suhu u dara yang panas perlahan-lahan menjadi sejuk menghanyutkan. Ketika Mahar bernyanyi seluruh alam diam menyimak. Kami merasakan sesuatu tergerak di dalam hati bukan karena Mahar ber nyanyi dengan tempo yang tepat, tek nik vokal yang baik, nada yang pas, interpretasi yang benar, atau chord uku lele yang sesuai, tapi karena ketika ia menyanyikan Tennesse Waltz kami ikut merasakan kepedihan yang mendalam seperti kami sendiri telah kehilangan kekasih yang p aling dicin tai. Kemampuan menggerakkan inilah barangkali yang dimak su d dengan bakat. Siang itu , ketika sedang menunggu azan zuhur, ternyata seorang sen iman besar telah lahir di sekolah gudang kopra perguruan Muhammadiyah. Mahar mengakhiri lagunya secara fade o ut disertai linangan air mata. “...I lost my litle darling the nig ht they were playing the beautiful Tennesse waltz .... Dan kami ser entak berd iri memberi standing appla use yang sangat panjang untuknya, lima menit! Bu Mus berusaha keras menyembunyikan air mata yang menggenang berkilauan di pelupuk mata sabarnya. 103 Laskar Pelangi

Tak dinyana, beberapa menit yang lalu , ketika Bu Mus menunjuk Mahar secara acaku ntuk menyanyi, saat itulah nasib menyapanya. Itulah momen nasib yang sedang bertindak selaku pemandu bakat. Siang ini, komidi putar Mahar mulai menggelinding dalam velositas yang bereskalasi. 104 Laskar Pelangi

Bab 13 Jam tangan plastik murahan SETELAH tampil dengan lagu memukau Tennesse Waltz kami menemukan Mahar sebagai lawan virtual rasionalitas Lintang. Ia adalah penyeimbang perahu kelas kami yang cender ung oleng ke kiri karena tarikan otak kiri Lintang. Sebaliknya, otak seb elah kanan Mahar meluap-luap melimpah ruah. Mereka berdua membangun tonggak artistik daya tarik kelas kami sehingga tak pernah membosankan. Jika Lintang memiliki level intelektualitas yang demik ian tinggi maka Mahar memperlihatkan bakat sen i selevel dengan tingginya inteligensia Lintang. Mahar memiliki harnpir setiapaspek kecerdasan sen i yang tersimpan seperti persediaan amunisi kreativitas dalam lokus-loku s di kepalanya. Kapasitas estetika yang tinggi melahirkannya sebagai seniman serba bisa, ia seorang pelantungurindam, sutradara teater, penulis yang berbakat, pelukis natural, koreografer, penyanyi, pendongeng yang ulung, dan pemain sitar yang fenomenal. 105 Laskar Pelangi

Lintang dan Mahar seperti Faraday kecil dan Warhol mungil dalam satu kelas, atau laksana Thomas Alva Edison muda dan Rabindranath Tagore junior yang berkumpul. Keduanya penuh inovasi dan kejutan-kejutan kreativitas dalam bidangnya masing- masing. Tanpa mereka, kelas kami tak lebih dari sekumpulan kuli tambang melarat yang mencoba belajar tulis rangkai indah di atas kertas bergaris tiga. Dan di antara mereka berdua kami terjebak di tengah-tengah seperti orang-orang dungu yang ditantang Columbus mendirikan telur. Karena Lintang dan Mahar duduk berseberangan maka kami sering menoleh ke kiri dan ke kanan dengan cepat, persis penonton pertandingan pingpong, terkagum-kagum pada kegeniusan mereka. Jika tak ada guru, Lintang tampil ke depan, menggambar rangkaian teknik bagaimana membuat perahu dari pelepah sagu. Perahu ini digerakkan baling-baling yang disambungkan dengan motor yang diambil dari tape recorder dan ditenagai dua buah batu baterai. Ia membuat perhitungan matematis yang canggih untuk memanipulasi gerak mekanik motor tape dan menjelaskan kepada kami hukum-hukum pokok hidrolik. Perhitungan matematikanya itu dapat memperkirakan dengan sangat akurat laju kecepatan perahu berdasarkan massanya. Aku terpesona melihat perahu kecil itu berputar-putar sendiri di dalam baskom. Setelah itu Mahar maju, menundukkan kepala dengan takzim di depan kami seperti seniman istana yang ingin bersenandung atas perkenan tuan raja, lalu dengan manis ia membawakan lagu Leaving on a Jet Pla ne dengan gitarnya dengan ketukan-ketukan bernuansa hadrah. Di tangan orang yang tepat musik ternyata bisa menjadi demikian indah. Mahar juga membaca beberapa bait puisi parodi tentang orang-orang Melayu yang mendadak kaya atau tentang burung-burung putih di Pantai Tanjong Kelayang. Mahar dengan aksesori-aksesori etniknya ibarat orang yang dititipi Engelbert Humperdink suara emas dan diwarisi Salvador Dali sikap- sikap nyentrik. Persahabatannya dengan para seniman lokal dan 106 Laskar Pelangi

seorang penyiar radio AM yang memiliki beragam koleksi musik memperkaya wawasan seni dan perbendaharaan lagu Mahar. Pada kesempatan lain Lintang mempresentasikan percobaan memunculkan arus listrik dengan mengerak-gerakkan magnet secara mekanik dan menjelaskan prinsip- prinsip kerja dinamo. Mahar memperagakan cara membuat sketsa-sketsa kartun dan cara menyusun alur cerita bergambar. Lintang menjelaskan aplikasi geometri dan aero- dinamika dalam mendesain layangan, Mahar menceritakan kisah yang memukau tentang bangsa-bangsa yang punah. Pernah juga Lintang menyusun potongan-potongan kaca yang dibentuk cekung seperti parabola dan menghadapkannya ke arah matahari agar mendapatkan suhu yang sangat tinggi, rancangan energi matahari katanya. Sebaliknya Mahar tak mau kalah, ia menggotong sebuah meja putar dan mendemonstrasikan seni membuat gerabah yang indah, teknik-teknik melukis gerabah itu dan mewarnainya. Lintang memperagakan cara kerja sekstan dan menjelaskan beberapa perhitungan matematika geometris dengan alat itu, Mahar membaca puisi yang ditulisnya sendiri dengan judul Doa dan dibawakan secara memukau dengan gaya tilawatil Qur'an, belum pernah aku melihat orang membaca puisi seperti itu. Kadang kala mereka berkolaborasi, misalnya Mahar menginginkan sebuah gitar elektrik yang gampang dibawa seperti tas biasa, sehingga tak merepotkan jika naik sepeda, maka Lintang datang dengan sebuah desain produk yang belum pernah ada dalam industri instrumen musik, yaitu desain stang gitar yang dipotong lalu dipasangi semacam engsel sehingga terciptalah gitar yang bisa dilipat. Sungguh istimewa. Sudah banyak aku melihat keanehan di dunia pentas—misalnya pemain biola yang ketiduran ketika sedang manggung, panggung yang roboh, musisi yang menghancurkan alat-alat musik, pemain gitar yang kesetrum, seorang pria midland yang makan kelelawar, atau orang-orang kampung yang meniru-niru Mick Jagger—tapi gitar dilipat sehingga menjadi seperti papan catur, baru kali ini aku saksikan. Dan jika Mahar dan Lintang beraksi, kami berkumpul di tengah-tengah kelas, bertumpuk-tumpuk kegirangan, terbuai keindahan, dan 107 Laskar Pelangi

menggumamkan subhanallah berulang-ulang, atas dua macam kepintaran meng- asyikkan yang dianugerahkan Ilahi kepada mereka. Mahar sangat imajinatif dan tak logis—seseorang dengan bakat seni yang sangat besar. Sesuatu yang berasal dari Mahar selalu menerbitkan inspirasi, aneh, lucu, janggal, ganjil, dan menggoda keyakinan. Namun, mungkin karena otak sebelah kanannya benar- benaraktif maka ia menjadi pengkhayal luar biasa. Di sisi lainia adalah magnet, simply irresistable! Ia penggemar berat dongeng-dongeng yang tidak masuk akal dan segala sesuatu yang berbau paranormal. Tanyalah padanya hikayat lama dan mitologi setempat, ia hafal luar kepala, mulai dari dongeng naga-naga raksasa Laut Cina Selatan sampai cerita raja berekor yang diyakininya pernah menjajah Belitong. Ia sangat percaya bahwa alien itu benar-benarada dan suatu ketika nanti akan turun ke Belitong menyamar sebagai mantri suntik di klinik PN Timah, penjaga sekolah, muazin di Masjid Al-Hikmah, atau wasit sepak bola. Dalam keadaan tertentu ia sangat konyol misalnya ia menganggap dirinya ketua persatuan paranormal internasional yang akan memimpin perjuangan umat manusia mengusir serbuan alien dengan kibasan daun- daun beluntas. Aku ingat kejadian ini, suatu ketika untuk nilai raporakhir kelas enam, Bu Mus yang berpendirian progresif dan terbuka terhadag ide-ide baru, membebaskan kami ber- ekspresi. Kami diminta menyetor sebuah master piece , karya yang berhak mendapat tempat terhormat, dipajang di ruang kepala sekolah. Maka esoknya kami membawa ce- lengan bebek dari tanah liat dan asbak dari cetakan lilin. Sebagian lainnya membawa replika rumah panggung Melayu dari bahan perdu apit-apit dan simpai dari jalinan rotan untuk mengikat sapu lidi. Trapani menyetorkan peta Pulau Belitong yang dibuat dari serbuk kayu. Syahdan membuat karya yang persis sama tapi bahannya bubur koran, jelek sekali dan busuk baunya. Harun menyetorkan tiga buah botol bekas kecap, itu saja, botol kecap! Tak lebih tak kurang. Aku sendiri hanya mampu 108 Laskar Pelangi

membuat tirai dari biji-biji buah berang yang di- kombinasikan dengan tali rapiah yang digulung kecil-kecil. Setiap tiga buah biji berang berarti satu ketupat kecil tali rapiah berwarna-warni. Sebuah karya norak yang sangat tidak berseni. Tapi masih mending. A Kiong membuat lampion tanpa perhitungan akal sehat. Ketika dinyalakan lampion itu terbakar berkobar-kobar sehingga dengan terpaksa, demi keamanan, Samson melemparkan benda itu keluar jendela. Padahal A Kiong tak tidur barang sepicing pun membuatnya. Karena karya kami sangat tidak memuaskan, kami semua mendapat nilai tak lebih dari angka 6,5 . Sungguh tak sebanding dengan jerih payah yang dikeluarkan. Amat berbeda dengan Mahar. Ia datang membawa sebuah bingkai besar yang ditutupi selembar kain hitam. Kami sangka ia membuat sebuah lukisan. Tapi setelah kainitu pelan-pelan dilucuti, sangat mengejutkan! Di baliknya muncul semacam cetakan tenggelam di atas batu apung. C etakan kerangka seekor makhluk purbakala yang sangat janggal dan mengesankan sangat buas. Makhluk ini bukan acanthopholis , sauropodomorphas , kera anthropoid , dinosaurus atau saurus-saurus semacamnya, dan bukan pula makhluk-makhluk prasejarah seperti yang telah kita kenal. Sebaliknya, Mahar membuat sebuah cetakan fosil kelelawar raksasa semacam Palaeochiropterxy tupaiodon tapi dengan bentuk yang dimodifikasi sehingga tampak ganjil dan mengerikan. Anatomi makhluk itu tentu tak pernah teridentifikasi oleh para ahli karena ia hanya ada di kepala Mahar, di dalam imajinasi seorang seniman. Fosil di atas batu apung tipis itu dibuat begitu orisinal sehingga mengesankan seperti temuan paleontologi yang autentik. Ia menggunakan semacam lapisan karbon untuk memperkuat kesan purba pada setiap detail fosil itu. Lalu karyanya dibingkai dengan potongan-potongan balak lapuk yang sudut-sudutnya diikat tali p ohon jawi agar kesan purbanya benar-b enar terasa. 109 Laskar Pelangi

\"Inilah seni, Bung!\" khotbahnya di hadapan kami yang terkesima. Gayanya seperti pesulap sehabis membuka genggaman tangan untuk memperlihatkan burung merp ati. Dan ia mendapat angka sembilan, tak ada lawannya. Angka itu adalah nilai kesenian tertinggi yang pernah dianugerahkan Bu Mus sepanjang karier mengajarnya. Bahkan Lintang sekalipun tak berkutik. Imajinasi Mahar meloncat-loncat liaramat mengesankan. Sesungguhnya, seperti Lintang, ia juga sangat cerdas, dan aku belum pernah menjumpai seseorang dengan kecerdasan dalam genre seperti ini. Ia tak pernah kehabisan ide. Kreativitasnya tak terduga, unik, tak biasa, memberontak, segar, dan menerobos. Misalnya, ia melatih kera peliharaannya sedemikian rupa sehingga mampu berperilaku layaknya seorang instruktur. Maka dalam sebuah penampilan, keranya itu memerintahkannya untuk melakukan sesuatu yang dalam pertunjukan biasa hal itu seharusnya dilakukan sang kera. Sang kera dengan gaya seorang instruktur menyuruh Mahar bernyanyi, menari-nari, dan berakrobat. Mahar telah menjungkirbalikkan paradigma seni sirkus, yang menurutku merupakan sebuah terobosan yang sangat genius. Pada kesempatan lain Mahar bergabung dengan grup rebana Masjid Al-Hikmah dan mengolaborasikan permainan sitar di dalamnya. Jika grup ini mendapat tawaran mengisi acara di sebuah hajatan perkawinan, para undangan lebih senang menonton mereka daripada menyalami kedua mempelai. Mahar pula yang membentuk sekaligus menyutradarai grup teater kecil SD Muhammadiyah. Penampilan favorit kami adalah cerita perang Uhud dalam episode Siti Hindun. Dikisahkan bahwa wanita pemarah ini mengupah seorang budak untuk membunuh Hamzah sebagai balas dendam atas kematian suaminya. Setelah Hamzah mati wanita itu membelah dadanya dan memakan hati 110 Laskar Pelangi

panglima besar itu. A Kiong memerankan Hamzah, dan Sahara sangat menikmati perannya sebagai Siti Hindun. Juga karena inisiatif Mahar, akhirnya kami membentuk sebuah grup band . Alat- alat musik kami adalah electone yang dimainkan Sahara, standing bass yang dibetot tanpa ampun oleh Samson, sebuah drum, tiga buah tabla , ser ta dua buah rebana yang dipinjam dari badan amil Masjid Al-Hikmah. Pemain rebana adalah aku dan A Kiong. Mahar menambahkan kendang dan seruling yang dimainkan secara sekaligus oleh Trapani melalui bantuan sebuah kawat agar seruling tersebut dapat dijangkau mulutnya tanpa meninggalkan kendang itu. Maka pada aransemen tertentu Trapani leluasa menggunakan tangan kanannya untuk menabuh kendang sementara jemari tangan kirinya menutu p-nutup enam lubang seruling. Sebuah pemandangan spektakuler seperti sirkus musik. Setiap wanita muda dipastikan bertekuk lutut, terbius seperti orang mabuk sehabis kebanyakan makan jengkol jika melihat Trapani yang tampan berimprovisasi. Trapani adalah salah satu daya tarik terbesar band kami. Hanya ada sedikit masalah, yaitu ia mogok tampil jika ibunya tidak ikut menonton. Insiden sempat terjadi pada awal pembentukan band ini karena Harun bersikeras menjadi drumer padahal ia sama sekali buta nada dan tak paham konsep tempo. . \"Dengarkan musiknya, Bang, ikuti iramanya,\" kata Mahar sabar. \"Drum itu tak bisa kauperlakukan semena-mena.. Setelah dimarahi seperti itu biasanya Harun tersenyum kecil dan memperhalus tabuhannya. Tapi itu tak berlangsung lama. Beberapa saat kemudian, meskipun kami sedang membawakan irama bertempo pelan nan syahdu, misalnya lagu Semenanjung Tak Seinda h Wajah yang syairnya bercerita tentang seorang pria Melayu duafa meratapratap karena ditipu kekasihnya, Harun kembali menghantam drum itu sekuat ten aganya seperti memainkan lagu rock Deep Purple yang berjudul Burn . Dan ia 111 Laskar Pelangi

sendiri tak pernah tahu kapan harus berhenti. la hanya tertawa riang dan menghantam drum itu sejadi-jadinya. Mahar tetap sabar menghadapi Harun dan berusaha menuntunnya pelan-pelan, namun akhirnya kesabaran Mahar habis ketika kami membawakan lagu Ligh t My Fire milik The Doors. Di sepanjang lagu yang inspiratif itu Harun menghajar hith at , tenor drum , simbal , serta menginjak-injak pedal bass drum sejadi- jadinya. Dengan stik drum ia menghajarapa saja dalam jangkauannya, persis drumer Tarantula melakukan end fill untuk menutup lagu rock dangdut Wakuncar . \"Dengar kata adikmu ini, Abangda Harun, kalau Abang bermain drum seperti itu bisa-bisa Jim Morrison melompat dari liang kuburnya! . Diperlukan waktu berhari-hari dan permen asam jawa hampir setengah kilo untuk membujuk Harun agar mau melepaskan jabatan sebagai drumer dan menerima promosi jabatan baru sebagai tukang pikul drum itu ke mana pun kami tampil. Maharadalah pen ata musik setiap lagu yang kami bawakan dan racun pada setiaparansemennya menyengat ketika ia memainkan melodi dengan sitarnya. Ia berimprovisasi, berdiri di tengah pertunjukan, dan dengan wajah demikian syahdu ia mengekspresikan setiap denting senar sitar yang bercerita tentang daun-daun pohon bintang yang melayang jatuh di permukaan Sungai Lenggang yang tenang lalu hanyut sampai jauh ke muara, tentang angin selatan yang meniup punggung Gunung Selumar, berbelok dalam kesenyapan Hutan Jangkang, lalu menyelinap diam-diam ke perkampungan. Ah, indahnya, pria muda ini memiliki konsep yang jelas bagaimana seharusnya sebuah sitar berbunyi. Maharadalah arranger berbakat dengan musikalitas yang nakal. Ia piawai memilih lagu dan mengadaptasikan karakter lagu tersebut ke dalam instrumen-instrumen kami yang sederhana. Misalnya pada lagu Owner of a Lonely Heart karya group rock Yess. 112 Laskar Pelangi

Mahar mengawali komposisinya dengan intro permainan solo tabla yang menghentak bertalu-talu dalam tempo tinggi. Ia mengajari Syahdan menyelipkan-nyelipkan wana tabuhan Afrika dan padang pasir pada fondasi tabuhangaya suku Sawang. Sangat eksotis. Gebrakan solo Syahdan seumpama garam bagi mereka yang darah tinggi: berbahaya, beracun, dan memicu adrenalin. Syahdan mengudara sendirian dengan letupan-letupan yang menggairahkan sampai beberapa bar. Lalu Syahdan menurunkan sedikit tempo bahana tabla -nya dan pada momen itu, kami—para pemain rebana dan dua pemain tabla lainnya-pelan-pelan masuk secara elegan mendampingi suara tabla Syahdan yang surut, namun tak lama kemudian kembali bereskalasi menjadi tempo yang semakin cepat, semakingarang, semakingan as memuncak . Kami mengh antam tabuh- tabuhan ini sekuat ten aga dengan tempo secepat-cepatnya beserta semangat Spartan, para penonton menahan napas karena berada dalam tekanan puncakekstase, lalu tepat pada pun cak kehebohan, suara alat-alat perkusi ini secara mendadak kami hentikan , tiga detik yang diam, lengang, sunyi, dan senyap. Ketika penonton mulai melep askan kembali napas panjangnya dengan penuh kenyamanan perlahan-lahan hadirlah dentingan sitar Mahar menyambut perasaan damai itu. Mahar melantunkan dawai sitar sendirian dalam nada-nada minor nan syah du bergelombang seperti buluh perindu. Pilihan nada ini demikian indah hingga terdeng ar laksana aliran sungai-sungai di bawah taman surga. Dada terasa lapang seperti memandang laut lepas landai tak bertepi di sebuah sore yang jingga. Pada bagian ini b iasanya penonton menghambur ke bibir panggung. Lalu Mahar meningkahi sitar dengan in tonasi naik turun dalam jangkauan hamp ir empat oktaf. Dengan gaya India klasik, Mahar berimp rovisasi. Ia memainkan sitar dengan sepenuh jiwa seolah eso k ia telah punya janji pasti dengan malaikat maut. Matanya terpejam mengikuti alur skala min or yang menyentuh langsung bagian terindah dari alam 113 Laskar Pelangi

bawah sadar manusia yang mamp u menikmati sari p ati manisnya musik. Jemarinya yang kurus panjang mengaduk-aduk senar sitar dengan teknik yang memu kau. Ia menyerahkan segenap jiwa raganya, terbang dalam daya bius melodi mu sik. Suara sitar itu menyayat-nyayat, berderai-derai seperti hati yang sepi, meraung- raung seperti jiwa yang tersesat karena khianat cinta, merintih seperti arwah yang tak diterima bu mi. Rendah, tinggi, pelan, kencang, berbisik laksana awan, marah laksan a to pan, memekakkan laksana ledakangunung berapi, lalu diam tenang laksana danau di tengah rimba raya. Semakin lama semakin keras dan semakin cepat, kembali memun cak , semakin lama semakin tinggi dan pada titik nadirnya Trapani serta-merta menyambut dengan sorak melengking melalui tiupan seruling, panjang, satu no t, menjerit-jerit nyaring pada tingkat nada tertinggi yang dapat dicapai seruling bambu tradison al itu. Mereka ber dua bertanding, berlomba-lomba meninggikan nada dan mengeraskan suara instrumen masing-masing. Mereka seperti seteru lama yang menanggungkan dendam membara, seruling clan sitar saling menggertak, menghardik, dan memb entak galak . .. namun dengan harmoni yang terpelihara rapi. Tiba-tiba, amat mengejutkan, sama sekali tak terd uga, secara mendadak mereka br ea k! Tiga detik diam. Setelah itu serta-merta datang menyerbu, menyalak galak, menghambur masuk bertalu-talu seluruh suara alat musik: drum, sta n ding bass , seluruh ta bl a , sitar, seruling, seluruh r eban a, dan electone sekeras-kerasnya. Tepat pada puncak bahana seluruh alat musik secara mendadak kami b rea k lagi, satu detik diam, napas penonton tertahan, lalu pada detik kedua Mahar melon cat seperti tupai, merebut mikrofon dan langsung menjerit-jerit menyanyikan lagu Ow n er of a Lonel y Hea rt dalam nada tinggi yang terkendali. Para penonton histeris dalam sensasi, kemudian tubuh mereka terpatah-patah mengikuti hentakan-hentakan staccato yang dinamis sepanjang lagu itu. Inilah musik, kawan. Musik yang dibawakan dengan sepenuh kalbu. Mahar menekankan konsep akustik dalam komposisi ini, misalnya dengan mengambil gaya piano grand pada electone dengan tambahan sedikit efek sustain . Keseluruhan komposisi dan 114 Laskar Pelangi

konsep ini ternyata menghasilkan interpretasi yang unik terhadap lagu Owner of a Lonely Heart . Kami yakin sedikit banyak kami telah berhasil menangkap semangat lagu itu, termasukesensi pesannya, yaitu hati yang sepi lebih baik dari hati yang patah, seperti dimaksudkan orang-orang hebat dalam grup Yess. Maka tak ayal lagu rock modern tersebut adalah master piece penampilan kami selain sebuah lagu Melayu berjudul Patah Kemudi karya Ibu Hajah Dahlia Kasim. Mahar juga adalah seorang seniman idealis. Pernah sebuah parpol ingin memanfaatkangrup kami yang mulai kondang un tuk menarik massa melalui iming-iming uang dan berbagai mainan anak-anak, Mahar men olak mentah -mentah. \"Orang-orang itu sudah terkenal dengan tabiatnya menghamburkan janji yang tak'kan ditepatinya,\" demikian Mahar berorasi di tengah-tengah kami yang duduk meling- kar di bawah filicium . Jarinya menunjuk-nunjuk langit seperti seorang koordinator demonstrasi. \"Kita tidak akan pernah menjadi bagian dari segerombolan penipu! Sekolah kita adalah sekolah Islam bermartabat, kita tidak akan menjual kehormatan kita demi sebuah jam tangan plastik murahan!. Mahar demikian berapi-api dan kami bersorak-sorai mendukung pendiriannya. Dan mungkin karena kecewa kepada para pemimpin bangsa maka Mahar memberi sebuah nama yang sangat memberi inspirasi untuk band kami, yaitu: Republik Dangdut. Maharadalah Jules Verne kami. la penuh ide gila yang tak terpikirkan orang lain, walaupun tak jarang idenya itu absurd dan lucu. Salah satu contohnya adalah ketika ketua RT punya masalah dengan televisinya. TV hitam putih satu-satunya hanya ada di rumah beliau dan tidak bisa dikeluarkan dari kamarnya yang sempit karena kabel antenanya sangat pendek dan ia kesulitan mendapatkan kab el untuk memperpanjangnya. Kab el itu tersambung pada antena di puncak pohon randu. Keadaan 115 Laskar Pelangi

mendesak sebab malam itu ada pertandingan final badminton All Englandantara Svend Pri melawan Iie Sumirat. Begitu banyak penonton akan hadir, tapi ruangan TV sangat sempit. Sejak sore Pak Ketua RT takenak hati karena banyak handai taulan yang akan bertamu tapi tak 'kan semua mendapat kesempatan menonton pertandingan seru itu. Ketika beliau berkeluh kesah pada kepala sekolah kami, maka Mahar yang sudah kondang akal dan taktiknya segera dipanggil dan ia muncul dengan ide ajaib ini: \"Gambar TV itu bisa dipantul- pantulkan melalui kaca, Ayahanda Guru,\" kata Mahar berbinar- binar dengan ekspresi lugunya. Pak Harfan melonjak girang seperti akan meneriakkan \"eureka!\" Maka digotonglah dua buah lemari pakaian berkaca besar ke rumah ketua. Lemari pertama diletakkan di ruang tamu dengan po sisi frontal terhadap layar TV dan ruangan itu paling tidak menampung 17 orang. Sedangk an lemari kedua ditempatkan di beranda. Lemari kaca kedua diposisikan sedemikian rupa sehingga :dapat menangkap gambar TV dari lemari kaca pertama. Ada sekitar 20 orang menonton TV melalui lemari kaca di beranda. Tak ada satu pun penonton yang tak kebagian melihat aksi Iie Sumirat. Penonton merasa puas dan benar-benar menonton dari layar kaca dalam arti sesungguhnya. Meskipun Svend Pri yang kidal di layar TV menjadi normal di kaca yang pertama dan kembali menjadi kidal pada layar lemari kaca kedua. Menurutku inilah ide paling revolusioner, paling lucu, dan paling hebat yang pernah terjadi pada dunia penyiaran. Aku rasa yang dapat menandingi ide kr eatif ini hanya penemuan remo te contr ol beberapa waktu kemudian. Kepada majelis penonton TV yang terhormat Pak Harfan berulang kali menyampaikan bahwa semua itu adalah ide Mahar, dan bahwa Mahar itu adalah muridnya. Murid yang dibanggakannya habis-habisan. 116 Laskar Pelangi

Sayangnya, seperti banyak dialami seniman hebat lainnya, mereka jarang sekali mendapat perhatian dan penghargaan yang memadai. Gaya hidup dan pemikiran mereka yang mengawang- awang sering kali disalahartikan. Misalnya Mahar, kami sering menganggapnya manusia aneh, pembual, dan tukang khayal yang tidak dapat membedakan antara realitas dan lamunan. Keadaan ini diperparah lagi dengan ketidakmampuan kami mengapresiasi karya- karya seninya. Sehingga beberapa karya hebatnya malah mendapat cemo ohan. Kenya- taannya adalah kami tidak mampu menjangkau daya imajinasi dan pesan-pesan abstrak yang ia sampaikan melalui karya-karya tersebut. Kami selalu membesar -besarkan ke- kurangannya ketika sebuah pertunjukangagal total, tapi jika berhasil kami jarang ingin memujinya. Mungkin karena masih kecil, maka kami sering tidak adil padanya. 117 Laskar Pelangi

Bab 14 Orang-orang sawang PAPILIO blumei , kupu-kupu tropis yang men awan berwarna hitam bergaris biru-hijau itu mengunjungi pucuk filicium . Kehadiran mereka semakin cantik karena kehadiran kupu- kupu kuning berbintik metalik yang disebut pure clouded yellow . Mereka dan lidah atap sirap cokelat yang rapuh menyajikan komposisi warna kontras di atas sekolah Muhammadiyah. Dua jenis bidadari taman itu melayanglayang tanpa bobot bersukacita. Tak lama kemudian, seperti tumpah dari langit, ikut bergabung kupu-kupu lain, danube clouded yellow . Hanya para ahli yang dapat membedakan pure clouded yellow dengan danube clouded yellow , berturut-turut nama latin mereka adalah Colias crocea dan Colias myrmidone . Di mata awam kecantikan mereka sama: absolut, dan hanya dapat dibayangkan melalui keindahan namanya. Keduanya adalah si kuning berawan yang memesona laksana Danau Danube yang melintasi Eropa: sejuk, elegan, dan misterius. Berbeda dengan tabiat unggas yang cenderung agresif dan eksibisionis, makhluk- makhluk bisu berumur pendek ini bahkan tak 118 Laskar Pelangi

tahu kalau dirinya cantik. Meskipun jumlahnya ratusan, tapi kepak sayapnya senyap dan mulut mungil indahnya diam dalam kerupawanan yang melebihi taman lotus. Melihat mereka rasanya aku ingin menulis puisi. Saat ratusan pasang danube clouded yellow berpatroli melingkari lingkaran daun- daun filicium , maka mereka menjelma menjadi pasir kuning di Dermaga Olivir. Sayap- sayap yang menyala itu adalah fatamorgana pantulan cahaya matahari, berkilauan di atas.butiran-butiran ilmenit yang terangkat ab rasi. Sebuah daya tarik Belitong yang lain, pesona pantai dan kekayaan material tambang yang menggoda. Kupu-kupu clouded yellow dan Papilio blumei saling bercengkrama dengan harmonis seperti sebuah reuni besar bidadari penghuni berbagai surga dari agama yang berbeda-beda. Jika diperhatikan dengan saksama, setiap gerakan mereka, sekecil apa pun, seolah digerakkan oleh semacam mesin keserasian. Mereka adalah orkestra warna , dengan insting sebagai konduktornya. Dan agaknya dulu memang telah diatur jauh-jauh hari sebelum mereka bermetamorfosis, telah tercatat di Lauhul Mahfuzh saat mereka masih meringkuk berbedak-bedak tebal dalam gulungan- gulungan daun pisang, bahwa sore ini mereka akan menari-nari di pucuk- pucuk filicium , bersenda gurau, untuk memberiku pelajaran tentang keagungan Tuhan. Kupu-kupu ini sering melakukan reuni setelah hujan lebat. Sayangnya sore ini, pemandangan seperti butiran-butiran cat berwarna-warni yang dihamburkan dari langit itu serentak bubar dan harmoni ekosistem hancur berantakan karena serbuan sepuluh sosok Homo sapiens. Makhluk brutal ini memanjati dahan-dahan filicium, bersoraksorai, dan bergelantungan mengklaim dahannya masingmasing. Kawanan itu dipimpin oleh setan kecil bernama Kucai. Berada pada posisi puncak rantai makanan seolah melegitimasi kecenderungan Homo sapiens untuk merusak tatanan alam. Kucai mengangkangi dahan tertinggi, sedangkan Sahara, satu- satunya betina dalam kawanan itu, bersilang kaki di atas dahan 119 Laskar Pelangi

terendah. Pengaturan semacam itu tentu bukan karena budaya patriarki begitu kental dalam komunitas Melayu, tapi semata-mata karena pakaian Sahara tidak memungkinkan ia berada di atas kami. Ia adalah muslimah yang menjaga aurat rapat-rapat. Kepentingan kami tak kalah mendesak dibanding keperluan kaum unggas, fungi, dan makhluk lainnya terhadap filicium karena dari dahan-dahannya kami dapat dengan leluasa memandang pelangi. Kami sangat menyukai pelangi. Bagi kami pelangi adalah lukisan alam, sketsa Tuhan yang mengandung daya tarik men cengangkan. Tak tahu siapa di antara kami yang pertama kali memu lai hobi ini, tapi jika musim hujan tiba kami tak sabar menunggu kehadiran lukisan langit menakjubkan itu. Karena kegemaran kolektif terhadap pelangi maka Bu Mus menamai kelompok kami Laskar Pelangi. Sore ini, setelah hujan lebat sepanjang hari, terbentang pelangi sempurna, setengah lingkaran penuh , terang benderang dengan enam lapis warna. Ujung kanannya berangkat dari Muara Genting seperti pantulan permadani cermin sedangkan ujung kirinya tertanam di kerimbunan hu tan pinus di lereng Gunung Selu mar . Pelangi yang menghunjam di daratan ini melengkung laksana jutaan bidadari berkebaya war na-warn i terjun menukik ke sebuah danau terpencil, bersembunyi malu karena kecantikannya. Kini filicium men jadi gaduh karena kami bertengkar bertentangan pen dapat tentang panorama ajaib yang terb entang melingkupi Belitong Timur. Berbagai versi cerita mengenai pelangi menjadi debat kusir. Dongeng yang paling seru tentu saja dikisah kan oleh Mahar. Ketika kami mendesak nya ia sempat ragu -ragu. Pandangan matanya mengisyaratkan bahwa: kalian tidak akan bisa men jaga informasi yang sangat penting ini! Dia diam demi membuat pertimbangan serius, namun akhirnya ia menyerah, bukan kepada kami yang memohon tapi kepada hasratnya sendiri yang tak terkekang untuk membual. 120 Laskar Pelangi

\"Tahukah kalian ...,\" katanya sambil memandang jauh. \"Pelangi sebenarnya adalah sebuah lorong waktu!\" Kami terdiam, suasana jadi bisu , terlen a khayalan Mahar. - \"Jika kita berhasil melintasi pelangi maka kita akan bertemu dengan orang- orang Belitong tempo dulu dan n enek moyang orang-orang Sawang. . Wajahnya tampak menyesal seperti baru saja membongkar sebuah rahasia keluarga yang terdalam dan telah disimpan tujuh turunan . Lalu dengan nada terpak sa ia melanjutkan, \"Tapi jangan sampai kalian bertemu dengan orang Belitong p rimitif dan leluh ur Sawang itu , karena mereka itu adalah kaum kanibal ...!!. Sekarang wajahnya pasrah. A Kiong menutup mulutnya dengan tangan dan hampir saja tertungging dari dahan karena melepaskan pegangan. Sejak kelas satu SD, A Kiong adalah pengikut setia Mahar. Ia percaya-dengan sep enuh jiwa-apa p unyang dikatakan Mahar. Ia memposisikan Mahar sebagai seorang suhu dan penasihat sprir itual. Mereka berdua telah menasbihkan diri sendiri dalam sebuah sek te ketololan kolektif. Demi mendengar kisah Mahar, Syahdan yang bertengger persis di belakang pendongeng itu dengan gerakan sangat takzim, tanpa diketahui Mahar, menyilangkan jari di atas keningnya dan mengesek-gesekkannya beberapa kali. Mahar tidak mengerti apa yang sedang terjadi di belakangnya. Sakit perut kami menahan tawa melihat kelakuan Syah dan. Baginya Mahar sudah tak waras. Lintang menepuk-nepuk punggung Mahar, menghargai ceritanya yang menakjubkan, tapi ia tersenyum simpul dan pura- pura batuk untuk menyamarkan tawanya. Kami terus memandangi keindahan pelangi tapi kali ini kami tak lagi berdebat. Kami diam sampai matahari membenamkan diri. Azan magrib menggema dipantulkan tiang-tiang tinggi rumah panggung orang Melayu, sahut-menyahut dari masjid ke masjid. 121 Laskar Pelangi

Sang lorong waktu perlahan hilang ditelan malam. Kami diajari tak bicara jika azan berkumandang. \"Diam dan simaklah panggilan menuju kemenangan itu ...,\" pesan orangtua kami. KAMI orang-orang Melayu adalah pribadi-pribadi sederhana yang memperoleh kebijakan hidup dari para guru mengaji dan orang-orang tua di surau-surau sehabis salat magrib. Kebijakan itu disarikan dari hikayat para nabi, kisah Hang Tuah, dan rima-rima gurindam. Ras kami adalah ras yang tua. Malay atau Melayu telah dikenal Albert Buffon sejak lampau ketika ia mengidentifikasi ras-ras besar Kau kasia, Negroid, dan Mongoloid. Meskipun banyak antropolog berp endapat bahwa ras Melayu Belitong tidak sama dengan ras Malay versi Buffon- dengan kata lain kami sebenarnya bukan orang Melayu—tapi kami tak membesar besarkan pendapat itu. Pertama karena orang-orang Belitong tak paham akan hal itu dan kedua karena kami tak memiliki semangat primordialisme. Bagi kami, orang-orang sepan jang pesisir selat Malaka sampai ke Malaysia adalah Melayu- atas dasar ketergila- gilaan mereka pada irama semenanjung, dentaman rebana, dan pantun yang sambut: menyambut-bukan atas dasar bahasa, warnakulit, kepercayaan, atau struktur bangun tulang-belulang. Kami adalah ras egalitarian. Aku melamun merenungkan cerita Mahar. Aku tak tertarik dengan lor ong waktu, tapi terpancang pada ceritanya tentang orang-orang Belitong tempo dulu. Minggu lalu ketika sedang memperbaiki sound system di masjid, demi melihat kabel centang perenang yang dianggapnya benda ajaib zaman baru, muazin kami yang telah berusia 70 tahun menceritakan sesuatu yang membuatku terkesiap. Cerita itu adalah tentang kakek beliau yang sempat bercerita kepadanya bahwa orangtua kakeknya itu, berarti mbah buyut atau datuk muazin kami, hidup berkelompok mengembara di sepanjang 122 Laskar Pelangi

pesisir Belitong. Mereka berpakaian kulit kayu dan mencari makan dengan cara menombak binatang atau menjeratnya dengan akar- akar pohon. Mereka tidur di dahan-dahan pohon santigi untuk menghindari terkaman binatang buas. Kala bulan purnama mereka menyalakan api dan memuja bulan serta bintang gemintang. Aku merinding memikirkan betapa masih dekatnya komunitas kami dengan kebudayaan primitif. \"Kita telah lama bersekutu dengan orang-orang Sawang. Mereka adalah pelaut ulung yang hidup di perahu. Suku itu berkelana dari pulau ke pulau. Di Teluk Balok leluhur kita menukar pelanduk, rotan, buah pinang, dan damar dengan garam buatan wanita-wanita Sawang . .., \" cerita muazinitu . Seperti ikan yang hidup dalam akuarium, selatiasa lupa akan air , begitu lah kami. Sekian lama hidup berdampingan dengan orang Sawang kami tak menyadari bahwa mereka sesungguhnya sebuah fenomena antro pologi. Dibanding orang Melayu pen ampilan mereka amat berb eda. Mereka seperti orang-orang Aborigin . Kulit gelap, rahang tegas, mata dalam, p andangan tajam, bidang kening yang semp it, str uktur tengkorak seperti suku Teuton, dan berambut kasat lurus sep er ti sikat. PN Timah mempekerjakan suku masku linini sebagai buruh yu ka, yaitu penjahit karung timah , pekerjaan strata terendah di gudang beras. Dan mereka bahagia dengan sistem pembayaran setiap hari Senin. Su lit dikatakan uang itu akan bertahan sampai Rabu. Tak ada kepelitan mengalir dalam pembuluh daraharang Sawang. Mereka memb elanjakan uang seperti tak ada lagi hari esok dan berutang seperti akan hidup selamanya. 123 Laskar Pelangi

Karena kekacauan perso alan manajemen keuang an ini, orang Sawang tak jarang menjadi korban stereotip di kalangan mayoritas Melayu. Setiap perilaku min us takayal langsung diasosiasikan dengan mereka. Diskredit ini adalah refleksi sikap disk riminatif sebagian orang Melayu yang takut direbut pekerjaan nya karena malas bekerja kasar. Sejarah men unjuk kan bahwa orang - orang Sawang memiliki integ ritas, mereka hidu peksk lusif dalam komunitasnya sen diri, tak usil dengan ur usan orang lain , memiliki eto s kerja ting gi, jujur , dan tak per nah berurusan dengan hu kum. Lebih dari itu, mereka tak pern ah lari dari u tang- utangnya. Orang Sawang senang sekali memarginalkan diri s end ir i. Itulah sifat alamiah mereka. Bagi mereka hid up ini hanya terd iri atas mandor yang mau membayar mereka setiap minggu dan pekerjaan kasar yang tak sang gup dikerjakan suku lain. Mereka tak memahami kon sep aristo krasi karenakultur mereka tak mengenal power distance . Orang yang tak memaklumi hal ini akan menganggap mereka tak tahu tata krama. Satu-satunya manusia terhormat di antara mereka adalah sang kepala suku, seorang shaman s ekalig us du kun , dan jabatan itu sama sekali bukan hereditas. PN memukimkan orang Sawang di Sebuah rumah panjang yang ber sekat- sekat. Di situ hidup 3 0 kepala keluarga.Tak ada catatanpasti dari mana mereka berasal. Mungkin kah mereka belum terpetak an oleh para antro polog? Tahu kah para pembuat kebijakan bahwa tingkat kelah iran mereka amat rendah sedangkan mortalitasnya begitu tinggi sehingg a di ru mah panjang hanya tertinggal b eberapa keluarga yang berdarah mur ni Sawang? Akan kah bahasa mereka yang indah hilang ditelan zaman? 124 Laskar Pelangi

Bab 15 Euforia musim hujan TAMBANG hitam terbentang cekung di atas permukaan air berwarna cokelat yang bergelora. Ujung tambang yang diikat dengan sepotong kayu bercabang tersangkut ke sebuah dahan kar et tua yang rapuh di tengah aliran sungai. Tadi Samson yang telah melemparkannya dengan gugup. Hampir tujuh belas meter jarak antara tepian sungai dan dahan karet tempat kayu satu meter itu tersangkut. Berarti lebar sungai ini paling tidak tiga p uluh meter dan dalamnya hanya Tuhan yang tahu. Alirannya meluncur deras tergesa-gesa, tipikal sungai di Belitong yang berawal dan berak hir di laut. Bagian membu jur permukaan sungai tampak berkilat-kilat disinari cahaya matahari. Sekarang ujung tambang satunya dipegangi A Kiong yang pucat pasi pada posisi melintang. Ia memanjat pohon kepang rindang yang berseberangan dengan pohon karet tadi dan menambatkan tali pada salah satu cabangnya. Badanku gemetar ketika aku melintas menuju pohon karet dengan cara menggeser- geserkangenggaman tanganku yang mencekik tambang erat-erat. Aku bergelantungan seperti tentara latihan perang. Kadang-kadang kakiku terlepas dari tambang dan menyentuh permukaan air yang meliuk-liuk, membuat darahku dingin berdesir. 125 Laskar Pelangi

Kulihat samar bayanganku di atas air yang keruh. Kalau aku terjatuh maka aku akan ditemukan tersangkut di akar-akar pohon bakau dekat jembatan Lenggang, lima puluh kilometer dari sini. SEMUA susah payah melawan larangan orangtua itu hanyalah untuk memetik buah-buah karet dan demi sedikit taruhan harga diri dalam arena tarak . Atau barangkali perbuatan bodoh itu justru digerakkan oleh keinginan untuk membongkar rahasia buah karet yang misterius. Kekuatan kulit buah karet tak bisa diramalkan dari bentuk dan warnanya. Pada rahasia itulah tersimpan daya tarik permainan mengadu kekuatan kulitnya. Permainan kunonan legendaris itu disebut tarak. Cuma ada satu hal yang agak berlaku umum, yaitu pohon-pohon karet yang buahnya sekeras batu selalu berada di tempat-tempat yang jauh di dalam hutan dan memerlukan nyali lebih, atau sikap nekat yang tolol, untuk mengambilnya. Di dalam ta rak , dua buah karet ditumpuk kemudian dipukul dengan telapak tangan. Buah yang tak pecah adalah pemenangnya. Inilah permainan pembukaan musim hujan di kampung kami, semacam pemanasan untuk menghadapi permainan-permainan lainnya yang jauh lebih seru pada saat air bah tumpah dari langit. SEIRING dengan semakingencarnya hujan mengguyur kampung-kampung orang Melayu Belitong, aura ta rak perlahan- lahan redup. Jika ta rak sudah tak dimainkan maka ` itulah akhir bulan September, begitulah tanda alam yang dibaca secara primitif. Wilayah- wilayah tropis di muka bumi akan mengalami mendung seharian dan hujan berkepajangan. Sementara di Barat sana, orang- orang menjalani hari-hari yang kelabu menjelang musim salju. Pada sepanjang bulan berakhiran \"-ber\", seisi dunia tampak lebih murung, maka tidak mengherankan di beberapa bagian barat angka statistik bunuh diri meningkat. Aku melongok keluar jendela, RRI mengumandangkan sebuah lagu lama sebelum siaran berita, Rayuan Pulau Kelapa . Alunan nada Hawaian yang tak lekang dimakan waktu mendayu-dayu membuat mata mengantuk . Sebuah siang yang syahdu, sesyahdu How ling Wolf saat menyanyikan lagu blues How Long Bab y, How Long . 126 Laskar Pelangi

Tapi suasana agak berbeda bagi kami. Acara sedih di bulan- bulan penghujung tahun ini adalah urusan orang dewasa. Bagi kami hujan yang pertama adalah berkah dari langit yang disambut dengan sukacita tak terkira-kira. Dan tak pernah kulihat di wilayah lain, hujan turun sedemikian lebat seperti di Belitong. Tujuh puluh persen daratan di Belitong adalah rain forest alias hutan hujan. Pulau kecil itu berada pada titik pertemuan Laut Cina Selatan di sisi barat dan Laut Jawa di sisi timur. Adapun di sisi utara dan selatan ia diapit oleh Selat Karimata dan Selat Gaspar. Letaknya yang terlindung daratan luas Pulau Jawa dan Kalimantan melindungi pantainya dari gelombang ekstrem musim barat, namun uapan jutaan kubik air selama musim kemarau dari samudra berkeliling itu akan tumpah seharian selama berbulan- bulan pada musim hujan. Maka hujan di Belitong tak pernah sebentar dan tak pern ah kecil. Hujan di Belitong selalu lama dan sejadi-jadinya seperti air bah tumpah ruah dari langit, dan semakin lebat hujan itu, semakingempar guruh menggelegar, semakin kencang angin mengaduk-aduk kampung, semakin dahsyat petir sambar- menyambar, semakin giranglah hati kami. Kami biarkan hujan yang deras mengguyur tubuh kami yang kumal. Ancaman dibabat rotan oleh orangtua kami anggap sepi. Ancaman tersebut tak sebanding dengan daya tarik luar biasa air hujan, binatang-binatang aneh yang muncul dari dasar parit, mobil-mobil proyek timah yang terb enam, dan bau air hujan yang menyejukkan rongga dada. Kami akan berhenti sendiri setelah bibir membiru dan jemari tak terasa karena kedinginan. Seluruh dunia tak bisa mencegah kami. Kami adalah para duta besar yang berkuasa penuh saat musim hujan. Para orangtua hanya menggerutu, frustrasi merasa dirinya tak dianggap. Kami berlarian, bermain sepak bola, membuat candi dari pasir, ber- pura-pura menjadi biawak, ber enang di lumpur, memanggil-manggil pesawat terbang yang melintas, dan berteriak keras-keras tak keruan kepada hujan, langit, dan halilintar seperti orang lupa diri. 127 Laskar Pelangi

Tapi lebih dari itu, yang paling seru adalah permainan tanpa nama yang melibatkan pelepah-pelepah pohon pinang hantu. Satu atau dua orang duduk di atas pelepah selebar sajadah, kemudian dua atau tiga orang lainnya menarik pelepah itu dengan kencang. Maka terjadilah pemandangan seperti orang main ski es, tapi secara manual karena ditarik tenaga manusia. Penumpang yang duduk di depan memegangi pelepah seperti penunggang unta sedangkan penumpang di belakang memeluknya erat-erat agar tidak tergelincir. Mereka yang bertubuh paling besar, yaitu Samson, Trapani, dan A Kiong menduduki jabatan penarik pelepah dan mereka amat bangga dengan jabatan itu. Puncak permainan ini adalah momen ketika para penarik pelepah yang bertenaga sekuat kuda beban berbelok mendadak serta dengan sengaja menambah kekuatannya di belokan itu. Maka penumpangnya akan melaju sangat kencang, terseret sejajar ke arah samping, meluncur mulus tapi deras sekali di atas permukaan lumpur yang licin, lalu menikung tajam dalam kecepatan tinggi. Aku rasakan tingkungan itu membanting tubuhku tanpa dapat kukendalikan dan sempat kulihat cipratan air bercampur lumpur yang besar menghempas dari sisi kanan pelepah mengotori para penonton: Sahara, Harun, Kucai, Mahar, dan Lintang. Mereka gembira luar biasa menerima cipratan air kotor itu , semakin kotorairnya semakin senang mereka. Mereka bertepuk tangan girang menyemangati kami. Sementara Syahdan yang duduk di belakangku memegang tubuhku kuat-kuat sambil bersorak-sorai. Syahdan bertindak selaku co-p ilot , dan aku pilotnya. Kami meluncur menyamping dengan tubuh rebah persis seperti gerakan laki-laki gondrong pengendara sepeda motor tong setan di sirkus atau lebih keren lagi seperti gerakan speed ra cer yang merendahkan tubuhnya untuk mengambil belokan maut. Sebuah gaya rebah yang penuh aksi. Pada saat menikung itu aku merasakan sensasi tertinggi dari permainan tradisional yang asyik ini. 128 Laskar Pelangi

Namun, cerita tidak selesai sampai di situ. Karena sudut belokan tersebut tidak masuk akal maka tikungan tersebut tak `kan pernah bisa diselesaikan. Para penarik bertabrakan sesama dirinya sendiri, terjatuh-jatuh jumpalitan, terbanting-banting tak tentu arah, sementara aku dan Syahdan terpental dari pelepah, terhempas, terguling-guling, lalu kami berdua terkapar di dalam parit. Kepalaku terasa berat, kuraba-raba dan benjolan kecilkecil bermunculan. Air masuk melalui hidungku, suaraku jadi aneh, seperti robot, dan ada rasa pening di bagian kepala seb elah kanan yang menjalar ke mata. Rasa itu hanya sebentar, biasa kita alami kalau air memasuki hidung. Aku tersedak-sedak kecil seperti kambing batuk. Lalu aku mencari-cari Syahdan. Ia terbanting agak jauh dariku. Tubuhnya telentang, tergeletak tak berdaya, air menggenangi setengah tubuhnya di dalam parit. Ia tak bergerak . Kami menghambur ke arah Syahdan. Aduh! Gawat, apakah ia pingsan? Atau gegar otak? Atau malah mati? Karena ia tak bernapas sama sekali dan tadi ia terpelanting seperti tong jatuh dari truk. Di sudut bibirnya dan dari lubang hidungnyakulihat darah mengalir, pelan dan pekat. Kami merubung tubuhnya yang diam seperti mayat. Sahara mulai terisak-isak, wajahnya pias. Aku memandangi wajah temanku yang lain, semuanya pucat pasi. A Kiong gemetar hebat, Trapani memanggil-manggil ibunya, aku sangat cemas. Aku menampar-nampar pipinya. \"Dan! Dan ...!\" Aku pegang urat di lehernya, seperti pernah kulihat dalam film Little House on The Prairie . Namun sayang sebenarnya aku sendiri tak mengerti apa yang kupegang, karena itu aku tak merasakan apa-apa. Samson, Kucai, dan Trapani turut menggoyang-goyang tubuh Syahdan, berusaha menyadarkannya. Tapi Syahdan diam kaku tak bereaksi. Bibirnya pucat dan tubuhnya dingin seperti es. Sahara menangis keras, diikuti oleh A Kiong. \"Syahdan ... Syahdan .., bangun Dan ...,\" ratap Sahara pedih dan ketakutan. 129 Laskar Pelangi

Kami semakin panik, tak tahu harus berbuat apa. Aku terus- menerus memanggil- manggil nama Syahdan, tapi ia diam saja, kaku, tak bernyawa, Syahdan telah mati. Kasihan sekali Syahdan, anak nelayan melarat yang mungil ini harus mengalami nasib tragis seperti ini. Kami menggigil ketakutan dad Samson memberi isyarat agar mengangkat Syahdan. Ketika kami angkat tubuhnya telah keras seperti sepotong balokes. Aku memegang bagian kepalanya. Kami gotong tubuh kecilnya sambil berlari. Sahara dan A Kiong meraung-raung. Kami benar-benar panik, namun dalam kegentinganyang memuncak tiba-tiba di gumpalan bulat kepala keriting yang kupeluk kulihat deretangigi-gigi hitam keropos dan runcing-runcing seperti dimakan kutu meringis ke arahku, kemudian ku- dengar pelan suara tertawa terkekeh-kekeh. Ha! Rupanya co-pilot -ku ini hanya berpura-pura tewas! Sekian lama ia membekukan tubuhnya dan berusaha menahan napas agar kami menyangka ia mati. Kurang ajar betul, lalu kami membalas penipuannya dengan melemparkannya kembali ke dalam parit kotor tadi. Dia senang bukan main. Ia terpingkal-pingkal melihat kami kebingungan. Kami pun ikut tertawa. Sahara menghapus tangisnya dengan lengannya yang kotor. Makin lama tawa kami makin keras. Kulirik lagi Syahdan, ia meringis kesakitan tapi tawanya keras sekali sampai- sampai keluarair matanya. Air matanya itu bercampur dengan air hujan. Anehnya, justru peristiwa terjatuh, terhempas, dan terguling- guling yang menciderai, lalu disusul dengan tertawa keras saling mengejekitulah yang kami anggap sebagai daya tarik terbesar permainan pelepah pinang. Tak jarang kami mengulanginya berkali- kali dan peristiwa jatuh seperti itu bukan lagi karena sudut tikungan, kecepatan, dan massa yang melanggar hukum fisika, tapi memang karena ketololan yang disengaja yang secara tidak sadar digerakkan 130 Laskar Pelangi

oleh spirit euforia musim hujan. Pesta musim hujan adalah sebuah perhelatan meriah yang diselenggarakan oleh alam bagi kami anak- anak Melayu tak mampu. 131 Laskar Pelangi

Bab 16 Puisi Surga Dan Kawanan Burung Pelintang Pulau NAH, seluruh kejadian ini terjadi pada bulan Agustus saat aku berada di kelas dua SMP. Kemarau masih belum mau per gi. Pohon-pohon angsana menjadi gundul, bambu- bambu kun ing meranggas. Jalan berbatu-batu kecil merah, setiap dihemp as kendaraan, mengembuskan debu yang melekat pada sir ip-sirip daun jendela kayu. Kota kecilku kering dan bau karat. Warga Tionghoa semakin rajin menekuni kebiasaannya: mandi saat tengah har i, menyisir rambutnya yang masih basah ke belakang, lalu memotongi ujung-ujung kukunya dengan antip. Hanya mereka yang tampak sed ikit bersih pada bulan-bulan seperti ini. Adapun warga suku Sawang termangu-mangu memeluk tiang- tiang rumah panjang mereka, terlalu panas untuk tidur di bawah atap seng tak berplafon dan terlalu lelah untuk kembali bekerja, dilematis. Orang-orang Melayu semakin kumal. Sesekali anak-anaknya melewati jalan raya membawa balok-balokes dan botol sirop Capilano. Hawa pengap tak ‘kan menguap sampai malam. Sebaliknya, menjelang dini hari suhu akan turun drastis, dingin tak 132 Laskar Pelangi

terkira, menguji iman umat Nabi Muhammad untuk beranjak dari tempat tidur dan shalat subuh di masjid. Perubahan ekstrem suhu adalah konsekuensi geografis pulau kecil yang dikelilingi samu dra. Karena itu kemarau di kampung kami menjadi sangat tidak menyen angkan. Kepekatan oksigen menyebabkan tu buh cepat lelah dan mata mudah mengan tuk. Namun, ada suka di mana-mana. Anda tentu paham mak sud saya. Bulan ini amat semarak karena banyak perayaan berken aan dengan hari besar negeri ini. Agustus, semuanya serba menggairahkan! Begitu banyak kegiatan yang kami rencanakan setiap bulan Agustus, antara lain berkemah! Ketika anak-anak SMP PN dengan bus birunya berek reasi ke Tanjong Pendam, mengunjungi kebun binatang atau museum di Tanjong Pan dan, bahkan verloop * ber sama orangtuanya ke Jakarta. Kami, SMP Muhammadiyah, pergi ke Pantai Pangkalan Punai. Jauh nya kira- kira 60 km, ditempuh naik sepeda. Semacam liburan murah yang asyik luar biasa. Meskipun setiap tahun kami mengunjungi Pangkalan Punai, aku tak pernah bosan dengan tempat ini. Setiap kali berdiri di bibir p antai aku selalu merasa terkeju t, persis seperti pasukan Alexanderagung pertama kali menemukan India. Jika laut berakhir di puluhan hektar daratan landai yang dipenuh i bebatuan sebesar rumah dan pohon -pohon rimba yang rindang merapat ke tepi paling akhir ombak pasang mengempas, maka kita akan menemukan keindahan pantai dengan cita rasa yang berbeda. Itulah kesan utama yang dapat kukatakan mengen ai Pangkalan Pun ai. Tak jauh dari p antai mengalirlah anak-anak sungai berair payau dan di sanalah para penduduk lokal tinggal di dalam rumah p anggung tinggi-ting gi dengan formasi berkeliling. Mereka juga orang-orang Melayu, orang Melayu yang menjadi nelayan. Berarti rumah-rumah ini tepatnya terkurung oleh hu tan lalu di tengahnya mengalir anak-anak sungai dan posisinya cenderung menjorok ke pinggir laut. Sebuah komposisi lanskap hasil karaya 133 Laskar Pelangi

tangan Tuhan . Keindahan seperti digambarkan dalam buku -buku komik Hans Christian ander sen. Namun, pemandangan semakin cantik jika kita mendaki bukit kecil di sisi barat daya Pangkalan. Saat sore menjelang, aku senang berlama- lama duduk sendiri di punggung bukit ini. Men dengar sayup-sayup suara anak-anak nelayan—laki-laki dan perempuan— menendang-nendang pelampung, bermain bola tanpa tiang gawang n un di bawah sana. Teriakan mereka terasa damai. Sekitar pu kul empat sor e, sinar matahar i akan meng guyur barisan pohon cemara angin yang tumbuh lebat di undakan bukit yang lebih tinggi di sisi timur laut. Sinar yang terhalang pepoh onan cemara anginitu membentu k segitiga gelap rak sasa, persis di tempat aku dudu k. Sebaliknya, di sisi lain, sinarnya ayang kontras menghunjam ke atas permukaan pan tai yang dangkal, sehingga dari kejauhan dapat kulihat pasir putih dasar laut. Jika aku menoleh ke belakang, maka aku dapat menyaksikan pemandangan padang sabana. Ribuan burung pipit menggelayuti rumput-rump ut tinggi, menjerit-jerit tak kar uan, berebu tan tempat tidur. Di sebelah sabana itu adalah ratusan pohon kelapa bersaling- silang dan di antara celah-celahnya aku melihat batu-batu raksasa khas Pangkalan Punai. Batu-batu raksasa yang membatasi tepian Laut Cina Selatan yang biru berkilauan dan luas tak terbatas. Seluruh bagian ini disirami sinar matahari dan aliran sungai payau tampak sampai jauh berkelok-kelok seperti cucuran perak yang dicairkan . Sebaliknya, jika aku melemparkan pandangan lurus ke bawah, ke arah formasi rumah panggung yang ber keliling tadi, maka sinar matahari yang mulai jingga jatuh persis di atas atap-atap daun nanga’ yang menyembul-nyembul di antara rindangnya dedaunan pohon santigi. Asap mengepul dari tungku-tungku yang membakar serabut kelapa untuk mengusir serangga magrib. Asap itu , diiringi suara azan magrib, merayap menembus celah-celah atap daun, hanyut pelan-pelan menaungi kampung seperti hantu, lamat-lamat merambati dahan-dahan pohon bintang yang berbuah manis, lalu hilang tersapu semilirangin, ditelan samud ra luas. Dari balik jendela-jendela kecil rumah panggung yang ber serakan di bawah 134 Laskar Pelangi

sana sinar lampu minyak yang lembut dan kuntum- kuntum api pelita menari-nari sepi. Pesona hakiki Pangkalan Pun ai membayangiku menit demi menit sampai terbawa-bawa mimpi. Mimp i ini kemudian kutulis menjadi sebuah puisi karena, sebagai bagian dari program berkemah, kami harus menyerahkan tugas untuk pelajaran kesenian berupa karangan, lukisan , atau pekerjaan tangan dari bahan-bahan yang didapat di pinggir pantai. Inilah puisiku. Aku Bermimpi Melihat Surga Sungguh, malam ketiga di Pangkalan Punai aku mimpi melihat surga Ternyata surga tidak megah, hanya sebuah istana kecil di tengah hutan Tidak ada bidadari seperti disebut di kitab-kitab suci Aku meniti jembatan kecil Seorang wanita berw ajah jernih menyambutku “Inilah surga” katanya. Ia tersenyum, kerling matanya mengajakku menengadah Seketika aku terkesiap oleh pantulan sinar matahari senja Menyirami kuba h-kubah istana Mengapa sina r matahari berwarna perak, jingga, dan biru? Sebuah keindahan yang asing Di istana surga Dahan-dahan pohon ara menjalar ke dalam kamar-kamar sunyi yang bertingkat- tingkat Gelas-gelas kristal berdenting dialiri air zamzam Menebarkan rasa kesejukan Bunga petunia ditanam di dalam pot-pot kayu Pot-pot itu digantungkan pada kosen-kosen jendela tua berwarna biru Di beranda, lampu-lampu kecil disembunyikan di balik tilam, indah sekali 135 Laskar Pelangi

Sinarnya memancarkan kedamaian Tembus membelah perdu-perdu di halaman Surga begitu sepi Tapi aku ingin tetap di sini Karenaku ingat janjimu Tuhan Kalau aku datang dengan berjalan ENGKAU akan menjemputku dengan berlari-lari Dengan puisi ini, un tuk pertama kalinya aku mendapat n ilai kesenian yang sedikit leb ih baik dari nilai Mahar, tapi hal itu hanya terjadi sekali itu saja. Puisiku ini membu ktikan bahwa karya seni yang baik, setidaknya baik bagi Bu Mus, adalah karya seni yang jujur. Namun, aku punya cerita yang panjang dan kurasa cukup penting mengapa kali ini Mahar tidak mendapatkan nilai kesenian tertinggi seperti baisanya. Semua itu gara-gara sekawanan burung hebat nan misterius yang din amai orang-orang Belitong sebagai burung pelintang p ulau. Nama burung pelintang pulau selalu menarik perhatian siapa saja, di mana saja, terutama di pesisir. Sebagian orang malah menganggap burung ini semacam makhluk gaib. Nama burung ini mampu menggetarkan nurani orang-orang pesisir sehubungan dengan nilai-nilai mitos dan pesan yang dibawanya. Burung pelin tang pulau amat asing. Para pencinta bur ung lokal dan orang-orang pesisir hanya memiliki pengetahuan yang amat minim mengenai b urung ini. Di mana habitatnya, bagaimana rupa dan ukuran aslinya, dan apa makanannya, selalu jadi polemik. Hanya segelintir orang yang sedang beruntung saja pernah melihatnya langsung. Burung ini tak pern ah tertangkap hidup- hidup. Kerahasiaan bruung ini adalah konsekuensi dari kebiasaannya. Nama pelintang pulau adalah cerminan kebiasaan burung ini terbang sangat kencang dan jauh tinggi melintang (melintasi) pulau demi pulau. Mereka hanya singgah sebentar dan selalu hinggap di 136 Laskar Pelangi

puncak tertinggi dari pohon-p ohon yang tingginya puluhan meter seperti pohon medang dan tanjung. Singg ahnya pun tak pern ah lama, tidak untuk makan apa pun. Mereka sangat liar, tidak mungkin bisa didekati. Setelah hinggap sebentar dengan kawanan lima atau enam ekor mereka terburu- buru terbang dengan kencang ke arah yang sama sekali tak dapat diduga. Banyak orangyang percaya bahwa mereka hidup di pulau-pulau kecil yang tak dihuni manusia. Sementara mitos lain mengatakan bahwa burung-burung ini hanya hinggap sekali saja pada sebuah kanopi di setiap pulau. Merekam enghabiskan sebagian b esar hidupnya terbang tinggi di angkasa, melintas dari satu p ulau ke pulau lain yang berjumlah puluhan di perairan Belitong. Orang-orang Melayu pesisir percaya bahwa jika burung ini singgah di kampung maka per tan da di laut sedang terjadi badai hebat atau angin puting beliung. Sering sekali kehadirannya membatalkan niat nelayan yang akan melaut. Tapi ada penjelasan lo gis untuk pesan ini, yaitu jika mereka memang tinggal di pulauterpencil maka badai laut akan menyap u p ulautersebut dan saat itulah mereka menghindar menuju pesisir lain. Burung yangkon on sangat cantik dengan do minasi warna biru dan kuning ini berukuran seperti burung bayan. Tapi aku agak kurang setuju dengan pendapat itu. Aku setuju dengan warnanya, tapi ukurannya pasti jauh lebih besar , karena saksi mata melihatnya berteng ger pulu han meter darinya sehingga akan tampak lebih kecil. Perkiraanku burung itu paling tidak berpenampilan seperti burung rawe yang beringas atau peregam segagah rajawali. Demikianlah burugn pelintang pulau, semakin misterius keberadaan nya, semakin legendaris ceritanya. Mungkinkah burung ini b elu m terpetakan oleh para ahli ornitologi? Namun, burung apa p un itu, ketika melakukan semacam penelitian untuk membuat tu gas kesenian yang ia putuskan berupa lukisan, Mahar mengaku melihat burung pelintang pulau nun jauh tinggi berayun -ayun di pucuk- 137 Laskar Pelangi

pucuk meranti. Ia pontang-p anting menuju tenda untuk memberitahukan apa yang baru saja dilihatnya, dan kami pun menghambur masuk ke hutan untuk menyaksikan salah satu spesies paling langka kekayaan fauna pulau B elitong itu. Sayangnya yang kami sak sikan hanya dahan-dahan yang kosong, beberapa ekoranak lutung yang masih berwar na kuning, dan langit hampa yang luas menyilaukan. Mahar menjebak dirinya sendiri. Maka, seperti biasa, mengalirlah ejekan untuk Mahar. “Kalau makan buah bintang kebanyakan, manisnya memang dapat membaut orang mabuk, Har, pandangan kabur, dan mulut melantur,” Samson menarik pelatuk dan pengh ujatan pun dimulai. “Sungguh Son, yang kulihat tadi burung pelintang pulau kawanan lima ekor.. “Dalam laut dapat kukira, dalamnya dusta siapa sangka,” dengan rima pantun yang seder hana Ku cai menohok Mahar.tanpa perasaan. Keputusasaan terpancar di wajah Mahar yang tanpa dosa, matanya mencari- cari dari dahan ke dahan. Aku iba melihatnya, dengan cara apa aku dapat membelanya? Tanpa saksi yang menguatkan, posisinya tak berdaya. Kulihat dalam-dalam mata Mahar dan aku yakin yang baru saja dilihatnya memang burung-burung keramat itu. Ah! Beruntung sekali. Sayangnya upaya Mahar meyakinkan kami sia-sia karena reputasinya sendiri yang senang membual. Itulah susahnya jadi pembual, sekali mengajukan kebenaran hakiki di antara seribu macam dusta, orang hanya akan menganggap kebenaran itu sebagai salah satu dari buah kebohongan lainnya. “Mungkin yang kau lihat tadi burung ayam-ayam yang sengaja hinggap di dahan tepat di atasmu utnuk mengencingi jambulmu itu,” cela Kucai. Tawa kami meledak menusuk perasaan Mahar. Burung ayam- ayaman tidak ek sklusif, terdapat di mana- mana, dan senang 138 Laskar Pelangi

bercanda di sepanjang saluran pembuangan pasar ikan. Perut-perut ikan adalah caviar bagi mereka. Burung itu selalu digunakan orang Melayu sebagai perlambang untuk menghina. Belum reda tawa kami Sahara berusaha menyadarkan kesesatan Mahar “Jangan kaucampuradukkan imajinasi dan dusta, kawan. Tak tahukah engkau, kebohongan adalah pantangan kita, larangan itu bertalu- talu diseb utkan dalam buku Budi Pekerti Muhammadiyah. . Trapan i mencoba sedikit berlogika, “Barangkali kau salah lihat Har, keluarga Lintang saja yang sudah empat turunan tinggal di pesisir tak pernah sekalipun melihat burung itu apa lagi kita yangbaru berkemah dua hari. . Masukakal juga, tapi nasib orang siapa tahu? Situasi makin kacau ketika sore itu ber itakunjungan burung pelin tang pulau menyebar ke kampung dan b eberapa nelayan batal melaut. Ibu Mus takenak hati tapi tak mengerti bagaimana menetralisasi suasana. Mahar semakin terpojok dan merasa bersalah. Namun percaya atau tidak, malamnya angin bertiup sangat kencang mengobrak-abr ik tenda kami. Beberapa batang poh on cemara tumbang. Di laut kami melihat petir menyambar-nyambar dengan dahsyat dan awan hitam di atasnya berugulung-gulung mengerikan. Kami lari terbirit-birit men cari perlindungan ke rumah penduduk. “Mungkin yang kau lihat tadi sore benar-bear burung pelintang pulau , Har,. kata Syahdan gemetar. Mahar diam saja. Aku tahu kata “mungkin” itu tidak tepat. Bagaimanapun juga badai ini sedikit banyak memihak ceritanya, mengurangi rasa ber salahnya, dan dapat menghindarkannya dari cap pembual, apalagi esoknya para nelayan berterima kasih padanya. Namun, ternyata temannya masih meragu kannya dengan menggunakan kata “mungkin”, padahal tenda kami sudah hancur lebur diaduk-aduk badai. Rasa tersinggungnya tidak berkurang sedikit pun. Pada tingkat ini dia sudah merasa dirinya seorang persona nongrata , orang yang tak disukai. 139 Laskar Pelangi

Demikianlah dari waktu ke waktu kami selalu memperlaku kan Mahar tanpa perasaan. Kami lebih melihatnya sebagai seorang bohemian yang aneh. Kami dibutakan tabiat orang pada umumnya, yaitu menganggap diri paling baik, tidak mau mengakui keunggulan orang, dan mencari-cari kekurangan orang lain untuk menutu pi ketidakbecusan diri sendiri. Kami jarang sekali ingin secarao bjektif membu ka mata melihat bakat seni hebat yang dimiliki Mahar dan bagaimaan bakat itu berkembang secara alami dengan menak jubkan. Namun, tak mengapa, lihatlah sebentar lagi, seluruh ketidak adilan selama beberapa tahun ini akan segara dibalas tuntas olehnya dengan setimpal. Cerita akan semakin seru! Besoknya Mahar membuat lukisan berjudu l “Kawanan Burung Pelintang Pulau”. Sebuah tema yang menarik. Lukisan itu berupa lima ekor burung yang tak jelas bentuknya melaju secepat kilat menembus celah-celah pucuk pohon meranti. Latar belakangnya adalah gumpalana awan kelam yang memancing badai hebat. Hamparan laut dilukis biru gelap dan per mukaannya berkilat-kilat memantulkan cahaya halilintar di atasnya. Kelima ekor burung itu hanya ditampakkan beru pa ser pihan- serpihan warna hijau dan kuning dengan ilustrasi tak jelas, seperti sesuatu yang berkelebat sangat cepat. Jika dilihat sepin tas, memang masih terlihat samar-samar seperti lima kawanan burung tapi kesan seluruhnya adalah seperti sambaran petir berwarna-warni. Sebuah lukisan penuh daya mito s yang menggettarkan. Dengan kekuatan imajinasinya Mahar berusaha mengabadikan sifat-sifat misterius burung ini. Yang ada dalam pemikiran di balik lukisan nya bukanlah bentuk an ato mis burung pelintang pulautapi representasi sebuah legenda magis, sifat-sifat alami burung pelintang pulau yang fenomenal, keterbatasan pengetahuan kita tentang mereka, karakternya yang suka menjauhi manusia, dan mitos-mitos ganjil yang menggerayangi setiap kepala orang pesisir. 140 Laskar Pelangi

Lukisan Mahar sesungguhnya merup akan swebuah karya hebat yang memiliki nyawa, mengand ung ribuan kisah, menentang keyakinan, dan mampu menggugah perasaan. Namun, Mahar tetaplah anak kecil dengan keterbatasan kosa kata untuk menjelaskan maksudnya. Ia kesulitan menemukan orang yang dapat memahaminya, dan lebih dari itu , ia juga seniman yang bekerja berdasarkan suasana hati. Maka ketika Samson, Syahdan, dan Sahara berpendapat bahwa bentuk burung yang tak jelas karena Mahar sebenarnya tak pern ah melihatnya, Mahar kembali tenggelam dalam sarkasme, mood -nya rusak beran takan. Inilah kenyataan pahit dunia nyata. Begitu banyak seniman bagus yang hidup di an tara orang-orang bu ta seni. Lingkungan umumnya tak memahami mereka dan lebih parah lagi, tanpa beban berani memberi komentar seenak udelnya. Ketika Mahar sudah berpikir dalam tataran imajinasi, simbol, dan substansi, Samson, Syahdan , dan Sahara masih berpikir harfiah. Kasihan Mahar, seniman besar kami yang sering dilecehkan. Karena kecewa sebab karyanya dianggap tak jujur, Mahar setengah hati menyerahkan karyanya kepada Bu Mus sehingga terlambat. Inilah yang menyebabkan nilai Maharagak berkurang sedikit. Yaitu karena melanggar tata tertib batas penyerahan tugas, bukan karena pertimbangan artistik . Ironis memang. “Kali ini Ibunda tidak memberimu nilai terbaik untuk mendidikmu sendiri,” kata Bu Mus dengan bijak pada Mahar yang cuek saja. “Bu kan karena karyamu tidak bermutu, tapi dalam bekerja apa pun kita harus memiliki disiplin.. Aku rasa pandangan ini cukup adil. Sebaliknya, aku dan kami sekelas tidak menganggap keunggulanku dalam nilai kesenian sebagai momentu m lahirnya sen iman baru di kelas kami. Seniman besar kami tetap Mahar, the one and only . Adapun Mahar yang nyentrik sama sekali tidak peduli. Ia tak ambil p using mengen ai bagaimana karya-karya seninya dinilai 141 Laskar Pelangi

dalam skala angka-angka, apalagi sekarang ia sedang sibuk. Ia sedang berusaha keras memikirkan konsep seni untuk karnaval 17 Agustus. 142 Laskar Pelangi

Bab 17 Ada Cinta Di Toko Kelontong Bobrok Itu MEMANG menyenangkan menginjak remaja. Di sekolah, mata pelajaran mulai terasa berman faat. Misalnya pelajaran membuat telurasin, menyemai biji sawi, membedah perut kodok, keterampilan menyulam, menata janur, membuat pupuk dari kotoran hewan, dan praktek memasak. Konon di Jep ang pada tingkat ini para siswa telah belajar semikon duktor, sudah bisa menjelaskan perbedaan antara istilahan alog dan digital, sudah belajar membuat animasi, belajar software development , ser ta praktik merakit robot. Tak mengapa, lebih dari itu kami mulai terbata-bata berbahasa Inggris: Good this , good that, excuse me, I beg yo ur pardon, dan I am fine thank you. Tugas yang paling menyenangkan adalah belajar menerjemahkan lagu. Lagu lama Have I Told You Lately That I Love You ternyata mengandung arti yang aduhai. Dengarlah lagu penuh peson a cin ta ini. Bermacam-macam vokalis kelas satu telah membawakannya termasuk pria midlan d bersuara serak: Mr. Rod Stewart. Tapi sedapat mungkin dengarlah versi Kenny Rogers dalam album Vote For Lo ve Volume 1 . Lagu can tik itu ada di trek pertama. Syair lagu itu kira-kira bercerita tentang seorang anak muda yang benci sekali jika disuruh gurunya membeli kapur tulis, sampai 143 Laskar Pelangi

pada suatuhari ketika ia berangkat dengan jengkel untuk membeli kapur tersebut, tanpa disadarinya, nasib telah menunggunya di pasar ikan dan menyergapnya tanpa ampun . Membeli kapuradalah salah satu tu gas kelas yang paling tidak menyen angkan. Pekerjaan lain yang amat kami benci adalah menyiram bunga. Beragam familia pakis mu lai dari kembang tanduk rusa sampai puluhan po t suplir kesayangan Bu Mus serta rupa-rupa kaktus topi uskup , Parodia , dan Mammillaria harus diperlaku kan dengan sopan seperti porselen mahal dari Tiongkok. Belum lagi deretanpanjang p ot amarilis, kalimatis, azalea, nanas sabrang, C alathea , Stro man the , Abutilon , kalmus, damar kamar, dan anggrek Dendrobium dengan berbagai variannya. Berlaku semena- men a terhadap bunga-bunga ini merupakan pelanggaran ser ius. “Ini adalah bagian dari pen didikan! ” pesan Bu Mus serius. Masalahnya adalah mengambil air dari dalam sumur di belakang sekolah merupakan pekerjaan kuli kasar. Selain harus mengisi penuh dua buah kaleng cat 15 kilogram dan pontang-pan ting memikulnya, sumur tua yang angker itu sangat mengerikan . Sumur itu hitam, berlumut, gelap, dan menakutkan. Diameternya kecil, dasarnya tak kelihatan saking dalamnya, seolah tersambung ke dunia lain , ke sarang makhluk jadi-jadian . Beban hidup terasa berat sekali jika pagi-pagi sekali harus menimba air dan menund uk ke dalam sumur itu. Hanya ketika menyirami bunga strip ped canna beauty aku merasa sed ikit terhibur. Ah, indahnya bunga yang semula tumbuh liar di bukit-bukit lembap di Brazil ini. Masih dalam familia Apocynaceae maka agak sedikit mirip dengan alamanda tapi strip- strip putih pada bunganya yang berwarna kuning adalah daya tarik tersendiri yang tak dimiliki jenis canna lain. Daun hijaunya yang menjulur gemuk-gemuk kontras dengan gradasi warna kuntum bunga sepanjang musim, menghadirkan pesona keindahan p urba. Orang Parsi menyebutnya bunga surga. Jika ia merekah maka dunia 144 Laskar Pelangi

tersenyum. Ia adalah bunga yang emosional, maka menyiramnya harus berhati- hati. Tidak semua orang dapat menumbuhkannya. Konon hanya mereka yang bertangan dingin, berhati lembut putih bersih yang mamp u membiakkannya, ialah Bu Muslimah, guru kami. Kami memiliki b eberapa pot stripped canna beauty dan sep akat menempatkan nya pada po sisi yang terhormat di antara tanaman-tanaman kerdil nan cantik Peperomia , daun picisan, sekulen, dan Ardisia . Ketika tiba musim bersemi bersamaan, maka tersaji sebuah pemandangan seperti kue lapis di dalam nampan. Aku selalu tergesa-g esa menyirami bunga biar tugas itu cepat selesai, namun jika tiba pada bagian canna itu dan para tetangganya tadi, aku berusaha setenang- tenangnya. Aku menikmati suatu lamunan, menduga-d uga apa yang dibayangkan orang jika berada di tengah-tengah surga kecil ini. Apakah mereka merasa sedang berada di taman Jurassic? Aku melihat sekeliling kebun bunga kecil kami. Letaknya persis di depan kantor kepala sekolah. Ada jalan kecil dari batu-batu persegi empat menu ju kebun ini. Di sisi kiri kanan jalan itu melimpah ruah Monstera , Nolina , Violces , kacang polong, cemara udang, keladi, begonia , dan aster yang tumbuh tinggi-tinggi serta tak per lu disiram. Bunga-bunga ini tak teratur, kaya raya akan nektar, berdesak- desakan dengan bunga berwarna menyala yang tak dikenal, bermacam-macam rump ut liar, kerasak , dan semak ilalang. Secara umum kebun bunga kami mengensankan taman yang dirawat sekaligus kebun yang tak terpelihara, dan hal ini justru secara tak sengaja menghadirkan paduan yang menarik hati. Latar belakang kebun itu adalah sekolah kami yang doyong, seperti bangunan kosong tak dihuni yang dilupakan zaman. Semuanya memperkuat kesan sebuah paradiso liar, keeksotisan tropika. Lalu erambat pada tiang lonceng adalah dahan jalar labu air. Seperti tangan rak sasa ia menggerayangi dinding papan pelepak sekolah kami, tak terbendung menujangkau-jangkau atap sirap yang 145 Laskar Pelangi

terlep as dari pakunya. Sebag ian dahannya merambati pohon jambu mawar dan dlima yang meneduhi atap kantor itu. Cabang- cabang buah muda labu air terkulai di depan jendela kantor sehingga dapat dijangkau tangan . Burung-burugngelatik rajin bergelantungan di situ. Sepanjang pagi tempat itu riuh r endah oleh suarakumbang dan lebah madu. Jika aku memusatkan pendengaran pada dengungan ribuan lebah madu itu, lama-kelamaan tubuhku seakan kehilangan daya berat, mengapung di udara. Itulah kebun sekolah muhammadiyah, indah dalam ketidakteraturan, seperti lukisan Kandinsky. Kalau bukangara-gara su mur sarang jin yang hor or itu, pekerjaan menyiram bung a seharusnya b isa menjadi tugas yang menyen angkan. Namun, tugas memebli kapuradalah pekerjaan yang jauh lebih horor . Toko Sinar Harapan, pemasok kapur satu-satunya di Belitong Timur, amat jauh letaknya. Sesampainya di sana—di sebuah toko yang sesak di kawasan kumuh pasar ikan yang becek— jika perut tidak kuat, siapa pun akan muntah karena bau lobak asin, tauco, kanji, keru puk udang, ikan teri, asam jawa, air tahu, terasi, kembang kol, pedak cumi, jengkol, dan kacang merah yang ditelantarkan di dalam baskom- baskom karatan di depan toko. Jika beran i masu k ke dalam toko, bau itu akan bercampur dengan bau plastik bungkus mainan anak-anak, aroma kapur barus yang membuat mata berair, bau cat minyak, bau gaharu , bau sabun colek, bau obat nyamuk, bau ban dalam sepeda yang bergelantungan di sembarang tempat di seantero toko, dan bau tembakau lapu k di atas rak -rak b esi yang telah ber tahun-tahun tak laku dijual. Dagangan yang tak laku ini tidak dibuang karena pemiliknya menderita suatu gejala psikologis yang disebut hoarding , sakit gila n o. 28, yaitu hobi aneh mengumpulkan barang-barang rongso kan tak berguna tapi sayang dibuang. Seluruh akumulasi bau tengik itu masih ditambah lagi dengan aroma keringat kuli-kuli panggul yang petantang-p etenteng membawa gancu, ingar- bingar dengan 146 Laskar Pelangi

bahasanya sendiri, dan lalu- lalang seenaknya memanggu l karung tepung terigu. Belum seberapa, pusat bau busuk yang sesung guhnya berada di lo s pasar ikan yang bersebelahan langsung dengan Toko Sinar Harapan. Di sini ikan hiu dan pari dsangkutkan pada can tolan paku dengan cara menusukkan banar mulai dari insang sampai ke mulu t binatang malang itu, sebuah pemandangan yang mengerikan. Bau amis darah menyebar keseluruh sudut pasar. Perut-perut ikan dibiarkan bertump uk-tumpuk di sep anjang meja, berjejal tumpah berserakan di lantai yang tak pernah dibersihkan. Dan bau yang paling parah berasal dari makh luk-makh luk laut hampir busuk yang disimpan dalam peti-p eti terbuka dengan es seadanya. Pagi itu giliran aku dan Syahdan berangkat ke toko bobrok itu. Kami naik sepeda dan membuat perjanjian yang bersungguh - sungguh, bahwa saat berangkat ia akan memboncengku. Ia akan mengayuh sepeda setengah jalan sampai ke sebuh kuburan Tionghoa. Lalu aku akan menggantikannya mengayuh sampai ke pasar. Nanti pulangnya berlaku aturan yang sama. Suatu pengaturan tidak masuk akal yang dibuat oleh orang-orang frustrasi. Ditambah lagi satu syarat cerewt lainnya, yaitu setiap jalan menan jak kami harus turun dari sepeda lalu sepeda dituntun bergantian dengan umlah langkah yang diperhitungkan secara teliti. Tu buh Syahdan yang kecil terlonjak-lonjak di atas batang sepeda laki punya Pak Harfan saat ia bersusah payah mengayuh pedal. Sepeda itu terlalu besar untuknya sehingga tampak seperti kendaraana yang tak bisa iakuasai, apalagi dibebani tu buhku di tempat duduk belakang. Namun, ia bertekad terus mengayuh sekuat tenaga. Siapa pun yang melihat pemandangan itu pasti prihatin sekaligus tertawa. Tapi suasana hatiku sedang tidak peka untuk segala bentuk komedi. Aku duduk di belakang, tak acuh pada kesusahannya. “Turun d ulu, tuan raja ...,” Syahdan menggodaku ketika sep eda kami menanjak. 147 Laskar Pelangi

Ia ngos-ngosan, tapi tersenyum lebar dan membungkuk laksana seorangp enjilat. Syahdan selalu riang menerima tugas apa pun, termasuk menyiram bunga, asalkan dirinya dapat menghin darkan diri dari pelajaran di kelas. Baginya acara pembelian kapur ini adalah vakansi kecil-kecilan sambil melihat beragam kegiatan di pasar dan kesempatan mengobrol dengan b eberapa wanita muda pujaan nya. Aku turun dengan malas, dingin, tak tertarik dengan kelakarnya, dan tak punya waktu untuk bertoleransi pada penderitaan p ria kecil ini. Kami sampai di sebuah Toapekong. Di depannya ada bangunan rendah berbentuk seperti kue bulan dan di tengah bangunan itu tertempel foto hitam putih wajah serius seorang nyonya yang disimpan dalam bidang yang ditutupi kaca. Lelehan lilin merah berserakan di sekitarnya. Itulah kuburan yang kumaksud taid dalam perjan jian kami, maka tibalah giliranku mengayuh sepeda. Aku naiki sepeda itu tanpa selera, setengah hati, dan sejak gelindingan ro da yang pertama aku sudah memarahi diriku sen diri, menyesali tugas ini, toko busuk itu, dan pengaturan bodoh yang kami baut. Aku menggerutu karena rantai sepeda reyo t itu terlalu kencang sehingga berat untuk aku mengayuhnya. Aku juga mengeluh karena hukum yang tak pernah memihak orang kecil: sadel yang terlalu tinggi, para koruptor yang bebas berkeliaran seperti ayam h utan, Syahdan yang berat meskipun badannya kecil, dunia yang tak pernahadil, dan baut dinamo sepeda yang longgar sehingga gir- nya menempel di ban akibatnya semakin berat mengayuhnya dan menyalakan lampu sepeda di siang bolong ini persis kendaraan pembawa jenazah. Syahdan du duk dengan penuh nikmat di tempat du duk belakang sambil menyiul-nyiulkan lagu Semalam di Malaysia . Ia tak ambil pusing mendegar ocehanku, peluh hampir masuk ke dalam kelopak matanya tapi wajahnya riang gembira tak alang kepalang. 148 Laskar Pelangi

Lalu kami memasuki wilayah bangunan permanen yang berderet- deret, berhadapan satu sama lain hampir beradu atap. Inilah jejeran toko kelontong dengan konsep menjual semua jenis barang. Sepeda kami meliuk-liuk di antara truk-truk rak sasa yang diparkir seenak nya di depan warung-warung kopi. Di sana hiruk pikuk para karyawan rendahan PN Timah, pengangguran, b romocorah, pensiun an, pemulung besi, polisi pamong praja, kuli panggul, sopir mobil omprengan, para penjaga malam, dan pegawai negeri. Pemb icaraan mereka selalu seru , tapi selalu tentang satu topik, yaitu memaki-maki pemerintah. Setelah deretan warung kopi lalu berdiri hitam berminyak- minyak beberapa bengkel sepeda dan tenda-tenda pedagang kaki lima. Kelompok ini berada di sela-sela mobil omp rengan dan para pedagang dadakan dari kampung yang menjual berbagai hasil bumi dalam keranjang-keranjang pempang. Pedagang kampung ini menjual beragam jenis rebung, umb i-umbian, pinang, sirih, kayu bakar, mad u pahit, jeru k nipis, gaharu, dan pelanduk yang telah diasap. Bagian ak hir pasar ini adalah meja-meja tua panjang, par it- parit kecil yang mampet, dan tong-tong besar untuk menampung jeroan ikan, sapi, dan ayam. Baunya membuat perut mual. Inilah pasar ikan. Pasar ini sengaja ditempatkan di tepi seungai dengan maksud seluruh limbahnya, termasuk limbah pasar ikan, dapat dengan mudah dilungsurkan ke sungai. Tapi pasar ini berada di dataran rendah. Akibatnya jika laut pasang tinggi sungai akan menghanyutkan kembali gunungan sampah organik itu menu ju lorong-lorong sempit pasar. Lalu ketika air surut sampah itu tersangkut pada kaki-kaki meja, tumpukan kaleng, pagar-pagar yang telah patah , pangkal-pangkal pohon seri, dan tiang-tiang kayu yang cen tang perenang. Demikianlah pasar kami, hasil karya perencanaan kota yang canggih dari para arsitek Melayu yang paling kampungan . Tidak dekaden tapi kacau balau bukan main. 149 Laskar Pelangi

Toko Sinar Harapan terletak sangat strategis di tengah p usaran bau busuk. Ia berada di antara para pedagang kaki lima, bengkel sepeda, mobil-mobil omprengan, dan pasar ikan. Pembelian sekotak kapuradalah transaksi yang tak penting sehingga pembelinya harus menunggu sampai juragan toko selesai melayani sekelompok pria dan wanita yang menutup kepalanya dengan sarung dan berpakaian dengan dominasi warna kuning, hijau , dan merah. Di sekujur tubuh wanita-wanita ini bertaburan perhiasan emas—asli maupun imitasi, perak, dan kuningan yang sangat mencolok. Mereka tidak tertarik untuk berbasa-basi dengan orang-orang Melayu di sekelilingnya. Mereka hanya berbicara sesama mereka sendiri atau sed ikit bicara dengan Bang Sadatau “bangsat”. Itulah panggilan untuk Bang Arsyad, orang Melayu, tangan kalaA Miauw sang juragan Toko Sinar Harapan, karena kadang-kadang tabiat Bang Sad tak jauh dari namanya. Pria-pria bersar ung ini berbicara sangat cepat dengan nada yang beresklasi harmonis naik turun dalam band yang lebar , maka akan terdengar persis pola akumulatif suara ombak menghemp as pantai, suatu lingua yang sangat cantik. A Miauw sendiri adalah sesosok teror. Pira yang sok mendapat hoki ini sangat berlagak bagai b os. Tubuhnya gend ut dan ia selalu memakai kaus kutang, celan a pendek, dan sandal jepit. Di tangannya tak pernah lepas sebuah buku kecil panjang bersampul motif batik, buku u tang. Pensil terselip di daun telinganya yang berdaging seperti bakso dan di atas mejanya ada sempoa besar yang jika dimain kan bunyinya mampu merisaukan pikiran. Tokoknya lebih cocok jika disebut gudang rabat. Ratusan jenis barang bertumpuk-tu mpuk mencapai plafon di dalam ruangan kecil yang sesak. Selain berbagai jenis sayur, buah, dan makanan di dalam baskom-baskom karatan tadi, toko ini juga menjual sajadah, asinan kedondong dalam stopelas-stoples tua, pita mesin tik, dan cat besi dengan bonus kalender wanita berpakaian seadanya.Di dalam sebuah bufet kaca panjang dip ajang bedak kerang pemutih wajah murahan, tawas, mercon, peluru senapan angin, racun tikus, kembang api, dan antena TV. Jika kita terburu-buru membeli obat 150 Laskar Pelangi

diare cap kupu-kupu, maka jangan harap A Miauw dapat segera menemukannya. Kadang-kadang ia sendiri tak tahu di mana puyer itu disimpan. Ia seperti tertimbun dagangan dan tenggelam di tengah pusaran barang-barang kelontong. Kiak-kiak! . A Miauw memanggil tak sabar, dan Bang Sad tergo poh- gopoh menghampirinya. . Ma gai di Mangg ara masempo linna? . Orang-orang bersarung keberatan ketika mengamati har ga kaus lampu petromaks. Di Manggar leb ih murah kata mereka. . Kito lui, ba? Nga pe de Manggar harge e lebe mura? . Bang Sad menyampaikan keluhan itu pada juragannya dalam bahasa Kek campur Melayu. Aku sudah muak di dalam toko bau ini tapi sedikit terhibur dengan percakapan tersebut. Aku bar u saja menyaksikan bagaimana kompleksitas per bedaan budaya dalam komunitas kami didemonstrasikan. Tiga orang pria dari akar etnik yang sama sekali berbeda berko munikasi dengan tiga macam bahasa ibu masing- masing, campuraduk. Orang-orang yang berjiwa penuh prasangka akan menduga A Miau w sengaja merekayasa konfigurasi komunikasi seperti itu untuk keuntungannya sendiri, namun mari ku gambarkan sedikit kepribadian A Miauw. Ia memang pria congkak dengan intonasi bicara takenak didengar, wajahnya juga seperti orang yang selalu ingin memerintah, kata-katanya tidak bersahabat, dan badannya 151 Laskar Pelangi

bau tengik bawang putih, tapi ia adalah seorang Kong Hu Cu yang taat dan dalam hal berniaga ia jujur tak ada bandingannya. Maka dalam harmoni masyarakat kami, warga Tionghoa adalah pedagang yang efisien. Adapun para produsen berada di negeri antah berantah, mereka hanya kami kenal melalui tulisan made in ... yang tertera di buntut-buntut panci. Orang-orang Melayu adalah kaum konsumen yang semakin miskin justru semakin konsumtif. Sedangkan orang-orang pulau berkerudung tadi adalah para pembuka lapangan kerja musiman bagi warga suku Sawang yang memanggil belanjaan mereka. . S egere! Siun! Siun! ” hardik tiga orang Sawang, kuli panggul, yang numpang lewat, membyuarkan lamun anku. Mereka adalah kawan yang telah lamakukenal. Dolen, Baset, dan Kunyit, begitulah nama mereka. Agak nya urusan A Miauw dengan orang-orang berkerudung itu telah selesai dan sekarang masuk lah ia ke transaksi kap ur. “Aya...ya. .., Muhammadiyah! Kap ur tulis!” keluh A Miauw menarik napas panjang, seolah kami hanya akan merusak hokinya. Acara pemb elian kap uradalah rutin dan sama. Setelah menunggu sekian lama sampai hampir pingsan di dalam toko bau itu, A Miauw akan berteriak nyaring memerintahkan seseorang mengambil sekotak kapur. Lalu dari ruang belakang akan terdengar teriakan jawaban dari seseorang— yang selalu kuduga seorang gadis kecil— yang juga berbicara nyaring, lantang, dan cepat seperti kicauan burung murai batu. Kotak kapur dikeluarkan melalui sebuah lubang kecil per segi empat seperti kandang burung mer pati. Yang terlihat hanya sebuah tangan halus, sebelah kanan, yang sangat putih bersih, menjulurkan kotak kapur melalui lubang itu. Wajah pemilik tangan ini adlaah 152 Laskar Pelangi

misterius, sang burung murai batu tadi, tersembunyi di balik dinding papan yang membatasi ruangan tengah toko dengan gudang barang dagangan di belakang. Sang misteri ini tidak pernah b icara sepatah kata pun padaku. Ia menjulurkan kotak kapur dengan tergesa-gesa dan menarik tangannya cep at-cepat seperti orang mengumpankan daging ke kandang macan. Demikianlah berlangsung bertahun-tahun, prosedurnya tetap, itu-itu saja, tak berubah. Jika tangan nya menjulur tak kulihat ada cin cin di jari- jemarinya yang lentik, halus, panjang-panjang, dan ramping, namun siuka , gelang giok indah berwarna hijau tampak berkarakter dan melingkar garang pada pergelangan tangannya yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Dalam hatiku, jika kau berani macam-macam p astilah jemarinya secepat patukan bangau menusuk kedua bola mataku dengan gerakan kuntau yang tak terlihat. Mungkin pula gelang giok yang selalu membuatku segan itu diwarisinya dari kakeknya, seorang suhu sakti, yang mendapatkangelang itu dari mulut seekor naga setelah naga itu dibinasaan dalam pertarunagan dahsyat untuk merebut hati neneknya. Ah! Kiranya aku terlalu banyak nonton film shaolin. Namun, tahu kah Anda? Di balik kesan yang garang itu , di ujung jari-jemari lentik si misterius ini tertanam paras-paras kuku nan indah luar biasa, terawat amat baik, dan sangat memesona, jauh lebih memeson a dibanding gelang g iok tadi. Tak pernah kulihat kuku orang Melayu seindah itu, apalagi kuku orang Sawang. Ia tak pernah memakai kuteks. Aliran urat-urat halus berwarna merah tersembunyi samar- samar di dalam kukunya yang saking halus dan putihnya sampai tampak transparan. Ujung- ujung kuku itu dipo tong dengan pr esisi yang mengagumkan dalam bentuk seperti bulan sabit sehingga membentuk harmoni pada kelima jarin ya. Permukaan kulit di seputar kukunya sangat rapi, menandakan perawtan intensif dengan merendamnya lama-lama di dalam bejan 153 Laskar Pelangi

a yang berisi air hangat dan pucuk- pucuk daun kenanga. Ketika memanjang, kuku -kuku itu bergerak maju ke dep an dengan bentuk menunduk dan menguncup, semakinindah seperti batu-batu kecu bung dari Martapura, atau lebih tepatnya seperti batu kinyang air muda kebiru -biruan yang tersembunyi di kedalaman dasar Sungai Mirang. Amat berb eda dengan kuku Sahar yang jika memanjang ia akan melebar dan makin lama semakin menganga, persis seperti mata pacul. Dan yang tercantik dari yang paling cantik adalah kuku jari manisnya. Ia memperlihatkan seni perawatan kuku tingkat itnggi melalui potongan pendek natural dengan tepian kuku berwarnakulit yang klasik. Tak berleb ihan jikakukatakan bahwa paras kuku jari manis nona misterius ini laksana batu merah delima yang terindah di antara tumpukan harta karun raja brana yang tak ternilai harganya. Aku sudah terlalu sering mendapatkan tugas membeli kap ur yang menjengkelkan ini, sudah puluhan kali. Satu-satunya penghiburan dari tugas hor or ini adalah kesempatan menyaksikan sekilas kuku-kuku itu lalu menertawakan bagaimana kontrasnyakuku-kuku zamru d khatulistiwa tersebut dibanding potongan- potongan kecil terasi busuk di seantero toko bobrok ini. Karena terlalu sering, aku jadi hafal jadwal si nona misterius memotong kukunya setiap hari Jumat, lima minggu sekali. Demikianlah berlangsung selama beberapa tahun. Aku tak pernah seklai pun melihat wajah non aini dan ia pun sama sekali tak berminat melihat bagaimana rupaku. Bah kan setiap kuucapkan kamsia setelah kuterima kotak kapurnya, ia juga tidak menjawab. Diam seribu bahasa. Non penuh rahasia ini seperti pengejawantahan makhluk asing dari negeri antah berantah, dan ia dengan sangat konsisten menjaga jarak denganku. Tidak ada basa basi, tak adangobrol-ngobrol, tak ada buang-buang waktu untuk soal remeh-temeh, yang ada hanya b isnis! Kadangkala aku penasaran ingin melihat bagaimana wajah pemilik kuku -kuku nirwana itu . Apakah wajahnya seindah kuku- kukunya? Apakah jari-jari tangan kirinya seindah jari-jari tangan kan 154 Laskar Pelangi

annya? Atau .. . apakah dia Cuma punya satu tangan? Jangan- jangan dia tidak punya wajah ! Tapi semua pikiran itu hanya di dalam hatiku saja. Tak adaniat sedikit pun untuk mengintip wajahnya. Mendapat kesempatan memandangi kuku-kukunya saja pun cukuplah untuk membuatku bahagia. Kawan , aku tidak termasuk dalam golongan pria-pria yang kurang ajar. Biasanya setelah mengambil kapur, ikami langsung pulang, A Miauw akan mencatat di buku utang dan nanti akan dilunasi Pak Har fan setiapakhir bulan. Kami tak berurusan dengan masalah keuangan, dan ketika kami berlalu, si juragan itu tak sedikit pun melirik kami. Ia menjentikkan dengan keras biji-biji sempoe seolah mengingatkan “Utang kalian sudah menumpuk!. Bagi A Miauw kami adalah pelanggan yang tidak menguntungkan, alias hanya merepo tkan saja. Kalau sekali-kali Syah dan mendekatinya untuk meminjam pompa sepeda, ia akan meminjamkan pompa itu sambil mengomel meledak-ledak. Aku benci sekali melihat kaus kutangnya itu. Sekarang sudah hampir tengah hari, udara s emakin panas. Berada di tengah toko ini serasa direbus dalam panci sayur lo deh yang mendidih. Cuaca mendung tapi gerahnya tak terkira. Aku sudah tak tahan dan mau muntah. Untungnya A Miauw, seperti biasa, menjerit memerintah kan nona misterius agar menjulurkan kap ur di kotak merpati. Dengan pandangan matanya yang sok kuasa A Miauw memberiku isyarat untuk mengambil kapur itu. Aku berjalan cepat melintas iakrung- karung bawang putih tengik sambil menutup hid ung. Aku bergegas agar tugas penuh siksaan ini segera selesai. Namun, tinggal beberapa langkah mencapai kotak merpati sekejapangin semilir yang sejuk berembus meniup telingaku—hanya sekejap saja. Saat itu tak kusadari bahwa sang nasib yang gaib menyelinap ke dalam toko bobrok itu, mengepungku, dan menyergapku tanpa ampun, karena tepat pada momen itu ku dengar si nona berteriak keras mengejutkan: “Haiyaaaaa... . !!!. 155 Laskar Pelangi

Ber samaan dengan teriakan itu terdengar suara puluhan batangan kap ur jatuh di atas lantai ubin. Rupanya si kuku cantik semb rono sehingga ia menjatuh kan kotak kapur sebelum aku sempat mengambilnya. Maka kapur-kap ur itu sekarang berserakan di lantai. “Ah.. .,” keluh ku. Agaknya aku harus merangkak-rangkak, memunguti kapur- kapur itu di sela-sela karung buah kemiri, meskipun kulitnya telah dikelu pas, tapi buahnya masih basah sehingga berbau memusingkan kepala. Kuperlu kan ban tuan Syahdan, namun kulihat ia sedang berbicara dengan p utri tukang hok lo pan atau martabak terang bulan seperti orang men ceritakan dirinya sedang banyakuang karena baru saja selesai men jual 15 ekor sapi. Aku tak mau mengganggu saat-saat go mbalnya itu. Maka apa boleh buat, kup unguti susah payah kap ur-kapur itu. Sebagian kapur itu jatuh di bawah daun pintu terbuka yang dibatasi oleh tirai yang amat rapat, terbuat dari rangkaian keong- keong kecil. Aku tahu di balik tirai itu, sang nona itu juga memunguti kapur karenaku dengar gerutuan nya. “Haiyaaa . .. haiyaaa .. ... Ketika aku sampai pada kapur-kapur yang berserakan persis di bawah tirai itu, hatiku berkata pasti nona ini akan segera menutup pintu agaraku tidak punya kesempatan sedikit pun untuk melihat dia lebih dari melihat kukunya, namun yang terjadi kemudian sungguh di luar dugaan. Kejadiannya sangat mengeju tkan, karena amat cepat, tanpa disangka sama sekali, si n ona misterius justru tiba-tiba membuka tirai dan tindakan cer obohnya itu membuat wajah kami sama-sama terperanjat hampir bersentuhan!!! Kami beradu pandang dekat sekali ... dan suasana seketika menjadi hening ... . Mata kami bertatapan dengan perasaan yang tak dapat kulukiskan dengan kata-kata. Kapur-kapur yang telah iakumpulkan terlepas dari geng gamannya, jatuh berserakan, sedangkan kapur-kap ur yang ada di 156 Laskar Pelangi

genggamanku terasa dingin membeku seperti aku sedang men cengkeram batangan-batangan es lilin. Saat itu kau merasa jarum detik seluruh jam yang ada dunia ini berhenti berdetak. Semua gerakan alam tersentak diam dipotret Tuhan dengan kamera raksasa dari langit, blitz -nya membutakan, flash !!! Menyilaukan dan membekukan. Aku terpan a dan merasa seperti melayang, mati suri, dan mau pingsan dalam ekstase. Aku tahu A Miauw pasti sedang ber teriak- teriak tap i aku tak mendengar sepatah kata p un dan aku tahu per sis bau busuk toko itu semkin menjadi-jadi dalam udara pengap di bawah atap seng, tapi pancaindraku telah mati. Aliran darah di sekujur tubuhku menjadi dingin, jantungku berhenti berdetak seb entar kemudian berdegup kencang sekali dengan ritme yang kacau seperti kode morse yang meletup-letup kan pesan SOS. Leb ih dari itu aku menduga bahwa dia, si misterius berkuku seindah pelangi, yang tertegun seperti patung persis di depan hidungku ini, agaknya juga dilanda perasaan yang sama. . Siun! Siun! Segere...! ” teriak kuli-kuli Sawang, terdengar samar, menggema jauh berulang-ulang seperti didengungkan di dalam gua yang panjang dan dalam, mereka memintaku minggir. Tapi kami berdua masih terpaku pandang tanpa mampu berkata apa pun, lidahku terasa kelu, mu lutku terkunci rapat— leb ih tepatnya ternganga. Takada satu kata pun yang dapat terlaksana. Aku tak sanggup beranjak. Wanita ini memiliki aura yang melumpuhkan. Tatapan matanya itu mencengkeram hatiku. Ia memiliki struktur wajah lonjong dengan air muka yang sangat menawan. Hidungnya kecil dan bangir. Garis wajahnya tirus dengan tatapan mata k harismatik menyejukkan seklaigus menguatkan hati, seperti tatapan wanita-wan ita yang telah menjadi ibu suri. Jika menerima nasihat dari wanita bermata semacam ini, semangat pria mana pun akan berkobar. 157 Laskar Pelangi

Bajunya ketat dan bagus seperti akan berangkat kondangan, dengan dasar biru dan motif kembang p ortlan dica kecil-kecil berwarna hijau mu da menyala. Kerah baju itu memiliki kancing sebesar jari kelingking, tinggi sampai ke leher, merefleksikan keanggunan seorang wanita yang menjaga integritasnya dengan keras. Alisnya indah alami dan jarak antara alis dengan batas rambut di keningnya membentuk pr oporsi yang cantik memesona. Ia adalah lukisan Monalisa yang ditenggelamkan dalam danau yang dangkal dan dipandangi melalui terang cahaya bulan. Seperti kebanyakan ras Mongoloid , tu lang pipinya tidak men onjol, tapi bidang wajahnya, bangun bahunya, jenjang lehernya, potongan rambutnya, dan jatuh dagunya yang elegan menciptakan keseluruhan kesan dirinya benar-benar mirip Michelle Yeoh, bintang film Malaysia yang cantik itu. Maka terkuaklah rahasia yang tertutup rapi selama bertahun-tahun. Sang pemilik kuku-kuku indah itu ternyata seorang wanita mu da cantik jelita dengan aura yang tak dapat dilukiskan dengan cara apa pun. Kejadian ini membaut pipinya yang putih bersih tiba-tiba memerah dan matanya yang sipit bening seperti ingin menghamburkan air mata. Aku tahu bahwa selain sejuta perasaan tadi yang mungkin sama-sama melanda kami, ia juga merasakan malu tak terkira. Ia bangkit dengan cepat dan membanting pintu tanpa ampun. Ia tak peduli dengan kapur-kapuritu dan tak peduli padaku yang masih hilang dalam temp at dan waktu. Suara keras bantingan pintu itu membuatku siuman dari sebuah peson a yang memabukkan dan menyadarkan aku bah wa aku telah jatuh cinta. Aku limbung, kepalaku pening dan pandangan mataku berkunang-kun ang karena syok berat. Beberapa waktu berlalu aku masih ter duduk terbengong- bengong bertu mpu di atas lu tutku yang gemetar. Aku mencoba mengatur napas dan darahku berdesir menyelusuri seluruh tubuhku yang berkeringat dingin . Aku bar u saja dihantam secara dahsyat oleh cinta pertama pada pandangan yang paling pertama. Sebuah perasaan hebat luar biasa yang mungkin dirasakan manusia. 158 Laskar Pelangi

Aku berupaya keras bangun dan ketika aku menoleh ke belakang, orang-orang di sekelilingku , Syahdan yang menghamp iriku, A Miau w yang menunjuk-nunjuk, orang-orang bersarung yang pergi beriringan , dan kuli-kuli Sawang yang terhu yung- huyung karena beban piku lan nya, mereka semuanya, seolah bergerak seperti dalam slow motion , demikian indah , demikian anggun. Bahkan para uli panggul yang memilikul karung jengkol tiba-tiba bergerak penuh wibawa, santun, lembu t, dan berseni, seolah mereka sedang memperagakan busana Armani yang sangat mahal di atas catwalk . Aku tak peduli lagi dengan kotak kap ur yang isinya tinggal setengah. Aku berbalik meninggalkan toko dan merasa kehilangan seluruh b obot tubuh dan beban hidupku. Langkahku ringan laksana orang suci yang mampu berjalan di atas air. A ku menghampiri sepeda reyot Pak Harfan yang sekarang terlihat seperti sepeda keranjang baru. Aku dihinggapi semacam perasasaan bahagia yang aneh, sebu ah rasa bahagia bentuk lain yang b elu m pernah kualami sebelumnya. Rasa bahagia ini melebihi ketika aku men dapat hadiah radio tran sistor 2- ba nd dari ibuku sebagai upah mau disunat tempo hari. Ketika memp ersiapkan sepeda untuk p ulang, aku mencuri pandang ke dalam toko. Kulihat dengan jelas Michele Yeoh mengintipku dari balik tirai keong itu. Ia berlindung, tap i sama sekali tak menyembunyikan persaaannya. Aku kembali melayang menembus bintang gemerlapan, menari-nari di atas awan , menyanyikan lagu nostalgia Have I To ld You Lately That I Love You . Aku menoleh lagi ke b elakang, di situ, di antara tumpukan kemiri basah yang tengik, kaleng-kaleng minyak tanah, dan karung- karung pedak cumi aku telah menemukan cinta. Kutatap Syahdan dengan senyum terbaik yang aku memiliki— ia membalas dengan pandangan aneh— lalu kuangkat tubuhnya yang ekcil untuk mendudukkannya di atas sepeda. Aku ingin, degnangemira, mengayuh sepeda itu, membon ceng Syahdan, mengantarnya ke tempat-tempat di mana saja di jagad raya ini yang ia inginkan. Oh, inilah rupanya yang disebut mabuk kepayang! 159 Laskar Pelangi

Dalam perjalanan pulang aku dengan sengaja melanggar perjanjian. Setelah kuburan Tiongh oa aku tak meminta Syahdan menggantikanku. Karena aku sedang bersu kacita. Seluruh energi positif ko smis telah memberiku kekuatan ajaib. Semua terasa adil kalau sedang jatuh cinta. Cinta memang sering memb uat perhitungan menjadi kacau . Sepanjang perjalanan aku bersiul dengan lagu yang tak jelas. Lagu tanpa harmoni; lagu yang belum pernah tercipta, karena yang menyanyi bukan mulutku, tapi hatiku. Jika sedang tak bersiul di telingaku tak henti-henti berkumandang lagu All I Have to Do is Dream . Seusai pelajaran aku dan Syahdan dipanggil Bu Mus untuk mempertanggungjawabkan kapur yang kurang. Aku diam meatung, tak mau berdusta, tak mau menjawabapa pun yang ditanyakan, dan tak mau membantah apa pun yang dituduhkan. Aku siap menerima hukuman seberat apa pun—termasuk jikalau harus mengambil ember yang kemarin dijatuhkan Trapani di sumur horor itu. Saat itu yang ada di pikiranku hanyalah Michele Yeoh , Michele Yeoh, dan Michele Yeoh, serta detik -detik ketika cinta menyergapku tadi. Hukuman yang kejam hanya akan menambah sentimentil suasana romantis di mana aku rela masuk sumur mau t dunia lain sebagai pahlawan cinta pertama .... Ah! Cinta ... Benar saja hukumannya seperti kud uga. Sebelum turun ke dalam sumur sempat kulihat Bu Mus menginterogasi Syahdan yang mengangkat- angkat bahunya yang kecil, menggeleng-gelengkan kepalanya, dan menyilangkan jarinya di kening. “Hah! Ia menuduhku sudah sinting .. .?. 160 Laskar Pelangi

Bab 18 Moran BARU kali ini Mahar menjadi penata artistik karnaval, dan karnaval ini tidak main-main, inilah peristiwa besar yang sangat penting, karnaval 17 Agustus. Sebenar nya guru-guru kami agak pesimis karena alasan klasik, yaitu biaya. Kami demikian miskin sehingga tak pernah punya cukup dana untuk membuat karnaval yang representatif. Para guru juga merasa malu karena parade kami kumuh dan itu-itu saja. Namun, ada sedikit harapan tahun ini. Harapan itu adalah Mahar. Karnaval 17 Agustus sangat potensial untuk meningkatkangengsi sekolah, sebab ada penilaian serius di sana. Ada kategori busana terbaik, parade paling megah, peserta paling serasi, dan yang paling bergengsi: penampil seni terbaik. Gengsi ini juga tak terlepas dari integritas para juri yang dipimpin oleh seorang seniman senior yang sudah kondang, Mbah Suro namanya. Mbah Suro adalah orang Jawa, ia seniman Yogyakarta yang hijrah ke Belitong karena idealisme berkeseniannya. Karena sangat idelais maka tentu saja Mbah Suro juga sangat melarat. Seperti telah diduga siapa pun, seluruh kategori—mulai dari juara pertama sampai juara harapan ketiga—selalu diborong 161 Laskar Pelangi

sekolah PN. Kadang-kadang sekolah negeri mendapat satu dua sisa juara harapan. Sekolah kampung tak pernah mendapat penghargaan apa pun karena memang tasmpil sangat apa adanya. Tak lebih dari penggembira. Sekolah-sekolah negeri mampu menyewa pakaian adat lengkap sehingga tampil memesona. Sekolah-sekolah PN lebih keren lagi. Parade mereka berlapis-lapis, paling panjang, dan selalu berada di posisi paling strategis. Barisan terdep an adalah puluhan sepeda keranjang baru yang dihias berwarna-warni. Bukan hanya sepedanya, pengendaranya pun dihias dengan pakaian lucu. Lonceng sepeda edibunyikan dengan keras bersama-sama, sungguh semarak. Pada lapisan kedua berjejer mobil-mobil hias yang dindandani berbentuk perahu, pesawat terbang, helikopter, pesawat ulang alik Apollo, taman bunga, rumah adat Melayu, bahkan kapal keruk. Di atas mobil-mobil ini berkeliaran putri-putri kecil berpakaian putih bersih, bermahkota, dengan rok lebar seperti C inderella. Putri-putri peri ini membawa tongkat berujung bintang, melambai-lambaikan tangan pada para penonton yang bersukacita dan melempar-lemparkan permen. Setelah parade mobil hias muncullah barisan para profesional, yaitu para murid yang berdandan sesuai dengan cita-cita mereka. Banyak di antara mereka yang berjubah putih, berkacamata tebal, dan mengalungkan stetoskop. Tentulah anak-anak ini nanti jika sudah besar ingin jadi dokter. Ada juga para insinyur dengan pakaian overall dan berbagai alat, seperti test pen , obeng ,dan berbagai jenis kunci. Beberapa siswa membawa buku-buku tebal, mikroskop, dan teropong bintang karena ingin menjadi dosen, ilmuwan, dan astronom. Selebihnya berseragam pilot, pramugari, tentara, kapten kapal, dan polisi, gagah sekali. Guru- gurunya—di bawah komando Ibu Frischa— tampak sangat bangga, mengawal di depan, belakang, dan samping barisan, masing-masing membawa hand y talky . 162 Laskar Pelangi

Setelah lapisan profesi tadi muncul lapisan penghibur yang menarik. Inilah kelompok badut-badut, para pahlawan super seperti Superman, Batman, dan Captain America. Balon-balongas menyembul-nyembul dibawa oleh kurcaci dengan tali-tali setinggi tiang telepon. Dalam barisan ini juga banyak peserta yang memakai baju binatang, mereka menjadi kuda, laba-laba, ayam jago, atau ular-ular naga. Mereka menari-nari raing dengan koreografi yang menarik. Mereka juga bernyanyi-nyanyi sepanjang jalan, mendendangkan lagu anak-anak yang riang. Yang paling menponjol dari penampilan kelompokini adalah serombongan anak-anak yang berjalan-jalan memakai engrang. Di antara mereka ada seorang anak perempuan dengan egrang paling tinggi melintas dengan tangkas tanpa terlihat takut akan jatuh. Dialah Flo, dan dia melangkah ke sana kemari sesuka hatinya tanpa aturan. Penata rombongan ini susah payah menertibkannya tapi ia tak peduli. Ayah ibunya tergopoh-gopoh mengikutinya, berteriak- teriak menyuruhnya berhati-hati, Flo berlari-lari kecil di atas egrang itu membuat kacau barisannya. Penutup barisan karnaval sekolah PN adalah barisan marching band . Bagian yang paling aku sukai. Tiupan puluhan trambon laksana sangkakala hari kiamat dan dentuman timpani menggetarkan dadaku. Marching band sekolah PN memang bukan sembarangan. Mereka disponsori sepenuhnya oleh PN Timah. Koreografer, penata busana, dan penata musiknya didatangkan khusus dari Jakarta. Tidak kurang dari seratus lima puluh siswa terlibat dalam marching band ini, termasuk para colour guard yang atraktif. Tanpa marching band sekolah PN, karnav al 17 Agustus akan kehilangan jiwanya. Puncak penampilan parade karnaval sekolah PN adalah saat barisan panjang marching band membentuk fomrasi dua kali putaran jajarangenjang sambil memberi penghormatan di depan podium kehormatan. Dengan penataan musik, koregrafi, dan busana yang demikian luar biasa, marching band PN selalu menyabet juara pertama untuk kategori yang paling bergengsi tadi, 163 Laskar Pelangi

yaitu Penampil Seni Terbaik. Kategori ini sangat menekankan konsep performing art dalam trofinya adalah idaman seluruh peserta. Sudah belasan tahun terakhir, tak tergoyahkan, trofi tersebut terpajang abadi di lemari prestisius lambang supremasi sekolah PN. Podium kehormatan merupakan tempat terhormat yang ditempati makhluk- makhluk terhormat, yaitu Kepala Wilayah Operasi PN Timah, sekretarisnya, seseorang yang selalu membawa walky talky , beberapa pejabat tinggi PN Timah, Pak C amat, Pak Lurah, Kapolsek, Komandan Kodim, para Kepala Desa, para tauke, Kepala Puskesmas, para Kepala Din as, Tuan Pos, Kepala Cabang Bank BRI, Kep ala Suku Sawang, dan kepala-kepala lainnya, b eserta ibu. Podium ini berada di tengah-tengah pasar dan di sanalah pusat penonton yang paling ramai. Masyarakat lebih suka menonton di dekat podium daripada di pinggir-pinggir jalan, karena di podium para peserta diwajibkan beraksi, menunjukkan kelebihan, dan mempertontonkan atraksi andalannya sambil memberi penghormatan. Di sudut podium itulah bercokol Mbah Suro dan para juri yang akan memberi penilaian. Bagi sebagian warga Muhammadiyah, karnaval justru pengalamanyang kurang menyenangkan, kalautidak bisa dibilang traumatis. Karnaval kami hanya terdiri atas serombongan anak kecil berbaris banjar tiga, dipimpin oleh dua orang siswa yang membawa spanduk lambang Muhammadiyah yang terbuat dari kain belacu yang sudah lusuh. Spanduk itu tergantung menyedihkan di antara dua buah bambu kuning seadanya. Di belakangnya berbaris para siswa yang memakai sarung, kopiah, dan baju takwa. Mereka melambangkan tokoh-tokoh Sarekat Islam dan pelopor Muhammadiyah tempo dulu. Samson selalu berpakaian seperti penjaga pintu air. Tentu bukan karena setelah besar ia ingin jadi penjaga pintu air seperti ayahnya, tapi hanya itulah kostum karnaval yang ia punya. 164 Laskar Pelangi

Sedangkan pakaian tetap Syahdan adalah pakaian nelayan, juga sesuai dengan profesi ayahnya. Adapun A Kiong selalu mengenakan baju seperti juri kunci penunggu gong sebuah perguruan shaolin. Sebagian besar siswa memakai sepatu bot tinggi, baju kerja terusan, dan helm pengaman. Pakaian ini juga milik orangtuanya. Mereka memperagakan diri sebagai buruh kasar PN Timah. B eberapa orang yang tidak memiliki sepatu bot atau helm tetap nekat berparade memakai baju terusan. Jika ditanya, mereka mengatakan bahwa mereka adalah buruh timah yang sedang cuti. Selebihnya memanggul setandan pisang, jagung, dan semanggar kelapa. Ada pula yang membawa cangkul, pancing, beberapa jerat tradisional, radio, ubi kayu, tempat sampah, dan gitar. Agar lebih dramatis Syahdan membawa sekarung pukat, Lintang meniup-niup peluit karena ia wasit sepak bola, sementara aku dan Trapani berlari ke sana kemari mengibas-ngibaskan bendera merah karena kami adalah hakim garis. Beberapa siswa memikul kerangka besar tulang belulang ikan paus, membawa tanduk rusa, membalut dirinya dengan kulit buaya, dan menuntun beruk peliharaan—tak jelas apa maksudnya. Seorang siswa tampak berpakaian rapi, memakai sepatu hitam, celana panjang warna gelap, ikat pinggang besar, baju putih lengan panjang dan menenteng sebuah tas koper besar. Siswa ajaib ini adalah Harun. Tak jelas profesi apa yang diwakilinya. Di mataku dia tampak seperti orang yang diusir mertua. Demikianlah karnaval kami seetiap tahun. Tak melambangkan cita-cita. Mungkin karena kami tak berani bercita-cita. Setiap siswa disarankan memakai pakaian profesi orangtua karena kami tak punya biaya untuk membuat atau menyewa baju karnaval. Semuanya adalah wakil profesi kaum marginal. Maka dalam hal ini Kucai juga berpakaian rapi seperti Harun dan ia melambai- lambaikan sepucuk kartu pensiun kepada para penonton sebabayahnya adalah pensiunan. Sedangkan beberapa adik keclasku terpaksa tidak bisa mengikuti karnaval karena ayahnya pengangguran. 165 Laskar Pelangi

Satu-satunya daya tarik karnaval kami adalah Mujis. Meskipun bukan murid Muhammadiyah namun tukang semprot nyamuk ini selalu inginikut. Dengan dua buah tabung seperti penyelam di punggungnya dan topeng yang berfungsi sebagai kacamata dan penutup mulut seperti moncong babi, ia menyemprotkan asap tebal dan anak-anak kecil yang menonton di pinggir jalan berduyun-duyun mengikutinya. Jika melewati podium kehormatan, biasanya kami berjalan cepat-cepat dan berdoa agar parade itu cepat selesai. Nyaris tak ada kesenangan karena minder. Hanya Harun, dengan koper zaman The Beatles-nya tadi yang melenggang pelan penuh percaya diri dan melemparkan senyum penuharti kepada para petinggi di podium kehormatan. Mungkin dalam hati para tamu terhormat itu bertanya-tanya, “Apa yang dilakukan anak-anak beb ek ini?. Kenyataan inilah yang memicu pro dan kontra di antara murid dan guru Muhammadiyah setiap kali akan karnaval. Beberapa guru menyarankan agar jangan ikut saja daripada tampil seadanya dan bikin malu. Mereka yang gengsian dan tak kuat mental seperti Sahara jauh-jauh hari sudah menolak berpartisipasi. Maka sore ini, Pak Harfan, yang berjiwa demokratis, mengadakan rapat terbuka di bawah pohon fillicium . Rapat ini melibatkan seluruh guru dan murid dan Mujis. Beliau diserang bertubi-tubi oleh para guru yang tak setuju ikut karnaval, tapi beliau dan Bu Mus berpendirian sebaliknya. Suasana memanas. Kami terjebak di tengah. “Karnaval ini adalah satu-satunya cara untuk menunjukkan kepada dunia bahwa sekolah kita ini masiheksis di muka bumi ini. Sekolah kita ini adalah sekolah Islam yang mengedepankan pengajaran nilai-nilai religi, kita harus bangga dengan hal itu!. 166 Laskar Pelangi

Suara Pak Harfan ber gemuruh. Sebuah pidato yang menggetarkan. Kami bersorak sorai mendukung beliau. Tapi tak berhenti sampai di situ. “Kita harus karnaval! Apa pun yang terjadi! Dan biarlah tahun ini para guru tidak ikut campur, mari kita beri kesempatan kepada orang-orang muda berbakat seperti Mahar untuk menunjukkan kreativitasnya, tahukah kalian ... dia adalah seniman yang genius!. Kali ini tepuk tangan kami yang bergemuruh, gegap gempita sambil berteriak- teriak seperti suku Mohawk berperang. Pak Harfan telah membakar semangat kami sehingga kami siap tempur. Kami sangat mendukung keputusan Pak Harfan dan sangat senang karena akan digarap oleh Mahar, teman kami sekelas. Kami mengelu- elukannya, tapi ia tak tampak. Ooh, rupanya dia sedang bertengger di salah satu dahan filicium . Dia tersenyum. Sebagai kelanjutan kep utusan rapat akbar, Mahar serta-merta mengangkat A Kiong sebagai General Affairassistant , yaitu pembantu segala macam urusan. A Kiong mengatakan padaku tiga malam dia tak bisa tidur saking bangganya dengan penunjukan itu. Dan telah tiga malam pula Mahar bersemadi mencari inspirasi. Tak bisa diganggu. Kalau masuk kelas Mahar diam seribu bahasa. Belum pernah aku melihatnya seserius ini. Ia menyadari bahwa semua orang berharap padanya. Setiap hari kami dan para guru menunggu dengan was was konsep seni kejutan seperti apa yang akan ia tawarkan. Kami menunggu seperti orang menunggu buku baru Agatha Christie. Jika kami ingin berbicara dengannya dia buru-buru melintangkan jari di bibirnya menyuruh kami diam. Menyebalkan! Tapi begitulah seniman bekerja. Dia melakukan semacam riset, mengkhayal, dan berkontemplasi. Dia duduk sendirian menabuh tabla , mencari-cari musik, sampai sore di bawah filicium . Tak boleh didekati. Ia duduk melamun menatap langit lalu tiba-tiba berdiri, mereka-reka koreografi, berjingkrak-jingkrak sendiri, meloncat, duduk, berlari berkeliling, diam, berteriak-teriak seperti orang gila, menjatuhkan 167 Laskar Pelangi

tubuhnya, berguling- guling di tanah, lalu dia duduk lagi, melamun berlama-lama, bernyanyi tak jelas, tiba-tiba berdiri kembali, berlari ke sana kemari. Tak ada ombak tak ada anginia menyeruduk- nyeruduk seperti hewan kena sampar. Apakah ia sedang menciptakan sebuah master piece? Apakah ia akan berhasil membuktikan sesuatu pada event yang mempertaruhkan reputasi ini? Apakah ia akan berhasil membalikkan kenyataan sekolah kami yang telah dipandang sebelah mata dalam karnaval selama dua puluh tahun? Apakah ia benar-benar seorang penerobos, seorang pendobrak yang akan menciptakan sebuah prestasi fenomenal? Haruskan ia menanggung beban seberat ini? Bagaimanapun ia masih tetap seorang anak kecil. Kuamati ia dari jauh. Kasihan sahabatku seniman yang kesepian itu, yang tak mendapatkan cukup apresiasi, yang selalu kami ejek. Wajahnya tampak kusut semrawut. Sudah seminggu berlalu, ia belum juga muncul dengan konsep apa pun. Lalu pada suatu Sabtu pagi yang cerah ia datang ke sekolah dengan bersiul-siul. Kami paham ia telah mendapat pencerahan. Jin-jin telah meraupi wajah kucel kurang tidurnya dengan ilham, dan Dionisos, sang dewa misteri dan teater, telah meniup ubun- ubunnya subuh tadi. Ia akan muncul dengan ide seni yang seksi. Kami sekelas dan banyak siswa dari kelas lain serta para guru merubungnya. Ia maju ke depan siap mempresentasikan rencananya. Wajahnya optimis. Semua diam siap mendengarkan. Ia sengaja mengulur waktu, menikmati ketidaksabaran kami. Kami memang sudah sangat penasaran. Ia menatap kami satu per satu seperti akan memperlihatkan sebuah bola ajaib bercahaya pada sekumpulan anak kecil. “Tak ada petani, buruh timah, guru ngaji, atau penjaga pintu air lagi utnuk karnaval tahun ini!” teriaknya lantang, kami terkejut. 168 Laskar Pelangi

Dan ia berteriak lagi. “Semua kekuatan sekolah Muhammadiyah akan kita satukan untuk satu hal!!!. Kami hanya terperangah, belum mengerti apa maksudnya, tapi Mahar optimis sekali. “Apa itu Har? Ayolah, bagaimana nanti kami akan tampil, jangan bertele-tele!. tanya kami penasaran hampir bersamaan. Lalu inilah ledakan ide gemilangnya. “Kalian akan tampil dalam koreografi massal suku Masai dari Afrika! . Kami saling berpandangan, serasa tak percaya dengan pendengaran sendiri. Ide itu begitu menyengat seperti belut listrik melilit lingkaran pinggang kami. Kami masih kaget dengan ide luar biasa itu ketika Mahar kembali berteriak menggelegar melambungkangairah kami. “Lima puluh penari! Tiga puluh penabuh tabla! Berputar-putar seperti gasing, kita ledakkan podium kehormatan!. Oh, Tuhan, aku mau pingsan. Serta-merta kami melonjak girang seperti kesurupan, bertepuk tangan, bersorak sorai senang membayangkan kehebohan penampilan kami nanti. Mahar memang sama sekali tak bisa diduga. Imajinasinya liar meloncat-loncat, mendobrak, baru, dan segar. “Dengan rumbai-rumbai!” kata suara keras di belakang. Suara Pak Harfan sok tahu. Kami semakingegap gempita. Wajah beliau sumringah penuh minat. “Dengan bulu-bulu ayam!” sambung Bu Mus. Kami semakin riuh rendah. 169 Laskar Pelangi

“Dengan surai-surai!. “Dengan lukisan tubuh!. “Dengan aksesori!. Demikianguru-guru lain sambung-menyambung. “Belum pernah ada ide seperti ini!” kata Pak Harfan lagi. Para guru mengangguk-angguk salut dengan ide Mahar. Mereka salut karena selain kana menampilkan sesuatu yang berbeda, menampilkan suku terasing di Afrika adalah ide yang cerdas. Suku itu tentu berpakaian seadanya. Semakin sedikit pakaiannya— atau dengan kata lain semakin tidak berpakaian suku itu—maka anggaran biaya untuk pakaian semakin sedikit. Ide Mahar bukan saja baru dan yahud dari segi nilai seni tapi juga aspiratif terhadap kondisi kas sekolah. Ide yang sangat istimewa. Seluruh kalangan di perguruan Muhammadiyah sekarang menjadi satu hati dan mendukung penuh konsep Mahar. Semangat kami berkobar, kepercayaan diri kami meroket. Kami saling berpelukan dan men eriak kan nama Mahar. Ia laksana pahlawan. Kami akan menampilkan sebuah tarian spektakuler yang belum pernah ditampilkan sebelumnya. Dengan suara tabla bergemuruh, dengan kostum suku Masai yang eksotis, dengan koreografi yang memukau, maka semua itu akan seperti festival Rio. Kami sudah membayangkan penonton yang terpeona. Kali ini, untuk pertama kalinya, kami beran i bersaing. Setelah itu, setiap sore, di bawah pohon filicium , kami bekerja keras berhari-hari melatih tarian aneh dari negeri yang jauh. Sesuai dengan arahan Mahar tarian ini harus dilakukan dengan gerakan cepat penuh tenaga. Kaki dihentakkan-hentakkan ke bumi, tangan dibuang ke langit, berputar-putar bersama membentuk formasi lingkaran, kemudian cepat-cepat menunduk seperti sapi akan menanduk, lalu melompat berbalik, lari semburat tanpa arah dan 170 Laskar Pelangi

mundur kembali ke formasi semula dengan gerakan seperti banteng mundur. Kaki harus mengais tanah dengan garang. Demikian berulang-ulang. Tak ada gerakan santai atau lembut, semuanya cepat, ganas, rancak, dan patah-patah. Mahar menciptakan koreografi yang keras tapi penuh nilai seni. Asyik ditarikan dan merupakan olah raga yang menyehatkan. Tahukah Anda apa yang dimaksud dengan bahagia? Ialah apa yang aku rasakan sekarang. Aku memiliki minat besar pada seni, akan emmbuat sebuah performing art bersama para sahabat karib—dan kemungkinan ditonton oleh cinta pertama? Aku mengalami kebahagiaan paling besar yang mungkin dicapai seorang laki-laki muda. Kami sangat menyukai gerakan- gerakan nerjik rekaan Mahar dan kuat dugaanku bahwa kami sedang menarikan kegembiraan suku Masai karena sapi-sapi peliharaannya baru saja beranak. Selainitu selama menari kami harus meneriakkan kata-kata yang tak kami pahami artinya seperti, “Habuna! Habuna! Habuna! Baraba... baraba...baraba..habba...habba..homm!. Ketika kami tanyakan makna kata-kata itu, dengan gaya seperti orang memiliki pengetahuan yang amat luas sampai melampaui benua Mahar menjawab bahwa itulah pantun orang Afrika. Aku baru tahu ternyata orang Afrika juga memiliki kebiasaan seperti orang Melayu, gemar berpantun. Aku simpan baik-baik pengetahuan ini. Namun mengenai maksud, ternyata aku salah duga. Semula aku menyangka bahwa kami berdelapan—karena Sahara tak ikut dan Mahar sendiri menjadi pemain tabla—adlaah anggota suku Masai yang gembira karena sapi-sapinya beranak. Tapi ternyata kami adalha sapi-sapi itu sendiri. Karena setelah kami menari demikian riang gembira, kemudian kami diserbu oleh dua puluh ekor cheetah. Mereka mengepung, mencabik-cabik harmonisasi 171 Laskar Pelangi

formasi tarian kami, meneror, menerkam, mengelilingi kami, dan mengaum-aum dengan garang. Lalu situasi menjadi kritis dan kacau balau bagi paras api dan pada saat itulah menyerbu dua puluh orang Moran atau prajurit Masai yang sangat terkenal itu. Prajurit- prajurit ini menyelamatkan para sapi dan berkelahi dengan cheetah yang menyerang kami. Gerakan cheetah itu direka-reka Mahar dengan sangat genius sehingga mereka benar-benar tampak seperti binatang yang telah tiga hari tidak makan. Sedangkan para Moran dilatih lebih khusus sebab menyangkut keterampilan memainkan properti-properti seperti tombak, cambuk, dan parang. Demikianlah cerita koreografi Mahar. Keseluruhan fragmen itu diiringi oleh tabuhan tiga puluh tabla yang lantang bertalu-talu memecah langit. Para penabuh tabla juga menari-nari dengan gerakan dinamis memesona. Hasil akhirnya adalah sebuah drama seru pertarungan massal antara manusia melawan binatang dalam alam Afrika yang liar, sebuah karya yang memukau, master piece Mahar. Nuansa karnaval semakin tebal menggantung di awan Belitong Timur. Hari H semakin dekat. Seluruh sekolah sibuk dengna berbagai latihan. Marching band sekolah PN sepanjang sore melakukangeladi sepanjang jalan kampung. Baru latihannya saja penonton sudah membludak. Meneror semangat peserta lain. Tapi kami tak gentar. Situasi moril kami sedang tinggi. Melihat kepemimpinan, kepiawaian, dan gaya Mahar kepercayaan diri kami meletup-letup. Ia tampil laksana para event organizeratau para seniman, atau mereka yang menyangka dirinya seniman. Pakaiannya serba hitam dengan tas pinggang berisi walkman, pulpen, kacamata hitam, batu baterai, kaset, dan deodoran. Kami mengerahkan seluruh sumber daya civitas akademika Muhammadiyah. Latihan kami semakin serius dan yang palihng sering membaut kesalahan adalah Kucai. Meskipun dia ketua kelas tapi di panggung sandiwara ini Maharlah yang berkuasa. 172 Laskar Pelangi

Mahar mencoba menjelaskan maksudnya dengan berbagai cara. Kadang-kadang ia demikian terperinci seperti buku resep masakan, dan lebih sering ia merasa frustrasi. Namun, kami sangat patuh pada setiap perintahnya walaupun kadang-kadang tidak masuk akal. Tapi ini seni, Bung, tak ada hubungannya dengan logika. “Dalam tarian ini kalian harus mengeluarkan seluruh ener gi dan h arus tampak gembira! Bersukacita seperti karyawan PN baru terima jatah kain, seprti orang Saqwang dapat utangan, seperti para pelaut terdampar di sekolah perawat!. Aku sungguh kagum dari mana Mahar menemukan kata-kata seperti itu. Ketika istirahat A Kiong berbisik pada Samson, “Son, aku baru tahu kalau di Belitong ada sekolah perawat di pinggir laut?. Rupanya bisikan polos itu terdengar oleh Sahara yang kemduian, seperti biasa, merepet panjang mencela keluguan A Kiong, “Apa kau tak paham kalau itu perumpamaan! Banyak - banyaklah membaca buku sastra!. 173 Laskar Pelangi

Bab 19 Sebuah Kejahatan Terencana DAN tibalah hari karnaval. Hari yang sangat mendebarkan. Mahar merancang pakaian untuk cheetah dengan bahan semacam terpal yang dicat kuning bertutul-tutul sehingga dua puluh orang adik kelasku benar-benar mirip hewan itu. Wajah mereka dilukis seperti kucing dan rambut mereka dicat kuning menyala-nyala dengan bahan wantek. Tiga puluh pemain tabla seluruh tubuhnya dicat hitam berkilat tapi wajahnya dicat putih mencolok sehingga menimbulkan pemandangan yang sangat aneh. Sedangkan dua puluh Moran atau prajurit Masai sekujur tubuhnya dicat merah, mereka menggunakan penutup kepala berup a jalinan besar ilalang, membawa tombak panjang, dan mengenakan jubah berwarna merah yang sangat besar. Tampak sangat garang dan megah . Tampaknya Mahar memberi perhatian istimewa pada delapan ekor sapi. Pakaian kami paling artistik. Kami memakai celana merah tua yang menutup pusar sampai ke bawah lutut. Seluruh tubuh kami dicat cokelat muda seperti sapi Afrika. Wajah dilukis berbelang- belang. Pergelangan kaki dipasangi rumbai-rumbai seperti kuda 174 Laskar Pelangi

terbang dengan lonceng-lonceng kecil sehingga ketika melangkah terdengar suara gemerincing semarak. Di pinggang dililitkan selendang lebar dari bahan bulu ayam. Kami juga memakai beragam jenis aksesoris yang indah, yaitu anting-anting besar yang dijepit dan gelang-gelang yang dibuat dari akar-akar kayu. Yang paling istimewa adalah penutup kepala. Tak cocok jika disebut topi, tapi lebih sesuai jika disebut mahkota seribu rupa. Mahkota ini sangat besar, dibuat dari lilitan kain semacam stagen yang sangat panjang. Lalu berbagai jenis benda diselipkan, dijepit, atau dijahit pada stagen itu. Puluhan bulu angsa dan belibis, berbagai jenis perdu sepanjang hampir satu meter, dahan sapu- sapu, berbagai bunga liar, berbagai jenis daun, dan bendera- bendera kecil. Empat hari Sahara membuat mahkota hebat ini. Lalu punggung kami dipasangi sesuatu seperti surai kuda, bahannya— seperti tertulis pada sketsa—adalah tali rafia. Kami adalah sapi yang anggun dan megah. Inilah rancangan adiguna karya Mahar. Secara umum kami tidak tampak seperti sapi. Dilihat dari belakang kami lebih mirip manusia keledai, dari samping seperti ayam kalkun, dari atas seperti sarang burung bangau. Jika dilihat dari wajah, kami seperti hantu. Aksesori yang tampaknya biasa saja adlaah untaian kalung. Juga sesuai dengan sketsa rancangan Mahar, kami akan memakai kalung besar yang terbuat dari benda-benda bulat sebesar bola pingp ong berwarna hijau. Tak ada yang istimewa dengan kalung ini dan tak seorang pun mau membicarakannya. Kami sibuk membahas mahkota kami. Kami yakin mahkota ini akan membuat orang kampung ternga-nga mulutnya dan wanita-wanita muda di kawasan pasar ikan berebutan kirim salam. Tak disangka ternyata kalung yang tak menarik perhatian itulah sesungguhnya sentral ide seluruh koreografi ini. Tak ada seorang yang menduga bahwa pada untaian anak-anak kalung itu Mahar menyimpan rahasia terdalam daya magis pen ampilan kami, yang membuatnya tidak tidur tiga hari tiga malam. Sesungguhnya kalung itulah puncak tertinggi kreativitas Mahar. 175 Laskar Pelangi

Setelah seluruh pakaian siap, Mahar mengeluarkan aksesori terakhir dari dalam karung, yaitu kalung tadi. Jumlahnya delapan sejumlah sapi. Kami semakingirang. Tentu Mahar telah bersusah payah sendirian membuatnya. Kalung itu dibaut dari buah pohon aren yang masih hijau sebesar bola pingpong yang ditusuk seperti sate dengan tali rotan kecil. Kami berebutan memakainya. Tak banyak pengetahuan kami mengenai buah hutan ini. Sebelum parade kami berkumpul berpegangan tangan, menundukkan kepala untuk berdoa, mengharukan. Seperti telah kami duga, sambutan penonton di sepanajng jalan sangat luar biasa. Mereka bertepuk tangan dan berlarian mengikuti dari belakang untuk melihat penampilan kami di depan podium kehormatan. Menjelang podium kami mendengar gelegar suara sepuluh unit trimpani, yaitu drum terbesar. Suaranya menggetarkan dada dan ditimpali oleh suara membahan a puluhan instrumen brass mulai dari tuba, horn, trombon, klarinet, trompet, saksopon tenor dan bariton yang dimainkan puluhan siswa. Marching band sekolah PN sedang beraksi! Pakaian pemain marching band dibedakan berdasarkan instrumen yang dimainkan. Yang paling gagah adalah barisan bass drum yang tampil menggunakan pakaian prajurit Romawi. Mereka membuat helm bertanduk runcing dan benar- benar mencetak aluminium menjadi rompi lalu mengecatnya dengan warnakuningan. Pemain simbal memakai rompi berwarna- warni dan bawahan celana p anjang biru yang dimasukkan dalam sepatu bot Pendragon yang mahal setinggi lutut. Mereka seperti sekawanan ksatria yang baru turun dari punggung kuda-kuda putih. Marching band PN tampil semakin baik setiap tahun. Mereka selalu menunjukkan bahwa mereka yang terbaik. Sebagai entry podium kehormatan mereka melantunkan glenn Miller’s In the Mood dengan interpretasi yang pas. Penonton melenggak-lenggok diayun irama swing yang asyik. Para colour guard serta-merta menyesuaikan koreografinya dengan gaya kabaret khas tahun 60-an. Panggung kasino Las Vegas segera berpindah ke 176 Laskar Pelangi

sudut pasar ikan Belitong yang kumuh. Setiap siswa yang terlibat dalam marching band ini belum- belum sudah mengumbar senyum kemenangan seolah seperti tahun-tahun lalu: Penampil Seni Terbaik tahun ini pasti mereka sabet. Tapi jika menyaksikan mereka beraksi agaknya keyakinan itu memang sangat beralasan. Sebagai puncak atraksi di depan podium mereka membawakan Concerto for Trumpet dan Orchestra yang biasa dilantunkan Wynton Marsalis. Dalam nomor ini penampilan mereka amat mengagumkan. Agaknya mereka sudah bisa dikompetisikan di luar negeri. Komposisi ini sesungguhnya adalah musik klasik karya Johann Hummel tapi oleh Marching Band PN dibawakan kembali dalam aransemen big band dengan kekuatan brass section yang memukau. Bagian intro Concerto indah itu diisi atraksi lima belas pemain blira dengan pecahan suara satu, dua, dan tiga. Lalu ikut bergabung hentakan-hentakan sepuluh pasang simbal, bass drum, dan timpani. Tempo dan bahana mereka pelankan ketika puluhan snare drum mengambil alih. Jiwa siapa pun yang mendengarnya akan tergetar. Belum tuntas sensasi penonton dengan buaian snare drum yang cantik rancak tiba-tiba para colour guard memasuki medan, membentuk formasi dan menampilkan tarian kontemporer yang memikat. Bayangkan indahnya: sebuah big band dengan kekuatan brasss, kostum yang gemerlapan, dan koreografi kontemporer. Ribuan penonton bertepuk tangan kagum. Kemudian mereka bersorak-sorai ketika tiga orang mayoret—ratu segala pesona— dengan sangat terampil melempar- lemparkan tongkatnya tanpa membuat kesalahan sedikit pun. Para mayoret cantik, bertubuh ramping tinggi, dengan senyum khas yang dijaga keanggunannya, meliuk-liuk laksana burung merak sedang memamerkan ekornya. Wanita-wanita muda yang meloncat dari gambar-gambar di almanak ini mengenakan rok mini degnan stocking berwarna hitam dan sepatu bot Cortez metalik tinggi sampai ke lutut. Sarung tangannya putih sampai ke lengan atas dan mereka bergerak demikian lincah tanpa sedikit pun terhalangi hak sepatunya yang tinggi. 177 Laskar Pelangi

Topinya adalah baret putih yang diselipi selembar bulu angsa putih bersih seperti topi Robin Hood. Mereka tidak sekadar mayoret, mereka adalah pergawati. Langkahnya cepat panjang-panjang dan sering kali memekik memberi perintah. Pandangannya menyapu seluruh penonton seperti tipuna sihir yang membius. Wajahnya mencerminkan suatu kebiasaan bergaul dengan barang-barang impor dan tidak mau menghabiskan waktu untuk soal remeh-temeh. Jika sore mereka berjalan- jalan dengan beberapa ekor anjing chihuahua dan malam hari makan di bawah temaram cahaya lilin. Tak pernah kekenyangan dan tak pernah berserdawa. Garis matanya memperlihatkan kemanjaan, kesejahteraan dan masa depan yang gilang gemilang. Mereka seperti orang-orang yang tak’kan pernah kami kenal namanya, seperti orang yang berasal dari tempat yang sangat jauh dan hanya mampir sebentar untuk membuat kami ternganga. Mereka seperti orang-orang yang hanya memakan bunga-bunga putih melati dan emngisap embun untuk hidup. Jubahnya dari bahan sutera berkilat, berkibar-kibar tertiup angin, men ebarkan bau harum memabukkan. Sementara di sini, di sudut ini, kami terpojok di pinggir, seperti segerombolan spesies primata aneh yang menyembul-nyembul dari sela-sela akar p ohon beringin. Hitam, kumal, dan coreng-moreng, terheran-heran melihat gemerlap dunia. Tapi kami segera membentuk barisan, tak surut semangat, tak sabar menunggu giliran. Segera setelah ujung Marching Band PN meninggalkan arena podium dan perlahan-lahan menghilang bersama lagu syahdu penutup sensasi: Georgia on My Mind, diiringi tepuk tangan dan suitanpanjang penonton, seketika itu juga, tanpa membuang tempo, dengan amat ejli mencuri momen, secara sangat mendadak Mahar bersama tiga puluh pemain tabla menghambur tak beraturan menguasai arena depan podium. Gerakan mereka mengagetkan. Dengan dentuman tabla bertalu-talu serta tingkah tarian yang sangat 178 Laskar Pelangi

dinamis, penonton pun terperanjat. Mahar menyajikan pemandangan natural, asli, yang sama sekali kontras dengan marching band modern. Melalui lantakan tabla sekuat tenaga dan gerak tari seperti ratusan monyet sedang berebutan dengan tupai menjarah buah kuini, Mahar menyeret fantasi penonton ke alam liarafrika. Penonton terbelalak menerima sajian musik etnik menghentak yang tak diduga- duga. Mereka berdesak-desakan maju merepotkan para pengaman. Para penonton terbius oleh irama yang belum pernah mereka dengar dan pakaian serta tarian yang belum pernah mereka lihat. Demi mendengar lengkingan tabla yang memecah langit, barisan Marching Band PN terpecah konsentrasinya dan berbalik arah ke podium. Mereka membubarkan diri tanpa komando lalu bergabung dengan para penonton yang terpaku. Mereka keheranan melihat tarian liar yang tak seperti Campak Darat, yaitu tarian Belitong paling kuno dengan gerakan tetap maju mundur, dan irama yang tak seperti Betiong yakni irama asli Belitong yang biasa mereka dengar. Sebaliknya yang mereka saksikan adalah gerakan rancak tanpa pola dan ekspresi bebas spontan dari tubuh - tubuh muda yang lentik meliuk-liuk seperti gelombang samudra, garang seperti luak, dan menyengat laksana lebah tanah. Koreo grafi Mahar berkarakter dance drumming dari suku-suku sub Sahara yang mengandung fragmen survival ribuan tahun dari spesies yang hidup saling memangsa. Inilah adzohu, sebuah manifestasi perjuangan eksistensi dalam metafora gesture tubuh manusia yang memaknai ketukan tabla laksana tiupan mantra-mantra nan magis. Koreografi ini mengandung tenaga gaib yang emnyihir. Mahar memvisualisasikan alam ganas di mana hu kum rimba berkuasa. Maka musik tari ini tak hanya mendetak degup jantung karena tabla yang berdentum-dentum tapi membran vibrasinya juga menggetarkan jiwa karena tenaga mistik sebuah ritual suci siklus hidup. Penonton semakin merangsek ke depan dan mulai terpukau pada tarian etnik Afrika yang eksotis. Mereka mengamati satu per satu wajah kami yang tersamar dalam coreng moreng, ingin tahu siapa penampil tak biasa ini. Namun tanpa disadari tubuh mereka bergerak-gerak patah-patah mengikuti potongan-potongan irama 179 Laskar Pelangi

yang dilantakkan dan tanpa diminta tepuk tangan, siulan, dan sorak- sorai ribuan penonton membahana menyambut kejutan aksi seksi tabla. Penonton riuh rendah berdecak kagum. Pada detik itu aku tahu bahwa penampilan kami telah berhasil. Mahar telah melakukan entry dengan sukses. Semua seniman panggung mengerti jika entr y telah sukses biasanya seluruh pertunjukan akan selamat. Para hadirin telah terbeli tunai! Kesuksesan entry pemain tabla mengangkat kepercayaan diri kami sampai level tertinggi. Kami, delapan ekor sapi, yang akan tampil pada plot kedua, gemetar menunggu aba-aba dari Mahar untuk menerjang arena. Kami tak sabar dan rasanya kaki sudah gatal ingin mendemons-trasikan kehebatan mamalia menari. Kami adalah remaja-remaja kelebihan energi dan laparakan perhatian. Lima belas meter dari tempat kami berdiri adalah arena utama dan kami mengambil ancang-ancang laksana peluru-peluru meriam yang siap diledakkan. Sangat mendebarkan, apalagi penonton semakin menggila tak terkendali mengikuti ketukan tabla. Mereka membentuk lingkaran yang rapat, ikut menari, bertepuk tangan, bersuit-suit panjang, dan berteriak-teriak histeris. “Tabahkan hati kalian, keluarkan seluruh kemampuan!” ledak Bu Mus memberi semangat kepada kami, para mamalia. Pak Harfan sudah tidak bisa bicara apa-apa. Tangannya membekap dada seperti orang berdoa. Tapi di tengah penantian menegangkan itu aku merasakan sedikit keanehan di lingkaran leherku. Seperti ada kawat panas menggantung. Aku juga merasa heran melihat warna telinga teman- temanku yang berubah menjadi merah, demikian pula kalung kami, membentuk lingkaran berwarna kelam di kulit. Aku merasakan panas pada bagian dada, wajah, dan telinga, lalu rasa panas itu berubah menjadi gatal. Dalam waktu singkat rasa gatla meningkat dan aku mulai menggaruk-garuk di seputar leher. Sekarang kami sadar bahwa rasa gatal itu berasal dari getah buah aren yang menjadi mata kalung kami. Hasil rancangan adibusana Mahar. Buah aren yang ditusuk 180 Laskar Pelangi

dengan tali rotan itu mengeluarkangetah yang pelan-pelan melelh di lingkaran leher. Rasa gatal itu semakin menjadi-jadi tapi kami takb isa berbuat apa-apa karena untuk melepaskan kalung itu berarti harus melepaskan mahkota. Dan melepaskan mahkota besar yang beratnya hampir satu setengah kilogram ini bukan persoalan mudah. Mahkota raksasa ini sengaja dirancang Mahar untuk dikenakan dengan lilitan tiga kali melalui dagu sehingga tanpa bantuan seseorang tak mungkin membukanya sendiri. Tak mungkin melakukan itu apalagi Mahar sekarang telah melakukan gerakan seperti menyembah- nyembah ke arah kami. Itulah isyarat kami harus masuk dan beraksi. Maka semua usaha untuk berbuat sesuatu pada kalung itu terlambat dan yang terjadi berikutnya tak ‘kan pernah kulupakan seumur hidupku. Kami menyerbu aren a dengan semangat spartan. Tepuk tangan penonton bergemuruh. Pada awalnya kami menari bersukacita sesuai dengan skenario. Lalu kami, para sapi ini, mulai bergerak- gerak aneh dan sedikit melenceng dari gerakan seharusnya karena kami diserang oleh rasa gatal yang luar biasa. Rasa gatal ini begitu dahsyat. Aku tak pernah merasakangatal demikian hebat dan jelas berasal getah buah aren muda yang menjadi mata kalung kami. Pertama-tama rasanya panas, perih, lalu geli dan gatal sekali. Jika digaruk bukannya sembuh tapi akan semakin menjadi-jadi, bertambah gatal dua kali lipat. Karena gerakan kami rancak dengan tangan mengibas-ngibas ke sana kemari maka getah aren itu menyebar ke seluruh tubuh. Sekarang seluruh tubuh kami dilanda gatal tak tertahankan. Kami berusaha tidak menggaruk-garuk karena hal itu akan merusak koreografi, kami bertekad mengalahkan Marching Band PN. Selain tu menggaruk hanya akan memperparah keadaan, maka kami bertahan dalam penderitaan. Satu-satunya cara mengalihkan siksaangatal adalah dengan terus-menerus bergerak jumpalitan seperti orang lupa diri. Maka sekarang kami bergerak sendiri-sendiri tak terkendali seperti orang kesetanan. Kami berteriak-teriak, meraung, saling menanduk, saling menerkam, saling mencakar, 181 Laskar Pelangi

merayap, berguling-guling di tanah, menggelepar-gelepar. Semua itu tak terdapat dalam skenario. Lintang komat-kamit tak jelas dan matanya memerah seperti buah saga. Trapani sama sekali menguap ketampanannya, wajah manisnya berubah menjadi wajah algojo yang sedang kalap. Sedangkan A Kiong menampar-nampar dirinya sendiri dengan keras seperti orang kesurupan. Telinganya seolah mengeluarkan asap dan wajahnya seperti kaleng biskuit R oma. Wajah kami memerah seperti terbakarapi dan urat-urat lengan bertimbulan menahankangatal. Kami bergerak demikian beringas, berjingkrak-jingkrak seperti sekaleng cacing yang dicurahkan di atas aspal yang panas mendidih. Sebaliknya, melihat kami sangat menjiwai, para pemain tabla pun terbakar semangatnya. Mereka mempercepat tempo untuk mengikuti gerakan-gerakan liar kami. Kami menari dengan tenaga dua kali lipat dari latihan dan gerakan dua kali lebih cepat dari seharusnya. Kami seolah berkejaran dengan tabuhan tabla. Menimbulkan pemandangan yang menakjubkan. Bahkan orang Afrika sendiri tak pernah menari sehebat ini. Sesungguhnya maksud kami bukan itu. Tapi kami senewen menanggungkan gatal. Penonton yang tidak memahami situasi mengira suara tabla itu mengandung sihir dan telah membuat kami, delapan ekor sapi ini, kesurupan, maka mereka bertepuk tangan gegap gempita karena kagum dengan daya magis tarian Afrika. Mereka berteriak-teriak histeris memberi semangat dan salut kepada kami yang mampu mencapai penghayatan setinggi itu. Penonton semakin merapat dan petinggi di podium kehormatan menghambur ke depan meninggalkan tempat-tempat duduknya yang teduh dan nyaman. Mereka berebutan menyaksikan kami dari dekat. Mereka takjub dengan sebuah pemandangan aneh. Bagi mereka ini adalah ekspresi seni yang luar biasa. Sementara kami semakin tunggang- langgang, berputar-putar seperti gasing. Kami sudah tak peduli dengan pantun Afrika yang harusnya kami lantunkan. Teriakan kami sekarang menjadi: “Hushhhhhhh ...hushh...hushhhh! Habbaa...habbbaaa... habbaaaa...!! !. Penonton malah mengira itu mantra-mantra gaib. Aku melirik Mahar. Aneh sekali, wajahnya tapak senang tak alang kepalang, 182 Laskar Pelangi

gembira bukan main. Ia tampak sangat setuju dengan seluruh gerakangila kami walaupun tidak seperti yang dilatihkannya dulu. “Terus Kawan, hebat sekali, ayo berguling- guling, inilah maksudnya,” bisiknya di antara kami sambil berlari-lari memikul tabla. Aku mulai curiga. Tapi aku tak sempat berpikir jauh karena kami sekarang sedang diserang oleh dua puluh ekor cheetah. Suasana semakin seru. Kami semakin sinting karena gatal dan panas. Kami merasa sangat haus, menderita dehidrasi. Ketika cheetah menyerang, kami berbalik menyerang. Kami sudah lupa diri. Seharusnya hal ini tak terjadi. Skenarionya tidak begitu. Skenarionya adalah kami seharusnya menguik-nguik ketakutan sampai prajurit Masai, Moran yang gagah berani itu, datang sebagai pahlawan untuk menyelamatkan kami. Tapi sebaliknya sekarang kami dengan beringas membalas serangan cheetah karena kami tak mungkin diam, jika diam rasa gatal rasanya akan memecahkan pembuluh darah kami. Para cheetah kebingungan. Ketika mereka men erjang kami membalas, cheetah berlari kocar-kacir dan kembali menyerang, demikian terjadi berulang-ulang. Namun anehnya skenario yang kacau balautak direncanakan ini justru memunculkan karakter asli binatang yang pada suatu ketika bisa demikianganas tanpa ampun dan pada keadaan yang lain terbirit-birit ketakutan jika kekuatannya tak berimbang. Sebalik nya sekali lagi kulirik Mahar. Ia senang sekali dengan improvisasi spontan ini, tabuhan tablanya semakinganas. Senyumnya mengembang. Tak pernah aku melihatnya sebahagia itu. Surai kuda, selendang yang melilit pinggang, dan mahkota kami melambai-lambai eksotis karena kami melonjak-lonjak tak terkendali. Kami menari seperti orang dirasuki iblis yang paling jahat, seperti ditiup Lucifer sang raja hantu. Arena semakin membara dan gairah tarian mend idih ketika dua puluh prajurit Masai menyerbu masuk untuk menyelamatkan kami, yang terjadi adalah pertarungan dahsyat antara sapi dan prajurit Masai melawan dua puluh ekor cheetah. Ada enam puluh penari termasuk pemain 183 Laskar Pelangi

tabla yang sekarang saling menyerang dalam hentakan musik Masai. Penonton riuh rendah dalam kekaguman. Para fotografer sampai kehabisan film. Pasir-pasir halus yang bertaburan di atas arena membubung menjadi debu tebal yang mengaburkan pandangan. Debu itu mengelilingi kami yang berputar seperti pusaran angin. Di tengah pusaran itu kami bertempur habis-habisan dalam sebuah ritual liaralam Afrika yang kami tarikan seperti binatang buas yang terluka. Dalam kekacau-balauan terdengar teriakan-teriakan histeris, auman binatang, dan suara tabla berdentum-dentum. Keseluruhan koreografi yang menampilkan fragmen pertempuran manusia melawan binatang dengan gerakan spontan di depan podium kehormatan itu ternyata menghasilkan karya seni yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Sebuah formasi gerakan chaos orisinal yang tercipta secara tidak sengaja. Para penonton tersihir melihat kami trance secara kolektif, mereka tersentak dalam histeria menyaksikan pemandangan magis yang menkjubkan. Sebuah pemandangan eksotis dari totalitas tarian yang menciptakan efek seni yang luar biasa. Sebuah efek seni yang memang diharapkan Mahar, efek seni yang akan membawa kami menjadi Penampil Seni Terbaik tahun ini, tak diragukan, tak ada bandingannya. Pak Harfan, Bu Mus, dan guru-guru kami sangat bangga dan seolah tak percaya melihat murid-muridnya memiliki kemampuan seperti itu. Mereka tak sadar bahwa kami menderita berat karena gatal dan gerakan kami tak ada hubungannya dengan Moran, cheetah, dan bunyi-bunyian tabla yang memecah gendang telinga. Tiga puluh menit kami tampil serasa tiga puluh jam. Kami, para sapi, memang dirancang untuk meninggalkan arena pertama kali. Pemain tabla, cheetah, dan prajurit Masai masih harus melan jutkan fragmen. Segera setelah meninggalkan arena kami berlari pontang panting mencari air. Sayangnya air terdekat adalah sebuah kolam kangkung butek di belakang sebuah toko kelontong. Kolam itu adalah tempat pembuangan akhir ikan-ikan bsuuk yang tak laku dijual. Apa boleh baut, kami ramai-ramai menceburkan diri di sana. 184 Laskar Pelangi

Kami tak melihat ketika penonton memberikan standing applause selama tujuh menit. Kami tak menyaksikanguru-guru kami menangis karena bangga. Aku kagum kepada Mahar, ia berhasil memompa kepercayaan diri kami dan dengan kepercayaan diri ternyata siapa pun dapat membuat prestasi yang mencengangkan. Hal itu dibuktikan oleh sekolah Muhammadiyah yang mampu mematahkan mitos bahwa sekolah kampung tidak mungkin menang melawan sekolah PN dalam karnaval. Sayangnya saat itu kami tak dapat ber gembira seperti warga Muhammadiyah di podium dan kami jgua tak mendengar ketika ketua dewan juri, Mbah Suro, naik mimbar. Beliau mengucapkan pidato panjang puji-pujian utnuk kami: “Sekolah Muhammadiyah telah menciptakan daripada suatu arwah baru dalam karnaval ini. Maka dari itu mereka telah mencanangkan suatu daripada standar baru yang semakin kompetitif dari pada mutu festival seni ini. Mereka mendobrak dengan ide kreatif, tampil all out, dan berhasil menginterpretasikan dengan sempurna daripada sebuah tarian dan musik dari negeri yang jauh. Para penarinya tampil penuh penghayatan, dengan spontanitas dan totalitas yang mengagumkan sebagai suatu manifestasi daripada penghargaan daripada mereka terhadap seni pertunjukan itu sendiri. Penampilan Muhammadiyah tahun ini adalah daripada suatu puncak pencapaian seni yang gilang gemilang dan oleh karena itu dewan juri tak punya daripada pilihan lain selian daripada menganugerahkan penghargaan daripada penampila seni terbaik tahun ini kepada sekolah Muhammadiyah !. Whai dewan juri yang terhormat, mari kuberitahukan pada bapak-bapak sekalian, tahu apa bapak-bapak soal seni, interpr etasi seni kami adlaah interpretasi getah buah aren yang gatalnya membakar lingkaran leher kami sampai ke pangkal-pangkal paha dengan perasaan seperti memakan api. Itulah yang membuat kami menari seperti orang yang tidak waras, dan tiulah interpretasi seni kami. Mendengar pidato itu para penonton kembali bergemuruh dan seluruh warga Muhammadiyah bersorak-sorai senang karena sebuah kemenangan yang fenomenal. 185 Laskar Pelangi

Sebaliknya kami, delapan ekor ternak dalam koreografi hebat itu, tetap tak tahu semua kejadian yang menggemparkan itu, dan kami juga masih tak tahu ketika Mahar diarak warga Muhammadiyah setelah sekolah menerima trofi bergengsi Penampil Seni Terbaik tahun ini. Trofi yang telah dua puluh tahun kami idamakan dan selama itu pula bercokol di sekolah PN. Baru pertama kali ini trofi itu dibawa pulang oleh sekolah kampung. Trofi yang tak ‘kan membuat sekolah kami dihina lagi. Kami tak tahu semua itu karena ketika itu kami sedang berkubang di dalam lumpur kolam kangkung, menggosok-gosok leher dengan daungenjer. Yang kami tahu hanyalah bahwa Mahar telah membalas kami dengan setimpal karena pelecehan kami padanya selama ini. Buah-buah aren itu sungguh merupakan sebuah ran cangan kalung etnik properti adi busana koreografi yang bernilai seni, hasil perenungan Mahar berjam- jam sambil memandangi langit di bawah pohon filicium. Itulah sebuah perenungan tingkat tinggi yang membuat hatinya bergejolak sepanjang malam karena girang akan memberi kami pelajaran, sebuah perenungan pembalasan dendam yang telah ia rencanakan dengan rapi selama bertahun-tahun. Wajah manisnya pasti sedang tersenyum sekarang dan senyumnya tak berhenti mengembang jika ia ingat penderitaan kami. Di kolam busuk luar biasa sehingga merontokkan bulu hidung ini kami membayangkan Mahar melonjak-lonjak girang disirami sinaragung prestasi dan kata-kata pujian setinggi langit. Sedangkan kami agaknya memang patut dihukum di kolam perut ikan ini. Mahar membalas kami sekaligus merebut penghar gaan terbaik— sekali tepuk dua nyamuk tumbang. Pria muda yang nyeni itu memang genius luar baisa, dan baginya pembalasan ini maniiiiis sekali, semanis buah bintang. 186 Laskar Pelangi

Bab 2 0 Miang Sui AWAN-AWAN kapas berwarna biru lembut turun. Mengapung rendah ingin menyentuh permukaan laut yang surut jauh, beratus- ratus hektare luasnya, hanya setinggi lutut, meninggalkan pohon- pohon kelapa yang membujur di sepanjang Pantai Tanjong Kelayang. Aku tahu bahwa awan-awan kapas biru muda itu dapat menjadi penghibur bagi mataku, tapi dia tak kan pernah menjadi sahabat bagi jiwaku, karena sejak minggu lalu aku telah menjadi sekuntum daffodil yang gelisah, sejak kukenal sebuah kosakata baru dalam hidupku: rindu. Kini setiap hari aku dilanda rindu padanonakuku cantik itu. Aku rindu pada wajahnya, rindu pada paras kuku-kukunya, dan rindu pada senyumnya ketika memandangku. Aku juga rindu pada sandal kayunya, rindu pada rambut-rambut liar di dahinya, rindu pada caranya mengucapkan huruf “r”, serta rindu pada caranya merapikan lipatan-lipatan lengan bajunya. Kadang-kadang aku bersembunyi di bawah pohon filicium , melamun sendiri, dadku sesak sepanjang waktu. Aku segera mengerti bahwa aku adalah tipe laki-laki yang tak kuat menahankan rindu. Lalu aku berpikir keras mencari jalan untuk meringankan 187 Laskar Pelangi

beban itu. Setelah melalui pengkajian berbagai taktik, akhirnya aku sampai pada kesimpulan bahwa rinduku hanya bisa diobati dengan cara sering-sering membeli kapur dan untuk itu Bu Mus adalah satu- satunya peluangku. Maka aku mengerahkan segala daya upaya, memohon sepenuh hati, agar tugas membeli kapur tulis diserahkan padaku, kalau perlu kapur tulis untuk seluruh kelas SD dan SMP Muhammadiyah, sepanjang tahun ini. “Bukankah kau paling benci tugas itu Ikal?. Aku tersipu. Ironis, aku telah menemukan definisi ironi yang sebenarnya. Penyebabnya tentu bukan karena Toko Sinar Harapan telah menjadi wangi, tapi semata- mata karena ada putri Gurungobi menungguku di sana. Maka ironi bukanlah persoalan substansi, ia tak lain hanyalah soal kompensasi. Itulah definisi ironi, tak kurang tak lebih. Bu Mus tak berminat mendebatku dan kulihat perubahan wajahnya. Pastilah instingnya selama bertahun-tahun menjadi guru secara naluriah telah membunyikan lonceng di kepalanya bahwa hal ini sedikit banyak berhubungan dengan urusan cinta monyet. Dengan jiwa penuh pengertian dan sebuah senyum jengkel b eliau mengiyakan sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Asal jangan kau hilangkan lagi kapur-kapur itu, perlu kau tahu, kapur itu dibeli dari uang sumbangan umat!. Kemudian aku dan Syahdan menjadi tim yang solid dalam pengadaan kapur. Aku menjadi semacam manajer pembelian, Syahdan tak perlu mengayuh sepeda, cukup duduk di belakang, memegang kotak-kotak kapur kuat-kuat dan menjaga mulutnya rapat-rapat, karena hubungan antar-ras adalah isu yang sensitif ketika itu. Kami menikmati ketegangan perjanjian rahasia ini dan selama beberapa bulan setelah itu aku telah menjadi tukang kapur yang berdedikasi tinggi. Sebaliknya Syahdan, tentu saja melalui 188 Laskar Pelangi

rekomendasiku pada Bu Mus, selalu ikut denganku. Ia gembira karena semakin lama meninggalkan kelas sekligus leluasa mendekati putri tukang hok lo pan . Sesampainya di toko biasanya aku langsung cepat-cepat masuk dan berdiri tegak dengan saksama di tengah-tengah lautan barang kelontong. Minyak kayu putih kukipas- kipaskan di bawah hidung untuk melawan bau tengik. Aku menyeka keringat dan tak sabar menunggu menit-menit ajaib, yaitu ketika A Miauw memberi perintah kepada burung murai batu di balik tirai yang terbuat dari keong-keong kecil itu. Aku megnhampiri kotak merpati saat ia menjulurkan kapur. Setiap kali ini terjadi jantungku berdebar. Ia masih tetap tak berkata apa pun, diam seribu bahasa, demikian juga aku. Tapi aku tahu ia sekarang tak lagi cepat-cep at menarik tangannya. Ia memberiku kesempatan lebih lama memandangi kuku-kukunya. Hal itu cukup membuatku demikian bahagia sampai seminggu berikutnya. Demikianlah berlangsung selama beberapa bulan. Setiap Senin pagi aku dapat menjumpai belahan jiwaku, walaupun hanyakuku-kukunya saja. Hanya sampai di situ saja kemajuan hubungan kami, takada sapa, takada kata, hanya hati yang bicara melalui kuku-kuku yang cantik. Tak ada perkenalan, tak ada tatap muka, tak ada rayuan, dan tak ada pertemuan. Cinta kami adalah cinta yang bisu, cinta yang sederhana, dan cinta yang sangat malu, tapi indah, indah sekali tak terperikan. Kadang-kadang ia menjentikkan jarinya atau menggodaku sambil terus memegang kotak kapur ketika akan kuambil sehingga kami saling tarik. Kadang kala ia mengepalkan tinjunya, mungkin maksudnya: kenapa kamu terlambat? Sering telah kusiapkan diri berminggu-minggu untuk sedikit saja memegang tangannya atau untuk mengatakan betapa aku rindu padanya. Tapi setiap kali aku melihat kuku-kukunya, semua kata yang telah ditulis rapi pun sirna, menguap bersama aroma keringat orang Sawang dan seluruh keberanian lenyap tertimbun tumpukan lobak asin. Tirai yang terbuat dari keong-keong kecil itu demikian kukuh untuk ditembus oleh mental laki-laki sekecil aku. 189 Laskar Pelangi

Sudah dua musim berlalu, sudah dua kali orang-orang bersarung turun dari perahu, aku merasa sudah saatnya untuk tahu siapa namanya. Namun sekali lagi, walaupun sudah berhari-hari mengumpulkan keberanian untuk bertanya langsung ketika tangannya menjuilur, aku menjadi bisu dan tuli. Aku begitu kerdil di depannya. Maka kutugaskan Syahdan mencari informasi. Ia sangat girang mendapat tugas itu. Lagaknya seperti intel Melayu, mengendap-endap, berjingkat-jingkat penuh rahasia. “Namanya A Ling ...!” bisiknya ketika kami sedang khatam Al-Qur’an di Masjid Al Hikmah. Jantungku berdetak kencang. “Seangkatan dengan ktia, di sekolah nasional!” Dan pyarrr!! Kopiah resaman Taikong Razak menghantam rihalan Syahdan. “Jaga adatmu di muka kitaballah anak muda!!. Syahdan meringis dan kembali menekuri Khatamul Qur’an. Sekolah nasional adalah sekolah khusus anak-anak Tionghoa. Aku menatap Syahdan dengan serius. Sekolah nasional ...? “Jangan sampai tahu ibuku,” kataku cemas, “Bisa-bisa kau ken a rajam.. Syahdan tak mau menanggapi peringatkanku yang tidak kontekstual dengan infonya yang berharga tadi. Wajahnya mengisyaratkan bahwa ia punya keju tan lain. “A Ling adalah sepupu A Kiong ...!. Aku terkejut, rasanya seperti tertelan biji rambutan yang macet di tenggorokanku. A Kiong, pria kaleng kerupuk itu! Mana mungkin dia punya sepupu bidadari? Syahdan membaca pikiranku, ia mengangguk- angguk yakin memastikan, “Iya, betul sekali, Kawan, A Kiong kita itu, tapi aku tak pasti, apakah A Kiong seperti itu karena tumbal ilmu sesat, titisan yang keliru, atau anomali genetika?. 190 Laskar Pelangi

Syahdan vulgar dan sok tahu. Aku segera teringat pada A Kiong. Beberapa hari ini ia belajar di kelas sambil berdiri karena lima biji bisul padi bermunculan di pantatnya sehingga ia tak bisa duduk. Tapi ia berkeras ingin tetap sekolah. Aku tak dapat menggamabrkan perasaanku atas semua info ini. Kenyataan bahwa A Ling adalah sepupu a Kiong membuatku bersemangat sekaligus waswas. Aku dan Syahdan berunding serius membahas perkembangan ini dan kami putuskan untuk menceritakan situasinya pada A Kiong. Kami menganggap dialah satu-satunya peluang untuk menembus tirai keong itu. Kami giring A Kiong menuju kebun bunga sekolah dan kami dudukkan di abngku kecil dekat kelompok perdu kamar Beloperone , Pittosporum , dan kembang sepatu yang saat itu sedang bersemi, tempat yang sempurna untuk bermusyawarah soal cinta. “Mudahnya begini saja, Kiong,” kataku tak sabar. “Aku akan menitipkan padamu surat dan puisi untuk A Ling, maukah kau memberikan padanya? Serahkan padanya kalau kalian sembahyang di kelenteng, pahamkah engkau?. Ia mengernyitkan dahinya, rambut landaknya berdiri tegak, wajahnya yang bulat gemuk tampak semakin jenaka. Ketika ia melepaskan kembali kernyitannya itu pipinya yang tembem jatuh berayun-ayun lucu. Dia adalah pria berwajah mengerikan tapi lucu. “Mengapa tak kauberikan langsung padahal setiap Senin pagi kau bertemu dengannya? Tidak masuk akal!” A Kiong tak mengucapkan kata-kata itu tapi inilah arti kernyitannya itu. Aku juga menjawabnya dari dalam hati, semacam telepati. “Hei, anak Hokian, sejak kapan cinta masuk akal?. Aku menarik napas panjang, membalikkan badanku, memandang jauh ke lapangan hijau pekarangan sekolah kami. Seperti sedang berakting dalam sebuah teater aku merenggut daun- daun Dracaena , meremas- remasnya lalu melemparkannya ke udara. 191 Laskar Pelangi

“Aku malu, A Kiong, nyaliku lumpuh kalau berada satu meter darinya, aku adalah seorang pria yang kompulsif, jika ceroboh aku takut ketahuan bapaknya, kalau itu terjadi, tak terbayangkan akibatnya!. Kudapat kata-kata itu dari majalah Aktuil langganan abangku, barangkali agak kurang tepat, tapi apa peduliku. Demi mendengar kata-kata seperti naskah sandiwara radio itu Syahdan memeluk erat- erat pohon petai cina di sampingnya. Aku kehabisan kata untuk menjelaskan pada A Kiong bahwa titip-menitip dalam dunia percintaan mengandung nilai romansa yang tinggi karena ada unsur-unsur kejutan di sana. Rupanya A Kiong menangkap keputusasaan dalam nada suaraku. Ia adalah siswa yang tidak terlalu pintar tapi ia setia kawan. Sepanjang masih bisa diusahakan ia tak ‘kan pernah membiarkan sahabatnya patah harapan. Luluh hatinya melihat aktingku. Sekarang ia tersenyum dan aku menyembahnya seperti murid shaolin berpamitanpada suhunya untuk memberantas kejahatan. Namun karena turunan darah wiraswasta leluhurnya, A Kiong tentu menuntut kompensasi yang rasional. Aku tak keberatan menggarap PR tata buku hitung dagangnya. Lalu, tak terbendung, melalui A Kiong, puisi-puisi cintaku mengalir deras menyerbu pasar ikan. Baginya itu hanyalah tugas mduha. Sebaliknya, ia mulai merasakan kenikmatan eskalasi gengsi akibat nilai-nilai tata buku hitung dagang yang membaik. Hubungan A Kiong, aku dan Syahdan adalah simbiosis mutualisme, seperti burung cako dengan kerbau. Ia sama sekali tak menyadari bahwa persoalan titip menitip ini dapat membawa risiko ia pecah kongsi dengan pamannya A Miauw. Aku selalu mendesak A Kiong untuk menceritakan bagaimana wajah A Ling ketika menerima puisi dariku. “Seperti bebek ketemu kolam,” kata A Kiong penuh godaan persahabatan. 192 Laskar Pelangi

Dan pada suatu sore yang indah, di bulan Juli yang juga indah, di tempat duduk bulat, sendirian di kebun bunga kami, aku menulis puisi ini untuk A Ling: Bunga Krisan A Ling, lihatlah ke langit Jauh tinggi di angkasa Awan-awan putih yang berarak itu Aku mengirim bunga-bunga krisan untukmu Ketikaku masukkan puisi ke dalam sampul surat, aku tersenyum, tak percaya aku bisa menulis puisi seperti itu. Cinta barangkali dapat memunculkan sesuatu, kemampuan atau sifat-sifat rahasia, yang tak kita sadari sedang bersembunyi di dalam tubuh kita. Namun ketika itu aku selalu merasa heran mengapa A Ling selalu mengembalikan puisiku? Barangkali di tokonya yang sesak tak ada lagi tempat untuk menyimpan kertas. Demikianlah pikiranku, bukankah anak kecil selalu berpikir positif. Aku tak ambil pusing soal itu lagi pula saat ini pikiranku sedang tak keruan karena pada kotak kapur yang kuambil pagi ini ada tulisan: Jumpai aku di acara sembahyang rebut Tulisan tangan A Ling! Ini adalah lompatan raksasa dalam hubungan kami. Bagiku catatan kecil ini sangat penting seperti katebelece presiden untuk menaikkangaji seluruh pegawai negeri. Keinginanku melihat kembali wajah Michele Yeoh-ku setelah insiden tirai dulu adalah tabungan rindu dalam celengan tanah liat yang setiap saat hampir meledak. Dan dalam waktu 92 jam, 15 menit, 10 detik dari sekarang aku akan menjumpainya langsung! Di halaman kelenteng. 193 Laskar Pelangi

Hari-hari menjelang pertyemuan adalah hari-hari tak bisa tidur. Klasik sekali memang, tapi apa boleh buiat karena memang itu kenyataannya maka harus kuceritakan. Berkali-kali kubaca pesan di atas kotak kapur itu tapi masih tetap isinya tentang janji ketemu. Dibaca dari arah mana pun, dari belakang seperti membaca huruf Arab, dari depan, dari atas, dari jauh, dari dekat, dipantulkan di cermin, digerus dengan lilin, dibaca dengan kaca pembesar, dibaca di balik api, ditaburi tepung terigu, diawasi lama-lama seperti melihat gamabr tiga dimensi yang tersamar, isinya tetap sama yaitu “jumpai aku di acara sembah yang rebut”. Itu adalah kalimat bahasa Indonesia yang jelas, bukan idiom, bukan isyarat atau simbol. Aku seolah tak percaya dengan pesan itu tapi aku, si Ikal ini, akan segera berjumpa dengan cinta pertamanya! Tak diragukan lagi, dunia boleh iri. Kotak kapur yang ada tulisan pesan A Ling itu kusimpan di kamarku seperti benda koleksi yang bernilai tinggi. Syahdan dan A Kiong sampai bosan terus-menerus mendengar kisahku tentang pesan itu. Mereka muak. Satu pelajaran berharga, orang yang sedang jatuh cinta adalah orang yang egois. Aku seolah tak percaya pada apa yang ak an terjadi, mimpikah ini? “Bukan, Kawan, bukan mimpi, mandilah bersih-bersih dan tunggu dia pukul emapt sore di halaman kelenteng, saat persiapan sembah yang rebut. Dia wanita yang baik, dia akan datang untuk janjinya,” nasihat A Kiong, event organizer pertemuan penting ini, yang tiba-tiba menjadi amat bijaksana. Chiong Si Ku atau sembahyang rebut diadakan setiap tahun. Sebuah acara semarak di mana seluruh warga Tionghoa berkumpul. Tak jarang anak -anaknya yang merantau pulang kampung untuk acara ini. Banyak hiburan lain ditempelkan pada ritual keagamaan ini, misalnya panjat pinang, komidi putar, dan orkes Melayu, sehingga menarik minat setiap orang untuk berkunjung. Dengan demikian ajang ini dapat disebut sebagai media tempat empat komponen utama kelompok subetnik di kampung kami: orang Tionghoa, orang Melayu, orang pulau bersarung, dan orang Sawang berkumpul. 194 Laskar Pelangi

Orang Sawang tak terlalu tertarik dengan hiburan-hiburan tadi tapi mata mereka tak lepas dari tiga buah meja berukuran besar dengan panjang kira-kira 12 meter, lebar dan tingginya kira-kira 2 meter. Di atas meja itu ditimbun berlimpah ruah barang-barang keperluan rumah tangga, mainan, dan berjenis-jenis makanan. Barang-barang ini adalah sumbangan dari setiap warga Tionghoa. Tak kurang dari 150 jenis barang mulai dari wajan, radio transistor, bahkan televisi, berbagai jenis kue, biskuit, gula, kopi, beras, rokok, bahan tekstil, berbagai botol dan kaleng minuman ringan, gayung, pasta gigi, sirop, ban sepeda, tikar, tas, sabun, payung, jaket, ubi jalar, baju, ember, celana, buah mangga, kursi plastik, batu baterai, sampai beragam produk kecantikan disusun bertumpuk-tumpuk laksana gunung di atas meja- meja besar tadi. Daya tarik terkuat dari sembahyang rebut adalah sebuah benda kecil yang disebut fung pu, yakni secarik kain merah yang disembunyikan di sela-sela barang- barang tadi. Benda ini merupakan incaran setiap orang karena ia perlambang hoki dan yang mendapatkannya dapat menjualnya kembali pada warga Tionghoa dengan harga jutaan rupiah. Meja itu diletakkan di depan sebuah Thai Tse Ya, yaitu patung raja hantu yang dibuat dari bambu dan kertas-kertas berwarna- warni. Tinggi Thai Tse Ya mencapai 5 meter dengan diameter perut 2 meter. Ia adalah sesosok hantu raksasa yang menyeramkan. Matanya sebesar semangka dan lidahnya panjang menjuntai seperti ingin menjilati jejeran babi berminyak-minyak yang dipanggang berayun di bawahnya. Thai Tse Ya tak lain adalah representasi sifat- sifat buruk dan kesialan manusia. Sepanjang sore dan malam hari, warga Tionghoa yang Kong Hu Cu tentu saja melakukan sembahyang di depan Thai Tse Ya ini. Tepat tengah malam salah seorang paderi akan memukul sebuah tempayan besar pertanda seluruh hadirin dapat mengambil—lebih tepatnya merebut—semua barang yang ada di tiga meja besar tadi. Oleh karena itu Chiong Si Ku disebut juga acara sembah yang rebut. Ketika tempayan itu dipukul bertalu-talu tanda mulai berebut aku menyaksikan salah satu peristiwa paling dahsyat yang pernah dilakukan manusia. Gunungan beratus- ratus jenis barang tersebut 195 Laskar Pelangi

lenyap dalam waktu tak lebih dari satu menit—25 detik lebih tepatnya, dan tempat itu berubah menjadi kekacaubalauan yang tak tertuliskan kata-kata. Debu tebal mengepul ketika ratusan orang dengan garang menyerbu meja-meja tinggi itu dengan semangat seperti orang kesetanan. Tak jarang meja-meja itu hancur berantakan dan para perebut cidera berat. Mereka yang berhasil naik ke atas meja dengan gerakan secep at kilat melemparkan barang-barang secara sistematis kepada rekan- rekannya yang menunggu di bawah. Mereka yang bertindak sendiri naik ke atas meja dan memasukkan apa saja yang ada di dekatnya ke dalam sebuah karung—juga dengan kecepatan kilat—sampai kadang kala tak bisa menurunkan karungnya itu karena sudah di luar batas ten aganya. Kadang kala belasan orang ber ebut sebuah barang sehingga terjadi semacam perkelahian di tengah tumpukan barang dan b eberapa di antaranya terjengkang, jatuh menabrak barang-barang rebutan, lalu terjembab ke tanah. Para penonton tak sempat bertepuk tangan tapi hanya terpana menyaksikan pemandangan sekilas yang mahadahsyat sekaligus ngeri membayangkan bagaimana manusia bisa begitu serakah dan beringas. Mereka yang tidak membawa karung memasukkan apa saja ke dalam seluruh saku baju dan celana bahkan ke dalam bajunya sehingga tampak seperti badut. Dalam situasi berebutan yang sangat cepat otak sudah tidak bisa menalar, kadang kala butir-butir beras dan gula juga dimasukkan ke dalam saku celana. Mereka yang saku baju dan celananya—bahkan bagian dalam bajunya—telah penuh memasukkan apa saja ke dalam mulutnya, mereka makan apa saja, sebanyak mungkin, ketika masih berada di atas meja, jika perlu mereka akan menyimpan barang di dalam lubang-lubang hidung dan telinga, luar biasa! Jika berhasil merebut radio transistor jangan harapakan membawanya pulang dengan utuh karena ketika masih di atas meja radio itu akan direbut oleh lima belas orang sekaligus sehingga yang tersisa hanya tombol-tombol atau antenanya saja. Prinsipnya tak mengapa mendapatkan tombolnya saja asalkan 196 Laskar Pelangi

orang lain juga tak mendapatkan radio seutuhnya. Perkara radio itu menjadi hancur tak bisa dipakai adalah urusan lain yang tak penting. Inilah manifestasi dasar keserakahan manusia. Chiong Si Ku adalah bukti nyata tak terbantah terhadap teori yang dip ercaya para antropolog tentang kecenderungan egois, tamak, merusak, dan agresif sebagai sifat-sifat dasar homo sapiens. Superstar dalam Chiong Si Ku tentu saja orang-orang Sawang. Tanpa mereka bisa-bisa acara ini kehlilangan sensasinya. Mereka sukses setiap tahun karena pengorganisasian yang solid. Sejak sore mereka telah melakukan riset di mana posisi barang-barang berharga, dari sudut mana harus menyerbu, berapa tenaga yang diperlukan, dan mengkalkulasi perkiraan perolehan. Berhari-hari sebelu m sembahyang rebut mereka telah menyusun strategi. Pembagian tugasnya jelas, yaitu mereka yang berbadan besar bertugas menjegal kelompok perebut lain, yang kecil menyerbu naik ke atas meja seperti gerakan monyet: cepat, jeli, dan tangkas, dan sisanya menunggu di bawah, siaga menangkapapa saja yang dilemparkan dari atas meja. Kelompok ini beranggotakan sampai dua puluh orang. Seorang pria Sawang kurus bermata liar ditugaskan khusus selama bertahun-tahun untuk menjarah fung pu . Ketika ia beraksi ekspresinya datar seolah ia tak punya urusan dengan perebut-perebut serakah lainnya. Tingkah lakunya persis budak yang dijanjikan merdeka oleh Siti Hindun jika berhasil membunuh Hamzah sang panglima pada perang Uhud. Sang budak tak ada urusan dengan perang Uhud, perang itu bukan perangnya, setelah menombak dada Hamzah ia bergegas pulang. Demikian pula pria bermata liar ini. Ketika paderi memukul tempayan pertama kali ia langsung memanjat meja seperti manusia laba-laba, lalu dengan cekatan ia berjingkat-jingkat di antara lautan barang-barang. Matanya yang tajam nanar jelalatan melacak ke sana kemari dan dalam waktu singkat ia mampu menemukan fung fu . Ia selalu sukses meskipun paderi telah menyembunyikan benda kecil keramat itu dengan amat rapi di antara tumpukan terdalam lipatan daster, di dalam salah satu dari puluhan kaleng biskuit Khong Guan yang paling sulit dijangkau, di dalam karung ekmiri, di sela- sela dedaunan tebu, bahkan di dalam buah jeruk kelapa. Setelah mendapatkan fung pu ia menyelipkan 197 Laskar Pelangi

carikan merah itu di pinggangnya dan melompat turun seperti pemilikilmu peringan tubuh. Ia tak sedikit pun peduli dengan barang-barang berharga lainnya serta kecamuk ratusan pria kasar yang berebut dengan brutal. Sang legenda hidup Chiong Si Ku itu mendarat ke bumi tanpa menimbulkan suara lalu sedetik kemudian ia menghilang di tengah kerumunan massa membawa lari lambang supremasi Chiong Si Ku. Ia lenyap di telangelap, asap gaharu, dan aroma dupa. Orang-orang Melayu, sebagaimana baisa, susah ber- organisasi. Bukannya fokus pada ikhtar untuk mencapai tujuan dan memenangkan persaingan tapi sebaliknya mereka gemar sekali berpolitik sesama mereka sendiri. Tak terima jika dikoreksi dan jarang ada yang mau berintrospeksi. Di antara mereka selalu saja berbeda pendapat dan mereka senang bukan main dengan pertengkaran yang tak konstruktif. Tak mengapa tujuan tak tercapai asal tak jatuh nama dalam debat kusir. Dan selalu terjadi suatu gejala yang paling umum yaitu: yang paling bodoh dan paling tak berpendidikan adalah paling lantang dan paling pintar kalau bicara. Jika orang Melayu membentuk sebuah tim maka setiap orang ingin menjadi pemimpin. Akhirnya tim yang solid tak pernah terbentuk. Akibatnya dalam sembahyang rebut mereka beroperasi secara individu dan berjuang secara soliter maka yang berhasil dibawa pulang hanya tubuh yang remuk redam, sebatang tebu, beberapa bungkus sagon, sebelah kaos kaki Mundo, beberapa butir kepala boneka, bibit kelapa yang tak dipedulikan orang Sawang, dan pompa air—itu pun hanya sumbatnya saja. Chiong Si Ku diakhiri dengan membakar Thai Tse Ya dengan harapan tak ada sifat-sifat buruk dan kesialan melanda sepanjang tahun ini. Sebuah acara keagamaan tua yang syarat makna, berseni, dan sangat memesona. Pukul 3.30 selesai shalat Ashar. Pesan di kotak kapur! Seperti message in a botle . Aku berdiri tegak di bawah pohon seri di halaman kelenteng sambil memegangi sepedaku, menunggu. Anak-anak muda Tionghoa hilir mudik. Mereka sibuk mendirikan Thai Tse Ya setinggi lima meter. 198 Laskar Pelangi

Ada A Kiong diantara mereka, ia berulang kali mengacungkan jempolnya menyemangatiku. “Tabahlah, Kawan, ambil semua risiko, begitulah hidup,” demikian barangkali maksudnya. Aku membalas dengan senyum kecut karena aku gelisah. Aku gelisah membayangkan apa yang ada di pikiran seorang wanita muda Tionghoa tentang laki-laki Melayu kampung seperti aku. Dan berada di tengah lingkungan mereka membuat aku semakin ragu. Apa aku pulang saja? Tapi aku rindu. Dan rinduku telanjur berdarah-darah. Seperti terjadi setiap hari, pukul 3.30 sore matahari masih terasa sangat panas dan dengan berdiri di sini sebagian tubuhku tersiram cahayanya. Aku dapat merasakan keringatku mengalir pelan di leher baju takwa putih berlengan panjang, baju terbaik yang aku miliki, hadiah hiburan lomba azan. Jantungku berdetak kacau, aku gugup luar biasa. Burung matahari akwanan tujuh ekor yang berkicau-kicau di dahan-dahan rendah seri jelas-jelas menggodaku. Mereka berjingkat-jingkat dan ribut sekali. Kumbang juga menerorku, seperti suara ambulans mereka sibuk melubangi kayu-kayu besar bercat merah mencolok yang menyangga atap kelenteng. Suaranya merisaukanku. Aku tak sabar menunggu. Pukul 3.55 Sudah 25 menit aku mematung di sini, tak ada tanda-tanda kehadiran A Ling. Wajah A Kiong menaruh belas kasihan padaku. Barangkali tadi aku tiba terlalu awal, harusnya aku datang terlambat saja, atau tak datang sama sekali. Berbagai pikiran aneh mulai merasukiku. Aku merasa lelah karena tegang. Kakiku kesemutan. Mataku tak lepas-lepas memandang ke arah satu-satunya jalan yang menghubungkan kelenteng dengan pasarikan. Di sepanjang kiri kanan jalan ini tumbuh berderet-deret pohon saga. Cabang- 199 Laskar Pelangi

cabang atasnya bertemu meneduhi jalan di bawahnya sehingga jalan ini tampak seperti gua. Setelah deretan pohon-pohon saga, jalan ini berbelok ke kanan. Pinggir jalan ini dipagari bekas-bekas tulang bangunan yang terlantar. Tulang-tulang bangunan itu dirambati dengan lebat tak beraturan ke sana kemari oleh Bougainvillea spectabilis liaratau kembang kertas dan berakhir pada ujung sebuah jalan buntu. Di ujung jalan ini berdiri toko Sinar Harapan, rumah A Ling. Maka berdiri dua puluh meter persis di depan Thak Si Ya adalah posisi yang telah kuperhitungkan dengan matang. Jika ia muncul di belokan itu, maka dari posisi ini aku dapat melihatnya langsung berjalan anggun seperti burung sekretaris menuju ke arahku. Pasti ia akan menunduk tersenyum-senyum, atau, seperti film India, ia akan berlari kecil membawa seikat bunga, lalu merentangkan tangannya untuk memelukku. Ah, aku bermimpi. Tapi ia tak muncul-muncul dan aku berulang kali mengusap mataku yang kelelahan memelototi belokan itu. Kakiku penat dan aku mulai merasa pusing karena ketegangan berkepanjangan. Sekarang Thak Si Ya telah berdiri, para pemuda Tionghoa bertepuk tangan, sementara aku semakingelisah. Aku melirik Thak Si Ya yang berdiri tinggi tegak, matanya seram sekali mengawasi gerak gerikku. Sekarang sudah pukul 3.57, tiga menit menjelang tenggat waktu. Aku menghitung dengan jariku, jika sampai hitungan keenam puluh ia tak muncul maka aku akan pergi saja. Aku kepanasan dan merasa mual. Karena tegang, perutku naik membaut ngilu ulu hatiku. Kalautadi pikiran yang bukan-bukan merasukiku, kini pikiranku dilanda keraguan. Apakah ia benar-benar seperti persepsiku selama ini? Apakah yang kuabyangkan tentang dirinya akan sama sekali berbeda kenyataannya? Mungkinkah sekarang ia sedang menyiangi tauge, lupa akan janjinya? Tahukah ia betapa berarti pesannya itu untukku? Dan sekarang ia tak datang, betapa hancur hatiku. Ingin segera kukayuh sepeda ini, lari sekencang-kencangnya menceburkan diri ke Sungai Lenggang. 200 Laskar Pelangi

Pukul 4.02, lewat sudah batas janji. Tik! Tok! Tik! Tok! Tik! Tok! Sudah 60! Hitunganku sampai. Ia ingkar! Aku berada di puncak kegelisahan. Tanganku dingin, jantungku berdetak makin cepat. Suara kumbang-kumbang semakin riuh merubung aku, menerorku tanpa ampun. Ngiung! Ngiung! Ngiung ... Dadaku sesak karena rindu dan marah, aku naiki sadel sepeda, sudah tak tahan ingin berlalu dari neraka ini. Namun ketika aku akan mengayuh sepeda, aku mendengar persis di belakangku suara itu. Suara yang lembut seperti tofu. Suara yang membuat kumbang-kumbang terdiam bungkam. Inilah suara yang sejuk seperti angin selatan, suara terindah yang pernah kudengar seumur hidupku, laksana denting harpa dari surga. “Siapa namamu?. Aku berbalik cepat dan terkejut. Aku tak mampu mengucapkan sep atah kata pun. Karena di situ, persis di situ, tiga meter di depanku, berdirilah ia, the distinguished Miss A Ling herself! Michele Yeoh-ku. Ia datang dari arah yang sama sekali tak kuduga karena sebenarnya dari tadi ia sudah berada di dalam kelenteng memerhatikanku, dan pada detik-detik terakhiraku akan kecewa, ia hadir, memberiku kejutan listrik voltase tinggi, menghancurkan setiap butiran- butiran darah merah di tubuhku. Setelah lima tahun mengenalnya, baru tu juh bulan yang lalu pertama melihat wajahnya, setelah puluhan puisi yang kutulis untuknya, setelah berton-ton rindu untuknya, baru sore ini dia akan tahu namaku. Aku tergagap-gagap seeprti orang Melayu belajar mengaji. Ia mengulum senyum, manis sekali tak terperikan. Hadir dalam balutan chong kiun , baju acara penting yang memesona, di suatu bulan Juli yang meriah, ia turun ke bumi bagai venus dari 201 Laskar Pelangi

Laut Cina Selatan. Baju itu mengikuti lekuk tubuhnya dari atas mata kaki sampai ke leher dan dikunci dengan kancing tinggi berbentuk seperti paku. Tubuhnya yang ramping bertumpu di atas sepasang sandal kayu berwarna biru. Cantik rupawan melebihi mayoret mana pun. Tingginya tak kurang dari 175 cm, jelas lebih tinggi dariku. Serasi dengan rumpun genayun yang tumbuh kurus menjulang di sampingnya ia mengikat rambutnya menjadi satu ikatan besar dan ikatan itu ditegakkan tinggi-tinggi. Beberapa helai rambut yang disatukan jatuh di atas pundak chong kiun berwarna lam set , biru muda, dengan motif bunga ros besar-besar. Beberapa helai rambut lainnya dibiarkan jatuh melintasi wajahnya yang teduh jelita. Kuku-kukunya yang cantik memegang hio utnuk sembahyang. Ada sedikit kilasan kedewasaan pada pancaran matanya dibanding terakhir kami bertemu. Teori yang memaksakan pendapat bahwa wanita bermata besar kelihatan lebih cantik akan runtuh berantakan jika melihat A Ling. Matanya yang sipit sedikti tertarik ke atas, senada dengan bentuk alis yang dibiarkan alami. Dalam lukisan wajah yang tirus bentuk mata seperti itu menciptakan rasa kecantikan dengan karakter yang kaut. Inilah pusat gravitasi pesona wajah A Ling. Sejujurnya aku tak sanggup mengatasi keanggunan pada level seperti ini. Ini bukan untukku. Aku merasa tak pantas. Bagiku ia seperti seseorang yang akan selalu menjadi milik orang lain. Dan aku, tak lebih dari pengisi data nama dan alamat pada buku simfoninya yang akan terlupakan sebulan setelah ini. Aku tak mungkin berada di dalam liga ini. Aku rasanya ingin pulang saja. Ia membaca itu. Lalu memegang mata kiang lian , seuntai kalung yang menggantung panjang di lehernya. Mata kalung itu batu giok dan bertulisan Tionghoa. Aku tak paham makna tulisan itu. Miang sui ,” kata A Ling. Nasib, itulah artinya. 202 Laskar Pelangi

Dan lilin besar merah pun dinyalakan, cahayanya berkibar- kibar, ratusan jumlahnya. Mata Thai Tse Ya berkilat-kilat karena lilin menyinari wajahnya dari bawah. Ia tampak makin seram tapi aura A Ling membuatnya tak lebih dari boneka kertas yang jenaka dan kumbang-kumbang yang nakal tadi tak berani muncul lagi. A Ling menarik tanganku, kami berlari meninggalkan halaman kelenteng, terus berlari melintasi kebun kosong tak terurus, menyibak-nyibakkan rumput apit-apit setinggi dada, tertawa kecil menuju lapangan rumput halaman sekolah nasional. Kami merebahkan diri kelelahan, memandangi awan senja berarakan. “Aku membaca puisimu, Bunga Krisan, di depan kelas!” katanya serius. “Puisi yang indah ..... Aku melambung. Wajah A Ling yang cantik berair karena keringat, seperti embun di permukaan kaca. Ia bangkit, lalu berjalan hilir mudik di depanku yang memandanginya seperti bayi melihat kelereng. Lalu dengangaya seperti dosen ia menggenggam jemarinya, bercerita penuh semangat tentang minatnya pada sketsa dan cita-citanya men jadi perancang busana. Sebaliknya, aku menceritakan minatku pada seni. Di dekatnya aku merasa berarti, merasa menjadi seseorang, di dekatnya aku merasa ingin menjadi seorang pria yang lebih baik. Di dekatnya aku merasa seperti sedang berada dalam sebuah adegan dalam film. Dari lapangan itu kami kemudian berlari-lari menuju komidi putar. Bukankah komidi putaradalah sebuah benda yang menakjubkan? Setelah seorang priakumal mengangkat sebuah tuas lalu benda itu secara mekanik memutarinsan-insan yang dimabuk cinta yang duduk berimpitan di dalam sebuah tempat seperti mentudung. Lalu tiba-tiba semuanya menjadi mudah karena semua hal disaksikan dari suatu jarak. Bagiku mentudung-mentudung itu seumpama pelaminan di mana orang berusaha menikmati 203 Laskar Pelangi

keindahan cinta dalam kesederhanaan sensasi yang ditawarkan sebuah komidi putar. Keindahan yang sederhana ini membuatku belajar menghargai cinta yang sekarang duduk di sampingku. Inilah sore terindah dalam hidupku. Aku bertanya-tanya pada diri sendiri: ke manakah nasibakan membawaku setelah ini? Dari putaran tertinggi komidi aku dapat melihat lapangan tempat tadi kami memandangi awan. 204 Laskar Pelangi

BAB 21 Rindu DI sebuah buku aku melihatnya mengendarai kuda dengan cara memeluk erat perut hewan itu seperti prajurit Kubilai Khan. Matanya berkilat-kilat karena dewa mata tombak telah melukai hatinya. Darahku menggelegak ketika ia mengendap-endap mendekati seekor moose jantan. Dan aku tak kuasa membalik satu lembar terakhir saat ia mengatakan bahwa ia akan mencampakkan cinta wanita-wanita berdarah campuran Tututni dan Chimakuan. Semua itu karena ia tak mau mencemari darah Indian Pequot yang mengalir deras di tubuhnya, dan yang paling memilukan, karena ia adalah pria terakhir dalam sukunya. Maka air kelaki-lakiannya bersimbah di punggung-punggung kuda tak berpelana dan ia mengembara sendirian di lautan padang rumput Vellowstone yang tak bertepi. Ia menjerit sepanjang hari dan menari menantang matahari sehingga pandangan matanya gelap gulita. Ia merangkak-rangkak, berdoa agar salah satu wanita dari sukunya akan muncul di antara kawanan coyote seperti para dewa telah menghadirkan wanita-wanita Sguamish. Tapi waktu yang 205 Laskar Pelangi

mengutus angin juga telah tega mengkhianatinya, sehingga ia menjadi tua, dan saat maut menagih janjinya, ia mati masih perjaka. Pagi itu langit melapangkan kedua tangan, menyambut darah asli Pequot. Chinookcuk, yang terakhir dari kaumnya itu adalah prajurit yang memutuskan untuk mengucilkan diri karena ingin menjaga kesucian darah Pequot. Sama seperti suatu suku terasing di Sepahua Amazon. Mereka melarikan diri jauh ke rimba yang dalam karena ingin menghindarkan diri dari wabah kolera. Sejak tahun 1500 tak seorang pun pernah melihat mereka. Isolated by choice, demikian para ahli menyebutnya, yaitu sikap sengaja mengasingkan diri. Sedangkan yang mengumbar keberadaan dirinya seperti suku- suku Osage, Huron, Lakmiut, Cherokee, Sawang, atau Melayu Belitong umumnya mengalami hambatan-hambatan geografis sehingga terisolasi. Meskipun dalam kasus tertentu isolasi sengaja itu juga terjadi karena pertimbangan komersial, misalnya Sheffield yang tiga tahun lalu memutuskan untuk mengucilkan diri dengan menutup bandaranya karena tidak menghasilkan keuntungan. Adapun suku-suku Perupian itu memang terasing karena rimba belantara yang sulit ditembus, sungai-sungai yang liar, dan gunung gemu-nung yang terjal. Pada suatu ketika Melayu Belitong sempat terisolasi karena mereka tinggal di sebuah pulau kecil yang dikelilingi samudra, sementara tidak semua peta memuat pulau ini. Waktu itu di sana belum berdiri BTS-BTS atau antena gelombang mikro untuk telekomunikasi. Satu- satunya akses suku ini kepada dunia luar adalah melalui sebuah pintu baja setebal 30 sentimeter. Bagi orang Belitong, pintu baja itu adalah tabir pemisah kehidupan jahiliah dan dunia modern, sekaligus laksana teropong kapal selam yang timbul untuk melongok- longok dunia luar. Pintu baja tulen itu menutup sebuah ruangan sempit rahasia yang menyimpan benda-benda keramat berwarna-warni. Ruangan ini disebut kluis dan merupakan bagian utama dari sebuah kantor peninggalan Belanda. Jika pintu ini ditutup maka orang Melayu Belitong merasa bahwa di dunia ini Tuhan hanya menciptakan mereka dan bumi ber-bentuk lonjong. Kluis adalah jendela alam semesta bagi suku Melayu Belitong. 206 Laskar Pelangi

Oleh karena itu, kluis sangat penting dan kuncennya bukan orang sembarangan. Di dunia ini hanya ia dan Tuhan yang tahu kombinasi sebelas digit nomor benteng pertama kluis. Setelah memutar kombinasi itu ia harus melalui tiga tahap lagi untuk membukanya. Pertama, ia harus memasukkan dua buah anak kunci tembaga kurus panjang ke dalam dua lubang kunci dan memutarnya setengah lingkaran secara bersamaan. Kedua, ia kembali memasukkan sebuah anak kunci besar yang harus diputar dengan kedua tangan karena harus cukup tenaga untuk membalik enam buah batangan baja murni sebesar lengan manusia dewasa dari penyekatnya. Inilah tuas kunci utama kluis. Dan ketiga, setelah pintu besi 30 sentimeter itu terbuka ternyata masih ada lagi pintu besi jeruji yang dikunci dengan gembok tembaga selebar telapak tangan. Ruangan kluis ini tahan api dan jika diledakkan dengan dinamit 100 kilogram ia masih tak akan bergerak. Di dalamnya gelap pekat tak ada udara, apabila terperangkap di sana dipastikan akan mati lemas dalam waktu singkat. Jika pintu itu rusak, hanya seorang pria tua bernama Hans Ritsema Van Horn dari Uttrech yang bisa membetulkannya. Pengamanan dibuat demikian ketat berlapis-lapis karena dalam kluis itu terdapat benda-benda keramat berwarna- warni, benda inilah sang penguasa waktu. Ia bukan sema-cam lorong waktu yang dapat membalik tempo tapi ia lebih seperti time slider pada DVD player, dan ia disimpan dalam portepel-portepel. Dengan Rp200, perangko kilat, tujuh hari insya Allah sampai kepada alamat penerima, menuju tujuan kota mana pun di Pulau Jawa, dan Rp75 adalah perangko biasa, jika ingin sampai saat Hari Raya Idul Adha maka kirimlah sebelum Hari Raya Idul Fitri. Pria pemegang kunci kluis itu merupakan orang terpilih dan Tuhan diam- diam telah menciptakan untuknya sebuah pekerjaan yang bukan hanya bergaji rendah tapi juga unik dan bisa memacu otak sekaligus jantungnya. Dan kepada pemangku pekerjaan inilah seharusnya kita, khususnya kami, orang-orang Melayu Belitong, menghaturkan terima kasih yang tak terperikan. Meskipun The Beatles telah menunjukkan sedikit respek kepadanya dengan menulis lagu Mr. Postman, tapi masih jarang sekali pujangga-pujangga Melayu yang 207 Laskar Pelangi

tersohor merangkai gurindam, mengarang puisi, atau sekadar menulis cerpen tentang kiprahnya. Pekerjaan kuncen kluis yang memacu otak dan jantung kumaksud di atas adalah pekerjaan Pak Pos yang sekaligus menjadi kepala kantor pos di kecamatan-kecamatan. Dalam susunan organisasi, mereka menamainya Pengurus Kantor Pos Pembantu, tapi di kampung kami beliau disebut Tuan Pos. Beliaulah yang memungkinkan kami berkomunikasi dengan budaya luar melalui benda keramat berwarna-warni, yaitu perangko-perangko itu, dan beliau pula yang menyampaikan koran-koran terlambat sebulan dari Jakarta sehingga kami tahu rupa kepala suku republik ini. Pada suatu kurun waktu pernah angin barat berkepan-jangan berembus demikian kencang, akibatnya kapal-kapal harus memilih muatan secara selektif dan orang-orang Belitong juga terpaksa memilih: mau makan beras atau makan kertas? Karena di kampung kami tidak ada sawah maka kapal-kapal itu memutuskan untuk membawa barang-barang penting saja, dan koran dianggap kurang penting. Maka koran- koran itu terlambat selama tiga puluh dua tahun. Kami tak tahu apa yang terjadi di Jakarta. Tapi setelah koran-koran itu tiba kami tak kecewa meskipun telah terlambat selama itu karena ternyata sang kepala suku masih orang yang sama. Tuan Pos memacu otak karena ia menguras pikirannya untuk membuat perencanaan cash flow dan benda pos guna keperluan bulan depan. Ia harus memperkirakan berapa orang yang akan menarik tabanas, menguangkan wesel, menerima pensiun, dan mengirim surat, kartu, dan paket. Lalu setelah sepanjang hari melayani pelanggan di loket, menjelang sore Tuan Pos mengeluarkan sepeda untuk berkeliling kampung mengantar surat, ia pun memacu jantungnya. Tuan Pos kami adalah tuan sekaligus anak buah bagi dirinya sendiri karena semua pekerjaan ia kerjakan sendiri. Beliau bekerja sejak subuh: memasak sagu untuk lem, mengangkat karung paket, menjual perangko, menerima dan membayar tabanas dan wesel, mencap surat. Kadang-kadang beliau membantu pelanggan menulis dan malah membacakan surat cinta untuk para kekasih yang buta huruf. Ketika BUMN yang sok progresif sekarang ribut soal Good Corporate Citizenship, Tuan Pos kami telah jauh-jauh hari 208 Laskar Pelangi

mempraktik-kannya. Beliau menyortir surat sejak su-buh dan mengantarnya di bawah hujan dan panas. Sudah begitu tak jarang pula beliau menerima keluhan yang pedas dari pelanggan. Sekilas dalam hati aku berdoa: \"Ya, Allah, cita-citaku adalah menjadi seorang penulis atau pemain bulu tangkis, tapi jika gagal jadikan aku apa saja kalau besar nanti, asal jangan jadikan aku pegawai pos. Dan jangan beri aku pekerjaan sejak subuh.\" \"APA anak-anak muda di kelas ini sudah boleh menerima surat cinta, Ibunda Guru?\" Itulah kata-kata dari sepotong kepala yang melongok dari balik daun pintu kelas kami. Bu Mus tersenyum ramah pada Tuan Pos yang tiba-tiba muncul. Beliau biasa menerima kiriman majalah syiar Islam Panji Masyarakat dari sebuah kantor Muhammadiyah di Jawa Tengah. Tapi kali ini Tuan Pos membawa surat untukku. Istimewa sekali! Inilah surat pertama yang kuterima dari Perum Pos. Dulu aku sering mengantar nenekku ke kantor pos untuk mengambil pensiun. Tapi secara pribadi, baru kali ini aku menerima layanan dari perusahaan umum yang sangat bersahaja ini, sahabat orang kecil, pos giro. Aku bangga dan sekilas merasa menjadi orang yang agak sedikit penting. Apakah surat ini dari redaksi majalah Kawanku atau majalah Hai untuk puisi-puisi yang tak pernah kukirimkan? Tentu saja tak mungkin. Surat ini dialamatkan ke sekolah, tak adanama dan alamat pengirimnya, sampulnya biru muda, indah, dan harum pula baunya. Apakah salah alamat? Mungkin untuk Samson atau Sahara dari sahabat pena mereka di Kuala Tungkai, Sungai Penuh, Lubuk Sikaping, atau Gunung Sitoli. Mengapa para sahabat pena selalu berasal dari tempat-tempat yang namanya aneh? Atau mungkin untuk Trapani yang tampan dari seorang pengagum rahasia? Pak Pos tersenyum menggoda. Beliau mengeluarkan form xl3. Tanda terima kiriman penting. \"Surat ini untukmu, rambut ikal, cepat tanda tangan di sini, tak 'kan kuhabiskan waktuku di 209 Laskar Pelangi

sekolahmu ini, masih banyak kerjaan, sekarang musim bayar pajak, masih ratusan SPT pajak harus diantar, cepatlah .... \"Pak Pos belum puas dengan godaannya. \"Ada gadis kecil datang ke kantor pos pagi-pagi. Mengirimimu kilat khusus dalam kota! Mungkin asap hio membuatnya sedikit linglung, pakai perangko biasa pun pasti kuantar hari ini. Ia berkeras dengan kilat khusus, begitu pentingkah urusanmu belakangan ini, ikal mayang?\" Aha, asap hio! Sekarang aku paham, kurampas surat itu. Dadaku berdebar- debar. Menunggu waktu pulang untuk membuka isi surat itu rasanya seperti menunggu rakaat terakhir shalat tarawih hari ketiga puluh. Saat itu imam membaca hampir setengah Surah Al-Baqarah sementara ketupat sudah menari-nari di depan mata. Aku duduk sendiri di bawah filicium ketika seluruh siswa sudah pulang. Surat bersampul biru itu berisi puisi. Rindu Cinta benar-benar telah menyusahkanku Ketika kita saling memandang saat sembahyang rebut Malamnya aku tak bisa tidur karena wajahmu tak Mau pergi dari kamarku Kepala ku pusing sejak itu... Siapa dirimu? Yang berani merusak tidur dan selera makanku ? Yang membuatku melamun sepanjang waktu? Kamu tak lebih dari seorang anak muda pengganggu! Namun ingin kukatakan padamu 210 Laskar Pelangi

Setiap malam aku bersyukur kita telah bertemu Karena hanya padamu, aku akan merasa rindu .... A Ling Aku terpaku memandangi kertas itu. Tanganku gemetar. Aku membaca puisi itu dengan menanggung firasat sepi tak tertahankan yang diam-diam menyelinap. Aku bahagia tapi dilanda kesedihan yang gelap, ada rasa kehilangan yang mengharu biru. Tak lama kemudian aku melihat pagar-pagar sekolahku perlahan-lahan berubah menjadi kaki-kaki manusia yang rapat berselang-seling. Ada seseorang duduk bersimpuh di tengah lapangan dikelilingi kaki- kaki itu. Dan ada bangkai seekor buaya terbujur kaku disampingnya, Ia tampak samar-samar dan terlihat sangat putus asa. Lalu wajah samar laki-laki itu mulai mendekat, dia menoleh ke arahku, air mata mengalir di pipinya yang carut marut berbintik hitam. Hari itu aku paham bahwa kepedihan Bodenga yang kusaksikan bertahun-tahun lampau di lapangan basket sekolah nasional telah melekat dalam benakku sebagai sebuah trauma, dan hari itu, setelah sekian ta-hun berlalu, untuk.pertama kalinya Bodenga mengunjungiku. ****** 211 Laskar Pelangi

BAB 22 Early Morning Blue TEKANAN darahku terlalu rendah. Penderita hipo-tensi tidak bisa bangun tidur dengan tergesa-gesa. Jika langsung berdiri maka pandangan mata akan berkunang-kunang lalu bisa-bisa ambruk dan kembali tidur dalam bentuk yang lain. Sebuah konsekuensi yang mengerikan. Namun, Samson sungguh tak punya perasaan. Ia membabat kakiku tanpa ampun dengan gulungan tikar lais saat aku se-dang tertidur lelap. \"Bangun!\" hardiknya. \"Wak Haji sudah datang, sebentar lagi azan, disiramnya kau nanti!\" Dan aku terbangkit mendadak, meracau tak keruan antara tidur dan terjaga, tergagap-gagap. Kurasakan dunia berputar-putar, pandanganku gelap. Aku merangkak berlindung di balik pilar agar tak ketahuan Wak Haji yang sedang membuka jendela- jendela masjid. Sempat kulihat Lintang, Trapani, Mahar, Syahdan, dan Harun terbirit- birit menyerbu tempat wudu. Tidur di ruang utama masjid adalah pelanggaran. Kami seharusnya tidur di belakang, di ruangan beduk dan usungan jenazah. Aku tersandar tanpa daya pada pilar yang beku, berusaha meregang-regangkan mataku, jantungku terengah- engah, aku bersusah payah mengumpul-ngumpulkan nyawa. 212 Laskar Pelangi

Angin dingin menyerbu lewat jendela. Mataku terpicing mengintip keluar jendela. Sisa cahaya bulan yang telah pudar jatuh di halaman rumput, sepi dan murung. Inilah early morning blue, semacam hipokondria, perasaan malas, sakit, pesimis, dan kelabu tanpa alasan jelas yang selalu melandaku jika bangun terlalu dini. Teringat puisi A Ling untukku, aku ingin tidur lagi dan baru bangun minggu depan. Setelah Wak Haji selesai mengumandangkan azan baru kurasakan jiwa dan ragaku bersatu. Kucai yang telah mengambil wudu dengan sengaja melewatiku, jaraknya dekat sekali, bahkan hampir melangkahiku. Ia menjentik-jentikkan air kewajahku. Kibasan sarung panjangnya menampar mukaku. \"Pemalas!\" katanya. Malam minggu ini kami menginap di Masjid Al Hikmah karena setelah shalat subuh nanti kami punya acara seru, yaitu naik gunung! Gunung Selumar tidak terlalu tinggi tapi puncaknya merupakan tempat tertinggi di Belitong Timur. Jika memasuki kampung kami dari arah utara maka harus melewati bahu kiri gunung ini. Dari kejauhan, gunung ini tampak seperti perahu yang terbalik, kukuh, biru, dan samar-samar. Di sepanjang tanjakan dan turunan menyusuri bahu kiri Gunung Selumar berderet-deret rumah-rumah penduduk Selinsing dan Selumar. Mereka memagari pekarangannya dengan bambu tali yang ditanam rapat-rapat dan dipangkas rendah- rendah. Kampung kembar ini dipisahkan oleh sebuah lembah yang digenangi air yang tenang. Danau Merantik, demikian namanya. Jika mengendarai sepeda maka stamina tubuh akan diuji oleh sebuah tanjakan pendek namun curam menjelang Desa Selinsing. Pemuda-pemuda Melayu yang berusaha membuat kekasihnya terkesan tak 'kan membiarkannya turun dari sepeda. Mereka nekat mengayuh sampai ke puncak, mengerahkan segenap tenaga, tertatih-tatih sehingga sepeda tak lurus lagi jalannya. Setelah tanjakan Selinsing ini ditaklukkan maka sepeda akan menukik turun. Sang pemuda akan tersenyum puas, meminta kekasihnya memeluk 213 Laskar Pelangi

pinggangnya erat-erat dan meyakinkannya bahwa ia kurang lebih tidak akan terlalu memalukan nanti kalau dijadikan suami. Pada tukikan ini sepeda akan meluncur turun dengan deras, menikung sedikit, sebanyak dua kali, menelusuri lembah Danau Merantik, lalu disambut lagi oleh tanjakan kampung Selumar. Kekasih mana pun akan maklum kalau diminta turun, karena tanjakan Selumar meskipun tak securam tanjakan Selinsing namun jarak tanjaknya sangat panjang. Baru seperempat saja menempuh tanjakan Selumar maka sepeda yang dituntun akan terasa berat. Pagar bambu tali yang dibentuk laksana anak-anak tangga tampak berbayang-bayang karena mata berkunang-kunang akibat kelelahan. Semakin ke puncak langkah semakin berat seperti dibebani batu. Keringat bercucuran mengalir deras melalui celah-celah leher baju, daun telinga, dan mata, sampai membasahi celana. Tapi saat mencapai puncaknya, yaitu puncak bahu kiri Gunung Selumar, semua kelelahan itu akan terbayar. Di hadapan mata terhampar luas Belitong Timur yang indah, dibatasi pesisir pantai yang panjang membiru, dinaungi awan-awan putih yang mengapung rendah, dan barisan rapi pohon-pohon cemara angin. Dari puncak bahu ini tampak rumah-rumah penduduk terurai- urai mengikuti pola anak- anak Sungai Langkang yang berkelak- kelok seperti ular. Kelompok rumah ini tak lagi dipagari oleh bambu tali namun berselang-seling di antara padang ilalang liar tak bertuan. Semakin jauh, jalur pemukiman penduduk semakin menyebar membentuk dua arah. Pemukiman yang berbelok ke arah barat daya terlihat sayup-sayup mengikuti alur jalan raya satu-satunya menuju Tanjong Pandan. Dan yang terdesak terus ke utara terputus oleh aliran sebuah sungai lebar bergelombang yang tersambung ke laut lepas Sungai Lenggang yang melegenda. Di seberang Sungai Lenggang rumah-rumah penduduk semakin rapat mengitari pasar tua kami yang kusam. Jangan terburu-buru menuruni lembah. Berhentilah untuk beristirahat. Sandarkan tubuh berlama-lama di salah satu pokok pohon angsana tempat anak-anak tupai ekor kuning rajin bermain. 214 Laskar Pelangi

Dengarkan orkestra daun-daun pohon jarum dan jeritan histeris burung- burung kecil matahari yang berebut sari bunga jambu mawar dengan kumbang hitam. Nikmati komposisi lanskap yang manis antara gu-nung, lembah, sungai, dan laut. Longgarkan kancing baju dan hirup sejuk angin selatan yang membawa aroma daun Anthurium andraeanum, yaitu bunga hati yang tumbuh semakin subur beranak pinak mengikuti ketinggian. Dinamakan bunga hati karena daunnya berbentuk hati. Aku sendiri tak pasti, apakah aroma harum a-lami yang melapangkan dada itu berasal andraeanum sendiri atau dari simbiosisnya, sebangsa fungi Clitocybe gibba yaitu jamur daun tak bertangkai yang rajin merambati akar-akar familia keladi itu. Jamur ini bersemi dalam suhu yang semakin lembap saat memasuki musim angin barat pada bulan-bulan yang berakhiran ber. Bentuknya tegap, rendah, dan gemuk-gemuk. Kami sudah sangat sering piknik ke Gunung Selumar dan agak sedikit bosan dengan sensasinya. Biasanya kami tidak sampai ke puncak, sudah cukup puas dengan pemandangan dari 75% ketinggiannya. Lagi pula komposisi batu granit di atas lereng gunung ini membuat jalur pendakian ke puncak menjadi licin. Namun, kali ini aku amat bergairah dan bertekad untuk mendaki sampai ke puncak. Laskar Pelangi menyambut baik semangatku. Belum apa- apa mereka telah sibuk bercerita tentang pemandangan hebat yang akan kami saksikan nanti dari puncak, yaitu seluruh jembatan di kampung kami, kapal-kapal ikan, dan tongkang pasir gelas yang bersandar di dermaga. Tapi aku tak peduli dengan semua pemandangan itu karena aku punya misi rahasia. Rahasia ini menyangkut sebuah pemandangan menakjubkan yang hanya bisa disaksikan dari puncak tertinggi Gunung Selumar. Rahasia ini juga berhubungan dengan bunga- bunga kecil nan rupawan yang hanya tumbuh di puncak tertinggi. Mereka adalah bunga liar Callistemon laevis atau bunga jarum merah, atau kalau beruntung, bunga kecil kuning kelopak empat semacam Dip lotaxis muralis. 215 Laskar Pelangi

Aku menyebutnya bunga rumput gunung, istilahku sendiri, karena ia senang menyelinap, enam atau tujuh tangkai seperanakan, di antara rerumputan zebra liar di puncak-puncak gunung dekat laut. Kelopaknya selebar ibu jari, berwarna kuning redup dan tangkai yang menopangnya berwarna hijau muda dengan ukuran tak sepadan, natural, spontan, lucu, dan cantik. Daun-daunnya tak dapat dikatakan indah karena bentuk dan warnanya, bukan kurannya, lebih seperti daun Vitex trif olia biasa. Namun jika kita siangi daunnya dan berhasil mengumpulkan paling tidak 15 kuntum lalu disatukan dengan jumlah yang lebih sedikit dari kuntum bunga jarum merah maka satu kata untuk mereka: fantastik! Bunga jarum merah berbentuk jarum yang lebat dengan ujung bulat kecil-kecil berwarna kuning. Ketika bunga jarum digabungkan dengan bunga rumput gunung tanpa diatur maka mereka seolah berebutan tampil. Ikatlah mereka dengan pita rambut berwarna biru muda dan tulislah sebuah puisi, maka Anda akan mampu mendinginkan hati wanita mana pun. Setelah tiga jam mendaki kami tiba di puncak. Lelah, haus, dan berkeringat, tapi tampak jelas rasa puas pada setiap orang, sebuah ekspresi \"telah mampu menaklukkan\". Aku yakin perasaan inilah yang memicu sikap obsesif setiap pendaki gunung profesional untuk menaklukkan atap-atap dunia. Kiranya daya tarik mendaki gunung berkaitan langsung dengan fitrah manusia. Lalu dengan hiruk pikuk sahut-menyahut teman- temanku, para Laskar Pelangi, berkomentar tentang pemandangan yang terhampar luas di bawah mereka. \"Lihatlah sekolah kita,\" pekik Sahara. Bangunan itu tampak menyedihkan dari jauh. Rupanya dilihat dari sudut dan jarak bagaimanapun, sekolah kami tetap seperti gudang kopra! Lalu Kucai menunjuk sebuah bangunan,\"Hai! Tengoklah! Itu masjid kita. Seluruh khalayak meneriakinya, tak terima. \"Itu kelenteng, bodoh!\" Dan mereka pun terbelah dalam dua kelompok debat kusir. 216 Laskar Pelangi

Sebagaimana biasa Mahar mulai berdongeng, menurutnya Gunung Selumar adalah seekor ular naga yang sedang menggulung diri dan telah tidur panjang selama berabad- abad. \"Ular ini akan bangun nanti kalau hari kiamat. Kepalanya ada di puncak gunung ini. Berarti tepat berada di bawah kaki-kaki kita sekarang! Dan ekornya melingkar di muara Sungai Lenggang,\" katanya absurd. \"Maka jangan terlalu ribut di sini, nanti kalian kualat,\" tambahnya lagi belum puas membodohi diri sendiri. Teman-temanku riuh rendah mendengar cerita itu dalam pro dan kontra. Tapi seperti biasa pula, A Kiong-lah yang selalu termakan dongeng Mahar, ia tampak serius dan percaya seratus persen. Mungkin sebagai ungkapan rasa kagum atas cerita yang sangat bermanfaat itu, dengan takzim ia memberikan bekal pisang rebusnya kepada Mahar. Sikapnya seperti seorang anggota suku primitif menyerahkan upeti kepada dukun yang telah menyembuhkannya dari penyakit kudis. Mahar menyambar upeti itu dan secara kilat memasukkannya ke dalam sistem pencernaannya tanpa peduli bahwa dia sedang dianggap sangat berwibawa oleh A Kiong. Meledaklah tawa Laskar Pelangi melihat pemandangan itu. Namun A Kiong tetap serius, ia sama sekali tidak tertawa, baginya kejadian itu tidak lucu. Demikian pula aku. Aku juga tidak tertawa. Karena aku sedang merasa sepi di keramaian. Mataku tak lepas me-mandang sebuah kotak persegi empat berwarna merah nun jauh di bawah sana, atap sebuah rumah. Rumah A Ling. Aku menyingkir dari kegirangan teman-temanku, sendirian menelusuri padang ilalang rendah di puncak gunung, memetik bunga-bunga liar. Kupandangi lagi atap rumah A Ling dan segenggam bunga liar nan cantik di dalam genggaman. Untuk inikah aku mendaki gunung setinggi ini? 217 Laskar Pelangi

Panorama dari puncak ini seperti musik. In-tronya adalah gumpalan awan putih yang mengapung rendah seolah aku dapat menjangkaunya. Lalu mengalir vokal dari suitan- suitan panjang burung-burung prigantil yang kadang-kadang begitu dekat dan nyaring, sampai terdengar jauh samar-samar bersahut-sahutan dengan lengkingan-lengkingan kecil kawanan murai batu. Reff rainnya adalah ribuan burung punai yang menyerbu hamparan buah bakung yang masak menghitam seperti permadani raksasa. Musik diakhiri secaraf ade out oleh jajaran panjang hutan bakau tang-kapan hujan yang memagari anak-anak Sungai Lenggang, berkelok-kelok sampai tak tampak oleh pandangan mata, ditelan muara-muara di sepanjang Pantai Manggar sampai ke Tanjong Kelumpang. Angin sejuk yang bertiup dari lembah menampar-nampar wajahku. Aku merasa tenang dan akan kutulis puisi demi seseorang di balik tirai keong itu. Puisi inilah misi rahasiaku. Jauh Tinggi A Ling, hari ini aku mendaki Gunung Seiumar Tinggi, tinggi sekali, sampai kepuncaknya Hanya untuk melihat atap rumahmu Hatiku damai rasanya 218 Laskar Pelangi

BAB 23 Billitonite SENIN pagi yang cerah. Sepucuk puisi dibungkus kertas ungu bermotif kembang api. Bunga-bunga kuning kelopak empat dan kembang jarum merah primadona puncak gunung diikat pita rambut biru muda. Tak juga hilang kesegarannya karena semalam telah kurendam di dalam vas keramik. Tak sabar rasanya ingin segera kuberikan pada A Ling. Benda-benda ajaib ini adalah properti sekuel cinta pagi ini, dan skenarionya ada-lah: ketika A Ling menyodorkan kotak kapur, aku serta-merta meletakkan bunga dan puisiku ini ke tangannya yang terbuka. Tak perlu ada kata-kata. Biarlah ia menghapus air matanya karena keindahan bunga-bunga liar dari puncak gunung. Biarlah ia membaca puisiku dan merasakan kue keranjang tahun ini lebih enak dari tahun-tahun lalu. Aku gugup dan bergegas menghampiri lubang kotak kapur segera setelah A Miauw memberi perintah. Namun ketika tinggal dua langkah sampai ke kotak itu aku terkejut tak alang kepalang. Aku terjajar mundur ke belakang dan nyaris terantuk pada kaleng-kaleng minyak sayur. Aku terperanjat hebat karena melihat tangan yang 219 Laskar Pelangi

menjulurkan kotak kapur adalah sepotong tangan yang sangat kasar. Tangan itu bukan tangan A Ling! Tangan itu sangat ganjil, seperti sebilah tembaga yang jahat. Bentuknya benar-benar kebalikan dari tangan Michele Yeohku. Tangan itu berotot, dekil, hitam legam, dan berminyak-minyak. Dari otot lengan atasnya menjalar urat-urat besar berwarna biru, timbul dan berkejaran. Sebuah gelang akar bahar, tidak tanggung-tanggung, melingkar tiga kali pada lengan tembaga sepuhan tembaga itu. Ujung gelang diukir berbentuk kepala ular beracun kuat pinang barik yang menganga lapar siap menyambar. Sedangkan ada pergelangan siku, seperti dikenakan raksasa jahat dalam pewayangan, melekat gelang alumunium ketat dengan kedua ujung berbentuk gerigi kunci, biasa dipakai untuk tujuan-tujuan melanggar hukum. Memang tidak terdapat tato pantangan bagi orang melayu yang tahu agama, tapi pada tiga jari jemarinya terdapat tiga mata cincin yang mengancam. Jari telunjuknya dibalut cincin batu satam terbesar yang pernah kulihat. Batu satam adalah material meteorit yang unik karena di muka bumi ini hanya ada di Belitong. Warnanya hitam pekat karena komposisi carbon acid dan mangaan, dan kepadatannya lebih dari baja sehingga tidak mungkin bisa dibentuk. Batu-batu ini biasa bersembunyi di lubang bekas tambang timah dan tak 'kan dapat ditemukan jika sengaja dicari. Hanya nasib baik yang dapat mengeluarkan satam dari perut bumi. Tahun 1922 kompeni menyebut batu ini billitonite dan dari sinilah Pulau Belitong mendapatkan namanya. Tanpa sama sekali mempertimbangkan estetika, pemilik tangan itu mengikat benda keramat dari tata surya itu apa adanya dengan kuningan murahan. Namun, ia memakainya dengan bangga seolah dirinya penguasa langit. Pada jari manisnya terpajang cincin bermata batu akik yang mengesankan seperti sebuah batu kecubung asli Kalimantan yang amat berharga. Tapi aku tak bisa dibohongi. Batu itu tak lebih dari sintetis hasil masakan plastik yang dipadatkan dengan kristal pada 220 Laskar Pelangi

suhu yang sangat tinggi. Pemakainya adalah seorang penipu. Yang ditipunya tak lain dirinya sendiri. Yang terakhir, di jari tengahnya, tampak pemimpin dari seluruh cincin yang mengintimidasi dan pernyataan kecenderungan licik pemiliknya. Di situ menyeringai angker sebuah mata cincin besar tengkorak manusia dengan mata berlubang. Cincin ini dibuat dari bahan mur baja putih yang didapat secara kongkalikong dengan orang bengkel alat berat PN Timah. Cara mengubah baja ini menjadi cincin membuat siapa pun bergidik. Setelah dibentuk secara kasar dengan mesin bubut kemudian mur besar baja putih mentah yang sangat keras itu dikikir secara manual selama berminggu- minggu. Kebiasaan membuat cincin seperti ini sering dipraktikkan oleh karyawan PN Timah dalam tingkatan kuli. Kerja keras rahasia berminggu-minggu itu hanya akan menghasilkan sebuah cincin putih berkilauan yang jelek sekali. Sebuah kebiasaan yang tak masuk akalku sampai sekarang. Lalu kuku-kuku pemilik tangan ini, aduh! Minta ampun, bentuknya seperti paras kuku- kuku yang terkena kutukan. Berbeda seperti langit dan bumi dibanding kuku-kuku A Ling yang bertahun- tahun menyihir pandanganku. Kuku-kuku ini sangat tebal, kotor, panjang tak beraturan, dan ujungnya pecah-pecah. Secara umum kuku-kuku ini mirip sekali dengan sisik buaya. Belum hilang rasa terkejutku, aku mendengar suara ketukan keras kuku-kuku besi itu di permukaan papan dekat kotak kapur tanda tak sabar, maksudnya biar aku segera mengambil kapur itu. Dari dalam terdengar suara gerutuan tak bersahabat. Karena kuku- kuku itu sangat kasar maka ketukan itu terdengar demikian keras, membuatku semakin gelisah. Tapi yang paling merisaukanku adalah karena aku tak menemukan A Ling. Ke manakah gerangan Michele Yeohku? \"Apa yang terjadi?\" Syahdan mendekatiku. \"I-kal, tangan siapa seperti pentungan satpam itu?\" Aku tak menjawab, tenggorokanku tercekik. Tangan itu tak asing bagiku. Itu adalah tangan Bang Sad. Aku ingat ketika ia mengukir kepala ular pinang barik pada akar bahar pemberian pria-pria 221 Laskar Pelangi

berkerudung tempo hari. Pernah diceritakannya padaku bahwa dibutuhkan waktu tiga minggu untuk membentuk akar panjang dari dasar laut itu menjadi gelang >tiga lingkar. Akaryang tadinya lurus kencang ditaklukkan dengan cara melumurinya dengan minyak rem dan mengasapinya dengan sabar di atas suhu tungku yang terkendali. Ketukan-ketukan itu terus menerorku. Bang Sad sungguh tak punya perasaan. Ia tak tahu aku sedang panik, gugup, dan risau karena tak menjumpai A Ling seperti kebiasaan yang telah berlangsung selama tujuh tahun. Baru kali ini terjadi hal di luar kebiasaan itu. Situasi ini sangat membingungkan buatku. Otakku tak bisa berpikir. Hanya Syahdan yang kiranya segera dapat mencerna keadaan, mengurai kebuntuan, memecah kebekuan. Ia berinisiatif mengambil kotak kapur itu. Bang Sad menarik tangannya seperti seekor binatang melata yang masuk kem-bali ke dalam sarangnya. Syahdan mendekatiku yang ber-diri terpaku, wajahnya sendu. Ia ingin menunjukkan simpati tapi aku juga tahu bahwa ia sendiri merasa gentar. Miauw yang dari tadi memerhatikan menghampiriku dengan tenang. Berdiri persis di sampingku ia menarik napas pan-jang dan mengatur dengan hati- hati apa yang ingin diucap-kannya. \"A Ling sudah pigi Jakarta .... Nanti dia terbang naik pesawat pukul 9. Ia harus menemani bibinya yang sekarang hidup sendiri, ia juga bisa mendapat sekolah yang bagus di sana ....\" Aku tertegun putus asa. Rasanya tak percaya dengan apa yang kudengar. Terjawab sudah firasatku ketika Bodenga mengunjungiku. Semangatku terkulai lumpuh. \"Kalau adanasib, lain hari kalian bisa bertemu lagi.\" A Miauw menepuk-nepuk pundakku. Aku terdiam dan menunduk seperti orang sedang mengheningkan cipta. Tanganku mencengkeram kuat ikatan bunga- bunga liar dan selembar puisi. 222 Laskar Pelangi

\"Ia titip salam buatmu dan ia ingin kamu menyimpan ini ....\" A Miauw menyerahkan sebuah kado yang dibungkus kertas berwarna ungu bermotif kembang api, persis sama dengan kertas sampul puisiku. Sebuah kebetulan yang hampir mustahil. Aku tahu, sejak awal Tuhan telah mengamati baik-baik cinta yang luar biasa indah ini. Aku merasa seluruh barang dagangan yang ada di toko itu rubuh menimpaku. Dadaku sesak. Aku melihat sekeliling dan terpikir akan sesuatu. Aku menarik tangan Syahdan dan mengajaknya pulang. Persis pukul 8.50 kami sampai di halaman sekolah, lalu berlari melintasi lapangan menuju pokok pohon gayam tempat kami sering duduk bersama-sama mengamati pesawat terbang yang datang dan pergi meninggalkan Tanjong Pandan. Kami mengambil posisi terbaik sambil bersandar di pokok pohon itu. Kami diam dan terus menengadahkan kepala, memicingkan mata, ke arah langit yang cerah biru menyilaukan. Pukul 9.05. Perlahan-lahan muncul sebuah pesawat Foker 28 melintas pelan di atas lapangan sekolah kami. Aku tahu di dalam pesawat itu ada A Ling dan ia juga pasti sedang sedih meninggalkan aku sendiri. Aku mengamati pesawat yang per-gi membawa cinta pertamaku menembus awan-awan putih nun jauh tinggi di angkasa tak terjangkau. Pesawat itu semakin lama semakin kecil dan pandanganku semakin kabur, bukan karena pesawat itu semakin jauh tapi karena air mata tergenang pelupuk mataku. Selamat tinggal belahan jiwaku, cinta pertamaku. Setelah pesawat itu sama sekali menghilang Syahdan meninggalkanku sendirian. Tiba- tiba aku disergap oleh perasaan sunyi yang tak tertahankan. Rasanya di dunia ini hanya aku satu- satunya makhluk hidup. Daun-daun gayam yang rontok berbunyi seperti bilah- bilah seng yang berjatuhan di kesunyian malam. Pohon gayam ini adalah satu-satunya pohon di tengah lapangan sekolahku yang sangat luas dan aku duduk sendiri di bawahnya, 223 Laskar Pelangi

kesepian. Aku baru saja ditinggalkan oleh seseorang yang telah memenuhi hatiku sampai meluap-luap selama lima tahun terakhir ini. Lalu dengan tiba-tiba pagi ini, ia begitu saja tercabut dari kehidupanku. Aku membuka kado yang dititipkan A Ling. Di dalamnya terdapat sebuah buku berjudul Seandainya Mereka Bisa Bicara karya Herriot dan sebuah diary yang memuat berbagai catatan harian dan lirik-lirik lagu. Aku membalik lembar demi lembar diary itu. Tak ada yang istimewa dan tak ada yang khusus ditujukan untukku. Namun pada suatu halaman aku membaca judul sebuah puisi yang rasanya aku kenal, judulnya Bunga Krisan. Pada lembar- lembar berikutnya aku melihat seluruh puisi yang dulu pernah kukirimkan kepadanya dan selalu ia kembalikan. A Ling menylin kembali seluruh puisiku dalam diary-nya. ******* 224 Laskar Pelangi

BAB 24 Tuk Bayan Tula ANGIN selatan, angin paling jinak, biasa berembus dengan kecepatan maksimum 10 mph. Angin lembut ini tiba-tiba mengamuk menjadi monster puting beliung dengan kecepatan seribu kali lipat, 10.000 mph. Pohon dan mobil-mobil beterbangan seperti bulu, aspal jalan terkelupas. Seluruh bangunan runtuh, bahkan fondasi rumah tercabut, yang tersisa hanya lubang-lubang WC. Tepung sari Camellia dan Buxus yang tumbuh di kebun liar peliharaan alam di puncak Gunung Samak terhambur ke udara, menimbulkan pemandangan menyedihkan seperti nyawa-nyawa muda yang dicabut paksa oleh malaikat maut dari jasad yang segar bugar. Semua itu gara-gara pembakaran minyak solar berlebihan selama ratusan tahun dalam eksploitasi timah sehingga menimbulkan gas rumah kaca. Gas itu tertumpuk di atas atmosfer Belitong dan segera menimbulkan efek rumah kaca, menunggu hari untuk menjadi mara bahaya. Lalu senyawa gas rumah kaca itu karbondioksida dan radiasi matahari memicu reaksi kimia yang mengubah tepung sari yang bergentayangan di udara menjadi semacam bubuk mesiu dengan daya ledak sangat tinggi seperti TNT. Karena kuantitasnya telah beraku mulasi demikian lama maka pada suatu tengah hari saat orang-orang Melayu sedang mendengarkan musik pelepas lelah di RRI, tanpa firasat apa pun, terjadilah katastropi itu. Sebuah 225 Laskar Pelangi

ledakan yang sangat dahsyat seperti ledakan nuklir menghantam Belitong. Orang-orang Belitong mengira kiamat telah datang maka tak perlu menyelamatkan diri. Mereka terduduk pasrah di tangga-tangga rumahnya, melongo melihat ekor ledakan yang kemudian membentuk cendawan raksasa yang menutupi tanah kuno pulau itu sehingga gelap gulita. Dalam waktu singkat ajal yang sebenarnya pun pelan-pelan menjemput, yakni ketika cendawan yang mengandung radio aktif, merkuri, dan amoniak hanyut turun mengejar orang-orang Belitong yang kocar-kacir mencari perlindungan. Mereka menyelinap ke gorong-gorong, menyelam di sungai, sembunyi di dalam karung goni, terjun ke sumur-sumur, dan tiarap di got-got. Tapi semua usaha itu sia-sia karena gas-gas kimia tadi larut dalam udara dan air. Sebagian orang Belitong tewas di tempat, tertungging seperti ekstremis dibedil kompeni, dan mereka yang selamat berubah menjadi makhluk-makhluk cebol berbau busuk. Melihat penampilan orang Belitong seperti itu pemerintah pusat di Jakarta merasa malu kepada dunia internasional dan tak sudi mengakui orang Belitong sebagai warga negara republik. Karena itu Kabupaten Belitong dipaksa rela melakukan referendum. Walaupun hanya sedikit orang Melayu Belitong yang ingin memisahkan diri dari NKRI tapi pemerintah menganggap keputusan manusia- manusia cebol itu sebagai aklamasi sehingga Belitong menjadi negara yang merdeka. Bisa dipastikan bahwa Belitong tidak mampu menghidupi dirinya sendiri. Di sisi lain, efek rumah kaca yang demikian tinggi mengakibatkan ekologi di sana tidak seimbang, permukaan air laut naik, dan suhu menjadi terlalu panas. Dan saat itulah kebenaran yang hakiki datang. Bodenga yang telah lama menghilang tiba-tiba muncul mengambil alih pemerintahan kabupaten, ia menindas tandas orang-orang cebol yang telah memper-lakukan ia dan ayahnya dengan tidak adil. Orang-orang cebol itu digiring olehnya dan digelontor ke muara Sungai Mirang agar dimangsa buaya. Orang-orang cebol itu 226 Laskar Pelangi

meregang nyawa dan dalam waktu singkat mereka tewas ter-apung- apung seperti ikan kena tuba. Itulah kira-kira isi kepala seorang pemimpi yang hampir gila karena frustrasi putus cinta pertama. Aku tak bisa berpikir jernih, bermimpi buruk, berhalusinasi, dan dihantui khayalan- khayalan aneh. Jika aku melihat ke luar jendela dan ada pelangi melingkar maka pelangi iu menjadi monokrom. Jika aku mendengar kicauan prenjak maka ia berbunyi seperti burung mistik pengabar kematian. Aku merasa setiap orang: para penjaga toko, Tuan Pos, tukang parut kelapa, polisi pamong praja, dan para kuli panggul telah berkonspirasi melawanku. Meskipun selama lima tahun aku hanya dua kali berjumpa dengan Michele Yeohku tapi perasaanku padanya melebihi segalanya. A Ling adalah sosok yang dapat menimbulkan perasaan sayang demikian kuat bagi orang-orang yang secara emosional terhubung dengannya. Ia cantik, pintar, dan baik. Cintanya penuh imajinasi dan kejutan-kejutan kecil yang menyenangkan, mungkin itulah yang membuatku amat terkesan. Tapi rupanya ketika ia melepaskan genggaman tangannya minggu lalu, saat itu pula nasib memisahkan kami. Kini dirinya menjadi semakin berarti ketika ia sudah tak ada dan aku merasa getir. Kepergian A Ling meninggalkan sebuah ruangan kosong, rongga hampa yang luas, dan duka lara di dalam hatiku. Dadaku sesak karena rindu dan demi menyadari bahwa rindu itu tak 'kan pernah terobati, aku rasanya ingin meledak. Aku selalu ingin menghambur ke toko kelontong Sinar Harapan, tapi aku tahu tindakan dramatis seperti film India itu akan percuma saja karena di sana aku hanya akan disambut oleh botol-botol tauco dan tumpukan terasi busuk. Aku merana, merana sekali. Aku merasa tak percaya, amat terkejut, dan tak sanggup menerima kenyataan bahwa sekarang aku sendiri. Sendiri di dunia yang tak peduli. Jiwaku lumpuh karena ditinggal kekasih tercinta, atau dalam bahasa puisi: aku mengharu biru tatkala kesepian 227 Laskar Pelangi

melayap mencekam dermaga jiwa, atau: batinku nelangsa berdarah- darah tiada daya mana kala ia sirna terbang mencampak asmara. Dan juga, laksana film India, perpisahan itu membuatku sakit. Seperti pertemuan pertama dalam insiden jatuhnya kapur di hari yang bersejarah tempo hari, saat itu kebahagiaanku tak terlukiskan kata-kata. Maka kini, saat perpisahan, kepedihanku juga tak tergambarkan kalimat. Beberapa waktu lalu aku pernah menertawakan Bang Jumari yang menderita diare hebat dan menggigil di siang bolong karena cintanya diputuskan oleh Kak Shita, kakak sepupuku. Ketika itu aku tak habis pikir bagaimana kekonyolan seperti itu bisa terjadi. Namun, kini hal serupa aku alami. Hukum karma pasti berlaku ! Selama dua hari aku sudah tidak masuk sekolah. Maunya hanya tergeletak saja di tempat tidur. Kepalaku berat, napasku cepat, dan mukaku memerah. Ibuku memberiku Naspro dan obat cacing Askomin. Tapi aku tak sembuh. Aku menderita panas tinggi. Setelah Syahdan, Mahar dan pengikut setianya A Kionglah yang datang menjengukku. Mahar memakai jas panjang sampai ke lutut seperti seorang dokter hewan dari Eropa dan A Kiong tergopoh- gopoh di belakangnya menenteng sebuah tas koper laksana siswa perawat yang sedang magang. Koper ini sangat istimewa karena di sana sini ditempeli bekasp eneng sepeda dan berbagai lambang pemerintahan sehingga mengesankan Mahar seperti seorang pejabat penting kabupaten. Syahdan sedang duduk di samping tempat tidurku ketika Mahar masuk ke kamar. A Kiong dan Mahar tak mengucapkan sepatah kata pun, ekspresi mereka datar. Dengan gerakan isyarat Mahar menyuruh Syahdan minggir. Mahar berdiri persis di sampingku, memandangiku dengan cermat dari ujung kaki sampai ujung rambut. Ia masih tetap tak bicara. Wajahnya serius seperti seorang dokter profesional dan seolah dalam waktu singkat telah menyelesaikan diagnosisnya. Ia menggeleng-gelengkankan kepalanya pertanda kasus yang dihadapi tidak sepele. Ia menarik napas prihatin dan menoleh ke arah A Kiong. \"Pisau!\" pekiknya singkat. 228 Laskar Pelangi

A Kiong cepat-cepat memutar nomor kombinasi koper lalu mengeluarkan sebilah pisau dapur karatan. Aku dan Syahdan memerhatikan dengan khawatir. Pisau itu diberikan dengan takzim pada Mahar yang menerimanya seperti seorang ahli bedah. \"Kunir !\" perintah Mahar lagi, tegas dan keras. A Kiong kembali merogoh sesuatu dari dalam koper dan segera menyerahkan kunir seukuran ibu jari. Tanpa banyak cingcong Mahar memotong kunir dan dengan gerakan sangat cepat tak sempat kuhindari ia menggerus kunir itu di keningku, melukis tanda silang yang besar. Maka terpampanglah di keningku huruf X berwarna kuning. Lalu, seperti telah sama-sama paham prosedur berikutnya, tanpa dikomando, A Kiong mengambil dahan-dahan beluntas dari dalam koper, melemparkannya kepada Mahar yang menyambutnya dengan tangkas dan langsung menampar- namparkan daun-daun itu ke sekujur tubuhku tanpa ampun sambil komat-kamit. Bukan hanya itu, sementara Mahar mengibas-ngibaskan daun- daun beluntas dengan beringas, A Kiong serta-merta menyembur- nyemburkan air ke seluruh tubuhku termasuk wajah melalui alat penyemprot bunga, sehingga yang terjadi adalah sebuah kekacauan. Aku jadi berantakan dan basah seperti kucing kehujanan, namun aku tak berkutik karena mereka sangat kompak, cepat, terencana, dan sistematis. Tak lama kemudian mereka berhenti. Mahar menarik napas lega dan A Kiong dengan wajah bloonnya ikut-ikutan bernapas lega sok tahu. Sebuah sikap gabungan antara kebodohan dan fanatisme. Aku dan Syahdan hanya melongo, terpana, pasrah total. \"Tiga anak jin tersinggung karena kau kencing sembarangan di kerajaan mereka dekat sumur sekolah ...,\" Mahar menjelaskan dengan gaya seolah-olah kalau dia tidak segera datang nyawaku tak tertolong. Tak ada rasa bersalah dan niat menipu tecermin dari wajahnya. Mahar dan A Kiong tampil penuh kordinasi dengan ketenangan mutlak tanpa dosa. Mereka tak sedikit pun ragu atas 229 Laskar Pelangi

keyakinanya pada metode penyembuhan dukun yang konyol tak tanggung-tanggung. \"Merekalah yang membuatmu demam panas,\" sambungnya lagi sambil memasukkan alat-alat kedokterannya tadi ke dalam koper, lalu dengan elegan menyerahkan koper itu pada A Kiong. A Kiong menyambut tas itu seperti anggota Paskibraka menerima bendera pusaka. \"Tapi jangan cemas, Kawan, barusan mereka sudah ku-usir, besok sudah bisa masuk sekolah!\" Lalu tanpa basa-basi, tanpa pamit, mereka berdua langsung pulang. Hanya itu saja kata- katanya. Bahkan A Kiong tak mengucapkan sepatah kata pun. Aku terengah-engah. Syahdan menutup wajahnya dengan tangannya. Mahar memang sudah edan. Ia semakin tak peduli dengan buku- buku dan pelajaran sekolah. Nilai-nilai ulangannya merosot tajam, bisa-bisa ia tidak lulus ujian nanti. Sebenarnya ia murid yang pandai, belum lagi menghitung bakat seninya, tapi nafsu ingin tahu yang terkekang terhadap dunia gaib membuatnya lebih senang memperdalam hal-hal yang subtil. Belakangan ini keanehannya semakin menjadi-jadi, dan semua itu gara-gara anak Gedong yang tomboi itu Flo atau mungkin gara-gara seorang dukun siluman bernama Tuk Bayan Tula. Sebulan yang lalu seluruh kampung heboh karena Flo hilang. Anak bengal penduduk Gedong itu memisahkan diri rombongan teman-teman sekelasnya ketika hiking di Gunung Selumar. Polisi, tim SAR, anjing pelacak, anjing kampung, kelompok pencinta alam, para pendaki profesional dan amatir, para petualang, para penduduk yang berpengalaman di hutan, para pengangguran yang bosan tak melakukan apa-apa, dan ratusan orang kampung tumpah ruah mencarinya di tengah hutan lebat ribuan hektare yang melingkupi lereng gunung itu. Kami sekelas termasuk di dalamnya. Sampai senja turun Flo masih belum ditemukan. Bapak, Ibu, dan saudara-saudaranya berulang kali pingsan. Guru-guru dan teman- 230 Laskar Pelangi

teman sekelasnya menangis cemas. Segenap daya upaya dikerahkan tapi belum ada tanda-tanda di mana ia berada. Susah memang, hutan di gunung ini sangat lebat, sebagian belum terjamah, dan hutan itu ber-ujung di lembah-lembah liar yang dialiri anak-anak sungai berbahaya. Salak anjing, teriakan orang memanggil-manggil, dan suara belasan megafone bertalu- talu di lereng gunung. Para dukun tak mampu memberi petunjuk apa pun, ada saja alasannya, tapi umumnya adalah bahwa para jin penunggu Gunung Selumar lebih sakti, sebuah alasan klasik. Dari lengkingan megafone itu kami tahu nama anak perempuan yang sedang hilang: Flo Menjelang sore sebuah lampu sorot besar yang biasa dipakai di kapal keruk dibawa ke lereng gunung untuk memudahkan tim penyelamat. Orang-orang dari kampung tetangga turut bergabung. Sekarang jumlah pencari mencapai ribuan. Hari beranjak gelap dan keadaan semakin meng-khawatirkan. Kabut tebal yang menyelimuti gunung sangat menyulitkan usaha pencarian. Wajah setiap orang mulai kelihatan cemas dan putus asa. Tahun lalu dua orang anak laki-laki juga tersesat,setelah tiga hari mereka ditemukan berpelukan di bawah sebatang pohon Medang, meninggal dunia karena kelaparan dan hipotermia. Sinar merah lampu sirine mobil ambulans yang berputar-putar menjilati sisi pohon-pohon besar, menciptakan suasana mencekam, seperti ada kematian yang dekat. Sudah delapan jam berlalu tapi Flo masih tak diketahui keberadaanya di tengah hutan rimba gunung ini. Orang tua Flo dan para pencari mulai panik. Malam pun turun. Kami merasa kasihan pada Flo. Kini ia seorang diri dalam gelap gulita rimba. Ia bisa saja terjatuh, mengalami patah kaki atau pingsan. Atau mungkin saat ini ia sedang terisak- isak, ketakutan, lapar dan kedinginan di bawah sebatang pohon besar, dan suaranya telah parau memanggil-manggil minta tolong. Anak perempuan yang seperti anak laki-laki itu tentu tadi pagi tak menyadari konsekuensi keisengannya. Mungkin awalnya ia hanya ingin menggoda teman-temannya. Tapi sekarang, keadaan bisa fatal. 231 Laskar Pelangi

Kontur gunung ini sangat unik. Jika berada di dalam hutannya banyak sekali komposisi pohon dan permukaan tanah yang tampak sama. Maka jika melewati jalur itu seolah seseorang merasa berada di tempat yang telah ia kenal, padahal tanpa disadari langkahnya semakin menjauh tersasar ke dalam rimba. Jika Flo mengalami ini ia akan tersasar jauh ke selatan menuju aliran anak-anak Sungai Lenggang yang sangat deras berjeram-jeram menuju ke muara. Tak sedikit orang yang telah menjadi korban di sana. Pada beberapa bagian di wilayah selatan ini juga terhampar dataran tanah luas yang mengandung jebakan mematikan, yaitu kiumi, semacam pasir hidup yang kelihatan solid tapi jika diinjak langsung menelan tubuh. Namun, ia akan sial sekali jika tersasar ke utara. Di sana jauh lebih berbahaya. Ia memasuki semacam pintu mati. Ia tak 'kan bisa kembali, sebuah point of no return, karena lereng gunung di bagian itu terhalang oleh ujung aliran sungai jahat yang disebut Sungai Buta. Sungai Buta adalah anak Sungai Lenggang tapi alirannya putus hanya sampai di lereng utara Gunung Selumar. Sungai itu seperti sebuah gang sempit yang buntu atau seperti jalan yang berakhir di jurang. Orang kampung menamainya Sungai Buta sebagai representasi keangkerannya. Buta lebih berarti gelap, tak ada petunjuk, terperangkap tanpa jalan keluar, dan mati. Sungai Buta demikian ditakuti karena permukaannya sangat tenang seperti danau, seperti kaca yang diam. Tapi tersembunyi di bawah air yang tenang itu adalah maut yang sesungguhnya, yaitu buaya-buaya besar dan ular-ular dasar air yang aneh-aneh. Buaya sungai ini berperangai lain dan amat agresif, mereka mengincar kera-kera yang bergelantungan di dahan rendah, bahkan menyambar orang di atas perahu. Pohon-pohon tua ru1 yang tinggi tumbuh dengan akar tertanam di dasar sungai ini, sebagian telah mati menghitam, membentuk pemandangan yang sangat menyeramkan seperti sosok-sosok hantu raksasa yang merenungi per mukaan sungai dan menunggu mangsa melintas. Sungai Buta berbentuk melingkar, mengurung sisi utara Gunung Selumar. Jika Flo tersesat ke sini ia tak mung-kin dapat kembali mundur karena tenaganya pasti tak akan cukup untuk kembali mendaki punggung granit yang curam.Jika ia memaksa, sangat 232 Laskar Pelangi

mungkin ia akan terpeleset jatuh dan terhempas di atas batu-batu karang. Pilihan satu- satunya hanya berenang melintasi Sungai Buta yang horor dengan kelebaran hampir seratus meter. Untuk menyeberangi sungai itu ia terlebih dahulu harus menyibak- nyibakkan hamparan bakung setinggi dada dan hampir dapat dipastikan pada langkah- langkah pertama di area bakung itu riwayatnya akan tamat. Di sanalah habitat terbesar buaya-buaya ganas di Belitong. Di tengah kepanikan tersiar kabar bahwa ada seorang sakti mandraguna yang mampu menerawang, tapi beliau tinggal jauh di sebuah Pulau Lanun yang terpencil. Ialah seorang dukun yang telah menjadi legenda, Tuk Bayan Tula, demikian namanya. Tokoh ini dianggap raja ilmu gaib dan orang paling sakti di atas yang tersakti, biang semua keganjilan, muara semua ilmu aneh. Banyak orang beranggapan Tuk Bayan Tula tak lebih dari sekadar dongeng, bahwa ia sebenarnya tak pernah ada, dan tak lebih dari mitos untuk menakuti anak kecil agar cepat-cepat tidur. Tapi banyak juga yang berani bersaksi bahwa ia benar-benar ada. Bahkan diyakini beliau dulu pernah tinggal di kampung dan sempat menjadi penjaga hutan larangan suruhan Belanda, pernah menjadi carik, dan pernah menjadi nakhoda kapal yang berulang kali memimpin armada melanglang Selat Malaka. Menjadi perompak barangkali. Konon beliau memang memiliki bakat khusus di bidang ilmu antah berantah, karena dalam usia muda beliau sudah menguasai budi suci. Ilmu ini sangat potensial membuat penganutnya senang memanjat tiang bendera di tengah malam sebab menderita sakit saraf. Jika tak kuat menahankan ilmu gaib budi suci, dalam waktu singkat seseorang bisa menjadi gila. Tapi jika sukses, pemegangnya bisa membunuh orang bahkan tanpa menyentuhnya. Tuk sudah khatam budi suci sejak usia belasan. Dalam usia itu beliau juga sudah bisa mempraktikkan ilmu sekuntak, maka beliau mampu memadamkan bohlam hanya dengan memandangnya sepintas. Namun, seiring tinggi ilmunya ia 233 Laskar Pelangi

semakin menjauhkan diri dari masyarakat dan telah berpantang kata untuk menjaga kesaktiannya. Maka Tuk Bayan Tula tak 'kan pernah berucap lagi. Kini Tuk menyepi di pulautak berpenghuni. Nama Tuk Bayan Tula sendiri adalah nama yang menciutkan nyali. Tuk adalah nama julukan lama, dari kata datuk untuk menyebut orang sakti di Belitong. Bayan juga panggilan bagi orang berilmu hebat yang selalu memakai nama binatang, dalam hal ini burung bayan. Tula, bahasa Belitong asli, artinya kualat, mungkin jika kurang ajar dengan beliau orang bisa langsung kualat. Sedangkan nama Pulau Lanun tempat tinggal Tuk sekarang juga tak kalah angker. Lanun berarti perompak. Pulau itu tak berani didekati para nelayan karena di sanalah para perompak yang kejam sering merapat. Namun, kabarnya para perompak itu kabur tunggang langgang ketika Tuk Bayan Tula menguasai pulau itu. Banyak yang mengatakan para perompak itu dipenggal Tuk dengan sadis. Kini Tuk tinggal sendirian di sana. Berbagai cerita yang mendirikan bulu kuduk selalu dikait-kaitkan dengan tokoh siluman ini. Ada yang mengatakan beliau sengaja mengasingkan diri di pulau kecil sebelah barat sebagai tameng yang melindungi Pulau Belitong dari amukan badai. Ada yang percaya ia bisa melayang-layang ringan seperti kabut dan bersembunyi di balik sehelai ilalang. Dan yang paling menyeramkan adalah bahwa dikatakan Tuk telah menjadi manusia separuh peri. Anehnya, di balik keangkeran cerita yang berbau mistis itu semua orang menganggap Tuk Bayan Tula adalah wakil dari alam bawah tanah dunia putih. Di beberapa wilayah di Belitong beliau dianggap sebagai pahlawan yang telah membasmi para dukun hitam nekromansi yang mengambil keuntungan melalui komunikasi dengan orang-orang yang telah mati. Beliau dianggapahli menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh praktik klenik jahat untuk mencelakakan orang. Maka Tuk tak ubahnya Robin Hood, pahlawan yang mencuri untuk menolong kaum papa, atau orang yang berbuat baik dengan cara yang salah. Ada pula sebagian orang Belitong yang menganggap beliau bukan dukun, tapi sekadar seorang eksentrik yang dianu-gerahi indra keenam. 234 Laskar Pelangi

Apakah Tuk Bayan Tula seseorang yang mengkhianati ajaran tauhid? Mungkinkah ia sekadar seorang pahlawan pemusnah santet yang ingin mati sebagai martir? Ataukah ia hanya seorang tua yang memutuskan hidup sendiri ka-rena bermasalah dengan perangkat syahwat? Tak ada yang tahu pasti. Kisah kesaktian, gaya hidup, biografi, dan paradoks kepahlawanan Tuk ketika dikonfrontasikan dengan keyakinan orang awam akan menjadi sebuah misteri. Misteri ini mengandung daya tarik dunia bawah tanah, metafisika, paranormal, fenomena-fenomena janggal, dan ilmu pengetahuan yang membakar rasa ingin tahu sebagian orang. Sebagian dari orang itu adalah Mahar. Dalam kasus Flo, keadaan paniklah yang menyebabkan orang- orang sudah tidak lagi mengandalkan akal sehat sehingga berunding untuk minta bantuan Tuk Bayan Tula. Kekalutan memuncak karena saat itu sudah tengah malam dan Flo tak juga diketahui nasibnya. Maka diutuslah beberapa orang untuk menemui Tuk Bayan Tula. Utusan ini bukan sembarangan, paling tidak terdiri atas orang- orang yang telah cukup berpengalaman dalam urusan mistik sehingga cukup teguh hatinya jika digertak Tuk. Mereka adalah seorang pawang hujan, seorang dukun angin, kepala suku Sawang, dan seorang polisi senior. Utusan ini berangkat menggunakan sp eedboat milik PN Timah yang berkecepatan sangat tinggi. Kami waswas menunggu mereka kembali, terutama cemas kalau-kalau keempat orang utusan itu disembelih oleh sang manusia siluman setengah peri. Ketika matahari pagi mulai merekah, utusan tadi kembali. Kami senang menyambut mereka dengan mengharapkan keajaiban yang tak masuk akal, tapi itu lebih baik dari pada patah harapan sama sekali. Namun utusan ini tak membawa kabar apa-apa kecuali sepucuk kertas dari Tuk Bayan Tula. Puluhan orang mengerumuni cerita mereka yang mencengangkan. Mahar duduk paling depan. \"Ketika perahu merapat, anjing-anjing hutan melolong-lolong seolah melihat iblis beterbangan,\" kata ketua utusan, seorang pawang hujan. Ia termasuk orang berilmu dan dunia bawah tanah bukan hal baru baginya, tapi terlihat jelas ia takut dan merasa Tuk tidak ada di liganya. Sama sekali bukan tandingannya. 235 Laskar Pelangi

\"Tuk Bayan Tula tinggal di sebuah gua yang gelap, di jantung Pulau Lanun. Pulau itu berbelok menyimpang dari jalur nelayan, jadi tak seorang pun akan ke sana. Perahu- perahu perompak yang telah beliau bakar berserakan di tepi pantai. Tak ada siapa-siapa di pulau itu kecuali beliau sendiri dan tak terlihat ada tanaman kebun atau sumur air tawar, tak tahulah Datuk itu makan minum apa.\" Kemudian para anggota utusan yang lain sambung- menyambung, \"Melihat wajahnya dada rasanya berdetak, sungguh seseorang yang tampak sangat sakti dan berilmu ting-gi. Ketika beliau keluar ke mulut gua seakan seluruh alam menunduk. Di sana kami merasakan udara yang pe-nuh daya magis.\" Cerita ini dikonfirmasikan oleh hampir seluruh anggota utusan, bahwa ketika Tuk Bayan Tula berdiri kira-kira lima meter di depan mereka, mereka melihat kaki-kaki datuk itu tak menyentuh bumi. Ia seperti kabut yang melayang. \"Tubuhnya tinggi besar, rambut, kumis, dan jenggot-nya lebat dan panjang, matanya berkilat-kilat seperti burung bayan. Pakaiannya hanya selembar kain panjang yang dililit- lilitkan. Ia bertelanjang dada, dan sebilah parang yang sangat panjang terselip di pinggangnya. Aku ketakutan melihatnya.\" Kami mendengarkan dengan saksama, terutama Mahar yang tampak terpesona bukan main. Mulutnya ternganga dan raut wajahnya memperlihatkan kekaguman yang amat sangat pada Tuk Bayan Tula. Ia tampak begitu terpengaruh dan siap mengabdi pada superstar dunia gaib itu. Inilah fanatisme buta. Dalam imajinasinya mungkin Tuk Bayan Tula sedang duduk di atas singgasana yang dibuat dari tulang belulang musuh-musuhnya. Lalu beberapa ekor dedemit yang telah ditaklukkannya patuh melayaninya dengan limpahan anggur-anggur putih. Ketika itu tak sedikit pun terlintas dalam pikirannya kalau nanti Tuk Bayan Tula akan memutar jalan hidupnya dan jalan hidup perempuan kecil yang sedang tersesat di rimba ini dengan sebuah kisah antiklimaks. \"Di depan mulut gua kami melihat empat lembar pelepah pinang raja tempat duduk telah tergelar, seolah beliau telah tahu jauh sebelumnya kalau kami akan datang. Beliau menemui kami, sedikit 236 Laskar Pelangi

pun tidak tersenyum, sepatah pun tidak berkata.\" Sang ketua utusan mengusap wajahnya yang masih kelihatan terkesiap karena pertemuan langsungnya dengan tokoh sakti mandraguna Tuk Bayan Tula. Meskipun sudah beberapa jam yang lalu ia masih belum bisa menghilangkan perasaan terkejutnya. \"Kami menceritakan maksud kedatangan kami. Beliau mendengarkan dengan memalingkan muka. Belum selesai kami berkisah beliau langsung memberi isyarat meminta sepucuk kertas dan pena, lalu beliau menuliskan sesuatu. Juga diisyaratkan agar kami segera pulang dan hanya membuka tulisan beliau setelah tiba di sini. Di kertas inilah beliau menulis.\" Ketua utusan memperlihatkan gulungan kertas, semua orang merubungnya. Mahar melihat gulungan itu dengan tatapan seperti melihat benda ajaib peninggalan makhluk angkasa luar. Dengan gemetar sang ketua utusan membuka gulungan kertas itu dan di sana tertulis: INILAH PESAN TUK BAYAN TULA: “JIKA INGIN MENEMUKAN ANAK PEREMPUAN ITU MAKA CARILAH DIA DI DEKAT GUBUK LADANG YANG DITINGGALKAN. TEMUKAN SEGERA, ATAU DIA AKAN TENGGELAM DI BAWAH AKAR BAKAU..” Sebuah pesan yang mendirikan bulu tengkuk, lugas, dan mengancam atau lebih tepatnya menakut-nakuti. Tapi harus diakui bahwa pesan ini mengandung sebuah tenaga. Pilihan katanya teliti dan menunjukkan sebuah kualitas ke-paranormalan tingkat tinggi. Jika Tuk Bayan Tula seorang penipu maka ia pasti penipu ulung, tapi jika ia memang dukun maka ia pasti bukan dukun palsu yang oportunistik. Bagaimanapun pesan ini mengandung pertaruhan reputasi yang pasti. Tidak ada kata tersembunyi, tak ada kata bersayap. Intinya jelas:jika Flo tidak ditemukan di dekat gubuk ladang yang telah ditinggalkan pemiliknya atau jika ia tidak ditemukan tewas hari ini di sela-sela akar bakau, maka sang legenda Tuk Bayan Tula tak lebih dari seorang tukang dadu cangkir di pinggir jalan. Semua makhluk yang senang memain-mainkan dadu adalah kaum penipu. Kalau itu 237 Laskar Pelangi

sampai terjadi rasanya aku ingin berangkat sendiri ke Pulau Lanun untuk menyita satu- satunya kain yang melilit tubuh Tuk. Tapi selain semua kemungkinan itu pesan tadi juga harus diakui telah memberi harapan dan batas waktu, apa yang akan terjadi jika semuanya terlambat? Kebiasaan berladang berpindah-pindah masih berlangsung hingga saat ini. Namun potensi kesulitan sangat mungkin muncul. Tak mudah menentukan yang mana yang merupakan gubuk ladang. Gubuk telantar banyak terdapat di lereng gunung, yaitu gubuk rahasia para pencuri timah. Para pendulang liar menggali timah nun jauh di lereng gunung secara ilegal dan menjualnya pada para penyelundup yang menyamar sebagai nelayan di perairan Bangka Belitong. Pencuri dan penyelundup timah adalah profesi yang sangat tua. Aktivitas kriminal ini kriminal dari kaca mata PN Timah tentu saja telah ada sejak orang-orang Kek datang dari daratan Tiongkok untuk menggali timah secara resmi di Belitong dalam rangka mengerjakan konsesi dari kompeni, hari-hari itu adalah abad ke-17. PN Timah memperlakukan pelaku eksploitasi timah ilegal dan penyelundup dengan sangat keras, tanpa perikemanusiaan. Pelakunya diperlakukan seolah pelaku tindak pidana subversif. Di gunung-gunung yang sepi tempat para pendulang timah dianggap pencuri dan di laut tempat penyelundup dianggap perompak, hukum seolah tak berlaku. Jika tertangkap tak jarang kepala mereka diledakkan di tempat dengan AKA 47 oleh manusia-manusia tengik bernama Polsus Timah. Tim kami berangkat sejak pagi benar di bawah pimpinan Mahar. Kami bergerak ke utara, ke arah jalur maut Sungai Buta. Belasan ladang terutama yang dekat sungai telah kami kunjungi dan gubuknya telah kami obrak-abrik, kami juga mencari-cari di sela-sela akar bakau, tapi hasilnya nihil. Flo raib seperti ditelan bumi. Suara kami sampai parau memanggil-manggil namanya dan satu-satunya megafone yang dibekali posko telah habis baterainya. Dan pagi pun tiba, pencarian berlangsung terus. Dari walky talky kami pantau bahwa Flo masih tetap misteri. Sekarang baterai walky talky mulai lemah dan hanya dapat memonitor saja. Tidak hanya 238 Laskar Pelangi

batu-batu baterai itu, sema-ngat kami pun melemah. Kami mulai dihinggapi perasaan putus asa. Dari setiap gubuk yang kami kunjungi dan tidak ditemukan Flo di dalamnya maka satu kredit minus mengurangi reputasi Tuk. Sesudah hampir dua puluh gubuk yang nihil, saat itu menjelang tangah hari, reputasi beliau pun makin pudar kalau bukan disebut hancur. Kami mulai meragukan kesaktian dukun siluman itu. Mahar tampak agak tersinggung setiap kali kami mengeluh jika menemukan gubuk yang kosong, apa lagi ada celetukan yang melecehkan Tuk Bayan Tula. \"Kalau dia bisa berubah menjadi burung bayan, tak perlu susah- susah kita mencari-cari seperti ini,\" desah Kucai sambil terengah- engah. Berbagai pikiran buruk menghantui kepala yang penat dan tubuh yang lelah. Ke manakah engkau gadis kecil? Mungkinkah anak gedongan itu telah tewas? Parameter pencarian demikian luas. Flo bisa saja tidak menuruni lereng menuju ke lembah melainkan naik terus ke puncak, atau berjalan berputar-putar mengelilingi lereng, tersesat dalam fatamorgana sampai habis tenaganya. Mungkin juga ia telah tembus di sisi barat daya dan memasuki perkampungan Tionghoa kebun di sana. Atau ia sedang dililit ular untuk dibusukkan dan ditelan besok malam. Mungkinkah ia telah berenang melintasi Sungai Buta? Bukankah ia anak tomboi yang terkenal nekat tak kenal takut? Selamat atau sudah tamatkah riwayatnya? Perbekal-an air dan makanan kami yang seadanya telah habis. Harun, Trapani, dan Samson sudah ingin menyerah dan menyarankan kami kembali ke posko, tapi Mahar tak setuju, ia yakin sekali pada kebenaran pesan Tuk Bayan Tula. Sebaliknya, bagi kami hanya bayangan penderitaan Flo yang masih menguatkan hati untuk terus mencari. Jika ingat betapa ia ketakutan, kelaparan, dan kedinginan, kelelahan kami rasanya dapat ditahankan. 239 Laskar Pelangi

Menjelang pukul 10 pagi, berarti telah 27 jam Flo lenyap. Kami sudah tak memedulikan pesan Tuk. Bagi kami kecuali Mahar datuk itu tak lebih dari semua dukun-dukun lainnya, palsu dan oportunistik. Kami memperlebar parameter pencarian sampai agak naik ke atas ladang. Di setiap gubuk kami menemukan pemandangan yang sama, yaitu babi-babi hutan yang kawin berpesta pora atau tikus-tikus pengerat bercengkrama di antara dengungan kumbang yang bersarang di tiang-tiang gubuk yang lapuk. Pukul 11, siang sudah, kami tiba di sebuah batu cadas besar yang menjorok. Kami berkumpul di sana untuk mengistirahatkan sisa-sisa tenaga terakhir. Inilah ujung akhir lereng utara karena setelah ini, nun setengah kilometer di bawah kami adalah wilayah bahaya maut Sungai Buta. Kami tak 'kan turun ke wilayah yang dihindari setiap orang itu, bahkan penjelajah profesional tak berani ke sana. Kami sudah putus asa dan setelah beristirahat ini kami akan segera kembali ke posko. Kami telah gagal, Flo tetap nihil, dan paling tidak di lereng utara Tuk Bayan Tula telah berdusta. Dari walky talky kami memonitor bahwa di barat, timur, dan selatan Flo juga tak ditemukan, berati Tuk Bayan Tula telah berdusta di empat penjuru angin. Kami diam terpaku menerima berita itu. Wajah Mahar sembap seperti ingin menangis. Ia seumpama kekasih yang dikhianati orang tersayang. Tuk telah melukai hatinya meskipun ia sedikit pun tak kenal tokoh pujaannya itu. Ini risiko keyakinan yang rabun. Dan aku sedih, bukan karena membayangkan kehancuran integritas Tuk atau perasaan Mahar yang kecewa, tapi karena memikirkan nasib buruk yang menimpa Flo. Bisa saja ia tak 'kan pernah ditemukan, hilang, raib. Bisa juga ia ditemukan tapi cuma tinggal berupa kerangka yang dipatuki burung gagak. Ia juga mungkin ditemukan dalam keadaan menyedihkan telah tercabik-cabik hewan buas. Dan yang paling tak tertahankan adalah jika ia mati sia-sia secara memilukan karena pertolongan terlambat beberapa jam saja. Sulit untuk bertahan hidup dalam suhu sedingin malam tadi tanpa makanan sama sekali. Dan saat-saat sekarang ini sudah memasuki keadaan yang mulai terlambat itu. Mengapa anak cantik kaya raya yang hidup di rumah 240 Laskar Pelangi

seperti istana, dari keluarga terhormat,tanpa trauma masa kecil, dan yang memiliki limpahan kasih sayang semua orang, serta lingkungan seperti taman eden, ha-rus berakhir di tempat ganas ini? Aku tak sanggup mem-bayangkan lebih jauh perasaan orangtuanya. Aku terbaring kelelahan memandangi keseluruhan Gunung Selumar yang biru, agung, dan samar-samar. Aku per-nah menulis puisi cinta di puncaknya dan gunung ini pernah memberiku inspirasi keindahan yang lembut. Bahkan di sabana di atas sana tumbuh bunga-bunga liar kuning kecil yang dapat membuat siapa pun jatuh cinta, bukan hanya kepada bunganya, tapi juga kepada orang yang mempersembahkannya. Namun kelembutan gunung ini, seperti kelembutan unsur-unsur alam lainnya, air, angin, api, dan bumi, ternyata menyembunyikan kekejaman tak kenal ampun. Betapa teganya, toh bagaimanapun nakalnya, Flo hanyalah seorang gadis kecil, permata hati keluarganya. Kucai menepuk-nepuk bahu Mahar dan menghiburnya. Mahar memalingkan muka. Ia menunduk diam. Matanya jauh menyapu pandangan ke Sungai Buta dan rawa-rawa bakung di bawah sana. Kami bangkit, membereskan perlengkapan, dan mempersiapkan diri untuk pulang. Sebelum kami melangkah pergi Syahdan yang mengalungkan teropong kecil di lehernya mencoba-coba benda plastik mainan itu. Ia meneropong tepian Sungai Buta. Saat kami ingin menuruni batu cadas itu tiba-tiba Syahdan berteriak, sebuah teriakan nasib. \"Lihatlah itu, ada pohon kuini di pinggir Sungai Buta.\" Kami membalikkan badan terkejut dan Mahar serta-merta merampas teropong Syahdan. Ia berlari ke bibir cadas dan meneropong ke bawah dengan saksama, \"Dan ada gubuk!\" katanya penuh semangat. \"Kita harus turun ke sana!\" katanya lagi tanpa berpikir panjang. Kami semua terperanjat dengan usul sinting itu. Kucai yang dari tadi membisu menganggap kekonyolan Mahar telahmelampaui batas. Sebagai ketua kelas ia merasa bertanggung jawab. 241 Laskar Pelangi

\"Apa kau sudah gila!\" Ia menyalak dengan galak. Sorot matanya tajam, merah, dan marah, walaupun yang ditatapnya adalah Harun yang berdiri melongo di samping Mahar. \"Mari aku jelaskan ke kepalamu yang dikaburkan asap kemenyan sehingga tak bisa berpikir waras. Pertama-tama di bawah sana tak mungkin sebuah ladang. Tak ada orang sinting yang mau berladang di pinggir Sungai Buta kecuali ia ingin mati konyol. Tak tahukah kau cerita pengalaman orang lain, di situ buaya tidak menunggu tapi mengejar. Dan ular-ular sebesar pohon kelapa melingkar-lingkar di sembarang tempat. Kalaupun itu memang gubuk, itu gubuk pencuri timah. Berdasarkan pesan datuk setengah iblis anak gedongan itu hanya ada di gubuk ladang yang ditinggalkan!\" Mahar menatap Kucai dengan dingin, Kucai semakin geram. \"Kalau kita turun ke sana, aku pastikan kita bisa menjadi Flo-Flo baru yang malah akan dicari orang, menambah persoalan, merepotkan semuanya nanti. Tempat itu sangat berbahaya, Har, pakai otakmu ! Ayo pulang!!\" Mahar tetap sedingin es, ekspresinya datar. \"Lagi pula mana mungkin anak perempuan kecil itu dapat mencapai tempat ini. Batu ini adalah dinding utara terakhir. Kita telah mendatangi puluhan gubuk ladang yang ditinggalkan, hasilnya nol, mendatangi satu gubuk pencuri timah hasilnya akan tetap sama, ayolah pulang, Kawan, terimalah kenyataan bahwa Tuk telah menipu kita, ayolah pulang, Kawan ..,,\" Kucai merendahkan suaranya, mungkin ia sadar membujuk orang setengah gila tidak bisa dengan marah- marah. Tapi Mahar tetap membatu, ia seperti menhir, masih belum bisa diyakinkan. Ia tak 'kan menyerah semudah ini. Syahdan ikut menasihati dengan kata-kata pesimis. \"Sudah hampir tiga puluh jam Flo hilang, kita harus belajar realistis, mungkin ia memang ditakdirkan menemui ajal di gunung ini. Tuhan telah memanggilnya dan gunung ini pun mengambilnya.\" Mahar tak bergerak. Kami beranjak meninggalkan tempat itu. Lalu dengan dingin Mahar mengatakan ini, \"Kalian boleh pulang, aku akan turun sendiri....\" Maka turunlah kami semua walaupun kami tahu tak 'kan menemukan Flo di pinggir Sungai Buta. Hal itu sangat muskil, 242 Laskar Pelangi

sangat mustahil. Semuanya menggerutu dan kami mengutuki Syahdan yang tadi iseng-iseng meneropong dengan teropong plastik jelek mainan anak-anak itu. Dia menyesal. Tapi semuanya telah telanjur, sekarang kami pontang panting menuruni punggung lereng yang curam, berkelak-kelok di antara batu- batu besar dan menerabas kerimbunan gulma yang sering menusuk mata. Kami menuju ke sebuah gubuk pencuri timah di wi-layah maut pinggiran Sungai Buta hanya untuk menemani Mahar, menemani ia memuaskan egonya, membuktikan padanya bahwa insting tidak harus selalu benar, dan melindunginya dari ketololannya sendiri. Walaupun kami benci pada kefanatikannya tapi ia tetap teman kami, anggota Laskar Pelangi, kami tak ingin kehilangan dia. Kadang-kadang persahabatan sangat menuntut dan menyebalkan. Pelajaran moral nomor lima:jangan bersahabat dengan orang yang gila perdukunan. Kira-kira satu jam kemudian, tepat tengah hari, kami telah berada di lembah Sungai Buta. Wilayah ini merupakan blank spot untuk frekuensi walky talky sehingga suara kemerosok yang sedikit menghibur dari alat itu sekarang mati dan tempat ini segera jadi mencekam. Untuk pertama kalinya aku ke sini dan rasa angkernya memang tidak dibesar-besarkan orang. Kenyataannya malah terasa lebih ngeri dari bayanganku sebelumnya. Kami memasuki wilayah yang jelas-jelas menunjukkan permusuhan pada pendatang. Wilayah ini seperti dikuasai oleh suatu makhluk teritorial yang buas, asing, dan sangat jahat. Kerasak-kerasak gelap di pokok pohon nipah yang digenangi air seperti kerajaan jin dan tempat sarang berkembang biaknya semua jenis bangsa-bangsa hantu. Biawak berbagai ukuran melingkar-lingkar di situ, sama sekali tak takut pada kehadiran kami, beberepa ekor di antaranya malah bersikap ingin menyerang. Hanya sedikit orang pernah ke sini dan di antara yang sedikit itu dan yang paling tolol adalah kami. Kami berjalan dalam langkah senyap berhati-hati. Semuanya mengeluarkan parang dari sarungnya dan terus-menerus menoleh ke kiri dan kanan serta membentuk formasi untuk melindungi punggung orang terdekat. 243 Laskar Pelangi

Kami mendengar suara sesuatu ditangkupkan dengan sangat keras dan mengerikan disertai suara kibasan air yang besar. Kami diam tak membahas itu, kami tahu suara itu tangkupan mulut buaya yang besarnya tak terkira. Ada juga suara bayi-bayi buaya yang berkeciak dan pemandangan beberapa ekor ular bergelantungan di dahan-dahan pohon. Kami terus merangsek maju seperti sedang mengintai musuh. Pondok itu kira-kira seratus meter di depan kami. Semakin dekat, semakin jelas dan mencengangkan karena tempat itu agaknya memang bekas sebuah ladang yang ditinggalkan. Kami menemukan kawat-kawat bekas pagar dan dari kejauhan melihat pohon-pohon kuini, jambu bol, dan sawo. Siapa orang luar biasa yang berani berladang di sini? Jarak ladang ini dekat sekali dengan pinggiran Sungai Buta, bisa dipastikan sangat berbahaya. Pemiliknya pasti ingin mendekati air tanpa mempertimbangkan keselamatan. Sebuah tindakan bodoh. Atau mungkinkah karena ketololannya itulah maka riwayat sang pemilik telah berakhir di tepi sungai ini sehingga ladangnya sekarang tak bertuan? Tapi ada hal lain, yaitu siapa pun pemilik tersebut terutama jika ia masih hidup maka ia pasti tak sanggup memelihara ladang ini karena hama perompak tanaman juga luar biasa di sini. Kawanan kera sampai mencapai lima kelompok, saling berebutan lahan dengan serakah. Belum lagi tupai, lutung, babi hutan, musang, luak, dan tikus pengerat, hewan- hewan ini sudah keterlaluan. Kami berjingkat-jingkat tangkas di atas akar-akar bakau yang cembung berselang-seling. Akar-akar ini seperti menopang pohonnya yang rendah. Tak kami temukan Flo tersangkut di bawah akar-akar itu, satu lagi konfirmasi penipuan Tuk Bayan Tula. Setelah yakin Flo tak ada di bawah akar bakau, kami pelan-pelan mendekati ladang. Semakin dekat ke lokasi ladang kami dapat melihat dengan jelas sebuah gubuk beratap daun nipah. Lalu ada suatu pemandangan yang agak menarik, yaitu salah satu dahan pohon jambu mawar yang berdaun amat lebat bergoyang-goyang hebat seperti ingin 244 Laskar Pelangi

dirubuhkan. Jambu mawar itu tumbuh persis di samping gubuk. Pastilah itu ulah lutung besar yang sepanjang waktu selalu lapar. Kami mendekati pohon jambu mawar itu dengan waspada. Kami menyusun semacam strategi penyergapan untuk memberi pelajaran pada lutung rakus itu. Kami mengendap- endap seperti pasukan katak baru keluar dari rawa untuk merebut sebuah gudang senjata. Di ladang telantar ini tumbuh subur ilalang setinggi dada dan pohon-pohon singkong yang sudah centang perenang dirampok hewan-hewan liar. Buah-buah sawo yang masih muda, putik-putik jambu bol, dan buah kuini muda juga berserakan di tanah karena dijarah secara sembrono oleh hama hewan-hewan itu. Bahkan buah-buahan ini tak sempat masak. Binatang-binatang tak tahu diri! Lutung besar yang sedang berpesta pora di dahan jambu mawar itu tak menyadari kehadiran kami. Ia semakin menjadi-jadi, mengguncang-guncang dahan jambu itu hingga daun dan bakal buahnya berjatuhan, kurang ajar sekali. Kami semakin dekat dan berjinjit- jinjit tak menimbulkan suara. Kami ingin menangkapnya basah sehingga ia semaput ketakutan, inilah hiburan kecil di tengah ketegangan menyelamatkan nyawa manusia. Setelah tiba saatnya kami bersama-sama menghitung hingga tiga dan melompat serentak, menghambur ke bawah dahan itu sambil bertepuk tangan dan berteriak sekeras-kerasnya untuk mengejutkan sang lutung. Tapi tak sedikit pun diduga situasi berbalik seratus delapan puluh derajat, karena sebaliknya, ketika kami menyerbu justru kami yang terkejut setengah mati tak alang kepalang, rasanya ingin terkencing-kencing. Kami tak percaya dengan penglihatan kami dan terkaget-kaget hebat karena persis di atas kami, di sela- sela dedaunan yang sangat rimbun, bertengger santai seekor kera besar putih yang tampak riang gembira menunggangi sebatang dahan seperti anak kecil kegirangan main kuda-kudaan, wajahnya seperti baru saja bangun tidur dan belum sempat cuci muka. Ia tertawa terbahak-bahak sampai keluar air matanya melihat wajah kami yang terbengong- bengong pucat pasi. Flo yang berandal telah ditemukan! ********* 245 Laskar Pelangi

BAB 25 Rencana B AKU terengah-engah basah kuyup. Syahdan memandangi aku dengan prihatin. Kami saling berpandangan lalu tertawa. Tawaku semakin keras seiring tangis di dalam hati tentu saja. Tangis karena mendapati diri sampai sakit karena dera putus cinta. Mahar telah habis—habisan menjadikanku kelinci percobaan. “Anak-anak jin yang tersinggung?” Ke mana perginya akal sehatnya? Dia patut mendapat nomor 7 dalam teori gila versi ibuku. Tapi aku tahu dia sesungguhnya bermaksud baik. Setelah Mahar, A Kiong dan daun-daun beluntasnya pergi tanpa pamit lalu datang Bu Mus dan teman-teman sekolahku yang lain. Syahdan mengadukan kelakuan Mahar, tapi Bu Mus menunjukkan wajah tak peduli. Beliau sudah cukup lama dibuat pusing oleh Mahar dan tak berminat menambah beban berat hidupnya dengan memikirkan dukun palsu itu. Beliau mengeluarkan pil ajaib APC. Besoknya aku sudah bisa berangkat ke sekolah dan aku tahu persis yang menyembuhkanku adalah pil APC. Begitu melihatku memasuki kelas A Kiong Iangsung menyalami Mahar. Mahar menaikkan alisnya, mengangkat bahunya, dan mengangguk-angguk seperti burung penguin selesai kawin. 246 Laskar Pelangi

Itulah gerakan khas Mahar yang sangat menyebalkan. “Apa kubilang!” barangkali itulah maknanya. Mahar mengelus-elus koper bututnya dan A Kiong semakin fanatik padanya. Mereka berdua tenggelam dalam kesesatan memersepsikan diri sendiri. Rupanya fisikku memang telah sembuh tapi hatiku tidak, Pulang dari sekolah aku kembali disergap perasaan sedih. Tak mudah melupakan A Ling. Dadaku kosong karena kehilangan sekaligus sesak karena rindu. Aku terbaring kuyu di atas dipan memandangi diary dan buku Herriot kenang-kenangan darinya. Untuk mengalihkan kesedihan aku mengambil buku Seandainya Mereka Bisa Bicara itu dan dengan malas aku berusaha membacanya. Sudah kuniatkan dalam hati bahwa jika buku itu membosankan maka setelah halaman pertama ia akan langsung kutangkupkan di wajahku karena aku ingin tidur. Lalu kata demi kata berlalu. Setelah itu kalimat demi kalimat dan dilanjutkan dengan paragraf demi paragraf. Aku tak berhenti membaca dan beberapa kali membaca paragraf yang sama berulang-ulang. Tanpa kusadari dalam waktu singkat aku telah berada di halaman 10 tanpa sedikit pun sanggup menggeser posisi tidurku. Seluruh perasaan gundah, putus asa, dan air mata rindu yang tadi sudah menggenang di pelupuk mataku diisap habis oleh lembar demi lembar buku itu. Buku ajaib itu bercerita tentang perjuangan seorang dokter hewan muda di zaman susah tahun 30an. Dokter muda itu, Herriot sendiri, bekerja nun jauh di sebuah desa tenpercil di bagian antah berantah di Inggris sana. Desa kecil itu bernama Edensor. Mulutku ternganga dan aku menahan napas ketika Herriot menggambarkan keindahan Edensor: “Lereng-lereng bukit yang tak teratur tampak seperti berjatuhan, puncaknya seperti berguling- guling tertelan oleh langit sebelah barat, yang bentuknya seperti pita kuning dan merah tua… Pegunungan tinggi yang tak berbentuk itu mulai terurai menjadi bukit-bukit hijau dan lembah-lembah luas. Di dasar lembah tampak sungai yang berliku-liku di antara pepohonan. Rumah-rumah petani 247 Laskar Pelangi

yang terbuat dan batu-batu yang kukuh dan berwarna kelabu tampak seperti pulau di tengah ladang yang diusahakan. Ladang itu terbentang ke atas seperti tanjung yang hijau cerah di atas lereng bukit.. Aku sampai di taman bunga mawar, kemudian ke taman asparagus, yang tumbuh jadi pohon yang tinggi. Lebih jauh ada pohon arbei dan tumbuhan frambos. Pohon buah terdapat di mana- mana. Buah persik, buah pir, buah ceri, buah prem, bergantungan di atas tembok selatan, berebut tempat dengan bunga-bunga mawar yang tumbuh liar.” Aku terkesima pada desa kecil Edenson. Aku segera menyadani bahwa ada keindahan lain yang memukau di dunia ini selain cinta, Herriot menggambarkan Edensor dengan begitu indah dan memengaruhiku sehingga ketika ia bercerita tentang jalan-jalan kecil beralaskan batu-batu bulat di luar rumah praktiknya rasanya aku dapat mencium harum bunga daffodil dan astuaria yang menjalar di sepanjang pagar peternakan di jalan itu. Ketika ia bercerita tentang padang sabana yang terhampar di Bukit Derbyshire yang mengelilingi Edensor rasanya aku terbaring mengistirahatkan hatiku yang lelah dan wajahku menjadi dingin ditiup angin dan desa tenang dan cantik itu. Aku telah jatuh hati dengan Edensor dan menemukannya sebagai sebuah tempat dalam khayalanku setiap kali aku ingin Lari dan kesedihan. Sebaliknya aku semakin mencintai A Ling. Ia dengan bijak telah mengganti kehadirannya dengan kehadiran Edensor yang mampu melipur laraku. A Ling meninggalkan buku Herriot untukku tentu karena sebuah alasan yang jelas. Selanjutnya, aku membaca buku Herniot berulang-ulang sehingga hampir hafal. Ke mana pun aku pergi buku itu selalu kubawa dalam tas sandang bututku. Buku itu adalah representasi A Ling dan pengobat jiwaku. Jika aku merasa risau dan sedih maka aku segera mengalihkan pikiranku dengan membayangkan aku sedang duduk di bangku rendah di tengah taman anggur di Edensor. Kumbang-kumbang berdengung riuh rendah, mataku menatap lembut Pegunungan Pennines yang biru di Derbyshire dan angin Lembah yang sejuk mengembus wajahku, menguapkan semua kepedihan, resah, dan kesulitan hidupku di sudut kampung kumuh panas di Belitong ini. Aneh memang, jika Trapani 248 Laskar Pelangi

seluruh hidupnya seolah dipengaruhi oleh lagu Wajib Blajar maka kini seluruh hidupku terinspirasi oleh buku Seandainya Mereka Bisa Bicara, terutama oleh Desa Edensor yang ada di buku itu. Jika beban hidup demikian memuncak rasanya aku ingin sekali berada di Edensor, Punguk merindukan bulan tentu saja. Mana mungkin anak Melayu miskin nun di Pulau Belitong sana mengangankan berada di sebuah tempat di Inggris. Bermimpi pun tak pantas. Sebaliknya, karena Edensor aku segera merasa pulih jiwa dan raga. Edensor memberiku alternatif guna memecah penghalang mental agar tak stres berkepanjangan karena terus-terusan terpaku pada perasaan patah hati. A Ling telah memberi racun cinta sekaligus penawarnya. Aku mulai tegar meskipun tak ‘kan ada lagi Michele Yeoh. Aku siap menyesuaikan diri dengan kenyataan baru. Aku sudah ikhlas meninggalkan cetak biru kehidupan indah asmara pertamaku yang bertaburan wangi bunga dalam ritual rutin pembelian kapur tulis. Inilah asyiknya menjadi anak kecil. Patah hati karena cinta yang telah berlangsung sekian tahun lima tahun! bisa pulih dalam waktu tiga hari dan disembuhkan oleh sebuah desa bernama Edensor di tempat antah berantah di Inggris sana dan hanya diceritakan melalui sebuah buku, ajaib. Sedangkan orang dewasa bisa-bisa memerlukan waktu tiga tahun untuk mengobati frustrasi karena hancurnya cinta platonik tiga minggu. Apakah semakin dewasa manusia cenderung menjadi semakin tidak positif? Aku belajar berjiwa besar, berusaha memahami esensi konsep virtual dan fisik dalam hubungan emosional. Bukankah jika mencintai seseorang kita harus membiarkan ia bebas? Apabila hal semacam ini dialami oleh seorang dewasa mungkin ia tak mau lagi melihat kapur tulis seumur hidupnya. Kini aku akan mengenang A Ling sebagai bagian terindah dalam hidupku. Aku tetap rajin, dengan naluri cinta yang sama, dengan semangat yang sama, berangkat dengan Syahdan setiap Senin pagi untuk membeli kapur, meskipun sekarang aku disambut oleh sebilah tangan beruang dan kuku-k uku burung nazar pemakan bangkai. 249 Laskar Pelangi

Setiap membeli kapur aku tetap mengikuti prosedur yang sama dan menikmati kronologi perasaanku di tengah kepengapan Toko Sinar Harapan. Aku menyimulasikan urutan-urutan sensasi keindahan cinta pertama seolah A Ling masih menungguku di balik tirai-tirai rapat yang terbuat dan keong-keong kecil itu. Sering kali sekarang aku bertanya pada diri sendiri: berapakah jumlah pasangan yang telah mengalami cinta pertama, lalu hanya memiliki satu cinta itu dalam hidupnya, menikah, dan kemudian hanya terpisahkan karena Tuhan memanggil salah satu dan mereka? Sedikit sekali! Atau malah mungkin tidak ada! Sepertinya kedua jawaban tersebut bisa menjadi hipotesis yang meyakinkan untuk pertanyaan dangkal semacam itu. Karena itulah yang umumnya terjadi dalam dunia nyata. Maka aku memiliki pandangan sendiri mengenai perkara cinta pertama i, yaitu cinta pertama memang tak ‘kan pernah mati, tapi ia juga tak ‘kan pernah survive. Selain itu aku telah menarik pelajaran moral nomor enam dan pengalaman cinta pertamaku yaitu: jika Anda memiliki kesempatan mendapatkan cinta pertama di sebuah toko kelontong, meskipun toko itu bobrok dan bau tengik, maka rebutlah cepat-cepat kesempatan itu, karena cinta pertama semacam itu bisa menjadi demikian indah tak terperikan! Aku melihat ke belakang, membuat evaluasi kemajuan hidupku, dan bersyukur telah mengenal A Ling. Jika berpikir positif, ternyata mengenal seseorang secara emosional memberikan akses pada sebuah bank data kepribadian tempat kita dapat belajar banyak hal baru. Hal-hal baru itu bagiku pada intinya satu: wanita adalah makhluk yang tak mudah diduga. Maka banyak orang berpikir keras mengurai sifat-sifat rahasia wanita, Paul I. Wellman misalnya dengan tesis Dewi Aphroditenya. Ia menggambarkan wanita sebagai makhluk yang di dalam dirinya berkecamuk pertentangan - pertentangan, mengandung pergolakan abadi, sopan tapi berlagak, sentimental sekaligus bengis, beradab namun ganas. Bagiku, aku masih tak mengerti wanita, namun sepertinya ada semacam komposisi kimiawi tertentu di dalam tubuh mereka yang menyebabkan lelaki dengan komposisi kimiawi tertentu pula merasa betah di dekatnya. Maka cinta adalah reaksi kimia sehingga 250 Laskar Pelangi

keanehan dapat terjadi, se-orang pangeran tampan kaya raya bisa saja ditolak oleh se-orang gadis penjaga pintu tol, dan seorang wanita public relation officer di sebuah BUMN yang sangat luas pergaulannya bisa saja tergila-gila setengah mati dengan seorang laki-laki penyendiri yang eksentrik. Itulah wanita, maka siapa pun ia, seorang dewi agung dalam mitologi Vunani atau sekadar seorang penjaga toko kelontong bobrok di Belitong, masing-masing menyimpan rahasia untuk dirinya sendiri, rahasia yang tak ‘kan pernah diketahui siapa pun. Wanita seperti apakah A Ling? Inilah yang paling menarik dan kisah cinta monyet in Setelah berpisah dengannya, aku baru mengerti tipe semacam ini. Ia bukanlah pribadi mekanis yang mengungkapkan perasaan secara eksplisit. Ia memiliki pendirian yang kuat dan amat percaya diri. Ia model wanita yang memegang pertanggung jawaban pada setiap gabungan huruf-huruf yang meluncur dan mulutnya. Dan ini menimbulkan respek karena aku tahu banyak orang harus berulang-ulang meyakinkan dirinya sendiri dan pasangannya dengan kata-kata basi berbusa-busa, bahwa mereka masih saling mencintai, sungguh mengibakan! A Ling tak ingin menghabiskan waktu berurusan dengan pola respons aksi reaksi cinta picisan yang klise, retoris, dan membosankan. Aku belajar berjiwa besar atas seluruh kejadian dengan A Ling. Sekarang aku memiliki cinta yang baru dalam tas bututku: Edensor, Sudah selama 115 jam, 37 menit, 12 detik aku kehilangan A Ling dan saat ini kuputuskan untuk berhenti mengiba-iba mengenang cinta pertama itu. Akhirnya, aku mampu melangkah menyeberangi garis ujian tabiat mengasihani diri dan sekarang aku berada di wilayah positif dalam menilai pengalamanku. Aku mulai bangkit untuk menata diri, Aku mempelajari metode-metode ilmiah modern agar dapat bangkit dan keterpunukan. Aku rajin membaca berbagai buku kiat-kiat sukses, pergaulan yang efektif, cara cepat menjadi kaya, langkah- langkah menjadi pribadi magnetik, dan bunga rampai manajemen pengembangan pribadi. Aku berhenti membuat nencana-rencana yang tidak realistis. 251 Laskar Pelangi

Filosofi just do it, itulah prinsipku sekanang, lagi pula bukankah John Lennon mengatakan life is what happens to us while we are busy making plans! Sesuai saran buku-buku psikologi praktis yang mutakhir itu aku mulai menginventanisasi bidang minat, bakat, dan kemampuanku. Dan aku tak pernah ragu akan jawabannya yaitu: aku paling piawai bermain bulu tangkis dan aku punya minat sangat besar dalam bidang tulis-menulis. Kesimpulan itu kuperoleh karena aku selalu menjadi juara pertama pertandingan bulu tangkis kelurahan U 19 dan pialanya berderet-deret di numahku. Piala itu demikian banyak sampai ada yang dipakai ibuku untuk pemberat tumpukan cucian, ganjal pintu, dan penahan dinding kandang ayam. Ada juga piala yang dipakai menjadi semacam palu untuk memecahkan buah kemiri, dan sebuah piala berbentuk panjang bergerigi dan pertandingan terakhir sering dimanfaatkan ayahku untuk menggaruk punggungnya yang gatal. Lawan-lawanku selalu kukalahkan dengan skor di bawah setengah. Kasihan mereka, meskipun telah berlatih mati-matian berbulan-bulan dan setiap pagi makan telur setengah masak dicampur jadam dan madu pahit, tapi mereka selalu tak berkutik di depanku. Kadang-kadang aku beraksi dengan melakukan drop shot sambil salto dua kali atau menangkis sebuah smash sambil koprol. Jika aku sedang ingin, aku juga biasa melakukan semacam pukulan straight dan celah-celah kedua selangkangku dengan posisi membelakangi lawan, tak jarang aku melakukan itu dengan tangan kin! Lawan yang tak kuat mentalnya melihat ulahku akan emosi dan jika ia terpancing marah maka pada detik itulah ia telah kalah. Para penonton bergemuruh melihat hiburan di lapangan bulu tangkis. Jika aku bertanding maka pasar menjadi sepi, warung-warung kopi tutup, sekolah-sekolah memulangkan murid-muridnya Iebih awal, dan kuli-kuli PN membolos. “Si kancil keriting”, demikianlah mereka menjulukiku. Lapangan bulu tangkis di samping kantor desa membludak. Mereka yang tak kebagian tempat berdiri di pinggir lapangan sampai naik ke pohon-pohon kelapa di sekitarnya. Kukira semua fakta itu Iebih dan cukup bagiku untuk menyebut 252 Laskar Pelangi

bulu tangkis sebagai potensi seperti dinyatakan dalam buku-buku pengembangan diri itu, Dan minat besar Iainnya adalah menulis. Tapi memang tak banyak bukti yang mengonfirmasi potensiku di bidang in kecuali komentar A Kiong bahwa surat dan puisiku untuk A Ling sering membuatnya tertawa geli. Tak tahu apa artinya, bagus atau sebaliknya. Maka aku mulai mengonsentrasikan diri untuk mengasah kemampuan kedua bidang in Seperti juga disarankan oleh buku-buku ilmiah itu maka aku membuat program yang jelas, terfokus, dan memantau dengan teliti kemajuanku. Buku itu juga menyarankan agar setiap individu membuat semacam rencana A dan rencana B. Rencana A adalah mengerahkan segenap sumber daya untuk mengembangkan minat dan kemampuan pada kemampuan utama atau dalam bahasa bukunya core competency, dalam kasusku berarti bulu tangkis dan menulis. Setelah tahap pengembangan itu selesai lalu bergerak pelan tapi pasti menuju tahap profesionalisme dan tahapaktualisasi diri, yaitu muncul menggebrak secara memesona di hadapan publik sebagai yang terbaik. Kemudian akhir dan semua usaha sistematis ilmiah dan terencana itu adalah mendapat pengakuan kejayaan prestasi, menjadi orang tenar atau selebriti, hidup tenang, sehat walafiat, bahagia, dan kaya raya. Sebuah rencana yang sangat indah. Setiap kali membaca rencana Aku aku mengalami kesulitan untuk tidur. Demikianlah, rencana A sesungguhnya adalah apa yang orang sebut sebagai kata-kata ajaib mandraguna: cita-cita. Dan aku senang sekali memiliki cita-cita atau arah masa depan yang sangat jelas, yaitu: menjadi pemain bulu tangkis yang berprestasi dan menjadi penulis berbobot. Jika mungkin sekaligus kedua-duanya, jika tidak mungkin salah satunya saja, dan jika tidak tercapai keduaduanya, jadi apa saja asal jangan jadi pegawai PoS. Cita-cita ini adalah kutub magnet yang menggerakkan jarum kompas di dalam kepalaku dan membimbing hidupku secara meyakinkan. Setelah selesai merumuskan masa depanku itu sejenak aku merasa menjadi manusia yang agak berguna. 253 Laskar Pelangi

***** Jika aku menengok sahabat sekelasku mereka juga ternyata memiliki cita-cita yang istimewa. Sahara misalnya, ia ingin mejadi pejuang hak-hak asasi wanita. Dia mendapat inspirasi cita-citanya itu dan penindasan luar biasa terhadap wanita yang dilihatnya di film-film India. A Kiong ingin menjadi kapten kapal, mungkin karena ia senang berpergian atau mungkin tUpi kapten kapal yang besar dapat menutupi sebagian kepala kalengnya itu, Kucai menyadari bahwa dirinya memiliki sedikit banyak kualitas sebagai seorang politisi yaitu bermulut besar, berotak tumpul, pendebat yang kompulsif, populis, sedikit licik, dan tak tahu malu, maka cita-citanya sangat jelas: ia ingin jadi seorang wakil rakyat, anggota dewan. Tak ada angin tak ada hujan, tanpa ragu dan malu-malu, Syahdan ingin menjadi aktor. Tak sedikit pun tidak menunjukkan kapasitas atau bakat akting, bahkan dalam pertunjukan teater kelas kami Syahdan tidak bisa memba-wakan peran apa pun yang mengandung dialog karena ia selalu membuat kesalahan, Karena itu Mahar memberinya peran sederhana sebagai tukang kipas putri raja yang selama pertunjukan tidak mengucapkan sepatah kata pun. Tugasnya hanya mengipas-ngipasi sang putri dengan benda semacam ekor burung merak, itu pun masih sering tak becus ia lakukan. Semua orang menyarankan agar Syahdan meninjau kembali cita-citanya tapi ia bergeming. Ia tak peduli dengan segala cemoohan, ia ingin menjadi aktor, tak bisa diganggu gugat. “Cita-cita adalah doa, Dan,” begitulah nasihat bijak dan Sahara. “Kalautuhan mengabulkan doamu, dapatkah kaubayangkan apa jadinya dunia perfilman Indonesia” Sedangkan Mahar sendiri mengaku bahwa ia mampu menerawang masa depannya. Dan dalam terawangannya itu ia dengan yakin mengatakan bahwa setelah dewasa ia akan menjadi seorang sutradara sekaligus seorang penasihat spiritual dan hypnotherapist ternama. Cita-cita yang paling sederhana adalah milik Samson. Ia memang sangat pesimis dan hanya ingin menjadi tukang sobek karcis sekaligus sekuriti di 254 Laskar Pelangi

Bioskop Kicong karena ia bisa dengan gratis menonton film. Ia memang hobi menonton film. Selain itu profesi tersebut dapat memelihara citra machonya. Adapun Trapani yang baik dan tampan ingin menjadi guru. Ketika kami tanyakan kepada Harun apa cita- citanya ia menjawab kalau besar nanti ia ingin menjadi Trapani. Semua ini gara-gara Lintang. Kalautak ada Lintang mungkin kami tak ‘kan berani bercita-cita. Yang ada di kepala kami, dan di kepala setiapanak kampung di Belitong adalah jika selesai sekolah lanjutan pertama atau menengah atas kami akan mendaftar menjadi tenaga langkong (calon karyawan rendahan di PN Timah) dan akan bekerja bertahun-tahun sebagai buruh tambang lalu pensiun sebagai kuli. Namun, Lintang memperlihatkan sebuah kemampuan luar biasa yang menyihir kepercayaan diri kami. Ia membuka wawasan kami untuk melihat kemungkinan menjadi orang lain meskipun kami dipenuhi keterbatasan. Lintang sendiri bercita-cita menjadi seorang matematikawan. Jika ini tercapai ia akan menjadi orang Melayu pertama yang menjadi matematikawan, indah sekali. Pribadi yang positif, menurut buku, tidak boleh hanya memiliki satu rencana, tapi harus memiliki rencana alternatif yang disebut dengan istilah yang sangat susah diucapkan, yaitu contingency plan! Rencana alternatif itu disebut juga rencana B. Rencana B tentu saja dibuat jika rencana A gagal. Prosedurnya sederhana yakni: lupakan, tinggalkan, dan buang jauh-jauh rencana A dan mulailah mencari minat dan kemampuan baru, setelah ditemukan maka ikuti lagi prosedur seperti rencana A. Inilah buku resep kehidupan yang bukan main hebatnya hasil karya para pakar psikologi praktis yang bersekongkol dengan para praktisi sumber daya manusia dan penerbit buku tentu saja. Seorang pribadi yang efektif dan efisien harus sudah memiliki rencana A dan rencana B sebelum ia keluar dan pekarangan rumahnya. Tapi aku tak tahan membayangkan rencana B dalam hidupku karena selain bulu tangkis dan menulis aku tak punya kemampuan lain. Sebenarnya ada tapi sungguh tak bisa dipertanggungjawabkan, yaitu kemampuan mengkhayal dan bermimpi, aku agak malu mengakui in Aku tak punya kecerdasan 255 Laskar Pelangi

seperti Lintang dan tak punya bakat seni seperti Mahar. Aku berpikir keras untuk memformulasikan rencana B. Namun sangat berun- tung, setelah berminggu-minggu melakukan perenungan akhir-nya tanpa disengaja aku mendapat inspirasi untuk me-rumuskan sebuah rencana B yang hebat luar biasa. Rencana B ku ini sangat istimewa karena aku tidak perlu meninggalkan rencana A. Para pakar sendiri mungkin belum pernah berpikir sejauh ini. Rencana B-ku sifatnya menggabungkan minat dan kemampuan yang ada pada rencana A. Tntinya jika aku gagal meniti karier di bidang bulu tangkis dan tak berhasil sebagai penulis sehingga semua penerbit hanya sudi menerima tulisanku untuk dijual menjadi kertas kiloan, maka aku akan menempuh rencana B yaitu: aku akan menulis tentang bulu tangkis! Aku menghabiskan sekian banyak waktu untuk membuat rencana B ini agar sebaik rencana A, yaitu sampai tahap-tahap yang paling teknis dan operasional. Oleh karena itu, aku telah punya ancang-ancang judul bukuku, seluruhnya ada tiga yaitu TATA CARA BERMAIN BULU TANGKIS, FAEDAH BULU TANGKIS, atau BULU TANGKIS UNTUK PERGAULAN. Rencana B ini kuanggap sangat rasional karena aku telah melihat bagaimana pengaruh bulu tangkis pada orang-orang Melayu pedalaman. Jika musim Thomas Cup atau All England maka di kampung kami bulu tangkis bukan hanya sekadar olahraga tapi ia menjadi semacam budaya, semacam jalan hidup, seperti sepak bola bagi rakyat Brasil. Pada musim itu ilalang tanah-tanah kosong dibabat, pohon-pohon pinang ditumbangkan untuk dibelah dan dijadikan garis lapangan bulu tangkis, dan gengsi kampung dipertaruhkan habis-habisan dalam pertandingan antar dusun. Jika malam tiba kampung menjelma menjadi semarak karena lampu petromaks menerangi arena-arena bulu tangkis dan teriakan para penonton yang gegap gempita. Di sisi lain aku percaya bahwa ratusan kaum pria yang tergila-gila pada bulu tangkis lalu pulang ke rumah kelelahan akan mengalihkan mereka dan rutinas malam sehingga dapat menekan angka kelahiran anak-anak Melayu. Sungguh besar manfaat bulu tangkis bagi kampung kami yang minim hiburan. Fenomena ini meyakinkanku bahwa tulisanku tentang bulu tangkis akan mencapai suatu kedalaman dan kategori 256 Laskar Pelangi

yang disebut para sastrawan pintar zaman sekarang sebagai buku dalam genre humaniora! Buku itu akan ditulis setelah melalui riset yang serius dan melibatkan studi literatur serta wawancara yang luas. Jika beruntung aku akan mengusahakan agar mendapat semacam kata pengantar sekapur sirih dan Ferry Sonneville dan dengan sedikit kerja sama dengan penerbit aku sudah mengkhayalkan akan mendapat banyak komentar berisi pujian dan para pakar di sampul belakang buku itu. Misalnya Liem Swie King, ia akan berkomentar, “ini adalah sebuah buku yang sangat bermanfaat untuk meningkatkan kepercayaan diri, membangun network, dan menambah kawan.” Komentar Lius Pongoh agak lebih singkat: “Sebuah buku yang memberi pencerahan.” Seorang birokrat dan komite olah raga menyumbangkan pujian yang filosofis: “Belum pernah ada buku olahraga ditulis seperti ini, penulisnya sangat memahami makna men sane incorpore sano.” Demikian pula pujian seorang seksolog yang gemar bermain bulu tangkis: “Buku wajib bagi Anda yang memiliki kelebihan berat badan dan kesulitan membina hubungan.” Rudy Hartono memuji habis-habisan: “Sebuah buku yang menggetarkan!” Sedangkan komentar dan Ivana Lie adalah: “Membaca buku ini rasanya aku ingin memeluk penulisnya.” ****** 257 Laskar Pelangi

BAB 26 I Be There or Be Damned’ “APAKAH Ananda sudah memiliki rencana A dan rencana B?” Itulah pertanyaan pertama Bu Mus kepada Mahar sekaligus awal pidato panjang untuk menasihati tindakannya yang sudah keterlaluan. Ia sudah berbelok ke jalan gelap dunia hitam, ia harus segera disadarkan. Pelajaran praktik olahraga yang sangat kami sukai dibatalkan. Semuanya harus masuk kelas dalam rangka menghakimi Mahar dan mengembali- kannya ke jalan yang lurus. Layar pun turun, rol-rol film drama diputar. Mahar menunduk. Ia pemuda yang tampan, pintar, berseni, tapi keras pendiriannya. “Ibunda, masa depan milik Tuhan ....“ Aku melihat cobaan yang dihadapi seorang guru. Wajah Bu Mus redup. Seorang sahabat pernah mengatakan bahwa guru yang pertama kali membuka mata kita akan huruf dan angka-angka sehingga kita pandai membaca dan menghitung tak ‘kan putus- putus pahalanya hingga akhir hayatnya. Aku setuju dengan pendapat itu, Dan tak hanya itu yang dilakukan seorang guru. Ia juga membuka hati kita yang gelap gulita. 258 Laskar Pelangi

“Artinya Ananda tidak punya sebuah rencana yang positif, tak pernah lagi mau membaca buku dan mengerjakan PR karena menghabiskan waktu untuk kegiatan perdukunan yang membelakangi ayat-ayat Allah.’ Bu Mus mulai terdengar seperti warta berita RRI pukul 7. Lintasan berita: “Nilai-nilai ulanganmu merosot tajam. Kita akan segera menghadapi ulangan caturwulan ke tiga, setelah itu caturwulan terakhir menghadapi Ebtanas. Nilaimu bahkan tak memenuhi syarat untuk melalui caturwulan tiga ini. .Jika nanti ujian antaramu masih seperti i, Ibunda tidak akan mengizinkanmu ikut kelas caturwulan terakhir. Itu artinya kamu tidak boleh ikut Ebtanas.” Ini mulai serius, Mahar tertunduk makin dalam. Kami diam mendengarkan dan khotbah berlanjut. Berita utama: “Hiduplah hanya dan ajaran AlQur’an, hadist, dan sunatullah, itulah pokok- pokok tuntunan Muhammadiyah. mnsya Allah nanti setelah besar engkau akan dilimpahi rezeki yang halal dan pendamping hidup yang sakinah.” Disambung berita penting: “Klenik, ilmu gaib, takhayul, paranormal, semuanya sangat dekat dengan pemberhalaan. Syirik adalah larangan tertinggi dalam Islam. Ke mana semua kebajikan dan pelajaran aqidah setiap Selasa? Ke mana semua hikmah dan pengalaman jahiliah masa lampau dalam pelajaran tarikh Islam? Ke mana etika ke-Muhammadiyahan?” Suasana kelas menjadi tegang. Kami harap Mahar segera minta maaf dan menyatakan pertobatan tapi sungguh sial, ia malah menjawab dengan nada bantahan. “Aku mencari hikmah dan dunia gelap Ibunda dan penasaran karena keingintahuan. Tuhan akan memberiku pendamping dengan cara yang misterius Kurang ajar betul, Bu Mus bersusah payah menahan emosinya. Aku tahu beliau sebenarnya ingin langsung me-labrak Mahar. Air mukanya yang sabar menjadi merah. Beliau segera keluar ruangan menenangkan dirinya. Kami serentak menatap Mahar dengan tajam. Alis Sahara bertemu, tatapan matanya kejam sekali. “Minta maaf sana! Tak tahu diuntung!” hardik Sahara. Kucai 259 Laskar Pelangi

selaku ketua kelas ambil bagian, suaranya menggelegar, “Melawan guru sama hukumnya dengan melawan orangtua, durhaka! Siksa dunia yang segera kauterima adalah burut! Pangkal pahamu akan membesar seperti timun sun hingga langkahmu ngangkang!” Keras sekali Kucai menghardik Mahar tapi yang dipelototinya Harun. Wajah Mahar aneh. Ia seperti sangat menyesal dan merasa bersalah tapi di sisi lain tampak yakin bahwa ia sedang mempertahankan sebuah argumen yang benar, menurut versinya sendiri tentu saja. Persis ketika kami ingin memprotes Mahar secara besar-besaran tiba-tiba Bu Mus masuk lagi ke dalam ruangan dan menyemprotkan pokok berita, “Camkan ini anak muda, tidak ada hikmah apa pun dan kemusynikan, yang akan kau dapat dan praktik-praktik klenik itu adalah kesesatan yang semakin lama semakin dalam karena sifat syirik yang berlapis-lapis. Iblis mengipas- ngipasimu setiap kali kaukipasi bara api kemenyan-kemenyan itu.” Mahar mengerut. Ia tampak sangat bersalah telah membuat ibunda gurunya muntab. Bu Mus ternyata bisa juga emosi dan tak berhenti sampai di situ, “Sekarang kau harus mengambil sikap karena belum selesai ultimatum itu tiba-tiba terdengar assalamu’alaikum. Bu Mus menjawab dan mempersilakan masuk kepala sekolah kami, seorang bapak berwajah penting, dan seorang anak perempuan tapi seperti laki-laki. Anak perempuan ini berpostur tinggi, dadanya rata, pantatnya juga rata, Ia seperti sekeping papan Sepatunya bot Wrangler navigator yang mahal dan itu adalah sepatu laki-laki. Kaus kakinya lucu, berwarna-warni meriah berlapis- lapis seperti sarang lebah dan menutupi tempurung lutut. Ia jelas bukan orang Muhammadiyah karena semua wanita Muhammadiyah berjilbab. Ia memakai rok besar dan bahan wol bermotif kotak-kotak besar merah seperti kilt orang-orang Skotlandia. Kilt itu menutupi ujung atas kaus kakinya tadi sehingga tak ada sedikit pun celah kulit kakinya yang terbuka. Rambutnya pendek, kulitnya putih bersih sangat halus, dan wajahnya cantik. Secara umum ia tampak seperti seorang pemuda Skotlandia yang imut. Bapak berwajah orang penting tadi berusaha tersenyum ramah. “ini anak saya, Flo,” katanya pelan-pelan. 260 Laskar Pelangi

“Dia sudah tidak ingin lagi sekolah di sekolah PN dan sudah membolos dua minggu. Dia bersikeras hanya ingin sekolah di sini.” Orang penting ini menggaruk-garuk kepalanya. Setiap kata- katanya adalah batu berat puluhan kilo yang ia seret satu per satu. Nada bicananya jelas sekali seperti orang yang sudah kehabisan akal mengatasi anaknya itu. Kami semua tenmasuk kepala sekolah tensipu menahan tawa, Bu Mus yang banu saja manah juga tensenyum. Sebuah senyum tenpaksa karena kami semua sudah tahu neputasi Flo. Beliau sudah pusing tujuh keliling menghadapi Mahan dan sekanang hanus ditambah lagi satu anak setengah laki- laki setengah penempuan yang sudah pasti tak bisa diatun! Hari ini adalah hari yang sial dalam hidup Bu Mus. Flo sendini acuh tak acuh, ia tak tensenyum dan hanya menatap bapaknya. Anak cantik ini benkanakten tegas, pasti, tahu pensis apa yang ia inginkan, dan tak pennah nagu-nagu, sebuah gambanan sikap yang mengesankan. Bapak-nya juga menatapanaknya, suatu tatapan penuh kekalahan yang pedih. Lalu bapaknya melihat sekeliling nuangan kelas kami yang seperti nuang intenogasi tentana Jepang, tatapannya semakin pedih. Dengan pasnah ia menyampaikan ini. “Maka saya senahkan anak saya pada Ibu, jika ia menyulitkan, Bapak Kepala Sekolah sudah tahu di mana harus menemui saya. Menyesal harus saya sampaikan bahwa ia pasti akan menyulitkan.” Kami tertawa dan bapaknya tersenyum pahit. Flo masih cuek seolah semua kata-kata itu tak ada maknanya, laksana angin lewat saja. Kepala Sekolah dan orang penting itu mohon dir Kepala Sekolah kami tersenyum simpul sambil memandang Bu Mus penuh arti. Bu Mus memandangi Flo dan samping Mahar yang baru saja dimarahinya habis-habisan dan Flo yang berandal berdiri tegak di depan kelas seperti orang mengambil pose untuk peragaan kaus kaki Italia model terbaru. Meskipun seperti laki-laki tapi ia sesungguhnya gadis remaja yang menawan, dan kulitnya indah luar biasa. Di kelas ini ia laksana Winona Ryder yang diutus UNICEF untuk membesarkan hati para penderita lepra di sebuah kampung kumuh di Sudan. 261 Laskar Pelangi

Flo menyilangkan kakinya, bahunya yang kurus bidang mekar seperti memiliki bantalan di pundak-pundaknya. Ia sangat memesona. Semua mata menghunjam ke arahnya. Sebuah pemandangan yang tak biasa. Jika diamati dengan saksama, di balik kedua bola matanya yang gelap coklat seperti buah hamlam tersembunyi kebaikan yang sangat besar, Semuanya diam, Flo juga diam. Kami berharap Flo akan memecah kekakuan dengan memperkenalkan dirinya. Tapi ia tak melakukan itu dan Bu Mus juga tak memintanya mengenalkan diri karena dua alasan: Flo jelas tak senang dengan formalitas, kedua: siapa yang tak kenal Flo? Namanya melambung gara-gara hilang di Gunung Selumar tempo hari dan reputasinya semakin top karena baru-baru ini menjuarai pertarungan kick boxing. Ia meng KO hampir seluruh lawannya padahal ia satusatunya petarung wanita. Maka Bu Mus mengambil inisiatif sambil tersenyum bersahabat. “Baiklah, selamat datang di kelas kami, setelah ini pelajaran kemuhammadiyahan, silakan Ananda duduk di sana dengan Sahara” Sahara senang bukan main karena selama sembilan tahun hanya ia satu-satunya wanita di kelas kami. Selama ini ia duduk sendirian dan sekarang ia akan punya teman sesama jenis. Ia mengusap-usap kursi kosong di sampingnya dan menampilkan bahasa tubuh selamat datang. Tapi di luar dugaan ternyata Flo tak beranjak Wajahnya tak menunjukkan minat sama sekali. Dia membatu dan meman-dang jauh ke luar jendela. Kami bingung, lalu Flo kembali meman-dang kami dan kami terkejut ketika dengan pasti ia menun- juk Tarapani sambil bersabda: “Aku hanya ingin duduk di samping Mahar!” Luar biasa! Kalimat pertama yang meluncur dan mulut kecil makmurnya itu setelah baru saja beberapa menit menginjakkan kaki di sekolah Muhammadiyah adalah sebuah pembangkangan! Pembangkangan bukanlah hal yang biasa di perguruan kami. Kami tak pernah sekali pun dengan sengaja menyatakan pembangkangan, kami bahkan memanggil guru kami ibunda guru. Kami terperanjat, demikian pula Bu Mus. Air muka sabarnya menjadi keruh. Baru saja beliau memikirkan kemungkinan kerusakan etika Muhammadiyah 262 Laskar Pelangi

yang akan dibuat Mahar dan murid baru separuh pria ini, tiba-tiba sekarang dua ekor angin tornado ini ingin bersekutu. Berat sekali cobaan hidup Bu Mus. Wajah Bu Mus sembap. Flo menunjukkan wajah tak mau berkompromi dan Bu Mus sudah tahu bahwa percuma melawan dia, Lagi pula bagi Flo dirinya bukanlah wanita, maka ia tak mau duduk dengan Sahara. Di sisi lain ia menganggap Trapani harus mengalah karena ia adalah seorang wanita. Transeksual memang sering membingungkan. Trapani kebingungan karena dia sudah sembilan tahun terbiasa duduk sebangku dengan Mahar dan Bu Mus harus mengambil keputusan yang sulit. Beliau memberi isyarat pada Trapani agar lungsur. Flo menghambur ke kursi bekas Trapani di samping Mahar. Mahar serta-merta mengeluarkan tiga macam sikap khasnya yang menyebalkan: menaikkan alis, mengangkat bahu, dan mengangguk- angguk. Kami muak melihatnya tapi ia tampak senang bukan main. Seperti dugaannya, Tuhan telah memberinya pendamping secara misterius. Sebuah doa yang langsung dikabulkan di tempat. Bajingan kecil itu memang selalu beruntung. Sebaliknya, Trapani kehilangan teman sebangku dan ia sekarang harus duduk dengan Sahara yang temperamental. Sahara sendiri sangat tidak suka menerima Trapani. Ia mengaum, alisnya bertemu. Flo tampak kaku duduk di kelas kami dan seluruh ruangan itu sama sekali tidak merepresentasikan setiap jenis sandang yang dikenakannya. Kelas rombeng ini juga tak cocok dengan kulit putih dan raut mukanya yang penuh sinar kekayaan. Apa yang dicari anak kaya ini di sekolah miskin yang tak punya apa-apa? Mengapa ia ingin menukar gemerlap sekolah PN dengan sekolah gudang kopra? Buah khuldi di pekarangan siapa yang telah dimakannya sehingga dia terusir dan taman eden Gedong? Tidak, ia tidak dicampakkan oleh sekolah PN tapi ia sengaja ingin pindah ke sekolah Muhammadiyah atas kemauan sendiri, tanpa tekanan dan pihak mana pun dan dalam keadaan sehat walafiat jasmani dan rohani, hanya pikirannya saja yang sedikit kacau. ********* Laskar Pelangi 263

Pada hari-hari pertama kami terkagum-kagum dengan berbagai perlengkapan sekolahnya yang menurut ia biasa saja. Ia memiliki enam macam tas yang dipakai berbeda-beda setiap hari. Tas hari Jumat paling menarik karena ber-umbai-rumbai seperti tas Indian. Ia juga memiliki banyak kotak. Kotak khusus untuk beragam penggaris: ada penggaris busur, penggaris segitiga, penggaris siku, dan beragam ukuran penggaris segi empat. Kotak lainnya berisi jangka- jangka kecil, berbagai jenis pensil, pulpen, dan penghapus seperti kue lapis yang dapat menimbulkan rasa lapar. Lalu ada serutan yang lucu serta sapu tangan handuk kecil di dalam tas rajutan ibunya. Di dalam tas rajutan kecil itu ada berjejal-jejal uang kertas yang dimasukkan dengan sembrono oleh Flo. Jika ia membuka tas itu sering kali uang tadi berjatuhan ke lantai, Jumlah uang itu semakin hari semakin banyak dan membuat tasnya menjadi gendut. Flo tidak bisa membelanjakan uang itu di sekolah Muhammadiyah karena tak ada yang bisa dibeli. Uang itu memiliki nama yang sangat asing bagi kami: uang saku. Sesuatu yang seumur-umur tak pernah kami dapat-kan dan orangtua kami. Sebagian besar benda-benda itu belum pernah kami lihat. Ia amat berbeda dengan kami dalam semua hal. Ia seumpama bangau Hokaido yang anggun tersasar ke kandang itik. Setiap pagi ia diantar sopirnya dengan sebuah mobil mewah tentu saja setelah ia sarapan dan semacam benda yang dapat membuat roti meloncat. Sejak kami menjadi pahlawan kesiangan yang menemukan Flo ketika ia hilang di Gunung Selumar tempo hari, ia memang telah mengenal kami, terutama Mahar dan reputasinya. Flo hengkang dan sekolah PN karena didorong oleh kepribadiannya yang pembosan, cenderung anti kemapanan, tergilagila dengan pemberontakan, dan keinginannya menjadi anggota Laskar Pelangi yang unik. Tapi ada alasan lain yang tak banyak orang tahu, dan ini agak berbahaya, yaitu ia tergila-gila pada Mahar. Ia mengagumi Mahar bukan sebagai pribadi tapi sebagai seorang profesional muda perdukunan. Karena orangnya memang ekstrovert dan berpikiran terbuka maka kami segera akrab dengan Flo. Pada sebuah sore yang dingin setelah hujan lebat Flo kami inisiasi di dahan tertinggi fihicium dan sejak sore itu ia resmi kami bai’at sebagal anggota Laskar Pelangi. 264 Laskar Pelangi

Saat pelangi melingkar dan guruh bersahutsahutan membahana di atas langit Belitong Timur, ia mengucapkan janji setia persaudaraan. Ternyata Flo adalah pribadi yang sangat menyenangkan. Ia memiliki kemampuan beradaptasi yang luar biasa. Ia cantik dan sangat rendah hati, sehingga kami betah di dekatnya. Ia tak pernah segan menolong dan selalu rela berkorban, Terbukti bahwa di balik sifatnya keras kepala tersimpan kebaikan hati yang besar. Aneh, di sekolah Muhammadiyah yang tak punya fasilitas apa pun Flo sangat bersemangat. Ada sesuatu yang menggerakkannya. Ia tak pernah sehari pun bolos dan bersikap sangat santun kepada para pengajar. Konon bapaknya sampai mengucapkan terima kasih kepada kepala sekolah kami dan Bu Mus. Ia datang lebih pagi dan siapa pun, menyapu seluruh sekolah, menimba berember ember air dan menyiram bunga tanpa diminta. Sekolah ini adalah jembatan jiwa baginya. Flo sangat dekat dengan Mahar. Mereka saling tergantung dan saling melindungi. Hubungan mereka sangat unik. Dengan bersama Mahar dan berada di sekolah Muhammadiyah Flo seperti berada di dunia yang memang diidamkannya selama ini. Ia seperti orang yang telah menemukan identitas setelah bersusah payah mencarinya melalul pemberontakan-pemberontakan sinting. Demikian pula Mahar, ia merasa menemukan satu-satunya orang yang memahaminya, tak pernah melecehkannya, dan menghargai setiap kelakuan anehnya. Maka mereka seperti Starsky and Hutch atau Harley Davidson and The Marlboro Man, gandeng renteng ke sana kemari persis Trapani dan ibunya. Mahar benar-benar telah mendapatkan pendamping. Mereka sering tampak berduaan, berbicara, bertukar pikiran sampai berjam- jam. Orang yang melihatnya akan menyangka mereka berpacaran. Seorang pemuda tampan dan seorang anak gadis cantik yang tomboi, siang malam tak terpisahkan. Saling tergila-gila, serasi sekali, Tapi kenyataannya mereka sama sekali tidak punya hubungan emosional semacam itu, Mereka memang tergila-gila tapi kekasih hati mereka adalah dunia gelap mistik dan klenik. Dunia gelap itulah yang memicu adrenalin Flo dan itu jugalah salah satu tujuannya mendekati Mahar. Berbeda dengan A Kiong yang juga mengabdi kepada Mahar tapi memosisikan diri sebagai 265 Laskar Pelangi

murid, Flo sebaliknya memosisikan diri sebagai rekan. Persekutuan mereka membawa kemajuan yang pesat dalam elaborasi dunia metafisik karena ditunjang oleh sumber daya yang dimiliki Flo. Mereka mempelajari dengan saksama fenomena-fenomena aneh melalui majalah-majalah luar negeri dan buku-buku ilmiah karangan psychist ternama. Kalau dulu Mahar berurusan dengan primbon atau prasasti dan istilah-istilah kuntilanak, jenglot, Dalbho anak genderuwo, dan pocong, sekarang referensinya meningkat menjadi paranormal-phernalia, UFO codes, science fictions news, dan The Anomalist, dan bicaranya juga menjadi lebih maju dan keren, kalau dulu kemenyan, tuyul, kerasukan setan, dan santet, sekarang menjadi istilah-istilah paranormal asing seperti exorcism, clairevoyance, sightings, dan poltergeist. Mahar tertarik pada mitologi, hubungan supranatural dengan antropologi, sejarah, cerita rakyat, arkeologi, kekuatan penyembuhan, ilmu-ilmu purba, ritual, dan kepercayaan berhala. Maka sedikit banyak ia menganggap dirinya seorang ilmuwan supranatural. Sebaliknya, Flo adalah petualang sejati. Ia kurang tertarik dengan aspek ilmu dan keyakinan dalam kejadian-kejadian mistik tapi ia ingin mengalami manifestasi berbagai teori dan fenomena magis dalam praktik. Karena tujuan utama pendalaman mistik Flo adalah untuk menguji dirinya sendiri, sampai sejauh mana ia bisa menoleransi rasa takutnya. Ia kecanduan getargetar mara bahaya dunia lain. Flo sedikit lebih parah sintingnya dibanding Mahar. Maka untuk merealisasikan semua tujuan itu dan untuk menikmati hobinya, mereka berdua menyusun sebuah rencana sistematis. Langkah awal mereka adalah membentuk sebuah organisasi rahasia para penggemar paranormal. Setelah kasakkusuk sekian lama, tak dinyana ternyata mereka mampu menemukan anggota-anggota se-paham yang sangat antusias. Mereka membentuk sebuah perkumpulan yang disebut Societeit de Limpai dan melakukan pertemuan rutin serta aktivitas perklenikan secara diam-diam. Semakin lama aktivitas itu semakin tinggi dan tak jarang melibatkan perjalanan yang jauh. Tak terbayangkan ke mana 266 Laskar Pelangi

keingintahuan dapat membawa manusia: ke gunung tertinggi, ke gua yang gelap, melintasi padang, menuruni ngarai, menyeberangi lumpur, sungai, dan laut. Sing-kat-nya, organisasi bawah tanah ini sangat sibuk dan menuntut pengadministrasian jadwal, dana, dan properti sehingga mereka membutuhkan bantuan seorang sekretaris merangkap bendahara! Ketika aku ditawari posisi itu, aku segera menyambarnya. Meskipun tidak ada honornya sepeser pun tapi aku merasa terhormat menjadi seorang sekretaris dan sebuah gerombolan orangorang yang bersahabat dengan hantu. Aku juga bangga karena jabatan itu menunjukkan bahwa aku punya cukup integritas untuk memegang uang, artinya paling tidak aku bisa dipercaya walaupun hanya dipercaya oleh orang-orang yang sudah tidak lurus pikirannya. Tugasku sederhana dan cukup diatur melalui sebuah buku register. Tugas tersebut adalah mencatat iuran anggota, menyimpan uangnya, dan mencatat barang-barang pribadi milik anggota yang akan dijual atau digadaikan guna membeli peralatan dan membiayai ekspedisi. Tugas lainnya adalah mengatur pertemuan rahasia, Biasanya undangan dibuat oleh bosku, Mahar atau Flo, dan aku harus mengedarkannya pada seluruh anggota. Seperti sore ini misalnya, Flo menyerahkan undangan padaku, isinya: “Rapat mendesak, Los V/B pasar ikan, Pk. 7 tepat. Be there or be damned!” ******** 267 Laskar Pelangi

BAB 27 Detik-Detik Kebenaran DALAM sebuah bangunan berarsitektur art deco, di ruangan oval yang hingar-bingar, kami terpojok: aku, Sahara, dan Lintang. Kembali kami berada dalam sebuah situasi yang mempertaruhkan reputasi. Lom-ba kecerdasan. Dan kami berkecil hati melihat murid-murid negeri dan sekolah PN membawa buku- buku teks yang belum pernah kami lihat, Tebal berkilat-kilat dengan sampul berwarna-warni, pasti buku-buku mahal. Sebagian peserta berteriak-teriak keras menghafalkan nama-nama kantor berita. Risikonya tentu jauh lebih besar dan karnaval dulu. Lomba kecerdasan adalah arena terbuka untuk mempertontonkan kecerdasan, atau jika sedang bernasib sial, mempertontonkan ketololan yang tak terkira. Dan semua nasib sial itu akan ditanggung langsung oleh aku, Sahara, dan Lintang. Kami adalah regu F pada lomba memencet tombol in Bagaimana kalau kami tak mampu menjawab dan hanya membawa pulang angka nol? Persoalan klasiknya adalah kepercayaan diri. Inilah problem utama jika berasal dan lingkungan marginal dan mencoba bersaing. Kami telah dipersiapkan dengan baik oleh Bu Mus. Beliau memang menaruh harapan besar pada lomba ini lebih dan beliau berharap 268 Laskar Pelangi

waktu kami karnaval dulu. Bu Mus pontang-panting mengumpulkan contoh contoh soal dan bekerja sangat keras melatih kami dan pagi sampai sore. Bu Mus melihat lomba ini sebagai media yang sempurna untuk menaikkan martabat sekolah Muhammadiyah yang bertahun tahun selalu diremehkan. Bu Mus sudah bosan dihina. Sayangnya sekeras apa pun beliau membuat kami pintar dan menguatkan mental kami, mendorong-dorong, membujuk, dan mengajari kami agar tegar, kami tetap gugup. Semua yang telah dihafalkan berminggu-minggu lenyap seketika, jalan pikiran menjadi buntu. Aku berusaha menenangkan diri dengan membayangkan duduk bersemadi di atas padang rumput hijau di tempat yang paling tenang dalam imajinasiku: Edensor, tapi upaya ini juga gagal. “Persetan kepercayaan diri pokoknya dengar pertanyaannya baik-baik, pencet tombolnya cepatcepat, dan jawab dengan benar” demikian kataku. Sahara mengangguk, Lintang tak peduli. Kami duduk menghadapi sebuah meja mahoni yang besar, panjang, indah, dan dingin. Seluruh teman sekelasku dan guru-guru hadir untuk menyemangati kami. Ruangan penuh sesak oleh para pendukung setiap sekolah. Aku, Lintang, dan Sahara mengerut di balik meja itu. Kami berpakaian amat sederhana dan sepatu cunghai Lintang masih menebarkan bau hangus. Pendukung yang paling dominan tentu saja pendukung sekolah PN. Jumlahnya ratusan dan menggunakan seragam khusus dengan tulisan mencolok di punggungnya: VINI, VIDI, VICI, artinya AKU DATANG, AKU LIHAT, AKU MENANG. Benarbenar menjatuhkan mental lawan. Sekolah PN mengirim tiga regu, masing-masing regu A, B, dan C. Anggota regu itu adalah yang terbaik dan yang terbaik. Mereka diseleksi secara khusus dengan amat ketat dan standar yang sangat tinggi. Beberapa peserta itu pernah menjuarai lomba cerdas cermat tingkat provinsi bahkan ada yang telah dikirim untuk tingkat nasional. Pakaian anggota regu juga sangat berbeda. Mereka mengenakan jas warna biru gelap yang indah, sepatu yang seragam dengan celana panjang berwarna serasi, dan mereka berdasi. Tahun ini mereka dipersiapkan lebih matang, sistematis, dan 269 Laskar Pelangi

secara amat ilmiah oleh seorang guru muda yang terkenal karena kepandaiannya. Guru ini membuat simulasi situasi lomba sesungguhnya dengan bel, dewan juri, stop watch, dan antisipasi variasi-variasi soal. Guru yang cemerlang ini baru saja mengajar di PN, dulu ia bekerja di sebuah perusahaan asing di unit riset dan pengembangan kemudian ditawari mengajar di PN dengan gaji berlipat-lipat dan janji beasiswa S2 dan S3. Ia lulus cum laude dan Fakultas MIPA sebuah universitas negeri ternama. Tahun ini ia terpilih sebagai guru teladan provinsi. Ia mengajar fisi-ka, Drs. Zulfikar, itulah namanya. Pendukung kami dipimpin oleh Mahar dan Flo. Meskipun hanya berjumlah sedikit tapi semangat mereka menggebu. Mereka membawa dua buah bendera besar Muhammadiyah yang telah lapuk dan berbagai macam tabuh-tabuhannya seperti para suporter sepak bola. Para pelajar PN yang menganggap Flo pengkhianat melirik kejam padanya, tapi seperti Lintang, Flo juga tak peduli. Walaupun besar sekali kemungkinan tim kami dipermalukan oleh kecerdasan tim PN dalam lomba ini, tapi Flo tak ragu sedikit pun membela habis-habisan sekolahnya, sekolah kampung Muhammadiyah. Di antara pendukung kami ada Trapani dan ibunya, kedua anak beranak ini saling bergandengan tangan. Aku melihat pelajar-pelajar wanita berbisikbisik, tertawa cekikikan, dan terus-menerus meliriknya karena semakin remaja Trapani semakin tampan. Ia ramping, berkulit putih bersih, tinggi, berambut hitam lebat, di wajahnya mulai tumbuh kumis-kumis tipis, dan matanya seperti buah kenari muda: teduh, dingin, dan dalam. Sesungguhnya dalam seleksi tim yang akan mewakili sekolah kami Trapani telah terpilih. Skornya lebih tinggi dibanding skor Sahara namun nilai geografinya lebih rendah. Kekuatan tim kami adalah matematika, hitungan-hitungan IPA, biologi, dan bahasa Inggris yang semuanya tak diragukan ada di tangan Lintang. Aku agak baik pada bidangbidang kewarganegaraan, tarikh Islam, fikih, budi pekerti, dan sedikit bahasa Indonesia. Yang paling lemah dalam tim kami adalah geografi dan ahli geografi kami adalah Sahara, Maka demi kekuatan tim Trapani dengan lapang dada 270 Laskar Pelangi

memberi kesempatan pada Sahara untuk tampil. Trapani adalah pria muda yang amat tampan dan berjiwa besar. “Tabahkan hatimu, Ikal “ itulah nasihat Trapani pelan padaku. Sementara di meja mahoni yang megah itu Lintang diam seribu bahasa, kelelahan, selayaknya orang yang memikul seluruh beban pertaruhan nama baik. Aku tak henti-henti berkipas, bukan kepanasan, tapi hatiku mendidih karena gentar. Tak pernah sekali pun sekolah kampung menang dalam lomba ini, bahkan untuk diundang saja sudah merupakan kehormatan besar. Lintang sudah membatu sejak subuh tadi. Di atas truk terbuka yang membawa kami ke ibu kota kabupaten in Tanjong Pandan, ia membisu seperti orang sakit gigi parah. Ia memandang jauh. Tak mampu kuartikan apa yang berkecamuk di dadanya. Ayah, Ibu, dan adik-adiknya juga ikut. Mereka, termasuk Lintang, baru pertama kali ini pergi ke Tanjong Pandan. Sahara duduk di tengah. Aku dan Lintang di samping kin dan kanannya. Ekspresi Lintang datar, ia tersandar lesu tanpa minat. Agaknya ia demikian minder, berkecil hati, dan malu berada di lingkungan yang sama sekali asing baginya. Ia hanya menatap Ayah, Ibu, dan adik-adiknya yang berpakaian amat sederhana, duduk saling merapatkan diri di pojok, tampak bingung dalam suasana yang hiruk pikuk. Aku mencoba berkonsentrasi tapi gagal. Lintang dan Sahara sudah tak bisa diharapkan. Kulihat tangan para peserta lain mulai meraba tombol di depan mereka, siap menyalak. Sahara kelihatan pucat, seperti orang bingung. Ia yang telah ditugasi dan dilatih khusus memencet tombol sedikit pun tak mampu mendekatkan jarinya ke benda bulat itu. Ia sudah pasrah atas kemungkinan kalah mutlak, Sahara mengalami demam panggung tingkat gawat. Sementara otakku tak bisa lagi dipakai untuk berpikir. Keributan yang terjadi ketika peserta lain mencoba-coba tombol dan mikrofon terdengar bagaikan teror bagi kami. Kami tak sedikit pun mencoba benda-benda itu. Kami sudah kalah sebelum bertanding. Para pendukung Muhammadiyah membaca kegentaran kami. Mereka 271 Laskar Pelangi

tampak prihatin. Suasana semakin tegang ketika ketua dewan Juri bangkit dan tempat duduknya, memperkenalkan diri, dan menyatakan lomba dimulai. Jantungku berdegup kencang, Sahara pucat pasi, dan Lintang tetap diam misterius, ia bahkan memalingkan wajah keluar melalui Jendela. Dan inilah detik-detik kebenaran itu. Pertanyaan ditujukan kepada semua peserta yang harus berlomba cepat memencet tombol agar dapat menjawab dan jika keliru akan kena denda. Aku tak berani melihat para penonton. Dan Bu Mus tak berani melihat wajah kami. Wajahnya dipalingkan ke lampu besar di tengah ruangan yang berjuntai Junta laksana raja gurita. Baginya ini adalah peristiwa terpenting selama lima belas tahun karier mengajarnya. Beliau benar-benar menginginkan kami menang dalam lomba ini, karena beliau tahu lomba ini sangat penting artinya bagi sekolah kampung seperti Muhammadiyah. Wajahnya kusut menanggung beban, mungkin beliau Juga telah bosan bertahun-tahun selalu diremehkan. Tak lama kemudian seorang wanita anggun yang bergaun Jas cantik berwarna merah muda berdiri. Beliau meminta penonton agar tenang karena beliau akan mengajukan pertanyaan. Suaranya indah, bertimbre berat, dan tegas seperti penyiar RRI. Wanita itu mendekatkan wajahnya pada mikrofon dan menegakkan lembaran kertas di depannya seperti orang akan membaca Pancasila. Detik-detik kebenaran yang hakiki dan mencemaskan tergelar di depan kami. Seluruh peserta memasang telinga baik-baik, siap menyambar tombol, dan siaga mendengar berondongan pertanyaan. Suasana mencekam Pertanyaan pertama bergema. “Ia seorang wanita Prancis, antara mitos dan realita .. Kring! Kriiiiiiiingggg! Kriiiiiiiiiiiiinnnggggg! Wanita anggun itu tersentak kaget karena pertanya-annya secara mendadak dipotong oleh suara sebuah tombol meraung-raung tak 272 Laskar Pelangi

sabar, Aku dan Sahara juga tenpenanjat tak alang kepalang karena baru saja sepotong lengan kasar dengan kecepatan kilat menyambar tombol di depan kami, tangan Lintang! “Regu F!” kata seorang pria anggota dewan Juri lainnya. Wajahnya seperti almarhum Benyamin S. Ia memakai jas dan dasi kupu-kupu. “Joan D’Arch, Loire Valley, France!” jawab Lintang membahana, tanpa berkedip, tanpa keraguan sedikit pun, dengan logat Prancis yang sengausenqau aduhai. “Seratusss!” Benyamin S. tadi membalas disambut tepuk tangan gemuruh para penonton. Kulihat bendera Muhammadiyah berkibar- kibar. “Pertanyaan kedua: Terjemahkan dalam kalimat integral dan hitung luas wilayah yang dibatasai oleh y = 2x dan x = S.” Lintang kembali menyambar tombol secepat kilat dan jawabannya serta-merta memecah ruangan. “Integral batas S dan 0, 2x minus x kali dx, hasilnya: dua belas koma lima!” Luar biasa! tanpa ada kesangsian, tanpa membuat catatan apa pun, kurang dan S detik, tanpa membuat kesalahan sedikit pun, dan nyaris tanpa berkedip. “Seratussssss!” lengking Benyamin S. Mendengar lengkingan Benyamin S. pendukung kami melonjak- lonjak seperti orang kesurupan. Suara mereka riuh rendah laksana kawanan kumbang kawin. Flo melompat-lompat sambil mengeluarkan jurus-jurus kick boxing. “Pertanyaan ketiga: Hitunglah luas dalam jarak integral 3 dan 0 untuk sebuah fungsi 6 plus 5x minus x pangkat 2 minus 4 x.” Lintang memejamkan matanya sebentar, ia tak membuat catatan apa pun, semua orang memandangnya dengan tegang, lalu kurang dan 7 detik kembali ia melolong. 273 Laskar Pelangi

“Tiga belas setengah!” Tak sebiji pun meleset, tak ada ketergesa gesaan, tak ada keraguan sedikit pun. “Seratusssss!” balas Benyamin S. sambil menggeleng-gelengkan kepalanya karena takjub melihat kecepatan daya pikir Lintang. Pendukung kami bersorak sorai histeris gegap gempita. Mereka mendesak maju karena perlombaan semakin seru. Ayah, Ibu, dan adik-adik Lintang berusaha berdiri dan bergabung dengan pendukung kami yang lain. Mereka tersenyum lebar dan kulihat ayah Lintang, pria cemara angin itu, wajahnya berseri-seri penuh kebanggaan pada anaknya, matanya yang kuning keruh berkaca- kaca. Sementara para peserta lain terpana dan berkecil hati. Lintang menjawab kontan, bahkan ketika mereka belum selesai menulis soal itu dalam kertas catatan yang disedia-kan panitia. Beberapa di antaranya membanting pensil tanpa ampun. Trapani yang kalem mengangguk-angguk pelan. Pak Hanfan bertepuk tangan girang sekali seperti anak kecil, wajahnya menoleh ke sana kemani. “Lihatlah murid-muridku, ini baru murid-muridku ...,“ itu mungkin makna ekspresi wajahnya. Bu Mus bergerak maju ke depan, wajah kusutnya telah sirna menjadi cerah. Sekarang beliau berani mengangkat wajah nya, matanya juga berkaca-kaca dan bibirnya bergumam, “Subhanallah, subhanallah .. . Ibu jas merah muda berupaya keras menenangkan penonton yang riuh dan berdecak-decak kagum, terutama menenangkan pendukung kami yang tak bisa menguasai diri. Beliau melanjutkan pertanyaan. “Selain menggunakan teknik radiocarbon untuk menentukan usia sebuah temuan arkeologi, para ahli juga....“ Kring! Kriiiiiiiingggg! Kembali Lintang mengamuk, dan ia menjawab Lantang. “Thermoluminescent dating! Penentuan usia melalui pelepasan energi sinar dalam suhu panas!” “Seratussss !“ 274 Laskar Pelangi

Berikutnya hanyalah kejadian yang persis sama dengan pertanyaan itu, Wanita cantik benjas merah muda itu tak pernah sempat menyelesaikan pertanyaannya. Lintang menyambar setiap soal tanpa memberikan kesempatan sekali pun pada peserta lain. Ratusan penonton terkagum-kagum. Warga Muhammadiyah di ruangan itu berjingkrak-jingkrak sambil saling memeluk pundak. Yang paling bahagia adalah Harun. Dia memang senang dengan keramaian. Aku melihatnya bertepuk-tangan tak henti-henti, berteriak-teriak memberi semangat, tapi wajahnya tak melihat ke arah kami, ia menoleh keluar jendela. Kiranya ia sedang memberi semangat kepada sekelompok anak perempuan yang sedang bermain kasti di halaman. Di tengah hiruk pikuk para penonton aku sempat mendengar jawaban-jawaban tangkas Lintang: “Vincent Van Gogh, men yasszonytanc, The Hunch back of Notredame, paradoks air, Edgar Alan Poe, medula spinalis, Dian Fossey, artropoda, 300 ribu kilometer per detik. Basedow, dactylorhiza moculata, ancyostoma duodenale, Stone Henge, Platyhelminthes, endoskeleton, Serebrum, Langerhans, fluoxetine hydrochloride, 8,5 menit cahaya, extremely low frequency, molekul chiral ....“ Ia tak terbendung, aku meninding melihat kecerdasan sahabatku i. Peserta lain terpesona dibuatnya. Mereka seperti terbius sebuah kharisma kuat kecerdasan murni dan seorang anak Melayu pedalaman miskin, murid sekolah kampung Muhammadiyah yang berambut keriting merah tak terawat dan tinggal di rumah kayu doyong beratap daun nun jauh terpencil di pesisir. Para peserta sekolah PN merasa geram karena tak kebagian satu pun jawaban. Maka mereka mencoba berspekulasi. Tujuannya bukan untuk menjawab tapi untuk menjegal Lintang. Mereka berusaha secara tidak rasional memencet tombol secepat mungkin. Sebuah tindakan tolol yang berakibat denda karena tak mampu menginterpnetasikan selunuh konteks pentanyaan. Sedangkan Lintang, seperti dulu pernah kucenitakan, anak ajaib kuli kopra ini, memiliki kemampuan yang mengagumkan untuk menebak isi kepala orang. 275 Laskar Pelangi

Dominasi Lintang membuat bebenapa penonton terusik egonya dan penasaran ingin menguji Einstein kecil ini maka insiden pun terjadi. Ketika itu juri menanyakan: “Terobosan pemahaman ilmiah terhadap konsep warna pada awal abad ke-16 memulai penelitian yang intens di bidang optik. Ketika itu banyak ilmuwan yang percaya bahwa campuran cahaya dan kegelapanlah yang menciptakan warna, sebuah pendapat yang rupanya keliru. Kekeliruan itu dibuktikan dengan memantulkan cahaya pada sekeping lensa cekung ..,.“ Kriiiiiing! Kriiiiing! Kring! Lintang menyalaknyalak. “Cincin Newton!’ “Seratussss!” Sekali lagi suporter kami bergemuruh jumpalitan, tapi tiba-tiba seseorang di antara penonton menyela, “Saudara ketua! Saudara ketua! Saudara ketua dewan juri! Saya kira pertanyaan dan jawaban itu keliru besar!” Seluruh hadirin sontak diam dan melihat ke arah seorang pemuda yang kecewa ini. Oh, Drs. Zulfikar, guru fisika teladan dan sekolah PN itu. Gawat! Urusan ini bisa runyam. Sekarang pandangan seluruh hadirin menghunjam ke arah guru muda yang otak cemenlangnya sudah kondang ke mana- mana. Untuk diajar privat olehnya bahkan harus antre. Ia harapan yang akan melanjutkan tradisi lama sekolah PN sebagai pemenang pertama lomba kecerdasan ini dan ia sudah mempersiapkan timnya demikian sempurna. Ia tak ingin dipermalukan dan ia tak pernah berurusan dengan sesuatu yang tidak terbaik. Sekarang apa yang akan ia perbuat? Aku dan Sahara waswas tapi Lintang tenang- tenang saja. Drs. itu angkat bicara dengan gaya akademisi tulen: “Percobaan dengan lensa cekung tidak ada kaitannya dengan bantahan terhadap teori awal yang meyakini bahwa warna dihasilkan oleh campuran cahaya dan kegelapan. Dan sebaliknya, pemahaman terhadap penciptaaan warna bukanlah persoalan optik, kecuali dewan juri ingin membantah Descartes atau Aristoteles. Soal optik dan spektrum warna adalah dua macam hal yang berbeda. Situasi ini ambigu, di sini kita menghadapi tiga kemungkinan, pertanyaan yang salah, jawaban yang keliru, atau kedua-duanya tak berdasar dalam arti tidak kon t e k s t u a I!” 276 Laskar Pelangi

Aduh...! Komentar ini sudah di luar daya jangkau akalku, asing, tinggi, dan jauh. ini sudah semacam debat mempertahankan tesis S2 di depan tiga orang profesor. Tapi tidakkah sedikit banyak kata-kata sang Drs. itu berbentuk U, kritis namun berputar-putar? Dan ia pintar sekali membimbangkan dewan juri dengan menyintir pendapat René Descartes, siapa yang berani membantah sinuhun ilmu zaman lawas itu? Mudah-mudahan Lintang punya argumentasi. Kalautidak kami akan habis di sini. Aku membatin dengan cemas tapi tak tahu akan berbuat apa. Pak Harfan bertelekan pinggang lalu menunduk dan Bu Mus merapatkan kedua tangannya di atas dadanya seperti orang berdoa, wajahnya prihatin ingin membela kami tapi beliau tak berdaya karena serangan Drs. Zulfikar memang sudah ter-lalu canggih. Bu Mus tampak tak tega melihat kami. Aku memandang Sahara dan ia cepat-cepat memalingkan muka, ia menoleh keluar jendela seolah tak mengenal kami. Wajahnya menunjukkan ekspresi bahwa saat itu ia sedang tidak duduk di situ. Para penonton dan dewan juri terlihat bingung atas bantahan yang supercerdas itu, Jangankan menjawab bahkan sebagian tak mengerti apa yang dipersoalkan. Tapi seseorang memang harus menyelamatkan situasi ini, maka ketua dewan juri bangkit dan tempat duduknya. Lintang masih tenang-tenang saja, ia tersenyum sedikit, santai sekali. ‘Tenima kasih atas bantahan yang hebat ini, apa yang harus saya katakan, bidang saya adalah pendidikan moral Pancasila ...,“ kata ketua dewan juri. Si Drs. bersungut-sungut, ia merasa di atas angin. Ekor matanya seolah mengumumkan kalau ia sudah khatam membaca buku Principle karya Isaac Newton, bahwa ia juga pelanggan jurnal-jurnal fisika internasional, bahwa ia kutu laboratonium yang kenyang pengalaman ekspenimen, bahkan seolah fisikawan Christiaan Huygens itu uwaknya. Pria ini adalah seorang fresh graduate yang sombong, ia memperlihatkan karakter manusia sok pintar yang baru tahu dunia. Bicaranya di awang-awang dengan gaya seperti Pak Habibie. Ia mengutip buku asing di sana sini tak keruan, menggunakan istilah- istilah aneh karena ingin mengesankan dirinya luar biasa, Tapi kali 277 Laskar Pelangi

ini, aku jamin dia akan menelan APC, pil pahit segala penyakit andalan orang kampung Belitong yang amat manjur. Karena merasa sudah menang dengan kritiknya guru muda itu meningkatkan sifat buruk dan sombong menjadi tak tahan pada godaan untuk meremehkan. “Atau barangkali anak-anak SMP Muhammadiyah ini atau dewan juri bisa menguraikan pendekatan optik Descartes untuk menjelaskan fenomena warna?” Keterlaluan! Seluruh hadirin tentu mengerti bahwa kalimat bernada menguji itu sesungguhnya tak perlu. Pak Zulfikar hanya ingin menghina sekaligus melumpuhkan mental kami dan dewan juri karena ia yakin bahwa kami tak mengerti apa pun mengenai Descartes. Dengan demikian ia dapat menganulir pertanyaan awal tadi sekaligus menjatuhkan martabat majelis ini. Yang menyakitkan adalah ia dengan jelas menekankan kata SMP Muhammediyah untuk megingatkan semua orang bahwa kami hanyalah sebuah sekolah kampung yang tak penting. Aku memang tak mengerti pendekatan optik tapi aku tahu sedikit sejarah penemuan fenomena warna. Aku tahu bahwa Descartes bekerja dengan prisma dan lembaran-lembaran kertas untuk menguji warna, bukan murni dengan manipulasi optik. Newton-Iah sesungguhnya sang guru besar optik. Pak Zulfikar jelas sok tahu dan dengan mulut besarnya ia mencoba menggertak semua orang melalui kesan seolah ia sangat memahami teori warna. Aku geram dan ingin membantah Drs. congkak ini tapi pengetahuanku terbatas. Tabiat Pak Zulfikar adalah persoalan kiasik di negeri ini, orang- orang pintar sering bicara meracau dengan istilah yang tak membumi dan teori-teori tingkat tinggi bukan untuk menemukan sebuah karya ilmiah tapi untuk membodohi orang-orang miskin. Sementara orang miskin diam terpuruk, tak menemukan kata-kata untuk membantah. Aku menatap Lintang, memohon bantuannya jika nanti aku angkat bicara melawan kezaliman Drs. itu. Aku sangat perlu dukungannya. Tapi bagaimana nanti kalauternyata aku yang keliru? Bagaimana kalau aku diserang balik bertubi-tubi? 278 Laskar Pelangi

Ah, risikonya terlalu tinggi, bisa-bisa aku dipermalukan. ini juga persoalan kiasik bagi orang yang memiliki pengetahuan setengah- setengah sepertiku. Maka dadaku berkecamuk antara ingin melawan dan ragu-ragu. Tapi aku sangat marah karena sekolahku dihina dan aku jengkel karena aku tahu bahwa Drs. itu membawa-bawa nama Descartes secara keliru dan tidak adil guna keuntungannya sendiri. Melihatku demikian gusar Lintang tersenyum kecil padaku. Sebuah senyum damai, Aku tahu, seperti biasa, ia dapat membaca pikiranku dengan benderang. Ia membalas tatapanku dengan lembut seakan mengatakan, “Sabar Dik, biar Abang bereskan persoalan ini ....“ Wajahnya tenang sekali. Aku dan Sahara ciut. Kami mengerut di ketiak kiri kanan pendekar ilmu pengetahuan yang sakti mandraguna andalan kami ini. Mendengar tantangan Pak Zulfikaryang tak bersahabat tadi bapak ketua dewan juri yang baik menarik napas panjang. Beliau menoleh ke arah para koleganya, anggota dewan juri. Semuanya menggeleng-gelengkan kepala. Lalu beliau mencoba menengahi dengan diplomatis dan sangat merendah. “Maafkan Bapak Guru Muda, atas nama dewan juri saya tenpaksa mengatakan bahwa pengetahuan kami agaknya belum sampai ke sana,” Kata-katanya demikian bersahaja. Kasihan bapak tua itu. Ia seorang guru senior yang rendah hati dan sangat disegani karena dedikasinya selama puluhan tahun di dunia pendidikan Belitong. Beliau tampak malu dan putus asa. Lalu beliau mengalihkan pandangan ke arah regu F, regu kami, Lintang tersenyum dan mengangguk kecil padanya. Tanpa diduga ketua dewan juri mengatakan, “Tapi mungkin anak Muhammadiyah yang cemenlang ini bisa membantu.” Suasana sunyi senyap dalam nuansa yang sangat tidak mengenakkan, dan semakin tidak enak karena sang Drs. kembali mengudara dengan komentar sengak tanpa perasaan. “Saya harapargumentasi mereka bisa setepat jawabannya tadi!” Semakin keterIaIuan Ia sengaja memprovokasi Lintang dan kali ini Lintang tenpancing, ia angkat bicara ‘Jika bantahan Bapak 279 Laskar Pelangi

mengenai pertanyaan yang tidak kontekstual dengan jawaban, mungkin saja bantahan semacam itu bisa diterima. Dewan juri menanyakan sesuatu yang jawabannya tertera di kertas yang dibacakan ibu pembaca soal, Saya yakin di sana tertulis cincin Newton dan kami menjawab cincin Newton, berarti kami berhak atas angka seratus. Maka kalaupun itu memang tidak kontekstual, itu hanya berarti dewan juri menanyakan sesuatu yang benar dengan cara keliru . .! Pak Zulfikar tak terima. ‘Dengan kata lain pertanyaan nomor itu gugur karena bisa saja peserta lain menduga arah jawaban yang keliru!” Lintang tak sabar. “Tidak ada yang keliru! Kecuali Bapak tidak memedulikan substansi dan ingin menggugurkan nilai kami karena persoalan remeh-temeh.” Pak Zulfikar tersinggung, ia menjadi marah, dan suasana berubah tegang. “Kalau begitu jelaskan pada saya substansinya! Karena bisa saja kalian mendapat nilai melalui kemampuan menebak-nebak jawaban secara untung-untungan tanpa memahami persoalan sesungguhnya!” Wah, ini sudah kurang ajar. Sahara menyeringai, setelah sekian lama menghilang ke alam lain kini ia kembali dalam penjelmaan seekor leopard, alisnya bertemu. Para penonton dan dewan juri tercengang, terlongong-longong dalam adu argumentasi ilmiah tingkat tinggi yang memanas. Mereka bahkan tak mampu memberi satu komentar pun, persoalan ini gelap bagi mereka. Tapi aku tersenyum senang karena aku tahu kali ini guru muda yang sok tahu ini akan kena batunya. Bantahannya yang terakhir itu adalah pelecehan. Lintang tersengat harga dirinya, wajahnya merah padam, sorot matanya tak lagi jenaka. Lintang, yang baru sekali ini menginjak Tanjong Pandan, berdiri dengan gagah berani menghadapi guru PN yang jebolan perguruan tinggi terkemuka itu, sembilan tahun sangat dekat dengan Lintang, baru kali ini aku melihatnya benar benar muntab, maka inilah cara orang jenius mengamuk: 280 Laskar Pelangi

“Substansinya adalah bahwa Newton terangterangan berhasil membuktikan kesalahan teoriteori warna yang dikemukakan Descartes dan Aristoteles! Bahkan yang pa-ling mutakhir ketika itu, Robert Hooke. Perlu dicatat bahwa Robert Hooke mengadopsi teori cahaya berdasarkan filosofi mekanis Descartes dan mereka semua, ketiga orang itu, menganggap warna memiliki spektrum yang terpisah. Melalui optik cekung yang kemudian melahirkan dalil cincin, Newton membuktikan bahwa warna memiliki spektrum yang kontinu dan spektrum warna sama sekali tidak dihasilkan oleh sifat- sifat kaca, ia semata-mata pro-duk dan sifat-sifat hakiki cahaya!” Drs. Zulfikar terperangah, penonton tersesat dalam teori fisika optik, sekadar mengangguk sedikit saja sudah tak sanggup. Dan aku girang tak alang kepalang, dugaanku terbukti! Rasanya aku ingin meloncat dan tempat duduk dan berdiri di atas meja mahoni mahal berusia ratusan tahun itu sambil berteriak kencang kepada seluruh hadirin: “Kalian tahu, ini Lintang Samudra Basara bin Syahbani Maulana Basara, orang pintar kawanku sebangku! Rasakan kalian semua!” Sekarang ekspresi Sahara seperti leopard yang sedang mencabik-cabik predator pesaing, ia mengaum, alisnya bertemu seperti sayap elang, dan Lintang masih belum puas. “Newton mengatakan, kecuali Bapak ingin nyangkal manuskrip ilmiah yang tak terbantahkan selama 500 tahun hasil karya ilmuwan yang disebut Michael Hart sebagai manusia paling hebat setelah Nabi Muhammad, bahwa tebal tipisnya partikel transparan menentukan warna yang ia pantulkan. Itulah persamaan ketebalan lapisan udara antara optik sebagai dasar dalil warna cincin. Semua itu hanya bisa diobservasi melalui optik, bagaimana Bapak bisa mengatakan perkara-perkara ini tidak saling berhubungan?” Sang Drs. terkulai lemas, wajahnya pucat pasi. Ia membenamkan pantatnya yang tepos di bantalan kursi seperti tulang belulangnya telah dipresto. Ia kehabisan kata-kata pintar, kacamata minusnya merosot layu di batang hidungnya yang bengkok. Ia paham bahwa berpolemik secara membabi buta dan berkomentar lebih jauh tentang sesuatu yang tak terlalu ia kuasai hanya akan memperlihatkan ketololannya sendiri di mata orang genius seperti Lintang. Maka ia mengibarkan saputangan putih, Lintang telah menghantamnya knock out. Ia dipaksa Lintang menelan pu APC yang pahit tanpa air minum dan pil manjur itu kini tersangkut di 281 Laskar Pelangi

tenggorokannya. Sekali lagi para pendukung kami berjingkrak- jingkrak histeris seperti doger monyet. Pak Harfan mengacungkan dua jempolnya tinggi-tinggi pada Lintang. “Bravo! Bravo!” teriaknya girang. Bu Mus yang berpakaian paling sederhana dibanding guru- guru lain mengangguk-angguk takzim. Ia terlihat sangat bangga pada murid-murid miskinnya, matanya berca-kaca dan dengan haru beliau berucap lirih, “Subhanallah s ubhanallah ....‘ Selanjutnya, mekanisme lomba menjadi monoton, yaitu ibu cantik membacakan pertanyaan yang tak selesai, suara kriiiiiing, teriakan jawaban Lintang, dan pekikan seratussss dan Benyamin S. Aku terpaku memandang Lintang, betapa aku menyayangi dan kagum setengah mati pa-da sahabatku in Dialah idolaku. Pikiranku melayang ke suatu hari bertahun-tahun yang lalu ketika sang bunga pilea ini membawa pensil dan buku yang keliru, ketika ia beringsut- ingsut naik sepeda besar 80 kilometer setiap hari untuk sekolah, ketika suatu hari ia menempuh jarak sejauh itu hanya untuk menyanyikan lagu Padamu Negeri. Dan ha-ri ini ia meraja di sini di majelis kecerdasan yang amat terhormat ini. Seperti Mahar, Lintang berhasil mengharumkan nama per-guruan Muhammadiyah. Kami adalah sedang tidak duduk di situ. sekolah kampung pertama yang menjuarai perlombaan ini, dan dengan sebuah kemenangan mutlak. Air yang menggenang seperti kaca di mata Bu Mus dan laki-laki cemara angin itu kini menjadi butirbutiran yang berlinang, air mata kemenangan yang mengobati harapan, pengorbanan, dan jerih payah. Hari ini aku belajar bahwa setiap orang, bagaimana pun terbatas keadaannya, berhak memiliki cita-cita, dan keinginan yang kuat untuk mencapai Cita-cita itu mampu menimbulkan prestasi-prestasi lain sebelum cita-cita sesungguhnya tercapai. Keinginan kuat itu juga memunculkan kemampuankemampuan besar yang tersembunyi dan keajaibankeajaiban di luar perkiraan. Siapa pun tak pernah membayangkan sekolah kampung Muhammadiyah yang melarat dapat mengalahkan raksasa-raksasa di meja mahoni itu, tapi keinginan yang kuat, yang kami pelajari dan petuah Pak Harfan sembilan tahun yang lalu di hari pertama kami masuk SD, agaknya 282 Laskar Pelangi

terbukti. Keinginan kuat itu telah mem-belokkan perkiraan siapa pun sebab kami tampil sebagai juara pertama tanpa banding. Maka barangkali keinginan kuat tak kalah penting dibanding cita-cita itu sendiri. Ketika Lintang mengangkat tinggi-tinggi trofi besar kemenangan, Harun bersuit-suit panjang seperti koboi memanggil pulang sapi- sapinya, dan di sana, di sebuah tempat duduk yang besar, ibu Frischa berkipas-kipas kegerahan, wajahnya menunjukkan sebuah ekspresi seolah saat itu dia sedang tidak duduk disitu. ********* 283 Laskar Pelangi

BAB 28 Societeit de Limpai MEREKA menyebut diri mereka Societeit de Limpai, sederhananya: Kelompok Limpai. Limpai adalah binatang legendaris jadi-jadian yang menakutkan dalam mitologi Belitong. Sebuah karakter fabel yang menarik karena beberapa cerita rakyat memberikan definisi yang berbeda bagi makhluk mitos itu. Orang orang pesisir menganggapnya sebagai semacam peri yang hidup di gunung-gunung. Di Belitong bagian tengah ia dipercaya berbentuk binatang besar berwarna putih seperti gajah atau mammoth, Sebaliknya di utara ia adalah angin yang jika marah akan menumbangkan pohon-pohon dan merebahkan batang- batang padi. Ada pula beberapa wilayah yang mengartikannya sebagai bogey yakni hantu hitam dan besar. Orang-orang muda semakin salah mengerti. Bagi mereka Limpai adalah urban legend maka ia bisa saja incubus yaitu setan yang menyaru sebagai pria tampan atau death omen yang dapat menyamar menjadi apa saja. Disebut salah mengerti karena sebenarnya akar cerita Limpai terkait dengan 284 Laskar Pelangi

ajaran kuno turun-temurun di Belitong agar masyarakat tidak semena-mena memperlakukan hutan dan sumber- sumber air. Ajaran itu mengandung tenaga sugestif ketakutan terhadap kualat karena hutan dan sumber-sumber air dijaga oleh hantu Limpai. Namun, dewasa ini sebagian besar orang melihat wujud Limpai tak lebih dan kabut yang melayanglayang di dalam kepala yang bodoh, tipis iman, senang bergunjing, dan kurang kerjaan, itulah Limpai. Societeit de Limpai merupakan organisasi rahasia bentukan orang-orang aneh dan aku adalah sekretaris organisasi yang unik ini. Societeit beroperasi diam-diam. Ia semacam organisasi tanpa bentuk. Tak diketahui kapan, di mana mereka biasa berkumpul, dan apa yang mereka bicarakan. Jika secara tak sengaja ada yang memergoki mereka, mereka segera mengalihkan pembicaraan, bahkan menganggap saling tak kenal satu sama lain. Tindak tanduknya demikian disamarkan bukan karena mereka mengusung sebuah misi yang amat berbahaya, anarkis, komunis, atau melawan hukum, tapi lebih karena mereka menghindarkan diri dan ejekan khalayak karena kekonyolannya. Sebab Societeit adalah kumpulan manusia tak berguna yang memiliki kecintaan berlebihan pada dunia klenik dan mistik. Para peminat klenik dalam masyarakat kami selalu jadi bahan tertawaan. Mereka tidak populer karena barangkali tidak seperti pada budaya lain di tanah air, orang-orang Melayu khususnya di Belitong memang tidak terlalu meminati dunia perdukunan. Maka Societeit de Limpai pada dasarnya tidak mendapat tempat di kampung kami. Namun bagi para anggota Societeit, organisasi mereka adalah organisasi yang sangat serius. Anggotanya hanya sembilan orang dan untuk menjadi anggota syaratnya berat bukan main. Anggota paling senior saat ini berusia 57 tahun, pensiunan syah bandar, dan yang termuda adalah dua orang remaja berusia 16 tahun. Enam orang lainnya adalah seorang petugas teller di BRI cabang pembantu, seorang Tionghoa tukang sepuh emas, seorang pengangguran, seorang pemain organ tunggal, seorang mahasiswa teknik elektro drop out yang membuka sebuah bengkel sepeda, dan Mujis, si tukang semprot nyamuk. Anehnya ketua kelompok ini justru yang termuda itu. Ialah bapak pendiri organisasi yang disegani anggotanya karena pengetahuannya yang luas tentang dunma 285 Laskar Pelangi

gelap, perahenan, serta koleksinya yang lengkap tentang cerita kabar angin atau cerita konon kabarnya. Ia tak lain tak bukan adalah Mahar yang fenomenal. Sedangkan anak remaja satunya tentu saja Flo. Adapun aku hanya seorang sekretaris dan pembantu umum, maka tidak dihitung sebagai anggota kehormatan. Aktivitas Societeit sangat padat. Mereka melakukan ekspedisi ke daerah-daerah angker, menyelidiki kejadian-kejadian mistik, berdiskusi dengan para spiritual di seantero Belitong, dan memetakan mitologi lokal, baik Folklor maupun urban legend dalam suatu mitografi yang menarik. Dalam banyak sisi dapat dianggap bahwa para anggota Societeit sesungguhnya adalah orang-orang pemberani yang sangat penasaran ingin membongkar rahasia fenomena ganjil dan memiliki skeptisisme yang tak mau dikompromikan. Jika belum melihat dan merasakan sendiri, mereka tak ‘kan percaya. Societeit dengan brilian telah mengadopsi sosok Limpai yang mistis sebagai metafora sehingga mereka bisa disebut orang-orang antusias, ilmuwan, orang gila, atau musyrikin tergantung sudut pandang setiap orang menilainya. Sama seperti perbedaan perspektif setiap orang dalam memaknai Limpai. Dalam pembuktiannya terhadap fenomena paranormal mereka sering menggunakan metode ilmiah sehingga mereka dapat juga disebut sebagai ilmuwan tentu saja ilmuwan dalam definisi mereka sendiri. Ke arah inilah Mahar telah berkembang, bukan ke arah pencapaian-pencapaian seni yang seharusnya menjadi rencana A baginya, dan dengan kehadiran Flo, kesia-siaan bakat itu semakin menjadi -jadi. Dalam menjalankan tugas sintingnya mereka melengkapi diri dengan perangkat elektronik, misalnya beragam alat perekam audio video, perangkat perangkat sensor, dan berbagai jenis teropong. Di bawah supervisi mahasiswa elektro yang drop out itu mereka merakit sendiri detektor medan elektro magnet yang dapat membaca gelombang area observasi dalam kisaran 2 sampai 7 miligauss karena mereka yakin aktivitas kaum lelembut berada dalam kisaran tersebut. Mereka juga menciptakan sensor frekuensi yang dapat mengenali frekuensi sangat rendah sampai di bawah 60 hertz karena menurut akal sesat mereka dalam frekuensi itulah kaum 286 Laskar Pelangi

setan alas sering berbicara. Selain semua elektronik yang canggih itu pada setiap ekspedisi mereka juga membekali diri dengan kemenyan, gaharu, jimat telur biawak, buntat, dan penangkal bala, serta seekor ayam kate kampung karena seekor ayam dianggap paling cepat tanggap kalau iblis mendekat. Mereka secara rutin berkelana. Suatu ketika mereka memasuki Hutan Genting Apit, tempat paling angker di Belitong. Hutan ini menyimpan ribuan cerita seram dan yang paling menonjol adalah fenomena ectoplasmic mist yakni kabut yang bercengkerama sendiri dan secara alamiah atau mungkin setaniah membentuk wujud- wujud tertentu seperti manusia, hewan, atau raksasa. Tak jarang bentuk-bentuk ini tertangkap kamera film biasa. Para pengendara yang melalui kawasan ini sangat disarankan untuk tidak melirik kaca spion karena hantu-hantu penghuni lembah ini biasa menumpang sebentar di jok belakang. Di lembah ini mereka memasang alat-alat elektronik tadi di cabang-cabang pohon untuk mendeteksi gerakan, suara, dan bentuk-bentuk tak biasa lalu menganalisisnya. Kemudian Genting Apit menjadi semacam laboratorium alam bagi Societeit. Tempat yang selalu dihindari orang mereka kunjungi seumpama orang piknik ke pantai saja. Tak ayal Societeit juga mendatangi kuburan kuburan keramat, bermalam di lokasi-lokasi yang terkenal keseramannya, mengumpulkan cerita-cerita takhayul, dan mencari benda-benda magis pusaka warisan antah berantah. Mereka diam di tempat yang ditinggalkan orang karena takut, mereka justru menunggu makhluk- makhluk halus yang membuat orang lain terbirit-birit. Semakin lama Societeit semakin bergairah dengan aktivitasnya meskipun di sisi lain masyarakat juga semakin mencemooh mereka. Mereka dianggap orang-orang aneh yang menghambur-hamburkan waktu untuk hal- hal tak bermanfaat. Tak semua kegiatan Societeit tak berguna. Adakalanya pendekatan ilmiah mereka malah mampu mematahkan mitos. Misalnya dalam kasus api anggun di atas sebatang pohon jemang besar. Telah puluhan tahun berlangsung para pengendara sering 287 Laskar Pelangi

ketakutan ketika melintasi sebuah tikungan menuju Manggar karena pada puncak sebuah pohon jemang besar persis di seberang tikungan itu sering tampak api berkobar-kobar, Jemang Hantu, demikian juluk-an tempat angker itu. Kejadian itu selalu tengah malam setelah turun hujan dan sudah menjadi cerita seram yang melegenda. Sulit untuk mengatakan bahwa para pengendara telah salah lihat apalagi berbohong karena di antara mereka yang telah menyaksikan pemandangan horor itu adalah Zaharudin bin Abu Bakar, ustad muda kampung kami yang pantang berdusta. Maka Societeit turun tangan melakukan semacam riset, Setelah sepanjang sore turun hujan malamnya mereka mengendap-endap di sekitar jemang angker tadi untuk melakukan pengamatan. Tak lama setelah lewat tengah malam mereka memang menyaksikan api berkobar-kobar di puncak pohon itu namun pada saat itu pula mengerti jawabannya. Mereka berhasil menghancurkan mitos angker pohon jemang yang telah puluhan tahun menciutkan nyali orang kampung. Letupan api itu sesungguhnya berasal dan kabel listrik tegangan tinggi yang korslet karena air hujan. Tiang kabel itu berjarak kira-kira 120 meter dan puncak pohon dan ketinggian keduanya sepadan sehingga jika dilihat dan jauh sebelum memasuki tikungan seolah- olah letupan korslet yang menimbulkan bunga-bunga api itu berkobar-kobar dan puncak pohon jemang. Jika tiba dan pengembaraan mistiknya, Mahar dan Flo selalu membawa cerita-cerita seru ke sekolah. Misalnya suatu hari mereka berkisah bahwa di tengah sebuah hutan yang gelap mereka menemukan kuburan dengan ukuran tambak hampir tiga kali enam meter dan jarak antara kedua misannya hampir lima meter, Karena orang Melayu selalu memasang misan di sekitar kepala dan ujung kaki maka dapat diperkirakan ukuran jasad yang terkubur di bawahnya adalah ukuran manusia yang luar biasa besar. Flo memulai kisah bahwa ia menemukan piring-piring dan tanah hat di sekitar kuburan dengan ukuran seperti dulang dan kondisinya 288 Laskar Pelangi

masih utuh. Ia juga menemukan berbagai jenis kendi yang tidak rusak dan terkubur dangkal. Flo dengan dingin saja memberi tahu kami bahwa ia tidur paling dekat dengan misan-misan itu dan tak sedikit pun merasa takut. Ia menceritakan sebuah pengalaman yang menderikan bulu kuduk seolah sebuah cerita lucu tentang baru saja meminumkan susu pada anakanak kucing persia di rumahnya. Ingin kukatakan padanya bahwa gerabah-gerabah arkeologi itu memang tidak rusak tapi yang rusak adalah otaknya. Sebaliknya versi Mahar jauh lebih menarik. Ia memberi penjelasan pengetahuan tentang hubungan beberapa kuburan purba bertambak super besar di Behitong dengan teori-teori para arkeolog terkenal seperti Barry Chamis atau Harold T. Wilkins yang percaya bahwa pada suatu masa yang lampau manusia-manusia raksasa pernah menjelajahi bumi. Ia membuat analogi yang menarik, logis, dan lengkap dengan analisis waktu tentang kuburan itu dengan hal ikhwal tengkorak manusia raksasa Pasnuta yang ditemukan di Omaha atau kerangka tak utuh manusia yang digali dan situs-situs kuburan purba di Dataran Tinggi Golan. Jika direkonstruksi kerangka-kerangka itu membentuk manusia setinggi hampir enam meter. Maka cerita Mahar selalu mengandung ilmu. Dia memang seorang eksentrik yang berdiri di area abu-abu antara imajinasi dan kenyataan, tapi tak diragukan bahwa ia cerdas, pemikirannya terstruktur dengan balk, dan pengetahuan dunia gaibnya amat luas. Mahar dan Flo duduk santai pada cabang rendah tilicium seperti para paderi tukang cerita dan sebuah kuil Sikh dan kami, para Laskar Pelangi, bersimpuh membentuk lingkaran, tercengang dengan mata berbinar-binar mendengar keajaiban-keajaiban petilasan mereka dalam dunia magis. Adapun orang lain dan kejauhan hanya akan melihat ikatan persahabatan Laskar Pelangi yang demikian indah. Pada kesempatan lain mereka bercerita tentang petualangan mencari sebuah gua purba tersembunyi yang belum pernah dijamah siapa pun. Gua itu konon berada di tengah rimba dan eksistensinya hanya berdasarkan mitos samar turun-temurun dan sebuah komunitas kecil terasing yang hidup seperti suku primitif di barat 289 Laskar Pelangi

daya Belitong. Mereka menyebutnya qua qambar. Tak tahu apa maksud nama itu dan bagi mereka gua itu adalah gua gaib yang tak ‘kan pernah ditemukan. Mendengar kisah itu Societeit berdiri tehinganya dan merasa tertantang. Ketika Societeit mendatangi komunitas yang hanya terdiri dan sebelas kepala keluarga dan mencari informasi tentang gua gambar, pawang suku di sana menertawakan mereka. “Ananda tak ‘kan menemukan gua itu, karena gua itu adalah gua siluman. Gua itu hanya akan menampakkan diri di malam hari yang paling gelap, itu pun hanya bisa dilihat oleh orang-orang gunung terpilih yang tak kita kenal.” Orang-orang gunung adalah cerita konon yang lain. Kami menyebutnya orang Tungkup. Mereka tinggal di gunung dan juga tak pernah dilihat orang kampung. “Selama tiga hari tiga malam kami berjalan kaki menembus rimba belantara liar untuk mencari gua itu. Pohon-pohon di sana sebesar pelukan empat orang dewasa dengan kanopi menjulang ke langit,” demikian cerita Mahar. “Saking lebatnya hutan itu sinar matahari tak mampu menembus permukaan tanah. Pohon-pohon berlumut, gelap dan lembap, penuh lintah, kelelawar, kadal, macan akar, luak, dan ular-ular besar,” sambung Flo meyakinkan. “Kami hampir putus asa, tapi beruntung, pengetahuan Mujis yang baik tentang kontur hutan akhirnya membimbing kami menuruni sebuah lembah curam di antara dua gunung dan di dasar lembah itu, pas menjelang magrib, kami menemukan sebuah g u a!” Kami ternganga-nganga, merapatkan lingkaran duduk, mendekati dua petualang sejati yang sangat hebat ini, tak sabar mendengar kelanjutan cerita. “Kami belum yakin apakah itu gua gambar seperti dimaksud komunitas kuno itu. Wilayah itu sangat sulit ditempuh. Mulut gua 290 Laskar Pelangi

sangat sempit dan ditutupi akar-akar mahoni raksasa, seperti jan-jan yang sengaja menyamarkan,” demikian kata Flo ekspresif. Ah, Flo yang cantik, ramping, atletis, dan berkulit putih seindah anggrek bulan, dikombinasikan dengan cerita petualangan mendebarkan penuh getaran marabahaya di tengah hutan rimba dan sebuah gua misteri, sungguh sebuah perpaduan yang mem-buat dirinya tampak semakin indah, mentalitas dan prinsip-prinsip hidup Flo yang tak biasa, telah menjadikan dirinya seorang wanita yang sangat memesona. “Ketika kami mendekat, kami terkejut karena beberapa ekor biawak dan musang yang garang berloncatan keluar dan gua.” Mahar dan Flo sambung menyambung. “Setelah menyiangi akar-akar itu akhirnya kami berhasil masuk ke dalam gua.” “Di dalamnya amat lebar dan memanjang, menjulur ke bawah seperti sumur yang landai, dingin, gelap, dan ada suara riak-riak air.” “Ternyata di tengah gua itu ada aliran air yang deras!” Cerita semakin seru, seperti cerita petualangan Indian Winnetou, kami duduk terpaku menyimak. “Kami mencoba menelusuri gua itu, bau amis kotoran kelelawar menyengat hidung dan membuat perut mual. Sarang laba-laba hitam besar menutupi celah-celah gua seperti tirai putih berjuntai- juntai. Laba-laba itu demikian besar sehingga cecak dan kelelawar tersangkut di jaringnya dan mengering karena darahnya telah diisap serangga maut itu. Lintah merayapi dinding gua, mengincar darah anak-anak kelelawar.” Mengerikan. “Rantai makanan di dalam gua adalah singkat, tidak se-perti subekosistem lain di luar!” Flo menambahi. “Kami terus merambah masuk sampai beratusratus meter tapi tak menemukan tanda-tanda gua itu akan berakhir.” “Gua itu seperti tak berujung ...,“ Mahar bercerita dengan penuh penghayatan sehingga kami merasa seperti berada di dalam gua 291 Laskar Pelangi

yang sangat mencekam itu. Kami merasakan udara dingin, kegelapan, ketakutan, dan seakan mendengar pekik keleawar dan percikan air di dalamnya. “Tapi suara aliran air tadi semakin lama semakin bergemuruh, kami perkirakan di depan kami ada jurang di bawah tanah yang amat berbahaya, maka kami memutus-kan untuk beristirahat.” Wajah Mahar serius, nyali kami ciut ketika menatap-nya, dan dia melanjutkan cerita seperti orang berbisik. “Kami agak merapat ke dinding gua untuk menyiapkan peralatan tidur, ketika aku menaikkan lampu aki untuk mendapat bentangan cahaya yang lebih besar, aku terkejut melihat bayangan goresan- goresan berpola yang samar di dinding licin itu,..,” Menegangkan sekali. Kami semakin merapat, Sahara menggigit jarinya, A Kiong berkali-kali menarik napas panjang, Samson tak berkedip, Lintang menyimak penuh perhatian, Syahdan ketakutan, Trapani memeluk Harun. “Kami semua saling berpandangan lalu serentak menaikkan lampu, dan kami tersentak melihat sekeling kami.’ Aku menahan napas “Ternyata kami dikelilingi oleh ribuan goresan simbol-simbol purba atau huruf-huruf hieroglif primitif yang terhampar di dinding gua, menjalarjalar misterius sampai ke stalagmit dan stalagtit!” Rasanya aku mau meloncat dan tempat duduk, dan perut bawahku ngilu menahan kencing karena perasaan tegang yang meluap-luap. Kami terpana, bahkan tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Dadaku berdegup kencang. “Kemudian di langit - langit gua terdapat beberapa lukisan paleolitikum yang menggambarkan orang-orang yang tak berpakaian sedang memakan mentah-mentah seekor burung besar yang mirip kalong.” “Sebuah gua antediluvium dengan seni lukis gua yang memukau!” sambung Flo. Sekarang kami mengerti mengapa komunitas terasing tadi 292 Laskar Pelangi

menyebut gua itu gua gambar. “Ada lukisan kucing pohon, tombak kayu, ular tanah, bulan, dan bintang-bintang.” “Kami memutuskan untuk tidur di bagian itu ...,“ kata Mahar pelan. Raut wajahnya memperlihatkan bahwa ia masih memiliki sebuah kejutan lain yang tak kalah misteriusnya. Maka dada kami tak reda berdegup. “Aku tak bisa tidur sepanjang malam. Ketika semua anggota Societeit terlelap karena kelelahan aku melamun dan memerhatikan dengan saksama simbol-simbol yang berserakan tak teratur meme nuhi dinding dan langit-langit gua.” Kami terpaku, pasti akan terjadi sesuatu yang ajaib. “Lalu aku merasa simbol-simbol itu seperti diam-diam terangkai sendiri dan membisikkan sesuatu ke telingaku. ..“ Oh, jantungku berdebar-debar. “Tapi semuanya tak jelas, hingga aku merasa Ielah dan memejamkan mata.” Kami menunggu kejutan besar itu. “Namun tak lama kemudian, antara tidur dan terjaga, aku mendengar suara gemerisik seperti jutaan semut mendekatiku, dan agaknya ribuan simbol-simbol samar itu menjadi hidup lalu memberiku semacam mimpi, semacam wangsit, semacam gambaran masa depan ... semua ini tak pernah kuceritakan pada siapa pun!” Kami semakin merapat, sangat penasaran. “Apakah wangsit itu saudaraku Mahar??!!’ A Kiong berteriak tak sabar menunggu terkuaknya sebuah misteri besar. Ia sedikit merayu. Suaranya tercekat dan bergetar. Bahkan Flo tampak tegang. Rupanya ia sendiri belum pernah mendengar wangsit ini. Mahar menarik napas panjang sekali, agaknya ia merasa berat membocorkan kisah ini. “Begini ...,“ katanya serius, “Mimpi itu memperlihatkan bahwa sebuah kekuatan besar di Pulau Belitong akan segera runtuh, Orang-orang Melayu Belitong 293 Laskar Pelangi

akan jatuh melarat dan kembali berperikehidupan seperti zaman purba dulu, yaitu bernafkah secara bersahaja dan hasilhasil laut dan hutan. Sebaliknya, dunia luar akan maju demikian pesat. Penggunaan kompu-ter akan merasuki seluruh segi kehidupan. Penggunaan komputer yang merajalela itu menyebabkan praktikpraktik akuntansi tak lama lagi akan punah....“ ********* 294 Laskar Pelangi

BAB 29 Pulau Lanun SEPERTI layaknya sesuatu yang sederhana, maka tragedi atau drama semacam opera sabun tak pernah terjadi di sekolah Muhammadiyah. Sekolah itu demikian teduh dalam kiprahnya, tenang dalam kesahajaannya, bermartabat dalam kesederhanaan- nya, dan tenteram dalam kemiskinannya. Namun kali ini berbeda, mendung tebal bergelayut rendah siap menumpahkan murka di atap sekolah itu karena dua warganya semakin lama semakin tidak waras sehingga kelangsungan pendidikan keduanya terancam. Lebih dan itu tingkah laku keduanya merongrong reputasi sekolah Muhammadiyah yang ketat menjaga nilai-nilai moral Islami. Dan tak tanggung-tanggung, rongrongan itu berupa pelanggaran paling berat dalam konteks moral itu sendiri yakni: kemusyrikan Kedua makhluk dramatis itu tentu saja sudah sangat dikenal: Mahar dan Flo. Seiring dengan euforia organisasi rahasia Societeit yang mereka inisiasi, nilai-nilai ulangan Mahar dan Flo persis penerjun yang terjun dengan parasut cadangan yang tak mengembang terjun 295 Laskar Pelangi

bebas. Rapor terakhir mereka memperlihatkan deretan angka merah seperti punggung dikerok. Umumnya angka-angka biru hanya untuk mata pelajaran pembinaan kecakapan khusus, yaitu kejuruan agraria, kejuruan teknik, ketatalaksanaan, dan bahasa Indonesia, itu pun hanya untuk bidang bercakap-cakap dan mengarang. Nilai Flo adalah yang paling parah. Matematika, bahasa Inggris, dan IPA hanya mendapat angka 2. Meskipun bapaknya telah menyumbang papan tulis baru, lonceng, jam dinding, dan pompa air untuk Muhammadiyah namun Bu Mus tak peduli, beliau tak sedikit pun sungkan menganugerahkan angka-angka bebek berenang itu di rapor Flo karena memang itulah nilai anak Gedong itu. Mahar dan Flo berada dalam situasi kritis dan sangat mungkin dilungsurkan ke kelas bawah karena tidak bisa mengikuti Ebtanas. Surat peringatan telah mereka terima tiga kali. Menanggapi masalah gawat ini diam-diam Bapak Flo melakukan konspirasi dengan Bu Frischa untuk menghasut Flo agar kembali ke sekolah PN. Lagi pula di sekolah PN Bu Frischa telah menjamin nilai yang tak memalukan di rapor Flo. Untuk keperluan penghasutan itu Bu Frischa mengutus seorang guru pria muda yang flamboyan di se- kolah PN agar dapat mendekati Flo, Sore itu kami sekelas baru saja pulang menonton pertandingan sepak bola dan melewati pasar. Bu Frischa dan guru flamboyan tadi sedang berbelanja. Flo yang mengenakan celana dan jaket jin belel mendekati Bu Frischa seperti gaya berjalan koboi yang akan duel tembak. “Nama saya Flo, Floriana,” kata Flo sambil berusaha menyalami Bu Frischa. Pria flamboyan itu mengangguk santun dan melemparkan senyum termanisnya untuk Flo. “Tolong bilang pada pria tengik ini, saya tak ‘kan pernah meninggalkan Bu Muslimah dan sekolah Muhammadiyah ....“ Flo berlalu begitu saja, Bu Frischa dan sang pria flamboyan terpana, dan ide untuk menghasutnya tak pernah terdengar lagi. ********* Laskar Pelangi 296

Nilai-nilai rapor Mahar dan Flo hancur karena agaknya mereka sulit berkonsentrasi sebab terikat pada komitmen-komitmen kegiatan organisasi, dan lebih dan itu, karena mereka semakin tergila-gila dengan mistik. Hari demi hari pendidikan mereka semakin memprihatinkan. Tapi bukan Mahar dan Flo namanya kalautidak kreatif. Mereka sadar bahwa mereka menghadapi tradeoff, dua sisi yang harus saling menyisihkan, memilih sekolah atau memilih kegiatan organisasi paranormal. Sekolah sangat penting namun godaan untuk berkelana menyibak misteri gaib sungguh tak tertahankan. Mereka tidak ingin meninggalkan keduanya. Lalu tak tahu siapa yang memulai tiba-tiba mereka muncul dengan satu gagasan yang paling absurd. Karena tak ingin kehilangan sekolah dan tak ingin meninggalkan hobi klenik maka mereka berusaha menggabungkan keduanya. Mahar dan Flo akan mencari jalan keluar mengatasi kemerosotan nilai sekolah melalui cara yang mereka paling mereka kuasai, yaitu melalui jalan pintas dunia gaib perdukunan. Sebuah cara tidak masuk akal yang unik, lucu, dan mengandung mara bahaya. Mahar dan Flo sangat yakin bahwa kekuatan supranatural dapat memberi mereka solusi gaib atas nilai-nilai yang anjlok di sekolah. Dan mereka tahu seorang sakti mandraguna yang dapat membantu mereka dan kesaktiannya telah mereka buktikan sendiri melalui pengalaman pribadi. Orang sakti ini secara ajaib telah menunjukkan jalan untuk menemukan Flo ketika ia raib ditelan hutan Gunung Selumar tempo hari. Orang supersakti itu tentu saja Tuk Bayan Tula. Menurut anggapan mereka masalah sekolah ini hanyalah masalah kecil seujung kuku yang tak ada artinya bagi raja dukun itu. Mereka percaya manusia setengah peri itu bisa dengan mudah membalikkan angka enam menjadi sembilan, empat menjadi delapan, dan merah menjadi biru. Setelah menemukan rencana solusi yang sangat andal itu Mahar dan Flo tertawa girang sekali sampai meloncat-loncat. Flo menunjukkan kekagumannya pada kneativitas Mahar dalam memecahkan masalah mereka. Mendunq yang menghiasi wajah 297 Laskar Pelangi

mereka setiap kali dimarahi Bu Mus kini sirna sudah. Di dalam kelas mereka tampak sumringah walaupun tidak sedikit pun belajar. Seluruh anggota Societeit menyambut antusias ide ketuanya untuk mengunjungi Tuk Bayan Tula. Para anggota ini sebenarnya telah lama mengidamkan pertemuan dengan Tuk, idola mereka itu, namun niat itu terpendam karena mereka takut mengungkapkannya, bahkan membayangkannya saja mereka tak berani. Apalagi tersiar kabar bahwa Tuk tak menerima semua orang. Hanya nasib yang menentukan apakah Tuk berkenan atau tidak. Dan tragisnya, jika Tuk tak berkenan biasanya yang mengunjunginya tak pernah kembali pulang. Ketika Mahan beninisiatif ke sana para anggota menyambut usulan yang memang telah mereka tunggu-tunggu. Meneka siap menerima risiko asal dapat melihat wajah Tuk walau hanya sekali saja. Kunjungan ke Pulau Lanun untuk menjumpai Tuk merupakan ekspedisi paling penting dan puncak seluruh aktivitas paranormal Societeit. Mereka mempersiapkan diri dengan teliti dan mengerahkan seluruh sumber daya karena perjalanan ke Pulau Lanun tak mudah dan biayanya sangat mahal. Mereka harus menyewa perahu dengan kemampuan paling tidak 40 PK, jika tidak maka akan memakan waktu sangat lama dan tak ‘kan kuat melawan ombak yang terkenal besar di sana. Kemudian mereka harus menyewa seorang nakhoda yang berpengalaman dan suku orangorang berkerudung. Karena ia berpengalaman dan tak mau mati konyol sebab ia tahu reputasi Tuk maka harga jasa nakhoda ini juga sangat mahal. Akibatnya Mahar rela menggadaikan sepeda warisan kakeknya, Flo menjual kalung, cincin, gelang, dan merelakan tabungan uang saku selama dua bulan yang ada dalam tas rajutannya. Mujis melego hartanya yang paling berharga, yaitu sebuah radio transistor dua band merk Philip, si peng-angguran menggaruk-garuk sampah untuk tambahan ongkos, sang mahasiswa drop out meminjam uang pada bapaknya, dan si pemain organ tunggal menggadaikan elec-tone Yamaha PSR sumber nafkahnya. 298 Laskar Pelangi

Adapun orang Tionghoa yang menjadi tukang sepuh emas memecahkan celengan ayam jago disaksikan tangisan anak- anaknya, si petugas teller BRI kerja lembur sampai tengah malam, sang pensiunan syah bandar menggadaikan lemari kaca yang digotong empat orang dan menimbulkan keributan besar dengan istrinya, sementara aku sendiri merelakan koleksi uang kunoku dibeli murah oleh Tuan Pos. Kami berdebar-debar menunggu hari H dan ketika uang patungan digelar di atas meja gaple, terkumpul uang sebanyak Rp 1,5 juta! Luar biasa. Uang yang sebagian besar logam itu bergemerincingan bertumpuk-tumpuk. Aku gemetar karena seumur hidupku tak pernah melihat uang sebanyak itu, apalagi karena sebagai sekretaris Societeit aku harus menyimpannya. Aku genggam uang itu dan terkesiap pada perasaan menjadi orang kaya. Ternyata jika kita telah menjadi orang miskin sejak dalam kandungan, perasaan itu sedikit menakutkan. Kami bersorak karena inilah dana terbesar yang berhasil kami kumpulkan. Aku menyimpan uang itu di dalam saku dan terus-menerus memegangnya. Tiba-tiba semua orang tampak seperti pencuri. Kadang-kadang uang memang punya pengaruh yang jahat. Setelah mendapatkan perahu dan bernegosiasi alot dengan nakhoda akhirnya pas tengah hari kami berangkat. Pada awalnya perjalanan cukup lancar, ikan lumba-lumba berkejaran dengan haluan perahu, cuaca cerah, angin bertiup sepoi- sepoi, dan semua penumpang bersukacita. Namun, menjelang sore angin bertiup sangat kencang. Perahu mulai terbanting-banting tak tentu arah, meliuk-liuk mengikuti ombak yang tiba-tiba naik turun dengan kekuatan luar biasa. Dan ombak itu semakin lama semakin tinggi. Dalam waktu singkat keadaan tenang berubah menjadi horor. Semakin ke tengah laut perahu semakin tak terkendali. Sama sekali tak diduga sebelumnya ombak mendadak marah dan langit mulai mendung. Badai besar akan menghantam kami. Semua penumpang pucat pasi. Terlambat untuk kembali pulang, lagi pula perahu sudah tak bisa diarahkan, 299 Laskar Pelangi

Kadang-kadang sebuah gelombang yang dahsyat menghantam lambung perahu hingga terdengar suara seperti papan patah. Aku menyangka perahu kami pecah dan kami akan karam dan berserakan di laut lepas i. Gelombang itu mengangkat perahu setinggi empat meter kemudian menghempaskannya seolah tanpa beban. Kami terhunjam bersama ombak besar yang menimbulkan lautan buih putih meluap-luap mengerikan. Ombak sudah demikian ganas, sedangkan badai yang sesungguhnya belum tiba. Aku melihat wajah nakhoda yang sudah berpengalaman itu dan jelas sekali ia cemas, membuat kami menjadi semakin gamang. Nakhoda menunjuk jauh ke arah depan, di sana tampak sebuah pemandangan yang membuat kami merinding hebat, yaitu gumpalan awan gelap bergerak pasti menuju ke arah kami dengan kilatan-kilatan halilintar sam-bung menyambung di dalamnya. Badai besar akan segera datang menggulung kami. Nakhoda mencoba membalikkan arah perahu tapi mesin 40 PK itu tak berdaya dan jika menelusuri gelombang yang demikian tinggi nakhoda khawatir perahu akan tertelungkup. Maka tak ada pilihan baginya kecuali menyonsong awan yang gelap kelam itu. Kami tak berdaya seperti diombangambingkan oleh sebuah tangan raksasa dan tangan itu justru mengumpankan kami kepada badai. Dalam waktu singkat badai sudah tiba di atas kami dan angin puting beliung memboyakkan perahu tanpa ampun. Hujan sangat lebat dan suasana menjadi gelap. Sambaran- sambaran kilat yang sangat dekat dengan perahu menimbulkan pemandangan yang menciutkan nyali. Ketika pusaran angin menusuk permukaan laut, kira-kira dua puluh meter di samping kami, seluruh tubuhku gemetar melihat semburan air besar tumpah di atas perahu. Perahu berputar-putar di tempat seperti gasing. Kami terpeleset dan telentang di sepanjang geladak, berusaha saling memegangi agar tak tumpah dan perahu. Nakhoda bertindak cepat menurunkan layar yang koyak dihantam angin, menutup palka, menjauhkan benda-benda tajam, dan mematikan mesin. Lalu ia berteriak kencang memerintahkan kami agar mengikat tubuh masing-masing ke tiang layar. Kami melilit- lilitkan tali beberapa kali seputar lingkar pinggang dan 300 Laskar Pelangi

menyimpulkan ujungnya dengan simpul mati kemudian mengikatkan diri dengan cara yang sama ke tiang layar. Usaha ini dilakukan agar kami tak terpelanting ke laut. Kami segera sadar bahwa situasi telah menjadi gawat, nyawa kami berada di ujung tanduk. Begitu cepat alam berubah dan pelayaran yang damai beberapa waktu lalu hingga menjadi usaha mempertahankan hidup yang mencekam saat in Kami dibukakan Allah sebuah lembar kitab yang nyata bahwa kuasaNya demikian besar tak terbatas. Kami berkumpul membentuk iingkaran kecil mengelilingi tiang layar. Tangan kami bertumpuk-tumpuk berusaha menggengam tiang itu. Bahu kami saling bersentuhan satu sama lain. Kami seperti orang yang bersatu padu menjelang ajal. Hampir satu jam kami masih tak tentu arah. Aku melihat haluan perahu berpendar-pendar dan kepalaku pusing seolah akan pecah. Ketika kulihat Mujis menghamburkan muntah, perutku serasa diaduk-aduk dan dalam waktu singkat aku pun muntah. Pemandangan berikutnya adalah setiap orang di atas perahu menyemburkan seluruh isi perutnya, termasuk nakhoda kapal yang telah berpengalaman puluhan tahun. Aku mencapai tingkat puncak mabuk laut ketika tak ada lagi yang bisa dimuntahkan dan yang keluar hanya cairan bening yang pahit. Semua penumpang perahu mengalaminya. Kami sudah pasrah di atas perahu yang terangkat tinggi lalu terhempas dahsyat bak sepotong busa di atas samudra yang mengamuk. Inilah pengalaman terburuk dalam hidupku. Saat itu aku amat menyesal telah ikut campur dalam ekspedisi orang-orang gila Societeit untuk menemui seorang dukun yang bahkan tak peduli dengan hidupnya sendiri. Tak adil mempertaruhkan nyawa untuk orang yang tidak menghargai nyawa. Aku memandang permukaan laut yang biru gelap dengan kedalaman tak terbayangkan dan dunia asing di bawah sana. Aku merasa sangat ngeri jika tenggelam. Wajah nakhoda tak memperlihatkan harapan sedikit pun. Ia juga telah mengikatkan tubuhnya ke tiang layar. Ia terpekur menunduk dalam, tangannya yang kuat dan tua berurat-urat memegang kuat tiang layar, berebutan dengan tangan-tangan kami. Jika kami 301 Laskar Pelangi

tenggelam maka di dasar laut mayat kami akan melayang-layang di ujung simpul-simpul tali yang mengikat tubuh kami seperti surai- surai gurita. Sebagian besar penumpang mengalirkan air mata putus asa. Namun, Flo sama sekali tak menangis. Sebelah tangannya menggenggam tiang layar, bibirnya membiru, dan wajahnya menengadah menantang langit. Wanita itu tak pernah takluk pada apa pun. Tak ada tanda-tanda ombak akan reda, bahkan semakin menjadi-jadi. Tinggal menunggu waktu kami akan terbenam karam, Dan saat yang menakutkan itu datang ketika dari jauh kami melihat gelombang yang sangat tinggi, hampir tujuh meter. Inilah gelombang paling besar dalam badai ini Kami gemetar dan berteriak histeris. Dalam waktu beberapa detik hentakan gelombang dahsyat itu menerjang perahu dan mematahkan tiang layar yang sedang kami pegang. Tiang itu patah dua dan bagian yang patah meluncur deras menuju buritan membingkas tiga keping papan di lambung perahu sehingga kapal bocor dan air masuk berlimpahlimpah. Mujis, Mahar, dan orang Tionghoa yang berpegangan pada sisi belakang layar tertendang patahan tadi dan terpelanting ke geladak. Jika tak dihalangi tutup palka mereka sudah jadi santapan samudra. Mereka menjerit-jerit ketakutan, menimbulkan kepanikan yang mencekam. Aku berpikir inilah akhir hayatku, akhir hayat kami semua, laut ini akan segera memerah karena ikan-ikan hiu berpesta pora. Namun pada saat paling genting itu aku mendengar samar-samar suara orang berteriak. Rupanya syah bandar melepaskan pegangannya dan tiang layar dan mengumandangkan azan berulangulang. Kami masih terlonjak-lonjak dengan hebat dan air mulai menggenangi geladak tapi lonjakan perahu tiba-tiba reda. Anehnya segera setelah azan itu selesai perlahan-lahan gelombang turun, Gelombang laut yang meluap-luap berbuih mengerikan tiba-tiba surut seperti dihisap kembali oleh awan yang gelap. Kami terkesima pada perubahan yang drastis. Ombak ganas menjadi semakin jinak. Hanya dalam waktu beberapa menit angin berhenti bertiup seperti kipas angin yang dimatikan. Badai yang mencekam nyawa lenyap seketika seperti tak pernah terjadi apa-apa. Tak lama 302 Laskar Pelangi

kemudian seberkas sinar menyelinap di antara gumpalan awan hitam, mengintip-intip dan gumpalan-gumpalan kelam yang memudar, Meskipun kami tak tahu sedang berada di perairan mana namun kami bersyukur kepada Allah berulang-ulang, bahkan menangis haru. Setidaknya harapan muncul kembali. Lalu kami bergegas menimba air yang memenuhi perahu. Permukaan laut yang luas tak terbatas menjadi amat tenang seperti permukaan danau. Kami memandang jauh ke laut dan tak berkata-kata karena masih gentar pada bencana yang baru saja mengancam. Flo tersenyum puas. Ia telah membuktikan bahwa ketika maut tercekat di kerongkongannya ía tetap tak takut, Sebelum menemui Tuk Bayan Tula, ía telah mencapai salah satu tujuannya. Pengalaman seperti tadilah yang sesungguhnya ía can. Awan perlahan-lahan menjadi gelap, bukan karena akan badai tapi karena senja telah turun, Nakhoda berusaha mempenkirakan posisi kami. Ia membaca bulan dan bintang di atas langit yang cerah karena cahaya purnama hari kedua belas. Ia menghidupkan mesin dan perahu bengerak pelan menuju arah sesuai hempasan badai. Beranti badai tadi telah membuang kami jauh tapi ke arah yang memang kami tuju. Tak lama kemudian nakhoda kembali mematikan mesin. Beliau benjalan menuju haluan dan menyuruh kami diam. Pantulan sinar bulan berkilau-kilauan di permukaan laut lepas sejauh mata memandang. Perahu pelan-pelan menembus benteng kabut yang tebal. Sunyi senyap seperti suasana danau di tengah nimba. Ada penasaan senam diam-diam menyelinap. Nakhoda mengawasi jauh ke depan dengan mata tajamnya yang terlatih. Kami cemas mengantisipasi bahaya lain yang akan datang, mungkin perompak, munqkin binatang yang besar, atau mungkin badai lagi. Kami melihat bayangan hitam gelap di depan kami tapi sangat tak jelas karena tertutup halimun yang semakin tebal. Kami ketakutan. Tiba-tiba nakhoda menunjuk lurus ke depan dan mengatakan sesuatu dengan suaranya yang serak. 303 Laskar Pelangi

“Pulau Lanun!” Kami serentak bendini terperangah dan tepat ketika beliau selesai menyebutkan nama pulau itu terdenganlah lolongan segerombolan anjing melengking-lengking mendirikan bulu kuduk, seperti menyambut tamu tak diundang. Teronggok sepi seperti sebuah benda asing yang dikelilingi samudna, Pulau Lanun tampak kecil sekali. Ada puluhan pohon kelapa di sisi timurnya dan daun-daun kelapa itu berkilauan laksana lampu-lampu neon yang berkibar-kibar karena pantulan sinar purnama. Di tengah pulautumbuh pohon-pohon besar yang rindang di antara ilalang dan bongkahan-bongkahan batu. Lolongan anjing semakin panjang dan menjadi-jadi ketika perahu menyelusuri naungan dahan-dahan bakau, mendekati Pulau Lanun. Pada baqian ini cahaya bulan tak tembus dan terang hanya kami dapat dan lampu pelita kecil yang berayun-ayun di tiang layar. Di bawah naungan daun-daun bakau itu kami disergap perasaan takut yang sulit dijelaskan. Di dalam hati aku mencoba merekonstruksi perasaan yang dialami utusan pawang angin tempo hari dan sejauh ini semuanya tepat. Mereka mengatakan nuansa magis mulai terasa ketika perahu mendekati pulau, hal itu benar. Saat perahu merapat rasanya tengkuk ditiup-tiup oleh angin yang jahat dan mulut ribuan hantu tak kasatmata yang membuntuti kami. Ada sebuah pengaruh mistis dan udara kuburan. Ada rasa kemurtadan, pengkhianatan, dan pembangkangan pada Tuhan. Ada jerit kesakitan dan binatang yang dibantai untuk ritual sesat dan tercium bau amis darah, bau mayat- mayat lama yang sengaja tak dikubur, bau asap dupa untuk memanggil iblis, dan bau ancaman kematian. Kabut yang beterbangan agaknya makhluk suruhan gentayangan yang mengawasi setiap gerak-gerik kami. Bangkai-bangkai perahu perompak yang pemiliknya telah dipenggal Tuk Bayan Tula berserakan hitam dan hangus. Pakaian-pakaian lengkap manusia memperlihatkan mayat mereka tak pernah diurus sang datuk. Jika ia ingin menyembelih kami tak ada hukum yang akan membela kami di sini. Kami seperti menyerahkan leher memasuki sumur sarang makhluk jadi-jadian karena tak mampu mengekang nafsu ingin 304 Laskar Pelangi

tahu, Anjing-anjing yang melolong dalam kesenyapan malam tak tampak bentuknya. Kadang kala terdengar seperti bayi yang menangis atau nenek tua yang memohon ampun karena jilatan api neraka. Suara-suara ni mematahkan semangat dan menciutkan nyali. Sungguh besar sugesti Tuk Bayan Tula dan sungguh hebat pengaruh magis legendanya sehingga menciptakan kesan mencekam seperti in Saat itu kuakui bahwa beliau apa pun bentuknya memang orang yang berilmu sangat tinggi. Daya bius magis Tuk Bayan Tula menisbikan pengalaman bertaruh dengan maut ketika badai menghantam perahu kami beberapa waktu yang lalu. Seperti kharisma binatang buas yang membuat mangsanya tak berkutik sebelum diterkam, demikianlah kharisma Tuk Bayan Tula. Walaupun sinar purnama kedua belas terang tapi semuanya tampak kelam. Kami berjalan pelan beriringan menuju kelompok pohon-pohon rindang dan batu-batu tadi. Di situlah Tuk Bayan Tula, orang tersakti dan yang paling sakti, raja semua dukun, dan manusia setengah pen tinggal. Kami gemetar namun tampak jelas setiapanggota Societeit telah menunggu momen ini sepanjang hidupnya. Tiba-tiba, seperti dikomando, suara lolongan anjing berhenti, diganti oleh kesenyapan yang mengikat. Burung-burung gagak berkaok-kaok nyaring di puncak pohon bakau yang tumbuh subur sampai naik ke daratan. Suasana semakin seram ketika kami menerabas ilalang dan menjumpai beberapa punsuk menyembul-nyembul seperti iblis bersembuyi di celah-celah perdu tebal. Punsuk adalah istilah orang Kek untuk menyebut gundukan tanah seperti makam-makam kuno. Punsuk selalu identik dengan rumah berbagai makhluk halus, lebih dan itu karena ia kelihatan seperti kuburan-kuburan Belanda, maka padang kecil ini terkesan sangat angker. Akhirnya, kami tiba di sebuah rongga yang disebut gua oleh utusan dulu, Gua itu adalah celah antara dua batu be-sar yang bersanding tidak simetris. Itulah rumah Tuk Bayan Tula. Kengerian 305 Laskar Pelangi

semakin mencekam tapi apa pun yang terjadi semuanya telah terlambat karena kami melihat se-belas pelepah pinang tergelar di mulut rongga batu. Kami menjual dan datuk telah membeli. Kami telah disambut dan harus siap dengan risiko apa pun. Kami tak langsung duduk karena dilanda ketakutan apa-lagi di dalam gua terlihat kain tipis berkelebat lalu pelan-pelan seperti asap yang mengepul dan tumpukan kayu basah yang dibakar muncul sebuah sosok tinggi besar. Dengan mata kepalaku sendiri aku menyaksikan bahwa sosok itu tidak menginjak bumi. Ia seperti mengambang di udara, bergerak maju mundur seumpama benda tak berbobot. Belum pernah seumur hidupku menyaksikan pemandangan seajaib itu. Dialah sang orang sakti, manusia setengah pen, Tuk Bayan Tula. Tanpa sempat kami berpikir tiba-tiba sosok itu melesat seperti angin dan telah berdiri tegap kukuh di depan kami. Kami terperanjat, serentak terjajar mundun, dan nyaris Lari pontang- panting. Tapi kami menguatkan hati. Tuk Bayan Tula benada dua meter dan kami yang takzim mengelilinginya. Beliau adalah seseorang yang sungguh-sungguh mencitnakan dirinya sebagai orang sakti benilmu setinggi langit. Kain hitam melilit-lilit tubuhnya, parang panjangnya masih sama dengan cenita utusan dulu, rambut, kumis, dan jenggotnya lebat tak tenunus, benwanna putih bercampur cokelat. Tulang pipinya sangat keras mengisyanatkan ia mampu melakukan kekejaman yang tak tenbayangkan dan dan alisnya mencerminkan ia tak takut pada apa pun bah-kan pada Tuhan. Namun, yang paling menonjol adalah matanya yang benkilat-kilat seperti mata burung, selunuhnya berwarna hitam, Sedikit banyak, apa pun yang akan terjadi, aku merasa beruntung pernah melihat legenda hidup ini. Tuk Bayan diam mematung. Selunuh anggota Societeit memandanginya. Bertarung nyawa ke pulau ini agaknya tenbayan karena telah melihat tokoh panutan mereka. Tak sedikit pun kenamahan ditunjukkan Tuk. Lalu beliau duduk dan kami juga duduk di sebelas pelepah pinang yang secara misterius telah beliau sediakan. Mahar tampak sangat terpesona dengan sang datuk, baginya ini mimpi yang menjadi kenyataan. Tapi ia masih tak berani mendekat karena takut. Maka Flo bangkit menghampiri Mahar, 306 Laskar Pelangi

menarik tangannya, dan wanita muda luar biasa itu tanpa tedeng aling-aling menyeret Mahar menghadap datuk. Selanjutnya dengan amat berhati-hati Mahar berbisik pada sang datuk. Tuk memandang jauh ke samudra yang berkilauan tak peduli meskipun Mahar menceritakan bahaya maut yang kami alami untuk menjumpainya. Suara Mahar terdengar sayup-sayup “... ombak setinggi tujuh meter ....“ “... badai ... angin puting beliung ... tiang Iayar patah ... azan ....“ Tuk Bayan Tula mendengarkan tanpa minat. Mahar melanjutkan kisahnya hingga sampai kepada tujuan utama kedatangannya. “... saya dan Flo akan diusir dan sekolah ....° “... sudah mendapat surat peringatan karena nilai-ni-lai yang merah . “... minta tolong agar kami bisa lulus ujian ....“ “... minta tolong Datuk, tak ada lagi harapan lain . .. “... dimarahi orangtua dan guru setiap hari .. . Kami diam seribu basa dan terus-menerus memandangi Tuk dan ujung kaki sampai ujung rambut. Tiba-tiba tak dinyana, Datuk memalingkan wajahnya pada Mahar dan Flo. Kedua anak nakal itu pucat pasi. Tuk memegang pundak Mahar sambil mengangguk-angguk. Mahar berseri-seri bukan main seperti korban longsor dicium presiden. Para anggota Societeit tampak bangga ketuanya disentuh dukun sakti pujaan hati mereka. Mahar mengerti apa yang harus dilakukan. Ia mengeluarkan sepucuk surat dan sebuah pena lalu menyerahkannya dengan penuh hormat pada Tuk. Datuk itu mengambilnya dan dengan kecepatan yang tak masuk akal beliau kembali masuk ke dalam gua. Selanjutnya terjadi sesuatu yang sangat aneh, Dan dalam gua terdengar suara keras bantinganbantingan seperti sepuluh orang 307 Laskar Pelangi

sedang berkelahi. Kami terlonjak dan tempat duduk, berkumpul rapat-rapat, mamandang waspada ke dalam gua. Kami mendengar suara auman seekor binatang buas bersuara menakutkan yang belum pernah kami dengar sebelumnya. Jelas sekali di dalam sana Tuk Bayan Tula sedang bertarung habis-habisan dengan makhlukmakhluk besar yang ganas. Rupanya untuk memenuhi permintaan Mahar beliau harus mengalahkan ribuan hantu. Seberkas penyesalan tampak di wajah Mahar. Ia tak sanggup menanggungkan beban jika tokoh kesayangannya harus tewas karena permohonannya. Debu mengepul dan pasir Iantai gua karena makhluk-makhluk liar bergumul di dalamnya. Kami bergidik cemas tapi tak berani mendekat. Kami menunduk memejamkan mata membayangkan risiko maut. Lalu piring kaleng, panci, tulang-tulang ikan, tempurung kelapa, tungku, cangkir, cambuk, parang, dan sendok terlempar keluar gua dan ber-serakan di dekat kami. Di antara benda-benda itu terdapat primbon, penanggalan tradisional Bali, peta laut, dan heberapa kitab lama bertulisan tangan bahasa Melayu kuno dan Kek. Pertempuran demikian seru hingga akhirnya terdengar jeritan kekalahan. Lalu kami melihat puluhan sosok bayangan lelembut berbentuk seperti jasad terbungkus kain kafan hitam beterbangan melesat cepat keluar dan dalam gua menembus pucuk-pucuk pohon santigi menghilang ke arah laut. Anjing-anjing hutan kembali melolong agaknya lolongan anjing-anjing itu memaki-maki gerombolan hantu yang telah dikalahkan Tuk Bayan Tula. Tuk Bayan Tula kembali hadir di mulut gua dalam keadaan terengah-engah, compang-camping, dan berantakan. Aku sangat prihatin melihat orang sakti sampai terseok-seok seperti itu. Demi memenuhi permintaan Mahar dan Flo agar tak diusir dan sekolah beliau telah mempertaruhkan jiwa. Tuk mengangkat gulungan kertas pesannya tinggi-tinggi seakan mengatakan, ‘Lihatlah wahai manusia-manusia cacing tak berguna, siapa pun, kasat atau siluman tak ‘kan sanggup melawanku. Aku telah membinasakan iblis-iblis dan dasar neraka untuk membuat 308 Laskar Pelangi

keajaiban yang membalikkan hukum alam. Nilai-nilai ujianmu akan melingkar sendiri dalam kegelapan untuk menyelamatkanmu di sekolah tua itu. Terimalah hadiahmu, karena engkau anak muda pemberani yang telah menantang maut untuk menemuiku ....“ Tuk menyerahkan gulungan kertas itu yang disambut Mahar dengan kedua tangannya seperti gelandangan yang hampir mati kelaparan menerima sedekah. Mahar memasukkan gulungan kertas ke dalam tempat bekas bola badminton dengan amat hati-hati dan menutupnya rapat-rapat seperti arsitek menyimpan cetak biru bangunan rahasia tempat menyiksa aktivis. Kotak itu dimasukkannya ke dalam jaketnya. Tuk memberi isyarat agar kertas itu dibuka setelah kami tiba di rumah dan menunjuk ke perahu agar kami segera angkat kaki. Tak sempat kami mengucapkan terima kasih, secepat kilat, seperti angin Tuk Bayan Tula lenyap dan pandangan, sirna ditelan gelap dan asap dupa gua persemayamannya. Kami Lari tenbirit-birit menuju perahu. Nakhoda segera menghidupkan mesin. Kami langsung kabur pulang. Mahar memegangi kotak bola badminton di jaketnya tak lepas-lepas. Wajahnya senang bukan main. Flo juga tersenyum lega. Kentas itulah sertifikat asuransi pendidikan mereka. Kami semua sepakat akan membuka surat itu besok se-pulang sekolah di bawah flhcium. Tengah hari itu banyak orang berkumpul di bawah pohon filicium. Selunuh teman sekelasku, seluruh anggota Societeit termasuk nakhoda yang juga menyatakan minat mendaftar sebagai anggota baru, dan para utusan tendahulu yaitu dua orang dukun, kepala suku Sawang, dan seorang polisi senior. Karena berita kami mengunjungi Tuk Bayan Tula telah tersebar ke seantero kampung maka dalam waktu singkat reputasi Societeit melejit. Semua orang tahu betapa besarnya risiko mengunjungi Pulau Lanun, yaitu ombak yang ganas, ikan-ikan hiu, dan kekejaman Tuk Bayan Tula sendiri. Maka dalam pembukaan pesan Tuk siang ini banyak sekali yang hadir. Kulihat ada Tuan Pos, para calon anggota baru Societeit yang bersemangat karena reputasi baru organisasi, beberapa penjaga dan pemilik warung kopi, beberapa orang tukang gosip, tukang ikan, juraganjuragan perahu, dan beberapa penggemar para norma’ tingkat pemula. 309 Laskar Pelangi

Setelah seluruh guru pulang Mahar dan Flo keluar dan kelas dengan wajah berseri-seri. Langkahnya ringan karena beban hancurnya nilainilai ulangan yang telah sekian lame menggelayut di pundak mereka akan segera sirna. Mereka yakin sekali pesan Tuk akan menyelamatkan masa depannya. Parapsikologi, metafisika, dan paranormal terbukti bisa memasuki area mana pun, demikian kesan di wajah keduanya. Lalu kesan lain: kalian boleh membaca buku sampai bola mata kalian meloncat tapi Tuk Bayan Tula akan membuat kami tampak lebih pintar, atau: bel- ajarlah kalian sampai muntah-muntah dan kami akan terus mengembara mengejar pesona dunia gaib, tapi tetap naik kelas sampai tingkat berapa pun. Mahar dengan cermat mengeluarkan kotak bole badminton, ia membuka tutupnya pelan-pelan. Mengambil gulungan kertas itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Baginya itulah dokumen deklarasi kemerdekaan dirinya dan Flo dan penjajahan dunia pendidikan yang banyak menuntut. Mahar memegangi gulungan itu kuat-kuat dan sebelum membukanya ia memberikan sebuah pidato singkat: “Nasib baik memihak para pemberani” Itulah pembukaan pidatonya, sangat filosofis seperti Socrates sedang memberikan pelajaran filsafat pada murid-muridnya. Anggota Societeit mengangguk-angguk setuju. “Inilah pesan yang kami dapatkan dengan susah payah. Kami mengikatkan diri pada tiang layar karena nyawa kami tinggal sejengkal dan kami memuntahkan cairan terakhir yang rasanya pahit untuk mendapatkan keajaiban ini!” Anggota Societeit bertepuk tangan bangga mendengar pidato hebat ketuanya. Demi menyaksikan pembukaan pesan ini sang teller BRI bolos kerja sedangkan bapak Tionghoa tukang sepuh emas menutup tokonya. Mahar melanjut-kan pidato dengan berapi-api. “Kami rela menggadaikan harta benda kesayangan dan berani mengambil risiko dimusnahkan dan muka bumi oleh Tuk Bayan Tula, tapi akhirnya kami bisa membuktikan bahwa Societeit de Limpai bukan organisasi sembarangan!” 310 Laskar Pelangi

Mahar berpidato penuh wibawa di hadapan pare pengikutnya lalu seperti biasa ia mengeluarkan bahasa tubuhnya yang khas: menaikkan alis, mengangkat bahu, den mengangguk-angguk. “Kami menyaksikan sendiri bahwa Tuk Bayan Tula bertempur habis-habisan untuk memberi kite pesan pada kertas ini!! Sebagai ketua Societeit, saya merasa mendapat respek dengan perlakuan beliau itu.” Anggota Societeit kembali bertepuk tangan bergemuruh. Wajah Flo tampak semakin cantik ketika ia gembira. “Maka, inilah prestasi tertinggi Societeit de Limpai.” Mahar mengangkat lagi gulungan kertas pesan Tuk Bayan Tula tinggi dan akan segera membukanya. Semua orang merubung ingin tahu, Beberapa peminat, termasuk aku, sampai naik ke atas dahan-dahan rendah filicium agar dapat membaca pesan Tuk. Tangan Mahar gemetar memegang gulungan kertas keramat itu dan wajah Flo memerah menahan girang, ia melonjak-lonjak tak sabar menunggu kejutan yang menyenangkan. Semua orang merasa tegang dan sangat ingin tahu. Mahar perlahan-lahan membuka gulungan kertas itu dan di sana, di kertas itu tertulis dengan jelas: “PESAN TUK-BAYAN-TULA UNTUK KALIAN BERDUA, KALAU INGIN LULUS UJIAN: BUKA BUKU, BELAJAR!!” ******** 311 Laskar Pelangi

BAB 30 Elvis Has Left the Building KAMI sedang benci pada Samson karena sikapnya yang keras kepala. Kami berdebat hebat di bawah pohon filicium. Sembilan lawan satu. Tapi ia dengan konyol tetap memperjuangkan pendiriannya, tak mau kalah. Duduk perkaranya adalah semalam kami baru saja menonton film Pulau Putri yang dibintangi S. Bagyo. Di film itu S. Bagyo dkk. terdampar di sebuah pulau sepi yang hanya dihuni kaum wanita. Kerajaan atau berarti lebih tepatnya keratuan di pulau itu sedang diteror seorang ne-nek sihir berwajah seram. Jika ia tertawa, ingin rasanya kami terkencing-kencing. Kami menonton film yang diputar sehabis magrib itu di bioskop MPB (Markas Pertemuan Buruh) yang khusus disediakan oleh PN Timah bagi anak anak bukan orang staf. Sebuah bioskop kualitas misbar dengan 2 buah pengeras suara lapangan merk TOA. Karena lantainya tidak didesain selayaknya bioskop maka agar penonton yang paling belakang tidak terhalang pandangannya, di bagman belakang disediakan bangku tinggi tinggi. Dan kami, sepuluh orang termasuk Flo duduk berjejer di bangku paling belakang. 312 Laskar Pelangi

Anak-anak orang staf menonton di tempat yang berbeda, namanya Wisma Ria. Di sana film diputar dua kali seminggu. Penonton dijemput dengan bus berwarna biru. Tentu saja di bioskop itu juga terpampang peringatan keras.. “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK”. Kami tak menduga sama sekali kalau film yang berjudul indah Pulau Putri tersebut adalah film horor. Membaca judulnya kami pikir kami akan melihat beberapa putri cantik melumuri tubuhnya dengan semacam krim dan Lari berlanian sambil tertawa cekikikan di pinggir pantai. “Asyik,” kata Kucai berbinar-binar. Namun, perkiraan kami meleset, Baru beberapa menit film dimulai nenek sihir itu muncul dengan tawanya yang mengerikan. Yang cekikikan adalah kaum dedemit. S. Bagyo dan kawan-kawan Lari terbirit-birit. Dan belakang aku dapat menyaksikan seluruh penonton, anak-anak kuli PN Timah, tiarap setiap nenek jahat itu muncul di layar. Beberapa anak perempuan menangis dan anak-anak lainnya ambil langkah seribu, kabur dan bioskop rombeng ini dan tak kembali lagi. Di deretan tempat dudukku kulihat Samson yang duduk di ujung kin hampir sama sekali tidak menonton. Ia bersembunyi di ketiak Syahdan. Sebaliknya, Syahdan bersembunyi di ketiak A Kiong. A Kiong bersembunyi di ketiak Kucai, Kucai di ketiakku, Aku dan Trapani di ketiak Mahar. Trapani menjerit-jerit memanggil ibunya jika nenek sihir itu mengobrak-abrik kampung. Dan Mahar menunduk seperti orang mengheningkan cipta. Yang berdiri tegak tak bergerak hanya Harun, Sahara, dan Flo. Mereka tertawa terbahak-bahak melihat S. Bagyo pontang-panting dikejar setan. Jika S. Bagyo berhasil lolos mereka bertepuk tangan. Ketika pulang, kami bergandengan tangan. Ketika melewati kuburan, tangan Trapani sedingin es. 313 Laskar Pelangi

Esoknya, saat istirahat siang Samson berkeras bahwa nenek sihir itulah yang diuber-uber oleh S. Bagyo. Kami semua protes karena ceritanya sama sekali tidak begitu. “Tahukah kau justru Bagyolah yang diuberuber nenek sihir sepanjang film itu,’ Samson berkeras. “Mana mungkin,” bantah Kucai. “Aku melihat sendiri kau menggigil ketakutan di bawah ketiak Syahdan,” serang A Kiong. Samson masih berkelit, ‘Apa kau sendiri menonton? Setahuku hanya Sahara, Harun, dan Flo yang tak sembunyi.” Sahara melirik kami dengan pandangan jijik, “Semua pria brengsek!” katanya ketus. Harun mengangguk-angguk mendukung mutlak pernyataan itu. “Biar kami hanya melirik sekali-sekali bukan berarti kami tak tahu jalan ceritanya,” Mahar memojokkan Samson. Demi mendengar kata “melirik sekali-sekali’ itu Sahara semakin jijik. “Semua pria menyedihkan!” Samson membalas Mahar, ‘Ah! Tahu apa kau soal film, urus saja jambulmu itu!” Kami semua tertawa geli, dan memang Mahar segera menyisir jambulnya. Kami semua terlibat perang mulut, kecuali Trapani, ia diam melamun, Belakangan ini Trapani semakin pendiam dan sering melamun. Aku paham apa yang terjadi. Samson malu mengakui bahwa ia bersembunyi di bawah ketiak Syahdan. Ia tak inqin citranya sebagai pria macho hancur hanya karena ketakutan nonton sebuah film. Perilakunya itu persis kaum oportunis di panggung politik negeri ini. Perdebatan semakin seru. Diperlukan seorang penengah dengan 314 Laskar Pelangi

wawasan dan kata-kata cerdas pamungkas untuk mengakhiri perseteruan ini. Sayangnya si cerdas itu sudah dua hari tak tampak batang hidungnya. Tak ada kabar berita. Ketika esoknya Lintang tak juga hadir, kami mulai khawatir. Sembilan tahun bersama-sama tak pernah ia bolos. Saat ini sedang musim hujan, bukan saatnya kerja kopra. Bukan pula musim panen kerang, sementara karet telah digerus bulan lalu. Pasti ada sesuatu yang sangat penting. Rumahnya terlalu jauh untuk mencari berita. Sekarang hari Kamis, sudah empat hari Lintang tak muncul juga. Aku melamun memandangi tempat duduk di sebelahku yang kosong. Aku sedih melihat dahan filicium tempat ia bertengger jika kami memandangi pelangi. Ia tak ada di sana. Kami sangat kehilangan dan cemas. Aku rindu pada Lintang. Kelas tak sama tanpa Lintang. Tanpanya kelas kami hampa kehilangan auranya, tak berdaya. Suasana kelas menjadi sepi. Kami rindu jawaban-jawaban hebatnya, kami rindu kata-kata cerdasnya, kami rindu melihat-nya berdebat dengan guru. Kami juga rindu rambut acak-acakannya, sandal jeleknya, dan tas karungnya. Bu Mus berusaha ke sana sini mencari kabar dan menitipkan pesan pada orang yang mungkin melalui kampung pesisir tempat tinggal Lintang. Aku cemas membayangkan kemungkinan buruk. Tapi biarlah kami tunggu sampai akhir minggu ini. Senin pagi, kami semua berharap menjumpai Lintang dengan senyum cerianya dan kejutankejutan barunya. Tapi ia tak muncul juga. Ketika kami sedang berunding untuk mengunjunginya, seorang pria kurus tak beralas kaki masuk ke kelas kami, menyampaikan surat kepada Bu Mus. Begitu banyak kesedihan kami lalui dengan Bu Mus selama hampir sembilan tahun di SD dan SMP Muhammadiyah tapi baru pertama kali ini aku melihatnya menangis. Air matanya berjatuhan di atas surat itu.. 315 Laskar Pelangi

”Ibunda guru, Ayahku telah meninggal, besok aku akan kesekolah..” Salamku, Lintang. ********* Seorang anak laki-laki tertua keluarga pesisir miskin yang ditinggal mati ayah, harus menanggung nafkah ibu, banyak adik, kakek-nenek, dan pamanpaman yang tak berdaya, Lintang tak punya peluang sedikit pun untuk melanjutkan sekolah. Ia sekarang harus mengambil alih menanggung nafkah paling tidak empat belas orang, karena ayahnya, pria kurus berwajah lembut itu, telah mati, karena pria cemara angin itu kini telah tumbang. Jasadnya dimakamkan bersama harapan besarnya terhadapanak lelaki satu- satunya dan justru kematiannya ikut membunuh cita—cita agung anaknya itu. Maka mereka berdua, orang-orang hebat dan pesisir ini, hari ini terkubur dalam ironi. Di bawah pohon filicium kami akan mengucapkan perpisahan. Aku hanya diam. Hatiku kosong. Perpisahan belum dimulai tapi Trapani sudah menangis terisak-isak. Sahara dan Harun duduk bergandengan tangan sambil tersedu-sedu. Samson, Mahar, Kucai, dan Syahdan berulang kali mengambil wudu, sebenarnya dengan tujuan menghapus air mata. A Kiong melamun sendirian tak mau diganggu. Flo, yang baru saja mengenal Lintang dan tak mudah terharu tampak sangat muram. Ia menunduk diam, matanya berkaca-kaca. Baru kali ini aku melihatnya sedih. Kami melepas seorang sahabat genius asli didikan alam, salah seorang pejuang Laskar Pelangi lapisan tertinggi. Dialah ningrat di antara kami. Dialah yang telah menorehkan prestasi paling istimewa 316 Laskar Pelangi

dan pahlawan yang mengangkat derajat perguruan miskin in Kuingat semua jejak kecerdasannya sejak pertama kali ia memegang pensil yang salah pada hari pertama sekolah, sembilan tahun yang lalu. Aku ingat semangat persahabatan dan kejernihan buah pikirannya. Dialah Newton-ku, Adam Smithku, Andre Ampereku. Lintang adalah mercu suar. Ia bintang petunjuk bagi pelaut di samudra. Begitu banyak energi positif, keceriaan, dan daya hidup terpancar dan dirinya. Di dekatnya kami terimbas cahaya yang masuk ke dalam rongga-rongga otak, memperjelas penglihatan pikiran, memicu keingintahuan, dan membuka jalan menuju pemahaman. Darinya kami belajar tentang kerendahan hati, tekad, dan persahabatan. Ketika ia menekan tombol di atas meja mahoni pada lomba kecerdasan dulu, ia telah menyihir kepercayaan diri kami sampai hari ini, membuat kami berani bermimpi melawan nasib, berani memiliki cita-cita. Lintang seumpama bintang dalam rasi Cassiopeia yang meledak dini hari ketika menyentuh atmosfer. Ketika orang-orang masih lelap tertidur. Cahaya Iedakannya menerangi angkasa raya, membeni terang bagi kecemerlangan pikiran tanpa seorang pun tahu, tanpa ada yang peduli. Bagai meteor pijar ia berkelana sendirian ke planet-planet pengetahuan, lalu kelipnya meredup dalam hitungan mundur dan hari ini ia padam, tepat empat bulan sebelum ia menyelesaikan SMP. Aku merasa amat pedih karena seorang anak supergenius, penduduk asli sebuah pulauterkaya di Indonesia hari ini harus berhenti sekolah karena kekurangan biaya. Hari ini, seekor tikus kecil mati di lum-bung padi yang berhimpah ruah. Kami pernah tertawa, menangis, dan menari bersama di dalam hingkaran bayang kobaran api. Kami tercengang karena terobosan pemikirannya, terhibur oleh ide-ide segarnya yang memberontak, tak biasa, dan menerobos. Ia belum pergi tapi aku sudah rindu dengan sorot mata lucunya, senyum polosnya, dan setiap kata-kata cerdas dan mulutnya. Aku rindu pada dunia sendiri di dalam kepalanya, sebuah dunia kepandaian yang luas tak terbatas dan kerendahan hati yang tak bertepi. Inilah kisah klasik tentang anak pintar dan keluarga melarat. Hari 317 Laskar Pelangi

ini, hari yang membuat gamang seorang laki-laki kurus cemara angin sembilan tahun yang lalu akhirnya terjadi juga. Lintang, sang bunga meriam ini tak •kan lagi melontarkan tepung sari. Hari ini aku kehilangan teman sebangku selama sembilan tahun. Kehilangan ini terasa lebih menyakitkan melebihi kehilangan A Ling, karena kehilangan Lintang adalah kesia-siaan yang mahabesar. ini tidak adil. Aku benci pada mereka yang berpesta pora di Gedong dan aku benci pada diriku sendiri yang tak berdaya menolong Lintang karena keluarga kami sendiri melarat dan orangtua-orangtua kami harus berjuang setiap hari untuk sekadar menyambung hidup. Ketika datang keesokan harinya, wajah Lintang tampak hampa. Aku tahu hatinya menjerit, meronta-ronta dalam putus asa karena penolakan yang hebat terhadap perpisahan in Sekolah, kawankawan, buku, dan pelajaran adalah segala-galanya baginya, itulah dunianya dan seluruh kecintaannya. Suasana sepi membisu, suara-suara unggas yang biasanya riuh rendah di pohon fihicium sore ini lengang. Semua hati terendam air mata melepas sang mutiara ilmu dan hingkaran pendidikan. Ketika kami satu per satu memeluknya tanda perpisahan, air matanya mengahir pelan, pelukannya erat seolah tak mau melepaskan, tubuhnya bergetar saat jiwa kecerdasannya yang agung tercabut paksa meninggalkan sekolah. Aku tak sanggup menatap wajahnya yang pilu dan kesedihanku yang mengharu biru telah mencurahkan habis air mataku, tak dapat kutahantahan sekeras apa pun aku berusaha. Kini ia menjadi tangis bisu tanpa air mata, perih sekahi. Aku bahkan tak kuat mengucapkan sepatah pun kata perpisahan. Kami semua sesenggukan. Bibir Bu Mus bergetar menahan tangis, matanya semerah saga. Tak setitik pun air matanya jatuh. Behiau ingin kami tegar. Dadaku sesak menahankan pemandangan itu. Sore itu adahah sore yang paling sendu di seantero Behitong, dan muara Sungai Lenggang sampai ke pesisir Pangkalan Punai, dan Jembatan Mirang sampai ke Tanjong Pandan. Itu adalah sore yang paling sendu di seantero jagad alam. Saat itu aku menyadari bahwa kami Sesungguhnya adalah 318 Laskar Pelangi

kumpulan persaudaran cahaya dan api. Kami berjanji setia di bawah halilintar yang menyambar-nyambar dan angin topan yang menerbangkan gunung-gunung. Janji kami tertulis pada tujuh tingkatan langit, disaksikan naga-naga siluman yang menguasai Laut Cina Selatan. Kami adalah lapisan-lapisan pelangi terindah yang pernah diciptakan Tuhan. 319 Laskar Pelangi

Dua belas tahun kemudian.. ******** 320 Laskar Pelangi

BAB 31. Zaal Batu SEORANG wanita setengah baya berjalan de-ngan seorang pria bernama Dahroji, menghampiriku. Masalah! Pasti masalah lagi! “Kalau Nyonya mau marah, tumpahkan pada laki-laki berantakan ini,” kata Dahroji. Ia pergi menahan murka. Wanita itu mengamatiku baik-baik. Dandanannya, huruf ‘r’ dan “g” yang keluar dan tenggorokannya, tarikan alisnya, serta gayanya memandang, mengesankan ia pernah sekian lama tinggal di luar negeri dan ia muak dengan semua ketidak efisienan di negeri ini. Agaknya ia memiliki masalah yang sangat gawat. Va, memang gawat, surat restitusi bea masuk lukisan dan luar negeri yang dikirim oleh kantor Duane terlambat ia terima karena aku salah sortir. Seharusnya ia masuk kotak Ciawi tapi aku tak sengaja melemparkannya ke lubang Gunung Sindur. Human error! Telah tiga kali aku keliru minggu in Alasanku karena overload. Dahroji, ketua ekspedisi, tak mau tahu kesulitanku. Volume surat meningkat tajam dan banyak perluasan wilayah yang membuka wijk baru yang tak kukenal. Aku memandang kuyu pada tiga karung surat bercap Union Postale Universele ketika nyonya yang masih 321 Laskar Pelangi

seksi itu komplain. Sejenak aku benci pada hidupku yang kacau balau, Salah satu ciri hidup yang tak sukses adalah menerima semprotan pelanggan sebelum sempat sarapan pagi. Tapi sekian lama bekerja di sini aku telah terlatih memadamkan sementara fungsi gendang telinga. Maka madam itu hanya kulihat bergetar- getar seperti Greta Garbo dalam film bisu hitam putih. “Hoe vaak moet ikje dat nog zeggen!’ hardiknya sambil melengos pergi. Benar kan kataku? Kira-kira maksudnya: saya sudah komplain berapa kali masih saja keliru! Dan kembali aku termangu-mangu menatap tiga karung surat tadi. Setelah terpuruk akibat dikhotbahi nyonya itu aku masih harus bekerja keras menyortir semuanya karena pukul delapan seluruh pengantar kilat khusus termin pertama akan berangkat dan karena aku adalah pegawai p0s, tukang sortir, bagian kiriman peka waktu, shift pagi, yang bekerja mulai subuh. Aku sengsara batin karena ironi dalam hidupku. Rencana Aku dua belas tahun yang lalu untuk menjadi seorang penulis dan pemain bulu tangkis ternama telah lenyap, kandas di dalam kotak- kotak sortir surat. Bahkan rencana Bku, yaitu menjadi penulis buku tentang bulu tangkis dan kehidupan sosial, juga telah gagal meskipun di dalam hati aku masih menyimpan komentar-komentar manis para mantan kampiun bulu tangkis. Buku itu sebenarnya telah selesai kutulis, tidak tanggung- tanggung, seluruhnya mencapai 34 bab dan hampir 100.000 kata. Untuk menulisnya aku telah melakukan riset yang intensif di federasi bulu tangkis dan komite olahraga nasional serta mengamati kehidupan sosial beberapa mantan pemain bulu tangkis terkenal. Aku juga mempelajari budaya pop serta tren terbaru pengembangan kepribadian. Tapi para penerbit tak sudi menerbitkan bukuku berdasarkan pertimbanqan komersial. Mereka lebih tertarik pada karya-karya sastra cabul, yaitu buku buku yang penuh tulisan jorok, karena buku-buku semacam itu lebih mendatangkan keuntungan. Mereka, para penerbit itu, telah melupakan prinsip prinsip men sana in corpore sano. 322 Laskar Pelangi

Aku berusaha membesarkan hati dengan berpretensi menyama- nyamakan diriku dengan John Steinbeck yang tujuh kali ditolak penerbit tapi akhirnya bisa mengantongi Pulitzer. Aku juga tak keberatan menjadi Mary Shelley yang hanya pernah sekali menulis buku Frankenstein lalu hilang dalam kejayaan. Aku harap bukuku: Bulu Tangkis den Pergaulan dapat menjadi sebuah karya fenomenal yang dikenang orang sepanjang masa. Setidaknya itulah sumbanganku untuk kemanusiaan. Namun bagaimanapun aku berusaha menguatkan diri, kenyataannya aku hampir mati lemas ditumpuki kegagalan demi kegagalan. Bagaimanapun dulu Pak Harfan dan Bu Mus mengajariku agar tak gentar pada kesulitan apa pun, namun pada titik ini dalam hidupku ternyata nasib telah menghantamku dengan technical knock out. Pada suatu dini hari yang paling frustrasi, di bawah hujan deras, aku menumpuk empat bendel master tulisanku beserta enam buah disket. Tumpukan itu kusimpul mati dengan tali jalin dan pemberat setengah kilo berupa segel timah plombir untuk mengikat kantong pos. Aku berlari menuju Jembatan Sempur lalu buku bulu tangkis rencana B ku itu, buku bergenre humaniora itu sambil memejamkan mata dengan hati yang redam kulemparkan ke dasar Kali Ciliwung. Jika tak tersangkut di celah batu-batu di dasar kali maka buku itu akan terapung-apung bersama banjir kiriman ke Jakarta, hanyut terombang-ambing bersama cita-citaku. Aku ingin melarikan diri ke satu-satunya tempat yang paling indah dalam hidupku, yang telah kukenal sejak belasan tahun yang lalu. Sebuah desa cantik dengan taman bunga, pagar-pagar batu kelabu yang mengelilinginya, dan jalan setapak yang ditudungi untaian dahan-dahan prem. Itulah Edensor, eden berarti surga, nirwana pelarian dalam otak kecilku dan buku Herriot yang sangat kumal karena telah puluhan kali kubaca. Semakin sukar hidupku, semakin sering aku membacanya. Sayangnya aku tak bisa ke Edensor karena sampai hari ini tempat itu masih tetap hanya ada dalam khayalanku. Setiap pulang kerja aku sering duduk melamun di pokok pohon randu, di pinggir Lapangan Sempur, dekat kamar kontrakanku. Menghadap ke Kali Ciliwung aku memprotes Tuhan: “Ya, Allah, bukankah dulu pernah kuminta jika aku gagal 323 Laskar Pelangi

menjadi penulis dan pemain bulu tangkis maka jadi-kan aku apa saja asal bukan pegawai pos! Dan jangan ben aku pekerjaan mulai subuh ...!!“ Tuhan menjawab doaku dulu persis sama seperti yang tak kuminta. Begitulah cara Tuhan bekerja. Jika kita menganggap doa dan pengabulan merupakan variabel-variabel dalam sebuah fungsi linier maka Tuhan tak lain adalah musim hujan, sedikit banyak kita dapat membuat prediksi. Kuberi tahu Kawan, cara bertindak Tuhan sangat aneh, Tuhan tidak tunduk pada postulat dan teorema mana pun. Oleh karena itu, Tuhan sama sekali tak dapat diramalkan. Maka inilah aku sekarang. Dalam asumsi yang konservatif petugas biro statistik menyebut orang sepertiku sebagai mereka yang bekerja pada sektor jasa, mengonsumsi di bawah 2.100 kalori setiap hari, dan berada dekat sekali dengan garis miskin. Miskin, kata itu demikian akrab sepanjang hidupku, bagaikan sahabat baik, seperti mandi pagi. Sebenarnya sepanjang waktu aku meloncat-loncat di antara garis miskin itu, tergantung jam lembur yang diberikan Dahroji. Jika aku banyak lembur maka bulan itu mereka dapat mempertimbangkanku dalam lapisan berpenghasilan menengah ke bawah. Toh orang-orang statistik itu tidak membuat parameter waktu bagi setiap kategori. Tapi singkatnya begini saja, aku adalah bagian dan 57% rakyat miskin yang ada republik ini. Hidup membujang, mandiri, terabaikan, bekerja sepuluh jam sehari, kisaran usia 25-30 tahun, itulah demografi yang aku wakili. Secara psikografi identitasku adalah pria yang kesepian. Orang marketing melihatku sebagai target market produkproduk minyak rambut, deodoran, peninggi tubuh, peramping perut buncit, atau apa saja yang berkenaan dengan upaya peningkatan kepercayaan diri. Dunia tak mau peduli padaku, dan negara hanya mengenalku me-lalui sembilan digit nomor, 967275337, itulah nomor induk pegawaiku. Tak ada bahagia pada pekerjaan sortir. Pekenjaan ini tidak termasuk dalam profesi yang ditampilkan munid-munid SD dalam karnaval. Setiap hari berkubang dalam puluhan kantong pUS dan negeri antah berantah. Masa depan bagiku adalah pensiun dalam keadaan miskin dan rutin berobat melalui fasilitas Jamsostek, lalu 324 Laskar Pelangi

mati merana sebagai orang yang bukan siapa-siapa. Setelah usai bekerja aku tenlalu lelah untuk bersosialisasi. Aku mendenita insomnia, Setiap malam antara tidur dan terjaga aku terhipnotis cerita wayang golek dan suara kemerosok radio AM. Aku bangun pagi-pagi buta ketika orang-orang Bogon masih meringkuk di tempat tidur mereka yang nyaman. Aku merangkak-rangkak kedinginan, terseok-seok menuju kantor poS melewati bantaran Kali Ciliwung yang masih diliputi kabut untuk kembali menyortir ribuan surat, Saat orang-orang Bogor bangun dan mengibas-ngibaskan koran pagi di depan teh panas dan tangkupan roti, aku juga sarapan makian dan madam Belanda tadi. Itulah hidupku sekarang, masa depanku tak jelas dan aku sudah tak punya konsep lagi tentang masa depan. Semuanya serba tak pasti. Yang kutahu pasti cuma satu hal: aku telah gagal. Aku mengutuki diri sendiri terutama ketika apel Korpri tanggal 17. Hanya Eryn Resvaldya Novella satu-satunya hiburan dalam hidupku. Ia cerdas, agamais, cantik, dan baik hati. Usianya 21 tahun. Belakangan aku memanggilnya awardee karena ia baru saja menerima award sebagai mahasiswa paling bermutu di salah satu univensitas paling bergengsi di negeri ini di kawasan Depok. Ia mahasiswa universitas itu, jurusan psikologi. Ayah Eryn, abangku, terkena PHK dan aku mengambil alih membiayai sekolahnya. Lelah seharian bekerja lenyap jika melihat Eryn dan semangat belajarnya, jiwa positifnya, dan intelegensia yang terpancar dan sinar matanya. Aku rela kerja lembur berjam-jam, membantu menerjemahkan bahasa Ing-gris, menerima ketikan, dan berkorban apa saja termasuk baru-baru ini menggadaikan sebuah tape deck, hartaku yang paling benhanga demi membiayai kuliahnya. Pengalaman dengan Lintang telah menjadi trauma bagiku. Kadang- kadang aku bekenja begitu kenas demi Eryn untuk menghilangkan perasaan bersalah karena tak mampu membantu Lintang. Eryn menimbulkan semacam perasaan bahwa semenyedihkan apa pun, hidupku masih benguna. Tak ada yang dapat dibanggakan dalam hidupku sekarang, tapi aku ingin mendedikasikannya pada sesuatu yang penting. Eryn adalah satu-satunya arti dalam hidupku. 325 Laskar Pelangi

Saat ini Eryn sedang panik karena proposal skripsinya berulang kali ditolak. Sudah belasan kali hal ini terjadi. Sejak kuliahnya selesai semester lalu ia telah menghabiskan waktu lima bulan hanya untuk mencari topik skripsi yang bermutu. Bersama surat penolakan itu pembimbingnya melampirkan lima belas lembar kertas berisi judul skripsi yang pernah ditulis. Aku melirik, benar saja, sudah tiga puluh orang yang menulis tentang personality disorder, puluhan lainnya menulis topik tentang kepuasan kerja, down syndrome, dan metode konseling anak. Tak terhitung yang telah menulis skripsi mengenai autisme. Pembimbingnya menuntut Eryn menulis sesuatu yang baru, berbeda, dan mampu membuat terobosan ilmiah karena ia adalah mahasiswa cerdas pemenang award. Aku setuju dengan pandangan itu. Eryn sebenarnya telah memiliki konsep tentang sesuatu yang berbeda itu. Dan pembicaraannya yang meluap-luapaku menangkap bahwa ia telah mempelajari suatu gejala psikologi di mana seorang individu demikian tergantung pada individu lain sehingga tak bisa melakukan apa pun tanpa pasangannya itu. Kemudian ia pun mengajukan tema tersebut, pembimbingnya setuju. Masalahnya adalah gejala seperti itu sangat jarang terjadi sehingga Eryn tak kunjung mendapatkan kasus. Memang terdapat beberapa kasus dependensi tapi intensitasnya rendah, gejala sehari-hari saja yang tidak memerlukan perawatan khusus sehingga dianggap kurang memadai untuk analisis mendalam. Eryn mencari sebuah kasus ketergantungan yang akut, Ia telah berkorespondensi dengan puluhan psikolog, psikiater, dosen-dosen universitas, lembaga- lembaga yang menangani kesehatan mental, dan para dokter di rumah sakit jiwa di seluruh negeri, tapi hampir empat bulan berlalu kasusnya tak kunjung ditemukan. Eryn mulai frustrasi, Namun agaknya nasib menyapa Eryn hari ini. Ketika menyortir aku menemukan sepucuk surat yang ditujukan ke kontrakanku. Surat untuk Eryn dengan sampul resmi yang bagus sekali, dan sebuah rumah sakit jiwa di Sungai Liat, Bangka. 326 Laskar Pelangi

“Awardee! Seseorang dan rumah sakit jiwa agaknya jatuh hati padamu ...‘ kataku setiba di rumah kontrakanku. Ia merampas surat dan tanganku, membacanya sekilas, lalu meloncat-locat gembira. “Alhamdullilah, finally! Cicik (paman), kita akan berangkat ke Sungai Liat!” Eryn telah menemukan kasusnya. Seorang dokter senior profesor tepatnya yang menjadi staf ahli di rumah sakit jiwa Sungai Liat memberi tahu bahwa kasus langka yang dicari Eryn ditemukan di sana. Dokter itu juga mengatakan bahwa kasus itu banyak diincar para ilmuwan, termasuk beberapa kandidat Ph.D. untuk diteliti, tapi Eryn diprioritaskan karena prestasi kuliahnya. Eryn memintaku cuti untuk mengantarnya ke rumah sakit jiwa itu. Apa dayaku menolak, bukankah semuanya memang untuk mendukung dirinya. Lagi pula Sungai Liat ada di Pulau Bangka, tetangga Pulau Belitong. Kami akan sekalian pulang kampung setelah ia riset. Rumah sakit jiwa Sungai Liat sudah sangat tua. Orang Belitong menyebutnya Zaal Batu. Barangkali zaman dulu dinding ruang perawatannya adalah batu. Karena di Belitong tidak ada rumah sakit jiwa bahkan sampai sekarang maka orang Belitong yang mentalnya sakit parah sering dikirim melintasi laut ke rumah sakit jiwa in Karena itu Zaal Batu bagi orang Belitong selalu memberi kesan sesuatu yang mendirikan bulu kuduk, kelam, sakit, dan putus asa. ********** Sore itu mendung ketika kami tiba di Zaal Batu. Suara azan ashar bersahut-sahutan lalu sepi pun mencekam. Kami memasuki gedung tua berwarna serba putih dengan plafon tinggi dan pilar-pilar. Lalu kami melewati sebuah selasar panjang berlantai ubin tua berwarna cokelat dan bermotif jajaran genjang simetris, Beberapa jambangan bunga model lama gaya Belanda bederet- 327 Laskar Pelangi

deret di sepanjang selasar itu. Pemandangan lainnya tak berbeda dengan rumah sakit jiwa lainnya. Pintu-pintu besi dengan gembok besar, kamar obat berisi botol-botol pendek, bau karbol, meja beroda, para perawat yang berpakaian serba putih, dan para pasien yang berbicara sendiri atau memandang aneh. Terdengar lamat- lamat suara cekikikan dan teriakan beberapa kelompok pasien yang sedang bercanda dengan para perawat di halaman rumah sakit yang luas. Setelah melewati selasar kami berhadapan dengan sebuah pintu jeruji yang dikunci dengan lilitan rantai dan digembok. Kami terhenti di situ. Seorang perawat pria tergopoh-gopoh menghampiri kami. Ia tahu kami sedang ditunggu, ia membuka pintu. Kami masuk melintasi sebuah ruangan panjang. Ruangan yang terkunci rapat ini menampung beberapa pasien. Mereka mengikuti gerakgerik kami dengan teliti. Eryn tak berani jauh-jauh dari perawat tadi. Aku tak takut tapi sedih melihat penderitaan jiwa mereka. Suasana di sini mencekam. Banyak pasien berusia lanjut dan meskipun kelihatan sehat tapi kita segera tahu bahwa orang-orang ini sangat terganggu kewarasannya. Pandangan matanya penuh tekanan, kesedihan, dan beban, Beberapa di antaranya bersimpuh di Iantai atau mengguncang- guncang jerejak besi di jendela. Aku memerhatikan beberapa wajah para pasien di balik batangan jeruji besi. Perlahan-lahan batangan jeruji itu bergerak sendiri benselang seling. Wujudnya menjelma menjadi puluhan pasang kaki manusia. Di sela-sela kaki itu kulihat wajah yang telah sangat lama kukenal. Kesedihan rumah sakit jiwa ini membuka ruangan gelap di kepalaku, tempat Bodenga bersembunyi. Kami kembali terhenti di depan sebuah pintu besi. Kali ini pintu besi dua lapis. Setelah rantai dibuka kami memasuki ruangan berupa lorong yang panjang. Sisi kin kanan lorong adalah kamar- kamar perawatan. Suasana di lorong ini sunyi senyap. Sebagian besar kamar kosong dengan pintu terbuka. Kamar yang diisi pasien tertutup rapat. Lamat-lamat terdengar suara orang meratap dan balik pintu-pintu tertutup itu. 328 Laskar Pelangi

Aku mendengar suara langkah sepatu yang bergema dalam kesepian ruangan. Seorang pria berusia enam puluhan mendekati kami. Beliau tersenyum. Wajahnya tenang, bersih, dan bening, tipikal wajah yang sering tersiram air wudu. Jemari tangannya menggulirkan biji-biji tasbih, beliau mengucapkan asma-asma Allah, beliau membuatku sangat segan, seorang intelektual yang rendah hati sekaligus yang taat beragama. Profesor ini memiliki dua kualitas agung tersebut. Dengan sangat santun beliau menyatakan terima kasih atas kedatangan kami. Namanya Profesor Van. “ini kasus mother complex yang sangat ekstrem ...,‘ kata profesor itu dengan suara berat, itu seakan ikut merasakan penderitaan pasiennya. ‘Tiga puluh delapan tahun di bidang ini baru kali ini aku menjumpai hal semacam in Anak muda ini sedikit pun tak bisa lepas dan ibunya. Jika bangun tidur tidak melihat ibunya ia menjerit-jerit histeris. Ketergantungan yang kronis ini menyebabkan ibunya sendiri sekarang hampir terganggu jiwanya. Mereka telah menghuni tempat ini hampir selama enam tahun ....“ Aku tersentak miris mendengar penjelasan beliau , Eryn sendiri terperanjat. Ia berusaha menguatkan diri mendengar kenyataan yang menghancurkan hati itu. Aku menatap wajah Profesor Van, Ia adalah dokter jiwa yang amat berpengalaman tapi jelas ia prihatin dan terpengaruh dengan kasus ini. Di sisi lain aku kagum pada psikologi dan orang orang yang mendedikasikan hidupnya pada bidang ini. Penjelasan Profesor Van melekat dalam pikiranku , Aku merinding karena merasa getir pada nasib anak beranak itu. Anak muda yang malang. Ibunya yang tadinya sehat terpaksa hidup tidak normal. Orangtua mana yang mampu menolak kasih sayang anaknya, meskipun rasa sayang itu berlebihan? Mungkin ia lebih rela gila daripada membiarkan anaknya berteriak-teriak memerlukannya sepanjang waktu. Mereka berdua pasti amat menderita. Enam tahun terpuruk di sini, betapa mengerikan. Kadangkadang nasib bisa demikian kejam pada manusia. Siapakah anak beranak yang malang itu? 329 Laskar Pelangi

Profesor Van membimbing kami menyelusuri lorong tadi menuju sebuah pintu paling ujung. Di sana ada ruangan terpencil dan menyendiri. Beliau membuka pintu pelan-pelanm. Aku gugup membayangkan pemandangan yang akan kulihat. Akankah aku kuat menyaksmkan penderitaan seberat itu? Apa sebaiknya aku menunggu di luar saja? Tapi Profesor Van telanjur membuka pintu. Engsel pintu ber-decit panjang, menimbulkan rasa gamang. Kami berdiri di ambang pintu. Ruangan itu luas, tak berjendela, dan dindingnya polos tinggi berwarna putih. Tak ada lukisan atau jambangan bunga. Begitu sepi, tak ada suara satu pun. Penerangan hanya berasal dan sebuah bohlam dengan kap rendah sehingga plafon menjadi gelap. Ruangan ini suram, penuh nuansa kepedihan dan keputusasaan. Dalam sorot lampu tak tampak perabot apa pun kecuali sebuah bangku panjang kecil nun jauh di sudut ruangan. Dan di bangku panjang itu, kira-kira lima belas langkah dan kami, duduk berdua rapat-rapat kedua makhluk malang itu, seorang ibu dan anaknya. Gerak-gerik mereka gelisah, seperti tempat itu sangat asing dan mengancam mereka. Mereka seakan memelas, memohon agar diselamatkan. Dalam cahaya lampu yang samar tampak sang anak berpostur tinggi dan sangat kurus, rambutnya panjang dan menutupi sebagian wajahnya. Jambang, alis, dan kumisnya tebal tak teratur. Kulitnya putih. Air mukanya menimbulkan perasaan iba yang memilukan. Ia berpakaian rapi, bajunya adalah kemeja putih lengan panjang, celananya berwarna gelap, dan sepatu kulitnya bersih mengilap. Usianya kurang lebih tiga puluhan. Ia ketakutan, Sorot matanya yang teduh melirik ke kin dan ke kanan. Ia gugup dan sering menarik napas panjang. Ibunya kelihatan puluhan tahun lebih tua dan usia sesungguhnya. Pancaran matanya menyimpan kesakitan yang parah dan caranya menatap menjalarkan rasa pedih yang dalam. Lingkaran di sekeliling matanya berwarna hitam dan ia amatlah kurus. Daya hidup telah padam dalam dirinya. Ia memakai sandal jepit yang kebesaran dan tampak menyedihkan. Wajahnya jelas 330 Laskar Pelangi

memperlihatkan kerisauan yang amat sangat dan tekanan jiwa yang tak tertahankan. Mereka berdua melihat kami sepintas-sepintas tapi kebanyakan menunduk. Sang anak mengapit lengan ibu-nya. Ketika kami masuk, ia semakin merapatkan dirinya pada ibunya. Aku tak sanggup menanggungkan pemandangan memilukan ini. Tanpa kusadari air mataku mengalir. Eryn pun ingin menangis tapi ia berupaya keras menjaga sikap profesional sebaqai seorang peneliti. Aku tak tahan me-lihat anak beranak dengan cobaan hidup seberat ini, Mereka seperti dua makhluk yang terjerat, cidera, dan tak berdaya. Aku minta diri keluar dan ruangan yang menyesakan dada itu. Hampir selama satu setengah jam Eryn dibantu oleh profesor yang baik itu dalam melakukan semacam wawancara pendahuluan dengan kedua pasien malang itu. Dan pintu yang tenbuka aku dapat melihat mereka berempat duduk di bangku tersebut. Kedua pasien itu masih terlihat gelisah. Kemudian wawancara pun selesai dan Eryn memberi isyarat padaku untuk berpamitan pada ibu dan anak itu. Aku masuk lagi ke ruangan, mencoba tersenyum seramah mungkin walaupun hatiku hancur membayangkan penderitaan mereka. Aku menyalami keduanya. Kali ini Eryn tak sanggup menahan air matanya. Lalu pelan-pelan kami pamit keluar ruangan. Profesor Van dan Eryn berjalan di depanku. Mereka terlebih dahulu keluar ruangan, sementara aku yang keluar terakhir meraih gagang pintu dan menutupnya. Tepat pada saat itu aku terperanjat karena mendengar seseorang me-mang-gil namaku. “Ikal ...,“ suara lirih itu berucap. Eryn dan Profesor Van kaget. Mereka terheran-heran, apa-lagi aku. Kami saling berpandanqan. Tak ada orang lain di ruangan itu kecuali kami bertiga dan kedua makhluk malang tadi. Dan jelas suara itu berasal dan ruangan yang ba-ru saja kututup. Kami berbalik, tapi ragu, maka aku tak segera membuka pintu. 331 Laskar Pelangi

“Ikal •..,“ panggilnya lagi. “Mereka memanggil Cicik!’ teriak Eryn menatapku takjub. Salah seorang dan pasien itu jelas memanggilku. Aku memutar gagang pintu dan menghambur ke dalam. Kuhampiri mereka dengan hati-hati. Dalam jarak tiga meter aku berhenti. Mereka berdua bangkit. Aku mengamati mereka baik-baik, berusaha keras mengenali kedua tubuh ringkih yang berdiri saling mencengkeram lengan masing-masing dengan jan-jan yang kurus tak terawat. Rambut sang ibu yang kelabu terjuntai panjang semrawut menutupi kedua matanya yang cekung dan berwarna abuabu. Pipi anaknya basah karena air mata yang mengalir pelan. Air matanya itu berjatuhan ke lantai. Bibirnya yang pucat bergetar mengucapkan namaku berkali-kali, seakan ia telah bertahun-tahun menu n gg u k u, tangannya menjangkau - jangkau. Ibunya terisak- isak dan menutup wajah de-ngan kedua tangannya. Aku tak mampu berkata apa pun dan masih diliputi tanda tanya. Namun, tepat ketika aku maju selangkah untuk mengamati mereka lebih dekat si anak menyibakkan rambut panjang yang menutupi wajahnya dan pada saat itu aku tersentak tak alang kepalang. Aku terkejut luar biasa. Kurasakan seluruh tubuhku menggigil. Rangka badanku seakan runtuh dan setiap persendian di tubuhku seakan terlepas. Aku tak percaya dengan pemandangan di depan mataku. Aku merasa kalut dan amat pedih. Aku ingin berteriak dan meledakkan tangis. Aku mengenal dengan baik kedua anak beranak yang malang itu. Mereka adalah Trapani dan ibunya. ********** 332 Laskar Pelangi

BAB 32 Agnosti Satu titik dalam relativitas waktu: Saat inilah masa depan itu..! TOKO Sinar Harapan tak banyak berubah, masih amburadul seperti dulu. Ketika bus reyot yang membawaku pulang kampung melewati toko itu, di sebelahnya aku melihat toko yang bernama Sinar Perkasa. Di situ ada seorang laki-laki yang menarik perhatianku. Pria itu agaknya seorang kuli toko. Badannya tinggi besar dan rambutnya panjang sebahu diikat seperti samurai. Lengan bajunya digulung tinggi-tinggi. Ia sengaja memperlihatkan otot-ototnya. Tapi wajahnya sangat ramah dan tapaknya ia senang sekali menunaikan tugasnya. Belanjaan yang dipanggul kuli ini tak tanggungtanggung: dua karung dedak di punggungnya, ban sepeda dikalungkan di Iehernya, dan plastik-plastik kresek serta tas-tas belanjaan bergelantungan di lengan kin kanannya. Ia seperti toko kelontong berjalan. Di belakangnya berjalan terantuk-antuk seorang nyonya gemuk yang memborong segala macam barang itu. 333 Laskar Pelangi

Setelah memuat belanjaan ke atas bak sebuah mobil pikap, pria bertulang besi tadi menerima sejumlah uang. Ia mengucapkan terima kasih dengan menunduk sopan lalu kembali ke tokonya. Toko berjudul Sinar Perkasa itu, sesuai sekali dengan penampilan kulinya. Pria itu menyerahkan uang tadi kepada juragan toko yang kemudian mengibas-ngibaskan uang itu ke barang-barang daganqannya lalu mereka berdua tertawa lepas layaknya dua sahabat baik. Wajah keduanya tak lekang dimakan waktu. Aku tersenyum mengenang nostalgia di Toko Sinar Harapan dan teringat bahwa dulu aku pernah memiliki cinta yang ternyata tak hanya sedalam lubuk kaleng-kaleng cat yang sampai sekarang masih berjejal-jejal di situ. Aku juga merasa beruntung telah menjadi orang yang pernah mengungkapkan cinta, Masih terasa indahnya sampai sekarang. Merasa beruntung karena kejadian itu merupakan tonggak bagaimana secara emosional aku telah berevolusi. Dan agaknya cinta pertamaku dulu amat berkesan karena ia telah melambungkanku ke puncak kebahagiaan sekaligus membuatku menggelongsor karena patah hati di antara keranjang buah mengkudu busuk di toko itu. Kita dapat menjadi orang yang skeptis, selalu curiga, dan tak gampang percaya karena satu orang pernah menipu kita. Tapi ternyata dengan satu kasih yang tulus lebih dan cukup untuk mengubah seluruh persepsi tentang cinta. Paling tidak itu terjadi padaku. Meskipun kemudian setelah dewasa beberapa kali cinta memperlakukan aku dengan amat buruk, aku tetap percaya pada cinta. Semua itu gara-gara wanita berparas kuku ajaib di Toko Sinar Harapan itu. Kemanakah gerangan dia sekarang? Aku tak tahu dan tak mau tahu. Gambaran cinta seindah lukisan taman bunga karya Monet itu biarlah seperti apa adanya. Kalau aku menjumpai A Ling lagi bisa-bisa citra lukisan itu pudar karena mungkin saja A Ling sekarang adalah A Ling dengan parises, selulit, pantat turun, susu kempes, gemuk, perut buncit, dan kantong mata. Ia dulu adalah venus dan Laut Cina Selatan dan aku ingin tetap mengenangnya seperti itu. Aku mengeluarkan dan tasku buku Seandainya Mereka Bisa Bicara yang dihadiahkan A Ling padaku sebagai kenangan cinta 334 Laskar Pelangi

pertama kami. Bus reyot yang terlonjak-lonjak karena jalan yang berlubanglubang membuat aku tak dapat membacanya. Ketika jarak antara bus dan Toko Sinar Harapan perlahan mengembang aku merasa takjub bagaimana lingkaran hidup merupakan jalinan aksi dan reaksi seperti postulat Isaac Newton atau hidup tak ubahnya se- kotak cokelat seperti kata Forest Gump. Jika membuka kotak cokelat kita tak ‘kan dapat menduga rasa apa yang akan kita dapatkan dan bungkus-bungkus plastik lucu di dalamnya. Sebuah benda kecil yang tak penting atau suatu kejadian yang sederhana pada masa yang amat lampau dapat saja menjadi sesuatu yang kemudian sangat memengaruhi kehidupan kita. Buku itu kugenggam erat di atas pangkuanku dan aku segera menyadari bahwa seluruh kehidupan dewasaku telah terinspirasi oleh buku kumal yang selalu kubawa ke mana-mana itu, Dulu ketika frustrasi karena berpisah dengan A Ling maka pesona Desa Edensor, Taman Daffodil dan jalan pasar berlandaskan batu-batu bulat, serta hamparan sabana di bukit-bukit Derbyshire telah menghiburku. Kemudian pada masa dewasa ini ketika kehidupanku di Bogor berada pada titik terendah aku perlahan-lahan bangkit juga karena semangat yang dipancarkan oleh Herriot, sang tokoh utama buku itu. Seperti ajaran Pak Harfan, Bu Mus, dan Kemuham- madiyahan, Herriot juga mengajariku tentang optimisme dan bagaimana aku harus berjuang untuk meraih masa depanku. Seminggu setelah kulemparkan naskah bulu tangkisku ke Kali Ciliwung aku membaca sebuah pengumuman beasiswa pendidikan lanjutan dan sebuah negara asing. Aku segera menyusun rencana C, yaitu aku ingin sekolah lagi! Kemudian setelah itu tak ada satu menit pun waktu kusiasiakan selain untuk belajar. Aku membaca sebanyak-banyaknya buku. Aku membaca buku sambil menyortir surat, sambil makan, sambil minum, sambil tiduran mendengarkan wayang golek di radio AM. Aku membaca buku di dalam angkutan umum, di dalam jamban, sambil mencuci pakaian, sambil dimarahi pelanggan, sambil disindir ketua ekspedisi, sambil upacara Korpri, sambil menimba air, atau sambil memperbaiki atap bocor. Bahkan aku membaca sambil membaca, Dinding kamar kostku penuh dengan grafiti rumus-rumus kalkulus, GMAT, dan aturan-aturan tenses. Aku adalah pengunjung perpustakaan LIPI yang paling rajin 335 Laskar Pelangi

dan shift sortir subuh yang dulu sangat kubenci sekarang malah kuminta karena dengan demikian aku dapat pulang lebih awal untuk belajar di rumah. Jika beban pe-kerjaan demikian tinggi aku membuat resume bacaanku dalam kertas-kertas kecil, inilah teknik jembatan keledai yang dulu diajarkan Lintang padaku. Kertas-kertas kecil itu kubaca sambil menunggu ketua 05 menurunkan kantong- kantong surat dan truk. Di rumah aku belajar sampai jauh malam dan penyakit insomnia ternyata malah mendukungku. Aku adalah penderita insomnia yang paling produktif karena saat-saat tak bisa tidur kugunakan untuk membaca. Jika kelelahan belajar aku melakukan penyegaran mental yaitu kembali membuka buku Seandainya Mereka Bisa Bicara dan di sana kutemukan bagaimana Herriot menghadapi kesulitan membuktikan dirinya di depan para petani Derbyshire yang sangat skeptis, keras kepala, dan antiperubahan. Dan buku itu juga aku merasakan angin pagi lembah Edensor yang dingin bertiup merasuki dadaku yang sesak setelah menyelusup di antara dedaunan astuaria. Membaca semua itu semangatku kembali terpompa dan hatiku semakin bening slap menerima pelajaran-pelajaran baru. “Aku harus mendapatkan beasiswa itu!” demiklan kataku dalam hati setiap berada di depan kaca. Aku benar-benar bertekad mendapatkan beasiswa itu karena bagiku ia adalah tiket untuk meninggalkan hidupku yang terpuruk. Lebih dan itu aku merasa berutang pada Lintang, A Ling, Pak Harfan, Bu Mus, Laskar Pelangi, Sekolah Muhammadiyah, dan Herriot. Kemudian tes demi tes yang mendebarkan berlang-sung selama berbulan-bulan, diawah dengan sebuah tes pe-nyaringan pertama di sebuah stadion sepak bola yang dipenuhi peserta. Hampir tujuh bulan kemudian aku berada pada tahap yang disebut penentuan terakhir. Penentuan terakhir merupakan sebuah wawancara di sebuah lembaga yang hebat di Jakarta. Wawancara akhir ini dilakukan oleh seorang mantan menteri yang berwajah tampan tapi senang bukan main pada rokok. “Disgusting habit!” Sebuah kebiasaan yang menjijikkan, kata Morgan Freeman dalam sebuah film. 336 Laskar Pelangi

Aku mengenakan pakaian rapi dan untuk pertama kalinya. Berdasi, memakai sedikit minyak wangi, dan menyemir sepatu. Pulpen di saku dan kubawa map yang tak tahu berisi apa. Aku telah menjadi tipikal orang muda yang spekulatif. Sebuah pemandangan yang menyedihkan sesungguhnya. Bapak perokok itu memanggilku, mempersila kan duduk di depannya, dan mengamatiku dengan teliti. Barangkali ía berpikir apakah anak kampung ini akan bikin malu tanah air di negeri orang. Lalu ia membaca motivation letterku yaitu suatu catatan alasan dan berbagai aspek yang dibuat peserta mengapa ia merasa patut diberi beasiswa. Mantan menteri itu mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu ajaib sekali! Ia sama sekali tidak mengeluarkan kembali asap rokok itu. Rupanya asap itu diendapkannya sebentar di dalam rongga dadanya. Matanya terpejam ketika menikmati racun nikotin lalu disertai sebuah senyum puas yang mengerikan ia mengembuskan asap rokok itu dekat sekali dengan wajahku. Mataku perih, aku menahan batuk dan ingin muntah tapi apa dayaku, laki-laki di depan-ku ini memegang tiket masa depanku dan tiket itu amat kuperlukan. Maka aku duduk bertahan sambil membalas senyumnya dengan senyum basi ala pramugari sementara perutku mual. “Saya tertarik dengan motivation letter Anda, alasan dan cara Anda menyampaikannya dalam kalimat Inggris sangat mengesankan,” katanya. Aku kembali tersenyum, kali ini senyum khas penjual asuransi. “Belum tahu dia, orang Melayu lincah benar bersilat kata,” kataku dalam hati. Lalu sang mantan menteri membuka proposal penelitianku yang berisi bidang yang akan kutekuni, materi riset, dan topik tesis dalam pendidikan beasiswa nanti. “Ahhhh, ml juga menarik ....“ 337 Laskar Pelangi

Ia ingin melanjutkan kata-katanya tapi agaknya rokok yang sangat dicintainya itu lebih penting maka ia kembali memenuhi dadanya dengan asap. Aku berani bertaruh jika dirontgen maka rongga dada dan seluruh isinya pasti telah berwarna hitam, Bapak ini terkenal sangat pintar bukan hanya di dalam negeri tapi juga di luar negeri, sumbangannya tak kecil untuk bangsa ini, tapi bagaimana ia bisa menjadi demikian bodoh dalam persoalan rokok ini? “Hmmm ... hmmm ... sebuah topik yang memang patut dipelajari lebih jauh, menarik sekali, siapa yang membimbing Anda menulis ini?” beliau tersenyum lebar dan asap masih mengepul di mulutnya. Aku tahu pertanyaan itu retoris., tak memerlukan jawaban, karena dia tahu seseorang tak mungkin dibimbing untuk membuat proposal tersebut, maka aku hanya tersenyum. “Bu Mus, Pak Harfan, Lintang, Sekolah Muhammadiyah, A Ling, dan Herriot!” Itulah jawaban yang tak kuucapkan. “Saya telah lama menunggu ada proposal riset semacam i, ternyata datang dan seorang pegawai kantor pos! Ke mana kau pergi selama ini anak muda?” Kembali retoris dan aku kembali tersenyum. “Edensor!” Bisik hatiku. Maka tak lama kemudian aku telah menjadi mahasiswa, Meskipun hanya langkah kecil aku merasa telah membuat sebuah kemajuan dan sekarang aku dapat menilai hidupku dan perspektif yang sama sekali berbeda, Aku lega terutama karena aku telah membayar utangku pada Sekolah Muhammadiyah, Bu Mus, Pak Harfan, Lintang, Laskar Pelangi, A Ling, bahkan Herriot dan Edensor. Setiap titik yang aku singgahi dalam hidupku selalu memberiku pelajaran berharga. Sekolah Muhammadiyah dan persahabatan Laskar Pelangi telah membentuk karakterku, A Ling, Herriot, dan Edensor telah mengajariku optimisme dan menunjukkan bahwa jalinan nasib dapat menjadi begitu menakjubkan. Kemudian, meskipun aku tidak menyukai pekerjaan sortir, tapi orang-orang hebat kawan sekerja di kantor Pos Bogor telah mengajariku arti integritas bagi sebuah badan usaha dan 338 Laskar Pelangi

makna dedikasi pada pekerjaan pos yang mulia, yaitu mengemban amanah. ADA orang-orang tertentu yang memendam cinta demikian rapi. Bahkan sampai mereka mati, sekerling pun me-reka tak pernah memperlihatkan getar hatinya. Cinta mereka sesepi stambul lama nan melankolis dengan pengarang yang tak pernah dikenal, Jika malam tiba mereka mendengus-dengus meratapi rindu, menampar muka sen-diri karena jengkel tak berani mendeklarasikan cinta yang menggelitik perutnya. Cintanya tak pernah terungkap karena ngeri membayangkan rismko ditolak. Lama-lama, seperti seorang narsis, mereka menyukai mencintai seseorang di dalam hatinya sendiri. Cinta satu sisi, indah tapi merana tak terperi. Mereka hidup dalam bayangan. Mengungkapkan cinta agaknya mengandung daya tank paling misterius dan cinta itu sendiri. Itulah yang dirasakan A Kiong selama belasan tahun. Hampa karena cinta dan kecewa pada masa depan membuat A Kiong sempat menjalani hidup sebagai seorang agnostik, yaitu orang yang percaya kepada Tuhan tapi tidak memeluk agama apa pun, oleh karena itu ia tidak pernah beribadah. Ia mendaki puncak bukit keangkuhan di dalam hatinya untuk berteriak lantang menentang segala bentuk penyembahan. Ia berkelana mengamati agama demi agama, terombang ambing dalam kebingungan tentang keyakinan dan konsep keadilan Tuhan. Hari demi hari ia semakin sesat. Ia kafir bagi agama mana pun. Namun, menjelang dewasa ia mengalami suatu masa di saat setiap mendengar suara azan ia sering disergap perasaan sepi nan indah yang menyelusup ke dalam kalbunya, membuatnya terpaku, dan melelehkan air matanya. Panggilan shalat itu mengembuskan rasa hampa yang menyuruhnya merenung. Ia cemas serasa akan mati esok pagi. Ia merenung dan pada suatu hari dengungan azan magrib membuatnya berputar seperti gasing, perutnya naik memuntahkan seluruh makanan dan minuman haram dan lipatan- lipatan ususnya, ia terjerembap tak berdaya seakan tulang 339 Laskar Pelangi

belulangnya hancur dihantam palu godam. Air matanya berlinang tak terbendung. Ia merangkak-rangkak memohon ampunan. Ia telah dipilih oleh Allah untuk diselamatkan. A Kiong, makhluk pendusta agama ini, bagian dan sebagian kecil orang yang amat beruntung, mendapat magfirah. Ia memeluk Islam, disunat, dan mengucapkan kalimat syahadat disaksikan Pak Harfan dan Bu Mus. Bu Mus menganugerahkan sebuah nama untuknya: “Muhammad Jundullah Gufron Nur Zaman”, Nama yang sangat hebat. Artinya tentara Allah, orang yang mendapat ampunan dan cahaya. A Kiong tinggal sejarah, bagian dan sebuah masa lalu yang gelap. Ia segera menjadi muslim yang taat. Hidupnya tenang, namun kesepian sepanjang malam masih merisaukannya. Penerima cahaya ini menceritakan dengan sepenuh jiwa kepadaku bahwa yang merisaukannya itu adalah cinta yang telah disimpannya sangat lama. Cinta yang tak terungkap. Tak seorang pun tahu kalau Nur Zaman selama ini telah menjadi seekor pungguk. Wanita itu, katanya, telah membuat malam-malamnya gelisah. “Aku lemas karena paru-paruku basah digenangi air mata rindu,° demikian ungkapan perasaannya padaku. Laki-laki berkepala kaleng kerupuk ini bisa juga puitis. “Berhari-hari terperangkap dalam bingkai kaca seraut wa-jah yang sama, tak dapat lagi kupikirkan lagi hal-hal lain. Setiap melihat cermin yang terpantul hanya wajahnya. Aku tak mau makan, tak bisa tidur ...,“ kenangnya. Romantis laksana opera sabun, sekaligus lucu dan menyedihkan. Lalu setelah belasan tahun mengumpulkan keberanian, pada suatu malam, dengan basmallah, ia menjumpai wanita itu dan langsung, di depan orangtuanya, menyatakan keinginannya melamar. Ia pasrahkan semua keputusan kepada Allah. Ia siap hijrah ke Kanton naik kapal barang jika ditolak. Ternyata wanita itu juga telah lama diam-diam menaruh hati padanya. Terberkatilah mereka yang berani berterus terang. Wanita itu adalah Sahara. 340 Laskar Pelangi

Sekarang mereka sudah punya anak lima dan membuka toko kelontong dengan judul Sinar Perkasa tadi. Mereka mempekerjakan seorang kuli dan memperlakukannya sebagai sahabat. Kulinya adalah pria raksasa berambut sebahu seperti samurai itu, tak lain adalah Samson, Jika waktu luang mereka bertiga mengunjungi Harun. Harun bercerita tentang kucingnya yang berbelang tiga, melahirkan anak tiga, semuanya berbelang tiga, dan kejadian itu terjadi pada tanggal tiga. Sahara mendengarkan penuh perhatian. Kalau dulu Harun adalah anak kecil yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa, sekarang ia adalah orang dewasa yang terperangkap dalam alam pikiran anak kecil. “Aku mendapatkan kebahagiaan terbesar yang mungkin didapatkan seorang pria,” kata Nur Zaman padaku. Ingatkah akan kata-kata itu? Bukankah dulu kata-kata itu pernah kuucapkan? Klise! Tidak, sama sekali tidak klise bagi Nur Zaman. Ia adalah pria terhormat yang telah memanfaatkan dengan baik waktu yang diberikan Tuhan. Ia berhasil menemukan kebenaran hakiki melalui penderitaan pergolakan batin. Tuhan mencintai orang-orang seperti ini. ****** BUS reyot itu menurunkan aku di seberang jaIan di depan rumah ibuku. Aku mendengar lagu Payuan Pulau Kelapa di RRI, yang berarti warta berita pukul 12. Sebuah siang yang panas dan sunyi. Dan kesunyian itu bubar oleh suara klakson panjang dan sebuah mobil tronton kapasitas sepuluh ton, gardan ganda, bertenaga turbo, dengan delapan belas ban berdiameter satu meter. Seorang pria kecil terlonjak-lonjak di jok sopir. Ia terlalu kecil bagi truk raksasa pengangkut pasir gelas ini. “Pulang kampung juga kau akhirnya, Ikal. Hari yang sibuk! Datanglah ke proyek,” teriaknya. 341 Laskar Pelangi

Aku melepaskan empat tas yang membebaniku tapi hanya sempat melambaikan tangan. Ia pun pergi meninggalkan debu. Esoknya aku berkunjung ke bedeng proyek pasir gelas sesuai undangan sopir kecil itu. Bedeng itu memanjang di tepi pantai, tak berpintu, lebih seperti kandang ternak. Inilah tempat beristirahat puluhan sopir truk pasir yang bekerja siang malam bergiliran 24 jam untuk mengejar tenggat waktu mengisi tongkang. Tongkang- tongkang itu dimuati ribuan ton kekayaan bumi Belitong, tak tahu dibawa ke mana, salah satu perbuatan kongkalikong yang mengangkangi hak-hak warga pribumi. Aku masuk ke dalam bedeng dan melihat ke sekeliling. Di tengah bedeng ada tungku besar tempat berdiang melawan dingin angin laut, Di pojok bertumpuk-tumpuk kaleng minyak solar, bungkus rokok Jambu Bol, dongkrak, beragam kunci, pompa minyak, tong, jerigen air minum, semuanya serba kuma? dan berkilat. Panci hitam, piring kaleng, kotak obat nyamuk, kopi, dan ini instan berserakan di lantai tanah. Selembar sajadah usang terhampar lesu. Sebuah kalender bergambar wanita berbikini tergantung miring. Walaupun sekarang sudah bulan Mei tak ada yang berminat menyobek kalender bulan Maret, karena gambar wanita bulan Maret paling hot dibanding bulan lainnya. Pria yang kemarin menyapaku, yang menyetir tronton itu, salah satu dan puluhan sopir truk yang tinggal di bedeng in duduk di atas dipan, dekat tungku, berhadap-hadapan denganku. Ia kotor, miskin, hidup membujang, dan kurang gizi, ia adalah Lintang. Aku tak berkata apa-apa. Terlihat jelas ia kelelahan melawan nasib. Lengannya kaku seperti besi karena kerja rodi tapi tubuhnya kurus dan ringkih. Binar mata kepintaran dan senyum manis yang jenaka itu tak pernah hilang walaupun sekarang kulitnya kering berkilat dimakan minyak. Rambutnya semakin merah awut-awutan. Lin- tang dan keseluruhan bangunan ini menimbulkan rasa iba, iba karena kecerdasan yang sia-sia terbuang. Aku masih diam. Dadaku sesak. Bedeng ini berdin di atas tanah semacam semenanjung, daratan yang menjorok ke laut. Aku 342 Laskar Pelangi

mendengar suara Bum .! Bum ,..! Bum ...! Aku melihat ke luar jendela sebelah kananku. Sebuah tugboat, penarik tongkang meluncur pelan di samping bedeng. Suara motor tempel yang nendang menggetarkan tiangtiang bedeng dan asap hitam mengepul tebal. Gelombang halus yang ditimbulkan tugboat tersebut memecah tepian yang berkilat seperti permukaan kaca berwarna-warni karena digenangi minyak. Kupandangi terus tugboat yang melaju dan sekejapaku merasa tugboat itu tak bergerak tapi justru aku dan bedeng itu yang meluncur. Lintang yang dan tadi mengamatiku membaca pikiranku. “Einstein is simultaneous relativity” katanya memulai pembicaraan. Ia tersenyum getir. Kerinduannya pada bangku sekolah tentu membuatnya perih. Aku juga tersenyum. Aku mengerti ia tidak mengalami apa yang secara imajiner baru saja aku alami. Dua orang melihat objek yang sama dan dua sudut pandang yang berbeda maka pasti mereka memiliki persepsi yang berbeda. Oleh karena itu, Lintang menyebutnya simultan. Sebuah konteks yang relevan dengan perspektifku melihat hidup kami berdua sekarang. Tak lama kemudian aku mendengar lagi suara bum! Bum! Bum! Kali ini sebuah tugboat yang lain meluncur pelan dan arah yang berlawanan dengan arah tugboat yang pertama tadi. Buritan tugboat yang pertama belum habis melewatiku maka aku menoleh ke kin dan ke kanan membandingkan panjang ke dua tugboat yang melewatiku secara berlawanan arah. Lintang mengobservasi penilakuku. Aku tahu ia kembali membaca isi kepalaku, keahliannya yang selalu mem-buatku tercengang. 343 Laskar Pelangi

“Paradoks ...,“ kataku. “Relatif ...,“ kata Lintang tersenyum. Aku menyebut paradoks karena ukuran yang kupen-kinakan sebagai subjek yang diam akan berbeda dengan ukuran orang lain yang ada di tugboat meskipun untuk tugboat yang sama. “Bukan, bukan paradoks, tapi relatif,” sanggah Lintang. “Ukuran objek bergerak dilihat oleh subjek yang diam dan bergerak membuktikan hipotesis bahwa waktu dan jarak tidaklah mutlak tapi sebaliknya relatif, Einstein membantah Newton dengan pendapat itu dan itulah aksi oma pertama teori relativitas yang melambungkan Einstein.” Ugghh, Lintang! Sejak kecil aku tak pernah punya kesempatan sedikit pun untuk berhenti mengagumi tokoh di depanku ini, Mantan kawanku sebangku yang sekarang menjadi penghuni sebuah bedeng kuli ternyata masih sharp! Walaupun bola mata jenakanya telah menjadi kusam seperti kelereng diamplas namun intuisi kecerdasannya tetap tajam seperti alap-alap mengintai anak ayam. Aku beruntung sempat bertemu dengan beberapa orang yang sangat genius tapi aku tahu Lintang memiliki bakat genius yang jauh melebihi mereka. Aku termenung lalu menatapnya dalam-dalam. Aku merasa amat sedih. Pikiranku melayang membayangkan dia memakai celana panjang putih dan rompi pas badan dan bahan rajutan poliester, melapisi kemeja lengan panjang benwarna binu laut, naik mimbar, membawakan sebuah makalah di sebuah forum ilmiah yang terhormat. Makalah itu tentang terobosannya di bidang biologi manitim, fisika nuklin, atau energi alternatif. Mungkin ia lebih berhak hilir mudik keluar negeni, mendapat beasiswa bergengsi, dibanding begitu banyak mereka yang mengaku dininya intelektual tapi tak lebih dan ilmuwan tanggung tanpa kontnibusi apa pun selain tugas akhin dan nilai-nilai ujian untuk dininya sendini. Aku ingin membaca namanya di bawah sebuah 344 Laskar Pelangi

artikel dalam jurnal ilmiah. Aku ingin mengatakan pada setiap orang bahwa Lintang, satu-satunya ahli genetika di Indonesia, orang yang telah menguasai operasi pohon Pascal sejak kelas satu SMP, orang yang memahami filosofi diferensial dan integral sejak usia demikian muda, adalah munid perguruan Muhammadiyah, temanku sebangku. Namun, hari ini Lintang tennyata hanya seonang laki-laki kunus yang duduk bensimpuh menunggu gilinan kenja nodi. Aku teningat lima belas tahun yang lalu ia memejamkan matanya tak lebih dan tujuh detik untuk menjawab soal matematika yang rumit atau untuk meneriakkan Joan dArch! Merajai lomba kecerdasan, melejitkan kepercayaan diri kami. Kini ia terpojok di bedeng ini, tampak tak yakin akan masa depannya sendiri. Aku sering berangan-angan ia mendapat kesempatan menjadi orang Melayu pertama yang menjadi matematikawan. Tapi anganangan itu menguap, karena di sini, di dalam bendeng tak berpintu inilah Isaac Newtonku berakhir. “Jangan sedih Ikal, paling tidak aku telah memenuhi harapan ayahku agar tak jadi nelayan .,..“ Dan kata-kata itu semakin menghancurkan hatiku, maka sekarang aku marah, aku kecewa pada kenyataan be-gitu banyak anak pintar yang harus berhenti sekolah karena alasan ekonomi. Aku mengutuki orang-orang bodoh sok pintar yang menyombongkan diri, dan anak-anak orang kaya yang menyia- nyiakan kesempatan pendidikan. ALASAN orang menenima profesi tertentu kadang-kadang sangat luar biasa. Ada orang yang senang menjadi kondektur karena hobinya jalanjalan keliling kota, ada yang gembira memandikan gajah di kebun binatang karena hobinya main air, dan ada yang selalu meminta tugas ke luar kota agar dapat sekian ama meninggalkan istrinya. Tapi tak ada yang senang menyortir surat untuk alasan apa pun. Oleh karena itu, ketika 10 karung surat ditumpahkan di depanku untuk disortir sedangkan tambahan tenaga yang kuminta berulang-ulang tak terpenuhi, aku langsung hengkang 345 Laskar Pelangi

meninggalkan meja sortir itu, tak pernah kembali. Sebagian orang menduduki profesinya sekarang sesuai cita- citanya, sebagian besar tak pernah sama sekali menduga bahwa ia akan menjadi seperti apa adanya sekarang, dan sebagian kecil memilih profesi karena pertemuan dengan seseorang. Pertemuan dengan seseorang sering menjadi sebuah titik balik nasib. Jika tak percaya, tanyakan itu pada Mahar, Flo, dan seluruh anggota Societeit de Limpai. Pertemuan dengan Tuk Bayan Tula dan pesan beliau yang berbunyi: “Jika ingin lulus ujian, buka buku, belajar!” Ternyata menjadi kata-kata keramat yang mampu memutar haluan hidup mereka. Pada hari Sabtu, sehari sesudah Mahar membaca pesan Tuk, kami bendesak-desakkan di jendela kelas menyaksikan Flo dan Mahar menemui Bu Mus di bawah pohon filicium. Ketiga orang itu berdiri mematung dan tak banyak bicara. Lalu tampak kedua anak berandal itu bergantian men-cium tangan Bu Mus, guru kami yang bersahaja. Per-seteruan lama telah benakhin dengan damai. Keesokan harinya Mahar membubarkan Societeit de Limpai, dan esoknya lagi, pada Senin pagi yang biasa saja, kami menerima kejutan yang luar biasa, mengagetkan, dan amat mengharukan, Flo datang ke sekolah mengenakan jilbab. Mahar dan Flo berhasil lulus ujian caturwulan terakhir. Flo telah berubah total. Ia dulu seorang wanita yang berusaha melawan kodratnya namun akhirnya ia menjadi wanita sejati. Momentum dalam hidupnya jelas terjadi karena pertemuan dengan seseorang. Seseorang itu ada dua, yaitu Mahar dan Tuk Bayan Tula, Kejadian itu telah memutarbalikkan hidupnya. Flo menempuh perguruan tinggi di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di universitas Sriwijaya. Setelah lulus, ia menjadi guru TK di Tanjong Pandan dan bercita-cita membangun gerakan wanita Muhammadiyah. Ia menikah dengan seorang petugas teller bank BRI mantan anggota Societeit, dan keinginan lama Flo untuk menjadi laki-laki dibayar Allah dengan memberinya dua kali persalinan yang melahirkan empat anak laki-laki yang tampan luar biasa dalam jarak hanya setahun. Dua kali anak kembar! 346 Laskar Pelangi

Pesan Tuk Bayan Tula telah memberi pencerahan bagi para anggota Societeit, bahwa tak ada yang dapat dicapai di dunia ini tanpa usaha yang rasional. Sebuah pencerahan terang benderang yang datang justru dan seorang tokoh dunia gelap, manusia separuh pen, bahkan banyak yang menganggapnya manusia separuh iblis. Para anggota Societeit adalah orang-orang biasa, miskin, dan kebanyakan, namun mereka kaya raya akan pengalaman batin dan petualangan penuh mara bahaya untuk mencari kebenaran hakiki. Mereka memastikan setiap kesangsian, mem buktika prasangka dan mitos-mitos, serta mengalami sendiri apa yang hanya bisa diduga-duga orang. Mereka memuaskan sifat dasar keingin tahuan manusia sampai batas akhir yang menguji keyakinan. Mereka adalah orang-orang yang menjemput hidayah dan tidak duduk termangumangu menunggunya. Kini mereka menjadi orangorang Islam yang taat yang menjauhkan diri dan syirik. Di bawah pemimpin baru, pemain organ tunggal itu, mereka mem-bentuk perkumpulan yang aktif melakukan dakwah dan mengislamkan komunitas-komunitas terasing di pulau- pulauterpencil di perairan Bangka Belitong. Mereka laksana manusia-manusia baru yang dilahirkan dan kegelapan dan kini berjalan tegak di ladang ijtihad di bawah siraman air Danau Kautsar yang membersihkan hati. Tuk Bayan Tula sendiri tak ada kabar beritanya. Anggota Societeit adalah manusia terakhir yang melihat beliau masih hidup. Dalam kaar (peta laut) terakhir perairan Belitong yang dipetakan oleh TNI AL, Pulau Lanun sudah tak tampak. Di perairan ini sering sekali pulau-pulau kecil timbul dan tenggelam karena badai atau ketidakstabilan permukaan air laut. Adapun pensiunan syah bandar yang dulu mengumandangkan azan ketika anggota Societeit hampir tewas dilamun badai sekarang menjadi muazin tetap di Masjid Al- Hikmah, Nasib, usaha, dan takdir bagaikan tiga bukit biru samar-samar yang memeluk manusia dalam lena. Mereka yang gagal tak jarang 347 Laskar Pelangi

menyalahkan aturan main Tuhan. Jika me-reka miskin mereka mengatakan bahwa Tuhan, melalui takdir-Nya, memang mengharuskan mereka miskin. Bukit-bukit itu membentuk konspirasi rahasia masa depan dan definisi yang sulit dipahami sebagian orang. Seseorang yang lelah berusaha menunggu takdir akan mengubah nasibnya. Sebaliknya, seseorang yang enggan mem-banting tulang menerima saja nasibnya yang menurutnya tak ‘kan berubah karena semua telah ditakdirkan. Inilah lingkaran iblis yang umumnya melanda para pemalas. Tapi yang pasti pengalaman selalu menunjukkan bahwa hidup dengan usaha adalah mata yang ditutup untuk memilih buah- buahan dalam keranjang. Buah apa pun yang didapat kita tetap mendapat buah. Sedangkan hidup tanpa usaha ada-lah mata yang ditutup untuk mencari kucing hitam di dalam kamar gelap dan kucingnya tidak ada. Mahar memiliki bukti untuk hipotesis ini. Ia hanya berijazah SMA. Nasibnya seperti Lintang. Mereka adalah dua orang genius yang kemampuannya dinisbikan secara paksa oleh tuntutan tanggung jawab pada keluarga. Mahar tak bisa meninggalkan rumah untuk berkiprah di lingkungan yang lebih mendukung bakatnya sejak ibunya sakit-sakitan karena tua. Sebagai anak tunggal ia harus merawat ibunya siang malam karena ayahnya telah meninggal. Mahar pernah menganggur dan setiap hari, tanpa berusaha, menunggu takdir menyapanya. Ia mengharapkan su-rat panggilan dan Pemda untuk tenaga honorer. Ketika itu ia berpikir kalautakdir menginginkannya menjadi se-orang guru kesenian maka ia tak perlu melamar. Ternyata cara berpikir seperti itu tak berhasil. Maka ia mulai berusaha menulis artikel-artikel kebudayaan Melayu. Artikelnya menarik bagi para petinggi lalu ia dipercaya membuat dokumentasi permainan anak tradisional. Dokumentasi itu berkembang ke bidang-bidang lain seperti kesenian dan bahasa yang membuka kesem-patan riset kebudayaan yang luas dan memungkinkannya menulis beberapa buku 348 Laskar Pelangi

Jika dulu ia tak menulis artikel maka ia tak ‘kan pernah menulis buku. Melalui buku-buku itu ia tertakdirkan menjadi seorang narasumber budaya. One thing leads to another, Dalam kasus Mahar nasib adalah setiap deretan titik-titik yang dilalui sebagai akibat dan setiap gerakan-gerakan konsisten usahanya dan takdir adalah ujung titiktitik itu. Sekarang Mahar sibuk mengajar dan mengor-ganisasi berbagai kegiatan budaya. Tentu saja pekerjaan-pekerjaan itu tak mampu menyokong nafkah ia dan ibunya maka honor kecil tapi rutin juga Mahar peroleh dan orang pesisir yang meminta bantuannya melatih beruk memetik buah kelapa. Ia sangat ahli dalam bidang ini. Dalam tiga minggu seekor beruk sudah bisa mengguncangguncang kelapa untuk membedakan mana kelapa yang harus dipetik. Lain pula cerita Syahdan. Syahdan yang kecil, santun, dan lemah lembut agaknya memang ditakdirkan untuk menjadi pecundang yang selalu menerima perintah. Jika kami membentuk tim ia pasti menjadi orang yang paling tak penting. Ia adalah seksi repot, tempat penitipan barang, pengurus konsumsi, pembersih, tukang angkatangkat, dan jika makan paling belakangan. Ia adalah kambing hitam tempat tumpahan semua kesalahan, dia tak pernah sekalipun dimintai pertimbangan jika Laskar Pelangi mengambil keputusan, lalu dalam lomba apa pun dia selalu kalah. Lebih dan itu ia sangat menyebalkan karena sangat gagap teknologi. Ia sama sekali tak bisa diandalkan untuk hal-hal berbau teknik, bahkan hanya untuk membetulkan rantai sepeda yang lepas saja ia sering tak becus. Cita-citanya untuk menjadi aktor sangat tidak realistis, maka kami tak pernah berhenti menyadarkannya dan mimpi itu, bahkan bertubi-tubi mencemoohnya. Namun tak disangka di balik kelembutannya ternyata Syahdan adalah seorang pejuang. Semangat juangnya sekeras batu satam. Setelah SMA ia berangkat ke Jakarta. Dengan map di ketiaknya ia melamar untuk menjadi aktor dan satu rumah produksi ke rumah produksi lainnya, hanya bermodalkan satu hal: keinginan! Itu saja. Aneh, setelah lebih dan setahun akhirnya ia benar-benar menjadi aktor! 349 Laskar Pelangi

Sayangnya sampai hampir tiga tahun berikutnya ia masih saja seorang aktor figuran. Lalu ia bosan berperan sebagai figuran makhluk-makhluk aneh: tuyul, setan, dan jin-jin kecil karena tubuhnya yang mini dan berkulit gelap. Ia juga bosan menjadi pesuruh ini itu di sebuah grup sandiwara tradisional kecil yang sering manggung di pinggiran Jakarta. Tugas ini itu-nya itu antara lain memikul genset dan mencuci layar panggung yang sangat besar. Lebih dan semua itu, menjadi figuran dan pesuruh ternyata tak mampu menghidupinya. Di tengah kemelaratannya Syahdan yang malang iseng-iseng kursus komputer dan di tengah perjuangan mendapatkan kursus itu ia nyaris menggelandang di Jakarta. Di luar dugaan, orang lain umumnya mengetahui bakatnya ketika masih belia tapi Syahdan baru tahu kalau ia berbakat mengutak-atik program komputer justru ketika sudah dewasa. Dengan cepat ia menguasai berbagai bahasa pemrograman dan dalam waktu singkat ia sudah menjadi net-work designer. Tahun berikutnya sangat mengejutkan. Ia mendapat beasiswa short course di bidang computer net-work di Kyoto university, Jepang. Di sana ia berhasil men-capai kualifikasm keahliannya dan menjadi salah satu dan segelintir orang Indonesia yang memiliki sertifikat Sisco Expert Network. Ia kembali ke Indonesia dan dua tahun kemudian Syahdan, pria liliput putra orang Melayu, nelayan, jebolan sekolah gudang kopra Muhammadiyah telah menduduki posisi sebagai Information Technology Manager di sebuah perusahaan multinasional terkemuka yang berkantor pusat di Tangerang. Dan sudut pandang material Syahdan adalah anggota Laskar Pelangi yang paling sukses. Ia yang dulu selalu menjadi penerima perintah, tukang angkat-angkat, dan tak becus terhadap sesuatu yang berbau teknik, kini memimpin divisi inovasi teknologi dengan ratusan anak buah. Namun Syahdan tak pernah menyerah pada cita-citanya untuk menjadi aktor sungguhan. Suatu hari ía meneleponku tanpa salam pembukaan dan tanpa basa-basi penutupan. Ia hanya mengatakan ini dan tanpa sempat aku berkata apa-apa ia langsung menutup teleponnya. 350 Laskar Pelangi

“Kau dengar ini Ikal, aku ingin menjadi aktorfl” Syahdan tak pernah melepaskan mimpinya karena ia adalah seorang pejuang. ******** 351 Laskar Pelangi

BAB 33 Anakronisme DAN inilah yang paling menyedihkan dan seluruh kisah ini. Karena tak selembar pun daun jatuh tanpa sepengetahuan Tuhan maka tak absurd untuk menyamakan PN Timah dengan The Tower of Babel di Babylonia. Sebuah analogi yang pas karena setelah membentuk provinsi baru kawasan itu juga disebut Babel: Bangka Belitung. Pada tahun 1987 harga timah dunia merosot dan 16.000 USD/metriks ton menjadi hanya 5.000 USD/metriks ton dan dalam sekejap PN Timah lumpuh. Seluruh fasilitas produksi tutup, puluhan ribu karyawan terkena PHK. Ketika berada di puncak komidi putar dulu, barangkali itu sebuah kemunafikan, seperti halnya Babylonia, sebab Tuhan menghukum keduanya dengan kehancuran berkeping-keping yang menghinakan. Ternyata untuk musnah tak harus termaktub dalam Talmud. Tak ada firasat sebelumnya, Perusahaan Gulliver yang telah berjaya ratusan tahun itu mendadak lumpuh hanya dalam hitungan malam. Maka Babel adalah inskripsi, sebuah prasasti peringatan bahwa Tuhan telah menghancurkan dekadensi di Babylonia seperti Tuhan menghancurkan kecongkakan di Belitong. Segera setelah harga 352 Laskar Pelangi

timah dunia turun, keadaan diperparah oleh ditemukannya sumber suplai lain di beberapa negara, PN Timah pun megap-megap. Orang Islam tidak diperbolehkan memercayai ramalan namun ingin rasanya mengenang mimpi Mahar bertahun-tahun yang lalu di gua gambar tentang kehancuran sebuah kekuatan besar di Belitong. Hari ini mimpi meracau itu terbukti, Pemerintah pusat yang rutin menerima royalti dan deviden miliaran rupiah tiba-tiba seperti tak pernah mengenal pulau kecil itu. Mereka memalingkan muka ketika rakyat Belitong menjerit menuntut ketidakadilan kompensasi atas PHK massal. Habis manis sepah dibuang. Jargon persatuan dan kesatuan menjadi sepi ketika ayam petelur telah menjadi mandul. Pulau Belitong yang dulu biru berkilauan laksana jutaan ubur-ubur Ctenopore redup laksana kapal hantu yang terapung-apung tak tentu arah, gelap, dan sendirian. Dalam waktu singkat Gedong berada dalam status quo. Warga pribumi yang menahankan sakit hati karena kesenjangan selama puluhan tahun, dan yang agak sedikit picik, menyerbu Gedong. Para Polsus kocar-kacir ketika warga menjarah rumahrumah Victoria mewah di kawasan prestisus tak bertuan itu. Laksana kaum proletar membalas kesemena-menaan borjuis, mereka merubuhkan dinding, menariki genteng, menangkapi angsa dan ayam kalkun, men-cabuti pagar, mencuri daun pintu dan jendela, mencongkel kusen, memecahkan setiap kaca, mengungkit tegel, dan membawa lan gorden. Tanda-tanda peringatan “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK” diturunkan dan dibawa pulang untuk dijadikan koleksi seperti cinderamata pecahan batu tembok Berlin. Sebagian penjarah yang marah duduk sebentar di sofa besar chesterfield dan makan di meja terracotta yang mahal, berpura-pura menjadi orang staf sebelum mereka beramai-ramai menjarahnya. Rumah-rumah Victoria di kawasan Gedong, negeri dongeng tempat pun dan Cinderella bersukaria langsung berubah menjadi Bukit Carphatian tempat kastil keluarga Dracula. Jika malam kawasan itu gelap gulita. Pohon-pohon beringin tak lagi imut tapi kini menunjukkan karakter asli-nya sebagai pohon tempat kaum jin 353 Laskar Pelangi

rajin beranak pinak. Daunnya yang rindang memayungi jalan raya seakan siap memangsa siapa pun yang melintas di bawahnya. Danau-danau buatan berubah menjadi habitat biawak dan tiang- tiang utama dan bangunan yang telah dijarah tampak seumpama bangkai binatang besar atau tombak-tombak perang bangsa Troya yang panjang dan di puncaknya ditancapkan kepala-kepala manusia. Sekolahsekolah PN bubar, berubah menjadi bangunan kosong yang termangu-mangu sebagai jejak feodalisme. Kini sekolah-sekolah itu lebih cocok menjadi lokasi shooting acara misteri. Ratusan siswa PN yang masih aktif dilungsurkan ke sekolah- sekolah negeri atau sekolah kampung. Rumah Kepala Wilayah Produksi PN yang berdiri amat megah seperti istana di Manggar, puncak Bukit Samak dengan pemandangan spektakuler laut lepas dan sebuah generator listrik terbesar seAsia Tenggara dijarah sehingga rata dengan tanah. Rumah Sakit PN yang hebat juga tak luput dan anarkisme. Obat- obatan dihamburkan ke jalan, kursi dan meja roda dibawa pulang atau dihancurkan. Sepintas aku masih mencium amis darah di atas brankar dan bau cairan kompres yang tergenang dalam piring piala ginjal, suatu bau busuk kekayaan yang dikumpulkan dalam pundi- pundi ketidakadilan tanpa belas kasihan pada rakyat kecil, Bentangan kawat telepon digulung. Kabel ustrik yang masih dialiri tegangan tinggi dikampak sehingga menimbulkan bunga api seperti asteroid menabrak atmosfer. Kapal keruk digergaji menjadi besi kiloan, Sebuah dinasti yang kukuh dan congkak hancur berantakan menjadi remah-remah hanya dalam hitungan malam, seiring dengan itu, reduplah seluruh metafora yang mewakili kedigdayaan sebuah perusahaan yang telah membuat Belitong dijuluki Pulautimah, Yang terpukul knock out tentu saja orangorang staf. Tidak hanya karena secara mendadak kehilangan jabatan dan hancur citranya tapi sekian lama mapan dalam mentalitas feodalistik terorganisasi yang inheren tiba-tiba menjadi miskin tanpa pelindungan sistem. Karakter terbunuh secara besar-besaran. Verloop ke wisma-wisma timah yang mewah di Jakarta atau Bandung dua kali setahun sekarang harus diganti dengan mencangkul, memanjat, memancing, 354 Laskar Pelangi

menjerat, menggali, mendulang, atau menyelam untuk menghidupi keluarga. Anakronistis mungkin, sebab mereka kembali hidup bersahaja seperti zaman antediluvium ketika orang Melayu masih menyembah bulan, Karena tak terbiasa susah dan ditambah dengan anak-anak yang tak mau berkompromi dalam menurunkan standar hidup sementara mereka tengah kuliah di universitas-universitas swasta mahal membuat orang-orang staf stres berkepanjangan. Tak jarang masalah mereka berakhir dengan stroke, operasi jantung, mati mendadak, drop out massal, dan lilitan utang. Mereka seperti orang tersedak sendok perak. Yang tak mampu menerima kenyataan dan hidup menipu diri sendiri didera post power syndrome, biasanya tak bertahan lama dan segera check in di ZaaI Batu. Komidi berputar berbalik arah dalam kecepatan tinggi, penumpangnya pun terjungkal. Kehancuran PN Timah adalah kehancuran agen kapitalis yang membawa berkah bagi kaum yang selama ini terpinggirkan, yakni penduduk pribumi Belitong. Blessing in disguise, berkah tersamar. Sekarang mereka bebas menggali timah di mana pun mereka suka di tanah nenek moyangnya dan menjualnya seperti menjual ubi jalar. Saat ini diperkirakan tak kurang dan 9.000 orang bekerja mendulang timah di Belitong Mereka menggali tanah dengan sekop dan mendulang tanah itu dengan kedua tangannya untuk memisahkan bijih-bijih timah. Mereka bekerja dengan pakaian seperti tarzan namun menghasilkan 15,000 ton timah per tahun. Jumlah itu lebih tinggi dan produksi PN Timah dengan 16 buah kapal keruk, tambangtambang besar, dan open pit mining, serta dukungan miliaran dolar aset. Satu lagi bukti kegagalan metanarasi kapitalisme. Ekonomi Belitong yang sempat lumpuh pelan pelan mengqeliat, berputar lagi karena aktivitas para pendulang. Suatu profesi yang dulu dihukum sangat keras seperti pelaku subversi. 355 Laskar Pelangi

******** Tahun 1991 perguruan Muhammadiyah ditutup. Namun perintis jalan terang yang gagah berani ini meninggalkan semangat pendidikan Islam yang tak pernah mati. Sekarang Belitong telah memiliki dua buah pesantren. Pembangunan pesantren ini adalah harapan para tokoh Muhammadiyah sejak lama. Generasi baru para legenda K.H. Achmad Dahlan, Zubair, K.A. Abdul Hamid, Ibrahim bin Zaidin, dan K.A. Harfan Effendi Noor lahir silih berganti. Suatu hari nanti akan ada yang mengisahkan hidup mereka laksana sebuah epik. Tak dapat dikatakan bahwa seluruh alumni sekolah Muhammadiyah Belitong telah menjadi orang yang sukses apalagi secara matenial namun para mantan pengajar sekolah itu patut bangga bahwa mereka telah mewariskan semacam rasa bersalah bagi mantan muridnya jika mencoba-coba berdekatan dengan khianat terhadap amanah, jika mempertimbangkan dirinya merupakan bagian dan sebuah gerombolan atau rencana yang melawan hukum, dan jika membelakangi ayat-ayat Allah. Itulah panggilan tak sadar yang membimbing lurus jalan kami sebagai keyakinan yang dipegang teguh karena bekal dan pendidikan dasar Islam yang tangguh di sekolah miskin itu. Perasaan beruntungku karena didaftarkan ayahku di SD miskin itu puluhan tahun lalu terbukti dan masih berlaku hingga saat ini. Fondasi budi pekerti Islam dan kemuhammadiyahan yang telah diajarkan padaku menggema hingga kini sehingga aku tak pernah berbelok jauh dan tuntunan Islam bagaimanapun ibadahku sering berfluktuasi dalam kisaran yang lebar. Sepanjang pengetahuanku tak ada mantan warga Muhammadiyah yang menjadi bagian dan sebuah daftar para kniminal, khususnya koruptor. Pesan Pak Hanfan bahwa hiduplah dengan memberi sebanyak banyaknya, bukan menerima sebanyak-banyaknya terefleksi pada kehidupan puluh-an mantan siswa Muhammadiyah yang kukenal dekat secara pribadi. Mereka adalah tipikal orang yang sederhana namun bahagia dalam kesederhanaan itu. 356 Laskar Pelangi

Pak Harfan dan mantan pengajar penguruan Muhammadiyah hingga kini tak pernah berhenti mendengungkan syiar Islam. Mereka bangga memikul takdir sebagai pembela agama. Bu Mus dan guru- guru muda Muhammadiyah mendapat kesempatan dan Depdikbud untuk mengikuti kursus Pendidikan Guru (KPG) lalu diangkat menjadi PNS. Bu Mus sekarang mengajar Matematika di SD Negeri 6 Belitong Timur. Beliau telah menjadi guru selama 34 tahun dan mengaku tak pernah lagi menemukan murid-murid spektakuler seperti Lintang, Flo, dan Mahar. 357 Laskar Pelangi

BAB 34 Gotik AKU bangga duduk di sini di antara para panelis, yaitu para budayawan Melayu yang selalu menimbulkan rasa in. Sebuah benda segitiga dan plastik di depanku menyatakan eksistensiku: Syahdan Noor Aziz Bin Syahari Noor Aziz Panelis Aku terutama bangga pada sahabat lamaku Mahar Ahlan bin Jumadi Ahlan bin Zubair bin Awam, cicit langsung tokoh besar pendidikan Belitong, Zubair. Ia meluncurkan bukunya hari in Sebuah novel tentang persahabatan yang sangat indah. Ketika ia memintaku menjadi panelis, aku langsung setuju. Aku mengambil cuti di antara kesibukanku di Bandung sekaligus pulang kampung ke Belitong. Di antara hadirin ada Nur Zaman dan guruku, Bu Mus serta Pak Harfan, Ada pula Kucai, sekarang ia adalah Drs. Mukharam Kucai Khairani, MBA dan selalu berpakaian safari. Dulu di kelas otaknya paling lemah tapi sekarang gelar akademiknya termasuk paling tinggi di antara kami. Nasib memang aneh. 358 Laskar Pelangi

Kucai selalu berpakaian safari karena citacitanya untuk menjadi anggota dewan rupanya telah tercapai. Ia telah menjadi politisi walaupun hanya kelas kampung. Ia menjadi seorang ketua salah satu fraksi di DPRD Belitong. Kucai sangat progresif. Ia bertekad menurunkan peringkat korupsi bangsa ini dan ia geram ingin membongkar perilaku eksekutif yang sengaja membuat struktur baru guna melegalisasi skenario besar, yaitu merampoki uang rakyat. Bersama Mahar ia juga berniat mengembalikan nama-nama daerah di Belitong kepadanama asli berbahasa setempat. Nama-nama itu sehama masa orde baru dengan konyol dibahasa Indonesia kan, Proyek prestisius mereka lainnya adahah mematenkan permainan perosotan dengan pelepah pinang. Tapi lebih dar semua itu aku rindu pada Ikal. Kasihan pria keriting yang pernah jadi tukang sortir itu. Kelelahan mencari identitas, insomnia, dan terobsesi dengan satu cinta telah membuatnya agak senewen. Kabarnya ia hengkang dar kantor pos lalu mendapat beasiswa untuk mehanjutkan pendidikan. Barangkahi untuk tujuan sebenarnya: ”membuang dirinya sendiri.” Setehah acara pehuncuran buku, aku, Nur Zaman, Mahar, dan Kucai mengunjungi ibu Ikal untuk bersilaturahmi sekalian menanyakan kabar anaknya di rantau orang. Ketika bus umum yang kami tumpangi melewati pasar Tanjong Pandan, aku melihat seorang pria yang sangat gagah seperti seorang petinggi bank atau seperti petugas asuransi dan Jakarta yang sedang mengincar asuransi aset di provinsi baru Babel. Pria itu bercelana panjang cokelat teduh senada dengan warna ikat pinggangnya. Kemejanya jatuh menarik di tubuhnya yang kurus tinggi dengan bahu bidang. Postur yang disukai para perancang mode. Sepatu pantofelnya jelas sering disemir. Rambutnya lurus pendek disisir ke belakang. Kulitnya putih bersih. Tak berlebihan, ia seperti Adrien Brody! Sayangnya barang bawaannya sama sekali tak sesuai dengan penampilan gagahnya. Ia menenteng plastik kresek be-lanjaan, ikatan daun saledri, kangkung, kardus, dan alat-alat dapur. Ia 359 Laskar Pelangi

berjalan tercepuk-cepuk mengikuti seorang ibu di depannya. Meskipun sangat repot dan kepanasan Ia-pi ia berseri-seri. Aku kenal pria ganteng itu, ia Trapani. Tahun lalu aku mendengar cerita pertemuannya dengan Ikal di Zaal Batu. Ia mengalami kemajuan dan diizinkan pulang. Aku tak memberi tahu Nur Zaman, Mahar, dan Kucai. Aku memandang ibu dan anak itu berjalan beriringan sampai jauh. Air mataku mengahir. Nur Zaman, Mahar, dan Kucai tak tahu. Aku terkenang lima belas tahun yang lalu. Setelah tamat SMA, aku, Ikal, Trapani, dan Kucai memutuskan untuk merantau mengadu nasib ke Jawa, Hari itu kami berjanji berangkat dengan kapal barang dari Dermaga Ohivir. Tapi sampai sore Trapani tak datang. Karena kapal barang hanya berangkat sebulan sekali maka terpaksa kami berangkat tanpa dia. Pada saat itu rupanya Trapani telah mengambil keputusan lain. Ia tak datang ke dermaga karena ia tak mampu meninggalkan ibunya. Setelah itu kami tak pernah mendengar kabar Trapani. ******** Sekarang kami duduk di beranda sebuah rumah panggung kuno khas Melayu, rumah ibu Ikal. “Bagaimana kabarnya si Ikal itu, Ibunda?” tanya Mahar kepada ibu Ikal. Ibu tua berwajah keras itu awalnya tadi sangat ramah. Beliau menyatakan rindu kepada kami, namun demi mendengar pertanyaan itu beliau menatap Mahar dengan tajam. Mahar tersenyum kecut. Wajah ibu Ikal kelihatan kecewa berat. Beliau diam. Tangannya memegang sebilah pisau antip, mencengkeramnya dengan geram sehingga dua butir pinang terbelah dua tanpa ampun. Salah satu belahan pinang jatuh berguling dan terjerumus di antara celah lantai papan lalu diserbu ayam-ayam di bawah rumah, beliau tak sedikit pun peduli. 360 Laskar Pelangi

Si pemimpi itu pasti sudah bikin ulah lagi. Mahar sedikit menyesal mengungkapkan pertanyaan itu. dan gambir yang bertumpuk-tumpuk di dalam kotak tembaga yang disebut keminangan. Lalu dua lembar daun sirih dibalutkan pada ramuan tadi sehingga menjadi bola kecil. Beliau menggigit bola kecil itu dengan geraham di sudut mulutnya seperti orang ingin memutuskan kawat dengan gigi, bersungutsungut, dan bersabda dengan tegas: “Terakhir ia mengirimiku sepucuk surat dan diselipkannya selembar foto dalam suratnya itu.” Beliau meludahkan cairan merah yang terbang melalui jendela rumah panggung sambil melilitkan jilbabnya dua kali menutupi dagunya sehingga seperti cadar. Beliau jelas sedang marah. “Rupanya dia dan kawan-kawannya sedang mengikuti semacam festival seni mahasiswa, Wajahnya di foto itu di-coreng-moreng tak keruan tapi dia sebut itu seni?!!” Kami menunduk tak berani berkomentar. “Menurutnya itu seni lukis wajah, ya seni lukis wajah, apa itu... gotik! Va gotik! Dia sebut itu seni lukis wajah gotik! Dan dia sangat bangga pada coreng-morengnya itu!” Beliau menghampiri kami yang duduk tertunduk melingkari meja tua batu pualam. Kami pun ciut. “Bukan main anak muda Melayu zaman sekarang!!!” Ibu Ikal mengepalkan tinjunya, kami ketakutan, beliau mengacung-acungkan pisau antip, kami tak berkutik, suara beliau meninggi..“Dia sebut itu seni??? Ha! Seni!! Barangkali dia ingin tahu pendapatku tentang seninya itu!!!” Ibu Ikal meramu tembakau, pinang, kapur sirih, Beliau benar-benar muntab, murka tak terkirakira. Untuk kedua kalinya beliau menyemburkan cairan merah sirih melalui jendela seperti anak-anak panah yang melesat. “Pendapatku adalah wajahnya itu persis benar dengan wajah orang yang sama sekali tidak pernah shalat! 361 Laskar Pelangi

Demi mendengar kata-kata itu Kucai yang tengah memamah biak sagan tak bisa menguasai diri. Dia berusaha keras menahan tawa tapi tak berhasil sehingga serbuk kelapa sagon terhambur ke wajah Mahar, membuat jambul pengarang berbakat itu kacau balau. Kucai berulang kali minta maaf pada ibu Ikal, bukan pada Mahar, tapi wajahnya mengangguk-angguk takzim menghadap ke Nur Zaman. SELESAI (tamat Yek.. :-p) ************ 362 Laskar Pelangi

Glosorium Bab 1 Dul Muluk: sandiwara orang Melayu, dipentaskan seperti ketoprak tapi pakemnya berbabak-babak, dalam Dul Muluk tak ada unsur musik sebagai bagian dan dramatisasi sandiwara, Temanya selalu tentang sesuatu yang berhubungan dengan kerajaan. Dul Muluk disebut Demulok dalam dialek Belitong atau sekadar Mulok saja. Filicium (Filicium decipiens; fern tree; pohon kerel/kiara/kerai payung; Ki Sabun): pohon yang termasuk familia Sapindaceae, disebut Ki Sabun karena seluruh bagian tubuhnya mengandung saponin atau zat kimia yang menjadi salah satu bahan dasar sabun. Pohon peneduh ini termasuk salah satu jenis pohon yang dapat mengurangi polusi udara sampai 67%. Keramba: keranjang atau kotak dan bilah bambu untuk membudidayakan ikan yang diletakkan di pinggir pantai, sungai, danau, atau bendungan; atau keranjang untuk mengangkut ikan, bentuknya lonjong, terbuat dan anyaman bambu dengan kerangka kayu, biasanya berlapis ter supaya kedapair. Kopra: daging buah kelapa yang dikeringkan untuk membuat minyak kelapa. Tercepuk-cepuk: istilah daerah untuk menggambarkan cara jalan yang terpincang-pincang/ terseok-seok. Bab 2 Antediluvium: masa sebelum diluvium (zaman pleistosen). Burung pelintang pulau: agaknya berada dalam keluarga betet dan bayan penampilannya seperti itu, selebihnya misterius. Bushman: suku yang hidup di dataran bersemaksemak dan belukar di sabana-sabana Afrika (bush dalam bahasa Inggris berarti semak/belukar). Nama itu didapat dan antropolog Prancis. Suku ini terangkat pamornya karena film Cod Must be Crazy, wajah dan sifat mereka polos dan lugu. Cemara angin: salah satu jenis cemara (Casuarina eqnisetifolia) yang penampakannya sangat seram, tinggi meranggas, sekeras batu. Entah menanggung karma apa jenis cemara ini karena sering sekali disambar petir, tapi mungkin karena ada unsur medan magnet di dalamnya. Daunnya jika ditiup angin kadang- kadang berbunyi seperti siulan, mungkin ini yang menyebabkan orang menamainya cemara angin. 363 Laskar Pelangi

Crinum giganteum: jenis crinum yang paling besar (kata giganteum berasal dan kata gigantic yang berarti raksasa). Umumnya setiap bunga crinum mengeluarkan aroma seperti aroma vanili. Di dunia terdapat tidak kurang dan 180 jenis crinum, banyak ahli yang menganggap ia masuk dalam familia lily, lebih tepatnya perennial lily, karena warnanya yang putih dan bentuknya yang mirip bunga tersebut. Tapi ada juga ahli yang tidak sependapat, karena jika dilihat dan jenis crinum rawa (swamp crinum atau Crinum asiaticum) yang beracun, penampilannya jauh benar dibanding lily. Ketapang (Terminalia catapa): pohon besar yang berdaun lebar dan buahnya bertempurung keras. Kulit buahnya dipakai untuk menyamak kulit dan bijinya dapat dibuat minyak. Pohon ini banyak sekali tumbuh di daerah pinggir laut. Lintang: bahasa Jawa, berarti bintang. Nebula: sekelompok bintang di langit yang tampak sebagai kabut atau gas pijar bercahaya. Nipoh (Nipa fruticans): palem yang tumbuh merumpun dan subur di rawa-rawa daerah tropis, menyerupai pohon sagu, tingginya mencapai 8 meter, daunnya digunakan untuk bahan atap, tikar, keranjang, topi, dan payung. Nira dan sadapan perbungaannya digunakan untuk pembuatan gula dan alkohol. Pilea/bunga meriam (P/lea microphylla atau artillery plant): tanaman ini berbentuk menyerupai pakis, dengan daun- daun hijau yang mungil. Daunnya mengandung tepung sari yang pada musim kemarau akan menebal dan jika terkena percikan air, tepung sari tersebut akan terlontar, atau seperti meledak sehingga disebut bunga meriam. Bob S Atop sirop: Map yang dibuat dan kayu ulin (Eusideroxylon zwageri), sebagian orang menyebutnya kayu besi atau kayu belian. Ulin sirap secara alamiah berupa pohon yang batangnya seperti berlapis-lapis sehingga begitu dibelah langsung rata menyerupai tripleks atau papan tipis. Langkah selanjutnya tinggal memotong- motong ulin sirap sesuai dengan ukuran yang dikehendaki dan siap digunakan untuk atap rumah. Kayu ulin sirap yang berusia tua sudah semakin sulit diperoleh karena penebangan hutan yang tidak terkendali. Sekarang ini penggunaan atap sirap sudah semakin langka, namun masih bisa dilihat misalnya gedung asli ITB di Bandung. Tionghoo kebun: sebuah julukan di masyarakat Melayu untuk orang- orang Tionghoa yang tidak berdagang seperti kebanyakan profesi 364 Laskar Pelangi

komunitasnya, melainkan berkebun untuk mencari nafkah. Kebanyakan kehidupannya kurang beruntung dibandingkan saudara-saudaranya yang berdagang, sehingga julukan Tionghoa kebun identik dengan kemiskinan. Bob4 Lois (Tandarus furcatus): tanaman semacam pandan tapi berduri, anyaman daunnya digunakan untuk membuat topi kerucut, karung, dan tas. Bob 5 Aichong: dahan-dahan, ranting, yang digunakan untuk menyumbat agar ahiran air tidak bocor. Aluvium: lempung, pasir halus, pasir, kerikil, atau butiran lain yang terendapkan oheh air mengahir; zaman geohogi yang paling muda dan zaman kuarter atau zaman geohogi yang sekarang. dan dedaunan seha-seha kiaw Bangsa Lemuria: seperti Pompeii yang dilanda bencana terus punah, Lemuria dianggap bangsa berbudaya tinggi yang ada di wilayah Samudra Pasifik. Hilang secara misterius dan sebagian arkeolog menganggap Lemuria hanya mitos. Granit: batuan keras yang berwarna keputihputihan dan berkilauan, Hematit: bijih besi yang kehitaman; Fe203 Ilmenit: mineral yang bentuknya persis bijih timah, yaitu berupa pasir, berwarna hitam, tapi sangat ringan, sementara bijih timah amat berat. Berat segenggam timah seperti segenggam besi, sedangkan segenggam ilmenit lebih ringan daripada segenggam pasir, sehingga ilmenit disebut juga timah kosong. Ilmenit banyak sekali berada di lapisan aluvium yang dangkal. Sekian lama tak dipedulikan karena dianggap tak berharga sampai seorang ilmuwan Australia menemukan bahwa ilmenit merupakan bahan yang nyaris sempurna untuk produk-produk antipanas tinggi. Kaolin: tanah bat yang lunak, halus, dan putih, terjadi dan pelapukan batuan granit, dijadikan bahan untuk membuat porselen atau untuk campuran membuat kain tenun (kertas, karet, obat-obatan, dan sebagainya); tanah hat Gina. Khaknai: lumpur yang akan dibuang setelah bijih-bijih timah dipisahkan dan lumpur tersebut. Kiaw: kayu-kayu bulat sepanjang dua atau tiga meter sebesar lengan laki-laki dewasa yang digunakan untuk membuat phok. Knautia (widow flower): tanaman ini diyakini hanya hidup di daerah tropis, karena susah tumbuh jika terlindung dan sinar matahari. 365 Laskar Pelangi

Bunganya bertangkai kurus, kelopaknya menyerupai daun-daun kecil dan berwarna merah menyala. Kuarsa: mineral penyusun utama dalam pasir, batuan, dan berbagai mineral, bersifat lebih tembus cahaya ultraungu daripada kaca biasa sehingga banyak digunakan dalam alat optik; silika, Phok: tanggul air yang dibuat oleh penambang dalam instalasi penambangan timah tradisional. Galena: (Pb) dan berwarna mineral yang terdiri atas unsur plumbum sulfur (S), berbentuk seperti bijih timah, hitam. berwarna merah rvlonazite: fosfat berwarna cokelat kemerahan, mengandung logam bumi yang langka dan merupakan sumber penting dan thorium, lanthanum, dan cerium. Biasanya berupa kristalkristal kecil yang terisolasi. Senotim: berada pada lapisan aluvium, berbentuk butir-butir pasir berwarna kekuning-kuningan dengan kandungan utama fosfat, thorium, dan yttrium. Mineral ini juga mengandung unsur radioaktif, namun masih bisa ditoleransi karena kadarnya sangat rendah. Siderit: mineral besi karbonat alamiah, lazim diperoleh dan meteor. Silika: mineral terbesar dan pasir dan batu pasir; Si02; kristal; hablur. Tanah ulayah: tanah hutan yang diwariskan turun-temurun (sudah menjadi milik orang/adat) tapi belum diusahakan. Titanium: logam berwarna kelabu tua dan amorf; unsur dengan nomor atom 22, berlambang Ti. Logam ini sangat ringan dan kuat. Topas: batu permata berwarna macam-macam (kuning, cokelat, kemerah-merahan, tidak berwarna, dan sebagainya); aluminium silikat dengan berbagai campuran. Trickle down effect: teori ekonomi yang menyebutkan bahwa keuntungan finansial dan lainnya yang diterima oleh bisnis besar secara bertahapakan menyebar menjadi keuntungan seluruh masyarakat. Zirkonium: logam tanah langka, berwarna putih perak kristalin atau kelabu amorf, tahan terhadap korosi, lambang kimia Zr. Bab 6 Caesar salad: salad yang dibuat dan campuran lettuce (daun dan tanaman serupa kol yang berwarna putih kehijauan, lebar, dan renyah), croutons (roti tawar kering berbentuk dadu), keju parmesan, dan anchovy 366 Laskar Pelangi

(semacam ikan ten yang diasinkan), dengan bumbu (dressing) berbahan dasar telur. Namanya diambil dan Caesar Gardini, pemilik sebuah restoran di Tijuana, Meksiko, yang konon pertama kali menemukannya. Cappuccino: minuman yang merupakan campuran dan kopi espresso dan susu panas yang berbusa, kadang ditaburi bubuk kayu manis atau cokelat. Chicken cordon bleu: ayam yang diisi dengan gulungan daging asap dan keju dan digoreng dengan tepung panir. ChVisis (baby orchid): anggrek ini sepintas menyerupai cattelya, tapi bunganya lebih tebal dan berlilin, Sepal dan petalnya lebar dan luas, labelumnya berdaging tebal dan berlilin. Daunnya tersusun seperti kipas dan berbaris di sepanjang pseudobulbnya. Spesies-spesiesnya memiliki warna yang berbeda-beda: putih-kuning, putih dengan ujung ungu, kuning kecokelatan, kuning-peach dengan setrip merah di labelumnya. Cul de sac: jalan yang tertutup di salah satu ujungnya, biasanya untuk di kawasan permukiman Mannequin Piss: nama sebuah patung yg sangat terkenal, merupakan landmark berusia ratusan tahun yang terletak di sebuah persimpangan kecil di pusat Kota Brussel, Belgia. Legendanya, zaman dahulu ketika terjadi sebuah kebakaran hebat warga diselamatkan oleh seorang malaikat yang berkemih. Patung-patung kecil menyerupai Mannequin Piss banyak diproduksi dan digunakan sebagai hiasan di air mancur. NVmphaea caerulea (seroja biru; tunjung biru; the blue waterlily; blue lotus; egyptian lotus; Sacred Narcotic Lily of the Nile): jenis lotus air berwarna biru nan cantik. Dipercaya telah digunakan oleh bangsa Mesir kuno sebagai obat dan pelengkap ritual. Bunga yang dikeringkan terkadang diisap seperti rokok untuk menimbulkan efek sedatif ringan. Plum: buah kecil bulat berwarna ungu gelap kemerahan dengan kulit licin. Berasal dan pohon plum, yang satu genus (Prunus) dengan buah persik (peach), ceri, aprikot, dan lain-lain. Buah plum mengandung antioksidan, vitamin C dengan kadar sangat tinggi, rasanya asam, berair, dan bisa dimakan segar atau dibuat selai dan prunes (dried plums). Pumpkin dan Gorgonzola soup: sup labu yang dicampur dengan Gorgonzola (keju biru Italia yang lembap dengan rasa yang kuat). Saga (Adenanthera microsperma): Ada dua macam saga, yaitu saga pohon dan saga rambat. Saga pohon biasa disebut saga saja, pohonnya bisa tumbuh sangat besar seperti be-ringin dan berbuah keras, kecil, dan berwarna merah berkilap. Tumbuhan ini termasuk suku polong- 367 Laskar Pelangi

polongan (Papiliocaceae), berdaun majemuk menyirip ganjil, bunganya berwarna merah. Snooker bar: tempat bermain snoolcer, yaitu sebuah variasi dan permainan biliar, yang dimainkan di atas meja berlapis kain laken yang memiliki 6 kantung berbukaan bundar (4 di tiap sudut dan 2 di tengah sisi panjangnya). Permainan ini menggunakan sebuah tongkat panjang (cue), satu bola putih (cue ball), 15 bola merah, serta 6 bola warna lainnya (merah muda, hijau, cokelat, biru, kuning, dan hitam). Permainan ini sangat populer di Inggris dan negara-negara yang pernah menjadi bagian dan Kekaisaran Inggris. Tainia shimadai (azalea orchid): anggrek ini memiliki sepal berwarna kuning, cokelat kehijauan, II atau cokelat, Labelumnya berwarna kuning dengan bercak-bercak merah cokelat kecil di kedua sisinya, dengan ujung depan terbelah tiga. Tainia banyak hidup di pegunungan yang dingin dan lem-bap. Namanya berasal dan kata Vunani, “tainia” yang berarti fillet, karena daunnya yang panjang dan sempit dengan tangkai daun yang panjang. Teh Earl Grey: teh khas Inggris yang menggunakan bergamot sebagai campuran, sehingga menghasilkan warna seduhan yang lebih muda dengan rasa yang musky. Konon nama tersebut diambil dan Charles Grey, yaitu Earl Grey kedua (1764-1845), seorang negarawan dan mantan perdana men-ten Inggris. Vitello alla Provenzale: masakan Italia, terbuat dan daging sapi muda (umumnya berusia 18-20 bulan) yang dimasak (di-stew) dengan tomat dan bumbu-bumbu lain. Vuka: sebutan untuk pekerjaan terendah, jika di PN Timah pekerjaan itu adalah menjahit karung timah yang bersifat musiman dan borongan. Dab 7 Entok: itik yang dipelihara sebagai pengeram yang baik, terutama untuk mengerami telur bebek yang tidak dapat dierami induknya sendiri, suaranya berdesis; itik manila; itik surati. Gangan: nama semacam sayuran dengan bumbu kunir, bisa dimasak bersama daging (gangan daging) atau ikan (gangan ikan). Ikan gabus (Ophiocepha/us striatus): ikan air tawar, bentuknya seperti ikan lele, tetapi tidak berpatil; ikan aruan. ]adam: getah dan semacam pohon yang hanya tumbuh di Arab, dibentuk seperti kapur, dan berwarna hitam. Bila ada yang menderita sakit, misalnya memar di tulang rusuk, maka jadam tersebut dikikis, dicampur air, dan diminum. 368 Laskar Pelangi

Dab 9 Bondol peking (Lonchura punctulata; scaly- breasted Munia; Nutmeg Mannikin; Spice Finch): jenis bondol (Munia maja: burung kecil pemakan biji yang berkepala putih, pipit uban; emprit kaji) yang setelah dewasa akan memiliki ciri: berparuh pendek, tebal, dan gelap, berpunggung cokelat, berkepala cokelat gelap, dengan dada berbercak putih dan hitam atau cokelat. Panjang tubuhnya sekitar 11-12 cm. Burung muda memiliki punggung yang lebih pucat, kepala lebih terang, dan dada yang berwarna krem kekuningan. Bubu: alat untuk menangkap ikan yang dibuat dan saga atau bambu yang dapat dianyam, dipasang dalam air sehingga ikan dapat masuk tapi tidak bisa keluar lagi. Burung matahari: burung kecil, berdada kuning, dengan sayap berwarna hitam, bentuk tubuhnya seperti kolibri, dan ia pemakan sari bunga. Cinenen kelabu (Orthotomus sep/urn; Ashy Tailorbird; Olive-backed Tailorbird): burung kicau kecil (sekitar 13 cm) berwarna kelabu, dengan campuran warna hitam pada sayapnya, merah pada bagian kepala, dan kuning pada dada. Burung ini memiliki sayap yang pendek dan membulat, ekor pendek yang tegak, kaki yang kuat, serta paruh yang panjang dan melengkung. Nama Ia//orb/rd diambil dan cara mereka membangun sarang menjahit tepian beberapa daun besar menjadi satu dengan serat tanaman atau sarang laba-laba sehingga menjadi semacam kantung tempat sarang rumput yang sesungguhnya dibangun. Gayam (Inocarpus eduls): pohon yang daunnya lebat dan dapat dipakai sebagai pembungkus, biasanya tumbuh di daerah yang banyak air. Buah pohon ini enak dimakan biasanya orang Melayu merebusnya dan menyajikannya bersama kelapa parut, asal jangan digoreng, karena buah tersebut akan mengeras seperti batu. Gelatik (Hunla oryzivora): burung pipit, bulunya berwarna abu-abu, berparuh merah, berbadan agak kecil. ]alak (Sturnupostor jala): burung beo kecil, bulunya hitam, kaki dan paruhnya berwarna kuning. Jalak biasa: jalak yang berparuh hitam. ]amur telur: jamur kecil yang tumbuh di sembarang tempat, beracun. Kertas kajang: kertas minyak berwarna merah, biru, kuning, biasa dibuat Iayangan. rvladu sepah: burung kecil dengan punggung berwarna merah dan paruh lancip. rvlarkacite: berbentuk batangan-batangan kecil kisut berwarna abu-abu. Juga mengandung plum bum dan sulfur, namun kadarnya berbeda 369 Laskar Pelangi

dengan phyrite. Ornitologi: ilmu pengetahuan tentang burung, termasuk deskripsi dan klasifikasi, penyebaran, dan kehidupannya. Parkit (Psitacula passer/na; parakeet): burung bayan kecil, berbulu cerah (biasanya bertubuh hijau, berkepala kuning, dan bermuka oranye), berekor panjang dan lancip, berukuran sekitar 30 cm. Burung jenis ini sekarang sudah semakin langka, dulunya mereka ditembaki karena dianggap sebagai hama di perkebunan buah. Peneng sepeda: pajak sepeda berupa semacam perangko yang ditempelkan di sepeda. Phyrite: Mineral yang berbentuk seperti kristal, mengandung unsur sulfur (S) dan plumbum (Pb). Dapat memengaruhi keasaman air. Trapeze: artinya tongkat horizontal yang terikat pada dua lajur tali yang tergantung secara paralel, digunakan untuk sebuah nomor dalam senam indah atau dalam permainan akrobat di sirkus. Un g kut - u n g kut (Coppersmith barbe t; Megalaema haema): burung yg agak ke hijau—hijauan pada punggungnya, dada berwarna putih. Vessel board: adalah alat sambung komunikasi model lama yang ditunggui seorang operator. Jika ada panggilan telepon maka operator ini akan menyambungkan kawat-kawat pada sebuah papan yang penuh lubang saluran telekomunikasi. Wasserij: (baca: wasray), bhs. belanda, tempat pencucian. Timah wasserj adalah timah yang telah dicuci. Bab 10 Andromeda: nama untuk konstilasi terbesar di belahan bumi utara yang terletak persis di selatan dan konstilasi Cassiopeia dan di utara konstilasi Perseus. Tidak ada bintang di Andromeda melainkan tempat beradanya Galaksi Andromeda, yaitu salah satu anggota dan kelompok yang sama dengan Galaksi Bimasakti (Ini/ky Way) kita. ]awi (Ficus rhododendrifofia): pohon sejenis beringin tapi kecil yang banyak sekali akar tunjangnya dan biasanya tumbuh di tepi telaga atau sungai. Kumpai (Panicum stagninum): rumput (gelagah), tumbuh di paya-paya, hijau, mengambang di atas air. friusim selatan: sebutan orang Melayu untuk sekitar bulan April-Mei, di saat tiupan angin lebih tenang. Berlawanan dengan musim barat yang dingin dan berangin (di saat nama bulan berakhiran dengan suku kata “- ber°). Triangulum: konstilasi kecil di belahan bumi selatan yang berada di dekat Aries dan Perseus. Zaman Cretaceous: istilah geologi untuk menyebutkan masa setelah 370 Laskar Pelangi

zaman Mesozoic berakhir, yaitu sekitar 65 sampai 144 juta tahun I1 yang lalu. Bumi mulai menghangat pada masa ini, beberapa genus reptilia besar mulai punah pada akhir zaman ini, sementara jenis flora yang masih ada sampai sekarang mulai tumbuh (seperti pohon eik dan maple). Bab 11 Auriga: konstelasi berbentuk layangan di langit sebelah utara. Bintang yang terbesar dalam konstelasi ini adalah Capella. Bintang-bintang di dalam Auriga kebanyakan merupakan bintang biner, yaitu sepasang bintang yang berputar mengelilingi pusat massa. Auriga mencapai titik tertingginya pada bulan Juni dan dapat terlihat dan belahan bumi utara dan sebelah utara belahan bumi selatan. Gurindam: sajak dua bans yang mengandung petuah atau nasihat (misalnya: baik-baik memilih kawan, salah-salah bisa jadi lawan). Bab 12 Andante: tempo musik yang agak lambat, lebih pelan daripada moderato tapi lebih cepat daripada adagio. Berasal dan bahasa Italia yang berarti “berjalan”. Jika ditambah dengan “maestoso” maka berarti tempo tersebut harus dimainkan dengan berwibawa, Linaria (toad/lax; butter-and-eggs): nama genus untuk tanaman liar yang memiliki bunga bergerombol (ada yang tegak, ada yang merayap di atas tanah) yang umumnya berwarna menyala kuning pucatoranye (spesies lain ada yang berwarna ungu, biru, merah, putih) dan daun-daun yang kecil. Bunganya berbentuk tabung sempit yang terbelah di ujungnya sehingga membentuk bibir atas (disebut hood atau kerudung/topi) dan bibir bawah yang kecil dan berwarna lain. Tanaman ini disebut toad/lax karena jika bunganya ditekan sisinya, ia akan berbentuk seperti katak (toad) yang sedang membuka mulut. Perenjak sayap garis (Pr/nla familiaris; Barwinged Pr/nla): burung kecil pemakan serangga, berwarna kelabu, memiliki sayap pendek bergaris- garis dan ekor yang panjang lentik seperti murai batu. Paruhnya tipis dan agak melengkung. Habitat burung ini adalah di tempat terbuka seperti padang ilalang. Thistle crescent (Vanessa cardui; painted lady; thist/e butterfly; cosmopolte): jenis kupu-kupu yang mungkin pa-ling luas persebarannya dan paling banyak dijumpai di seluruh dunia. Kupu-kupu ini hidup di daerah yang terbuka dan terkena cahaya matahari terutama taman, lapangan, dan tanah kosong. Sayapnya berwarna oranye atau merah kecokelatan dengan bercak dan tepian hitam, sementara permukaan bawahnya biasanya berwarna merah muda dengan corak putih dan 371 Laskar Pelangi

hitam. Sayap belakangnya biasa-nya memiliki corak seperti mata yang berwarna biru. Kupu-kupu ini hidup dan nektar bunga thist/e (tanaman dengan batang dan daun berduri, dengan braktea bunga yang lanciplancip seperti dun, biasanya berwarna ungu), aster, dan red c/over (sejenis semanggi). Bab 13 Cymbal: alat musik berupa dua piring kuningan yang diadu. Eureka: istilah yang digunakan untuk mengekspresikan keberhasilan dalam menemukan sesuatu atau memecahkan suatu masalah. Dan kata Vunani “heurçka” yang secara harfiah berarti “aku telah menemukan(nya)”, konon diucapkan oleh Archimedes saat ia berhasil menemukan hukum berat jenis air. Paleontologi: ilmu tentang fosil (binatang dan tumbuhan). Sekstan: alat untuk mengukur sudut astronomis yang meliputi seperenam lingkaran (600) untuk menentukan posisi kapal di laut). Colias crocea (Pure clouded yellow): kupu-kupu dengan warna dasar kuning-jingga, dengan tepian luar sayap berwarna gelap bersetrip kuning di atas pembuluh darahnya. Habitat kupu-kupu ini adalah di stepa, lembah, dan lereng yang kering. Colias myrmidone (Danube clouded yellow): mirip dengan C. Crocea, juga memiliki tepian berwarna gelap, namun tanpa pembuluh-pembuluh kuning. Habitatnya di daerah stepa dan hutan-stepa dengan pepohonan yang renggang, biasanya pinus. Papilio blumei: kupu-kupu dan jenis swallowtail (dicirikan dengan “ekor’ di ujung bawah sayapnya) yang berukuran cukup besar (sekitar 12 cm lebar dan 10 cm panjang). Sayapnya yang berwarna hitam begitu kontras dengan strip biru hijau sehingga memberinya tampilan yang sangat eksotis. Konon ditemukan di Taman Nasional Bantimurung di Maros, Sulawesi Selatan, dan diberi nama berdasarkan nama panggilannya, Belu, dan bulan penemuannya, Mei. Pohon santigi: pohon Iangka yang biasanya tumbuh di daerah pantai. Pohon ini bisa dibonsai seperti beringin dan harganya mencapai jutaan rupiah. Konon termasuk pohon keramat dan kayunya banyak dicari karena diyakini dapat menolak santet atau bisa menjadi gagang keris atau tombak yang baik. Bab 14 Shaman: pemimpin spiritual, seseorang yang bertindak sebagai perantara antara wilayah fisik dan wilayah spiritual, dan yang dipercaya memiliki kekuatan tertentu seperti kemampuan meramal dan menyembuhkan. 372 Laskar Pelangi

Bab 15 Pinang (Areca catechu): tumbuhan berumpun, berbatang lurus seperti hIm, tangkai daun yang melekat pada batangnya berbentuk seperti lembaran kuhit, buah yang tua berwarna kuning kemerah-merahan untuk kawan makan sirih. Po hon ke pang (Aquilarie malaccensis): yang kuhitnya bisa dijadikan tahi. Bab 16 pohon Antip kuku: istilah orang Melayu untuk menyebut alat pemotong kuku. Burung ayam-ayam (Gallierex cinerea): unggas yang serupa ayam, berkaki panjang, tidak kuat terbang, biasa hidup di tambak atau di rawa- rawa. Petunia: tanaman terna (tumbuhan dengan batang lunak tidak berkayu atau hanya mengandung jaringan kayu sedikit sekahi sehingga pada akhir masa tumbuhnya mati sampai ke pangkalnya tanpa ada batang yang tertinggal di atas tanah) dan famihi Scianaceal, tingginya antara 16-30 cm, batangnya lengket, bunganya berbentuk kerucut seperti corong, ada yang bermahkota tunggal dan ada pula yang bermahkota ganda dengan warna yang bervariasi (merah, putih, kuning pucat, biru, dan ungu tua). Pohon angsana (Pterocarpus md/ca): pohon yang bunganya berwarna kuning dan berbau jeruk, kuhitnya dapat dimanfaatkan sebagai obat, kayunya digunakan untuk pembuatan alat-alat rumah tangga, bahan bangunan, kerajinan tangan, dan lain-lain. Pohon medang (Cinnamomum porrectum); pohon gadis; kayu lada; madang loso; medang sahang; kisereh; kipedes; selasihan; marawahi; merang; parari; pelarah; peluwari; pahio): salah satu jenis suku Lauraceae, yang kuhit dan kayunya berbau harum. Pohon ini berukuran sedang hingga besar dengan ketinggian bisa mencapai 35-45 meter. Batang pohonnya bundar, lurus, dan umumnya tidak berbanir (banir: akaryang menganjur ke luar menyerupai dinding penopang pohon, seperti pada beringin). Permukaan kuhit batang berwarna kelabu atau kelabu cokelat sampai krem, serta beralur dangkal merapat dan mengelupas kecil-kecil. Bagian kuhit dalam pohon ini cokelat kemerahan, dan makin ke dalam menjadi merah muda atau putih. Pohon ini termasuk beruntung karena banyak dilestarikan oleh pen-duduk yang memanfaatkan kulitnya sebagai sumber nafkah (meskipun seperti juga banyak jenis pohon lain, kayu pohon medang sebenarnya bisa digunakan 373 Laskar Pelangi

untuk bahan bangunan, kayu lapis, mebel, lantai, dinding, kerangka pintu dan jendela, dan sebagainya). Kulit kayu medang merupakan bahan baku racun nyamuk bakar dan gaharu (hio). Sementara getah yang menempel di kulitnya bisa digunakan untuk bahan baku lem. Pohon itu tidak akan mati meskipun berkali-kali diambil kulitnya, melainkan akan semakin besar sehingga semakin banyak kulitnya yang bisa diambil oleh para pemburu. Pohon meranti: termasuk jenis Shorea, kayunya keras, digunakan untuk bahan bangunan, landasan rel kereta api, tiang listrik, dan lain sebagainya. Tanjung (Mimusops elengi): pohon yang bunganya berwarna putih kekuning-kuningan dan berbau harum, biasa dipakai untuk hiasan sanggul. Bab 17 Abutilon (Mallow, Indian Mallow, Flowering Maple): genus besar yang terdiri dan sekitar 150 spesies tanaman berdaun lebar yang tergolong dalam familia mallow (Malvaceae). Tanaman ini sangat populer di daerah subtropis. Daun-daun abutilon ada yang tidak berkelompok, ada yang tanpa kelopak, ada juga yang menjari dengan 3-7 kelopak. Bunga-bunganya sangat mencolok dengan lima petal, kebanyakan berwarna merah, merah muda, jingga, kuning, atau putih. Amarilis (Amaryllis; naked lady): genus yang terdiri dan hanya satu spesies, yaitu Belladona Lily (Amaryllis belladonna), yang berasal dan Afrika Selatan, Amarilis merupa-kan tanaman berumbi yang memiliki beberapa helai daun dengan panjang 30-SO cm dan lebar 2-3 cm, yang tertata dalam dua bans. Di musim gugur daun-daun amarilis akan tumbuh dan kemudian gugur di akhir musim semi. Di akhir musim panas umbinya memproduksi satu atau dua batang setinggi 30-60 cm, di ujungnya akan muncul 2 sampai 12 buah bunga berbentuk corong. Bunga ini berdiameter sekitar 6-10 cm dan terdiri dan 6 tepal (3 sepal luar dan 3 petal dalam yang hampir mirip), dan berwarna putih, merah mu-da, merah, atau ungu. Nama amarilis juga sering digunakan untuk menyebut familia Amaryllidaceae yang terdiri dan beragam genus seperti Hiopeastrum, Narcissus, Galan-thus, dan Clivia. Ardisia: kelompok besar beberapa jenis pohon dan semak hijau.Tanaman kecil akan tampak cantik di dalam pot jika sedang tertutup oleh buah-buah bern kecilnya yang berwarna merah sampai hitam. Daunnya kecil-kecil, berwarna hijauy gelap, dengan bunga putih- merah muda. Aster (Aster corvifollus): nama yang umum digunakan untuk sebuah 374 Laskar Pelangi

genus yang memiliki lebih dan 250 spesies tanaman berbunga majemuk yang harum, termasuk familia Compositae (Composite Flowers) atau Asteraceae. Bunga aster berwarna merah, putih, kuning, ungu, atau merah muda. Aster memiliki floret tengah (disk floret) yang bundar dan berwarna kuning sementara floret pinggir (ray florets, terdiri dan banyak petal) yang mengelilinginya memiliki warna bervariasi dan ungu sampai biru, serta dan merah muda sampai putih. Azalea: nama spesies dan genus Rhododendron. Berasal dan kata Vunani ‘azaleas” yang berarti “kering”, meski sebenarnya ini tidak cocok dengan azalea zaman sekarang yang tidak tumbuh di daerah kering seperti varietas aslinya. Tanaman ini merupakan sesemakan dengan kelompok-kelompok besar bunga berwarna merah muda, merah, jingga, ungu, kuning, atau putih. Banar (Smilax helferi): pohon yang merambat seperti rotan, akarnya bisa digunakan sebagai pengikat, juga sebagai obat. Begonia: nama umum untuk familia tanaman berbunga yang terdiri lebih dan 1.000 spesies, memiliki karakteristik berupa daun-daun yang asimetris serta bunga-bunga jantan dan betina yang terpisah dalam tanaman yang sama. Bungabunga ini berwarna kuning, oranye, merah muda, atau putih. Batangnya kebanyakan berair, namun ada yang tegak, merambat, atau tumbuh di bawah tanah, Begonia ada yang sengaja dibudidayakan karena keindahan daunnya (oainted-leaf begonia) yang berbentuk hati (bisa mencapai panjang 30 cm) dan berpola mencolok dengan kombinasi warna merah, hitam, perak, dan hijau dengan tepian yang berimpel. Calathea: tanaman tropis yang unik, daunnya hijau gelap (pada Calathea amabilis [kadang juga disebut Stromanthe amabilis atau Ctenante] daunnya disertai pola garis-garis putih-hijau) dan berimpel, berbentuk oval dan melancip di ujung, sementara bagian bawah daunnya berwarna maroon. Bentuk braktea (daun gagang; daun pelindung) bunganya bervariasi, dan bentuk kerucut sarang lebah yang berkilau sampai bentuk ekor ular derik dan berwarna biru, merah, putih, dan lain sebagainya (pada Calathea crocata bunganya berbentuk seperti nyala api dan berwarna oranye atau kuning). Di Afrika Selatan, orang menggunakan Calathea sebagai makanan, obat, anyaman keranjang, dan atap. Menariknya, tanaman ini akan menutup daunnya di kala malam tiba. Damar: getah keras yang berasal dan bermacammacam pohon dan banyak macamnya. Daun picisan (sisik naga): merupakan tumbuhan epifit, terna, tumbuh di 375 Laskar Pelangi

batang dan dahan pohon, memiliki akar rimpang panjang, kecil, merayap, bersisik, panjang 5- 22 cm, dengan akar melekat kuat. Daun yang satu dengan yang Iainnya tumbuh dengan jarak yang pendek, tebal berdaging, berbentuk jorong (bulat panjang), dengan ujung tumpul atau membundar, pangkal runcing, tepi rata, permukaan daun tua gundul dan berambut jarang pada permukaan bawah, warnanya berkisar dan hijau sampai kecokelatan. Ukuran daun yang berbentuk bulat sampai jorong hampir sama dengan uang logam picisan sehingga tanaman ini dinamakan picisan. Tanaman ini memiliki berbagal khasiat, salah satunya adalah bisa digunakan sebagai penghilang rasa nyeri dan obat batuk. Delima (Puniëa granatum): tumbuhan perdu dengan cabang yang rendah dan berduri jarang. Daunnya kecil-kecil agak kaku dan berwarna hijau berkilap. Buahnya dapat dimakan, berkulit kekuningkuningan sampai merah tua, kalau masak merekah. Juga disebut cempaka tanjung. Dendrobium: merupakan jenis anggrek epifit (menumpang di pohon tapi tidak mengambil makanan darinya seperti anggrek parasit). Namanya diambil dan katavunani, “dendron” yang berarti pohon dan “bios” yang berarti hidup. Spesies dan anggrek ini memiliki bunga warna merah muda, putih, kuning, atau kombinasi. pohon tengkaras (Aquilaria malaccensis). ]ambu air mawar (Eugenia jambos): jambu air yang berbentuk bulat kecil, berwarna kuning pucat atau kehijauan, berkulit licin dan agak keras. jurassic: periode geologi di saat dinosaurus berkembang pesat, burung- burung dan mamalia pertama kali muncul, berlangsung sekitar 210-140 juta tahun yang lalu. Jurassic merupakan periode pertengahan dan zaman Mesozoic. Keladi (Co!ocasia esculenta): tumbuhan jenis terna; berdaun lebar dan berumbi dan ada yang dapat dimakan ada yang tidak. Keranjang pempang: keranjang yang bercabang agar bisa diletakkan di bagian belakang sepeda. rvlammillaria: nama genus yang termasuk familia Cactaceae (cacti) atau kaktus. Nama Mammillaria datang dan bahasa Latin “mamma” karena tonjolantonjolan (tubercules) yang menutupi seluruh tubuh tanaman tersebut, dan yang, pada beberapa spesies, mengandung cairan tubuh yang kental seperti susu (lateks). Tubuh kaktus ini bulat dan pendek, tumbuh soliter atau berkelompok. Dun-dun kaktusnya tumbuh di puncak tonjolan tadi dan dibedakan menjadi dun sentral dan dun radial. Bunganya berwarna merah, merah muda, putih, kuning, atau benvaniasi, biasanya mekar di siang 376 Laskar Pelangi

Gaharu: kayu yang harum baunya, biasanya dan hari, frionstera (Monstera delicioca; Swiss cheese plant): tumbuhan berdaun besar berwarna hijau, berkilap, dan bundar atau berbentuk hati ketika masih muda. Ciri khasnya adalah tepian yang robek serta berlubang, yang baru tampak ketika tanaman ini dewasa. Dengan perawatan yang tepat tanaman ini bisa tumbuh sampai mencapai lebar 60 cm dan tinggi 2.4 m. Monstera menyukai posisi yang terang tapi teduh. Di alam liar tanaman ini tumbuh di batang pohon dan se-pan- jang cabang pohon, bergantung dengan akar aenialnya yang menyerupai ekor berwarna cokelat. Nolina (Beaucarnea recurvata; ponytail plant; ponytail palm; elephants foot): sebuah genus dan familia agave (Agavaceae). Nolina memiliki daun yang panjang, langsing, dan lancip, yang keluar dan menjuntai dan puncak sebuah batang keras yang panjang dengan dasar yang menggelembung mirip kaki gajah. Beberapa spesiesnya dibudidayakan sebagai tanaman hias. Jenis yang paling sering ditemui adalah Nolina recurvata, yang biasa ditanam di dalam rumah. Peperomia: genus dengan lebih dan 1.500 spesies di seluruh dunia dan sekitar 20 di antaranya sudah populer sebagai tanaman pot. Semuanya memiliki vanietas dengan dedaunan berwarna unik yang tepiannya tidak rata. Batangnya berdaging, ada yang tumbuh ke atas, ada yang menggantung atau merambat. Warnanya bervaniasi antara hijau muda, merah, kuning, dan kombinasi. Kebanyakan adalah tumbuhan epifit. Namanya diambil dan kata Vunani “pepri” (lada) dan “homoios” (mirip), yang berarti “tampak seperti lada”. Stromanthe: genus dan familia yang sama dengan Calathea yang terdiri dan dua spesies tanaman dalam ruang, yaitu S. amabilis dan S. sanguinea. S. amabilis memiliki daun-daun yang berukuran panjang 15- 25 cm dan lebar 5 cm, sementara S. sanguinea memiliki daun yang lebih besar (mencapai panjang 30-50 cm dan lebar sekitar 10 cm) dan berkilat. Keduanya memiliki daun-daun yang berbentuk seperti kipas. Bab 18 Tabla: sepasang drum asli India, satu berbentuk sihinder, satunya lagi berbentuk seperti mangkuk. Trombon: alat musik tiup berbentuk trompet panjang dan cara memainkannya ditiup sambil menyonong dan menanik alat pada pipa tnompet tersebut, Bab 19 Klarinet: alat musik tiup dengan lidah-lidah tunggal (single reeds) 377 Laskar Pelangi

yang dapat bergetar, dibuat dan kayu atau logam yang diberi lubang- lubang dan gamitan, menghasilkan suara kecil melengking. Saksofon: alat musik tiup yang dibuat dan logam, berbentuk lengkung seperti pipa cangklong, dilengkapi dengan lubang dan tombol Jan. Saksofon ada berbagai macamnya: saksofon tenor, saksofon alto, dan saksofon baniton. Snare drum (side drum): sejenis drum yang dilengkapi dengan bentangan kawat di bagian bawahnya agar menghasilkan suara yang bergetar atau berderik. Dab 20 Bugenvil (bunga kertas; Bougainvillea): nama umum genus tanaman bunga merambat yang memiliki sulur berduri. Genus ini terdiri dan sekitar 13 spesies. Tanaman ini memiliki bunga yang kecil, sederhana, dan terpisah, yang biasanya dikelilingi oleh braktea yang mencolok. Braktea ini bisa berwarna merah, merah muda, ungu, kuning, oranye, atau putih. Namanya diambil dan Louis Antoine de Bougainville, pria Prancis pemimpin ekspedisi saat tanaman ini ditemukan. kelompok bangau, begitu anggun, tinggi, berkaki panjang, dan berjalan melenggak lenggok, berasal dan Afrika. Daffodil (Narcissus): dinamai dan tokoh pemuda dalam mitologi Vunani yang terpesona oleh keindahannya sendiri sampai ajal menjemputnya dan ia pun berubah menjadi sekuntum bunga. Genus Narcissus merupakan keluarga amarilis. Tanaman ini berumbi, memiliki bunga tunggal atau ganda dengan enam petal, mahkota bunga yang memiliki enam petal yang bersatu, enam benang sari, dan sebuah putik yang soliter. Sebuah mahkota berbentuk seperti piala disebut korona mencuat dan permukaan dalam bunganya. Daffodil biasanya berwarna putih atau kuning, atau kombinasi dan keduanya. Spesies yang paling umum ditemui adalah yellow daffodil (Narcissus pseudonarcissus) yang memiliki ciri khas mahkota bunga berwarna kuning yang dalam dan menyerupai trompet. Umbi Narcissus mengandung alkaloid yang beracun jika dimakan karena bisa menyebabkan gangguan pencernaan akut seperti muntah, diare, disertai dengan gemetar dan kejang. Dracaena: genus besar tanaman tropis yang memiliki daun runcing seperti pedang atau oval dan lancip di ujungnya, sering kali dengan corak warna yang bergradasi, yang berkelompok di ujung batangnya. Tanaman ini jarang sekali memproduksi bunganya yang kecil dan berwarna putih kehijauan. Burung sekretaris (secretary bird): burung dan Spesiesnya yang paling umum ditemui adalah fragrant dracaena (Dracaena fragrans; cornplant), dengan ciri khas berupa daun yang 378 Laskar Pelangi

lemas dan melengkung, dengan setrip warna daun yang lebih muda di tengahnya. Ada juga spesies go/ddust dracaena (Dracaena surcu/osa) yang memiliki daun berbintik keemasan. Katebelece: surat pendek untuk memberitakan hal seperlunya saja; surat pengantar dan pejabat untuk urusan tertentu Pittosporum: nama genus besar untuk semak hijau dengan daun kecil yang kasar. Bunganya berkelompok, berwarna putih, ungu, atau kuning kehijauan dan berbau harum. Biasa diqunakan sebagai pagar tanaman. Bob 22 Bombu toli (Gigantoc/-i/oa apus): bambu yang batangnya (setelah dibelah-belah) dapat dijadikan tali, Collistemon loevis atau bunga jarum merah (Bottlebrush): adalah sebuah genus yang memiliki 34 spesies dan familia Myrtaceae. Disebut bctt/ebrush karena bunganya yang silindris dan seperti sikat botol. Daun- daunnya berbentuk linier dan lancip. Hipokondria: ketakutan yang berlebihan dan terus-menerus (bersifat jangka panjang) terhadap gangguan kesehatan tubuh. Penderita hipokondria biasanya yakin bahwa ia memiliki penyakit serius tanpa ada bukti yang objektif. Vitex trifolia: tumbuhan dengan daun-daun yang bagian permukaan atasnya berwarna hijau keabuabuan dengan corak putih yang menawan, sementara permukaan bawahnya berwarna perak. Daun-daun yang sangat dekoratif ini cocok untuk daerah tropis dan dapat tumbuh dengan mudah, selain itu juga tanaman ini tak membutuhkan banyak air. Bob 24 Camellia (Came/la japonica; japonica): tumbuhan sesemakan dan keluarga teh dengan bunga yang bentuknya menyerupai mawar. Daunnya berwarna hijau dan berkilat. Berasal dan bahasa Latin modern untuk nama Joseph Kamel (1661-1706), seorang misionaris dan ahli botani yang pertama kali mendeskripsikan tanaman ini. Hipotermia: keadaan suhu tubuh yang turun sampai di bawah 350 C, biasanya karena terpaan dingin dalam waktu lama. Bob 28 Buntat: semacam batu hitam yang terdapat di perut kelabang, dipercaya ampuh sebagai jimat pengasih. Incubus: berasal dan cerita rakyat Eropa, yaitu seorang setan laki-laki yang dipercaya suka mencari wanita untuk disetubuhi saat mereka tidur. Macan akar: sebutan untuk macan kecil yang selalu berada di dekat akar pohon. Paleolitikum: zaman batu tua; purba yang berlangsung dan 750.000 379 Laskar Pelangi

sampai 15.000 tahun yang lalu, ditandai dengan pemakaian alat-alat serpih. Svah bandar: pejabat pemerintah yang bertugas mengatur pelabuhan. Bob 29 Metafisika: ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan hal-hal yang nonfisik atau tidak kelihatan. Parapsikoloçji: cabang ilmu jiwa tentang hal-hal yang gaib atau di luar jangkauan pancaindra. Trade-off: sebuah situasi saat seseorang harus berkompromi dengan menyerahkan seluruh atau sebagian dan suatu hal untuk menukarnya dengan hal lainnya. Bob 30 Cassiopeia: konstelasi bintang berbentuk seperti huruf “w” di belahan bumi utara, berada di dekat Polaris. Bob 32 Agnostik: orang yang berpandangan bahwa kebenaran tertinggi (Tuhan) tidak dapat diketahui dan mungkin tidak akan dapat diketahui. Orang seperti ini percaya bahwa Tuhan ada tapi tak mau memeluk agama apa pun. Agnotisisme tumbuh subur di Belanda. Pungguk (Ninox sentulata malaccensis): burung elang malam (burung hantu) yang suka memandang bulan. Bob 33 Anakronistis(a): tidak cocok tertentu. Anakronisme(n): hal dengan zaman tertentu; bisa dengan zaman ketidakcocokan juga berarti penempatan tokoh, peristiwa, percakapan, dan unsur latar yang tidak sesuai menurut waktu dalam karya sastra. Open pit mining: pertambangan sumur terbuka, istilah untuk bagian dan lubang sumur yang digunakan untuk menahan guguran yang bisa menutupi sumurjika ada ledakkan dan dalam. Bab 34 Gotik: dalam fesyen berarti gaya busana dan rias wajah yang serbagelap, biasanya dengan lipstik dan rias mata hitam dengan wajah yang dipucatkan, dilengkapi dengan perhiasan perak yang berat. Gaya ini populer di tahun 8Oan. Pisau antip: sebutan untuk semacam alat pemotong dengan sistem per seperti pemotong kuku. ----------------------------------------------- Tentang Tetralogi Laskar Pelangi Andrea Hirata: Out of the Blue 380 Laskar Pelangi

Di negeri ini, tidak mudah menulis novel-novel yang kesemuanya best seller, apalagi merupakan karyakarya pertama, ditulis seseorang yang tak berasal dan lingkungan sastra, dan lebih gawat lagi, novel- novel itu sama sekali tak sejalan dengan trend pasar. Tapi hal itu dapat dilakukan Andrea Hirata. Melalui Laskar Plangi, Andrea Hirata langsung menempatkan dirinya sebagai salah satu penulis muda Indonesia yang amat menjanjikan. Laskar Plangi telah beredar di luar negeri, bahkan mampu mencapai best seller di Malaysia. Andrea Hirata, out of the blue, tak dikenal sebelumnya, tak pernah menulis sepotong pun cerpen, tiba-tiba muncul, langsung menulis tetralogi sesuatu yang juga cukup ajaib bagi penulis pemula dengan gaya rea/is bertabur metafora yang disebut Prof. Sapardi Djoko Damono, guru besar sastra Universitas Indonesia, sebagai metafora yang berani, tak biasa, tak terduga, kadang kala ngewur, namun amat memikat. Bagaimana karya-karya Andrea dapat menjadi best seller tanpa harus mengorbankan mutu? Tentu tak terlepas dan muatan intelektualitas dan spiritualitas buku- buku itu. Sastrawan Ahmad Tohari mengatakan, “Andrea adalah jaminan bagi sebuah karya sastra bergaya saintifik dengan penyampaian yang cerdas dan menyentuh.” Prof. Dr. Syafii Maarif, mantan ketua umum Muhammadiyah berkomentar,, “Andrea langsung membidik pusat kesadaran.” Meski masih terlalu hipotetik, karya Andrea diterima secara luas mungkin juga karena pembaca kita jenuh akan sajian metropop bertema urban superringan, pornografi, hedonistik, dan mulai mendamba tulisan yang lebih berkapasitas. “Andrea mengobati kehausan para pencinta buku akan buku-buku Indonesia bermutu” (Kompas, 11 November 2006). Daya tank yang menonjol dan karya-karya Andrea juga terletak pada kemungkinan yang amat luas dan eksplorasinya terhadap karakter dan peristiwa, sehingga paragrafnya selalu mengandung kekayaan. Setiap paragraf seakan dapat berkembang menjadi sebuah cerpen, dan setiap bab mengandung letupan intelejensia, kisah, dan romantika untuk dapat tumbuh menjadi buku tersendiri. Andrea tak pernah kekeringan ide dan tak pernah kehilangan tempat untuk melihat suatu fenomena dan satu sudut yang tak pernah dilihat orang lain. Setiap kalimatnya potensial. Ironi diolahnya menjadi jenaka, cinta pertama yang absurd menjadi demikian memesona, tragedi diparodikan, ia menyastrakan fisika, kimia, biologi, dan 381 Laskar Pelangi

astronomi. “Andrea adalah seorang seniman katakata,” ujar Nicola Homer. Majalah Tempo menyebutnya, “Andrea berhasil menyajikan kenangannya menjadi cerita yang menarik, deskripsinya kuat, filmis.” Santi Indra Astuti, Msi., seorang dosen komunikasi, di Koran Tempo berpendapat, “Laskar Pelangi ageless, timeless, borderless.” Garin Nugroho, “Inspiratif.” Dan, Pin Piza, “A must read.” Novel pertama Andrea Hirata, Laskar Pelangi, telah berkembang bukan hanya sebagai bacaan sastra, namun sebagai referensi ilmiah. Novel ini banyak dirujuk untuk penulisan skripsi, tesis, dan telah diseminarkan oleh birokrat untuk menyusun rekomendasi kebijakan pendidikan. Adapun dalam novel keduanya., Sang Pemimpi, Andrea menarikan imajinasi dan melantunkan stambul mimpi-mimpi dua anak Melayu kampung: Ikal dan Arai. Novel Edensor adalah novel ketiga dan tetralogi Laskar Pelangi. Novel ini bercerita tentang keberanian bermimpi, kekuatan cinta, pencarian diri sendiri, dan penaklukan-pe-naklukan yang gagah berani. Novel keempat, atau terakhir dalam rangkaian empat karya tetralogi Laskar Pelangi, adalah Maryamah Karpov. Dalam Maryamab Karpov, dengan satirenya yang khas, ironi yang menggelitik, dan intelegensia yang meluap-luap namun membumi, Andrea berkisah tentang perempuan dan satu sudut yang amat jarang diekspos penulis Indonesia dewasa ini, Membaca keempat novel tetralogi Laskar Peangi, kita tak hanya menikmati epik yang bermutu. Kita juga akan menyaksikan bagaimana seorang penulis berbakat berevolusi dan satu karya ke karya lainnya untuk menuju master piecenya. Dhipie Kuron Pencinta sastra 382 Laskar Pelangi

Novel Laskar Pelangi, novel yang sangat inspiratif bagi yang punya

kemampuan rasa buat menangkapnya, maav mas Andrea, karena aku

telah membantu melengkapi 10 bab terakhir yang tidak kutemukan

potongan sambungannya di internet, itupun dengan bantuan OCR nya

Microsoft Office, jadi maklumin saja kalo ada huruf-huruf yang tidak

semestinya tercetak, itu bukan disengaja, tapi karena kemampuan baca

OCR-nya yang mungkin kurang sempurna, thanks buat Caslovb yang

udah capek-capek ngetik sampe bab 20, juga thanks buat somebody

yang udah ngetik bab 21 ampe 24.

Buat mas Andrea Hirata, makasih.. Seandainya ada pembaca yang

terinspirasi dari novel gratis ini, semoga pahalanya jadi amal jariah buat

Buat pembaca budiman yang punya apresiasi bagus atas novel versi

gratis ini, belilah novel aslinya, untuk koleksi pribadi atau “kado” buat

orang-orang yang menurut anda perlu juga dapat inspirasi dari novel

ini.. “Atau sekurang-kurangnya anjurkanlah mereka untuk membeli dan

Buat jeyek di fkunri , titik dua -p

Pujian untuk Laskar Pelangi

“Saya larut dalam empati yang dalam sekali. Sekiranya novel

ini difilmkan, akan dapat membangkitkan ruh bangsa yang

--Ahmad Syafi’I Maarif, mantan Ketua PP Muhammadiyah

“Ramuan pengalaman dan imajinasi yang menarik, yang

menjawab inti pertanyaan kita tentang hubungan-hubungan

antara gagasan sederhana, kendala, dan kualitas pendidikan.”

--Sapardi Djoko Damono, sastrawan dan guru Besar Fakultas Ilmu

“Cerita Laskar Pelangi sangat inspiratif. Andrea menulis

sebuah novel yang akan mengobarkan semangat mereka yang

selalu dirundung kesulitan dalam menempuh pendidikan.”

--Arwin Rasyid, Dirut Telkom dan Dosen FEUI.

“Inilah cerita yang sangat mengharukan tentang dunia

pendidikan dengan tokoh-tokoh manusia sederhana, jujur, tulus,

gigih, penuh dedikasi, ulet, sabar, tawakal, takwa, [yang]

dituturkan secara indah dan cerdas. Pada dasarnya kemiskinan

tidak berkorelasi langsung dengan kebodohan atau kegeniusan.

Sebagai penyakit sosial, kemiskinan harus diperangi dengan

metode pendidikan yang tepat guna. Dalam hubungan itu

hendaknya semua pihak berpartisipasi aktif sehingga terbangun

sebuah monumen kebajikan di tengah arogansi uang &

--Korrie Layun Rampan, sastrawan dan Ketua Komisi I DPRD

“Di tengah berbagai berita dan hiburan televisi tentang

sekolah yang tak cukup memberi inspirasi dan spirit, maka buku

ini adalah pilihan yang menarik. Buku ini ditulis dalam semangat

realis kehidupan sekolah, sebuah dunia tak tersentuh, sebuah

semangat bersama untuk survive dalam semangat humanis yang

--Garin Nugroho, sineas.

“Andrea Hirata memberi kita syair indah tentang keragaman

dan kekayaan tanah air, sekaligus memberi sebuah pernyataan

keras tentang realita politik, ekonomi, dan situasi pendidikan

kita. Tokoh-tokoh dalam novel ini membawa saya pada

kerinduan menjadi orang Indonesia…. A must read!!!”

--Riri Riza, sutradara

“Sebuah memoar dalam bentuk novel yang sulit dicari

tandingannya dalam khazanah kontemporer penulis kita.”

--Akmal Nasery Basral, jurnalis-penulis

“Saya sangat mengagumi Novel Laskar Pelangi karya Mas

Andrea Hirata. Ceritanya berkisah tentang perjuangan dua orang

guru yang memiliki dedikasi tinggi dalam dunia pendidikan.

[Novel ini menunjukkan pada kita] bahwa pendidikan adalah

memberi hati kita kepada anak-anak, bukan sekadar memberikan

instruksi atau komando, dan bahwa setia panak memiliki potensi

unggul yang akan tumbuh menjadi prestasi cemerlang pada

masa depan, apabila diberi kesempatan dan keteladanan oleh

orang-orang yang mengerti akan makna pendidikan yang

--Kak Seto, Ketua Komnas Perlindungan Anak

“Andrea berhasil menyajikan kenangannya menjadi cerita

yang menarik. Apalagi dibalut sejumlah metafora dan deskripsi

yang kuat, filmis ketika memotret lanskap dan budaya….”

“Novel tentang dunia anak-anak yang mencuri perhatian.

Berhasil memotret fakta pendidikan dan ironi dunia korporasi di

tengah komunitas kaum terpinggirkan.”

--Gerard Arijo Guritno, Majalah Gatra

“Secuil potret pendidikan di negara kita yang

“Seru! Novel ini tidak mengajak pembaca menangisi

kemiskinan, sebaliknya mengajak kita memandang kemiskinan

“Sebuah kisah tentang anak-anak yang luar biasa, yang

mampu melahirkan semangat serta kreativitas yang mencengangkan.”

--Harian Pikiran Rakyat

“Metafora-metafora yang ditulis Andrea demikian kuat karena

--Harian Tribun Jabar

“Kehadiran novel realis ini membawa angin segar bagi

kesusastraan Indonesia.”

--Harian Media Indonesia

“Kita akan tertawa, menangis, dan merenung bersama buku

--Harian Belitung Pos

“Rasa humor yang halus dan luasnya cakrawala pengetahuan

Andrea adalah daya tarik utama Laskar pelangi.”

“Gaya bahasa yang mengasyikkan, menantang untuk dibaca.”

“Sebagai penulis pemula, Andrea menakjubkan karena

mampu menampilkan deskripsi dengan detail yang kuat.”

“Ketika membaca Laskar Pelangi, kita seolah menemukan

gabriel Garcia Marquez, Nicolai Gogol, atau Alan Lightman,

sebuah bacaan yang sangat inspiratif dan mampu memberi

“Buku Laskar Pelangi memberiku semangat baru yang tak

ternilai untuk mengajar murid-murid meskipun kami selalu

dirundung kesusahan demi kesusahan, meskipun dunia tak

perduli. Buku ini membuatku sangat bangga menjadi seorang

--Herni Kusyari, guru SD di daerah terpencil.

“Andrea seperti sedang trance, menulis Laskar Pelangi dengan

kadar emosi demikiankental, bertabur metafora penuh pesona,

hanya dalam waktu tiga pekan. ”

--Rita Achdris, wartawati Majalah Gatra

Spekulasi tentang trance ketika ia menulis, setiap kata dalam

Laskar Pelangi berasal dari dalam hati Andrea. Moralitas

hubungan antar ibu, anak, guru, dan murid sangat instingtif dan

memikat. Sebagai seorang ibu, aku dapat merasakan buku ini

memiliki semacam tenaga telepatik.”

--Ida Tejawiani, ibu rumah tangga

“Yang trance bukan Andrea, tapi pembacanya….”

--Fadly Arifin, dikutip dari milis pasar buku

“Kekuatan deskripsi Andrea membuatku ingin sekali

berjumpa dengan setiap anggota Laskar Pelangi. Kekuatan

karakter tokoh-tokohnya membuatku ingin berbuat sesuatu

untuk membantu murid-murid cerdas yang miskin. Laskar

Pelangi adalah sebuah buku yang sangat menggerakkan hati

untuk berbuat lebih banyak.”

--Febi Liana, karyawati di Jakarta, pencinta buku

Buku ini kupersembahkan untuk:

Guruku Ibu Muslimah Hafsari dan Bapak Harfan Effendy Noor,

Sepuluh sahabat masa kecilku anggota Laskar Pelangi,

Ucapan Terima Kasih..

Ucapan terima kasih kusampaikan kepada

Ally, Katja Kochling, Saskia de Rooij, Basuni Hamin, Cindy Riza

Stella, Heldy Suliswan Hirata, Yan Sancin, Zaharudin, Roxane,

Resval, Gatot Indra, Olan, Hazuan Seman Said, K.A. Arizal Artan,

Okin di Telkom Jember, dan terutama untuk Mas Gangsar Sukrisno

serta Mbak Suhindratia. Shinta di Bentang Pustaka.

Bab 1 Sepuluh Murid baru

Bab 4 Perempuan-Perempuan Perkasa

Bab 5 The Tower of Babel

Bab 8 Center of Excellence

Bab 9 Penyakit Gila No. 5

Bab 11 Langit Ketujuh

Bab 13 Jam Tangan Plastik Murahan

Bab 14 Laskar Pelangi dan Orang-Orang Sawang

Bab 15 Euforia Musim Hujan

Bab 16 Puisi Surga dan Kawanan Burung Pelintang Pulau

Bab 17 Ada Cinta di Toko Kelontong Bobrok Itu

Bab 19 Sebuah Kejahatan Terencana

Bab 22 Early Morning blue

Bab 24 Tuk Bayan Tula

Bab 26 Be There or Be Damned!

Bab 27 Detik-Detik Kebenaran

Bab 28 Societeit de Limpai

Bab 30 Elvis Has Left the Building

Dua belas tahun kemudian

“… and to every action there is always an equal

and opposite or contrary, reaction …”

Isaac newton, 1643-1727

PAGI itu, waktu aku masih kecil, aku duduk di bangku panjang

di depan sebuah kelas. Sebatang pohon tua yang riang

meneduhiku. Ayahku duduk di sampingku, memeluk pundakku

dengan kedua lengannya dan tersenyum mengangguk-angguk pada

setiap orangtua dan anak-anaknya yang duduk berderet-deret di

bangku panjang lain di depan kami. Hari itu adalah hari yang agak

penting: hari pertama masuk SD. Di ujung bangku-bangku panjang

tadi ada sebuah pintu terbuka. Kosen pintu itu miring karena seluruh

bangunan sekolah sudah doyong seolah akan roboh. Di mulut pintu

berdiri dua orang guru seperti para penyambut tamu dalam

perhelatan. Mereka adalah seorang bapak tua berwajah sabar,

Bapak K.A. Harfan Efendy Noor, sang kepala sekolah dan seorang

wanita muda berjilbab, Ibu N.A. Muslimah Hafsari atau Bu Mus.

Seperti ayahku, mereka berdua juga tersenyum.

Namun, senyum Bu Mus adalah senyum getir yang

dipaksakan karena tampak jelas beliau sedang cemas. Wajahnya

tegang dan gerak-geriknya gelisah. Ia berulang kali menghitung

jumlah anak-anak yang duduk di bangku panjang. Ia demikian

khawatir sehingga tak peduli pada peluh yang mengalir masuk ke

pelupuk matanya. Titik-titik keringat yang bertimbulan di seputar

hidungnya menghapus bedak tepung beras yang dikenakannya,

membuat wajahnya coreng moreng seperti pameran emban bagi

permaisuri dalam Dul Muluk, sandiwara kuno kampung kami.

“Sembilan orang … baru sembilan orang Pamanda Guru,

masih kurang satu…,” katanya gusar pada bapak kepala sekolah.

Pak Harfan menatapnya kosong.

Aku juga merasa cemas. Aku cemas karena melihat Bu Mus

yang resah dan karena beban perasaan ayahku menjalar ke sekujur

tubuhku. Meskipun beliau begitu ramah pagi ini tapi lengan

kasarnya yang melingkari leherku mengalirkan degup jantung yang

cepat. Aku tahu beliau sedang gugup dan aku maklum bahwa tak

mudah bagi seorang pria berusia empat puluh tujuh tahun, seorang

buruh tambang yang beranak banyak dan bergaji kecil, untuk

menyerahkan anak laki-lakinya ke sekolah. Lebih mudah

menyerahkannya pada tauke pasar pagi untuk jadi tukang parut

atau pada juragan pantai untuk menjadi kuli kopra agar dapat

membantu ekonomi keluarga. Menyekolahkan anak berarti

mengikatkan diri pada biaya selama belasan tahun dan hal itu

bukan perkara gampang bagi keluarga kami.

Maka aku tak sampai hati memandang wajahnya.

“Barangkali sebaiknya aku pulang saja, melupakan keinginan

sekolah, dan mengikuti jejak beberapa abang dan sepupusepupuku, menjadi kuli …..

Tapi agaknya bukan hanya ayahku yang gentar. Setiap wajah

orangtua di depanku mengesankan bahwa mereka tidak sedang

duduk di bangku panjang itu, karena pikiran mereka, seperti pikiran

ayahku, melayang-layang ke pasar pagi atau ke keramba di tepian

laut membayangkan anak lelakinya lebih baik menjadi pesuruh di

sana. Para orangtua ini sama sekali tak yakin bahwa pendidikan

anaknya yang hanya mampu mereka biayai paling tinggi sampai

SMP akan dapat mempercerah masa depan keluarga. Pagi ini

mereka terpaksa berada di sekolah ini untuk menghindarkan diri

dari celaan aparat desa karena tak menyekolahkan anak atau

sebagai orang yang terjebak tuntutan zaman baru, tuntutan

memerdekakan anak dari buta huruf.

Aku mengenal para orangtua dan anak-anaknya yang duduk

di depanku. Kecuali seorang anak lelaki kecil kotor berambut

keriting merah yang meronta-ronta dari pegangan ayahnya.

Ayahnya itu tak beralas kaki dan bercelana kain belacu. Aku tak

mengenal anak beranak itu.

Selebihnya adalah teman baikku. Trapani misalnya, yang

duduk di pangkuan ibunya, atau Kucai yang duduk di samping

ayahnya, atau Syahdan yang tak diantar siapa-siapa. Kami

bertetangga dan kami adalah orang-orang Melayu belitong dari

sebuah komunitas yang paling miskin di pulau itu. Adapun sekolah

ini, SD Muhammadiyah, juga sekolah kampung yang paling miskin

di Belitong. Ada tiga alasan mengapa para orangtua mendaftarkananaknya di sini. Pertama, karena sekolah Muhammadiyah tidak

menetapkan iuran dalam bentuk apa pun, para orangtua hanya

menyumbang sukarela semampu mereka. Kedua, karena firasat,-

anak-anak mereka dianggap memiliki karakter yang mudah

disesatkan iblis sehingga sejak usia muda harus mendapatkan

pendadaran Islam yang tangguh. Ketiga, karena anaknya memang

tak diterima di sekolah mana pun.

Bu Mus yang semakin khawatir memancang pandangannya ke

jalan raya di seberang lapangan sekolah berharap kalau-kalau masih

ada pendaftar baru . Kami prihatin melihat harapan hampa itu.

Maka tidak seperti suasana di SD lain yang penuh kegembiraan

ketika menerima murid angkatan baru, suasana hari pertama di SD

Muhammadiyah penuh dengan kerisauan, dan yang paling risau

adalah Bu Mus dan Pak Harfan.

Guru-guru yang sederhana ini berada dalam situasi genting

karena Pengawas Sekolah dari Depdikbud Sumsel telah

memperingatkan bahwa jika SD Muhammadiyah hanya mendapat

murid baru kurang dari sepuluh orang maka sekolah paling tua di

Belitong ini harus ditutup. Karena itu sekarang Bu Mus dan Pak

Harfan cemas sebab sekolah mereka akan tamat riwayatnya,

sedangkan para orangtua cemas karena biaya, dan kami, sembilan

anak-anak kecil ini yang terperangkap di tengah cemas kalau- kalau

kami tak jadi sekolah.

Tahun lalu SD Muhammadiyah hanya mendapatkan sebelas

siswa, dan tahun ini Pak Harfan pesimis dapat memenuhi target

sepuluh. Maka diam-diam beliau telah mempersiapkan sebuah

pidato pembubaran sekolah di depan para orangtua murid pada

kesempatan pagi ini. Kenyataan bahwa beliau hanya memerlukan

satu siswa lagi untuk memenuhi target itu menyebabkan pidato ini

akan menjadi sesuatu yang menyakitkan hati.

“Kita tunggu sampai pukul sebelas,” kata Pak Harfan pada Bu

Mus dan seluruh orangtua yang telah pasrah. Suasana hening.

Para orang tua mungkin menganggap kekurangan satu murid

sebagai pertanda bagi anak-anaknya bahwa mereka memang sebaik

nya didaftarkan pada para juragan saja. Sedangkan aku dan

agaknya juga anak-anak yang lain merasa amat pedih: pedih pada

orangtua kami yang tak mampu, pedih menyaksikan detik-detik

terakhir sebuah sekolah tua yang tutup justru pada hari pertama

kami ingin sekolah, dan pedih pada niat kuat kami untuk belajar tapi

tinggal selangkah lagi harus terhenti hanya karena kekurangan satu

murid. Kami menunduk dalam-dalam.

Saat itu sudah pukul sebelas kurang lima dan Bu Mus semakin

gundah. Lima tahun pengabdiannya di sekolah melarat yang amat

ia cintai dan tiga puluh dua tahun pengabdian tanpa pamrih pada

Pak Harfan, pamannya, akan berakhir di pagi yang sendu ini.

“Baru sembilan orang Pamanda Guru …,” ucap Bu Mus

bergetar sekali lagi. Ia sudah tak bisa berpikir jernih. Ia berulang kali

mengucapkan hal yang sama yang telah diketahui semua orang.

Suaranya berat selayaknya orang yang tertekan batinnya.

Akhirnya, waktu habis karena telah pukul sebelas lewat lima

dan jumlah murid tak juga genap sepuluh. Semangat besarku untuk

sekolah perlahan-lahan runtuh. Aku melepaskan lengan ayahku dari

pundakku. Sahara menangis terisak-isak mendekap ibunya karena

ia benar-benar ingin sekolah di SD Muhammadiyah. Ia memakai

sepatu, kaus kaki, jilbab, dan baju, serta telah punya buku-buku,

botol air minum, dan tas punggung yang semuanya baru.

Pak Harfan menghampiri orangtua murid dan menyalami

mereka satu per satu. Sebuah pemandangan yang pilu. Para

orangtua menepuk-nepuk bahunya untuk membesarkan hatinya.

Mata Bu Mus berkilauan karena air mata yang menggenang. Pak

Harfan berdiri di depan para orangtua, wajahnya muram. Beliau

bersiap-siap memberikan pidato terakhir. Wajahnya tampak putus

asa. Namun ketika beliau akan mengucapkan kata pertama

Assalamu’alaikum seluruh hadirin terperanjat karena Tripani

berteriak sambil menunjuk ke pinggir lapangan rumput luas halaman

Kami serentak menoleh dan di kejauhan tampak seorang pria

kurus tinggi berjalar terseok-seok. Pakaian dan sisiran rambutnya

sangat rapi. Ia berkemeja lengan panjang putih yang dimasukkan ke

dalam. Kaki dan langkahnya membentuk huruf x sehingga jika

berjalan seluruh tubuhnya bergoyang-goyang hebat. Seorang wanita

gemuk setengah baya yang berseri-seri susah payah memeganginya.

Pria itu adalah Harun, pria jenaka sahabat kami semua, yang sudah

berusia lima belas tahun dan agak terbelakang mentalnya. Ia sangat

gembira dan berjalan cepat setengah berlari tak sabar menghampiri

kami. Ia tak menghiraukan ibunya yang tercepuk-cepuk kewalahan

Mereka berdua hampir kehabisan napas ketika tiba di depan

“Bapak Guru …, ” kata ibunya terengah-engah.

“Terimalah Harun, Pak, karena SLB hanya ada di Pulau

Bangka, dan kami tak punya biaya untuk menyekolahkannya ke

sana. Lagi pula lebih baik kutitipkan dia disekolah ini daripada di

rumah ia hanya mengejar -ngejar anak-anak ayamku …..

Harun tersenyum lebar memamerkan gigi-giginya yang kuning

panjang-panjang. Pak Harfan juga terseyum, beliau melirik Bu Mus

sambil mengangkat bahunya.

“Genap sepuluh orang …,” katanya.

Harun telah menyelamatkan kami dan kami pun bersorak.

Sahara berdiri tegak merapikan lipatan jilbabnya & menyandang

tasnya dengan gagah, ia tak mau duduk lagi.

Bu Mus tersipu. Air mata guru muda ini surut dan ia menyeka

keringat di wajahnya yang belepotan karena bercampur dengan

IBU Muslimah yang beberapa menit lalu sembab, gelisah, dan

coreng-moreng kini menjelma menjadi sekuntum Crinum

giganteum. Sebab tiba-tiba ia mekar sumringah dan posturnya yang

jangkung persis tangkai bunga itu. Kerudungnya juga berwarna

bunga crinum demikian pula bau bajunya, persis crinum yang mirip

bau vanili. Sekarang dengan ceria beliau mengatur tempat duduk

kami. Bu Mus mendekati setiap orangtua murid di bangku panjang

tadi, berdialog sebentar dengan ramah, dan mengabsen kami.

Semua telah masuk ke dalam kelas, telah mendapatkan teman

sebangkunya masing-masing, kecuali aku dan anak laki-laki kecil

kotor berambut keriting merah yang tak kukenal tadi. Ia tak bisa

tenang. Anak ini berbau hangus seperti karet terbakar.

“Anak Pak Cik akan sebangku dengan Lintang,” kata Bu Mus

Oh, itulah rupanya namanya, Lintang, sebuah nama yang

Mendengar keputusan itu Lintang meronta-ronta ingin segera

masuk kelas. Ayahnya berusaha keras menenangkannya, tapi ia

memberontak, menepis pegangan ayahnya, melonjak, dan

menghambur ke dalam kelas mencari bangku kosongnya sendiri. Di

bangku itu ia seumpama balita yang dinaikkan ke atas tank, girang

tak alang kepalang, tak mau turun lagi. Ayah nya telah melepaskan

belut yang licin itu, dan anaknya baru saja meloncati nasib, merebut

Bu Mus menghampiri ayah Lintang. Pria itu berpotongan

seperti pohon cemara angin yang mati karena disambar petir: hitam,

meranggas, kurus, dan kaku. Beliau adalah seorang nelayan, namun

pembukaan wajahnya yang mirip orang Bushman adalah raut wajah

yang lembut, baik hati, dan menyimpan harap. Beliau pasti

termasuk dalam sebagian besar warga negara Indonesia yang

menganggap bahwa pendidikan bukan hak asasi.

Tidak seperti kebanyakan nelayan, nada bicaranya pelan. Lalu

beliau bercerita pada Bu Mus bahwa kemarin sore kawalaburung

pelintang pulau mengunjungi pesisir. Burung-burung keramat itu

hinggap sebentar di puncak pohon ketapang demi menebar

pertanda bahwa laut akan diaduk badai. Cuaca cenderung semakin

memburuk akhir-akhir ini maka hasil melaut tak pernah memadai.

Apalagi ia hanya semacam petani penggarap, bukan karena ia tak

punya laut, tapi karena ia tak punya perahu.

Agaknya selama turun temurun keluarga laki-laki cemara

angin itu tak mampu terangkat dari endemik kemiskinan komunitas

Melayu yang menjadi nelayan. Tahun ini beliau meng-inginkan

perubahan dan ia memutuskan anak laki-laki tertuanya, Lintang, tak

akan menjadi seperti dirinya. Lintang akan dudu k di samping pria

kecil berambut ikal yaitu aku, dan ia akan sekolah di sini lalu pulang

pergi setiap hari naik sepeda. Jika panggilan nasibnya memang

harus menjadi nelayan maka biarkan jalan kerikil batu merah empat

puluh kilometer mematahkan semangatnya. Bau hangus yang

kucium tadi ternyata adalah bau sandal cunghai, yakni sandal yang

dibuat dari ban mobil, yang aus karena Lintang terlalu jauh

Keluarga Lintang berasal dari Tanjong Kelumpang, desa nun

jauh di pinggir laut. Menuju kesana harus melewati empat kawasan

pohon nipah, tempat berawa-rawa yang dianggap seram di

kampung kami. Selainitu di sana juga tak jarang buaya sebesar

pangkal pohon sagu melintasi jalan. Kampung pesisir itu secara

geografis dapat dikatakan sebagai wilayah paling timur di Sumatra,

daerah minus nun jauh masuk ke pedalaman Pulau Belitong. Bagi

Lintang, kota kecamatan, tempat sekolah kami ini, adalah

metropolitan yang harus ditempuh dengan sepeda sejak subuh. Ah!

Ketika aku menyusul Lintang kedalam kelas ia menyalamiku

dengan kuat seperti pegangan tangan calon mertua yang menerima

pinangan. Energi yang berlebihan di tubuhnya serta-merta menjalar

padaku laksana tersengat listrik. Ia berbicara tak henti- henti penuh

minat dengan dialek Belitong yang lucu, tipikal orang Belitong

pelosok. Bola matanya bergerak-gerak cepat dan menyala-nyala. Ia

seperti pilea, bunga meriam itu, yang jika butiran air jatuh di atas

daunnya, ia melontarkan tepung sari, semarak, spontan, mekar, dan

penuh daya hidup. Di dekatnya, aku merasa seperti ditantang

mengambil ancang-ancang untuk sprint seratus meter. Sekencang

apa engkau berlari? Begitulah makna tatapannya.

Aku sendiri masih bingung. Terlalu banyak perasaan untuk

ditanggung seorang anak kecil dalam waktu demikian singkat.

Cemas, senang, gugup, malu, teman baru, guru baru … semuanya

bercampur aduk. Ditambah lagi satu perasaan ngilu karena

sepasang sepatu baru yang dibelikan ibuku. Sepatu ini selalu

kusembunyikan ke belakang. Aku selalu menekuk lututku karena

warna sepatu itu hitam bergaris-garis putih maka ia tampak seperti

sepatu sepak bola, jelek sekali. Bahannya pun dari plastik yang

keras. Abang-abangku sakit perut menahan tawa melihat sepatu itu

waktu kami sarapan pagi tadi. Tapi pandangan ayahku menyuruh

mereka bungkam, membuat perut mereka k aku. Kakiku sakit dan

hatiku malu dibuat sepatu ini.

Sementara itu, kepala Lintang terus berputar-putar seperti

burung hantu. Baginya, penggaris kayu satu meter, vas bunga tanah

liat hasil prakarya anak kelas enam di atas meja Bu Mus, papan tulis

lusuh, dan kapur tumpul yang berserakan di atas lantai kelas yang

sebagian telah menjadi tanah, adalah benda-benda yang

Kemudian kulihat lagi pria cemara anginitu. Melihat anaknya

demikian bergairah ia tersenyum getir. Aku mengerti bahwa pira

yang tak tahu tanggal dan bulan kelahirannya itu gamang

membayangkan kehancuran hati anaknya jika sampai drop out saat

kelas dua atau tiga SMP nanti karena alasan klasik: biaya atau

tuntutan nafkah. Bagi beliau pendidikan adalah enigma, sebuah

misteri. Dari empat garis generasi yang diingatnya, baru Lintang

yang sekolah. Generasi kelima sebelumnya adalah masa

antediluvium, suatu masa yang amat lampau ketika orang-orang

Melayu masih berkelana sebagai nomad. Mereka berpakaian kulit

kayu dan menyembah bulan.

UMUMNYA Bu Mus mengelompokkan tempat duduk kami

berdasarkan kemiripan. Aku dan Lintang sebangku karena kami

sama-sama berambut ikal. Trapani duduk dengan Mahar karena

mereka berdua paling tampan. Penampilan mereka seperti para

penaltun irama semenanjung idola orang Melayu pedalaman.

Trapani tak tertarik dengan kelas, ia mencuri-curi pandang ke

jendela, melirik kepala ibunya yang muncul sekali-sekali di antara

kepala orangtua lainnya.

Tapi Borek, (bacanya Bore’, “e”-nya itu seperti membaca elang,

bukan seperti menyebut “e” pada kata edan, dan “k ”-nya itu bukan

“k” penuh, Anda tentu paham maksud saya) dan Kucai didudukkan

berdua bukan karena mereka mirip tapi karena sama-sama susah

diatur. Baru beberapa saat di kelas Borek sudah mencoreng muka

Kucai dengan penghapus papan tulis. Tingkah ini diikuti Sahara

yang sengaja menumpahkan air minum A Kiong sehingga anak

Hokian itu menangis sejadi-jadinya seperti orang ketakutan dipeluk

setan. N.A. Sahara Aulia Fadillah binti K.A. Muslim Ramdhani

Fadillah, gadis kecil berkerudung itu, memang keras kepala luar

biasa. Kejadian itu menandai perseteruan mereka yang akan

berlangsung akut bertahun-tahun. Tangisan A Kiong nyaris merusak

acara perkenalan yang menyenangkan pagi itu. Sebaliknya, bagiku

pagi itu adalah pagi yang tak terlupakan sampai puluhan tahun

mendatang karena pagi itu aku melihat Lintang dengan canggung

menggenggam sebuah pensil besar yang belum diserut seperti

memegang sebilah belati. Ayahnya pasti telah keliru membeli pensil

karena pensil itu memiliki warna yang berbeda di kedua ujungnya.

Salah satu ujungnya berwarna merah dan ujung lainnya biru.

Bukankah pensil semacam itu dipakai para tukang jahit untuk

menggaris kain? Atau para tukang sol sepatu untuk membuat garis

pola pada permukaan kulit? Sama sekali bukan untuk menulis.

Buku yang dibeli juga keliru. Buku bersampul biru tua itu bergaris

tiga. Bukankah buku semacam itu baru akan kami pakai nanti saat

kelas dua untuk pelajaran menulis rangkai indah? Hal yang tak akan

pernah kulupakan adalah bahwa pagi itu aku menyaksikan seorang

anak pesisir melarat—teman sebangku—untuk pertama kalinya

memegang pensil dan buku, dan kemudian pada tahun-tahun

berikutnya, setiap apa pun yang ditulisnya merupakan buah pikiran

yang gilang gemilang, karena nanti ia—seorang anak miskin

pesisir—akan menerangi nebula yang melingkupi sekolah miskinini

sebab ia akan berkembang menjadi manusia paling genius yang

pernah kujumpai seumur hidupku.

TAK susah melukiskan sekolah kami, karena sekolah kami

adalah salah satu dari ratusan atau mungkin ribuan sekolah miskin

di seantero negeri ini yang jika disenggol sedikit saja oleh kambing

yang senewen ingin kawin, bisa rubuh berantakan.

Kami memiliki enam kelas kecil-kecil, pagi untuk SD

Muhammadiyah dan sore untuk SMP Muhammadiyah. Maka kami,

sepuluh siswa baru ini bercokol selama sembilan tahun di sekolah

yang sama dan kelas-kelas yang sama, bahkan susunan kawan

sebangku pun tak berubah selama sembilan tahun SD dan SMP itu.

Kami kekurangan guru dan sebagian besar siswa SD

Muhammadiyah ke sekolah memakai sandal. Kami bahkan tak

punya seragam. Kami juga tak punya kotak P3K. Jika kami sakit,

sakit apa pun: diare, bengkak, batuk, flu, atau gatal-gatal maka guru

kami akan memberikan sebuah pil berwarna putih, berukuran besar

bulat seperti kancing jas hujan, yang rasanya sangat pahit. Jika

diminum kita bisa merasa kenyang. Pada pil itu ada tulisan besar

APC. Itulah pil APC yang legendaris di kalangan rakyat pinggiran

Belitong. Obat ajaib yang bisa menyembuhkan segala rupa

Sekolah Muhammadiyah tak pernah dikunjungi pejabat,

penjual kaligrafi, pengawas sekolah, apalagi anggota dewan. Yang

rutin berkunjung hanyalah seorang pria yang berpakaian seperti

ninja. Di punggungnya tergantung sebuah tabung aluminium besar

dengan slang yang menjalar ke sana kemari. Ia seperti akan

berangkat ke bulan. Pria ini adalah utusan dari dinas kesehatan

yang menyemprot sarang nyamuk dengan DDT. Ketika asap putih

tebal mengepul seperti kebakaran hebat, kami pun bersorak- sorak

Sekolah kami tidak dijaga karena tidak ada benda berharga

yang layak dicuri. Satu-satunya benda yang menandakan bangunan

itu sekolah adalah sebatang tiang bendera dari bambu kuning dan

sebuah papan tulis hijau yang tergantung miring di dekat lonceng.

Lonceng kami adalah besi bulat berlubang-lubang bekas tungku. Di

papan tulis itu terpampang gambar matahari dengan garis- garis

sinar berwarna putih. Di tengahnya tertulis:

Sekolah Dasar Muhammadiyah

Lalu persis di bawah mathari tadi tertera huruf-huruf arab

gundul yang nanti setelah kelas dua, setelah aku pandai membaca

huruf arab, aku tahu bahwa tulisan itu berbunyi amar makruf nahi

mungkarartinya: menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari

Itulah pedoman utama warga Muhammadiyah. Kata-kata itu

melekat dalam kalbu kami sampai dewasa nanti. Kata-kata yang

begitu kami kenal seperti kami mengenal bau alami ibu-ibu kami.

Jika dilihat dari jauh sekolah kami seolah akan tumpah karena tiangtiang kayu yang tua sudah tak tegak menahan atap sirap yang berat.

Maka, sekolah kami sangat mirip gudang kopra. Konstruksi

bangunan yang menyalahi prinsip arsitektur ini menyebabkan tak

ada daun pintu dan jendela yang bisa dikun ci karena sudah tidak

simetris dengan rangkakusennya. Tapi buat apa pula dikunci? Di

dalam kelas kami tidak terdapat tempelan poster operasi kali-kalian

seperti umumnya terdapat di kelas-kelas sekolah dasar. Kami juga

tidak memiliki kalender dan tak ada gambar presiden dan wakilnya,

atau gambar seekor burung aneh berekor delapan helai yang selalu

menoleh ke kanan itu. Satu-satunya tempelan di sana adalah

sebuah poster, persis di belakang meja Bu Mus untuk menutupi

lubang besar di dinding papan. Poster itu memperlihatkan gambar

seorang pria berjenggot lebat, memakai jubah, dan ia memegang

sebuah gitar penuh gaya. Matanya sayu tapi meradang, seperti telah

mengalami cobaan hidup yang mahadahsyat. Dan agaknya ia

memang telah bertekad bulat melawan segala bentuk kemaksiatan

di muka bumi. Di dalam gambar tersebut sang pria tadi melongok ke

langit dan banyak sekali uang-uang kertas serta logam berjatuhan

menimpa wajahnya. Di bagian bawah poster itu terdapat dua baris

kalimat yang tak kupahami. Tapi nanti setelah naik ke kelas dua dan

sudah pintar membaca, aku mengerti bunyi kedua kalimat itu

adalah: RHOMA IRAMA, HUJAN DUIT!

Maka pada intinya tak ada yang baru dalam pembicaraan

tentang sekolah yang atapnya bocor, berdinding papan, berlantai

tanah, atau yang kalau malam dipakai untuk menyimpan ternak,

semua itu telah dialami oleh sekolah kami. Lebih menarik

membicarakan tentang orang-orang seperti apa yang rela

menghabiskan hidupnya bertahan di sekolah semacam ini. Orangorang itu tentu saja kepala sekolah kami Pak K.A. Harfan Efendy

Noor bin K.A. Fadillah Zein Noor dan Ibu N.A. Muslimah Hafsari

Hamid binti K.A. Abdul Hamid.

Pak Harfan, seperti halnya sekolah ini, tak susah digambarkan.

Kumisnya tebal, cabangnya tersambung pada jenggot lebat

berwarna kecokelatan yang kusam dan beruban. Hemat kata,

wajahnya mirip Tom Hanks, tapi hanya Tom Hanks di dalam film di

mana ia terdampar di sebuah pulau sepi, tujuh belas bulan tidak

pernah bertemu manusia dan mulai berbicara dengan sebuah bola

voli. Jika kita bertanya tentang jenggotnya yang awut-awtuan, beliau

tidak akan repot-repot berdalih tapi segera menyodorkan sebuah

buku karya Maulana Muhammad Zakariyya Al Kandhallawi Rah,

R.A. yang berjudul Keutamaan Memelihara Jenggot . Cukup

membaca pengantarnya saja Anda akan merasa malu sudah

bertanya. K.A. pada nama depan Pak Harfan berarti Ki Agus. Gelar

K.A. mengalir dalam garis laki-laki silsilah Kerajaan Belitong. Selama

puluhan tahun keluarga besar yang amat bersahaja ini berdiri pada

garda depan pendidikan di sana. Pak Harfan telah puluhan tahun

mengabdi di sekolah Muhammadiyah nyaris tanpa imbalan apa pun

demi motif syiar Islam. Beliau menghidupi keluarga dari sebidang

kebun palawija di pekarangan rumahnya.

Hari ini Pak Harfan mengenakan baju takwa yang dulu pasti

berwarna hijau tapi kini warnanya pudar menjadi putih. Bekasbekas warna hijau masih kelihatan di baju itu. Kaus dalamnya

berlubang di beberapa bagian dan beliau mengenakan celana

panjang yang lusuh karena terlalu sering dicuci. Seutas ikat

pinggang plastik murahan bermotif ketupat melilit tubuhnya. Lubang

ikat pinggang itu banyak berderet-deret, mungkin telah dipakai sejak

beliau berusia belasan.

Karena penampilan Pak Harfan agak seperti beruang madu

maka ketika pertama kali melihatnya kami merasa takut. Anak kecil

yang tak kuat mental bisa-bisa langsung terkena sawan. Namun,

ketika beliau angkat bicara, tak dinyana, meluncurlah mutiaramutiara nan puitis sebagai prolog penerimaan selamat datang penuh

atmosfer sukacita di sekolahnya yang sederhana. Kemudian dalam

waktu yang amat singkat beliau telah merebut hati kami. Bapak

yang jahitan kerah kemejanya telah lepas itu bercerita tentang

perahu Nabi Nuh serta pasangan-pasangan binatang yang selamat

dari banjir bandang. “Mereka yang ingkar telah diingatkan bahwa

air bah akan datang …,” demikian ceritanya dengan wajah penuh

“Namun, kesombongan membutakan mata dan menulikan

telinga mereka, hingga mereka musnah dilamun ombak …..

Sebuah kisah yang sangat mengesankan. Pelajaran moral

pertama bagiku: jika tak rajin sahalat maka pandai-pandailah

Cerita selanjutnya sangat memukau. Sebuah cerita

peperangan besar zaman Rasulullah di mana kekuatan dibentuk

oleh iman bukan oleh jumlah tentara: perang Badar! Tiga ratus tiga

belas tentara Islam mengalahkan ribuan tentara Quraisy yang kalap

dan bersenjata lengkap.

“Ketahuilah wahai keluarga Ghudar, berangkatlah kalian ke

tempat-tempat kematian kalian dalam masa tiga hari!” Demikian

Pak Harfan berteriak lantang sambil menatap langit melalui jendela

kelas kami. Beliau memekikkan firasat mimpi seorang penduduk

Mekkah, firasat kehancuran Quraisy dalam kehebatan perang

Mendengar teriakan itu rasanya aku ingin melonjak dari

tempat duduk. Kami ternganga karena suara Pak Harfan yang berat

menggetarkan benang-ben ang halus dalam kalbu kami. Kami

menanti liku demi liku cerita dalam detik-detik menegangkan

dengan dada berkobar-kobar ingin membela perjuangan para

penegak Islam. Lalu Pak Harfan mendinginkan suasana yang

berkisah tentang penderitaan dan tekanan yang dialami seorang pria

bernama Zubair bin Awam. Dulu nun di tahun 1929 tokoh ini

bersusah payah, seperti kesulitan Rasulullah ketika pertama tiba di

Madinah, mendirikan sekolah dari jerjak kayu bulat seperti kandang.

Itulah sekolah pertama di Belitong. Kemudian muncul para tokoh

seperti K.A. Abdul Hamid dan Ibrahim bin Zaidin yang berkorban

habis-habisan melanjutkan sekolah kandang itu menjadi sekolah

Muhammadiyah. Sekolah ini adalah sekolah Islam pertama di

Belitong, bahkan mungkin di Sumatra Selatan. Pak Harfan

menceritakan semua itu dengan semangat perang badar sekaligus

setenang hembusan angin pagi. Kami terpesona pada setiap pilihan

kata dan gerak lakunya yang memikat. Ada semacam pengaruh

yang lembut dan baik terpancar darinya. Ia mengesankan sebagai

pria yang kenyang akan pahit getir perjuangan dan kesusahan

hidup, berpengetahuan seluas samudra, bijak, berani mengambil

risiko, dan menikmati daya tarik dalam mencari-cari bagaimana cara

menjelaskan sesuatu agar setiap orang mengerti.

Pak Harfan tampak amat bahagia menghadapi murid, tipikal

“guru” yang sesungguhnya, seperti dalam lingua asalnya, India,

yaitu orang yang tak hanya mentransfer sebuah pelajaran, tapi juga

yang secara pribadi menjadi sahabat dan pembimbing spiritual bagi

muridnya. Beliau sering men aikturunkan intonasi, menekan kedua

ujung meja sambil mempertegas kata-kata tertentu, dan mengangkat

kedua tangannya laksana orang berdoa minta hujan.

Ketika mengajukan pertanyaan beliau berlari-lari kecil

mendekati kami, menatap kami penuh arti dengan pandangan

matanya yang teduh seolah kami adalah anak-anak Melayu yang

paling berharga. Lalu membisikkan sesuatu di telinga kami, menyitir

dengan lancarayat-ayat suci, menantang pengetahuan kami,

berpantun, membelai hati kami dengan wawasan ilmu, lalu diam,

diam berpikir seperti kekasih merindu, indah sekali.

Beliau menorehkan benang merah kebenaran hidup yang

sederhana melalui kata- katanya yang ringan namun bertenaga

seumpama titik-titik air hujan. Beliau mengobarkan semangat kami

utnuk belajar dan membuat kami tercengang dengan petuahnya

tentang keberanian pantang men yerah melawan kesulitan apa pun.

Pak Harfan memberi kami pelajaran pertama tentang keteguhan

pendirian, tentang ketekun an, tentang keinginan kuat untuk

mencapai cita- cita. Beliau meyakinkan kami bahwa hidup bisa

demikian bahagia dalam keterbatasan jika dimaknai dengan

keikhlasan berkorban untuk sesama. Lalu beliau menyampaikan

sebuah prinsip yang diam-diam menyelinap jauh ke dalam dadaku

serta memberi arah bagiku hingga dewasa, yaitu bahwa hiduplah

untuk memberi sebanyak -banyaknya, bukan untuk menerima

Kami tak berkedip menatap sang juru kisah yang ulung ini.

Pria ini buruk rupa dan buruk pula setiapapa yang di-sandangnya,

tapi pemikirannya jernih dan kata-katanya bercahaya. Jika ia

mengucapkan sesuatu kami pun terpaku menyimaknya dan tak

sabar menunggu untaian kata berikutnya. Tiba-tiba aku merasa

sangat beruntung didaftarkan orangtuaku di sekolah miskin

Muhammadiyah. Aku merasa lelah terselamatkan karena orang

tuaku memilih sebuah sekolah Islam sebagai pendidikan paling

dasar bagiku. Aku merasa amat beruntung berada di sini, di tengah

orang-orang yang luar biasa ini. Ada keindahan di sekolah Islam

melarat ini. Keindahan yang tak ‘kan kutukar dengan seribu

kemewahan sekolah lain.

Setiap kali Pak Harfan ingin menguji apa yang telah

diceritakannya kami berebutan mengangkat tangan, bahkan kami

mengacung meskipun beliau tak bertanya, dan kami mengacung

walaupun kami tak pasti akan jawaban. Sayangnya bapak yang

penuh daya tarik ini harus mohon diri. Satu jam dengannya terasa

hanya satu menit. Kami mengikuti setiap inci langkahnya ketika

meninggalkan kelas. Pandangan kami melekat tak lepas-lepas

darinya karena kami telah jatuh cinta padanya. Beliau telah

membuat kami menyayangi sekolah tua ini. Kuliah umum dari Pak

Harfan di hari pertama kami masuk SD Muhammadiyah langsung

menancapkan tekad dalam hati kami untuk membela sekolah yang

hampir rubuh ini, apa pun yang terjadi.

Kelas diambil alih oleh Bu Mus. Acaranya adalah perkenalan

dan akhirnya tibalah giliran A Kiong. Tangisnya sudah reda tapi ia

masih terisak. Ketika diminta ke depan kelas ia senang bukan main.

Sekarang di sela-sela isaknya ia tersenyum. Ia menggoyanggoyangkan tubuhnya. Tangan kirinya memegang botol air yang

kosong—karena isinya tadi ditumpahkan Sahara—dan tangan

kanannya menggenggam kuat tutup botol itu.

“Silahkan ananda perkenalkan nama dan alamat rumah …,”

pinta Bu Mus lembut pada anak Hokian itu.

A Kiong menatap Bu Mus dengan ragu kemudian ia kembali

tersenyum. Bapaknya menyeruak di antara kerumunan orangtua

lainnya, ingin menyaksikan anaknya beraksi. Namun, meskipun

berulang kali ditanya A Kiong tidak menjawab sepatah kata pun. Ia

terus tersenyum dan hanya tersenyum saja.

“Silakan ananda …,” Bu Mus meminta sekali lagi dengan sabar.

Namun sayang A Kiong hanya menjawabnya dengan kembali

tersenyum. Ia berkali-kali melirik bapaknya yang kelihatan tak sabar.

Aku dapat membaca pikiran ayahnya,

“Ayolah anakku, kuatkan hatimu, sebutkan namamu! Paling

tidak sebutkan nama bapakmu ini, sekali saja! Jangan bikin malu

orang Hokian!” Bapak Tionghoa berwajah ramah ini dikenal

sebagai seorang Tionghoa kebun, strata ekonomi terendah dalam

kelas sosial orang-orang Tionghoa di Belitong.

Namun, sampai waktu akan berakhir a Kiong masih tetap saja

tersenyum. Bu Mus membujuknya lagi.

“Baiklah ini kesempatan terakhir untukmu mengenalkan diri,

jika belum bersedia maka harus kembali ke tempat duduk..

A Kiong malah semakin senang. Ia masih sama sekali tak

menjawab. Ia tersenyum lebar, matanya yang sipit menghilang.

Pelajaran moral nomor dua: jangan tanyakan nama dan alamat

pada orang yang tinggal di kebun.

Maka berakhirlah perkenalan di bulan Februari yang

Perempuan-Perempuan Perkasa

AKU pernah membaca kisah tentang wanita yang membelah batu

karang untuk mengalirkan air, wanita yang menenggelamkan diri

belasan tahun sendirian di tengah rimba untuk menyelamatkan

beberapa keluarga orang utan, atau wanita yang berani mengambil

risiko tertular virus ganas demi menyembuhkan penyakit seorang

anak yang sama sekali tak dikenalnya nun jauh di Somalia.

Di sekolah Muhammadiyah setiap hari aku membaca keberanian

berkorban semacam itu di wajah wanita muda ini. N.A. Muslimah

Hafsari Hamid binti K.A. Abdul Hamid, atau kami memanggilnya

Bu Mus, hanya memiliki selembar ijazah SKP (Sekolah Kepandaian

Putri), namun beliau bertekad melanjutkan cita-cita ayahnya—K.A.

Abdul Hamid, pelopor sekolah Muhammadiyah di Belitong—untuk

terus mengobarkan pendidikan Islam.

Tekad itu memberinya kesulitan hidup yang tak terkira, karena

kami kekurangan guru—lagi pula siapa yang rela diupah beras 15

kilo setiap bulan? Maka selama enam tahun di SD Muhammadiyah,

beliau sendiri yang mengajar semua mata pelajaran—mulai dari

Menulis Indah, Bahasa Indonesia, Kewarganegaraan, Ilmu Bumi,

sampai Matematika, Geografi, Prakarya, dan Praktik Olahraga.

Setelah seharian mengajar, beliau melanjutkan bekerja menerima

jahitan sampai jauh malam untuk mencari nafkah, menopang hidup

dirinya dan adik-adinya.

BU MUS adalah seroang guru yang pandai, karismatik, dan

memiliki pandangan jauh ke depan. Beliau menyusun sendiri silabus

pelajaran Budi Pekerti dan mengajarkan kepada kami sejak dini

pandangan-pandangan dasar moral, demokrasi, hukum, keadilan,

dan hak-hak asasi—jauh hari sebelum orang-orang sekarang

meributkan soal materialisme versus pembangunan spiritual dalam

pendidikan. Dasar-dasar moral itu menuntun kami membuat

konstruksi imajiner nilai-nilai integritas pribadi dalam konteks Islam.

Kami diajarkan menggali nilai luhur di dalam diri sendiri agar

berperilaku baik karena kesadaran pribadi. Materi pelajaran Budi

Pekerti yang hanya diajarkan di sekolah Muhammadiyah sama

sekali tidak seperti kode perilaku formal yang ada dalam konteks

legalitas institusional seperti sapta prasetya atau pedoman-pedoman

“Shalatlah tepat waktu, biar dapat pahala lebih banyak,”

demikian Bu Mus selalu menasihati kami. Bukankah ini kata-kata

yang diilhami surah An-Nisa dan telah diucapkan ratusan kali oleh

puluhan khatib? Sering kali dianggap sambil lalu saja oleh umat.

Tapi jika yang mengucapkannya Bu Mus kata-kata itu demikian

berbeda, begitu sakti, berdengung- dengung di dalam kalbu. Yang

terasa kemudian adalah penyesalan mengapa telah terlamabat

Pada kesempatan lain, karena masih kecil tentu saja, kami

sering mengeluh mengapa sekolah kami tak seperti sekolah-sekolah

lain. Terutama atap sekolah yang bocor dan sangat menyusahkan

saat musim hujan. Beliau tak menanggapi keluhan itu tapi

mengeluarkan sebuah buku berbahasa Belanda dan

memerplihatkan sebuah gambar.

Gambar itu adalah sebuah ruangan yang sempit, dikelilingi

tembok tebal yang suram, tinggi, gelap, dan berjeruji. Kesan di

dalamnya begitu pengap, angker, penuh kekerasan dan kesedihan.

“inilah sel Pak Karno di sebuah penjara di Bandung, di sini beliau

menjalani hukuman dan setiap hari belajar, setiap waktu membaca

buku. Beliau adalah salah satu orang tercerdas yang pernah dimiliki

Beliau tak melanjutkan ceritanya..

Kami tersihir dalam senyap. Mulai saat itu kami tak pernah lagi

memprotes keadaan sekolah kami. Pernah suatu ketika hujan turun

amat lebat, petir sambar menyambar. Trapani dan Mahar memakai

terindak, topi kerucut dari daun lais khas tentara Vietkong, untuk

melindungi jambul mereka. Kucai, Borek, dan Sahara memakai jas

hujan kuning bergambar gerigi metal besar di punggungnya dengan

tulisan “UPT Bel” (Unit Penambangan Timah Belitong)—jas hujan

jatah PN Timah milik bapaknya. Kami sisanya hampir basah kuyup.

Tapi sehari pun kami tak pernah bolos, dan kami tak pernah

mengeluh, tidak, sedikit pun kami tak pernah mengeluh.

Bagi kami Pak Harfan dan Bu Mus adalah pahlawan tanpa

tanda jasa yang sesungguhnya. Merekalah mentor, penjaga,

sahabat, pengajar, dan guru spiritual. Mereka yang pertama

menjelaskan secara gamblang implikasi amar makruf nahi mungkar

sebagai pegangan moral kami sepanjang hayat. Mereka mengajari

kami membuat rumah- rumahan dari perdu apit-apit, mengusap

luka-luka di kaki kami, membimbing kami cara mengambil wudu,

melongok ke dalam sarung kami ketika kami disunat, mengajari

kami doa sebelum tidur, memompa ban sepeda kami, dan kadangkadang membuatkan kami air jeruk sambal.

Mereka adalah ksatria tampa pamrih, pangeran keikhlasan,

dan sumur jernih ilmu pengetahuan di ladang yang ditinggalkan.

Sumbangan mereka laksana manfaat yang diberikan pohon filicium

yang menaungi atap kelas kami. Pohon ini meneduhi kami dan

dialah saksi seluruh drama ini. Seperti guru-guru kami, filicium

memberi napas kehidupan bagi ribuan organise dan menjadi

tonggak penting mata rantai ekosistem.

JUMLAH orang Tionghoa di kampung kami sekitar sepertiga

dari total populasi. Ada orang Kek, ada orang Hokian, ada orang

Tongsan, dan ada yang tak tahu asal usulnya. Bisa saja mereka

yang lebih dulu mendiami pulau ini daripada siapa pun. Aichang,

phok, kiaw, dan khaknai, seluruhnya adalah perangkat

penambangan timah primitf yang sekarang dianggap temuan

arkeologi, bukti bahwa nenek moyang mereka telah lama sekali

berada di Pulau Belitong. Komunitas ini selalu tipikal: rendah hati

ddan pekerja keras. Meskipun jauh terpisah dari akar budayanya

namun mereka senantiasa memelihara adat istiadatnya, dan di

Belitong mereka beruntung karena mereka tak perlu jauh-jauh

datang ke Jinchanying kalau hanya ingin melihat Tembok Besar

Persis bersebelahan dengan toko-toko kelontong milik warga

Tionghoa ini berdiri tembok tinggi yang panjang dan di sana sini

tergantung papan peringatan:

“DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK”.

Di atas tembok ini tidak hanya ditancapi pecahan-pecahan kaca

yang mengancam tapi juga dililitkan empat jalur kawat berduri

seperti di kamp Auschwitz. Namun, tidak seperti Temok Besar Cina

yang melindungi berbagai dinasti dari sebuan suku-suku Mongol di

utara, di Belitong tembok yang angkuh dan berkelak-kelok

sepanjang kiloan meter ini adalah pengukuhan sebuah dominasi

dan perbedaan status sosial.

Di balik tembok itu terlindung sebuah kawasan yang disebut

Gedong, yaitu negeri asing yang jika berada di dalamnya orang

akan merasa tak sedang berada di Belitong. Dan di dalam sana

berdiri sekolah-sekolah PN. Sekolah PN adalah sebutan untuk

sekolah milik PN (Perusahaan Negara) Timah, sebuah perusahaan

yang paling berpengaruh di Belitong, bahkan sebuah hegemoni

lebih tepatnya, karena timah adalah denyut nadi pulau kecil itu.

Suatu sore seorang gentleman keluar dari balik tembok itu

untuk berkeliling kampung dengan sebuah Chevrolet Corvette, lalu

esoknya di depan sebuah majelis ia mencibir.

“Tak satu pun kulihat ada anak muda memegang pacul! Tak

pernah kulihat orang- orang muda demikian malas seperti di sini..

Ha? Apa dia kira kami bangsa petani? Kami adalah buruhburuh tambang yang bangga, padi tak tumbuh di atas tanah-tanah

kami yang kaya material tambang! LAKSANA the Tower of Babel—

yakni Menara Babel, metafora tangga menuju surga yang

ditegakkan bangsa babylonia sebagai perlambang kemakmuran

5.600 tahun lalu, yang berdiri arogan di antara Sungai Tigris dan

Eufrat di tanah yang sekarang disebut Irak—timah di Belitong

adalah menara gading kemakmuran berkah Tuhan yang menjalar

sepanjang Semenanjung Malaka, tak putus-putus seperti jalian urat

Orang Melayu yang mer ogohkan tangannya ke dalam lapisan

dangkal aluvium, hampir di sembarang tempat, akan mendapati

lengannya berkilauan karena dilumuri ilmenit atau timah kosong.

Bermil-mil dari pesisir, Belitong tampak sebagai garis pantai kuning

berkilauan karena bijih-bijih timah dan kuarsa yang disirami cahaya

matahari. Pantulan cahaya itu adalah citra yang lebih kemilau dari

riak-riak gelombang laut dan membentuk semacam fatamorgana

pelangi sebagai mercusuar yang menuntun para nakhoda.

Tuhan memberkahi Belitong dengan timah bukan agar kapal

yang berlayar ke pulau itu tidak menyimpang ke Laut Cina Selatan,

tetapi timah dialirkan-Nya ke sana untuk menjadi mercusuar bagi

penduduk pulau itu sendiri. Adakah mereka telah semena- mena

pada rezeki Tuhan sehingga nanti terlunta-lunta seperti di kala

Tuhan menguji bangsa Lemuria? Kilau itu terus menyala sampai

jauh malam. Eksploitasi timah besar-besaran secara nonstop

diterangi ribuan lampu dengan energi jutaan kilo watt. Jika

disaksikan dari udara di malam hari Pulau Belitong tampak seperti

familia besar Ctenopore, yakni ubur-ubur yang memancarkan

cahaya terang berwarna biru dalam kegelapan latu: sendiri, kecil,

bersinar, indah, dan kaya raya. Belitong melayang-layang di antara

Selat Gaspar dan Karimata bak mutiara dalam tangkupan kerang.

Dan terberkatilah tanah yang dialiri timah karena ia seperti

knautia yang dirubung beragam jenis lebah madu. Timah selalu

mengikat material ikutan, yakni harta karun tak ternilai yang

melimpah ruah: granit, zirkonium, silika, senotim, monazite, ilmenit,

siderit, hematit, clay, emas, galena, tembaga, kaolin, kuarsa, dan

Semuanya berlapis- lapis, meluap-luap, beribu-ribu ton di bawah

rumah-rumah panggung kami. Kekayaan ini adalah bahan dasar

kaca berkualitas paling tinggi, bijih besi dan titanium yang bernas, …

material terbaik untuk superkonduktor, timah kosong ilmenit yang

digunakan laboratorium roket NASA sebagai materi antipanas

ekstrem, zirkonium sebagai bahan dasar produk-produk tahan api,

emas murni dan timah hitam yang amat mahal, bahkan kami

memiliki sumber tenaga nuklir: uranium yang kaya raya. Semua ini

sangat kontradiktif dengan kemiskinan turun temurun penduduk asli

Melayu Belitong yang hidup berserakan di atasnya. Kami seperti

sekawanan tikus yang paceklik di lumbung padi.

Belitong dalam batas kuasa eksklusif PN Timah adalah kota

praja Konstantinopel yang makmur. PN adalah penguasa tunggal

Pulau Belitung yang termasyhur di seluruh negeri sebagai

Pulautimah. Nama itu tercetak di setiap buku geografi atau buku

Himpunan Pengetahuan Umum pustaka wajib sekolah dasar. PN

amat kaya. Ia punya jalan raya, jembatan, pelabuhan, real estate,

bendungan, dok kapal, saran a telekomunikasi, air, listrik, rumahrumah sakit, sarana olahraga—termasuk beberapa padang golf,

kelengkapan sarana hiburan, dan sekolah-sekolah. PN menjadikan

Belitong --sebuah pulau kecil-- seumpama desa perusahaan dengan

aset triliunan rupiah.

PN merupakan penghasil timah nasional terbesar yang

mempekerjakan tak kurang dari 14.000 orang. Ia menyerap hampir

seluruh angkatan kerja di Belitong dan menghasilkan devisa jutaan

dolar. Lahan eksploiotasinya tak terbatas. Lahan itu disebut kuasa

penambangan dan secara ketat dimonopoli. Legitimasi ini diperoleh

melalui pembayaran royalti—lebih pas disebut upeti—miliaran

rupiah kepada pemerintah. PN mengoperasikan 16 unit emmer

bageratau kapal keruk yang bergerak lamban, mengorek isi bumi

dengan 150 buah mangkuk-mangkuk baja raksasa, siang malam

merambah laut, sungai, dan rawa-rawa, bersuara mengerikan

laksana kawanan dinosaurus.

Di titik tertinggi siklus komidi putar, di masa keemasan itu,

penumpangnya mabuk ketinggian dan tertidur nyenyak,

melanjutkan mimpi gelap yang ditiup-tiupkan kolonialis. Sejak

zaman penjajahan, sebagai platform infrastruktur ekon omi, PN

tidak hanya memonopoli faktor produksi terpenting tapi juga

mewarisi mental bobrok feodalistis ala Belanda. Sementara seperti

sering dialami oleh warga pribumi dimanapun yang sumber daya

alamnya dieksploitasi habis-habisan, sebagaian komunitas di

Belitong juga termarginalkan dalam ketidak adilan kompensasi

tanah ulayah, persamaan kesempatan, dan trickle down effects .

PULAU Belitong yang makmur seperti mengasingkan diri dari

tanah Sumatra yang membujur dan di sana mengalir kebudayaan

Melayu yang tua. Pada abad ke-19, ketika korporasi secara

sistematis mengeksploitasi timah, kebudayaan bersahaja itu mulai

hidup dalam karakteristik sosiologi tertentu yang atribut-atributnya

mencerminkan perbedaan sangat mencolok seolah berdasarkan

status berkasta-kasta. Kasta majemuk itu tersusun rapi mulai dari

para petinggi PN Timah yang disebut “orang staf” atau urang setap

dalam dialek lokal sampai pada para tukang pikul pipa di instalasi

penambangan serta warga suku Sawang yang menjadi buruh-buruh

yuka penjahit karung timah. Salah satu atribut diskriminasi itu

adalah sekolah-sekolah PN.

Maka lahirlah kaum menak, implikasi dari institusi yang ingin

memelihara citra aristokrat. PN melimpahi orang staf dengan

penghasilan dan fasilitas kesehatan, pendidikan, promosi,

transportasi, hiburan, dan logistik yang sangat diskriminatif

dibanding kompensasi yang diberikan kepada mereka yang bukan

orang staf. Mereka, kaum borjuis ini, bersemayam di kawasan

eksklusif yang disebut Gedong. Mereka seperti orang-orang kulit

putih di wilayah selatan Amerika pada tahun 70-an. Feodalisme di

Belitong adalah sesuatu yang unik, karena ia merupakan

konsekuensi dari adanya budaya korporasi, bukan karena tradisi

paternalistik dari silsilah, subkultur, atau privilese yang di

anugerahkan oleh penguasa seperti biasa terjadi di berbagai tempat

Sepadan dengan kebun gantung yang memesona di pelataran

menara Babylonia, sebuah taman kesayangan Tiran

Nebuchadnezzar III untuk memuja Dewa Marduk, Gedong adalah

landmark Belitong. Ia terisolasi tembok tinggi berkeliling dengan satu

akses keluar masuk seperti konsep cul de sac dalam konsep

pemukiman modern. Arsitektur dan desain lanskapnya bergaya

sangat kolonial. Orang-orang yang tinggal di.dalamnya memiliki

nama-nama yang aneh, misalnya Susilo, Cokro, Ivonne, Setiawan,

atau Kuntoro, tak ada Muas, Jamali, Sa’indun, Ramli, atau Mahader

seperti nama orang- orang Melayu, dan mereka tidak pernah

menggunakan bin atau binti.

Gedong lebih seperti sebuah kota satelit yang dijaga ketat oleh

para Polsus (Polisi Khusus) Timah. Jika ada yang lancang masuk

maka koboi-koboi tengik itu akan menyergap, mengintergoasi, lalu

interogasi akan ditutup dengan mengingatkan sang tangkapan pada

tulisan “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK”

yang bertaburan secara mencolok pada berbagai akses dan fasilitas

di sana, sebuah power Statement tipikal kompeni.

Kawasan warisan Belanda ini menjunjung tinggi kesan

menjaga jarak , dan kesan itu diperkuat oleh jajaran pohon-pohon

saga tua yang menjatuhkan butir-butir buah semerah darah di atas

kap mobil-mobil mahal yang berjejal-jejal sampai keluar garasi. Di

sana, rumah-rumah mewah besar bergaya Victoria memiliki jendelajendela kaca lebar dan tinggi dengan tirai yang berlapis-lapis laksana

layar bioskop. Rumah-rumah itu ditempatkan pada kontur yang

agak tinggi sehingga kelihatan seperti kastil-kastil kaum bangsawan

dengan halaman terpelihara rapi dan danau-danau buatan. Di

dalamnya hidup tenteram sebuah keluarga kecil dengan dua atau

tiga-anak yang selalu tampak damai, temaram, dan sejuk.

Setiap rumah memiliki empat bangunan terpisah yang

disambungkan oleh selasar- selasar panjang. Itulah rumah utama

sang majikan, rumah bagi para pembantu, garasi, dan gudanggudang. Selasar-selasar itu mengelilingi kolam kecil yang ditumbuhi

Nymphaea caereulea atau the blue water lily yang sangat menawan

dan di tengahnya terdapat patung anak-anak gendut semacam

Manequin Piss legenda negeri Belgia yang menyemprotkan air

mancur sepanjang waktu dari kemaluan kecilnya yang lucu. Pot-pot

kayu anggrek mahal Tainia shimadai Dan Chysis digantungkan

berderet- deret di bibiratap selasar dan di bawahnya tersusun rapi

bejana keramik antik bertangga- tangga berisi kaktus Chaemasereas

dan Parodia scopa . Untuk urusan bunga ini ada petugas khusus

yang merawatnya. Di luar lingkar kolam didirikan sebuah kandang

berlubang kotak-kotak kecil persegi berbentuk piramida yang berseni

dan ditopang oelh sebuah pilar bergaya Romawi, itulah rumah

burung merpati Inggris.

Di dalam rumah utama sang majikan terdapat ruang tamu

dengan lampu-lampu yang teduh dan perabot utama di sana adalah

sebuah sofa Victorian rosewood berwarna merah. Jika duduk di

atasnya seseorang dapat merasa dirinya seperti seorang paduka

raja. Di samping ruang tamu adalah ruang makan tempat para

penghuni rumah makan malam mengenakan busana senja yang

terbaik dan bersepatu. Di meja makan mewah dengan kayu

Cinnamonglaze , mereka duduk mengelilingi makanan yang

namanya bahkan belum ada terjemahannya. Pertama-tama

perangsang lapar pumpkin and Gorgonzola soup , lalu hadir caesar

salad menu utama, chicken cordon bleu, vitello alla Provenzale ,

Pada bagian akhir sebagai makanan penutup adalah creamy

cheesecake topped with stawberry puree , buah-buah persik dan

prem. Mereka makan dengan tenang sembari mendengarkan musik

klasik yang elegan: Mozart: Haffner No. 35 in D Major . Mereka

mematuhi table manner’ Setelah melampirkan serbet di atas

pangkuannya makan malam dimulai nyaris tanpa suara dan tak ada

seorang pun yang menekan bibir meja dengan sikunya... Sarapan

pagi disajikan di ruangan yang berbeda. Ruangan ini terbuka,

menghadap ke kebun anggrek dan kolam renang dangkal yang biru.

Mejanya juga berbeda yakni terracotta tile top oval yang lucu

namun berkelas. Di pagi hari mereka senang mencicipi omelet dan

menyeruput the. Earl Grey, atau cappuccino, lalu mereka

melemparkan remah-remah roti pada burung-burung merpati Inggris

yang berebutan, rakus tapi jinak.

Halaman setiap rumah sangat luas dan tak dipagar.

Kebanyakan didekorasi dengan karya seni instalasi dari konstruksi

logam yang maknanya tak mudah dicerna orang awam. Hamparan

rumput manila di halaman menyentuh lembut bibir jalan raya

dengan tinggi permukaan yang sama. Ada daya tarik tersendiri di

Tak ada parit, karena semua sistem pembuangan diatur di

bawah tanah. Pekarangan ditumbuhi pinang raja, bambu Jepang,

pisang kipas, dan berjenis-jenis palem yang berselang-seling di

antara taman-taman bunga umum, ornamen, galeri, angsa-angsa

besar yang berkeliaran, kafe members only , patung-patung, nooker

bar , sudut-sudut tempat bermain anak-anak berisi ayam-ayam

kalkun yang dibiarkan bebas, trotoar untuk membawa anjing jalanjalan, kolam-kolam renang, dan lapangan-lapangan golf. Tenang

dan tidak berisik, kecuali sedikit bunyi, rupanya anjing pudel sedang

mengejar beberapa ekor kucing anggora.

Namun, selain suara hewan-hewan lucu itu sore ini terdengar

lamat-lamat denting piano dari salah satu kastil Victoria yang

terututp rapat berpilar-pilar itu. Floriana atau Flo yang tomboi, salah

seorang siswa sekolah PN, sedang les piano. Guru privatnya sangat

bersemangat tapi Flo sendiri terkantuk-kantuk tanpa minat. Kedua

tangannya menopang wajah murungnya sambil menguap berulangulang di samping sebuah instrumen megah: grand piano merk

Steinway and sons yang hitam, dingin, dan berkilauan. Wajah Flo

seperti kucing kebanyakan tidur dan bangun magrib-magrib.

Bapaknya—seorang Mollen Bas , kepala semua kapal keruk—duduk

di sebuah kursi besar semacam singgasana sehingga tubuh kecilnya

tenggelam. Kakinya dibungkus sepatu mahal De Carlo cokelat yang

elegan, tergantung berayun-ayun lucu. Ia geram pada tingkah si

tomboi dan malu pada sang guru, seorang wanita berkacamata,

setengah baya, berwajah cerdas dan hanya bisa tersenyum-senyum.

Beliau tak henti-henti memohon maaf pada wanita Jawa yang

sangat santun itu atas kelakuan anaknya.

Bapak Flo adalah orang hebat, seseorang yang amat

terpelajar. Ia adalah insinyur lulusan terbaik dari Technische

Universiteit Delf di Holland dari Fakultas Werktuiq bouwkunde,

Maritieme techniek & technische materiaal wetenschappen, yang

artinya kurang lebih: jago teknik. Ia adalah salah satu dari segelintir

orang Melayu asli Belitong yang berhak tinggal di Gedong dan

orang kampung yang mampu mencapai karier tinggi di jajaran elite

orang staf karena kepintarannya. Sebagai Mollen Bas, beliau

sanggup mengendalikan shift ribuan karyawan, memperbaiki

kerusakan kapal keruk yang tenaga-tenaga ahli asing sendiri sudah

menyerah, dan mengendalikan aset produksi miliaran dolar. Tapi

menghadapi anak perempuan kecilnya, si tomboi gasing yang tak

bisa diatur ini, beliau hampir menyerah. Semakin keras suara

bapaknya menghardik semakin lebar Flo menguap.

Pokok perkaranya sederhana, yakni beliau telah memiliki

beberapa anak laki-laki dan Flo si bungsu, adalah anak perempuan

satu-satunya. Namun anak perempuannya ini bersikeras ingin

menjadi laki-laki. Setiap hari beliau berusaha memerempuankan Flo

antara lain dengan memaksanya kursus piano. Grand piano itu

didatangkan dengan kapal khusus dari Jakarta. Guru privat yang

merupakan seorang instruktur musik profesional, juga khusus

dijemput dari Tanjong Pandan. Lebih dari itu, di sela kesibukannya,

bapaknya rela menunggui Flo kursus, namun yang beliau dapat tak

lebih dari uapan- uapan itu. Flo bahkan tak berminat menyentuh

tuts-tuts hitam putih yang berkilat-kilat karena pikirannya melayang

ke sasana tempat ia latihan kick boxing dan angkat barbel. Flo tak

suka menerima dirinya sebagai seorang perempuan. Mungkin

karena pengharuh dari saudara-saudara kandungnya yang

seluruhnya laki-laki atau karena suatu ketidak seimbangan dalam

kimia tubuhnya. Maka ia memotong rambut dengan model lurus

pendek dan ia belajar mengubah ekspresi wajah cantiknya agar

merefleksikan seringai laki-laki. Ia bercelana jeans , kaos oblong, dan

membuang anting- anting yang dibelikan ibunya. Guru privat itu

memperkenalkan dengan lembut notasi do, mi, sol, si dalam lintasan

empat oktaf dan memperlihatkan posisi jari-jemari pada setiap

notasi itu sebagai dasar bagi Flo untuk berlatih fingering . Flo

TAK disangsikan, jika di- zoom out , kampung kami adalah

kampung terkaya di Indonesia. Inilah kampung tambang yang

menghasilkan timah dengan harga segenggam lebih mahal puluhan

kali lipat dibanding segantang padi. Triliunan rupiah aset tertanam

di sana, miliaran rupiah uang berputar sangat cepat seperti putaran

mesin parut, dan miliaran dolar devisa mengalir deras seperti

kawanan tikus terpanggil pemain seruling ajaib Der Rattenfanger

von Hameln . Namun jika di- zoom in , kekayaan itu terperangkap

di satu tempat, ia tertimbun di dalam batas tembok-tembok tinggi

Gedong. Hanya beberapa jengkal di luar lingkaran tembok tersaji

pemandangan kontras seperti langit dan bumi. Berlebihan jika

disebut daerah kumuh tapi tak keliru jika diumpamakan kota yang

dilanda gerhana berkepanjangan sejakera pencerahan revolusi

industri. Di sana, di luar lingkar tembok Gedong hidup komunitas

Melayu Belitong yang jika belum punya enam anak belum berhenti

beranak pinak. Mereka menyalahkan pemerintah karena tidak

menyediakan hiburan yang memadai sehingga jika malam tiba

mereka tak punya kegiatan lain selain membuat anak-anak itu.

Di luar tembok feodal tadi berdirilah rumah-rumah kami,

beberapa sekolah negeri, dan satu sekolah kampung

Muhammadiyah. Tak ada orang kaya di sana, yang ada hanya

kerumunan toko miskin di pasar tradisional dan rumah-rumah

panggung yang renta dalam berbagai ukuran. Rumah-rumah asli

Melayu ini sudah ditinggalkan zaman keemasannya. Pemiliknya tak

ingin merubuhkannya karena tak ingin berpisah dengan kenangan

masa jaya, atau karena tak punya uang.

Di antara rumah panggung itu berdesak-desakan kantor polisi,

gudang-gudang logistik PN, kantor telepon, toapekong, kantor

camat, gardu listrik, KUA, masjid, kantor pos, bangunan

pemerintah—yang dibuat tanpa perencanaan yang masuk akal

sehingga menjadi bangunan kosong telantar, tandon air, warung

kopi, rumah gadai yang selalu dipenuhi pengunjung, dan rumah

panjang suku Sawang. Komunitas Tionghoa tinggal di bangunan

permanen yang juga digunakan sebagai toko. Mereka tidak memiliki

pekarangan. Adapun pekarangan rumah orang Melayu ditumbuhi

jarak pagar, beluntas, beledu, kembang sepatu, dan semak

belukaryang membosankan. Pagar kayu saling-silang di parit

bersemak di mana tergenang air mati berwarna cokelat—juga sangat

membosankan. Entok dan ayam kampung berkeliaran seenaknya.

Kambing yang tak dijaga melalap tanaman bunga kesayangan

sehingga sering menimbulkan keributan kecil.

Jalan raya di kampung ini panas menggelegak dan ingarbingar oleh suara logam yang saling beradu ketika truk-truk reyot

lalu-lalang membawa berbagai peralatan teknik eksplorasi timah.

Kawasan kampung ini dapat disebut sebagai urban atau perkotaan.

Umumnya tujuh macam profesi tumpang tindih di sini: kuli PN

sebagai mayoritas, penjaga toko, pegawai negeri, pengangguran,

pegawai kantor desa, pedagang, dan pensiunan. Sepanjang waktu

mereka hilir mudik dengan sepeda. Semuanya, para penduduk,

kambing, entok, ayam, dan seluruh bangunan itu tampak berdebu,

tak teratur, tak berseni, dan kusam.

Keseharian orang pinggiran ini amat monoton. Pagi yang

sunyi senyap mendadak sontak berantakan ketika kantor pusat PN

Timah membunyikan sirine, pukul 7 kurang 10. Sirine itu

memekakkan telinga dalam radius puluhan kilometer seperti

peringatan serangan Jepang dalam pengeboman Pearl Harbour.

Demi mendengar sirine itu, dari rumah-rumah panggung,

jalan-jalan kecil, sudut-sudut kampung, rumah-rumah dinas

permanen berdinding papan, dan gang-gang sempit bermunculanlah parakuli PN bertopi kuning membanjiri jalan raya. Mereka

berdesakan, terburu-buru mengayuh sepeda dalam rombongan

besaratau berjalan kaki, karena sepuluh menit lagi jam kerja dimulai.

Jumlah mereka ribuan.

Mereka menyerbu tempat kerja masing-masing: bengkel

bubut, kilang minyak, gudang beras, dok kapal, dan unit-unit

pencucian timah. Parakuli yang bekerja shift di kapal keruk

melompat berjejal-jejal ke dalam bak truk terbuka seperti sapi yang

akan digiring ke penjagalan. Tepat pukul 7 kembali dibunyikan

sirene kedua tanda jam resmi masuk kerja. Lalu tiba-tiba jalan-jalan

raya, kampung-kampung, dan pasar kembali lengang, sunyi senyap.

Setelah pukul 7 pagi, rumah orang Melayu Belitong hanya dihuni

kaum wanita, para pensiunan, dan anak-anak kecil yang belum

sekolah. Kampung kembali hidup pada pukul 10, yaitu ketika

wanita-wanita itu memainkan orkestra menumbuk bumbu. Suara

alu yang dilantakkan ke dalam lumpang kayu bertalu-talu, sahutmenyahut dari rumah ke rumah.

Pukul 12 sirine kembali berbunyi, kali ini adalah sebagai tanda

istirahat. Dalam sekejap jalan raya dipenuhi parakuli yang pulang

sebentar. Lapar membuat mereka tampak seperti semut-semut

hitam yang sarangnya terbakar, lebih tergesa dibanding waktu

mereka berangkat pagi tadi. Pukul 2 siang sirine berdengung lagi

memanggil mereka bekerja. Parakuli ini akan kembali pulang ke

peraduan setelah terdengar sirine yang sangat panjang tepat pukul 5

sore. Demikianlah yang berlangsung selama puluhan tahun

TIDAK seperti di Gedong, jika makan orang urban ini tidak

mengenal appetizer sebagai perangsang selera, tak mengenal main

course , ataupun dessert . Bagi mereka semuanya adalah menu

utama. Pada musim barat ketika nelayan enggan melaut, menu

utama itu adalah ikangabus. Parakuli yang bernafsu makan besar

sesuai dengan pembakaran kalorinya itu jika makan seluruh

tubuhnya seakan tumpah ke atas meja. Agar lebih praktis tak jarang

baskom kecil nasi langsung digunakan sebagai piring. Di situlah

diguyur semangkuk gangan , yaitu masakan tradisional dengan

bumbu kunir. Ketika makan mereka tak diiringi karya MozartHaffner

No. 35 in D Major tapi diiringi rengekan anak -anaknya yang minta

dibelikan baju pramuka.

Setiap subuh para istri meniup siong (potongan bambu) untuk

menghidupkan tumpukan kayu bakar. Asap mengepul masuk ke

dalam rumah, menyembul keluar melalui celah dinding papan, dan

membangunkan entok yang dipelihara di bawah rumah panggung.

Asap itu membuat penghuni rumah terbatuk-batuk, namun ia amat

diperlukan guna menyalakan gemuk sapi yang dibeli bulan

sebelumnya dan digantungkan berjuntai- juntai seperti cucian di atas

perapian. Gemuk sapi itulah sarapan mereka setiap pagi. Sebelum

berangkat parakuli itu tidak minum teh Earlgrey atau cappuccino ,

melainkan minum air gula aren dicampur jadam untuk

menimbulkan efek ten aga kerbau yang akan digunakan sepanjang

Apabila persediaan gemuk sapi menipis dan angin barat

semakin kencang, maka menu yang disajikan sangatlah istimewa,

yaitu lauk yang diasap untuk sarapan, lauk yang diasin untuk makan

siang, dan lauk yang dipepes untuk makan malam, seluruhnya

terbuat dari ikangabus.

DI luar lingkungan urban, berpencar menuju dua arah

besaradalah wilayah rural atau pedesaan. Daerah ini memanjang

dalam jarak puluhan kilometer menuju ke barat ibu kota Kabupaten

Tanjong Pandan. Sebaliknya, ke arah selatan akan menelusuri jalur

ke pedalaman. Jalur ini berangsur-angsur berubah dari aspal

menjadi jalan batu merah dan lama-kelamaan menjadi jalan tanah

setapak yang berakhir di laut.

Di sepanjang jalur pedesaan rumah penduduk berserakan,

berhadap-hadapan dipisahkan oleh jalan raya. Dulu nenek moyang

mereka berladang di hutan. Belanda menggiring mereka ke pinggir

jalan raya, agar mudah dikendalikan tentu saja. Orang-orang

pedesaan ini hidup bersahaja, umumnya berkebun, mengambil hasil

hutan, dan mendapat bonus musiman dari siklus buah-buahan,

lebah madu, dan ikan air tawar. Mereka mendiami tanah ulayat dan

di belakang rumah mereka terhampar ribuan hektar tanah tak

bertuan, padang sabana, rawa-rawa layaknya laboratorium alam

yang lengkap, dan aliran air bening yang belum tercemar.

Kekuatan ekonomi Belitong dipimpin oleh orang staf PN dan

para cukong swasta yang mengerjakan setiap konsesi eksploitasi

timah. Mereka menempati strata tertinggi dalam lapisan yang sangat

tipis. Kelas menengah tak ada, oh atau mungkin juga ada, yaitu para

camat, para kepala dinas dan pejabat-pejabat publik yang korupsi

kecil- kecilan, dan aparat pen egak hukum yang mendapat uang dari

menggertaki cukong- cukong itu.

Sisanya berada di lapisan terendah, jumlahnya banyak dan

perbedaannya amat mencolok dibanding kelas di atasnya. Mereka

adalah para pegawai kantor desa, karyawan rendahan PN, pencari

madu dan nira, para pemain organ tunggal, semua orang Sawang,

semua orang Tionghoa kebun, semua orang Melayu yang hidup di

pesisir, para tenaga honorer Pemda, dan semua guru dan kepala

sekolah—baik sekolah negeri maupun sekolah kampung—kecuali

guru dan kepala sekolah PN.

SEKOLAH-SEKOLAH PN Timah, yaitu TK, SD, dan SMP PN

berada dalam kawasan Gedong. Sekolah-sekolah ini berdiri megah

di bawah naungan Aghatis berusia ratusan tahun dan dikelilingi

pagar besi tinggi berulir melambangkan kedisiplinan dan mutu tinggi

pendidikan. Sekolah PN merupakan center of excellence atau

tempat bagi semua hal yang terbaik. Sekolah ini demikian kaya raya

karena didukung sepenuhnya oleh PN Timah, sebuah korporasi

yang kelebihan duit. Institusi pendidikan yang sangat modern ini

lebih tepat disebut percontohan bagaimana seharusnya generasi

Gedung-gedung sekolah PN didesain dengan arsitektur yang tak

kalah indahnya dengan rumah bergaya Victoria di sekitarnya.

Ruangan kelasnya dicat warna-warni dengan tempelangambar

kartun yang edukatif, poster operasi dasar matematika, tabel

pemetaan unsur kimia, peta dunia, jam dinding, termometer, foto

para ilmuwan dan penjelajah yang memberi inspirasi, dan ada

kapstok topi. Di setiap kelas ada patung anatomi tubuh yang

lengkap, globe yang besar, white board , dan alat peraga konstelasi

Di dalam kelas-kelas itu puluhan siswa brilian bersaing ketat

dalam standar mutu yang sanggat tinggi. Sekolah-sekolah ini

memiliki perpustakaan, kantin, guru BP, laboratorium,

perlengkapan kesenian, kegiatan ekstra kurikuler yang bermutu,

fasilitas hiburan, dan sarana olahraga —termasuk sebuah kolam

renang yang masih disebut dalam bahasa Belanda: zwembad. Di

depan pintu masuk kolam renang ini tentu saja terpampang

“DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK”.

Di setiap kelas ada kotak P3K berisi obat-obat pertolongan

pertama. Kalau ada siswanya yang sakit maka ia akan angsung

mendapatkan pertolongan cepat secara profesional atau segera

dijemput oleh mobil ambulans yang meraung-raung.

Mereka memiliki petugas-petugas kebersihan khusus, guruguru yang bergaji mahal, dan para penjaga sekolah yang

berseragam seperti polisi lalu lintas dan selalu meniup-niup peluit.

Tali merah bergulung-gulung keren sekali di bahu seragamnya itu.

“Jumlah gurunya banyak..

Demikian ujar Bang Amran Isnaini bin Muntazis Ilham—yang

pernah sekolah di sana—persis pada malam sebelum esoknya aku

masuk pertama kali di SD Muhammadiyah itu. Aku termenung.

“Setiap pelajaran ada gurunya masing-masing, walaupun kau

baru kelas satu.” Maka pada malam itu aku tak bsia tidurakibat

pusing menghitung berapa banyak jumlah guru di sekolah PN, tentu

saja juga selain karena rasa senang akan masuk sekolah besok.

Murid PN umumnya anak-anak orang luar Belitong yang

bapaknya menjadi petinggi di PN. Sekolah ini juga menerima anak

kampung seperti Bang Amran, tapi tentu saja yang orangtuanya

sudah menjadi orang staf. Mereka semua bersih-bersih, rapi, kaya,

necis, dan pintar-pintar luar biasa. Mereka selalu mengharumkan

nama Belitong dalam lomba-lomba kecerdasan, bahkan sampai

tingkat nasional. Sekolah PN sering dikunjungi para pejabat,

pengawas sekolah, atau sekolah lain untuk melakukan semacam

benchmarking melihat bagaimana seharusnya ilmu pengetahuan

ditransfer dan bagaimana anak-anak kecil dididik secara ilmiah.

Pendaftaran hari pertama di sekolah PN adalah sebuah perayaan

penuh sukacita. Puluhan mobil mewah berder et di depan sekolah

dan ratusan anak orang kaya mendaftar. Ada bazar dan pertunjukan

seni para siswa. Setiap kelas bisa menampung hampir sebanyak 40

siswa dan paling tidak ada 4 kelas untuk setiap tingkat. SD PN tidak

akan membagi satu pun siswanya kepada sekolah-sekolah lain yang

kekurangan murid karena sekolah itu memiliki sumber daya yang

melimpah ruah untuk mengakomodasi berapapun jumlah siswa

baru. Lebih dari itu, bersekolah di PN adalah sebuah kehormatan,

hingga tak seorang pun yang berhak sekolah di situ sudi

dilungsurkan ke sekolah lain.

Ketika mendaftar badan mereka langsung diukur untuk tiga

macam seragam harian dan dua macam pakaian olah raga. Mereka

juga langsung mendapat kartu perpustakaan dan bertumpuktumpuk buku acuan wajib. Seragamnya untuk hari Senin adalah

baju biru bermotif bunga rambat yang indah. Sepatu yang

dikenakan berhak dan berwarna hitam mengilat. Sangat gagah

ketika ber-marching band melintasi kampung. Melihat mereka aku

segera teringat pada sekawanan anak kecil yang lucu, putih, dan

bersayap, yang turun dari awan—seperti yang biasa kita lihat pada

gambar-gambar buku komik. Setiap pagi para murid PN dijemput

oleh bus-bus sekolah ber warna biru.

Kepala sekolahnya adalah seorang pejabat penting, Ibu

Frischa namanya. Caranya ber- make up jelas memperlihatkan

dirinya sedang bertempur mati-matian melawan usia dan tampak

jelas pula, dalam pertempuran itu, beliau telah kalah. Ia seorang

wanita keras yang terpelajar, progresif, ambisius, dan sering habishabisan menghina sekolah kampung. Gerak geriknya diatur

sedemikian rupa sebagai penegasan kelas sosialnya. Di dekatnya

siapa pun akan merasa terintimidasi. Kalau sempat berbicara

dengan beliau, maka ia sama seperti orang Melayu yang baru

belajar memasak, bumbunya cukup tiga macam: pembicaraan

tentang fasilitas- fasilitas sekolah PN, anggaran ekstrakurikuler jutaan

rupiah, dan tentang murid-muridnya yang telah menajdi dokter,

insinyur, ahli ekonomi, pengusaha, dan orang-orang sukses di kota

atau bahkan di luar negeri. Bagi kami yang waktu itu masih kecil,

masih berpandangan hitam putih, beliau adalah seorang tokoh

Yang dimaksud dengan sekolah kampung tentu saja adalah

perguruan Muhammadiyah dan beberapa sekolah swasta miskin

lainnya di Belitong. Selain sekolah miskinitu memang terdapat pula

beberapa sekolah negeri di kampung kami. Namun kondisi sekolah

negeri tentu lebih baik karena mereka disokong oleh negara.

Sementara sekolah kampung adalah sekolah swadaya yang

kelelahan menyokong dirinya sendiri.

FILICIUM decipiens biasa ditanam botanikus untuk mengundang

burung. Daunnya lebat tak kenal musim. Bentuk daunnya cekung

sehingga dapat menampung embun untuk burung-burung kecil

minum. Dahannya pun mungil, menarik hati burung segala ukuran.

Lebih dari itu, dalam jarak 50 meter dari pohon ini, di belakang

sekolah kami, berdiri kekar menjulang awan sebatang pohon tua

ganitri (Elaeocarpus sphaericus schum). Tingginya hampir 20 meter,

dua kali lebih tinggi dari filicium . Konfigurasi ini menguntungkan

bagi burung-burung kecil cantik nan aduhai yang diciptakan untuk

selalu menjaga jarak dengan manusia (sepertinya setiap makhluk

yang merasa dirinya cantik memang cenderung menjaga jarak),

yaitu red breasted hanging parrots atau tak lain serindit Melayu.

Sebelum menyerbu filicium , serindit Melayu terlebih dulu

melakukan pengawasan dari dahan-dahan tinggi ganitri sambil

jungkir balik seperti pemain trapeze . Melangak- longok ke sana

kemari apakah ada saingan atau musuh. Buah ganitri yang biru

mampu menyamarkan kehadiran mereka. Kemampuan burung ini

berakrobat menyebabkan ahli ornitologi Inggris menambahkan

nama hanging pada nama gaulnya itu . Jika keadaan sudah aman

kawanan ini akan menukik tajam menuju dahan-dahan filicium dan

tanpa ampun, dengan paruhnya yang mampu memutuskan kawat,

secepat kilat, unggas mungil rakus ini menjarah buah-buah kecil

filicium dengan kepala waspada menoleh ke kiri dan kanan.

Pelajaran moral nomor tiga: “Jika Anda cantik, hidup Anda tak

Seumpama suku-suku Badui di Jazirah Arab yang

menggantungkan hidup pada oasis maka filicium tua yang

menaungi atap kelas kami ini adalah mata air bagi kami. Hari-hari

kami terorientasi pada pohon itu. Ia saksi bagi drama masa kecil

kami. Di dahannya kami membuat rumah-rumahan. Di balik

daunnya kami bersembunyi jika bolos pelajaran kewarganegaraan.

Di batang pohonnya kami menuliskan janji setia persahabatan dan

mengukir nama-nama kecil kami dengan pisau lipat. Di akarnya

yang menonjol kami duduk berkeliling mendengar kisah Bu Mus

tentang petualangan Hang Jebat, dan di bawah keteduhan daunnya

yang rindang kami bermain lompat kodok, berlatih sandiwara

Romeo dan Juliet, tertawa, menangis, bernyanyi, belajar, dan

Setelah serindit Melayu terbang melesat pergi seperti anak

panah Winetou menembus langit maka hadirlah beberapa keluarga

jalak kerbau. Penampilan burung ini sangat tak istimewa. Karena tak

istimewa maka tak ada yang memerhatikannya. Mereka santai saja

bertamu ke haribaan dedaunan filicium , menikmati setiap gigitan

buah kecilnya, buang hajat sesuka hatinya.. Bahkan ketika mulutnya

penuh, mereka pun kan membersihkan paruhnya dengan

menggosok-gosokkannya padakulit filicium yang seperti handuk

kering. Mereka kemudian ak an turun ke tanah, buncit, penuh

daging, bulat beringsut-ingsut laksana seorang MC. Tak peduli pada

dunia. Sebaliknya, kami pun tak tertarik menggodanya. Interaksi

kami dengan jalak kerbau adalah dingin dan individualistis.

Demikian pula hubungan kami dengan burung ungkut-ungkut

yang mematuki ulat di kulit filicium . Menurutku ungkut-ungkut

mendapat nama lokal yang tidak adil. Bayangkan, nama bukunya

adalah coppersmith barbet . Nyatanya ia tak lebih dari burung biru

pucat membosankan dengan bunyi yang lebih membosankan

kut...kut...kut... namun kehadirannya sangat kami tunggu karena ia

selalu mengunjungi pohon filicium sekitar pukul 10 pagi. Pada jam

ini kami mendapat pelajaran kewarganegaraan yang jauh lebih

membosankan. Suarakut-kut-kut persis di luar jendela kelas kami

jelas lebih menghibur dibanding materi pelajaran bergaya indoktrin

Setelah ungkut-ungkut berlalu hinggaplah kawanan cinenen

kelabu yang mencari serangga sisa garapan ungkut-ungkut. Tak

pernah kulihat mereka hadir bersamaan karena peringai

Coppersmith yang tak pernah mau kalah. Lalu silih berganti sampai

menjelang sore berkunjung burung-burung madu sepah, pipit, jalak

biasa, gelatik batu, dan burung matahari yang berjingkat-jingkat

riang dari dahan ke dahan.

Demikian harmonisnya ekosistem yang terpusat pada sebatang

pohon filicium anggota familia Acacia ini. Seperti para guru yang

mengabdi di bawahnya, pohon ini tak henti-hentinya menyokong

kehidupan sekian banyak spesies. Padam usim hujan ia semakin

semarak. Puluhan jenis kupu-kupu, belalang sembah, bunglon,

lintah, jamur telur beracun, kumbang, capung, ulat bulu, dan ular

daun saling berebutan tempat.

Drama, opera, dan orkestra yang manggung di dahan-dahan

filicium sepanjang hari tak kalah seru dengan panggung sandiwara

yang dilakoni sepuluh homo sapiens di sebuah kelas di bawahnya.

Seperti episode pagi ini misalnya.

“Aku mau ikut ke pasar, Cai,” Syahdan memohon kepada

Kucai, ketika kami dibagi kelompok dalam pelajaran pekerjaan

tangan dan harus membli kertas kajang di pasar.

“Tapi sandal dan bajuku buruk begini”, katanya lagi dengan

polos dan tahu diri sambil melipat karung kecampang yang

dipakainya sebagai tas sekolah.

“Jangan kau bikin malu aku, Dan, apa kata anak- anak SD PN

nanti?” jawab Kucai sok gengsi padahal satu pun ia tak kenal anakanak kaya itu. Mengesankan dirinya kenal dengan anak-anak

sekolah PN dikiranya mampu menaikkan martabatnya di mata

Maka sepatuku yang seperti sepatu bola itu kupinjamkan

padanya. Borek rela menukar dulu bajunya dengan baju Syahdan.

Lalu Syahdan pun, yang memang berpembawaan ceria, kali ini

terlihat sangat gembira. Ia tak peduli kalau baju Borek kebesaran

dan sebenarnya tak lebih bagus dari bajunya. Ada pula

kemungkinan Borek kurapan, aku pernah melihat kurap itu ketika

kami ramai-ramai mandi di dam tempo hari.

Seperti Lintang, Syahdan yang miskin juga anak seorang

nelayan. Tapi bukan maksudku mencela dia, karena kenyataannya

secara ekonomi kami, sepuluh kawan sekelas ini, memang

semuanya orang susah. Ayahku, contohnya, hanya pegawai

rendahan di PN Timah. Beliau bekerja selama 25 tahun mencedok

tailing , yaitu material buangan dalam instalasi pencucian timah

yang disebut wasserij . Selain bergaji rendah, beliau juga rentanpada

risiko kontaminasi radio aktif dari monazite dan senotim.

Penghasilan ayahku lebih rendah dibandingkan penghasilan ayah

Syahdan yang bekerja di bagan dan gudang kopra, penghasilan

sampingan Syahdan sendiri sebagai tukang dempul perahu, serta

ibunya yang menggerus pohon karet jika digabungkan sekaligus.

Masalahnya di mata Syahdan, gedung sekolah, bagan ikan, dan

gudang kopra tempat kelapa-kelapa busuk itu bersemedi adalah

sama saja. Ia tidak punya sense of fashion sama sekali dan di

lingkungannya tidak ada yang mengingatkannya bahwa sekolah

berbeda dengan keramba.

Sebangku dengan Syahdan adalah A Kiong, sebuah anomali.

Tak tahu apa yang merasuki kepala bapaknya, --yaitu A Liong,

seorang Kong Hu Cu sejati,-- waktu mendaftarkan anak laki-laki

satu-satunya itu ke sekolah Islam puritan dan miskinini. Mungkin

karena keluarga Hokian itu, yang menghidupi keluarga dari

sebidang kebun sawi, juga amat miskin.

Tapi jika melihat A Kiong, siapa pun akan maklum kenapa

nasibnya berakhir di SD kampung ini. Ia memang memiliki

penampilan akan ditolak di mana-mana. Wajahnya seperti baru

keluar dari bengkel ketok magic , alias menyerupai Frankenstein.

Mukanya lbar dan berbentuk kotak, rambutnya serupa landak,

matanya tertarik ke atas seperti sebilah pedang dan ia hampir tidak

punya alis. Seluruh giginya tonggos dan hanya tinggal setengah

akibat digerogoti phyrite Dan markacite dari air minum. Guru mana

pun yang melihat wajahnya akan tertekan jiwanya, membayangkan

betapa susahnya menjejalkan ilmu ke dalam kepala aluminiumnya

Dia sangat naif dan tak peduli seperti jalak kerbau. Jika kitam

engatakan bahwa dunia akan kiamat besok maka ia pasti akan

bergegas pulang untuk menjual satu-satunya ayam yang ia miliki,

bahkan meskipun sang ayam sedang mengeram. Dunia baginya

hitam putih dan hidupadalah sekeping jembatan papan lurus yang

harus dititi. Namun, meskipun wajahnya horor, hatinya baik luar

biasa. Ia penolong dan ramah, kecuali pada Sahara.

Tapi tak dinyana, sekian lama waktu berlalu, rupanya kepala

kalengnya cepat juga menangkap ilmu. Justru pria beraut manis

manja yang duduk di depannya dan berpenampilan layaknya

orangpintar serta selalu mengangguk-angguk kalau menerima

pelajaran, ternyata lemot bukan main, namanya Kucai. Kucai

sedikit tak beruntung. Kekurangan gizi yang parah ketika kecil

mungkin menyebabkan ia menderita miopia alias rabun jauh. Selian

itu pandangan matanya tidak fokus, melenceng sekitar 20 derajat.

Mak a jika ia memandang lurus ke depan artinya yang ia lihat

adalah ben da di samping benda yang ada persis di depannya dan

demikian sebaliknya, sehingga saat berbicara dengan seseorang ia

tidak memandang lawan bicaranya tapi ia menoleh ke samping.

Namun, Kucai adalah orang paling optimis yang pernah aku jumpai.

Kekurangannya secara fisik tak sedikit pun membuatnya minder.

Sebaliknya, ia memiliki kepribadian populis, oportunis, bermulut

besar, banyak teori, dan sok tahu.

Kucai memiliki Network yang luas. Ia pintar bermain katakata. Kalau hanya perkara perselisihan pen eng sepeda dengan

aparat desa, informasi di mana bisa menjual beras jatah PN, atau

bagaimana cara mendapatkan karcis pasar malam separuh harga,

serahkan saja padanya, ia bisa memberi solusi total. Kelemahannya

adalah nilai-nilai ulangannya tidak pernah melampaui angka enam

karena ia termasuk murid yang agak kurang pintar, bodoh yang

diperhalus. Maka jika digabungkan sifat populis, sok tahu, dan

oportunis dengan otaknya yang lemot Kucai memiliki semua kualitas

untuk menjadi seorang politisi. Kenyataannya memang begitu.

Seperti kebanyakan politisi jika ia bicara tatapan matanya dan

gayanya sangat meyakinkan walaupun dungunya minta ampun.

Kualitas kepolitisiannya itu mungkin menurun dari bapaknya. Beliau

adalah seorang pensiunan tukang bagi beras di PN Timah dan telah

bertahun-tahun menjabat sebagai ketua Badan Amil masjid

Kucai juga bertahun-tahun menjadi ketua kelas kami namun

bagi kami ketua kelas adalah jabatan yang paling tidak men

yenangkan. Jabatan itu menyebalkan antara lain karena harus

mengingatkan anggota kelas agar jangan berisik padahal diri sendiri

tak bisa diam. Ini men yebabkan tak ada dari kami yang ingin

menjadi ketua kelas, apalagi kelas kami ini sudah terkenal susah

dikendalikan. Berulang kali Kucai menolak diangkat kembali

menduduki jabatan itu, namun setiap kali Bu Mus mengingatkan

betapa mulianya menjadi seorang pemimpin, Kucai pun luluh dan

dengan terpaksa bersedia menjabat lagi.

Suatu hari dalam pelajaran bdui pekerti kemuhamadiyahan,

Bu Mus menjelaskan tentang karakter yang dituntut Islam dari

seorang amir. Amir dapat berarti seorang pemimpin. Beliau menyitir

perkataan Khalifah Umar bin Khatab.

“Barangsiapa yang kami tunjuk sebagai amir dan telah kami

tetapkan gajinya untuk itu, maka apa pun yang ia terima selain

gajinya itu adalah penipuan!.

Rupanya Bu Mus geram dengan korupsi yang merajalela di

negeri ini dan beliau menyambung dengan lan tang.

“Kata-kata itu mengajarkan arti penting memegang amanah

sebagai pemimpin dan Al-Qur’an mengingatkan bahwa

kepemimpinan seseorang akan dipertanggung jawabkan nanti di

Kami terpesona mendengarnya, namun Kucai gemetar.

Mendapati dirinya sebagai seorang pemimpin kelas ia gamang pada

pertanggungjawaban setelah mati nanti, apalagi sebagai seorang

politisi ia menganggap bahwa menjadi ketua kelas itu tidak ada

keuntungannya sama sekali. Tidak adil! Lagi pula ia sudah muak

mengurusi kami. Kami terkejut karena serta-merta ia berdiri dan

berdalih secara diplomatis. “Ibunda Guru, Ibunda mesti tahu bahwa

anak-anak kuli ini kelakuannya seperti setan. Sama sekali tak bisa

disuruh diam, terutama Borek, kalautak ada guru ulahnya ibarat

pasien rumah sakit jiwa yang buas. Aku sudah tak tahan, Ibunda,

aku menuntut pemungutan suara yang demokratis untuk memilih

ketua kelas baru. Aku juga tak sanggup mempertanggung jawabkan

kepemimpinanku di padang Masyar nanti, anak-anak kumal ini yang

tak bisa diatur ini hanya akan memberatkan hisabku!.

Kucai tampak sangat emosional. Tangannya menunjuk-nunjuk

ke atas dan napasnya tersengal setelah menghamburkan unek-unek

yang mungkin telah dipendamnya bertahun-tahun. Ia menatap Bu

Mus dengan mata nanar tapi pandangannya ke arah gambar R.H.

Oma Irama Hujan Duit. Kami semua menahan tawa melihat

pemandangan itu tapi Kucai sedang sangat serius, kami tak ingin

Bu Mus juga terkejut. Tak pernah sebelumnya beliau

menerima tanggapan selugas itu dari muridnya, tapi beliau meklum

pada beban yang dipikul Kucai. Beliau ingin bersikap seimbang

maka beliau segera menyuruh kami menuliskan nama ketua kelas

baru yang kami inginkan di selembar kertas, melipatnya, dan

menyerahkannya kepada beliau. Kami menulis pilihan kami dengan

bersungguh-sungguh dan saling berahasiakan pilihan itu dengan

sangat ketat. Kucai senang sekali. Wajahnya berseri-seri. Ia merasa

telah mendapatkan keadilan dan menganggap bahwa bebannya

sebagai ketua kelas akan segera berakhir.

Suasana menjadi tegang menunggu detik-detik penghitungan

suara. Kami gugup mengantisipasi siapa yang akan menjadi ketua

Sembilangulungan kertas telah berada dalam genggaman Bu

Mus. Beliau sendiri kelihatangugup. Beliau membuka gulungan

“Borek!” teriak Bu Mus.

Borek pucat dan Kucai melonjak girang. Terang-terangan ia

menunjukkan bahwa ia sendiri yang telah memilih Borek, kawan

sebangkunya yang ia anggap pasien rumah sakit jiwa yang buas. Bu

Kali ini Borek yang melonjak dan Kucai terdiam. Kertas

Kucai tersenyum pahit. Kertas keempat.

Kucai pucat pasi. Demikian seterusnya sampai kertas

kesembilan. Kucai terpuruk. Ia jengkel sekali kepada Borek yang

tubuhnya menggigil menahan tawa. Ia memandang Borek dengan

tajam tapi matanya mengawasi Trapani. Karena Harun tak bisa

menulis maka jumlah kertas hanya sembilan tapi Bu Mus tetap

menghargai hak asasi politiknya. Ketika Bu Mus mengalihkan

pandangan kepada Harun, Harun mengeluarkan senyum khas

dengan gigi-gigi panjgannya dan berteriak pasti.

Kucai terkulai lemas. Hari ini kami mendapat pelajaran

penting tentang demokrasi, yaitu bahwa ternyata prinsip-prinsipnya

tidakefektif untuk suksesi jabatan kering. Bu Mus menghampirinya

dengan lembut sambil tersenyum jenaka.

“Memegang amanah sebagai pemimpin memang berat tapi

jangan khawatir orang yang akan mendoakan. Tidakkah Ananda

sering mendengar di berbagai upacara petugas sering mengucap

doa: Ya, Allah lindungilah para pemimpin kami? Jarang sekali kita

mendengar doa: Ya Allah lindungilah anak-anak buah kami ....”

DUDUK di pojok sana adalah Trapani. Namanya diambil dari

nama sebuah kota pantai di Sisilia. Nyatanya ia memang seelok

kota pantai itu. Ia memesona seumpama bondol peking. Si rapi jali

ini adalah maskot kelas kami. Seorang perfeksionis berwajah

seindah rembulan. Ia tipe pria yang langsung disukai wanita melalui

sekali pandang. Jambul, baju, celana, ikat pinggang, kaus kaki, dan

sepatunya selalu bersih, serasi warnanya, dan licin. Ia tak bicara jika

tak perlu dan jika angkat bicara ia akan menggunakan kata-kata

yang dipilih dengan baik. Baunya pun harum. Ia seorang pemuda

santun harapan bangsa yang memenuhi semua syarat Dasa Dharma

Pramuka. Cita- citanya ingin jadi guru yang mengajar di daerah

terpencil untuk memajukan pendidikan orang Melayu pedalaman,

sungguh mulia. Seluruh kehidupannya seolah terinspirasi lagu Wajib

Belajar karya R.N. Sutarmas.

Ia sangat berbakti kepada orangtua, khususnya ibunya.

Sebaliknya, ia juga diperhatikan ibunya layaknya anakemas.

Mungkin karena ia satu-satunya laki-laki di antara lima saudara

perempuan lainnya. Ayahnya adalah seorang operator vessel board

di kantor telepon PN sekaligus tukang sirine. Meskipun rumahnya

dekat dengan sekolah tapi sampai kelas tiga ia masih diantar jemput

ibunya. Ibu adalah pusat gravitasi hidupnya.

Trapani agak pendiam, otaknya lumayan, dan selalu

menduduki peringkat ketiga. Aku sering cemburu karena aku

kebajiran salam dari sepupu-sepupuku untuk disampaikan pada

laki-laki muda flamboyan ini. Dia tak pernah menanggapi salamsalam itu. Di sisi lain kami juga sering jengkel pada Trapani karena

setiap kali kami punya “acara”, misalnya menyangkutkan sepeda

Pak Fahimi—guru kelas empat yang tak bermutu dan selalu

menggertak murid—di dahan pohongayam, Trapani harus minta

izin dulu pada ibunya. Lalu ada Sahara, satu-satunya hawa di kelas

kami. Dia secantik grey cheeked green , atau burung punai lenguak.

Ia ramping, berjilbab, dan sedikit lebih beruntung. Bapaknya

seorang Taikong, yaitu atasan para Kepala Parit, orang-orang

lapangan di PN. Sifatnya yang utama: penuh perhatian dan kepala

batu. Maka tak ada yang berani bikin gara-gara dengannya karena

ia tak pernah segan mencakar. Jika marah ia akan mengaum dan

kedua alisnya bertemu. Sahara sangat temperamental, tapi ia

pintar. Peringkatnya bersaing ketat dengan Trapani. Kebalikan daira

Kiong, Sahara sangat skeptis, susah diyakinkan, dan tak mudah

dibaut terkesan. Sifat lain Sahara yang amat menonjol adalah

kejujurannya yang luar biasa dan benar-benar menghargai

kebenaran. Ia pantang berbohong. Walaupun diancam akan

dicampakkan ke dalam lautan api yang berkobar- kobar, tak satu

pun dusta akan keluar dari mulutnya. Musuh abadi Sahara adalah A

Kiong. Mereka bertengkar hebat, berbaikan, lalu bertengkar lagi.

Sepertinya mereka sengaja dipertemukan nasib untuk selalu

berselisih. Mereka saling memprotes dan berbeda pendapat untuk

hal-hal sepele. Sahara menganggap apa pun yang dilakukan A

Kiong selalu salah, dan demikian pula sebaliknya. Kadang-kadang

perseteruan mereka itu lucu dan membuka wawasan. Milsanya

ketika kami berkumpul dan Trapani bercerita tentang bagusnya

buku Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk , karya legendaris Buya

“Aku juga sudah pernah membaca buku itu, maaf aku tak

suka, terlalu banyak nama dan tempat, susah aku mengingatnya.”

Demikian komentara Kiong mencari penyakit.

Sahara yang sangat menghargai buku tertusuk hatinya dan

menyalak tanpa ampun, “Masya Allah! Dengaranak muda, mana

bisa kauhargai karya sastra bermutu, nanti jika Buya menulis lagi

buku berjudul Si Kancil Anak Nakal Suka Mencuri Timun barulah

buku seperti itu cocok buatmu …..

Kami semua tertawa sampai berguling-guling.

A Kiong tersinggung, tapi ia kehabisan kata, maka ditelannya

saja ejekan itu mentah-mentah, pahit memang. Apa boleh buat, ia

tak bisa mengonter cemoohan secerdas itu.

Sebaliknya, Sahara sangat lembut jika berhadapan dengan

Harun. Harun adalah seorang pria santun, pendiam, dan murah

senyum. Ia juga merupakan teman yang menyenangkan. Model

rambutnya seperti Chairil Anwar dan pakaiannya selalu rapi.

Masalah pakaian itu benar-benar diperhatikan oleh ibunya. Ia lebih

kelihatan seperti pejabat kantoran di PN daripada anak sekolahan.

Bagian belakang bajunya, yang disetrika dengan lipatan berpola

kotak-kotak—lagi mode ketika itu—tampak serasi di punggung

Harun memiliki hobi mengunyah permen asam jawa dan

sama sekali tidak bisa menangkap pelajaran membaca atau

menulis. Jika Bu Mus menjelaskan pelajaran, ia duduk tenang dan

terus-menerus tersenyum. Pada setiap mata pelajaran, pelajaran apa

pun, ia akan mengacung sekali dan menanyakan pertanyaan yang

sama, setiap hari, sepanjang tahun, “Ibunda Guru, kapan kita akan

“Sebentar lagi Anakku, sebentar lagi …,” jawab Bu Mus sabar,

berulang-ulang, puluhan kali, sepanjang tahun, lalu Harun pun

Jika istirahat siang Sahara dan Harun duduk berdua di bawah

pohon filicium . Mereka memiliki kaitan emosi yang unik, seperti

persahabatan Tupai dan Kura-Kura. Harun dengan bersemangat

menceritakan kucingnya yang berbelang tiga baru saja melahirkan

tiga ekoranak yang semuanya berbelang tiga pada tanggal tiga

kemarin. Sahara selalu sabar mendengarkan cerita itu walaupun

Harun menceritakannya setiap hari, berulang-ulang, puluhan kali,

sepanjang tahun, dari kelas satu SD sampai kelas tiga SMP. Sahara

tetap setia mendengarkan.

Jika kami naik kelas harun juga ikut naik kelas meskipun ia tak

punya rapor. Pengecualian dari sistem , demikian orang-orang

pintar di Jakarta menyebut kasus seperti ini. Aku sering

memandangi wajahnya lama-lama untuk menebak apa yang ada di

dalam pikirannya. Dia hanya tersen yum menanggapi tingkahku.

Harun adalah anak kecil yang terperangkap dalam tubuh orang

Pria kedelapan adalah Borek. Pada awalnya dia adalah murid

biasa, kelakuan dan prestasi sekolahnya sangat biasa, rata-rata air.

Tapi pertemuan tak sengajanya dengan sebuah kaleng bekas

minyak penumbuh bulu yang kiranya berasal dari sebuah negeri

nun jauh di Jazirah Arab sana telah mengubah total arah hidupnya.

Gambar di kaleng itu memperlihatkan seorang pria bercelana dalam

merah, berbadan tinggi besar, berotot kawat tulang besi, dan

berbulu laksana seekor gorila jantan. Ia menemukan kaleng itu di

dapur seorang pedagang kaki lima spesialis penumbuh segala jenis

Sejak itu Borek tidak tertarik lagi dengan hal lain dalam hidup

ini selain sesuatu yang berhubungan dengan upaya membesarkan

ototnya. Karena latihan keras, ia berhasil, dan mendapat julukan

Samson. Sebuah gelar ningrat yang disandangnya dengan penuh

rasa bangga. Agak aneh memang, tapi paling tidak sejak usia muda

Borek sudah menjadi dirinya sendiri dan sudah tau pasti ingin

menjadi apa dia nanti, l.alu secara konsisten ia berusaha

mencapainya. Ia melompati suatu tahap pencarian identitas yang

tak jarang mengombang-ambingkan orang sampai tua. Bahkan

sering sekali mereka yang tak kunjung menemukan identitas

menjalani hidup sebagai orang lain. Borek lebih baik dari mereka.

Samson demikian terobsesi dengan body building dan tergilagila dengan citra cowok macho, dan pada suatu hari aku termakan

AKU tak mengerti dari mana ia mendapat sebuah

pengetahuan rahasia untuk membesarkan otot dada.

“Jangan bilang siapa-siapa …!” katanya berbisik. Ia menoleh

ke kiri dan kanan, seakan takut ada yang memerhatikan dan

mencuri idenya. Lalu ia menarik tanganku, kami pun berlari menuju

belakang sekolah, sembunyi di ruangan bekas gardu listrik.

Daridalam tasnya ia mengeluarkan sebuah bola tenis yang dibelah

“Kalau ingin dadamu menonjol seperti dadaku, inilah

rahasianya!” Kembali ia berbisik walaupun ia tahu di sana tak

mungkin ada siapa-siapa. Agaknya bola tenis itu mengandung

sebuah keajaiban. “Pasti sebuah penemuan yang hebat, rupanya

bola tenis inilah rahasia keindahan tubuhnya,” pikirku. Tapi akan

diapakan aku ini? “Buka bajumu!” perintahnya.

“Biar kujadikan kau pria sejati pujaan kaum Hawa….”

Wajahnya menunjukkan bahwa ia tak habis pikir mengapa semua

laki-laki di lua sana tidak melakukan metode praktisnya ini, jalan

pintas menuju kesempurnaan penampilan seorang lelaki.

Sesungguhnya aku ragu tapi tak punya pilihan lain. Pintu gardu

Aku semakin ragu. Namun, belum sempat aku berpikir jauh

tiba-tiba ia merangsek maju ke arahku dan dengan keras

menekankan bola tenis itu ke dadaku. Aku terjajar ke belakang

sampai hampir jatuh. Aku tak berdaya. Dengan leluasa dan sekuat

tenaga ia membenamkan benda sialan itu ke kulit dadaku karena

sekarang punggungku terhalang oleh tumpukan balok. Badannya

jauh lebih besar, tenaganya seperti kuli, alisnya sampai bertemu

karena ia mengerahkan segenap kekuatannya, membuatku

meronta-ronta. Kupaham, belahan bola tenis ini dimaksudkan

bekerja seperti sebuah benda aneh bertangkai kayu dan berujung

karet yang dipakai orang untuk menguras lubang WC.

Bola tenis itu adalah alat bekam yang akan menarik otot

sehingga menonjol dan bidang, itu idenya..

Sekarang tekanan tenaga Samson dan daya isap bola tenis itu

mulai bereaksi menyiksaku.Yang akurasakan adalah seluruh isi

dadaku: jantung, hati, paru-paru, limpa, berikut isi perut dan

darahku seperti terisap oleh bola tenis itu. Bahkan mataku rasanya

akan meloncat. Aku tercekat, tak sanggup mengeluarkan kata-kata.

Aku memberi isyarat agar ia melepaskan pembekam itu.

“Belum waktunya, harus seslesai hitung nama dan orangtua,

baru ada khasiatnya!.

Hitung nama dan orangtua? Aduh! Celaka! Hitung nama dan

orangtua adalah inovasi konyol kami sendiri, yaitu mengerjakan

sesuatu dalam durasi menyebut nama sekaligus nama orang tua,

misalnya Trapani Ihsan Jamari bin Zainuddin Ilham Jamari atau

Harun Ardhli Ramadhan bin Syamsul Hazana Ramadhan. Aku

sudah tak sanggup menanggungkan benda yang menyedot dadaku

ini selama menyebut nama sepuluh teman sekelas apalagi dengan

nama orangtuanya. Nama orang Melayu tak pernah singkat.

Samson tak peduli, ia tetap menekan belahan bola tenis itu

tanpa perasaan. Ini adalah adu kekuatan antara David yang kecil

dan goliath sang raksasa. Aku terperangkap seperti ikan kepuyu di

dalam bubu. Aku mulai sesak napas. Tubuhku rasanya akan

meledak. Isapan bola tenis itu laksana sengatan lebah tanah kuning

yang paling berbisa dan tubuhku mulai terasa menciut. Kakiku

mengais-ngais putus asa seperti banteng bernafsu menanduk

matador. Namun, pada detik paling gawat itu rupanya Tuhan

menyelamatkanku karena tanpa diduga salah satu balok di

belakangku jatuh sehingga sekarang aku memiliki ruang utnuk

mengambil ancang-ancang. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan,

kuambil seluruh tenaga terakhir yang tersisa lalu dengan sekali jurus

kutendang selangkang Samson, tepat di belahan pelirnya, sekuatkuatnya, persis pegulat Jepang Antonio Inoki menghantam

Muhammad Ali di lokasi tak sopan itu pada pertarungan absurd

Samson melolong-lolong seperti kumbang terperangkap

dalam stoples. Aku melompat kabur pontang-panting. Belahan bola

tenis inovasi genius dunia body building itu pun terpental ke udara

dan jatuh berguling-guling lesu di atas tumpukan jerami.

Sempat aku menoleh ke belakang dan melihat Samson masih

berputar-putar memegangi selangkang-nya, lalu manusia Herucles

itu pun tumbang berdebam di atas tanah. Di dadaku melingkar

tanda bulat merah kehitam-hitaman, sebuah jejak kemaha-tololan.

Ketika ibuku bertanya tentang tanda itu aku tak berkutik, karena

pelajaran Budi Pekerti Kemuhammaddiyahan setiap Jumat pagi tak

membolehkan aku membohongi orangtua, apalagi ibu.

Maka dengan amat sangat terpaksa kutelanjangi kebodohanku sendiri. Abang-abang dan ayahku tertawa sampai menggigil dan

saat itulah untuk pertama kalinya aku mendengar teori canggih

ibuku tentang penyakit gila.

“Gila itu ada 44 macam,” kata ibuku seperti seorang psikiater

ahli sambil mengunyah gambir dan sirih.

“Semakin kecil nomornya semakin parah gilanya,” beliau

menggeleng-gelengkan kepalanya & menatapku seperti sedang

menghadapi seorang pasien rumah sakit jiwa.

“Maka orang-orang yang sudah tidak berpakaian dan lupa diri

di jalan-jalan, itulah gila no.1, dan gila yang kau buat dengan bola

tenis itu sudah bisa masuk no. 5.

Cukup serius! Hati-hati, kalautak pakai akal sehat dalam setiap

kelakuanmu maka angka itu bisa segera mengecil..

Bukan bermaksud berpolemik dengan temuan para ahli jiwa.

Kami mengerti bahwa teori ini tentu saja hanya untuk mengingatkan

anak-anaknya agar jangan bertindak keterlaluan. Tapi begitulah

teori penyakit gila versi ibuku dan bagiku teori itu efektif. Aku malu

sudah bertindak konyol.

Aku tak yakin apakah Samson benar-benar menerapkan teknik

sinting itu untuk memperbesar otot-ototnya, ataukah ia hanya ingin

membodohi aku. Yang kutahu pasti adalah selama tiga hari

berikutnya ia ke sekolah dengan berjalan terkangkang-kangkang

seperti orang pengkor, badannya yang besar membuat ia tampak

PADA sebuah pagi yang lain, pukul sepuluh, seharusnya burung

kut-kut sudah datang. Tapi pagi ini senyap. Aku tersenyum sendiri

melamunkan seifat-sifat kawan sekelasku. Lalu aku memandangi

guruku Bu Mus, seseorang yang bersedia menerima kami apa

adanya dengan sepenuh hatinya, segenap jiwanya. Ia p aham betul

kemiskinan dan posisi kami yang rentan sehingga tak pernah

membuat kebijakan apa punyang mengandung implikasi biaya. Ia

selalu membesarkan hati kami.

Kupandangi juga sembilan teman sekelasku, orang-orang muda

yang luar biasa. Sebagian mereka ke sekolah hanya memakai

sandal, sementara yang bersepatu selalu tampak kebesaran

sepatunya. Orangtua kami yang tak mampu memang sengaja

membeli sepatu dua nomor lebih besaragar dapat dipakai dalam

dua tahun ajaran. Ada keindahan yang unik dalam interaksi

masing-masing sifat para sahabatku.Tersembunyi daya tarik pada

cara mereka mengartikan sekstan untuk mengukur diri sendiri,

menilai kemampuan orang tua, melihat arah masa depan, dan

memersepsi pandangan lingkungan terhadap mereka. Kadang kala

pemikiran mereka kontradiktif terhadap pendapat umum, laksana

gurun bertemu pantai atau ibarat hujan ketika matahari sedang terik.

Tak jarang mereka seperti kelelawar yang tersasar masuk ke kamar,

menabrak-nabrak kaca ingin keluar dan frustasi. Mereka juga seperti

seekor parkit yang terkurung di dalam gua, kebingungan dengan

gema suaranya sendiri.

Sejak kecil aku tertarik untuk menjadi pengamat kehidupan

dan sekarang aku menemukan kenyataan yang memesona dalam

sosiologi lingkungan kami yang ironis. Di sini ada sekolahku yang

sederhana, para sahabatku yang melarat, orang Melayu yang

terabaikan, juga ada orang staf dan sekolah PN mereka yang

glamor, serta PN Timah yang gemah ripah dengan gedong, tembok

feodalistisnya. Semua elemen itu adalah perpustakaan berjalan yang

memberiku pengetahuan baru setiap hari.

Pengetahuan terbesar terutama kudapat dari sekolahku, karena

perguruan Muhammadiyah bukanlah center of excellence , tapi ia

merupakan pusat marginalitas sehingga ia adalah sebuah universitas

kehidupan. Di sekolah ini aku memahami arti keikhlasan,

perjuangan, dan integritas. Lebih dari itu, perintis peruguran ini

mewariskan pelajaran yang amat berharga tentang ide-ide besar

Islam yang mulia, keberanian untuk merealisasi ide itu meskipun tak

putus-putus dirundung kesulitan, dan konsep menjalani hidup

dengan gagasan memberi manfaat sebesar-besarnya untuk orang

lain melalui pengorbanan tanpa pamrih.

Maka sejak waktu virtual tercipta dalam definisi hipotesis

manusia tatkala nebula mengeras dalam teori lubang hitam, di

antara titik-titik kurunnya yang merentang panjang tak tahu akan

berhenti sampai kapan, aku pada titik ini, di tempat ini, merasa

bersyukur menjadi orang Melayu Belitong yang sempat menjadi

murid Muhammadiyah. Dan sembilan teman sekelasku memberiku

hari-hari yang lebih dari cukup untuk suatu ketika di masa depan

nanti kuceritakan pada setiap orang bahwa masa kecilku amat

bahagia. Kebahagiaan yang spesifik karena kami hidup dengan

persepsi tentang kesenangan sekolah dan persahabatan yang kami

Kami adalah sepuluh umpan nasib dan kami seumpama

kerang-kerang halus yang melekat erat satu sama lain dihantam

deburan ombak ilmu. Kami seperti anak-anak bebek. Tak

terpisahkan dalam susah dan senang. Induknya adalah Bu Mus.

Sekali lagi kulihat wajah mereka, Harun yang murah senyum,

Trapani yang rupawan, Syahdan yang lilipu, Kucai yang sok gengsi,

Sahara yang ketus, A Kiong yang polos, dan pria kedelapan— yaitu

Samson—yang duduk seperti patung Ganesha.

Lalu siapa pria yang kesembilan dan kesepuluh? Lintang dan

Mahar. Pelajaran apa yang mereka tawarkan? Mereka adalah priapria muda yang sangat istimewa. Memerlukan bab tersendiri untuk

Sampai di sini, aku sudah merasa menjadi seorang anak kecil

yang sangat beruntung.

PAGI ini Lintang terlambat masuk kelas. Kami tercengang

“Aku tak bisa melintas. Seekor buaya sebesar pohon kelapa

tak mau beranjak, menghalang di tengah jalan. Tak ada siapa-siapa

yang bisakumintai bantuan. Aku hanya berdiri mematung, berbicara

dengan diriku sendiri..

“Buaya sebesar itu tak ‘kan mampu menyerangku dalam

jarak ini, ia lamban, pasti kalah langkah. Kalau cukup waktu aku

dapat menghitung hubungan massa, jarak, dan tenaga, baik aku

maupun buaya itu, sehingga aku dapat memperkirakan

kecepatannya menyambarku dan peluangku untuk lolos. Ilmu

menyebabkan aku berani maju beberapa langkah lagi. Apalagi

fisikia tidak mempertimbangkan psy war , kalau aku maju ia pasti

akan terintimidasi dan masuk lagi ke dalam air.

“Aku maju sedikit, membunyikan lonceng sepeda, bertepuk

tangan, berdeham- deham, membuat bun yi-bunyian agar dia

merayap pergi. Tapi ia bergeming. Ukurannya dan teritip yang

tumbuh di punggungnya memperlihatkan dia penguasa rawa ini.

Dan sekarang saatnya mandi matahari. Secara fisik dan psikologis

binatang atau secara apa pun, buaya ini akan men ang. Ilmu tak

“Tapi lebih dari setengah perjalalasudah, aku tak ‘kan kembali

pulang gara-gara buaya bodoh ini. Tak adakata bolos dalam kamu

sku, dan hari ini ada tarikh Islam, mata pelajaran yang menarik.

Ingin kudebatkan kisah ayat-ayat suci yang memastikan

kemenangan Byzantium tujuh tahun sebelum kejadian. Sudah siang,

aku maju sedikit, aku pasti terlambat tiba di sekolah.” Dua belas

meter “Aku hanya sendirian. Jika ada orang lain aku berani lebih

frontal. Tahukah hewan ini pentingnya pendidikan? Aku tak berani

lebih dekat. Ia menganga dan bersuara rendah, suara dari perut

yang menggetarkan seperti sendawa seekor singa atau seperti suara

orang menggeser sebuah lemari yang sangat besar. Aku diam

menunggu. Tak ada jaluralternatif dan kekuatan jelas tak berimbang.

Aku mulai frustasi. Suasana sunyi senyap. Yang ada hanya aku,

seekor buaya ganas yang egois, dan intaian maut..

Kami prihatin dan tegang mendengar kisah perjuangan

Lintang menuju sekolah.

“Tiba-tiba dari arah samping kudengar riak air. Aku terkejut

dan takut. Menyeruak di antara lumut kumpai, membelah genangan

setinggi dada, seorang laki-laki seram naik dari rawa. Ia berjalan

menghampiriku, kakinya bengkok seperti huruf O,” lanjutnya.

“Siapa laki-laki itu Lintang?” tanya Sahara tercekat.

“Ooh …,” kami serentak menutup mulut dengan tangan.

Menakutkan sekali. Tak ada yang berani berkomentar. Tegang

menunggu kelanjutan cerita Lintang. “Aku lebih takut padanya

daripada buaya mana pun. Pria ini tak mau dikenal orang tapi

sepanjang pesisir Belitong Timur, siapa tak kenal dia? “Dia

melewatiku seperti aku tak ada dan dia melangkah tanpa ragu

mendekati binatang buas itu. Dia menyentuhnya! Men epuk-nepuk

lembut kulitnya sambil menggumamkan sesuatu. Ganjil sekali,

buaya itu seperti takluk, mengibas-ngibaskan ekornya laksana

seekoranjing yang ingin mengambil hati tuannya, lalu mendadak

sontak, dengan sebuah lompatan dahsyat seperti terbang reptil

zaman Cretaceous itu terjun ke rawa menimbulkan suara laksana

tujuh pohon kelapa tumbang sekaligus.

Lintang menarik napas.

“Aku terkesima dan tadi telah salah hitung. Jika binatang

purba itu mengejarku maka orang-orang hanya akan menemukan

sepeda reyot ini. Fisika sialan. Memprediksi perilaku hewan yang

telah bertahan hidup jutaan tahun adalah tindakan bodoh nan

“Dari permukaan air yang bening jelas kulihat binatang itu

menggoyangkan ekor panjangnya untuk mengambil tenaga dorong

sehingga badannya yang hidrodinamis menghujam mengerikan ke

“Bodenga berbalik ke arahku. Seperti selalu, ekspresinya

dingin dan jelas tak menginginkan ucapan terima kasih.

Kenyataannya aku tak berani menatapnya, nayliku runtuh. Dengan

sekali sentak ia bisa menenggelamkanku sekaligus sepeda ini ke

dalam rawa. Aku mengenal reputasi laki-laki liar ini. Tapi aku

merasa beruntung karena aku telah menjadi segelintir orang yang

pernah secara langsung menyaksikan kehebatan ilmu buaya Bo

AKU termenung mendengar cerita Lintang. Aku memang tidak

pernah menyaksikan langsung Bodenga beraksi tapi aku mengenal

Bodenga lebih dari Lintang mengenalnya. Bagiku Bodenga adalah

guru firasat dan semua hal yang berhubungan dengan perasaan

gamang, pilu, dan sedih.

Tak seorang pun ingin menjadi sahabat Bodenga. Wajahnya

carut-marut, berusia empat puluhan. Ia menyelimuti dirinya dengan

dahan-dahan kelapa dan tidur melingkar seperti tupai di bawah p

ohon nifah selama dua hari dua malam. Jika lapar ia terjun ke

sumur tua di kantor polisi lama, menyelam, menangkap belut yang

terperangkap di bawah sana dan langsung memakannya ketika

Ia makhluk yang merdeka. Ia seperti angin. Ia bukan Melayu,

bukan Tionghoa, dan bukan pula Sawang, bukan siapa-siapa. Tak

ada yang tahu asal usulnya. Ia tak memiliki agama dan tak bsia

bicara. Ia bukan pengemis bukan pula penjahat. Namanya tak

terdaftar di kantor desa. Dan telinganya sudah tak bisa mendengar

karena ia pernah menyelami dasar Sungai Lenggang untuk

mengambil bijih-bijih timah, demikian dalam hingga telinganya

mengeluarkan darah, setelah itu menjadi tuli.

Bodenga kini sebatang kara. Satu-satunya ekluarga yang

pernah diketahui orang adalah ayahnya yang buntung kaki

kanannya. Orang bilang karena tumbal ilmu buaya. Ayahnya itu

seorang dukun buaya terkenal. Serbuan Islam yang tak terbendung

ke seantero kampung membuat orang menjauhi mereka, karena

mereka menolak meninggalkan penyembahan buaya sebagai

Ayahnya telah mati karena melilit tubuhnya sendiri kuat-kuat

dari mata kaki sampai ke leher dengan akar jawi lalu menerjunkan

diri ke Sungai Mirang. Ia sengaja mengumpankan tubuhnya pada

buaya-buaya ganas di sana. Masyarakat hanya menemukan

potongan kaki buntungnya. Kini Bodenga lebih banyak

menghabiskan waktu memandangi aliran Sungai Mirang, sendirian

Pada suatu sore warga kampung berduyun-duyun menuju

lapangan basket Sekolah Nasional. Karena baru saja ditangkap

seekor buaya yang diyakini telah menyambar seorang wanita yang

sedang mencuci pakaian di Manggar. Karena aku masih kecil maka

aku tak dapat menembus kerumunan orang yang mengelilingi

buaya itu, aku hanya dapat melihatnya dari sela-sela kaki

pengunjung yang rapat berselang-seling. Mulut buaya besar itu

dibuka dan disangga dengan sepotong kayu bakar.

Ketika perutnya dibelah, ditemukan rambut, baju, jam tangan,

dan kalung. Saat itulah aku melihat Bodenga mendesak maju di

antara pengunjung. Lalu ia bersimpuh di samping sang buaya.

Wajahnya pucat pasi. Ia memberi isyarat kepada orang-orang,

memohon agar berhenti mencincang binatang itu. Orang-orang

mundur dan melepaskan kayu bakaryang menyangga mulut buaya

tersebut. Mereka paham bahwa penganut ilmu buaya percaya jika

mati mereka akan menjadi buaya. Dan mereka maklum bahwa bagi

Bodenga buaya ini adalah ayahnya karena salah satu kaki buaya ini

buntung. Bodenga menangis... Suaranya pedih memilukan.

“Baya … Baya … Baya …,” panggilnya lirih. Beberapa orang

menangis sesenggukan. Aku menyaksikan dari sela-sela kaki

pengunjung air matanya mengalir membasahi pipinya yang rusak

berbintik-bintik hitam. Air mataku juga mengalir tak mampu

kutahan. Buaya ini satu-satunya cinta dalam hidupnya yang

terbuang, dalam dunianya yang sunyi senyap.

Ia mengucapkan ratapan yang tak jelas dari mulutnya yang

gagu. Ia mengikat sang buaya, membawanya ke sungai, menyeret

bangkai ayahnya itu sepanjang pinggiran sungai menuju ke muara.

Bodenga tak pernah kembali lagi.

Bodenga dalam fragmen sore itu menciptakan cetak biru rasa

belas kasihan dan kesedihan di alam bawah sadarku. Mungkin aku

masih terlalu kecil utnuk menyaksikan tragedi sepedih itu. Ia

mewakili sesuatu yang gelap di kepalaku. Pada tahun-tahun

mendatang bayangannya sering mengunjungiku. Jika aku

dihadapkan pada situasi yang menyedihkan maka perlahan-lahan ia

akan hadir, mewakili semua citra kepedihan di dalam otakku. Maka

sore itu sesungguhnya Bodenga telah mengajariku ilmu firasat. Ia

juga yang pertama kali memeprlihatkan padaku bahwa nasib bisa

memperlakukan manusia dengan sangat buruk, dan cinta bisa

menjadi demikian buta.

Lintang memang tak memiliki pengalaman emosional dengan

Bodenga seperti yang aku alami, tapi bukan baru sekali itu ia

dihadang buaya dalam perjalanan ke sekolah. Dapat dikatakan tak

jarang Lintang mempertaruhkan nyawa demi menempuh

pendidikan, namun tak sehari pun ia pernah bolos. Delapan puluh

kilometer pulang pergi ditempuhnya dengan sepeda setiap hari. Tak

pernah mengeluh. Jika kegiatan sekolah berlangsung sampai sore, ia

akan tiba malam hari di rumahnya. Sering aku merasa ngeri

membayangkan perjalan annya.

Kesulitan itu belum termasuk jalan yang tergenang air, ban

sepeda yang bocor, dan musim hujan berkepanjangan dengan petir

yang menyambar-nyambar. Suatu hari rantai sepedanya putus dan

tak bisa disambung lagi karena sudah terlalu pendek sebab terlalu

sering putus, tapi ia tak menyerah. Dituntunnya sepeda itu puluhan

kilometer, dan sampai di sekolah kami sudah bersiap-siapakan

pulang. Saat itu adalah pelajaran seni suara dan dia begitu bahagia

karena masih sempat menyan yikan lagu Padamu Negeri Di depan

kelas. Kami termenung mendengarkan ia bernyanyi dengan sepenuh

jiwa, tak tampak kelelahan di matanya yang berbinar jenaka.

Setelah itu ia pulang dengan menuntun sepedanya lagi sejauh

empat puluh kilometer.

Pada musim hujan lebat yang bisa mengubah jalan menjadi

sungai, menggenangi daratan dengan air setinggi dada, membuat

guruh dan halilintar membabat pohon kelapa hingga tumbang

bergelimpangan terbelah dua, pada musim panas yang begitu terik

hingga alam memuai ingin meledak, pada musim badai yang

membuat hasil laut nihil hingga berbulan-bulan semua orang tak

punya uang sepeser pun, pada musim buaya berkembang biak

sehingga mereka menjadi semakinganas, pada musim angin barat

putting beliung, pada musim demam, pada musim sampar—sehari

pun Lintang tak pernah bolos.

Dulu ayahnya pernah mengira putranya itu akan takluk pada

minggu-minggu pertama sekolah dan prasangka itu terbukti keliru.

Hari demi hari semangat Lintang bukan semakin pudar tapi malah

meroket karena ia sangat mencintai sekolah, mencintai temantemannya, menyukai persahabatan kami yang mengasyikkan, dan

mulai kecanduan pada daya tarik rahasia-rahasia ilmu. Jika tiba di

rumah ia tak langsung beristirahat melainkan segera ber gabung

degan anak-anak seusia di kampungnya untuk bekerja sebagai kuli

kopra. Itulah penghasilan sampingan keluarganya dan juga sebagai

kompensasi terbebasnya dia dari pekerjaan di laut serta ganjaran

yang ia dapat dari “kemewahan” bersekolah.

Ayahnya, yang seperti orang Bushman itu, sekarang

menganggap keputusan menyekolahkan Lintang adalah keputusan

yang tepat, paling tidak ia senang melihat semangat anaknya

menggelegak. Ia berharap suatu waktu di masa depan nanti Lintang

mampu menyekolahkan lima orang adik-adiknya yang lahir setahun

sekali sehingga berderet-deret rapat seperti pagar, dan lebih dari itu

ia berharap Lintang dapat mengeluarkan mereka dari lingkaran

kemiskinanyang telah lama mengikat mereka hingga sulit bernapas.

Maka ia sekuat tenaga mendukung pendidikan Lintang

dengan cara-caranya sendiri, sejauh kemampuannya. Ketika kelas

satu dulu pernah Lintang menanyakan kepada ayahnya sebuah

persoalan perkerjaan rumah kali-kalian sederhana dalam mata

“Kemarilah Ayahanda … berapa empat kali empat?.

Ayahnya yang buta huruf hilir mudik. Memandang jauh ke

laut luas melalui jendela, lalu ketika Lintang lengah ia diam-diam

menyelinap keluar melalui pintu belakang. Ia meloncat dari rumah

panggungnya dan tanpa diketahui Lintang ia berlari sekencangkencangnya menerabas ilalang. Laki-laki cemara anginitu berlari

pontang- panting sederas pelanduk untuk minta bantuan orangorang di kantor desa. Lalu secepat kilat pula ia menyelinap ke dalam

rumah dan tiba-tiba sudah berada di depan Lintang.

“Em … emm… empat belasss … bujangku … tak diragukan

lagi empat belasss .. tak lebih tak kurang …,” jawab beliau sembari

tersengal-sengal kehabisan napas tapi juga tersenyum lebar riang

gembira. Lintang menatap mata ayahnya dalam-dalam, rasa ngilu

menyelinap dalam hatinya yang masih belia, rasa ngilu yang

mengikrarkan nazar aku harus jadi manusia pintar , karena Lintang

tahu jawaban itu bukan datang dari ayahnya.

Ayahnya bahkan telah salah mengutip jawaban pegawai

kantor desa. Enam belas, itulah seharusnya jwaban nya, tapi yang

diingat ayahnya selalu hanya angka empat belas, yaitu jumlah

nyawa yang ditanggungnya setiap hari.

Setelah itu Lintang tak pernah lagi minta bantuan ayahnya.

Mereka tak pernah membahas kejadian itu. Ayahnya diam-diam

maklum dan mendukung Lintang dengan cara lain, yakni

memberikan padanya sebuah sepeda laki bermerk Rally Robinson,

made in England . Sepeda laki adalah sebutan orang Melayu untuk

sepeda yang biasa dipakai kaum lelaki. Berbeda dengan sepeda

bini, sepeda laki lebih tinggi, ukurannya panjang, sadelnya lebar,

keriningannya lebih maskulin, dan di bagian tengahnya terdapat

batang besi besar yang tersambung antara sadel dan setang. Sepeda

ini adalah harta warisan keluarga turun-temurun dan benda satusatunya yang paoling berharga di rumah mereka. Lintang menaiki

sepeda itu dengan terseok-seok. Kakinya yang pendek

menyebabkan ia tidak bisa duduk di sadel, melainkan di atas batang

sepeda, dengan ujung-ujung jari kaki menjangkau-jangkau pedal. Ia

akan beringsut-ingsut dan terlonjak-lonjak hebat di atas batangan

besi itu sambil menggigit bibirnya, mengumpulkan tenaga. Demikian

perjuangannya mengayuh sepeda ke pulang dan pergi ke sekolah,

delapan puluh kilometer setiap hari.

Ibu Lintang, seperti halnya Bu Mus dan Sahara adalah

seorang N.A. Itu adalah singkatan dari Nyi Ayu, yakni sebuah gelar

bangsawan kerajaan lama Belitong khusus bagi wanita dari ayah

seorang K.A. atau Ki Agus. Adat istiadat menyarankan agar gelar itu

diputus pada seorang wanita sehingga Lintang dan adik-adik per

empuannya tak menyandang K.A. atau N.A. di depan nama-nama

mereka. Meskipun begitu, tak jarang pria-pria keturunan N.A.

menggunakangelar K.A., dan hal itu bukanlah persoalan karena

gelar-gelar itu adalah identitas kebanggaan sebagai orang Melayu

Jika benar kecerdasan bersifat genetik maka kecerdasan

Lintang pasti mengalir dari keturunan nenek mo yang ibunya.

Meskipun buta huruf dan kurang beruntung karena waktu kecil

terkena polio sehingga salah satu kakinya tak bertenaga, tapi ibu

Lintang berada dalam garis langsung silsilah K.A. Cakraningrat

Depati Muhammad Rahat, seseorang bangsawan cerdas anggota

keluarga Sultan Nangkup. Sultan ini adalah utusan Kerajaan

Mataram yang membangun keningratan di tanah Belitong. Beliau

membentuk pemerintahan dan menciptakan klan K.A. dan N.A. itu.

Anak cucunya tidak diwarisi kekuasaan dan kekayaan tapi

kebijakan, syariat Islam, dan kecendekiawanan. Maka Lintang

sesungguhnya adalah pewaris darah orang-orang pintar masa

Meskipun tak bisa membaca, ibu Lintang senang sekali

melihat barisan huruf dan angka di dalam buku Lintang. Beliau tak

peduli, atau tak tahu, jika melihat sebuah buku secara terbalik. Di

beranda rumahnya beliau merasa takjub mengamati rangkaian kata

dan terkagum-kagum bagaimana baca-tulis dapat mengubah masa

Beranda itu sendiri merupakan bagian dari gubuk panggung

dengan tiang-tiang tinggi untuk berjaga-jaga jika laut pasang hingga

meluap jauh ke pesisir. Adapun gubuk ini merupakan bagian dari

pemukiman komunitas orang Melayu Belitong yang hidup di

sepanjang pesisir, mengikuti kebiasaan leluhur mereka para

penggawa dan kerabat kerajaan. Oleh karena itu, dalam lingkungan

Lintang banyak bersemayam keluarga- keluarga K.A. dan N. A.

Gubuk itu beratap daun sagu dan berdinding lelak dari kulit

pohon meranti. Apa pun yang dilakukan orang di dalam gubuk itu

dapat dilihat dari luar karena dinding kulit kayu yang telah berusia

puluhan tahun merekah pecah seperti lumpur musim kemarau.

Ruangan di dalamnya sempit dan berbentuk memanjang dengan

dua pintu di depan dan belakang. Seluruh pintu dan jendela tidak

memiliki kunci, jika malam mereka ditutup dengan cara diikatkan

padakusennya. Benda di dalam rumah itu ada enam macam:

beberapa helai tikar lais dan bantal, sajadah dan Al-Qur’an, sebuah

lemari kaca kecil yang sudah tidak ada lagi kacanya, tungku dan

alat-alat dapur, tumpukan cucian, dan enam ekor kucing yang

dipasangi kelintingan sehinga rumah itu bersuara gemerincing

Di luar bangunan sempit memanjang tadi ada semacam

pelataranyang digunakan oleh empat orang tua untuk menjalin

pukat. Bagian ini hanya ditutupi beberapa keping papan yang

disandarkan saja pada dahan-dahan kapuk yang menjulur-julur,

bahkan untuk memaku papan-papan itu pun keluarga ini tak punya

uang. Empat orang tua itu adalah bapak dan ibu dari bapak dan ibu

Lintang. Semuanya sudah sepuh dan kulit mereka keriput sehingga

dapat dikumpulkan dan digenggam. Jika tidak sedang menjalin

pukat, keempat orang itu duduk menekuri sebuah tampah

memunguti kutu-kutu dan ulat-ulat lentik di antara bulir-bulir beras

kelas tiga yang mampu mereka beli, berjam-jam lamanya karena

demikian banyak kutu dan ulat pada beras buruk itu.

Selain empat orang itu ikut pula dalam keluarga ini dua orang

adik laki-laki ayah Lintang, yaitu seorang pria mudayang kerjanya

hanya melamun saja sepanjang hari karena agak terganggu jiwanya

dan seorang bujang lapuk yang tak dapat bekerja keras karena

menderita burut akibat persoalan kand ung kemih. Maka ditambah

lima adik perempuan Lintang, Lintang sendiri, dan kedua orangtuan

ya, seluruhnya berjumlah empat belas orang. Mereka hidup

bersama, berdesak-desakan di dalam rumah sempit memanjang itu.

Empat orangtua yang sudah sepuh, dua adik laki-laki yang tak

dapat diharapkan, semua ini membuat keempat belas itu

kelangsungan hidupnya dipanggul sendiri oleh ayah Lintang. Setiap

hari beliau menunggu tetangganya yang memiliki perahu atau

juragan pukat harimau memintanya untuk membantu mereka di

laut. Beliau tidak mendapatkan persentasi dari berapa pun hasil

tangkapan, tapi memperoleh upah atas kekuatan fisiknya. Beliau

adalah orang yang mencari nafkah dengan menjual tenaga.

Tambahan penghasilan sesekali beliau dapat dari Lintang yang

sudah bisa menjadi kuli kopra dan anak-anak perempuannya yang

mengumpulkan kerang saat angin teduh musim selatan.

Lintang hanya dapat belajar setelah agak larut karena

rumahnya gaduh, sulit menemukan tempat kosong, dan karena

harus berebut lampu minyak. Namun sekali ia memegang buku,

terbanglah ia meninggalkangubuk doyong berdinding kulit itu.

Belajar adalah hiburan yang membuatnya lupa pada seluruh penat

dan kesulitan hidup. Buku baginya adalah obat dan sumur

kehidupan yang airnya selalu memberi kekuatan baru agar ia

mampu mengayuh sepeda menantang angin setiap hari. Jika

berhdapan dengan buku ia akan terisap oleh setiap kalimat ilmu

yang dibacanya, ia tergoda oleh sayap-sayap kata yang diucapkan

oleh para cerdik cendekia, ia melirik maksud tersembunyi dari

sebuah rumus, sesuatu yang mungkin tak kasat mata bagi orang

Lalu pada suatu ketika, saat hari sudah jauh malam, di bawah

temaram sinar lampu minyak, ditemani deburan ombak pasang,

dengan wajah mungil dan matanya yang berbinar-biran, jari-jari

kurus Lintang membentang lembar demi lembar buku lusuh

stensilan berjudul Astronomi dan Ilmu Ukur. Dalam sekejap ia

tenggelam dilamun kata- kata ajaib pembangkangan galileo Galilei

terhadap kosmologi Aristoteles, ia dimabuk rasa takjub pada

gagasangila para astronom zaman kuno yang terobsesi ingin

mengukur berapa jarak bumi ke Andromeda dan nebula-nebula

Triangulum. Lintang menahan napas ketika membaca bahwa

gravitasi dapat membelokkan cahaya saat mempelajari tentang

analisis spektral yang dikembangkan untuk studi bintang gemintang,

dan juga saat tahu mengenai teori Edwin Hubble yang menyatakan

bahwa alam hidup mengembang semakin membesar. Lintang

terkesima pada bintang yang mati jutaan tahun silam dan ia

terkagum-kagum pada pengembaraan benda-benda langit di sudutsudut gelap kosmos yang mungkin hanya per nah dikunjungi oleh

pemikiran-pemikiran Nicolaus Copernicus dan Isaac Newton.

Ketika sampai pada Bab Ilmu Ukur ia tersenyum riang karena

nalarnya demikian ringan mengikuti logika matematis pada simulasi

ruang berbagai dimensi. Ia dengan cepat segera menguasai

dekomposisi tetrahedral yang rumit luar biasa, aksioma arah, dan

teorema Phytagorean. Semua materi ini sangat jauh melampaui

tingkat usia dan pendidikannya. Ia merenungkan ilmu yang amat

menarik ini. Ia melamun dalam lingkar temaram lampu minyak. Dan

tepat ketika itu, dalam kesepian malam yang mencekam,

lamunannya sirna karena ia terkejut menyaksikan keanehan di atas

lembar- lembar buram yang dibacanya. Ia terheran-heran

menyaksikan angka-angka tua yang samar di lembaran itu seakan

bergerak-gerak hidup, menggeliat, berkelap-kelip, lalu menjelma

menjadi kunang-kunang yang ramai beterbangan memasuki poripori kepalanya. Ia tak sadar bahwa saat itu arwah para pendiri

geometri sedang tersenyum padanya dan Copernicus serta Lucretius

sedang duduk di sisi kiri dan kanannya. Di sebuah rumah panggung

sempiot, di sebuah keluarga Melayu pedalaman yang sangat miskin,

nun jauh di pinggir laut, seorang genius alami telah lahir.

Esoknya di sekolah Lintang heran melihat kami yang

kebingungan dengan persoalan jurusan tiga angka.

“Apa, sih yang dipusingkan orang-orang kampung ini dengan

arah anginitu?” Demikian suara dari dalam hatinya.

Seperti juga kebodohanyang sering tak disadari, beberapa

orang juga tak menyadari bahwa dirinya telah terpilih, telah

ditakdirkan Tuhan untuk ditunangkan dengan ilmu.

KEBODOHAN berbentuk seperti asap, uapair, kabut. Dan ia

beracun. Ia berasal dari sebuah tempat yang namanya tak pernah

dikenal manusia. Jika ingin menemui kebodohan maka

berangkatlah dari tempat di mana saja di planet biru ini dengan

menggunakan tabung roket atau semacamnya, meluncur ke atas

secara vertikal, jangan pernah sekali pun berhenti. Gapailah

gumpalan awan dalam lapisan troposfer, lalu naiklah terus menuju

stratosfer, menembus lapisan ozon, ionosfer, dan bulan-bulan di

planet yang asing. Meluncurlah terus sampai ketinggian di mana

gravitasi bumi sudah tak peduli. Arungi samudra bintang gemintang

dalam suhu dingin yang mampu meledakkan benda padat. Lintasi

hujan meteor sampai tiba di eksosfer—lapisan paling luaratmosfer

dengan bentangan selebar 1.200 kilometer, dan teruslah melaju

menaklukkan langit ketujuh.

Kita hanya dapat menyebutnya langit ketujuh sebagai

gambaran imajiner tempat tertinggi dari yang paling tinggi. Di

tempat asing itu, tempat yang tak ‘kan pernah memiliki nama, di

atas langit ke tujuh, di situlah kebodohan bersemanyam. Rupanya

seperti kabut tipis, seperti asap cangklong, melayang-layang pelan,

memabukkan .makaapabila kita tanyakan sesuatu kepada orang-

orang bodoh, mereka akan menjawab dengan merancau,

menyembunyikan ketidaktahuannya dalam omongan cepat,

mencari beragam alasan, atau membelokkan arah pertanyaan.

Sebagaian yang lain diam terpaku, mulutnya ternganga, ia

diselubungi kabut dengan tatapan mata yang kosong dan jauh.

Kedua jenis reaksi ini adalah akibat keracunan asap tebal

kebodohan yang mengepul di kepala mereka.

Kita tak perlu men empuh ekspedisi gila-gilaan itu. Karena

seluruh lapisan langit dan gugusan planit itu sesungguhnya

terkonstelasi di dalam kepala kita sen diri. Apa yang ada pada

pikiran kita, dalam gumpalan otak seukurangenggam, dapat

menjangkau ruang seluas jagat raya. Para pemimpi seperti Nicolaus

Copernicus, Battista Della Porta, dan Lippershey malah

menciptakan jagat rayanya sendiri, di dalam imajinasinya, dengan

sistem tata suryanya sendiri, dan Lucretius, juga seoerang pemimpi,

menuliskan ilmu dalam puisi-puisi.

Tempat di atas langit ketujuh, tempat kebodohan

bersemanyam, adalah metafor dari suatu tempat di mana manusia

tak bisa mempertanyakan zat-zat Allah. Setiap usaha

mempertanyakannya hanya akan berujung dengan kesimpulan yang

mempertontonkan kemahatololan sang penanya sendiri. Maka

semua jangkauan akal telah berakhir di langit ketujuh tadi. Di

tempat asing tersebut, barangkali Arasy, di sana kembali metafor

kagungan Tuhan bertakhta. Di bawah takhta-Nya tergelar Lauhul

Mahfuzh, muara dari segala cabang anak-anak sungai ilmu dan

kebijakan, kitab yang telah mencatat setiap lembar daunyang akan

jatuh. Ia juga menyimpan rahasia ke mana nasibakan membawa

sepuluh siswa baru perguruan Muhammadiyah tahun ini. Karena

takdir dan nasib termasuk dalam zat-Nya.

Tuhan menakdirkan orang-orang tertentu untuk memiliki hati

yang terang agar dapat memberi pencerahan pada sekelilingnya.

Dan di malam yang tua dulu ketika Copernicus dan Lucretius

duduk di samping Lintang, ketika angka-angka dan huruf menjelma

menjadi kunang-kunang yang berkelap-kelip, saat itu Tuhan

menyemaikan bijizarah klecerdasan, zarah yang jatuh dari langit dan

menghantam kening Lin tang.

Sejak hari perkenalan dulu aku sudah terkagum-kagum pada

Lintang. Anak pengumpul kerang ini pintar sekali. Matanya

menyala-nyala memancarkan inteligensi, keingintahuan menguasai

dirinya seperti orang kesurupan. Jarinya tak pernah berhenti

mengacung tanda ia bisa menjawab. Kalau melipat dia paling cepat,

kalau membaca dia paling hebat. Ketika kami masih gagap

menjumlahkan angka-angka genap ia sudah terampil mengalikan

angka-angka ganjil. Kami baru saja bisa mencongak, dia sudah

pintar membagi angka desimal, menghitung akar dan menemukan

pangkat, lalu, tidak hanya menggunakan, tapi juga mampu

menjelaskan hubungan keduanya dalam tabel logaritma.

Kelemahannya, aku tak yakin apakah hal ini bisa disebut

kelemahan, adalah tulisannya yang cakarayam tak keruan, tentu

karena mekanisme motorik jemarinya tak mampu mengejar pikiran

nya yang berlari sederas kijang.

“13 kali 6 kali 7 tambah 83 kurang 39!” tantang Bu Mus di

Lalu kami tergopoh-gopoh membuka karet yang mengikat

segenggam lidi, untuk mengambil tiga belas lidi,

mengelompokkannya menjadi enam tumpukan, susah payah

menjumlahkan semua tu mpukan itu, hasilnya kembali disusun

menjadi tujuh kelompok, dihitung satu per satu sebagai total dua

tahap perkalian, ditambah lagi 83 lidi lalu diambil 39. Otak terlalu

penuh untuk mengorganisasi sinyal-sinyal agar mengambil tindakan

praktis mengurangkan dulu 39 dari 83. Menyimpang sedikit dari

urutan cara berpikir orang kebanyakan adalah kesalahan fatal yang

akan mengacaukan ilmu hitung aljabar. Rata-rata dari kami

menghabiskan waktu hampir selama 7 menit. Efektif memang, tapi

tidak efisien, repot sekali.

Sementara Lintang, tidak memegang sebatang lidi pun, tidak

berpikir dengan cara orang kebanyakan, hanya memjamkan

matanya sebentar, tak lebih dari 5 detik ia bersorak.

Tak sebiji pun meleset, meruntuhkan semangat kami yang

sedang belepotan memegangi potongan lidi, bahan belum selesai

dengan operasi perkalian tahap pertama. Aku jengkel tapi kagum.

Waktu itu kami baru masuk hari pertama di kelas dua SD! “Superb

! Anak pesisir, superb !” puji Bu Mus. Beliau pun tergoda untuk

menjangkau batas daya pikir Lintang.

“18 kali 14 kali 23 tambah 11 tambah 14 kali 16 kali 7!.

Kami berkecil hati, temangu-mangu menggenggami lidi, lalu

kurang dari tujuh detik, tanpa membuat catatan apa pun, tanpa

keraguan, tanpa ketergesa-gesaan, bahkan tanpa berkedip, Lintang

“Purnama! Lintang, bulan purnama di atas Dermaga Olivir,

indah sekali! Itulah jawabanmu, ke mana kau bersembunyi selama

Ibu Mus bersusah payah menahan tawanya. Ia menatap

Lintang seolah telah seumur hidup mencari murid seperti ini. Ia tak

mungkin tertawa lepas, agama melarang itu. Ia menggelenggelengkan kepalanya. Kami terpesona dan bertanya-tanya

bagaimana cara Lintang melakukan semua itu. Dan inilah resepnya

“Hafalkan luar kepala semua perkalian sesama angka ganjil,

itulah yang sering menyusahkan. Hilangkan angka satuan dari

perkalian dua angka puluhan karena lebih mudah mengalikan

dengan angka berujung nol, kerjakan sisanya kemudian, dan jangan

kekenyangan kalau makan malam, itu akan membuat telingamu tuli

dan otakmu tumpul!” Polos, tapi ia telah menunjukkan kualifikasi

highly cognitive complex dengan mengembangkan sendiri teknikteknik melokalisasi kesulitan, menganalisis, dan memecahkannya.

Ingat dia baru kelas dua SD dan ini adalah hari pertamanya.

Selainitu ia juga telah mendemonstrasikan kualitas nalar kuantitatif

level tinggi. Sekarang aku mengerti, aku sering melihatnya

berkonsentrasi memandangi angka-angka. Saat itu dari keningnya

seolah terpancar seberkas sinar, mungkinitulah cahaya ilmu. Anak

semuda itu telah mampu mengontemplasikan bagaimana angkaangka saling bereaksi dalam suatu operasi matematika. Kontemplasikontemplasi ini rupanya melahirkan resep ajaib tadi.

Lintang adalah pribadi yang unik. Banyak orang merasa

dirinya pin tar lalu bersikap seenaknya, congkak, tidak disiplin, dan

tak punya integritas. Tapi Lintang sebaliknya. Ia tak pernah tinggi

hati, karena ia merasa ilmu demikian luas untuk disombongkan dan

menggali ilmu tak akan ada habis-habisnya. Meskipun rumahnya

paling jauh tapi kalau datang ia paling pagi. Wajah manisnya

senantiasa bersinar walaupun baju, celana, dan sandal cunghai -nya

buruknya minta ampun. Namun sungguh kuasa Allah, di dalam

tempurung kepalanya yang ditumbuhi rambut gimbal awut-awutan

itu tersimpan cairan otak yang encer sekali. Pada setiap rangkaian

kata yang ditulisnya secara acak-acakan tersirat kecemerlangan

pemikiran yang gilang gemilang. Di balik tubuhnya yang tak terawat,

kotor, miskin, serta berbau hangus, dia memiliki an absolutely

beautiful mind . Ia adalah buah akal yang jernih, bibit genius asli,

yang lahir di sebuah tempat nun jauh di pinggir laut, dari sebuah

keluarga yang tak satu pun bisa membaca.

Lebih dari itu, seperti dulu kesan pertama yang kutangkap

darinya, ia laksana bunga meriam yang melontarkan tepung sari. Ia

lucu, semarak, dan penuh vitalitas. Ia memperlihatkan bagaimana

ilmu bisa menjadi begitu menarik dan ia menebarkan hawa positif

sehingga kami ingin belajar keras dan berusaha menunjukkan yang

Jika kami kesulitan, ia mengajari kami dengan sabar dan

selalu membesarkan hati kami. Keunggulannya tidak menimbulkan

perasaan terancam bagi sekitarnya, kecemerlangannya tidak

menerbitkan iri dengki, dan kehebatannya tidak sedikit pun

mengisyaratkan sifat-sifat angkuh. Kami bangga dan jatuh hati

padanya sebagai seorang sahabat dan sebagai seorang murid yang

cerdas luar biasa. Lintang yang miskin duafa adalah mutiara, galena,

kuarsa, dan topas yang paling berharga bagi kelas kami.

Lintang selalu terobsesi dengan hal-hal baru, setiap informasi

adalaha sumbu ilmu yang dapat meledakkan rasa ingin tahunya

kapan saja. Kejadian ini terjadi ketika kami kelas lima, pada hari

ketika ia diselamatkan oleh Bodenga.

“Al-Qur’an kadangkala menyebut nama tempat yang harus

diterjemahkan dengan teliti ….” Demikian penjelasan Bu Mus dalam

tarikh Islam, pelajaran wajib perguruan Muhammadiyah. Jangan

harap naik kelas kalau mendapat angka merah untuk ajaran ini.

“Misalnya negeri yang terdekat yang ditaklukkan tentara

Persia pada tahun ….” “620 Masehi! Persia merebut kekaisaran

Heraklius yang juga berada dalam ancaman pemberontakan

Mesopotamia, Sisilia, dan Palestina. Ia juga diserbu bangsa Avar,

Slavia, dan Armenia …..

Lintang memotong penuh minat, kami ternganga-nganga, Bu

Mus tersenyum senang. Beliau menyampingkan ego. Tak keberatan

kuliahnya dipotong. Beliau memang menciptakan atmosfer kelas

seperti ini sejak awal. Memfasilitasi kecerdasan muridnya adalah

yang paling penting bagi beliau. Tidak semua guru memiliki kualitas

seperti ini. Bu Mus menyambung, “Negeri yang terdekat itu …..

“Byzantium! Namakuno untuk Konstantinopel, mendapat

nama belakangan itu dari The Great Constantine. Tujuh tahun

kemudian negeri itu merebut lagi kemerdekaannya,

kemerdekaanyang diingatkan dalam kitab suci dan diingkari kaum

musyrik Arab, mengapa ia disebut negeri yang terdekat Ibunda

Guru? Dan mengapa kitab suci ditentang?.

“Sabarlah anakku, pertanyaanmu menyangkut pernjelasan

tafsir surah Ar-Ruum dan itu adalah ilmu yang telah berusia paling

tidak seribu empat ratus tahun. Tafsir baru akan ktia diskusikan

nanti kalau kelas dua SMP…..

“Tak mau Ibunda, pagi ini ketika berangkat sekolah aku

hampir diterkam buaya, maka aku tak punya waktu menunggu,

jelaskan di sini, sekarang juga! ” Kami bersorak dan untuk pertama

kalinya kami mengerti makna adnal ardli , yaitu tempat yang dekat

atau negeri yang terdekat dalam arti harfiah dan tempat paling

rendah di bumi dalam konteks tafsir, tak lain dari Byzantium di

kekaisaran Roma sebelah timur.

Kami bersorak tentu bukan karena adnal ardli , apalagi

Byzantium yang merdeka, tapi karena kagum dengan sikap Lintang

menantang intelektualitasnya sendiri. Kami merasa beruntung

menjadi saksi bagaimana seseorang tumbuh dalam evolusi

inteligensi. Dan ternyata jika hati kita tulus berada di dekat orang

berilmu, kita akan disinari pancaran pencerahan, karena seperti

halnya kebodohan, kepintaran pun sesungguhnya demikian mudah

menjalar. ORANG cerdas memahami konsekuensi setiap jawaban

dan menemukan bahwa di balik sebuah jawaban tersembunyi

beberapa pertanyaan baru. Pertanyaan baru tersebut memiliki

pasangan sejumlah jawaban yang kembali akan membawa

pertanyaan baru dalam deretan eksponensial. Sehingga mereka

yang benar-benar cerdas kebanyakan rendah hati, sebab mereka

gamang pada akibat dari sebuah jawaban. Konsekuensi-konsekuensi

itu mereka temui dalam jalur-jalur seperti labirin, jalur yang jauh

menjalar- jalar, jalur yang tak dikenal di lokus-lokus antah berantah,

tiada ber ujung. Mereka mengarungi jalur pemikiran ini, tersesat di

jauh di dalamnya, sendirian.

Godaan-godaan besar bersemayam di dalam kepala orangorang cerdas. Di dalamnya gaduh karena penuh dengan

skeptisisme. Selesai menyerahkan tugas kepada dosen, mereka

selalu merasa tidak puas, selalu merasa bisa berbuat lebih baik dari

apa yang telah mereka presentasikan. Bahkan ketika mendapat nilai

A plus tertinggi, merek amasih saja mengutuki dirinya sep anjang

malam. Orang cerdas berdiri di dalam gelap, sehingga mereka bisa

melihat sesuatu yangtak bisa dilihat orang lain. Mereka yang tak

dipahami oleh lingkungannya, terperangkap dalam kegelapan itu.

Semakin cerdas, semakin terkucil, semakin aneh mereka. Kita

menyebut mereka: orang-orang yang sulit. Orang-orang sulit ini tak

berteman, dan mereka berteriak putus asa memohon pengertyian.

Ditambah sedikit saja dengan sikap introver, maka orang-orang

cerdas semacam ini tak jarang berakhir di sebuah kamar dengan

perabot berwarna teduh dan musik klasik yang terdengar lamatlamat, itulah ruang terapi kejiwaan. Sebagian dari mereka amat

Sebaliknya, orang-orang yang tidak cerdas hidupnya lebih

bahagia. Jiwanya sehat walafiat. Isi kepalanya damai, tenteram,

sekaligu s sepi, karena tak ada apa-apa di situ, kosong. Jika ada

suara memasuki telinga mereka, maka suara itu akan terpantulpantul sendirian di dalam sebuah ruangan yang sempit,

berdengung-dengung sebentar, lalu segera keluar kembali melalui

Jika menyerahkan tugas, mereka puas sekali karena telah

berhasil memenuhi batas akhir, dan ketika mendapat nilai C,

mereka tak henti-hentinya bersyukur karena telah lulus.

Mereka hidup di dalam terang. Sebuah senter menyiramkan

sinar tepat di atas kepala mereka dan pemikiran mereka hanya

sampai pada batas lingkaran cahaya senter itu. Di luar itu adalah

gelap. Mereka selalu berbicara keras-keras karena takut akan

kegelapan yang mengepung mereka. Bagi sebagian orang,

ketidaktahuan adalah berkah yang tak terkira.

Aku pernah mengen al berbagai jenis orang cerdas. Ada orang

genius yang jika menerangkan sesuatu lebih bodoh dari orang yang

p aling bodoh. Semakin keras ia berusaha menjelaskan, semakin

bingung kita dibuatnya. Hal ini biasanya dilakukan oleh mereka

yang sangat cerdas. Ada pula yang kurang cerdas, bahkan bodoh

sebenarnya, tapi kalau bicara ia terlihat paling pintar. Ada orang

yang memiliki kecerdasan sesaat, kekuatan menghafal yang

fotografis, namun tanpa kemampuan analisis. Ada juga yang cerdas

tapi berpura-pura bodoh, dan elbih banyak lagi yang bodoh tapi

Namun, sahabatku Lintang memiliki hampir semua dimensi

kecerdasan. Dia seperti toko serba ada kepandaian. Yang paling

menonjol adalah kecerdasan spasialnya,sehingga ia sangat unggul

dalam geometri multidimensional. Ia dengan cepat dapat

membayangkan wajah sebuah konstruksi suatu fungsi jika digerak -

gerakkan dalam variabel derajat. Ia mampu memecahkan kasuskasus dekomposisi modern yang runyam dan mengajari kami teknik

menghitung luas poligon dengan cara membongkar sisi- sisinya

sesuai Dalil Geometri Euclidian. Ingin kukatakan bahwa ini sama

sekali bukan perkara mudah.

Ia sering membuat permainan dan mendesain visualisasi guna

menerjemahkan rumusangeometris pada tingkat kesulitan yang

sangat tinggi. Tujuannya agar gampang disimulasikan sehingga kami

sekelas dapat dengan mudah memahami kerumitan Teorema KupuKupu atau Teorema Morley yang menyatakan bahwa pertemuan

segitiga yang ditarik dari trisektor segitiga bentuk apa pun akan

membentuk segitiga inti yang sama sisi. Semua itu dilengkapinya

dengan bukti-bukti matematis dalam jangkauan analisis yang

melibatkan kemampuan logika yang sangat tinggi. Ini juga sama

sekali bukan urusan mudah, terutama untuk tingkat pendidikan

serendah kami serta. Dan mengingat kopra makakuanggapapa yang

dilaku kan Lintang sangat luar biasa. Lintang juga cerdas secara

experiential yang membuyatnya piawai menghubungkan setiap

informasi dengan konteks yang lebih luas. Dalam kaitan ini, ia

memiliki kapasitas metadiscourse selayaknya orang-orang yang

memang dilharikan sebagai seorang genius. Artinya adalah jika

dalam pelajaran biologi kami baru mempelajari fungsi-fungsi otot

sebagai subkomponen yang membentuk sistem mekanik parsial

sepotong kaki maka Lintang telah memahami sistem mekanika

seluruh tubuh dan ia mampu menjelaskan peran sepotong kaki itu

dalam keseluruhan mekanika persendian dan otot-otot yang

Kecerdasannya yang lain adalah kecerdasan linguistik. Ia

mudah memahami bahasa, efektif dalam berkomunikasi, memiliki

nalar verbal dan logikakualitatif. Ia juga mempunyai descriptive

power , yakni suatu kemampuan menggambarkan sesuatu dan

mengambil contoh yang tepat. Pengalamanku dengan pelajaran

bahasa Inggris di hari- hari pertama kelas 2 SMP nanti membuktikan

hal itu. Saat itu aku mendapat kritikan tajam dari ayahku karena

nilai bahasa Inggris yang tak kunjung membaik. Aku pun akhirnya

menghadap pemegang kunci pintu ilmu filsafat untuk mendapat satu

dua resep ajaib. Aku keluhkan kesulitanku memahami tense .

“Kalautak salah jumlahnya sampai enam belas, dan jika ia

sudah berada dalam sebuah narasi aku ekhliangan jejak dalam

konteks tense apa aku berada? Pun ketika ingin membentuk sebuah

kalimat, bingung aku menentukan tense -nya. Bahasa Inggrisku tak

“Begini,” kata Lintang sabar menghadapi ketololanku. Ketika

itu ia sedang memaku sandal cungha i -nya yang menganga seperti

buaya lapar. Kupikir ia pasti mengira bahwa aku mengalami

disorientasi waktu dan akan menjelaskan makna tense secara

membosankan. Tapi petuahnya sungguh tak kuduga.

“Memikirkan struktur dan dimensi waktu dalam sebuah

bahasa asing yang baru saja kita kenal tidak lebih dari hanya akan

merepotkan diri sendiri. Sadarkah kau bahasa apa pun di dunia ini,

di mana pun, mulai dari bahasa Navajo yang dipakai sebagai sandi

tak terpecahkan di perang dunia kedua, bahsa Gaelic yang amat

langka, bahasa Melayu pesisir yang berayun-ayun, sampai bahasa

Mohican yang telah punah, semuanya adalah kumpulan kalimat,

dan kalimat tak lain adalah kumpulan kata=kata, paham kau

Aku mengangguk, semua oarng tahu itu. Lalu ia melanjutkan,

“Nah, kata apa pun, pada dasarnya adalah kata ben da, kata kerja,

kata sifat, dan kata keterangan, paham? Ini bukan masalah bahasa

yang sulit tapi masalah cara berpikir..

Sekarang mulai menarik.

“Berangkatlah dari sana, pelajari bagaimana menggunakan

kata benda, kata kerja, kata sifat, dan kata keterangan dalam sebuah

kalimat Inggris, itu saja, Kal. Tak lebih dari itu!.

Belajar kata terlebih dulu, bukan belajar bahasa, itulah inti

paradigma belajar bahsa Inggris versi Lintang. Sebuah ide

cemerlang yang hanya terpikirkan oleh orang- orang yang

memahami prinsip-prinsip belajar behasa. Dengan paradigma ini

aku mengalami kemajuan pesat, bukan hanya karena aku dapat

mempelajari bahsa Inggris dengan bantuan analogi bahasa

Indonesia, tapi petuahnya mampu melenyapkan sugesti kesulitan

belajar bahasa asing yang umum melanda siswa-siswa daerah.

Bahwa bahasa, baik lokal maupun asing, adalah permainan katakata, tak lebih dari itu! Setelah aku mampu membangun

konstruksiku sendiri dalam memahami kalimat- kalimat Inggris,

kemudain Lintang menunjukkan cara meningkatkan kualitas tata

bahasaku dengan mengenalkan teori strktur dan aturan-aturan tense

. Pendekatan ini diam- diam kami sebarkan pada seluruh teman

sekelas. Dan ternyata hal ini sukses besar, sehingga dapat dikatakan

Lintanglah yang telah mengakhiri masa kejahiliahan bahasa Inggris

Mungkin kami telah belajar bahasa Inggris dengan

pendekatanyang keliru, tapi cara ini efektif. Dan cara ini diajarkan

oleh seseorang yang percaya bahwa setiap orang memiliki jalan

yang berbeda untuk memahami bahasa. Aku kagum dengan daya

pikir Lintang, dalam usia semuda itu ia mampu melihat elemenelemen filosofis sebuah ilmu lalu jmenerjemahkannya menjadi

taktik-taktik praktsi untuk menguasainya. Yang lebih istimewa, orang

yang mengajariku ini bahkan tak mampu membeli buku teks wajib

Lintang memasuki suatu tahap kreatif yang melibatkan intuisi

dan pengembangan pemikiran divergen yang orisinal. Ia menggali

rasai ngin tahunya dan tak henti mencoba- coba. Indikasi

kegeniusannya dapat dilihat dari kefasihannya dalam berbahasa

numerik, yaitu ia terampil memproses sebuah pernyataan matematis

mulai dari hipotesis sampai pada kesimpulan. Ia membuat

penyangkalan berdasarkan teorema, bukan hanya berdasarkan

pembuktian kesalahan, apalagi simulasi. Dalam usia muda dia telah

memasuki area yang amat teoretis, cara berpikirnya mendobrak,

mengambil risiko, tak biasa, dan menerobos. Setiap hari kami

merubungnya untuk menemukan kejutan-kejutan pemikirannya.

Baru naik ke kelas satu SMP, ketika kami masih pusing tujuh

keliling memetakan absis dan ordinat pada produk cartesius dalam

topik relasi himpunan sebagai dasar fungsi linear, Lintang telah

mengutak-atik materi-materi untuk kelas yangj auh lebih tinggi di

tingkat lanjutan atas bahkan di tingkat awal per guruan tinggi seperti

implikasi, biimplikasi, filosofi Pascal, binomial Newton, limit,

diferensial, integral, teori-teori peluang, dan vektor. Ketika kami baru

saja mengenal dasar-dasar binomial ia telah beranjak ke

pengetahuan tentang aturan multinomial dan teknik eksploitasi

polinomial, ia mengobrak-abrik pertidaksamaan eksponensial,

mengilustrasikangrafik-grafik sinus, dan membuat pembuktian sifat

matematis menggu nakan fungsi-gunsgi trigonometri dan aturan

Suatu waktu kami belajar sistem persamaa nlinier dan tertatihtatih mengurai- uraikan kasusnya dengan substitusi agar dapat

menemukan nilai sebuah variabel, ia bosan dan menghambur ke

depan kelas, memenuhi papan tulis dengan alternatif-alternatif solusi

linier, di antaranya dengan metode eliminasi Gaus-Jordan, metode

Crammer, metode determinan, bahkan dengan nilai Eigen. Setelah

itu Lintang mulai menggarap dan tampak sangat menguasai prinsipprinsip penyelesaian kasus nonlinier. Ia dengan amat lancar

menejlaskan persamaan multivariabel, mengeksploitasi rumus

kuadrat, bahkan menyelesaikan operasi persamaan menggunakan

metode matriks! Padahal dasar-dasar matriks paling tidak baru

dikhotbahkan para guru pada kelas dua SMA. Yang lebih

menakjubkan adalah semua pengetahuan itu ia pelajari sendiri

dengan membaca bermacam-macam buku milik kepala sekolah

kami jika ia mendapat giliran tugas menyapu di ruangan beliau. Ia

bersimpuh di balik pintu ayun, semacam pintu koboi, menekuni

angka-angka yang bicara, bahkan dalam buku-buku berbahasa

Ia memperlihatkan bakat kalkulus yang amat besar dan

keahliannya tidak hanya sebatas menghitung guna menemukan

solusi, tapi ia memahami filosofi operasi-operasi matematika dalam

hubungannya dengan aplikasi seperti yang dipelajari para

mahasiswa tingkat lanjut dalam subjek metodologi riset. Ia membuat

hitunganyang iseng namun cerdas mengenai berapa waktu yang

dapat dihemat atau berapa tambahan surat yang dapat diantar per

hari oleh Tuan Pos jika mengubah rute antarnya. Ia membuat

perkiraan ketahanan benang gelas dalam adu layangan untuk

berbagai ukuran nilon berdasarkan perkiraan kekuatan angin,

ukuran layangan, dan panjang benang. Rekomendasinya

menyebabkan kami tak pernah terkalahkan.

Prediksinya tak pernah meleset dalam menghitung waktu

kuncup, bersemi, dan mati untuk bunga red hot cat tail dengan

meneliti kadar pupuk, suplai air, dan sinar matahari. Ia

mengompilasi dengan cermat tabel pengamatan distribusi durasi,

frekuensi dan waktu curah hujan lalu menghitung rata-rata, variansi,

dan koefisien korelasi dalam rangka memperkirakan berapa kali Pak

Harfan bolos karena bengek itu menunjukkan pola yang konsisten

terhadap fungsi hujan dan lebih ajaib lagi Lintang mampu membuat

persentase bias dugaannya.

Lintang bereksperimen merumuskan metode jembatan

keledainya sendiri untuk pelajaran-pelajaran hafalan. Biologi

misalnya. Ia menciptyakan sebuah konfigurasi belajar metabolisme

dengan merancang kelompok sistem biologis mulai dari sistem alat

tubuh, pernapasan, pencernaan, gerak, sampai sistem saraf dan

indra, baik untuk manusia, vertebrata, maupun avertebrata,

sehingga mudah dipahami.

Maka jika kita tanyakan padanya bagaiaman seekor cacing

melakukan hajat ke3cilnya, siap-siap saja menerima penjelasan yang

rapi, kronologis, terperinci, dan sangat cerdas mengenai cara kerja

rambut getar di dalam sel-sel api, lalu dengan santai saja,

seumpama seekor monyet sedang mencari kutu di punggung

pacarnya, ia akan membuat analogi buang hajat cacing itu pada

sistem ekskresi protozoa dengan anatomi vakuola kontraktil yang

rumit itu, bahkan jika tidak distop, ia akan dengan senang hati

menjelaskan fungsi-fungsi korteks, simpai bowman, medulla, lapisan

malpigi, dan dermis dalam sistem ekskresi manusia. Karena bagi

Lintang, melalui desain jembatan keledainya tadi, benda-benda

hafalan ini dengan mudah dapat iakuasai, satu malam saja, sekali

Masih dalam pelajaran biologi, terjadi perdebatan sengit di

antara kami tentang teori yang memaksakan pendapat bahwa

manusia berasal dari nenek moyang semacam lutung, kami

terperangah oleh argumentasi lintang: “Persoalannya adalah apakah

Anda seorang religius, seorang darwinian, atau sekadar seorang

oportunis? Pilihan sesungguhnya hanya antara religius dan

darwinian, sebab yang tidak memilih adalah oportunis! Yaitu

mereka yang berubah-ubah sikapnya sesuai situasi mana yang akan

lebih menguntungkan mereka. Lalu pilihan itu seharusnya

menentukan perilaku dalam menghargai hidup ini. Jika Anda

seorang darwinian, silakan berperilaku seolah tak ada tuntutan

akhirat, karena bagi Anda ktia bsuci yang memaktub bahwa

manusia berasal dari Nabi Adam adalah dusta. Tapi jika Anda

seorang religius maka Anda tahu bahwa teori evolusi itu palsu, dan

ketika Anda tak kunjung mempersiapkan diri untuk dihisab nanti

dalam hidup setelah mati, maka dalam hal ini anda tak lebih dari

seorang sekuler oportunis yang akan dibakar di dasar neraka!.

Itulah Lintang dengan pandangannya. Pikirannya memang

telah sangat jauh meninggalkan kami. Dan dengarlah itu, bicaranya

lebih pintar dari bicara seluruh menteri penerangan yang pernah

dimiliki republik ini.

“Ayo yang lain, jangan hanya anak Tanjong keriting ini saja

yang terus menjawab,” perintah Bu Mus.

Biasanay setelah itu aku tergoda utnuk menjawab, agak raguragu, canggung, dan kurang yakin, sehingga sering sekali salah, lalu

Lintang membetulkan jawabanku, dengan semangat konstruktif

penuh rasa akrab persahabatan. Lintang adalah seorang cerdas

yang rendah hati dan tak pernah segan membagi ilmu.

Aku belajar keras sepanjang malam, tapi tak pernah sedikit

pun, sedetik pun bisa melampaui Lintang. Nilaiku sedikit lebih baik

dari rata-rata kelas namun jauh tertinggal dari nilainya. Aku berada

di bawah bayang-bayangnya sekian lama, sudah terlalu lama malah.

Rangking duaku abadi, tak berubah sejak caturwulan pertama kelas

satu SD. Abadi seperti lukisan ibu menggendong anak di bulan.

Rival terberatku, musuh bebuyutanku adalah temanku sebangku,

Dapat dikatakan bahwa Bu Mus sering kewalahan mengh

adapi Lintang, terutama utnuk pelajaran matematika, sehingga ia

sering diminta membantu. Ketika Lintang menerangkan sebuah

persoalan rumit dan membaut simbol-simbol rahasia matematika

menjadi sinar yang memberi terang bagi kami, Bu Mus

memerhatikan dengan seksama bukan hanya apa yang diucapkan

Lintang tapi juga pendekatannya dalam menjelaskan. Lalu beliau

menggeleng-gelengkan kepalanya, komat-kamit, berbicara sendiri

tak jelas seperti orang menggerendeng. Belakangan aku tahu apa

yang dikomat-kamitkan beliau.; Bu Mus mengucapkan pelan-pelan

kata-kata penuh kagum, “Subhanallah….Subhanallah…..

“Yang paling membautku terpesona,” cerita Bu Mus pada

ibuku. “Adalah kemampuannya menemukan jawaban dengan cara

lain, cara yang tak pernah terpikirkan olehku,” sambungnya sambil

“Lintang mampu menjawab sebuah pertanyaan matematika

melalui paling tidak tiga cara, padahal aku hanya mengajarkan satu

cara. Dan ia menunjukkan padaku bagaimaan menemukan jawaban

tersebut melalui tiga cara lainnya yang tak pernah sedikit pun aku

ajarkan! Logikanya luar biasa, daya pikirnya meluap-luap. Aku

sudah tak bisa lagi mengatasi anak pesisir ini Ibunda Guru..

Bu Mus tampak bingung sekaligus bangga memiliki murid

sepandai itu. Sebaliknya, ibuku, seperti biasa, sangat tertarik pada

“Ceritakan lagi padaku kehebatannya yang lain,” pancing

beliau memanasi Bu Mus sambil memajukan posisi duduknya,

mendekatkan keminangan tempat cupu-cupu gambir dan kapur, lalu

meludahkan sirih melalui jendela rumah panggung kami.

Dan tak ada yang lebih membahagiakan seorang guru selain

mendapatkan seorang murid yang pintar. Kecemerlangan Lintang

membawa gairah segar di sekolah tua kami yang mulai kehabisan

napas, megap-megap melawan paradigma materialisme sistem

pendidikan zaman baru. Sekarang suasana belajar mengajar di

sekolah kami menjadi berbeda karena kehadiran Lintang, hanya

tinggal menunggu kesempatan saja baginya untuk mengharumkan

nama perguruan Muhammadiyah. Lintang dengan segala daya tarik

kecerdasannya daalah gemerincing tamborin yang nakal, bernada

miring, dalam alunan stambul gaya lama. Dialah mantar dalam

rima-rima gurindam yang itu-itu saja. Dia ikan lele yang menggeliat

dalam timbunan lumpur berku kemarau sekolah kami yang telah

bosan dihina. Tubuhnya yang kurus menjadi siku-siku yang

mengerakkan kembali tiang utama perguruan Muhammadiyah yang

bahkan belum tentu tahun depan mendapatkan murid baru.

Dewan guru tak henti-hentinya membicarakan nilai rapor

Lintang. Angka sembilan berjejer mulai dari pelajaran Aqaid

(akidah), Al-Qur’an, fikih, tarikh Islam, budi pekerti,

Kemuhammadiyahan, pendidikan kewarganegaraan, ilmu bumi,

Untuk biologi, matematika dan semua variannya: ilmu ukur,

aritmatika, aljabar, dan ilmu pengetahuan alam bahkan Bu Mus

berani bertanggung jawab untuk memberi nilai sempurna: sepuluh.

Kehebatan Lintang tak terbendung, kepiawaiannya mulai kondang

ke seantero kampung. Dan yang lebih mendebarkan, karena

reputasinya itu, kami dipertimbangkan untuk diundang mengikuti

lomba kecerdasan antarsekolah yang daat menaikkangengsi sekolah

setinggi rasi bintang Auriga. Sudah demik ian lama kami tak

diundang dalam acara bergengsi ini karena prestasi sekolah selalu di

Nilai terendah di rapor Lintang, yaitu delapan, hanya pada

mata pelajaran kesenian. Walaupun sudah berusaha sekuat tenaga

dan mengerahkan segenap daya pikir dia tak mampu mencapai

angka sembilan karena tak memapu bersaing dengan seorang pria

muda berpenampilan eksentrik, bertubuh ceking, dan berwajah

tampan yang duduk di pojok sana sebangku dengan Trapani. Nilai

sembilan untuk pelajaran kesenian selalu milik pria itu, namanya

BAKAT laksana Area 51 di Gurun Nevada, tempat di mana

mayat-mayat alien disembunyikan: misterius! Jika setiap orang tahu

dengan pasti apa bakatnya maka itu adalah utopia. Sayangnya

utopia tak ada dalam dunia nyata. Bakat tidak seperti alergi, dan ia

tidak otomatis timbul seperti jerawat, tapi dalam banyak kejadian ia

Banyak orang yang berusaha mati-matian menemukan

bakatnya dan banyak pula yang menunggu seumur hidup agar

bakatnya atau dirinya ditemukan, tap i lebih banyak lagi yang

merasa dirinya berbakat padahal tidak. Bakat menghinggapi orang

tanpa diundang. Bakat main bola seperti Van Basten mungkin diamdiam dimiliki sorang tukang taksir di kantor pegadaian di Tanjong

Pandan. Seorang Karl Marx yang lain bisa saja sekarang sedang

duduk menjaga wartel di sebuah kampus di Bandung. Seorang

kondektur ternyata adalah John Denver, seorang salesman ternyata

berpotensi menjadi penembak jitu, atau salah seorang tukang nasi

bebek di Surabaya ternyata berbakat menjadi komposer besar

seperti Zuybin Mehta Namun, mereka sendiri tak pernah

mengetahui hal itu. Si tukang taksir terlalu sibuk melayani orang

Belitong yang kehabisan uang sehingga tak punya waktu main bola,

sang penjaga wartel sepanjang hari hanya duduk memandangi struk

yang menjulur- julur dari printer Epson yang bunyinya merisaukan

seperti lidah wanita dalam film Perempuan Berambut Api ,

kondektur dan salesman setiap hari mengukur jalan, dan lingkungan

si tukang nasi bebek sama sekali jauh dari sesuatu yang

berhubungan dengan musik klasik. Ia hanya tahu bahwa jika

mendengarkan orkestra telinganya mampu melacak nada demi nada

yang berdenting dari setiap instrumen dan hatinya bergetar hebat.

Sayangnya sepanjang hidupnya ia tak pernah mendapat

kesempatan sekali pun memegang alat musik, dan tak juga pernah

ada seorang pun yang menemukannya. Maka ketika ia mati, bakat

besar gilang ge3milang pun ikut terkubur bersamanya. Seperti

mutiara yang tertelan kerang, tak pern ah seorang pun melihat

Karena bakat sering kali harus ditemukan, maka ada orang

yang berprofesi sebagai pemandu bakat. Di Amerika orang-orang

seperti ini khusus berkeliling dari satu negara bagian ke negara

baigan lain untuk mencari pemain baseball potensial. Jika—satu di

antara sejuta kemungkinan—orang ini tak pernah menghampiri

seseorang yang sesungguhnya berbakat, maka hanya nasib yang

menentukan apakah bakat seseorang tersebut pernah ditemukan

atau tidak, pelajaran moral nomor empat: Ternyata nasib yang juga

sangat misterius itu adalah seorang pemandu bakat! Hal ini paling

tidak dibuktikan oelh Forest Gump, jika ia tidak mendaftar menjadi

tentara dan jika ia tidak mengikuti kegiatan ekstraku rikuler di barak

pada suatu sore maka mungkinia tak pernah tahu kalau ia sangat

berbakat bermain tenis meja. Ritchie Blackmore juga begitu, kalau

orang tuanya membelikan papan catur untuk hadiah ulang tahun

mungkinia tak pernah tahu kalau dia berbakat menjadi seorang

gitaris classic rock .

Dan di siang yang panas menggelegak ini, ketika pelajaran

seni suara, di salah satu sudut kumuh perguran miskin

Muhammadiyah, kami menjadi saksi bagaimana nasib menemukan

bakat Mahar. Mulanya Bu Mus meminta A Kiong maju ke depan

kelas untuk menyanyikan sebuah lagu, dan seperti diduga—hal ini

sudah delapan belas kali terjadi—ia akan membawakan lagu yang

sama yaitu Berkibarlah Benderaku karya Ibu Sud.

“…berkiballah bendelaku…..

“…lambang suci gagah pelwila …..

“… bergelak-bergelak! Selentak … selentak … !.

A Kiong membawakan lagu itu dengan gaya mars tanpa rasa

sama sekali. Ia memandang keluar jendela dan pikirannya tertuju

pada labu siam yang merambati dahan- dahan rendah filicium serta

buah-buahnya yang gendut-gendut bergelantungan. Ia bahkan tidak

sedikit pun memandang ke arah kami. Ia mengkhianati penonton.

Telinganya tak mendengarkan suaranya sendiri karena ia

agaknya mendengarkan suara ribut burung-burung kecil prenjak

saya pgaris yang berteriak-teriak beradu kencang dengan

suarakumbang-kumbang betina pantat kuning. Ia tak mengindahkan

jangkauan suaranya serta tak ambil pusing dengan notasi. Kali ini ia

mengkhianati harmoni.

Kami juga tak memerhatikannya bernyanyi. Lintang sibuk

dengan rumus phytagoras, Harun tertid ur pulas sambil

mendengkur, Samson menggambar seorang pria yang sedang

mengangkat sebuah rumah dengan satu tangan kiri. Sahara asyik

menyulam kruistik kaligrafi tulisan Arab Kulil Haqqu Walau Kana

Murron artinya: Katakan kebenaran walaupun pahit dan Trapani

melipat-lipat sapu tangan ibunya. Sementara itu Syahdan, aku dan

Kucai sibuk mendiskusikan rencana kami menyembunyikan sandal

Pak Fahimi (guru kelas empat yang galak itu) di Masjid Al-Hikmah.

Maharadalah orang satu-satunya yang menyimaknya. Sedangkan

Bu Mus menutup wajahnya dengan kedua tangan, beliau berusaha

keras menahan kantuk dan tawa mendengar lolongan A Kiong.

Lalu giliran aku. Tak kalah membosankan, lebih

membosankan malah. Setelah dimarahi karena selalu menyanyikan

lagu Potong Bebek Angsa , kini aku membuat sedikit kemajuan

dengan lagu baru Indonesia Tetap Merdeka karya C. Simanjuntak

yang diaransemen Damoro IS. Ketika aku mulai menyanyi Sahar

mengangkat sebentar wajahnya dari kruistiknya dan terang-terangan

memandangku dengan jijik karena aku menyanyikan lagu cepat-

tegap itu dengan nada yang berlari-lari liar sesuka hati, ke sana

kemari tanpa harmonisasi. Aku tak peduli dengan pelecehan itu dan

“…Sorak-sorai bergembira…ber gembira semua…..

“…telah bebas negeri kita…Indonesia merdeka …..

Namun, aku menyanyi melompati beberapa oktaf secara

drastis tanpa dapat kukendalikan sehingga tak ada keselarasan nada

dan tempo. Aku telah mengkhianati keindahan.

Kali ini Bu Mus sudah tak bisal agi menahan tawanya, beliau

terpingkal-pingkal sampai berair matanya. Aku berusaha keras

memperbaiki harmonisasi lagu itu tapi semakin keras aku berusaha

semakin an eh kedengarannya. Inilah yang dimaksud dengan tidak

punya bakat. Aku susah payah menyelesaikan lagu itu dan temantemanku sama sekali tak mengindahkan penderitaanku karena

mereka juga menderita menahan kantuk, lapar, dan haus di tengah

hari yang panas ini, dan batin mereka semakin tertekan karena

Bu Mus menyelamatkan aku dengan buru-buru menyuruhku

berhenti bernyanyi sebelum lagu merdu itu selesai, dan sekarang

beliau menunjuk Samson. Kenyataannya semakin parah, Samson

menyanyikan lagu yang berjudul Teguh Kukuh Berlapis Baja juga

karya C. Simanjuntak sesuai dengan citra tubuh raksasanya. Ia

menyanyikan lagu itu dengan sangat nyaring sambil menunduk

dalam dan menghentak-hentakkan kakinya dengan keras.

“…Teguh kukuh berlapis baja!.

“…rantai smangat mengikat padu!.

“…tegak benteng Indonesia!.

Tapi ia juga sama sekali tidak tahu konsep harmonisasi

sehingga ia menjadikan lagu itu seperti sebuah lagu lain yang belum

pernah kami kenal. Ia mengkhianati C.

Simanjuntak. Maka sebelum bait pertama selesai, Bu Mus

segera menyuruhnya kembali ke tempat duduk. Samson membatu,

tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya, ia terheranheran.

“mengapa aku dihentikan, Ibunda Guru …?.

Inilah yang dimaksud dengan tak punya bakat dan tak tahu

Maka seni suara adalah mata pelajaran yang paling tidak

prospektif di kelas kami. Oleh karena itu, ia ditempatkan di bagian

akhir paling siang. Fungsinya hanya untuk menunggu waktu Zuhur,

yaitu saatnya kami pulang, atua untuk sekadar hiburan bagi Bu Mus

karena dengan menyuruh kami bernyanyi beliau bisa menertawakan

kami. Pada umumnya kami memang tak bisa menyanyi. Bahkan

Lintang hanya bisa menampilkan dua buah lagu, yaitu Padamu

Negeri dan Topi Saya Bundar . Lagu tentang topi ini adlaah lagu

superringkas dengan bait yang dibalik-balik. Lintang

menyanyikannya dengan tergesa-gesa sehingga seperti rapalan agar

tugas itu cepat selesai. Adapun Trapani, sejak kelas satu SD tak

pernah menyanyikan lagu lain selain lagu Kasih Ibu Sepanjang Jalan

. Sahar menyanyikan lagu Rayuan Pulau Kelapa dengan gaya

seperti seriosa yang menurut dia sangat bagus padahal sumbangnya

Sedangkan Kucai—juga dari kelas satu SD—hanya

menampilkan dua buah lagu yang sama, kalautidak lagu Rukun

Islam ia akan menyanyikan lagu Rukun Ima n .

“Masih ada lima menit sebelum azan zuhur. Ah, masih bisa

satu lagu lagi,” kata Bu Mus sambil tersenyum simpul. Kami

memandang beliau dengan benci.

“Ibunda, kenapa tak pulang saja!.

Kami sudah mengantuk, lelah, lapar, dan haus. Siang ini

panas sekali. Burung- burung prenjak sayap garis semakin banyak

dan tak mau kalah dengan kumbang- kumbang betina pantat

kuning. Kadang-kadang mereka hinggap di jendela kelas sambil

menjerit sejadi-jadinya, menimbulkan suara bising yang

memusingkan bagi perut-perut yang keroncongan.

“Nah, sekarang giliran ….” Bu Mus memandangi kami satu

per satu untuk menjatuhkan pilihan secara acak … dan kali ini

pandangannya berhenti pada Mahar.

“Ya, Mahar, silakan ke depan anakku, nyanyikan sebuah lagu

sambil kita menunggu azan zuhur..

Bu Mus terus tersenyum mengantisipasi kekonyolan apa lagi

yang akan ditampilkan muridnya. Sebelumnya kami tak pernah

mendengar Mahar bernyanyi, karena setiap kali tiba gilirannya, azan

zuhur telanjur berkumandang sehingga ia tak pernah mendapat

Kami tidak peduli ketika Mahar beranjak. Ia menyandang

tasnya, sebuah karung kecampang, karena ia juga sudah bersiapsiapakan pulang. Kami sibuk sendiri-sendiri.

Sahara sama sekali tak memalingkan wajah dari kruistiknya,

Lintang terus menghitung, Samson masih menggambar, dan yang

lain asyik berdiskusi. Mahar melangkah ke depan dengan tenang,

anggun, tak tergesa-gesa.

Di depan kelas ia tak langsung menyanyikan lagu pilihannya,

tapi menatap kami satu per satu. Kami terheran-heran melihat

tingkahnya yang ganjil, namun tatapannya penuh arti, seperti

sebuah tatapan kerinduan dari seorang penyanyi pop gaek yang

melakukan konser khusus untuk para ibu-ibu single parent , dan

kaum ibu ini adalah para penggemar setia yang sudah amat lama

tak bersua dengan sang artis nostalgia.

Setelah memandangi kami cukup lama, ia memalingkan

wajahnya ke arah Bu Mus sambil tersenyum kecil dan menunduk,

layaknya peserta lomba bintang radio yang memberi hormat kepada

dewan juri. Mahar merapatkan kedua tangannya di dadanya seperti

seniman India, seperti orang memohon doa. Tampak jelas jari-jari

kurusnya yang berminyak seperti lilin dan ujung-ujung kukunya

yang bertaburan bekas-bekas luka kecil sehingga seluruh kukunya

hampir cacat. Sejak kelas dua SD Mahar bekerja sampingan sebagai

pesuruh tukang parut kelapa di sebuah toko sayur milik seorang

Tiongho a miskin. Tangannya berminyak karena berjam-jam

meremas ampas kelapa sehingga tampak licin, sedangkan jemari

dan kukunya cacat karena disayat gigi-gigi mesin parut yang tajam

dan berputar kencang. Mesinitu mengepulkan asap hitam dan harus

dihidupkan dengan tenaga orang dewasa dengan cara menarik

sebuah tuas berulang- ulang. Bunyi mesinitu juga merisaukan, suatu

bunyi kemelaratan, kerja keras, dan hidup tanpa pilihan. la

membantu menghidupi keluar ga dengan menjadi pesuruh tukang

parut karena ayahnya telah lama sakit-sakitan. Bu Mus membalas

hormat takzimnya yang santun dengan tersenyum ganjil. “Anak

muda ini pasti tak pandai melantun tapi jelas ia menghargai seni,\"

mungkin demikian yang ada dalam hati Bu Mus. Tapi tetap saja

beliau menahan tawa. Lalu Mahar mengucapkan semacam prolog.

“Aku akan membawakan sebuah lagu tentang cinta Ibunda

Guru, cinta yang teraniaya lebih tepatnya . ....

Tuhanku! Kami terperangah dan Bu Mus terkejut. Prolog

semacam ini tak pernah kami lakukan, dan tema lagu pilihan Mahar

sangat tak biasa. Lagu kami hanya tiga ma- cam yaitu: lagu

nasional, lagu kasidah, dan lagu anak-anak. Lagu apakah gerangan

yang akan dibawakan anak muda berwajah manis ini? Kini kami

semua memandanginya de- ngan heran, Sahara melepaskan

kruistiknya. Belum sempat kami mencerna ia menyambung kalem

dengan gaya seperti seorang bijak berpetuah.

\"Lagu ini bercerita tentang seseorang yang patah hati karena

kekasih yang sangat ia cintai direbut oleh teman baiknya sendiri .....

Mahar tercenung syahdu, tatapan matanya kosong jauh

melintasi jendela, jauh melintasi awan-awan berarakan, hidup

Bu Mus termenung ragu-ragu. Beliau menatap Mahar sambil

tersenyu m penuh tanda tanya. Hati kami juga penasaran. Lalu Bu

Mus mengamb il sebuah keputusan yang puitis.

\"Jalan ke ladang berliku-liku , jangan lewat hutan cemara,

segera nyanyikan lagumu , biar kutahu engkau merana .....

Mahar tersenyum dalam duka.

\"Terima kasih Ibunda Guru..

Mahar bersiap-siap, kami menunggu penu h keingin tahuan,

dan kami semak in takjub ketika ia membuka tasnya dan

mengeluarkan sebuah alat musik: ukulele! Suasana jadi hening dan

kemu dian perlahan-lahan Mahar memulai intro lagunya dengan

memainkan melodi ukulele yang mendayu-dayu, ukulele itu dipelu

knya dengan sendu , matanya terpejam, dan wajahnya syah du pen

uh kesed ihanyang mengharu biru, pias menahan kan rasa. Jiwanya

seolah terbang tak berada di tempat itu. Lalu dengan interlude yang

halus meluncur lah syair-syair lagu menakjubkan dalam tempo pelan

penuh nuansa duka yang dinyanyikan dengan keindahan andante

ma estoso yang tak terlu kiskan kata-kata \"...I was dancing with my

darling to the Tennesse waltz....

\"...when an old friend I happened to see... .

\"..into duced her to my love one and while they were

\"...my friend stole my sweetheart from me....

Seketika kami tersentak dalam pesona, itulah lagu Tennesse

Wa ltz yang sangat terken al karya Anne Muray, dan lagu itu

dibawakan Mahar dengan tekn ik menyanyi seindah Patti Page yang

melambungkan lagu lama itu. Ritme ukulele mengiringi vibrasi

sempurna suaranya disertai sebuah penghayatan yang luar biasa

sehingga ia tampak demik ian men derita karena kehilangan seorang

Syair demi syair lagu itu merambati dinding-dinding papan tua

kelas kami, hinggap di daun-daun kecil linaria seperti kup u-kupu

cantik thistle crescent , lalu terbang hanyut dibawa awan-awan tipis

menuju ke utara. Suara Mahar terdengar pilu merasuki relung hati

setiap orang yang ada di ruangan. Intonasinya lembut membelaibelai kalbu dan Mahar memaku hati kami dalam rasa pukau

menyaksikannya menyanyi sambil men itikkan air mata. Apa p

unyang sedang kami kerjakan terhenti karena kami telah terkesima.

Kami tersihir oleh aura seni yang terpancar dari soso kanak mu da

tampanyang menyanyi dari jiwanya, bukan hanya dari mulutnya,

sehingga lagu itu menjadi sebuah simfoni yang agung. Kami terbawa

suasana melankolis karena Mahar benar-benar mengembuskan

napas lagu itu. Rasa kantu k, lapar, dan dahaga menjadi tak terasa.

Bahkan kumbang-kumbarrg dan kawanan burung prenjak sayap gar

is menjadi senyap, berhenti menjerit-jerit demi mendengar lan

tunannya. Suhu u dara yang panas perlahan-lahan menjadi sejuk

Ketika Mahar bernyanyi seluruh alam diam menyimak. Kami

merasakan sesuatu tergerak di dalam hati bukan karena Mahar ber

nyanyi dengan tempo yang tepat, tek nik vokal yang baik, nada

yang pas, interpretasi yang benar, atau chord uku lele yang sesuai,

tapi karena ketika ia menyanyikan Tennesse Waltz kami ikut

merasakan kepedihan yang mendalam seperti kami sendiri telah

kehilangan kekasih yang p aling dicin tai. Kemampuan

menggerakkan inilah barangkali yang dimak su d dengan bakat.

Siang itu , ketika sedang menunggu azan zuhur, ternyata

seorang sen iman besar telah lahir di sekolah gudang kopra

perguruan Muhammadiyah. Mahar mengakhiri lagunya secara fade

o ut disertai linangan air mata.

“...I lost my litle darling the nig ht they were playing the

beautiful Tennesse waltz ....

Dan kami ser entak berd iri memberi standing appla use yang

sangat panjang untuknya, lima menit! Bu Mus berusaha keras

menyembunyikan air mata yang menggenang berkilauan di pelupuk

Tak dinyana, beberapa menit yang lalu , ketika Bu Mus

menunjuk Mahar secara acaku ntuk menyanyi, saat itulah nasib

menyapanya. Itulah momen nasib yang sedang bertindak selaku

Siang ini, komidi putar Mahar mulai menggelinding dalam

velositas yang bereskalasi.

Jam tangan plastik murahan

SETELAH tampil dengan lagu memukau Tennesse Waltz kami

menemukan Mahar sebagai lawan virtual rasionalitas Lintang. Ia

adalah penyeimbang perahu kelas kami yang cender ung oleng ke

kiri karena tarikan otak kiri Lintang. Sebaliknya, otak seb elah kanan

Mahar meluap-luap melimpah ruah. Mereka berdua membangun

tonggak artistik daya tarik kelas kami sehingga tak pernah

Jika Lintang memiliki level intelektualitas yang demik ian tinggi

maka Mahar memperlihatkan bakat sen i selevel dengan tingginya

inteligensia Lintang. Mahar memiliki harnpir setiapaspek kecerdasan

sen i yang tersimpan seperti persediaan amunisi kreativitas dalam

lokus-loku s di kepalanya. Kapasitas estetika yang tinggi

melahirkannya sebagai seniman serba bisa, ia seorang

pelantungurindam, sutradara teater, penulis yang berbakat, pelukis

natural, koreografer, penyanyi, pendongeng yang ulung, dan

pemain sitar yang fenomenal.

Lintang dan Mahar seperti Faraday kecil dan Warhol mungil

dalam satu kelas, atau laksana Thomas Alva Edison muda dan

Rabindranath Tagore junior yang berkumpul.

Keduanya penuh inovasi dan kejutan-kejutan kreativitas

dalam bidangnya masing- masing. Tanpa mereka, kelas kami tak

lebih dari sekumpulan kuli tambang melarat yang mencoba belajar

tulis rangkai indah di atas kertas bergaris tiga.

Dan di antara mereka berdua kami terjebak di tengah-tengah

seperti orang-orang dungu yang ditantang Columbus mendirikan

telur. Karena Lintang dan Mahar duduk berseberangan maka kami

sering menoleh ke kiri dan ke kanan dengan cepat, persis penonton

pertandingan pingpong, terkagum-kagum pada kegeniusan mereka.

Jika tak ada guru, Lintang tampil ke depan, menggambar

rangkaian teknik bagaimana membuat perahu dari pelepah sagu.

Perahu ini digerakkan baling-baling yang disambungkan dengan

motor yang diambil dari tape recorder dan ditenagai dua buah batu

baterai. Ia membuat perhitungan matematis yang canggih untuk

memanipulasi gerak mekanik motor tape dan menjelaskan kepada

kami hukum-hukum pokok hidrolik.

Perhitungan matematikanya itu dapat memperkirakan dengan

sangat akurat laju kecepatan perahu berdasarkan massanya. Aku

terpesona melihat perahu kecil itu berputar-putar sendiri di dalam

Setelah itu Mahar maju, menundukkan kepala dengan takzim

di depan kami seperti seniman istana yang ingin bersenandung atas

perkenan tuan raja, lalu dengan manis ia membawakan lagu

Leaving on a Jet Pla ne dengan gitarnya dengan ketukan-ketukan

bernuansa hadrah. Di tangan orang yang tepat musik ternyata bisa

menjadi demikian indah. Mahar juga membaca beberapa bait puisi

parodi tentang orang-orang Melayu yang mendadak kaya atau

tentang burung-burung putih di Pantai Tanjong Kelayang. Mahar

dengan aksesori-aksesori etniknya ibarat orang yang dititipi

Engelbert Humperdink suara emas dan diwarisi Salvador Dali sikapsikap nyentrik. Persahabatannya dengan para seniman lokal dan

seorang penyiar radio AM yang memiliki beragam koleksi musik

memperkaya wawasan seni dan perbendaharaan lagu Mahar.

Pada kesempatan lain Lintang mempresentasikan percobaan

memunculkan arus listrik dengan mengerak-gerakkan magnet secara

mekanik dan menjelaskan prinsip- prinsip kerja dinamo. Mahar

memperagakan cara membuat sketsa-sketsa kartun dan cara

menyusun alur cerita bergambar. Lintang menjelaskan aplikasi

geometri dan aero- dinamika dalam mendesain layangan, Mahar

menceritakan kisah yang memukau tentang bangsa-bangsa yang

punah. Pernah juga Lintang menyusun potongan-potongan kaca

yang dibentuk cekung seperti parabola dan menghadapkannya ke

arah matahari agar mendapatkan suhu yang sangat tinggi,

rancangan energi matahari katanya. Sebaliknya Mahar tak mau

kalah, ia menggotong sebuah meja putar dan mendemonstrasikan

seni membuat gerabah yang indah, teknik-teknik melukis gerabah

Lintang memperagakan cara kerja sekstan dan menjelaskan

beberapa perhitungan matematika geometris dengan alat itu,

Mahar membaca puisi yang ditulisnya sendiri dengan judul Doa dan

dibawakan secara memukau dengan gaya tilawatil Qur'an, belum

pernah aku melihat orang membaca puisi seperti itu.

Kadang kala mereka berkolaborasi, misalnya Mahar

menginginkan sebuah gitar elektrik yang gampang dibawa seperti tas

biasa, sehingga tak merepotkan jika naik sepeda, maka Lintang

datang dengan sebuah desain produk yang belum pernah ada

dalam industri instrumen musik, yaitu desain stang gitar yang

dipotong lalu dipasangi semacam engsel sehingga terciptalah gitar

yang bisa dilipat. Sungguh istimewa. Sudah banyak aku melihat

keanehan di dunia pentas—misalnya pemain biola yang ketiduran

ketika sedang manggung, panggung yang roboh, musisi yang

menghancurkan alat-alat musik, pemain gitar yang kesetrum,

seorang pria midland yang makan kelelawar, atau orang-orang

kampung yang meniru-niru Mick Jagger—tapi gitar dilipat sehingga

menjadi seperti papan catur, baru kali ini aku saksikan. Dan jika

Mahar dan Lintang beraksi, kami berkumpul di tengah-tengah kelas,

bertumpuk-tumpuk kegirangan, terbuai keindahan, dan

menggumamkan subhanallah berulang-ulang, atas dua macam

kepintaran meng- asyikkan yang dianugerahkan Ilahi kepada

Mahar sangat imajinatif dan tak logis—seseorang dengan

bakat seni yang sangat besar. Sesuatu yang berasal dari Mahar

selalu menerbitkan inspirasi, aneh, lucu, janggal, ganjil, dan

menggoda keyakinan. Namun, mungkin karena otak sebelah

kanannya benar- benaraktif maka ia menjadi pengkhayal luar biasa.

Di sisi lainia adalah magnet, simply irresistable! Ia penggemar berat

dongeng-dongeng yang tidak masuk akal dan segala sesuatu yang

berbau paranormal. Tanyalah padanya hikayat lama dan mitologi

setempat, ia hafal luar kepala, mulai dari dongeng naga-naga

raksasa Laut Cina Selatan sampai cerita raja berekor yang

diyakininya pernah menjajah Belitong.

Ia sangat percaya bahwa alien itu benar-benarada dan suatu

ketika nanti akan turun ke Belitong menyamar sebagai mantri suntik

di klinik PN Timah, penjaga sekolah, muazin di Masjid Al-Hikmah,

atau wasit sepak bola. Dalam keadaan tertentu ia sangat konyol

misalnya ia menganggap dirinya ketua persatuan paranormal

internasional yang akan memimpin perjuangan umat manusia

mengusir serbuan alien dengan kibasan daun- daun beluntas.

Aku ingat kejadian ini, suatu ketika untuk nilai raporakhir

kelas enam, Bu Mus yang berpendirian progresif dan terbuka

terhadag ide-ide baru, membebaskan kami ber- ekspresi. Kami

diminta menyetor sebuah master piece , karya yang berhak

mendapat tempat terhormat, dipajang di ruang kepala sekolah.

Maka esoknya kami membawa ce- lengan bebek dari tanah liat dan

asbak dari cetakan lilin. Sebagian lainnya membawa replika rumah

panggung Melayu dari bahan perdu apit-apit dan simpai dari jalinan

rotan untuk mengikat sapu lidi. Trapani menyetorkan peta Pulau

Belitong yang dibuat dari serbuk kayu. Syahdan membuat karya

yang persis sama tapi bahannya bubur koran, jelek sekali dan busuk

Harun menyetorkan tiga buah botol bekas kecap, itu saja,

botol kecap! Tak lebih tak kurang. Aku sendiri hanya mampu

membuat tirai dari biji-biji buah berang yang di- kombinasikan

dengan tali rapiah yang digulung kecil-kecil. Setiap tiga buah biji

berang berarti satu ketupat kecil tali rapiah berwarna-warni. Sebuah

karya norak yang sangat tidak berseni.

Tapi masih mending. A Kiong membuat lampion tanpa

perhitungan akal sehat.

Ketika dinyalakan lampion itu terbakar berkobar-kobar

sehingga dengan terpaksa, demi keamanan, Samson melemparkan

benda itu keluar jendela. Padahal A Kiong tak tidur barang sepicing

pun membuatnya. Karena karya kami sangat tidak memuaskan,

kami semua mendapat nilai tak lebih dari angka 6,5 . Sungguh tak

sebanding dengan jerih payah yang dikeluarkan.

Amat berbeda dengan Mahar. Ia datang membawa sebuah

bingkai besar yang ditutupi selembar kain hitam. Kami sangka ia

membuat sebuah lukisan. Tapi setelah kainitu pelan-pelan dilucuti,

sangat mengejutkan! Di baliknya muncul semacam cetakan

tenggelam di atas batu apung. C etakan kerangka seekor makhluk

purbakala yang sangat janggal dan mengesankan sangat buas.

Makhluk ini bukan acanthopholis , sauropodomorphas , kera

anthropoid , dinosaurus atau saurus-saurus semacamnya, dan

bukan pula makhluk-makhluk prasejarah seperti yang telah kita

kenal. Sebaliknya, Mahar membuat sebuah cetakan fosil kelelawar

raksasa semacam Palaeochiropterxy tupaiodon tapi dengan bentuk

yang dimodifikasi sehingga tampak ganjil dan mengerikan. Anatomi

makhluk itu tentu tak pernah teridentifikasi oleh para ahli karena ia

hanya ada di kepala Mahar, di dalam imajinasi seorang seniman.

Fosil di atas batu apung tipis itu dibuat begitu orisinal sehingga

mengesankan seperti temuan paleontologi yang autentik. Ia

menggunakan semacam lapisan karbon untuk memperkuat kesan

purba pada setiap detail fosil itu. Lalu karyanya dibingkai dengan

potongan-potongan balak lapuk yang sudut-sudutnya diikat tali p

ohon jawi agar kesan purbanya benar-b enar terasa.

\"Inilah seni, Bung!\" khotbahnya di hadapan kami yang

terkesima. Gayanya seperti pesulap sehabis membuka genggaman

tangan untuk memperlihatkan burung merp ati.

Dan ia mendapat angka sembilan, tak ada lawannya. Angka

itu adalah nilai kesenian tertinggi yang pernah dianugerahkan Bu

Mus sepanjang karier mengajarnya.

Bahkan Lintang sekalipun tak berkutik.

Imajinasi Mahar meloncat-loncat liaramat mengesankan.

Sesungguhnya, seperti Lintang, ia juga sangat cerdas, dan aku

belum pernah menjumpai seseorang dengan kecerdasan dalam

genre seperti ini. Ia tak pernah kehabisan ide. Kreativitasnya tak

terduga, unik, tak biasa, memberontak, segar, dan menerobos.

Misalnya, ia melatih kera peliharaannya sedemikian rupa sehingga

mampu berperilaku layaknya seorang instruktur.

Maka dalam sebuah penampilan, keranya itu

memerintahkannya untuk melakukan sesuatu yang dalam

pertunjukan biasa hal itu seharusnya dilakukan sang kera. Sang kera

dengan gaya seorang instruktur menyuruh Mahar bernyanyi,

menari-nari, dan berakrobat.

Mahar telah menjungkirbalikkan paradigma seni sirkus, yang

menurutku merupakan sebuah terobosan yang sangat genius.

Pada kesempatan lain Mahar bergabung dengan grup rebana

Masjid Al-Hikmah dan mengolaborasikan permainan sitar di

dalamnya. Jika grup ini mendapat tawaran mengisi acara di sebuah

hajatan perkawinan, para undangan lebih senang menonton mereka

daripada menyalami kedua mempelai.

Mahar pula yang membentuk sekaligus menyutradarai grup

teater kecil SD Muhammadiyah. Penampilan favorit kami adalah

cerita perang Uhud dalam episode Siti Hindun. Dikisahkan bahwa

wanita pemarah ini mengupah seorang budak untuk membunuh

Hamzah sebagai balas dendam atas kematian suaminya. Setelah

Hamzah mati wanita itu membelah dadanya dan memakan hati

panglima besar itu. A Kiong memerankan Hamzah, dan Sahara

sangat menikmati perannya sebagai Siti Hindun. Juga karena

inisiatif Mahar, akhirnya kami membentuk sebuah grup band . Alatalat musik kami adalah electone yang dimainkan Sahara, standing

bass yang dibetot tanpa ampun oleh Samson, sebuah drum, tiga

buah tabla , ser ta dua buah rebana yang dipinjam dari badan amil

Pemain rebana adalah aku dan A Kiong. Mahar

menambahkan kendang dan seruling yang dimainkan secara

sekaligus oleh Trapani melalui bantuan sebuah kawat agar seruling

tersebut dapat dijangkau mulutnya tanpa meninggalkan kendang itu.

Maka pada aransemen tertentu Trapani leluasa menggunakan

tangan kanannya untuk menabuh kendang sementara jemari tangan

kirinya menutu p-nutup enam lubang seruling. Sebuah

pemandangan spektakuler seperti sirkus musik. Setiap wanita muda

dipastikan bertekuk lutut, terbius seperti orang mabuk sehabis

kebanyakan makan jengkol jika melihat Trapani yang tampan

berimprovisasi. Trapani adalah salah satu daya tarik terbesar band

kami. Hanya ada sedikit masalah, yaitu ia mogok tampil jika ibunya

Insiden sempat terjadi pada awal pembentukan band ini

karena Harun bersikeras menjadi drumer padahal ia sama sekali

buta nada dan tak paham konsep tempo.

. \"Dengarkan musiknya, Bang, ikuti iramanya,\" kata Mahar

\"Drum itu tak bisa kauperlakukan semena-mena..

Setelah dimarahi seperti itu biasanya Harun tersenyum kecil

dan memperhalus tabuhannya. Tapi itu tak berlangsung lama.

Beberapa saat kemudian, meskipun kami sedang membawakan

irama bertempo pelan nan syahdu, misalnya lagu Semenanjung Tak

Seinda h Wajah yang syairnya bercerita tentang seorang pria

Melayu duafa meratapratap karena ditipu kekasihnya, Harun

kembali menghantam drum itu sekuat ten aganya seperti

memainkan lagu rock Deep Purple yang berjudul Burn . Dan ia

sendiri tak pernah tahu kapan harus berhenti. la hanya tertawa riang

dan menghantam drum itu sejadi-jadinya.

Mahar tetap sabar menghadapi Harun dan berusaha

menuntunnya pelan-pelan, namun akhirnya kesabaran Mahar habis

ketika kami membawakan lagu Ligh t My Fire milik The Doors. Di

sepanjang lagu yang inspiratif itu Harun menghajar hith at , tenor

drum , simbal , serta menginjak-injak pedal bass drum sejadijadinya. Dengan stik drum ia menghajarapa saja dalam

jangkauannya, persis drumer Tarantula melakukan end fill untuk

menutup lagu rock dangdut Wakuncar .

\"Dengar kata adikmu ini, Abangda Harun, kalau Abang

bermain drum seperti itu bisa-bisa Jim Morrison melompat dari liang

Diperlukan waktu berhari-hari dan permen asam jawa hampir

setengah kilo untuk membujuk Harun agar mau melepaskan jabatan

sebagai drumer dan menerima promosi jabatan baru sebagai tukang

pikul drum itu ke mana pun kami tampil.

Maharadalah pen ata musik setiap lagu yang kami bawakan

dan racun pada setiaparansemennya menyengat ketika ia

memainkan melodi dengan sitarnya. Ia berimprovisasi, berdiri di

tengah pertunjukan, dan dengan wajah demikian syahdu ia

mengekspresikan setiap denting senar sitar yang bercerita tentang

daun-daun pohon bintang yang melayang jatuh di permukaan

Sungai Lenggang yang tenang lalu hanyut sampai jauh ke muara,

tentang angin selatan yang meniup punggung Gunung Selumar,

berbelok dalam kesenyapan Hutan Jangkang, lalu menyelinap

diam-diam ke perkampungan. Ah, indahnya, pria muda ini memiliki

konsep yang jelas bagaimana seharusnya sebuah sitar berbunyi.

Maharadalah arranger berbakat dengan musikalitas yang

nakal. Ia piawai memilih lagu dan mengadaptasikan karakter lagu

tersebut ke dalam instrumen-instrumen kami yang sederhana.

Misalnya pada lagu Owner of a Lonely Heart karya group rock Yess.

Mahar mengawali komposisinya dengan intro permainan solo

tabla yang menghentak bertalu-talu dalam tempo tinggi. Ia

mengajari Syahdan menyelipkan-nyelipkan wana tabuhan Afrika

dan padang pasir pada fondasi tabuhangaya suku Sawang. Sangat

Gebrakan solo Syahdan seumpama garam bagi mereka yang

darah tinggi: berbahaya, beracun, dan memicu adrenalin. Syahdan

mengudara sendirian dengan letupan-letupan yang menggairahkan

sampai beberapa bar. Lalu Syahdan menurunkan sedikit tempo

bahana tabla -nya dan pada momen itu, kami—para pemain rebana

dan dua pemain tabla lainnya-pelan-pelan masuk secara elegan

mendampingi suara tabla Syahdan yang surut, namun tak lama

kemudian kembali bereskalasi menjadi tempo yang semakin cepat,

semakingarang, semakingan as memuncak . Kami mengh antam

tabuh- tabuhan ini sekuat ten aga dengan tempo secepat-cepatnya

beserta semangat Spartan, para penonton menahan napas karena

berada dalam tekanan puncakekstase, lalu tepat pada pun cak

kehebohan, suara alat-alat perkusi ini secara mendadak kami

hentikan , tiga detik yang diam, lengang, sunyi, dan senyap. Ketika

penonton mulai melep askan kembali napas panjangnya dengan

penuh kenyamanan perlahan-lahan hadirlah dentingan sitar Mahar

menyambut perasaan damai itu. Mahar melantunkan dawai sitar

sendirian dalam nada-nada minor nan syah du bergelombang

seperti buluh perindu.

Pilihan nada ini demikian indah hingga terdeng ar laksana

aliran sungai-sungai di bawah taman surga. Dada terasa lapang

seperti memandang laut lepas landai tak bertepi di sebuah sore yang

Pada bagian ini b iasanya penonton menghambur ke bibir

panggung. Lalu Mahar meningkahi sitar dengan in tonasi naik turun

dalam jangkauan hamp ir empat oktaf.

Dengan gaya India klasik, Mahar berimp rovisasi. Ia

memainkan sitar dengan sepenuh jiwa seolah eso k ia telah punya

janji pasti dengan malaikat maut. Matanya terpejam mengikuti alur

skala min or yang menyentuh langsung bagian terindah dari alam

bawah sadar manusia yang mamp u menikmati sari p ati manisnya

musik. Jemarinya yang kurus panjang mengaduk-aduk senar sitar

dengan teknik yang memu kau. Ia menyerahkan segenap jiwa

raganya, terbang dalam daya bius melodi mu sik.

Suara sitar itu menyayat-nyayat, berderai-derai seperti hati

yang sepi, meraung- raung seperti jiwa yang tersesat karena khianat

cinta, merintih seperti arwah yang tak diterima bu mi. Rendah,

tinggi, pelan, kencang, berbisik laksana awan, marah laksan a to

pan, memekakkan laksana ledakangunung berapi, lalu diam tenang

laksana danau di tengah rimba raya. Semakin lama semakin keras

dan semakin cepat, kembali memun cak , semakin lama semakin

tinggi dan pada titik nadirnya Trapani serta-merta menyambut

dengan sorak melengking melalui tiupan seruling, panjang, satu no t,

menjerit-jerit nyaring pada tingkat nada tertinggi yang dapat dicapai

seruling bambu tradison al itu.

Mereka ber dua bertanding, berlomba-lomba meninggikan

nada dan mengeraskan suara instrumen masing-masing. Mereka

seperti seteru lama yang menanggungkan dendam membara,

seruling clan sitar saling menggertak, menghardik, dan memb entak

galak . .. namun dengan harmoni yang terpelihara rapi. Tiba-tiba,

amat mengejutkan, sama sekali tak terd uga, secara mendadak

mereka br ea k! Tiga detik diam. Setelah itu serta-merta datang

menyerbu, menyalak galak, menghambur masuk bertalu-talu

seluruh suara alat musik: drum, sta n ding bass , seluruh ta bl a ,

sitar, seruling, seluruh r eban a, dan electone sekeras-kerasnya.

Tepat pada puncak bahana seluruh alat musik secara mendadak

kami b rea k lagi, satu detik diam, napas penonton tertahan, lalu

pada detik kedua Mahar melon cat seperti tupai, merebut mikrofon

dan langsung menjerit-jerit menyanyikan lagu Ow n er of a Lonel y

Hea rt dalam nada tinggi yang terkendali. Para penonton histeris

dalam sensasi, kemudian tubuh mereka terpatah-patah mengikuti

hentakan-hentakan staccato yang dinamis sepanjang lagu itu.

Inilah musik, kawan. Musik yang dibawakan dengan sepenuh

kalbu. Mahar menekankan konsep akustik dalam komposisi ini,

misalnya dengan mengambil gaya piano grand pada electone

dengan tambahan sedikit efek sustain . Keseluruhan komposisi dan

konsep ini ternyata menghasilkan interpretasi yang unik terhadap

lagu Owner of a Lonely Heart . Kami yakin sedikit banyak kami

telah berhasil menangkap semangat lagu itu, termasukesensi

pesannya, yaitu hati yang sepi lebih baik dari hati yang patah,

seperti dimaksudkan orang-orang hebat dalam grup Yess.

Maka tak ayal lagu rock modern tersebut adalah master piece

penampilan kami selain sebuah lagu Melayu berjudul Patah Kemudi

karya Ibu Hajah Dahlia Kasim.

Mahar juga adalah seorang seniman idealis. Pernah sebuah

parpol ingin memanfaatkangrup kami yang mulai kondang un tuk

menarik massa melalui iming-iming uang dan berbagai mainan

anak-anak, Mahar men olak mentah -mentah.

\"Orang-orang itu sudah terkenal dengan tabiatnya

menghamburkan janji yang tak'kan ditepatinya,\" demikian Mahar

berorasi di tengah-tengah kami yang duduk meling- kar di bawah

filicium . Jarinya menunjuk-nunjuk langit seperti seorang

koordinator demonstrasi.

\"Kita tidak akan pernah menjadi bagian dari segerombolan

penipu! Sekolah kita adalah sekolah Islam bermartabat, kita tidak

akan menjual kehormatan kita demi sebuah jam tangan plastik

Mahar demikian berapi-api dan kami bersorak-sorai

mendukung pendiriannya. Dan mungkin karena kecewa kepada

para pemimpin bangsa maka Mahar memberi sebuah nama yang

sangat memberi inspirasi untuk band kami, yaitu: Republik Dangdut.

Maharadalah Jules Verne kami. la penuh ide gila yang tak

terpikirkan orang lain, walaupun tak jarang idenya itu absurd dan

lucu. Salah satu contohnya adalah ketika ketua RT punya masalah

dengan televisinya. TV hitam putih satu-satunya hanya ada di

rumah beliau dan tidak bisa dikeluarkan dari kamarnya yang sempit

karena kabel antenanya sangat pendek dan ia kesulitan

mendapatkan kab el untuk memperpanjangnya. Kab el itu

tersambung pada antena di puncak pohon randu. Keadaan

mendesak sebab malam itu ada pertandingan final badminton All

Englandantara Svend Pri melawan Iie Sumirat. Begitu banyak

penonton akan hadir, tapi ruangan TV sangat sempit. Sejak sore

Pak Ketua RT takenak hati karena banyak handai taulan yang akan

bertamu tapi tak 'kan semua mendapat kesempatan menonton

pertandingan seru itu.

Ketika beliau berkeluh kesah pada kepala sekolah kami, maka

Mahar yang sudah kondang akal dan taktiknya segera dipanggil dan

ia muncul dengan ide ajaib ini: \"Gambar TV itu bisa dipantulpantulkan melalui kaca, Ayahanda Guru,\" kata Mahar berbinarbinar dengan ekspresi lugunya.

Pak Harfan melonjak girang seperti akan meneriakkan

\"eureka!\" Maka digotonglah dua buah lemari pakaian berkaca besar

ke rumah ketua. Lemari pertama diletakkan di ruang tamu dengan

po sisi frontal terhadap layar TV dan ruangan itu paling tidak

menampung 17 orang. Sedangk an lemari kedua ditempatkan di

beranda. Lemari kaca kedua diposisikan sedemikian rupa sehingga

:dapat menangkap gambar TV dari lemari kaca pertama. Ada sekitar

20 orang menonton TV melalui lemari kaca di beranda.

Tak ada satu pun penonton yang tak kebagian melihat aksi Iie

Sumirat. Penonton merasa puas dan benar-benar menonton dari

layar kaca dalam arti sesungguhnya.

Meskipun Svend Pri yang kidal di layar TV menjadi normal di

kaca yang pertama dan kembali menjadi kidal pada layar lemari

kaca kedua. Menurutku inilah ide paling revolusioner, paling lucu,

dan paling hebat yang pernah terjadi pada dunia penyiaran.

Aku rasa yang dapat menandingi ide kr eatif ini hanya

penemuan remo te contr ol beberapa waktu kemudian.

Kepada majelis penonton TV yang terhormat Pak Harfan

berulang kali menyampaikan bahwa semua itu adalah ide Mahar,

dan bahwa Mahar itu adalah muridnya. Murid yang

dibanggakannya habis-habisan.

Sayangnya, seperti banyak dialami seniman hebat lainnya,

mereka jarang sekali mendapat perhatian dan penghargaan yang

memadai. Gaya hidup dan pemikiran mereka yang mengawangawang sering kali disalahartikan. Misalnya Mahar, kami sering

menganggapnya manusia aneh, pembual, dan tukang khayal yang

tidak dapat membedakan antara realitas dan lamunan.

Keadaan ini diperparah lagi dengan ketidakmampuan kami

mengapresiasi karya- karya seninya. Sehingga beberapa karya

hebatnya malah mendapat cemo ohan. Kenya- taannya adalah

kami tidak mampu menjangkau daya imajinasi dan pesan-pesan

abstrak yang ia sampaikan melalui karya-karya tersebut. Kami selalu

membesar -besarkan ke- kurangannya ketika sebuah

pertunjukangagal total, tapi jika berhasil kami jarang ingin

memujinya. Mungkin karena masih kecil, maka kami sering tidak

PAPILIO blumei , kupu-kupu tropis yang men awan berwarna

hitam bergaris biru-hijau itu mengunjungi pucuk filicium . Kehadiran

mereka semakin cantik karena kehadiran kupu- kupu kuning

berbintik metalik yang disebut pure clouded yellow . Mereka dan

lidah atap sirap cokelat yang rapuh menyajikan komposisi warna

kontras di atas sekolah Muhammadiyah. Dua jenis bidadari taman

itu melayanglayang tanpa bobot bersukacita.

Tak lama kemudian, seperti tumpah dari langit, ikut

bergabung kupu-kupu lain, danube clouded yellow .

Hanya para ahli yang dapat membedakan pure clouded

yellow dengan danube clouded yellow , berturut-turut nama latin

mereka adalah Colias crocea dan Colias myrmidone . Di mata

awam kecantikan mereka sama: absolut, dan hanya dapat

dibayangkan melalui keindahan namanya. Keduanya adalah si

kuning berawan yang memesona laksana Danau Danube yang

melintasi Eropa: sejuk, elegan, dan misterius.

Berbeda dengan tabiat unggas yang cenderung agresif dan

eksibisionis, makhluk- makhluk bisu berumur pendek ini bahkan tak

tahu kalau dirinya cantik. Meskipun jumlahnya ratusan, tapi kepak

sayapnya senyap dan mulut mungil indahnya diam dalam

kerupawanan yang melebihi taman lotus. Melihat mereka rasanya

aku ingin menulis puisi.

Saat ratusan pasang danube clouded yellow berpatroli

melingkari lingkaran daun- daun filicium , maka mereka menjelma

menjadi pasir kuning di Dermaga Olivir. Sayap- sayap yang

menyala itu adalah fatamorgana pantulan cahaya matahari,

berkilauan di atas.butiran-butiran ilmenit yang terangkat ab rasi.

Sebuah daya tarik Belitong yang lain, pesona pantai dan kekayaan

material tambang yang menggoda.

Kupu-kupu clouded yellow dan Papilio blumei saling

bercengkrama dengan harmonis seperti sebuah reuni besar bidadari

penghuni berbagai surga dari agama yang berbeda-beda. Jika

diperhatikan dengan saksama, setiap gerakan mereka, sekecil apa

pun, seolah digerakkan oleh semacam mesin keserasian. Mereka

adalah orkestra warna , dengan insting sebagai konduktornya. Dan

agaknya dulu memang telah diatur jauh-jauh hari sebelum mereka

bermetamorfosis, telah tercatat di Lauhul Mahfuzh saat mereka

masih meringkuk berbedak-bedak tebal dalam gulungan- gulungan

daun pisang, bahwa sore ini mereka akan menari-nari di pucukpucuk filicium , bersenda gurau, untuk memberiku pelajaran tentang

Kupu-kupu ini sering melakukan reuni setelah hujan lebat.

Sayangnya sore ini, pemandangan seperti butiran-butiran cat

berwarna-warni yang dihamburkan dari langit itu serentak bubar

dan harmoni ekosistem hancur berantakan karena serbuan sepuluh

sosok Homo sapiens. Makhluk brutal ini memanjati dahan-dahan

filicium, bersoraksorai, dan bergelantungan mengklaim dahannya

masingmasing. Kawanan itu dipimpin oleh setan kecil bernama

Kucai. Berada pada posisi puncak rantai makanan seolah

melegitimasi kecenderungan Homo sapiens untuk merusak tatanan

Kucai mengangkangi dahan tertinggi, sedangkan Sahara, satusatunya betina dalam kawanan itu, bersilang kaki di atas dahan

terendah. Pengaturan semacam itu tentu bukan karena budaya

patriarki begitu kental dalam komunitas Melayu, tapi semata-mata

karena pakaian Sahara tidak memungkinkan ia berada di atas kami.

Ia adalah muslimah yang menjaga aurat rapat-rapat.

Kepentingan kami tak kalah mendesak dibanding keperluan

kaum unggas, fungi, dan makhluk lainnya terhadap filicium karena

dari dahan-dahannya kami dapat dengan leluasa memandang

Kami sangat menyukai pelangi. Bagi kami pelangi adalah

lukisan alam, sketsa Tuhan yang mengandung daya tarik men

cengangkan. Tak tahu siapa di antara kami yang pertama kali memu

lai hobi ini, tapi jika musim hujan tiba kami tak sabar menunggu

kehadiran lukisan langit menakjubkan itu. Karena kegemaran

kolektif terhadap pelangi maka Bu Mus menamai kelompok kami

Sore ini, setelah hujan lebat sepanjang hari, terbentang

pelangi sempurna, setengah lingkaran penuh , terang benderang

dengan enam lapis warna. Ujung kanannya berangkat dari Muara

Genting seperti pantulan permadani cermin sedangkan ujung kirinya

tertanam di kerimbunan hu tan pinus di lereng Gunung Selu mar .

Pelangi yang menghunjam di daratan ini melengkung laksana jutaan

bidadari berkebaya war na-warn i terjun menukik ke sebuah danau

terpencil, bersembunyi malu karena kecantikannya.

Kini filicium men jadi gaduh karena kami bertengkar

bertentangan pen dapat tentang panorama ajaib yang terb entang

melingkupi Belitong Timur. Berbagai versi cerita mengenai pelangi

menjadi debat kusir. Dongeng yang paling seru tentu saja dikisah

kan oleh Mahar. Ketika kami mendesak nya ia sempat ragu -ragu.

Pandangan matanya mengisyaratkan bahwa: kalian tidak akan bisa

men jaga informasi yang sangat penting ini! Dia diam demi

membuat pertimbangan serius, namun akhirnya ia menyerah, bukan

kepada kami yang memohon tapi kepada hasratnya sendiri yang tak

terkekang untuk membual.

\"Tahukah kalian ...,\" katanya sambil memandang jauh.

\"Pelangi sebenarnya adalah sebuah lorong waktu!\" Kami

terdiam, suasana jadi bisu , terlen a khayalan Mahar. - \"Jika kita

berhasil melintasi pelangi maka kita akan bertemu dengan orangorang Belitong tempo dulu dan n enek moyang orang-orang

Wajahnya tampak menyesal seperti baru saja membongkar

sebuah rahasia keluarga yang terdalam dan telah disimpan tujuh

turunan . Lalu dengan nada terpak sa ia melanjutkan, \"Tapi jangan

sampai kalian bertemu dengan orang Belitong p rimitif dan leluh ur

Sawang itu , karena mereka itu adalah kaum kanibal ...!!.

Sekarang wajahnya pasrah. A Kiong menutup mulutnya

dengan tangan dan hampir saja tertungging dari dahan karena

melepaskan pegangan. Sejak kelas satu SD, A Kiong adalah

pengikut setia Mahar. Ia percaya-dengan sep enuh jiwa-apa p

unyang dikatakan Mahar. Ia memposisikan Mahar sebagai seorang

suhu dan penasihat sprir itual. Mereka berdua telah menasbihkan

diri sendiri dalam sebuah sek te ketololan kolektif.

Demi mendengar kisah Mahar, Syahdan yang bertengger

persis di belakang pendongeng itu dengan gerakan sangat takzim,

tanpa diketahui Mahar, menyilangkan jari di atas keningnya dan

mengesek-gesekkannya beberapa kali. Mahar tidak mengerti apa

yang sedang terjadi di belakangnya. Sakit perut kami menahan tawa

melihat kelakuan Syah dan. Baginya Mahar sudah tak waras.

Lintang menepuk-nepuk punggung Mahar, menghargai

ceritanya yang menakjubkan, tapi ia tersenyum simpul dan purapura batuk untuk menyamarkan tawanya. Kami terus memandangi

keindahan pelangi tapi kali ini kami tak lagi berdebat.

Kami diam sampai matahari membenamkan diri. Azan magrib

menggema dipantulkan tiang-tiang tinggi rumah panggung orang

Melayu, sahut-menyahut dari masjid ke masjid.

Sang lorong waktu perlahan hilang ditelan malam. Kami

diajari tak bicara jika azan berkumandang.

\"Diam dan simaklah panggilan menuju kemenangan itu ...,\"

KAMI orang-orang Melayu adalah pribadi-pribadi sederhana

yang memperoleh kebijakan hidup dari para guru mengaji dan

orang-orang tua di surau-surau sehabis salat magrib. Kebijakan itu

disarikan dari hikayat para nabi, kisah Hang Tuah, dan rima-rima

gurindam. Ras kami adalah ras yang tua.

Malay atau Melayu telah dikenal Albert Buffon sejak lampau

ketika ia mengidentifikasi ras-ras besar Kau kasia, Negroid, dan

Meskipun banyak antropolog berp endapat bahwa ras Melayu

Belitong tidak sama dengan ras Malay versi Buffon- dengan kata lain

kami sebenarnya bukan orang Melayu—tapi kami tak membesar

besarkan pendapat itu. Pertama karena orang-orang Belitong tak

paham akan hal itu dan kedua karena kami tak memiliki semangat

primordialisme. Bagi kami, orang-orang sepan jang pesisir selat

Malaka sampai ke Malaysia adalah Melayu- atas dasar ketergilagilaan mereka pada irama semenanjung, dentaman rebana, dan

pantun yang sambut: menyambut-bukan atas dasar bahasa,

warnakulit, kepercayaan, atau struktur bangun tulang-belulang.

Kami adalah ras egalitarian.

Aku melamun merenungkan cerita Mahar. Aku tak tertarik

dengan lor ong waktu, tapi terpancang pada ceritanya tentang

orang-orang Belitong tempo dulu. Minggu lalu ketika sedang

memperbaiki sound system di masjid, demi melihat kabel centang

perenang yang dianggapnya benda ajaib zaman baru, muazin kami

yang telah berusia 70 tahun menceritakan sesuatu yang membuatku

Cerita itu adalah tentang kakek beliau yang sempat bercerita

kepadanya bahwa orangtua kakeknya itu, berarti mbah buyut atau

datuk muazin kami, hidup berkelompok mengembara di sepanjang

pesisir Belitong. Mereka berpakaian kulit kayu dan mencari makan

dengan cara menombak binatang atau menjeratnya dengan akarakar pohon.

Mereka tidur di dahan-dahan pohon santigi untuk

menghindari terkaman binatang buas.

Kala bulan purnama mereka menyalakan api dan memuja

bulan serta bintang gemintang.

Aku merinding memikirkan betapa masih dekatnya komunitas

kami dengan kebudayaan primitif.

\"Kita telah lama bersekutu dengan orang-orang Sawang.

Mereka adalah pelaut ulung yang hidup di perahu. Suku itu

berkelana dari pulau ke pulau. Di Teluk Balok leluhur kita menukar

pelanduk, rotan, buah pinang, dan damar dengan garam buatan

wanita-wanita Sawang . .., \" cerita muazinitu .

Seperti ikan yang hidup dalam akuarium, selatiasa lupa akan

air , begitu lah kami. Sekian lama hidup berdampingan dengan

orang Sawang kami tak menyadari bahwa mereka sesungguhnya

sebuah fenomena antro pologi. Dibanding orang Melayu pen

ampilan mereka amat berb eda. Mereka seperti orang-orang

Kulit gelap, rahang tegas, mata dalam, p andangan tajam,

bidang kening yang semp it, str uktur tengkorak seperti suku Teuton,

dan berambut kasat lurus sep er ti sikat.

PN Timah mempekerjakan suku masku linini sebagai buruh yu

ka, yaitu penjahit karung timah , pekerjaan strata terendah di

gudang beras. Dan mereka bahagia dengan sistem pembayaran

setiap hari Senin. Su lit dikatakan uang itu akan bertahan sampai

Rabu. Tak ada kepelitan mengalir dalam pembuluh daraharang

Sawang. Mereka memb elanjakan uang seperti tak ada lagi hari esok

dan berutang seperti akan hidup selamanya.

Karena kekacauan perso alan manajemen keuang an ini,

orang Sawang tak jarang menjadi korban stereotip di kalangan

mayoritas Melayu. Setiap perilaku min us takayal langsung

diasosiasikan dengan mereka. Diskredit ini adalah refleksi sikap disk

riminatif sebagian orang Melayu yang takut direbut pekerjaan nya

karena malas bekerja kasar. Sejarah men unjuk kan bahwa orang -

orang Sawang memiliki integ ritas, mereka hidu peksk lusif dalam

komunitasnya sen diri, tak usil dengan ur usan orang lain , memiliki

eto s kerja ting gi, jujur , dan tak per nah berurusan dengan hu kum.

Lebih dari itu, mereka tak pern ah lari dari u tang- utangnya.

Orang Sawang senang sekali memarginalkan diri s end ir i.

Itulah sifat alamiah mereka. Bagi mereka hid up ini hanya terd iri

atas mandor yang mau membayar mereka setiap minggu dan

pekerjaan kasar yang tak sang gup dikerjakan suku lain.

Mereka tak memahami kon sep aristo krasi karenakultur

mereka tak mengenal power distance . Orang yang tak memaklumi

hal ini akan menganggap mereka tak tahu tata krama. Satu-satunya

manusia terhormat di antara mereka adalah sang kepala suku,

seorang shaman s ekalig us du kun , dan jabatan itu sama sekali

PN memukimkan orang Sawang di Sebuah rumah panjang

yang ber sekat- sekat. Di situ hidup 3 0 kepala keluarga.Tak ada

catatanpasti dari mana mereka berasal. Mungkin kah mereka belum

terpetak an oleh para antro polog? Tahu kah para pembuat

kebijakan bahwa tingkat kelah iran mereka amat rendah sedangkan

mortalitasnya begitu tinggi sehingg a di ru mah panjang hanya

tertinggal b eberapa keluarga yang berdarah mur ni Sawang? Akan

kah bahasa mereka yang indah hilang ditelan zaman?

TAMBANG hitam terbentang cekung di atas permukaan air

berwarna cokelat yang bergelora. Ujung tambang yang diikat

dengan sepotong kayu bercabang tersangkut ke sebuah dahan kar et

tua yang rapuh di tengah aliran sungai. Tadi Samson yang telah

melemparkannya dengan gugup. Hampir tujuh belas meter jarak

antara tepian sungai dan dahan karet tempat kayu satu meter itu

tersangkut. Berarti lebar sungai ini paling tidak tiga p uluh meter dan

dalamnya hanya Tuhan yang tahu. Alirannya meluncur deras

tergesa-gesa, tipikal sungai di Belitong yang berawal dan berak hir di

laut. Bagian membu jur permukaan sungai tampak berkilat-kilat

disinari cahaya matahari.

Sekarang ujung tambang satunya dipegangi A Kiong yang

pucat pasi pada posisi melintang. Ia memanjat pohon kepang

rindang yang berseberangan dengan pohon karet tadi dan

menambatkan tali pada salah satu cabangnya. Badanku gemetar

ketika aku melintas menuju pohon karet dengan cara menggesergeserkangenggaman tanganku yang mencekik tambang erat-erat.

Aku bergelantungan seperti tentara latihan perang.

Kadang-kadang kakiku terlepas dari tambang dan menyentuh

permukaan air yang meliuk-liuk, membuat darahku dingin berdesir.

Kulihat samar bayanganku di atas air yang keruh. Kalau aku terjatuh

maka aku akan ditemukan tersangkut di akar-akar pohon bakau

dekat jembatan Lenggang, lima puluh kilometer dari sini.

SEMUA susah payah melawan larangan orangtua itu hanyalah

untuk memetik buah-buah karet dan demi sedikit taruhan harga diri

dalam arena tarak . Atau barangkali perbuatan bodoh itu justru

digerakkan oleh keinginan untuk membongkar rahasia buah karet

yang misterius. Kekuatan kulit buah karet tak bisa diramalkan dari

bentuk dan warnanya. Pada rahasia itulah tersimpan daya tarik

permainan mengadu kekuatan kulitnya. Permainan kunonan

legendaris itu disebut tarak. Cuma ada satu hal yang agak berlaku

umum, yaitu pohon-pohon karet yang buahnya sekeras batu selalu

berada di tempat-tempat yang jauh di dalam hutan dan memerlukan

nyali lebih, atau sikap nekat yang tolol, untuk mengambilnya.

Di dalam ta rak , dua buah karet ditumpuk kemudian dipukul

dengan telapak tangan. Buah yang tak pecah adalah pemenangnya.

Inilah permainan pembukaan musim hujan di kampung kami,

semacam pemanasan untuk menghadapi permainan-permainan

lainnya yang jauh lebih seru pada saat air bah tumpah dari langit.

SEIRING dengan semakingencarnya hujan mengguyur

kampung-kampung orang Melayu Belitong, aura ta rak perlahanlahan redup. Jika ta rak sudah tak dimainkan maka ` itulah akhir

bulan September, begitulah tanda alam yang dibaca secara primitif.

Wilayah- wilayah tropis di muka bumi akan mengalami mendung

seharian dan hujan berkepajangan. Sementara di Barat sana, orangorang menjalani hari-hari yang kelabu menjelang musim salju.

Pada sepanjang bulan berakhiran \"-ber\", seisi dunia tampak lebih

murung, maka tidak mengherankan di beberapa bagian barat angka

statistik bunuh diri meningkat.

Aku melongok keluar jendela, RRI mengumandangkan sebuah

lagu lama sebelum siaran berita, Rayuan Pulau Kelapa . Alunan

nada Hawaian yang tak lekang dimakan waktu mendayu-dayu

membuat mata mengantuk . Sebuah siang yang syahdu, sesyahdu

How ling Wolf saat menyanyikan lagu blues How Long Bab y, How

Tapi suasana agak berbeda bagi kami. Acara sedih di bulanbulan penghujung tahun ini adalah urusan orang dewasa. Bagi kami

hujan yang pertama adalah berkah dari langit yang disambut

dengan sukacita tak terkira-kira. Dan tak pernah kulihat di wilayah

lain, hujan turun sedemikian lebat seperti di Belitong.

Tujuh puluh persen daratan di Belitong adalah rain forest alias

hutan hujan. Pulau kecil itu berada pada titik pertemuan Laut Cina

Selatan di sisi barat dan Laut Jawa di sisi timur. Adapun di sisi utara

dan selatan ia diapit oleh Selat Karimata dan Selat Gaspar.

Letaknya yang terlindung daratan luas Pulau Jawa dan

Kalimantan melindungi pantainya dari gelombang ekstrem musim

barat, namun uapan jutaan kubik air selama musim kemarau dari

samudra berkeliling itu akan tumpah seharian selama berbulanbulan pada musim hujan. Maka hujan di Belitong tak pernah

sebentar dan tak pern ah kecil.

Hujan di Belitong selalu lama dan sejadi-jadinya seperti air

bah tumpah ruah dari langit, dan semakin lebat hujan itu,

semakingempar guruh menggelegar, semakin kencang angin

mengaduk-aduk kampung, semakin dahsyat petir sambarmenyambar, semakin giranglah hati kami. Kami biarkan hujan yang

deras mengguyur tubuh kami yang kumal. Ancaman dibabat rotan

oleh orangtua kami anggap sepi. Ancaman tersebut tak sebanding

dengan daya tarik luar biasa air hujan, binatang-binatang aneh yang

muncul dari dasar parit, mobil-mobil proyek timah yang terb enam,

dan bau air hujan yang menyejukkan rongga dada.

Kami akan berhenti sendiri setelah bibir membiru dan jemari

tak terasa karena kedinginan. Seluruh dunia tak bisa mencegah

kami. Kami adalah para duta besar yang berkuasa penuh saat

musim hujan. Para orangtua hanya menggerutu, frustrasi merasa

dirinya tak dianggap. Kami berlarian, bermain sepak bola, membuat

candi dari pasir, ber- pura-pura menjadi biawak, ber enang di

lumpur, memanggil-manggil pesawat terbang yang melintas, dan

berteriak keras-keras tak keruan kepada hujan, langit, dan halilintar

seperti orang lupa diri.

Tapi lebih dari itu, yang paling seru adalah permainan tanpa

nama yang melibatkan pelepah-pelepah pohon pinang hantu. Satu

atau dua orang duduk di atas pelepah selebar sajadah, kemudian

dua atau tiga orang lainnya menarik pelepah itu dengan kencang.

Maka terjadilah pemandangan seperti orang main ski es, tapi

secara manual karena ditarik tenaga manusia.

Penumpang yang duduk di depan memegangi pelepah seperti

penunggang unta sedangkan penumpang di belakang memeluknya

erat-erat agar tidak tergelincir. Mereka yang bertubuh paling besar,

yaitu Samson, Trapani, dan A Kiong menduduki jabatan penarik

pelepah dan mereka amat bangga dengan jabatan itu.

Puncak permainan ini adalah momen ketika para penarik

pelepah yang bertenaga sekuat kuda beban berbelok mendadak

serta dengan sengaja menambah kekuatannya di belokan itu. Maka

penumpangnya akan melaju sangat kencang, terseret sejajar ke arah

samping, meluncur mulus tapi deras sekali di atas permukaan

lumpur yang licin, lalu menikung tajam dalam kecepatan tinggi.

Aku rasakan tingkungan itu membanting tubuhku tanpa dapat

kukendalikan dan sempat kulihat cipratan air bercampur lumpur

yang besar menghempas dari sisi kanan pelepah mengotori para

penonton: Sahara, Harun, Kucai, Mahar, dan Lintang. Mereka

gembira luar biasa menerima cipratan air kotor itu , semakin

kotorairnya semakin senang mereka. Mereka bertepuk tangan girang

menyemangati kami. Sementara Syahdan yang duduk di

belakangku memegang tubuhku kuat-kuat sambil bersorak-sorai.

Syahdan bertindak selaku co-p ilot , dan aku pilotnya. Kami

meluncur menyamping dengan tubuh rebah persis seperti gerakan

laki-laki gondrong pengendara sepeda motor tong setan di sirkus

atau lebih keren lagi seperti gerakan speed ra cer yang merendahkan

tubuhnya untuk mengambil belokan maut. Sebuah gaya rebah yang

penuh aksi. Pada saat menikung itu aku merasakan sensasi tertinggi

dari permainan tradisional yang asyik ini.

Namun, cerita tidak selesai sampai di situ. Karena sudut

belokan tersebut tidak masuk akal maka tikungan tersebut tak `kan

pernah bisa diselesaikan. Para penarik bertabrakan sesama dirinya

sendiri, terjatuh-jatuh jumpalitan, terbanting-banting tak tentu arah,

sementara aku dan Syahdan terpental dari pelepah, terhempas,

terguling-guling, lalu kami berdua terkapar di dalam parit.

Kepalaku terasa berat, kuraba-raba dan benjolan kecilkecil

bermunculan. Air masuk melalui hidungku, suaraku jadi aneh,

seperti robot, dan ada rasa pening di bagian kepala seb elah kanan

yang menjalar ke mata. Rasa itu hanya sebentar, biasa kita alami

kalau air memasuki hidung. Aku tersedak-sedak kecil seperti

kambing batuk. Lalu aku mencari-cari Syahdan. Ia terbanting agak

jauh dariku. Tubuhnya telentang, tergeletak tak berdaya, air

menggenangi setengah tubuhnya di dalam parit. Ia tak bergerak .

Kami menghambur ke arah Syahdan. Aduh! Gawat, apakah ia

pingsan? Atau gegar otak? Atau malah mati? Karena ia tak bernapas

sama sekali dan tadi ia terpelanting seperti tong jatuh dari truk. Di

sudut bibirnya dan dari lubang hidungnyakulihat darah mengalir,

pelan dan pekat. Kami merubung tubuhnya yang diam seperti

mayat. Sahara mulai terisak-isak, wajahnya pias. Aku memandangi

wajah temanku yang lain, semuanya pucat pasi. A Kiong gemetar

hebat, Trapani memanggil-manggil ibunya, aku sangat cemas.

Aku menampar-nampar pipinya.

\"Dan! Dan ...!\" Aku pegang urat di lehernya, seperti pernah

kulihat dalam film Little House on The Prairie . Namun sayang

sebenarnya aku sendiri tak mengerti apa yang kupegang, karena itu

aku tak merasakan apa-apa. Samson, Kucai, dan Trapani turut

menggoyang-goyang tubuh Syahdan, berusaha menyadarkannya.

Tapi Syahdan diam kaku tak bereaksi. Bibirnya pucat dan tubuhnya

dingin seperti es. Sahara menangis keras, diikuti oleh A Kiong.

\"Syahdan ... Syahdan .., bangun Dan ...,\" ratap Sahara pedih

Kami semakin panik, tak tahu harus berbuat apa. Aku terusmenerus memanggil- manggil nama Syahdan, tapi ia diam saja,

kaku, tak bernyawa, Syahdan telah mati.

Kasihan sekali Syahdan, anak nelayan melarat yang mungil ini

harus mengalami nasib tragis seperti ini.

Kami menggigil ketakutan dad Samson memberi isyarat agar

Ketika kami angkat tubuhnya telah keras seperti sepotong

balokes. Aku memegang bagian kepalanya. Kami gotong tubuh

kecilnya sambil berlari. Sahara dan A Kiong meraung-raung. Kami

benar-benar panik, namun dalam kegentinganyang memuncak

tiba-tiba di gumpalan bulat kepala keriting yang kupeluk kulihat

deretangigi-gigi hitam keropos dan runcing-runcing seperti dimakan

kutu meringis ke arahku, kemudian ku- dengar pelan suara tertawa

Ha! Rupanya co-pilot -ku ini hanya berpura-pura tewas!

Sekian lama ia membekukan tubuhnya dan berusaha menahan

napas agar kami menyangka ia mati.

Kurang ajar betul, lalu kami membalas penipuannya dengan

melemparkannya kembali ke dalam parit kotor tadi. Dia senang

bukan main. Ia terpingkal-pingkal melihat kami kebingungan. Kami

pun ikut tertawa. Sahara menghapus tangisnya dengan lengannya

yang kotor. Makin lama tawa kami makin keras. Kulirik lagi

Syahdan, ia meringis kesakitan tapi tawanya keras sekali sampaisampai keluarair matanya. Air matanya itu bercampur dengan air

Anehnya, justru peristiwa terjatuh, terhempas, dan tergulingguling yang menciderai, lalu disusul dengan tertawa keras saling

mengejekitulah yang kami anggap sebagai daya tarik terbesar

permainan pelepah pinang. Tak jarang kami mengulanginya berkalikali dan peristiwa jatuh seperti itu bukan lagi karena sudut tikungan,

kecepatan, dan massa yang melanggar hukum fisika, tapi memang

karena ketololan yang disengaja yang secara tidak sadar digerakkan

oleh spirit euforia musim hujan. Pesta musim hujan adalah sebuah

perhelatan meriah yang diselenggarakan oleh alam bagi kami anakanak Melayu tak mampu.

Puisi Surga Dan Kawanan

Burung Pelintang Pulau

NAH, seluruh kejadian ini terjadi pada bulan Agustus saat aku

berada di kelas dua SMP. Kemarau masih belum mau per gi.

Pohon-pohon angsana menjadi gundul, bambu- bambu kun ing

meranggas. Jalan berbatu-batu kecil merah, setiap dihemp as

kendaraan, mengembuskan debu yang melekat pada sir ip-sirip

daun jendela kayu. Kota kecilku kering dan bau karat.

Warga Tionghoa semakin rajin menekuni kebiasaannya:

mandi saat tengah har i, menyisir rambutnya yang masih basah ke

belakang, lalu memotongi ujung-ujung kukunya dengan antip.

Hanya mereka yang tampak sed ikit bersih pada bulan-bulan seperti

ini. Adapun warga suku Sawang termangu-mangu memeluk tiangtiang rumah panjang mereka, terlalu panas untuk tidur di bawah

atap seng tak berplafon dan terlalu lelah untuk kembali bekerja,

Orang-orang Melayu semakin kumal. Sesekali anak-anaknya

melewati jalan raya membawa balok-balokes dan botol sirop

Capilano. Hawa pengap tak ‘kan menguap sampai malam.

Sebaliknya, menjelang dini hari suhu akan turun drastis, dingin tak

terkira, menguji iman umat Nabi Muhammad untuk beranjak dari

tempat tidur dan shalat subuh di masjid.

Perubahan ekstrem suhu adalah konsekuensi geografis pulau

kecil yang dikelilingi samu dra. Karena itu kemarau di kampung

kami menjadi sangat tidak menyen angkan. Kepekatan oksigen

menyebabkan tu buh cepat lelah dan mata mudah mengan tuk.

Namun, ada suka di mana-mana. Anda tentu paham mak sud saya.

Bulan ini amat semarak karena banyak perayaan berken aan

dengan hari besar negeri ini. Agustus, semuanya serba

menggairahkan! Begitu banyak kegiatan yang kami rencanakan

setiap bulan Agustus, antara lain berkemah! Ketika anak-anak SMP

PN dengan bus birunya berek reasi ke Tanjong Pendam,

mengunjungi kebun binatang atau museum di Tanjong Pan dan,

bahkan verloop * ber sama orangtuanya ke Jakarta. Kami, SMP

Muhammadiyah, pergi ke Pantai Pangkalan Punai. Jauh nya kirakira 60 km, ditempuh naik sepeda. Semacam liburan murah yang

Meskipun setiap tahun kami mengunjungi Pangkalan Punai,

aku tak pernah bosan dengan tempat ini. Setiap kali berdiri di bibir

p antai aku selalu merasa terkeju t, persis seperti pasukan

Alexanderagung pertama kali menemukan India. Jika laut berakhir

di puluhan hektar daratan landai yang dipenuh i bebatuan sebesar

rumah dan pohon -pohon rimba yang rindang merapat ke tepi

paling akhir ombak pasang mengempas, maka kita akan

menemukan keindahan pantai dengan cita rasa yang berbeda.

Itulah kesan utama yang dapat kukatakan mengen ai Pangkalan Pun

Tak jauh dari p antai mengalirlah anak-anak sungai berair

payau dan di sanalah para penduduk lokal tinggal di dalam rumah p

anggung tinggi-ting gi dengan formasi berkeliling. Mereka juga

orang-orang Melayu, orang Melayu yang menjadi nelayan.

Berarti rumah-rumah ini tepatnya terkurung oleh hu tan lalu di

tengahnya mengalir anak-anak sungai dan posisinya cenderung

menjorok ke pinggir laut. Sebuah komposisi lanskap hasil karaya

tangan Tuhan . Keindahan seperti digambarkan dalam buku -buku

komik Hans Christian ander sen.

Namun, pemandangan semakin cantik jika kita mendaki bukit

kecil di sisi barat daya Pangkalan. Saat sore menjelang, aku senang

berlama- lama duduk sendiri di punggung bukit ini. Men dengar

sayup-sayup suara anak-anak nelayan—laki-laki dan perempuan—

menendang-nendang pelampung, bermain bola tanpa tiang gawang

n un di bawah sana. Teriakan mereka terasa damai. Sekitar pu kul

empat sor e, sinar matahar i akan meng guyur barisan pohon

cemara angin yang tumbuh lebat di undakan bukit yang lebih tinggi

di sisi timur laut. Sinar yang terhalang pepoh onan cemara anginitu

membentu k segitiga gelap rak sasa, persis di tempat aku dudu k.

Sebaliknya, di sisi lain, sinarnya ayang kontras menghunjam ke atas

permukaan pan tai yang dangkal, sehingga dari kejauhan dapat

kulihat pasir putih dasar laut.

Jika aku menoleh ke belakang, maka aku dapat menyaksikan

pemandangan padang sabana. Ribuan burung pipit menggelayuti

rumput-rump ut tinggi, menjerit-jerit tak kar uan, berebu tan tempat

tidur. Di sebelah sabana itu adalah ratusan pohon kelapa bersalingsilang dan di antara celah-celahnya aku melihat batu-batu raksasa

khas Pangkalan Punai. Batu-batu raksasa yang membatasi tepian

Laut Cina Selatan yang biru berkilauan dan luas tak terbatas.

Seluruh bagian ini disirami sinar matahari dan aliran sungai payau

tampak sampai jauh berkelok-kelok seperti cucuran perak yang

Sebaliknya, jika aku melemparkan pandangan lurus ke bawah,

ke arah formasi rumah panggung yang ber keliling tadi, maka sinar

matahari yang mulai jingga jatuh persis di atas atap-atap daun

nanga’ yang menyembul-nyembul di antara rindangnya dedaunan

pohon santigi. Asap mengepul dari tungku-tungku yang membakar

serabut kelapa untuk mengusir serangga magrib. Asap itu , diiringi

suara azan magrib, merayap menembus celah-celah atap daun,

hanyut pelan-pelan menaungi kampung seperti hantu, lamat-lamat

merambati dahan-dahan pohon bintang yang berbuah manis, lalu

hilang tersapu semilirangin, ditelan samud ra luas. Dari balik

jendela-jendela kecil rumah panggung yang ber serakan di bawah

sana sinar lampu minyak yang lembut dan kuntum- kuntum api

pelita menari-nari sepi.

Pesona hakiki Pangkalan Pun ai membayangiku menit demi

menit sampai terbawa-bawa mimpi. Mimp i ini kemudian kutulis

menjadi sebuah puisi karena, sebagai bagian dari program

berkemah, kami harus menyerahkan tugas untuk pelajaran kesenian

berupa karangan, lukisan , atau pekerjaan tangan dari bahan-bahan

yang didapat di pinggir pantai. Inilah puisiku.

Aku Bermimpi Melihat Surga

Sungguh, malam ketiga di Pangkalan Punai aku mimpi melihat surga

Ternyata surga tidak megah, hanya sebuah istana kecil di tengah

Tidak ada bidadari seperti disebut di kitab-kitab suci

Aku meniti jembatan kecil

Seorang wanita berw ajah jernih menyambutku

“Inilah surga” katanya.

Ia tersenyum, kerling matanya mengajakku menengadah

Seketika aku terkesiap oleh pantulan sinar matahari senja

Menyirami kuba h-kubah istana

Mengapa sina r matahari berwarna perak, jingga, dan biru?

Sebuah keindahan yang asing

Dahan-dahan pohon ara menjalar ke dalam kamar-kamar sunyi

yang bertingkat- tingkat

Gelas-gelas kristal berdenting dialiri air zamzam

Menebarkan rasa kesejukan

Bunga petunia ditanam di dalam pot-pot kayu

Pot-pot itu digantungkan pada kosen-kosen jendela tua berwarna

Di beranda, lampu-lampu kecil disembunyikan di balik tilam, indah

Sinarnya memancarkan kedamaian

Tembus membelah perdu-perdu di halaman

Tapi aku ingin tetap di sini

Karenaku ingat janjimu Tuhan

Kalau aku datang dengan berjalan

ENGKAU akan menjemputku dengan berlari-lari

Dengan puisi ini, un tuk pertama kalinya aku mendapat n ilai

kesenian yang sedikit leb ih baik dari nilai Mahar, tapi hal itu hanya

terjadi sekali itu saja. Puisiku ini membu ktikan bahwa karya seni

yang baik, setidaknya baik bagi Bu Mus, adalah karya seni yang

jujur. Namun, aku punya cerita yang panjang dan kurasa cukup

penting mengapa kali ini Mahar tidak mendapatkan nilai kesenian

tertinggi seperti baisanya.

Semua itu gara-gara sekawanan burung hebat nan misterius

yang din amai orang-orang Belitong sebagai burung pelintang p

Nama burung pelintang pulau selalu menarik perhatian siapa

saja, di mana saja, terutama di pesisir. Sebagian orang malah

menganggap burung ini semacam makhluk gaib. Nama burung ini

mampu menggetarkan nurani orang-orang pesisir sehubungan

dengan nilai-nilai mitos dan pesan yang dibawanya.

Burung pelin tang pulau amat asing. Para pencinta bur ung

lokal dan orang-orang pesisir hanya memiliki pengetahuan yang

amat minim mengenai b urung ini. Di mana habitatnya, bagaimana

rupa dan ukuran aslinya, dan apa makanannya, selalu jadi polemik.

Hanya segelintir orang yang sedang beruntung saja pernah

melihatnya langsung. Burung ini tak pern ah tertangkap hiduphidup. Kerahasiaan bruung ini adalah konsekuensi dari

Nama pelintang pulau adalah cerminan kebiasaan burung ini

terbang sangat kencang dan jauh tinggi melintang (melintasi) pulau

demi pulau. Mereka hanya singgah sebentar dan selalu hinggap di

puncak tertinggi dari pohon-p ohon yang tingginya puluhan meter

seperti pohon medang dan tanjung. Singg ahnya pun tak pern ah

lama, tidak untuk makan apa pun. Mereka sangat liar, tidak

mungkin bisa didekati.

Setelah hinggap sebentar dengan kawanan lima atau enam

ekor mereka terburu- buru terbang dengan kencang ke arah yang

sama sekali tak dapat diduga. Banyak orangyang percaya bahwa

mereka hidup di pulau-pulau kecil yang tak dihuni manusia.

Sementara mitos lain mengatakan bahwa burung-burung ini

hanya hinggap sekali saja pada sebuah kanopi di setiap pulau.

Merekam enghabiskan sebagian b esar hidupnya terbang tinggi di

angkasa, melintas dari satu p ulau ke pulau lain yang berjumlah

puluhan di perairan Belitong.

Orang-orang Melayu pesisir percaya bahwa jika burung ini

singgah di kampung maka per tan da di laut sedang terjadi badai

hebat atau angin puting beliung. Sering sekali kehadirannya

membatalkan niat nelayan yang akan melaut. Tapi ada penjelasan

lo gis untuk pesan ini, yaitu jika mereka memang tinggal di

pulauterpencil maka badai laut akan menyap u p ulautersebut dan

saat itulah mereka menghindar menuju pesisir lain.

Burung yangkon on sangat cantik dengan do minasi warna

biru dan kuning ini berukuran seperti burung bayan. Tapi aku agak

kurang setuju dengan pendapat itu. Aku setuju dengan warnanya,

tapi ukurannya pasti jauh lebih besar , karena saksi mata melihatnya

berteng ger pulu han meter darinya sehingga akan tampak lebih

Perkiraanku burung itu paling tidak berpenampilan seperti

burung rawe yang beringas atau peregam segagah rajawali.

Demikianlah burugn pelintang pulau, semakin misterius keberadaan

nya, semakin legendaris ceritanya. Mungkinkah burung ini b elu m

terpetakan oleh para ahli ornitologi? Namun, burung apa p un itu,

ketika melakukan semacam penelitian untuk membuat tu gas

kesenian yang ia putuskan berupa lukisan, Mahar mengaku melihat

burung pelintang pulau nun jauh tinggi berayun -ayun di pucuk-

pucuk meranti. Ia pontang-p anting menuju tenda untuk

memberitahukan apa yang baru saja dilihatnya, dan kami pun

menghambur masuk ke hutan untuk menyaksikan salah satu spesies

paling langka kekayaan fauna pulau B elitong itu. Sayangnya yang

kami sak sikan hanya dahan-dahan yang kosong, beberapa

ekoranak lutung yang masih berwar na kuning, dan langit hampa

yang luas menyilaukan. Mahar menjebak dirinya sendiri. Maka,

seperti biasa, mengalirlah ejekan untuk Mahar.

“Kalau makan buah bintang kebanyakan, manisnya memang

dapat membaut orang mabuk, Har, pandangan kabur, dan mulut

melantur,” Samson menarik pelatuk dan pengh ujatan pun dimulai.

“Sungguh Son, yang kulihat tadi burung pelintang pulau

“Dalam laut dapat kukira, dalamnya dusta siapa sangka,”

dengan rima pantun yang seder hana Ku cai menohok Mahar.tanpa

Keputusasaan terpancar di wajah Mahar yang tanpa dosa,

matanya mencari- cari dari dahan ke dahan. Aku iba melihatnya,

dengan cara apa aku dapat membelanya? Tanpa saksi yang

menguatkan, posisinya tak berdaya.

Kulihat dalam-dalam mata Mahar dan aku yakin yang baru

saja dilihatnya memang burung-burung keramat itu. Ah! Beruntung

sekali. Sayangnya upaya Mahar meyakinkan kami sia-sia karena

reputasinya sendiri yang senang membual. Itulah susahnya jadi

pembual, sekali mengajukan kebenaran hakiki di antara seribu

macam dusta, orang hanya akan menganggap kebenaran itu

sebagai salah satu dari buah kebohongan lainnya.

“Mungkin yang kau lihat tadi burung ayam-ayam yang

sengaja hinggap di dahan tepat di atasmu utnuk mengencingi

jambulmu itu,” cela Kucai.

Tawa kami meledak menusuk perasaan Mahar. Burung ayamayaman tidak ek sklusif, terdapat di mana- mana, dan senang

bercanda di sepanjang saluran pembuangan pasar ikan. Perut-perut

ikan adalah caviar bagi mereka. Burung itu selalu digunakan orang

Melayu sebagai perlambang untuk menghina. Belum reda tawa

kami Sahara berusaha menyadarkan kesesatan Mahar “Jangan

kaucampuradukkan imajinasi dan dusta, kawan. Tak tahukah

engkau, kebohongan adalah pantangan kita, larangan itu bertalutalu diseb utkan dalam buku Budi Pekerti Muhammadiyah. .

Trapan i mencoba sedikit berlogika, “Barangkali kau salah

lihat Har, keluarga Lintang saja yang sudah empat turunan tinggal di

pesisir tak pernah sekalipun melihat burung itu apa lagi kita

yangbaru berkemah dua hari. .

Masukakal juga, tapi nasib orang siapa tahu? Situasi makin

kacau ketika sore itu ber itakunjungan burung pelin tang pulau

menyebar ke kampung dan b eberapa nelayan batal melaut. Ibu

Mus takenak hati tapi tak mengerti bagaimana menetralisasi

suasana. Mahar semakin terpojok dan merasa bersalah. Namun

percaya atau tidak, malamnya angin bertiup sangat kencang

mengobrak-abr ik tenda kami. Beberapa batang poh on cemara

tumbang. Di laut kami melihat petir menyambar-nyambar dengan

dahsyat dan awan hitam di atasnya berugulung-gulung mengerikan.

Kami lari terbirit-birit men cari perlindungan ke rumah penduduk.

“Mungkin yang kau lihat tadi sore benar-bear burung

pelintang pulau , Har,.

kata Syahdan gemetar.

Mahar diam saja. Aku tahu kata “mungkin” itu tidak tepat.

Bagaimanapun juga badai ini sedikit banyak memihak ceritanya,

mengurangi rasa ber salahnya, dan dapat menghindarkannya dari

cap pembual, apalagi esoknya para nelayan berterima kasih

padanya. Namun, ternyata temannya masih meragu kannya dengan

menggunakan kata “mungkin”, padahal tenda kami sudah hancur

lebur diaduk-aduk badai. Rasa tersinggungnya tidak berkurang

sedikit pun. Pada tingkat ini dia sudah merasa dirinya seorang

persona nongrata , orang yang tak disukai.

Demikianlah dari waktu ke waktu kami selalu memperlaku kan

Mahar tanpa perasaan. Kami lebih melihatnya sebagai seorang

bohemian yang aneh. Kami dibutakan tabiat orang pada umumnya,

yaitu menganggap diri paling baik, tidak mau mengakui keunggulan

orang, dan mencari-cari kekurangan orang lain untuk menutu pi

ketidakbecusan diri sendiri.

Kami jarang sekali ingin secarao bjektif membu ka mata

melihat bakat seni hebat yang dimiliki Mahar dan bagaimaan bakat

itu berkembang secara alami dengan menak jubkan. Namun, tak

mengapa, lihatlah sebentar lagi, seluruh ketidak adilan selama

beberapa tahun ini akan segara dibalas tuntas olehnya dengan

setimpal. Cerita akan semakin seru! Besoknya Mahar membuat

lukisan berjudu l “Kawanan Burung Pelintang Pulau”. Sebuah tema

yang menarik. Lukisan itu berupa lima ekor burung yang tak jelas

bentuknya melaju secepat kilat menembus celah-celah pucuk pohon

meranti. Latar belakangnya adalah gumpalana awan kelam yang

memancing badai hebat. Hamparan laut dilukis biru gelap dan per

mukaannya berkilat-kilat memantulkan cahaya halilintar di atasnya.

Kelima ekor burung itu hanya ditampakkan beru pa ser pihanserpihan warna hijau dan kuning dengan ilustrasi tak jelas, seperti

sesuatu yang berkelebat sangat cepat.

Jika dilihat sepin tas, memang masih terlihat samar-samar

seperti lima kawanan burung tapi kesan seluruhnya adalah seperti

sambaran petir berwarna-warni. Sebuah lukisan penuh daya mito s

Dengan kekuatan imajinasinya Mahar berusaha

mengabadikan sifat-sifat misterius burung ini. Yang ada dalam

pemikiran di balik lukisan nya bukanlah bentuk an ato mis burung

pelintang pulautapi representasi sebuah legenda magis, sifat-sifat

alami burung pelintang pulau yang fenomenal, keterbatasan

pengetahuan kita tentang mereka, karakternya yang suka menjauhi

manusia, dan mitos-mitos ganjil yang menggerayangi setiap kepala

Lukisan Mahar sesungguhnya merup akan swebuah karya

hebat yang memiliki nyawa, mengand ung ribuan kisah, menentang

keyakinan, dan mampu menggugah perasaan. Namun, Mahar

tetaplah anak kecil dengan keterbatasan kosa kata untuk

menjelaskan maksudnya. Ia kesulitan menemukan orang yang dapat

memahaminya, dan lebih dari itu , ia juga seniman yang bekerja

berdasarkan suasana hati. Maka ketika Samson, Syahdan, dan

Sahara berpendapat bahwa bentuk burung yang tak jelas karena

Mahar sebenarnya tak pern ah melihatnya, Mahar kembali

tenggelam dalam sarkasme, mood -nya rusak beran takan.

Inilah kenyataan pahit dunia nyata. Begitu banyak seniman

bagus yang hidup di an tara orang-orang bu ta seni. Lingkungan

umumnya tak memahami mereka dan lebih parah lagi, tanpa beban

berani memberi komentar seenak udelnya. Ketika Mahar sudah

berpikir dalam tataran imajinasi, simbol, dan substansi, Samson,

Syahdan , dan Sahara masih berpikir harfiah. Kasihan Mahar,

seniman besar kami yang sering dilecehkan.

Karena kecewa sebab karyanya dianggap tak jujur, Mahar

setengah hati menyerahkan karyanya kepada Bu Mus sehingga

terlambat. Inilah yang menyebabkan nilai Maharagak berkurang

sedikit. Yaitu karena melanggar tata tertib batas penyerahan tugas,

bukan karena pertimbangan artistik . Ironis memang.

“Kali ini Ibunda tidak memberimu nilai terbaik untuk

mendidikmu sendiri,” kata Bu Mus dengan bijak pada Mahar yang

“Bu kan karena karyamu tidak bermutu, tapi dalam bekerja

apa pun kita harus memiliki disiplin..

Aku rasa pandangan ini cukup adil. Sebaliknya, aku dan kami

sekelas tidak menganggap keunggulanku dalam nilai kesenian

sebagai momentu m lahirnya sen iman baru di kelas kami. Seniman

besar kami tetap Mahar, the one and only .

Adapun Mahar yang nyentrik sama sekali tidak peduli. Ia tak

ambil p using mengen ai bagaimana karya-karya seninya dinilai

dalam skala angka-angka, apalagi sekarang ia sedang sibuk. Ia

sedang berusaha keras memikirkan konsep seni untuk karnaval 17

Ada Cinta Di Toko Kelontong Bobrok Itu

MEMANG menyenangkan menginjak remaja. Di sekolah, mata

pelajaran mulai terasa berman faat. Misalnya pelajaran membuat

telurasin, menyemai biji sawi, membedah perut kodok, keterampilan

menyulam, menata janur, membuat pupuk dari kotoran hewan, dan

praktek memasak. Konon di Jep ang pada tingkat ini para siswa

telah belajar semikon duktor, sudah bisa menjelaskan perbedaan

antara istilahan alog dan digital, sudah belajar membuat animasi,

belajar software development , ser ta praktik merakit robot.

Tak mengapa, lebih dari itu kami mulai terbata-bata

berbahasa Inggris: Good this , good that, excuse me, I beg yo ur

pardon, dan I am fine thank you. Tugas yang paling menyenangkan

adalah belajar menerjemahkan lagu. Lagu lama Have I Told You

Lately That I Love You ternyata mengandung arti yang aduhai.

Dengarlah lagu penuh peson a cin ta ini. Bermacam-macam vokalis

kelas satu telah membawakannya termasuk pria midlan d bersuara

serak: Mr. Rod Stewart. Tapi sedapat mungkin dengarlah versi

Kenny Rogers dalam album Vote For Lo ve Volume 1 . Lagu can tik

itu ada di trek pertama.

Syair lagu itu kira-kira bercerita tentang seorang anak muda

yang benci sekali jika disuruh gurunya membeli kapur tulis, sampai

pada suatuhari ketika ia berangkat dengan jengkel untuk membeli

kapur tersebut, tanpa disadarinya, nasib telah menunggunya di

pasar ikan dan menyergapnya tanpa ampun .

Membeli kapuradalah salah satu tu gas kelas yang paling tidak

Pekerjaan lain yang amat kami benci adalah menyiram bunga.

Beragam familia pakis mu lai dari kembang tanduk rusa sampai

puluhan po t suplir kesayangan Bu Mus serta rupa-rupa kaktus topi

uskup , Parodia , dan Mammillaria harus diperlaku kan dengan

sopan seperti porselen mahal dari Tiongkok. Belum lagi

deretanpanjang p ot amarilis, kalimatis, azalea, nanas sabrang, C

alathea , Stro man the , Abutilon , kalmus, damar kamar, dan

anggrek Dendrobium dengan berbagai variannya. Berlaku semenamen a terhadap bunga-bunga ini merupakan pelanggaran ser ius.

“Ini adalah bagian dari pen didikan! ” pesan Bu Mus serius.

Masalahnya adalah mengambil air dari dalam sumur di

belakang sekolah merupakan pekerjaan kuli kasar. Selain harus

mengisi penuh dua buah kaleng cat 15 kilogram dan pontang-pan

ting memikulnya, sumur tua yang angker itu sangat mengerikan .

Sumur itu hitam, berlumut, gelap, dan menakutkan. Diameternya

kecil, dasarnya tak kelihatan saking dalamnya, seolah tersambung ke

dunia lain , ke sarang makhluk jadi-jadian . Beban hidup terasa

berat sekali jika pagi-pagi sekali harus menimba air dan menund uk

Hanya ketika menyirami bunga strip ped canna beauty aku

merasa sed ikit terhibur. Ah, indahnya bunga yang semula tumbuh

liar di bukit-bukit lembap di Brazil ini. Masih dalam familia

Apocynaceae maka agak sedikit mirip dengan alamanda tapi stripstrip putih pada bunganya yang berwarna kuning adalah daya tarik

tersendiri yang tak dimiliki jenis canna lain. Daun hijaunya yang

menjulur gemuk-gemuk kontras dengan gradasi warna kuntum

bunga sepanjang musim, menghadirkan pesona keindahan p urba.

Orang Parsi menyebutnya bunga surga. Jika ia merekah maka dunia

tersenyum. Ia adalah bunga yang emosional, maka menyiramnya

Tidak semua orang dapat menumbuhkannya. Konon hanya

mereka yang bertangan dingin, berhati lembut putih bersih yang

mamp u membiakkannya, ialah Bu Muslimah, guru kami.

Kami memiliki b eberapa pot stripped canna beauty dan sep

akat menempatkan nya pada po sisi yang terhormat di antara

tanaman-tanaman kerdil nan cantik Peperomia , daun picisan,

sekulen, dan Ardisia . Ketika tiba musim bersemi bersamaan, maka

tersaji sebuah pemandangan seperti kue lapis di dalam nampan.

Aku selalu tergesa-g esa menyirami bunga biar tugas itu cepat

selesai, namun jika tiba pada bagian canna itu dan para tetangganya

tadi, aku berusaha setenang- tenangnya. Aku menikmati suatu

lamunan, menduga-d uga apa yang dibayangkan orang jika berada

di tengah-tengah surga kecil ini. Apakah mereka merasa sedang

berada di taman Jurassic? Aku melihat sekeliling kebun bunga kecil

kami. Letaknya persis di depan kantor kepala sekolah. Ada jalan

kecil dari batu-batu persegi empat menu ju kebun ini. Di sisi kiri

kanan jalan itu melimpah ruah Monstera , Nolina , Violces , kacang

polong, cemara udang, keladi, begonia , dan aster yang tumbuh

tinggi-tinggi serta tak per lu disiram.

Bunga-bunga ini tak teratur, kaya raya akan nektar, berdesakdesakan dengan bunga berwarna menyala yang tak dikenal,

bermacam-macam rump ut liar, kerasak , dan semak ilalang.

Secara umum kebun bunga kami mengensankan taman yang

dirawat sekaligus kebun yang tak terpelihara, dan hal ini justru

secara tak sengaja menghadirkan paduan yang menarik hati. Latar

belakang kebun itu adalah sekolah kami yang doyong, seperti

bangunan kosong tak dihuni yang dilupakan zaman. Semuanya

memperkuat kesan sebuah paradiso liar, keeksotisan tropika.

Lalu erambat pada tiang lonceng adalah dahan jalar labu air.

Seperti tangan rak sasa ia menggerayangi dinding papan pelepak

sekolah kami, tak terbendung menujangkau-jangkau atap sirap yang

terlep as dari pakunya. Sebag ian dahannya merambati pohon

jambu mawar dan dlima yang meneduhi atap kantor itu. Cabangcabang buah muda labu air terkulai di depan jendela kantor

sehingga dapat dijangkau tangan . Burung-burugngelatik rajin

bergelantungan di situ. Sepanjang pagi tempat itu riuh r endah oleh

suarakumbang dan lebah madu. Jika aku memusatkan pendengaran

pada dengungan ribuan lebah madu itu, lama-kelamaan tubuhku

seakan kehilangan daya berat, mengapung di udara. Itulah kebun

sekolah muhammadiyah, indah dalam ketidakteraturan, seperti

lukisan Kandinsky. Kalau bukangara-gara su mur sarang jin yang

hor or itu, pekerjaan menyiram bung a seharusnya b isa menjadi

tugas yang menyen angkan.

Namun, tugas memebli kapuradalah pekerjaan yang jauh

lebih horor . Toko Sinar Harapan, pemasok kapur satu-satunya di

Belitong Timur, amat jauh letaknya.

Sesampainya di sana—di sebuah toko yang sesak di kawasan

kumuh pasar ikan yang becek— jika perut tidak kuat, siapa pun

akan muntah karena bau lobak asin, tauco, kanji, keru puk udang,

ikan teri, asam jawa, air tahu, terasi, kembang kol, pedak cumi,

jengkol, dan kacang merah yang ditelantarkan di dalam baskombaskom karatan di depan toko.

Jika beran i masu k ke dalam toko, bau itu akan bercampur

dengan bau plastik bungkus mainan anak-anak, aroma kapur barus

yang membuat mata berair, bau cat minyak, bau gaharu , bau

sabun colek, bau obat nyamuk, bau ban dalam sepeda yang

bergelantungan di sembarang tempat di seantero toko, dan bau

tembakau lapu k di atas rak -rak b esi yang telah ber tahun-tahun

Dagangan yang tak laku ini tidak dibuang karena pemiliknya

menderita suatu gejala psikologis yang disebut hoarding , sakit gila n

o. 28, yaitu hobi aneh mengumpulkan barang-barang rongso kan

tak berguna tapi sayang dibuang. Seluruh akumulasi bau tengik itu

masih ditambah lagi dengan aroma keringat kuli-kuli panggul yang

petantang-p etenteng membawa gancu, ingar- bingar dengan

bahasanya sendiri, dan lalu- lalang seenaknya memanggu l karung

Belum seberapa, pusat bau busuk yang sesung guhnya berada

di lo s pasar ikan yang bersebelahan langsung dengan Toko Sinar

Harapan. Di sini ikan hiu dan pari dsangkutkan pada can tolan paku

dengan cara menusukkan banar mulai dari insang sampai ke mulu t

binatang malang itu, sebuah pemandangan yang mengerikan. Bau

amis darah menyebar keseluruh sudut pasar. Perut-perut ikan

dibiarkan bertump uk-tumpuk di sep anjang meja, berjejal tumpah

berserakan di lantai yang tak pernah dibersihkan.

Dan bau yang paling parah berasal dari makh luk-makh luk

laut hampir busuk yang disimpan dalam peti-p eti terbuka dengan es

Pagi itu giliran aku dan Syahdan berangkat ke toko bobrok

itu. Kami naik sepeda dan membuat perjanjian yang bersungguh -

sungguh, bahwa saat berangkat ia akan memboncengku. Ia akan

mengayuh sepeda setengah jalan sampai ke sebuh kuburan

Tionghoa. Lalu aku akan menggantikannya mengayuh sampai ke

pasar. Nanti pulangnya berlaku aturan yang sama. Suatu

pengaturan tidak masuk akal yang dibuat oleh orang-orang frustrasi.

Ditambah lagi satu syarat cerewt lainnya, yaitu setiap jalan menan

jak kami harus turun dari sepeda lalu sepeda dituntun bergantian

dengan umlah langkah yang diperhitungkan secara teliti.

Tu buh Syahdan yang kecil terlonjak-lonjak di atas batang

sepeda laki punya Pak Harfan saat ia bersusah payah mengayuh

pedal. Sepeda itu terlalu besar untuknya sehingga tampak seperti

kendaraana yang tak bisa iakuasai, apalagi dibebani tu buhku di

tempat duduk belakang. Namun, ia bertekad terus mengayuh sekuat

tenaga. Siapa pun yang melihat pemandangan itu pasti prihatin

sekaligus tertawa. Tapi suasana hatiku sedang tidak peka untuk

segala bentuk komedi. Aku duduk di belakang, tak acuh pada

“Turun d ulu, tuan raja ...,” Syahdan menggodaku ketika sep

Ia ngos-ngosan, tapi tersenyum lebar dan membungkuk

laksana seorangp enjilat.

Syahdan selalu riang menerima tugas apa pun, termasuk

menyiram bunga, asalkan dirinya dapat menghin darkan diri dari

pelajaran di kelas. Baginya acara pembelian kapur ini adalah

vakansi kecil-kecilan sambil melihat beragam kegiatan di pasar dan

kesempatan mengobrol dengan b eberapa wanita muda pujaan nya.

Aku turun dengan malas, dingin, tak tertarik dengan kelakarnya, dan

tak punya waktu untuk bertoleransi pada penderitaan p ria kecil ini.

Kami sampai di sebuah Toapekong. Di depannya ada

bangunan rendah berbentuk seperti kue bulan dan di tengah

bangunan itu tertempel foto hitam putih wajah serius seorang

nyonya yang disimpan dalam bidang yang ditutupi kaca. Lelehan

lilin merah berserakan di sekitarnya. Itulah kuburan yang kumaksud

taid dalam perjan jian kami, maka tibalah giliranku mengayuh

Aku naiki sepeda itu tanpa selera, setengah hati, dan sejak

gelindingan ro da yang pertama aku sudah memarahi diriku sen diri,

menyesali tugas ini, toko busuk itu, dan pengaturan bodoh yang

kami baut. Aku menggerutu karena rantai sepeda reyo t itu terlalu

kencang sehingga berat untuk aku mengayuhnya. Aku juga

mengeluh karena hukum yang tak pernah memihak orang kecil:

sadel yang terlalu tinggi, para koruptor yang bebas berkeliaran

seperti ayam h utan, Syahdan yang berat meskipun badannya kecil,

dunia yang tak pernahadil, dan baut dinamo sepeda yang longgar

sehingga gir- nya menempel di ban akibatnya semakin berat

mengayuhnya dan menyalakan lampu sepeda di siang bolong ini

persis kendaraan pembawa jenazah.

Syahdan du duk dengan penuh nikmat di tempat du duk

belakang sambil menyiul-nyiulkan lagu Semalam di Malaysia . Ia tak

ambil pusing mendegar ocehanku, peluh hampir masuk ke dalam

kelopak matanya tapi wajahnya riang gembira tak alang kepalang.

Lalu kami memasuki wilayah bangunan permanen yang

berderet- deret, berhadapan satu sama lain hampir beradu atap.

Inilah jejeran toko kelontong dengan konsep menjual semua jenis

barang. Sepeda kami meliuk-liuk di antara truk-truk rak sasa yang

diparkir seenak nya di depan warung-warung kopi. Di sana hiruk

pikuk para karyawan rendahan PN Timah, pengangguran, b

romocorah, pensiun an, pemulung besi, polisi pamong praja, kuli

panggul, sopir mobil omprengan, para penjaga malam, dan pegawai

negeri. Pemb icaraan mereka selalu seru , tapi selalu tentang satu

topik, yaitu memaki-maki pemerintah.

Setelah deretan warung kopi lalu berdiri hitam berminyakminyak beberapa bengkel sepeda dan tenda-tenda pedagang kaki

lima. Kelompok ini berada di sela-sela mobil omp rengan dan para

pedagang dadakan dari kampung yang menjual berbagai hasil bumi

dalam keranjang-keranjang pempang. Pedagang kampung ini

menjual beragam jenis rebung, umb i-umbian, pinang, sirih, kayu

bakar, mad u pahit, jeru k nipis, gaharu, dan pelanduk yang telah

diasap. Bagian ak hir pasar ini adalah meja-meja tua panjang, par itparit kecil yang mampet, dan tong-tong besar untuk menampung

jeroan ikan, sapi, dan ayam. Baunya membuat perut mual. Inilah

Pasar ini sengaja ditempatkan di tepi seungai dengan maksud

seluruh limbahnya, termasuk limbah pasar ikan, dapat dengan

mudah dilungsurkan ke sungai.

Tapi pasar ini berada di dataran rendah. Akibatnya jika laut

pasang tinggi sungai akan menghanyutkan kembali gunungan

sampah organik itu menu ju lorong-lorong sempit pasar. Lalu ketika

air surut sampah itu tersangkut pada kaki-kaki meja, tumpukan

kaleng, pagar-pagar yang telah patah , pangkal-pangkal pohon seri,

dan tiang-tiang kayu yang cen tang perenang. Demikianlah pasar

kami, hasil karya perencanaan kota yang canggih dari para arsitek

Melayu yang paling kampungan . Tidak dekaden tapi kacau balau

Toko Sinar Harapan terletak sangat strategis di tengah p

usaran bau busuk. Ia berada di antara para pedagang kaki lima,

bengkel sepeda, mobil-mobil omprengan, dan pasar ikan.

Pembelian sekotak kapuradalah transaksi yang tak penting

sehingga pembelinya harus menunggu sampai juragan toko selesai

melayani sekelompok pria dan wanita yang menutup kepalanya

dengan sarung dan berpakaian dengan dominasi warna kuning,

hijau , dan merah. Di sekujur tubuh wanita-wanita ini bertaburan

perhiasan emas—asli maupun imitasi, perak, dan kuningan yang

Mereka tidak tertarik untuk berbasa-basi dengan orang-orang

Melayu di sekelilingnya. Mereka hanya berbicara sesama mereka

sendiri atau sed ikit bicara dengan Bang Sadatau “bangsat”. Itulah

panggilan untuk Bang Arsyad, orang Melayu, tangan kalaA Miauw

sang juragan Toko Sinar Harapan, karena kadang-kadang tabiat

Bang Sad tak jauh dari namanya. Pria-pria bersar ung ini berbicara

sangat cepat dengan nada yang beresklasi harmonis naik turun

dalam band yang lebar , maka akan terdengar persis pola akumulatif

suara ombak menghemp as pantai, suatu lingua yang sangat cantik.

A Miauw sendiri adalah sesosok teror. Pira yang sok mendapat

hoki ini sangat berlagak bagai b os. Tubuhnya gend ut dan ia selalu

memakai kaus kutang, celan a pendek, dan sandal jepit. Di

tangannya tak pernah lepas sebuah buku kecil panjang bersampul

motif batik, buku u tang. Pensil terselip di daun telinganya yang

berdaging seperti bakso dan di atas mejanya ada sempoa besar

yang jika dimain kan bunyinya mampu merisaukan pikiran.

Tokoknya lebih cocok jika disebut gudang rabat. Ratusan jenis

barang bertumpuk-tu mpuk mencapai plafon di dalam ruangan kecil

yang sesak. Selain berbagai jenis sayur, buah, dan makanan di

dalam baskom-baskom karatan tadi, toko ini juga menjual sajadah,

asinan kedondong dalam stopelas-stoples tua, pita mesin tik, dan cat

besi dengan bonus kalender wanita berpakaian seadanya.Di dalam

sebuah bufet kaca panjang dip ajang bedak kerang pemutih wajah

murahan, tawas, mercon, peluru senapan angin, racun tikus,

kembang api, dan antena TV. Jika kita terburu-buru membeli obat

diare cap kupu-kupu, maka jangan harap A Miauw dapat segera

Kadang-kadang ia sendiri tak tahu di mana puyer itu

disimpan. Ia seperti tertimbun dagangan dan tenggelam di tengah

pusaran barang-barang kelontong.

A Miauw memanggil tak sabar, dan Bang Sad tergo pohgopoh menghampirinya.

Ma gai di Mangg ara masempo linna? .

Orang-orang bersarung keberatan ketika mengamati har ga

kaus lampu petromaks. Di Manggar leb ih murah kata mereka.

Kito lui, ba? Nga pe de Manggar harge e lebe mura? .

Bang Sad menyampaikan keluhan itu pada juragannya dalam

bahasa Kek campur Melayu.

Aku sudah muak di dalam toko bau ini tapi sedikit terhibur

dengan percakapan tersebut. Aku bar u saja menyaksikan

bagaimana kompleksitas per bedaan budaya dalam komunitas kami

didemonstrasikan. Tiga orang pria dari akar etnik yang sama sekali

berbeda berko munikasi dengan tiga macam bahasa ibu masingmasing, campuraduk.

Orang-orang yang berjiwa penuh prasangka akan menduga A

Miau w sengaja merekayasa konfigurasi komunikasi seperti itu untuk

keuntungannya sendiri, namun mari ku gambarkan sedikit

kepribadian A Miauw. Ia memang pria congkak dengan intonasi

bicara takenak didengar, wajahnya juga seperti orang yang selalu

ingin memerintah, kata-katanya tidak bersahabat, dan badannya

bau tengik bawang putih, tapi ia adalah seorang Kong Hu Cu yang

taat dan dalam hal berniaga ia jujur tak ada bandingannya.

Maka dalam harmoni masyarakat kami, warga Tionghoa

adalah pedagang yang efisien. Adapun para produsen berada di

negeri antah berantah, mereka hanya kami kenal melalui tulisan

made in ... yang tertera di buntut-buntut panci. Orang-orang Melayu

adalah kaum konsumen yang semakin miskin justru semakin

Sedangkan orang-orang pulau berkerudung tadi adalah para

pembuka lapangan kerja musiman bagi warga suku Sawang yang

memanggil belanjaan mereka.

S egere! Siun! Siun! ” hardik tiga orang Sawang, kuli panggul,

yang numpang lewat, membyuarkan lamun anku. Mereka adalah

kawan yang telah lamakukenal.

Dolen, Baset, dan Kunyit, begitulah nama mereka. Agak nya

urusan A Miauw dengan orang-orang berkerudung itu telah selesai

dan sekarang masuk lah ia ke transaksi kap ur.

“Aya...ya. .., Muhammadiyah! Kap ur tulis!” keluh A Miauw

menarik napas panjang, seolah kami hanya akan merusak hokinya.

Acara pemb elian kap uradalah rutin dan sama. Setelah

menunggu sekian lama sampai hampir pingsan di dalam toko bau

itu, A Miauw akan berteriak nyaring memerintahkan seseorang

mengambil sekotak kapur. Lalu dari ruang belakang akan terdengar

teriakan jawaban dari seseorang— yang selalu kuduga seorang gadis

kecil— yang juga berbicara nyaring, lantang, dan cepat seperti

kicauan burung murai batu.

Kotak kapur dikeluarkan melalui sebuah lubang kecil per segi

empat seperti kandang burung mer pati. Yang terlihat hanya sebuah

tangan halus, sebelah kanan, yang sangat putih bersih, menjulurkan

kotak kapur melalui lubang itu. Wajah pemilik tangan ini adlaah

misterius, sang burung murai batu tadi, tersembunyi di balik dinding

papan yang membatasi ruangan tengah toko dengan gudang barang

dagangan di belakang.

Sang misteri ini tidak pernah b icara sepatah kata pun padaku.

Ia menjulurkan kotak kapur dengan tergesa-gesa dan menarik

tangannya cep at-cepat seperti orang mengumpankan daging ke

kandang macan. Demikianlah berlangsung bertahun-tahun,

prosedurnya tetap, itu-itu saja, tak berubah.

Jika tangan nya menjulur tak kulihat ada cin cin di jarijemarinya yang lentik, halus, panjang-panjang, dan ramping, namun

siuka , gelang giok indah berwarna hijau tampak berkarakter dan

melingkar garang pada pergelangan tangannya yang ditumbuhi

bulu-bulu halus. Dalam hatiku, jika kau berani macam-macam p

astilah jemarinya secepat patukan bangau menusuk kedua bola

mataku dengan gerakan kuntau yang tak terlihat. Mungkin pula

gelang giok yang selalu membuatku segan itu diwarisinya dari

kakeknya, seorang suhu sakti, yang mendapatkangelang itu dari

mulut seekor naga setelah naga itu dibinasaan dalam pertarunagan

dahsyat untuk merebut hati neneknya.

Ah! Kiranya aku terlalu banyak nonton film shaolin.

Namun, tahu kah Anda? Di balik kesan yang garang itu , di

ujung jari-jemari lentik si misterius ini tertanam paras-paras kuku

nan indah luar biasa, terawat amat baik, dan sangat memesona,

jauh lebih memeson a dibanding gelang g iok tadi. Tak pernah

kulihat kuku orang Melayu seindah itu, apalagi kuku orang Sawang.

Ia tak pernah memakai kuteks. Aliran urat-urat halus berwarna

merah tersembunyi samar- samar di dalam kukunya yang saking

halus dan putihnya sampai tampak transparan.

Ujung- ujung kuku itu dipo tong dengan pr esisi yang

mengagumkan dalam bentuk seperti bulan sabit sehingga

membentuk harmoni pada kelima jarin ya.

Permukaan kulit di seputar kukunya sangat rapi, menandakan

perawtan intensif dengan merendamnya lama-lama di dalam bejan

a yang berisi air hangat dan pucuk- pucuk daun kenanga. Ketika

memanjang, kuku -kuku itu bergerak maju ke dep an dengan bentuk

menunduk dan menguncup, semakinindah seperti batu-batu kecu

bung dari Martapura, atau lebih tepatnya seperti batu kinyang air

muda kebiru -biruan yang tersembunyi di kedalaman dasar Sungai

Mirang. Amat berb eda dengan kuku Sahar yang jika memanjang ia

akan melebar dan makin lama semakin menganga, persis seperti

Dan yang tercantik dari yang paling cantik adalah kuku jari

manisnya. Ia memperlihatkan seni perawatan kuku tingkat itnggi

melalui potongan pendek natural dengan tepian kuku berwarnakulit

yang klasik. Tak berleb ihan jikakukatakan bahwa paras kuku jari

manis nona misterius ini laksana batu merah delima yang terindah

di antara tumpukan harta karun raja brana yang tak ternilai

Aku sudah terlalu sering mendapatkan tugas membeli kap ur

yang menjengkelkan ini, sudah puluhan kali. Satu-satunya

penghiburan dari tugas hor or ini adalah kesempatan menyaksikan

sekilas kuku-kuku itu lalu menertawakan bagaimana

kontrasnyakuku-kuku zamru d khatulistiwa tersebut dibanding

potongan- potongan kecil terasi busuk di seantero toko bobrok ini.

Karena terlalu sering, aku jadi hafal jadwal si nona misterius

memotong kukunya setiap hari Jumat, lima minggu sekali.

Demikianlah berlangsung selama beberapa tahun. Aku tak

pernah seklai pun melihat wajah non aini dan ia pun sama sekali tak

berminat melihat bagaimana rupaku.

Bah kan setiap kuucapkan kamsia setelah kuterima kotak

kapurnya, ia juga tidak menjawab. Diam seribu bahasa. Non penuh

rahasia ini seperti pengejawantahan makhluk asing dari negeri antah

berantah, dan ia dengan sangat konsisten menjaga jarak

denganku. Tidak ada basa basi, tak adangobrol-ngobrol, tak ada

buang-buang waktu untuk soal remeh-temeh, yang ada hanya b

isnis! Kadangkala aku penasaran ingin melihat bagaimana wajah

pemilik kuku -kuku nirwana itu . Apakah wajahnya seindah kukukukunya? Apakah jari-jari tangan kirinya seindah jari-jari tangan kan

annya? Atau .. . apakah dia Cuma punya satu tangan? Janganjangan dia tidak punya wajah ! Tapi semua pikiran itu hanya di

dalam hatiku saja. Tak adaniat sedikit pun untuk mengintip

wajahnya. Mendapat kesempatan memandangi kuku-kukunya saja

pun cukuplah untuk membuatku bahagia. Kawan , aku tidak

termasuk dalam golongan pria-pria yang kurang ajar.

Biasanya setelah mengambil kapur, ikami langsung pulang, A

Miauw akan mencatat di buku utang dan nanti akan dilunasi Pak

Har fan setiapakhir bulan. Kami tak berurusan dengan masalah

keuangan, dan ketika kami berlalu, si juragan itu tak sedikit pun

melirik kami. Ia menjentikkan dengan keras biji-biji sempoe seolah

mengingatkan “Utang kalian sudah menumpuk!.

Bagi A Miauw kami adalah pelanggan yang tidak

menguntungkan, alias hanya merepo tkan saja. Kalau sekali-kali

Syah dan mendekatinya untuk meminjam pompa sepeda, ia akan

meminjamkan pompa itu sambil mengomel meledak-ledak. Aku

benci sekali melihat kaus kutangnya itu.

Sekarang sudah hampir tengah hari, udara s emakin panas.

Berada di tengah toko ini serasa direbus dalam panci sayur lo deh

yang mendidih. Cuaca mendung tapi gerahnya tak terkira. Aku

sudah tak tahan dan mau muntah. Untungnya A Miauw, seperti

biasa, menjerit memerintah kan nona misterius agar menjulurkan

kap ur di kotak merpati. Dengan pandangan matanya yang sok

kuasa A Miauw memberiku isyarat untuk mengambil kapur itu.

Aku berjalan cepat melintas iakrung- karung bawang putih

tengik sambil menutup hid ung. Aku bergegas agar tugas penuh

siksaan ini segera selesai. Namun, tinggal beberapa langkah

mencapai kotak merpati sekejapangin semilir yang sejuk berembus

meniup telingaku—hanya sekejap saja. Saat itu tak kusadari bahwa

sang nasib yang gaib menyelinap ke dalam toko bobrok itu,

mengepungku, dan menyergapku tanpa ampun, karena tepat pada

momen itu ku dengar si nona berteriak keras mengejutkan:

Ber samaan dengan teriakan itu terdengar suara puluhan

batangan kap ur jatuh di atas lantai ubin.

Rupanya si kuku cantik semb rono sehingga ia menjatuh kan

kotak kapur sebelum aku sempat mengambilnya. Maka kapur-kap ur

itu sekarang berserakan di lantai.

Agaknya aku harus merangkak-rangkak, memunguti kapurkapur itu di sela-sela karung buah kemiri, meskipun kulitnya telah

dikelu pas, tapi buahnya masih basah sehingga berbau

memusingkan kepala. Kuperlu kan ban tuan Syahdan, namun

kulihat ia sedang berbicara dengan p utri tukang hok lo pan atau

martabak terang bulan seperti orang men ceritakan dirinya sedang

banyakuang karena baru saja selesai men jual 15 ekor sapi. Aku tak

mau mengganggu saat-saat go mbalnya itu.

Maka apa boleh buat, kup unguti susah payah kap ur-kapur

itu. Sebagian kapur itu jatuh di bawah daun pintu terbuka yang

dibatasi oleh tirai yang amat rapat, terbuat dari rangkaian keongkeong kecil. Aku tahu di balik tirai itu, sang nona itu juga

memunguti kapur karenaku dengar gerutuan nya.

“Haiyaaa . .. haiyaaa .. ...

Ketika aku sampai pada kapur-kapur yang berserakan persis di

bawah tirai itu, hatiku berkata pasti nona ini akan segera menutup

pintu agaraku tidak punya kesempatan sedikit pun untuk melihat dia

lebih dari melihat kukunya, namun yang terjadi kemudian sungguh

di luar dugaan. Kejadiannya sangat mengeju tkan, karena amat

cepat, tanpa disangka sama sekali, si n ona misterius justru tiba-tiba

membuka tirai dan tindakan cer obohnya itu membuat wajah kami

sama-sama terperanjat hampir bersentuhan!!! Kami beradu pandang

dekat sekali ... dan suasana seketika menjadi hening ... . Mata kami

bertatapan dengan perasaan yang tak dapat kulukiskan dengan

kata-kata. Kapur-kapur yang telah iakumpulkan terlepas dari geng

gamannya, jatuh berserakan, sedangkan kapur-kap ur yang ada di

genggamanku terasa dingin membeku seperti aku sedang men

cengkeram batangan-batangan es lilin.

Saat itu kau merasa jarum detik seluruh jam yang ada dunia

ini berhenti berdetak. Semua gerakan alam tersentak diam dipotret

Tuhan dengan kamera raksasa dari langit, blitz -nya membutakan,

flash !!! Menyilaukan dan membekukan. Aku terpan a dan merasa

seperti melayang, mati suri, dan mau pingsan dalam ekstase. Aku

tahu A Miauw pasti sedang ber teriak- teriak tap i aku tak

mendengar sepatah kata p un dan aku tahu per sis bau busuk toko

itu semkin menjadi-jadi dalam udara pengap di bawah atap seng,

tapi pancaindraku telah mati. Aliran darah di sekujur tubuhku

menjadi dingin, jantungku berhenti berdetak seb entar kemudian

berdegup kencang sekali dengan ritme yang kacau seperti kode

morse yang meletup-letup kan pesan SOS. Leb ih dari itu aku

menduga bahwa dia, si misterius berkuku seindah pelangi, yang

tertegun seperti patung persis di depan hidungku ini, agaknya juga

dilanda perasaan yang sama.

Siun! Siun! Segere...! ” teriak kuli-kuli Sawang, terdengar

samar, menggema jauh berulang-ulang seperti didengungkan di

dalam gua yang panjang dan dalam, mereka memintaku minggir.

Tapi kami berdua masih terpaku pandang tanpa mampu

berkata apa pun, lidahku terasa kelu, mu lutku terkunci rapat— leb

ih tepatnya ternganga. Takada satu kata pun yang dapat terlaksana.

Aku tak sanggup beranjak. Wanita ini memiliki aura yang

melumpuhkan. Tatapan matanya itu mencengkeram hatiku.

Ia memiliki struktur wajah lonjong dengan air muka yang

Hidungnya kecil dan bangir. Garis wajahnya tirus dengan

tatapan mata k harismatik menyejukkan seklaigus menguatkan hati,

seperti tatapan wanita-wan ita yang telah menjadi ibu suri. Jika

menerima nasihat dari wanita bermata semacam ini, semangat pria

mana pun akan berkobar.

Bajunya ketat dan bagus seperti akan berangkat kondangan,

dengan dasar biru dan motif kembang p ortlan dica kecil-kecil

berwarna hijau mu da menyala. Kerah baju itu memiliki kancing

sebesar jari kelingking, tinggi sampai ke leher, merefleksikan

keanggunan seorang wanita yang menjaga integritasnya dengan

keras. Alisnya indah alami dan jarak antara alis dengan batas

rambut di keningnya membentuk pr oporsi yang cantik memesona.

Ia adalah lukisan Monalisa yang ditenggelamkan dalam danau yang

dangkal dan dipandangi melalui terang cahaya bulan.

Seperti kebanyakan ras Mongoloid , tu lang pipinya tidak men

onjol, tapi bidang wajahnya, bangun bahunya, jenjang lehernya,

potongan rambutnya, dan jatuh dagunya yang elegan menciptakan

keseluruhan kesan dirinya benar-benar mirip Michelle Yeoh,

bintang film Malaysia yang cantik itu. Maka terkuaklah rahasia yang

tertutup rapi selama bertahun-tahun. Sang pemilik kuku-kuku indah

itu ternyata seorang wanita mu da cantik jelita dengan aura yang tak

dapat dilukiskan dengan cara apa pun.

Kejadian ini membaut pipinya yang putih bersih tiba-tiba

memerah dan matanya yang sipit bening seperti ingin

menghamburkan air mata. Aku tahu bahwa selain sejuta perasaan

tadi yang mungkin sama-sama melanda kami, ia juga merasakan

malu tak terkira. Ia bangkit dengan cepat dan membanting pintu

tanpa ampun. Ia tak peduli dengan kapur-kapuritu dan tak peduli

padaku yang masih hilang dalam temp at dan waktu.

Suara keras bantingan pintu itu membuatku siuman dari

sebuah peson a yang memabukkan dan menyadarkan aku bah wa

aku telah jatuh cinta. Aku limbung, kepalaku pening dan pandangan

mataku berkunang-kun ang karena syok berat.

Beberapa waktu berlalu aku masih ter duduk terbengongbengong bertu mpu di atas lu tutku yang gemetar. Aku mencoba

mengatur napas dan darahku berdesir menyelusuri seluruh tubuhku

yang berkeringat dingin . Aku bar u saja dihantam secara dahsyat

oleh cinta pertama pada pandangan yang paling pertama. Sebuah

perasaan hebat luar biasa yang mungkin dirasakan manusia.

Aku berupaya keras bangun dan ketika aku menoleh ke

belakang, orang-orang di sekelilingku , Syahdan yang menghamp

iriku, A Miau w yang menunjuk-nunjuk, orang-orang bersarung yang

pergi beriringan , dan kuli-kuli Sawang yang terhu yung- huyung

karena beban piku lan nya, mereka semuanya, seolah bergerak

seperti dalam slow motion , demikian indah , demikian anggun.

Bahkan para uli panggul yang memilikul karung jengkol tiba-tiba

bergerak penuh wibawa, santun, lembu t, dan berseni, seolah

mereka sedang memperagakan busana Armani yang sangat mahal

Aku tak peduli lagi dengan kotak kap ur yang isinya tinggal

setengah. Aku berbalik meninggalkan toko dan merasa kehilangan

seluruh b obot tubuh dan beban hidupku. Langkahku ringan laksana

orang suci yang mampu berjalan di atas air. A ku menghampiri

sepeda reyot Pak Harfan yang sekarang terlihat seperti sepeda

keranjang baru. Aku dihinggapi semacam perasasaan bahagia yang

aneh, sebu ah rasa bahagia bentuk lain yang b elu m pernah

kualami sebelumnya. Rasa bahagia ini melebihi ketika aku men

dapat hadiah radio tran sistor 2- ba nd dari ibuku sebagai upah mau

Ketika memp ersiapkan sepeda untuk p ulang, aku mencuri

pandang ke dalam toko. Kulihat dengan jelas Michele Yeoh

mengintipku dari balik tirai keong itu. Ia berlindung, tap i sama

sekali tak menyembunyikan persaaannya. Aku kembali melayang

menembus bintang gemerlapan, menari-nari di atas awan ,

menyanyikan lagu nostalgia Have I To ld You Lately That I Love

You . Aku menoleh lagi ke b elakang, di situ, di antara tumpukan

kemiri basah yang tengik, kaleng-kaleng minyak tanah, dan karungkarung pedak cumi aku telah menemukan cinta.

Kutatap Syahdan dengan senyum terbaik yang aku memiliki—

ia membalas dengan pandangan aneh— lalu kuangkat tubuhnya

yang ekcil untuk mendudukkannya di atas sepeda. Aku ingin,

degnangemira, mengayuh sepeda itu, membon ceng Syahdan,

mengantarnya ke tempat-tempat di mana saja di jagad raya ini yang

ia inginkan. Oh, inilah rupanya yang disebut mabuk kepayang!

Dalam perjalanan pulang aku dengan sengaja melanggar perjanjian.

Setelah kuburan Tiongh oa aku tak meminta Syahdan

menggantikanku. Karena aku sedang bersu kacita. Seluruh energi

positif ko smis telah memberiku kekuatan ajaib. Semua terasa adil

kalau sedang jatuh cinta. Cinta memang sering memb uat

perhitungan menjadi kacau . Sepanjang perjalanan aku bersiul

dengan lagu yang tak jelas. Lagu tanpa harmoni; lagu yang belum

pernah tercipta, karena yang menyanyi bukan mulutku, tapi hatiku.

Jika sedang tak bersiul di telingaku tak henti-henti berkumandang

lagu All I Have to Do is Dream .

Seusai pelajaran aku dan Syahdan dipanggil Bu Mus untuk

mempertanggungjawabkan kapur yang kurang. Aku diam meatung,

tak mau berdusta, tak mau menjawabapa pun yang ditanyakan, dan

tak mau membantah apa pun yang dituduhkan. Aku siap menerima

hukuman seberat apa pun—termasuk jikalau harus mengambil

ember yang kemarin dijatuhkan Trapani di sumur horor itu. Saat itu

yang ada di pikiranku hanyalah Michele Yeoh , Michele Yeoh, dan

Michele Yeoh, serta detik -detik ketika cinta menyergapku tadi.

Hukuman yang kejam hanya akan menambah sentimentil suasana

romantis di mana aku rela masuk sumur mau t dunia lain sebagai

pahlawan cinta pertama .... Ah! Cinta ...

Benar saja hukumannya seperti kud uga. Sebelum turun ke

dalam sumur sempat kulihat Bu Mus menginterogasi Syahdan yang

mengangkat- angkat bahunya yang kecil, menggeleng-gelengkan

kepalanya, dan menyilangkan jarinya di kening.

“Hah! Ia menuduhku sudah sinting .. .?.

BARU kali ini Mahar menjadi penata artistik karnaval, dan

karnaval ini tidak main-main, inilah peristiwa besar yang sangat

penting, karnaval 17 Agustus. Sebenar nya guru-guru kami agak

pesimis karena alasan klasik, yaitu biaya. Kami demikian miskin

sehingga tak pernah punya cukup dana untuk membuat karnaval

yang representatif. Para guru juga merasa malu karena parade kami

kumuh dan itu-itu saja. Namun, ada sedikit harapan tahun ini.

Harapan itu adalah Mahar.

Karnaval 17 Agustus sangat potensial untuk

meningkatkangengsi sekolah, sebab ada penilaian serius di sana.

Ada kategori busana terbaik, parade paling megah, peserta paling

serasi, dan yang paling bergengsi: penampil seni terbaik. Gengsi ini

juga tak terlepas dari integritas para juri yang dipimpin oleh seorang

seniman senior yang sudah kondang, Mbah Suro namanya. Mbah

Suro adalah orang Jawa, ia seniman Yogyakarta yang hijrah ke

Belitong karena idealisme berkeseniannya. Karena sangat idelais

maka tentu saja Mbah Suro juga sangat melarat.

Seperti telah diduga siapa pun, seluruh kategori—mulai dari

juara pertama sampai juara harapan ketiga—selalu diborong

sekolah PN. Kadang-kadang sekolah negeri mendapat satu dua sisa

juara harapan. Sekolah kampung tak pernah mendapat

penghargaan apa pun karena memang tasmpil sangat apa adanya.

Tak lebih dari penggembira.

Sekolah-sekolah negeri mampu menyewa pakaian adat

lengkap sehingga tampil memesona. Sekolah-sekolah PN lebih

keren lagi. Parade mereka berlapis-lapis, paling panjang, dan selalu

berada di posisi paling strategis. Barisan terdep an adalah puluhan

sepeda keranjang baru yang dihias berwarna-warni. Bukan hanya

sepedanya, pengendaranya pun dihias dengan pakaian lucu.

Lonceng sepeda edibunyikan dengan keras bersama-sama, sungguh

Pada lapisan kedua berjejer mobil-mobil hias yang

dindandani berbentuk perahu, pesawat terbang, helikopter, pesawat

ulang alik Apollo, taman bunga, rumah adat Melayu, bahkan kapal

keruk. Di atas mobil-mobil ini berkeliaran putri-putri kecil

berpakaian putih bersih, bermahkota, dengan rok lebar seperti C

inderella. Putri-putri peri ini membawa tongkat berujung bintang,

melambai-lambaikan tangan pada para penonton yang bersukacita

dan melempar-lemparkan permen.

Setelah parade mobil hias muncullah barisan para profesional,

yaitu para murid yang berdandan sesuai dengan cita-cita mereka.

Banyak di antara mereka yang berjubah putih, berkacamata tebal,

dan mengalungkan stetoskop. Tentulah anak-anak ini nanti jika

sudah besar ingin jadi dokter.

Ada juga para insinyur dengan pakaian overall dan berbagai

alat, seperti test pen , obeng ,dan berbagai jenis kunci. Beberapa

siswa membawa buku-buku tebal, mikroskop, dan teropong bintang

karena ingin menjadi dosen, ilmuwan, dan astronom. Selebihnya

berseragam pilot, pramugari, tentara, kapten kapal, dan polisi,

gagah sekali. Guru- gurunya—di bawah komando Ibu Frischa—

tampak sangat bangga, mengawal di depan, belakang, dan samping

barisan, masing-masing membawa hand y talky .

Setelah lapisan profesi tadi muncul lapisan penghibur yang

menarik. Inilah kelompok badut-badut, para pahlawan super seperti

Superman, Batman, dan Captain America. Balon-balongas

menyembul-nyembul dibawa oleh kurcaci dengan tali-tali setinggi

tiang telepon. Dalam barisan ini juga banyak peserta yang memakai

baju binatang, mereka menjadi kuda, laba-laba, ayam jago, atau

ular-ular naga. Mereka menari-nari raing dengan koreografi yang

menarik. Mereka juga bernyanyi-nyanyi sepanjang jalan,

mendendangkan lagu anak-anak yang riang. Yang paling menponjol

dari penampilan kelompokini adalah serombongan anak-anak yang

berjalan-jalan memakai engrang. Di antara mereka ada seorang

anak perempuan dengan egrang paling tinggi melintas dengan

tangkas tanpa terlihat takut akan jatuh. Dialah Flo, dan dia

melangkah ke sana kemari sesuka hatinya tanpa aturan. Penata

rombongan ini susah payah menertibkannya tapi ia tak peduli. Ayah

ibunya tergopoh-gopoh mengikutinya, berteriak- teriak

menyuruhnya berhati-hati, Flo berlari-lari kecil di atas egrang itu

membuat kacau barisannya.

Penutup barisan karnaval sekolah PN adalah barisan

marching band . Bagian yang paling aku sukai. Tiupan puluhan

trambon laksana sangkakala hari kiamat dan dentuman timpani

Marching band sekolah PN memang bukan sembarangan.

Mereka disponsori sepenuhnya oleh PN Timah. Koreografer,

penata busana, dan penata musiknya didatangkan khusus dari

Jakarta. Tidak kurang dari seratus lima puluh siswa terlibat dalam

marching band ini, termasuk para colour guard yang atraktif. Tanpa

marching band sekolah PN, karnav al 17 Agustus akan kehilangan

Puncak penampilan parade karnaval sekolah PN adalah saat

barisan panjang marching band membentuk fomrasi dua kali

putaran jajarangenjang sambil memberi penghormatan di depan

podium kehormatan. Dengan penataan musik, koregrafi, dan

busana yang demikian luar biasa, marching band PN selalu

menyabet juara pertama untuk kategori yang paling bergengsi tadi,

yaitu Penampil Seni Terbaik. Kategori ini sangat menekankan

konsep performing art dalam trofinya adalah idaman seluruh

Sudah belasan tahun terakhir, tak tergoyahkan, trofi tersebut

terpajang abadi di lemari prestisius lambang supremasi sekolah PN.

Podium kehormatan merupakan tempat terhormat yang

ditempati makhluk- makhluk terhormat, yaitu Kepala Wilayah

Operasi PN Timah, sekretarisnya, seseorang yang selalu membawa

walky talky , beberapa pejabat tinggi PN Timah, Pak C amat, Pak

Lurah, Kapolsek, Komandan Kodim, para Kepala Desa, para tauke,

Kepala Puskesmas, para Kepala Din as, Tuan Pos, Kepala Cabang

Bank BRI, Kep ala Suku Sawang, dan kepala-kepala lainnya, b

eserta ibu. Podium ini berada di tengah-tengah pasar dan di sanalah

pusat penonton yang paling ramai. Masyarakat lebih suka menonton

di dekat podium daripada di pinggir-pinggir jalan, karena di podium

para peserta diwajibkan beraksi, menunjukkan kelebihan, dan

mempertontonkan atraksi andalannya sambil memberi

penghormatan. Di sudut podium itulah bercokol Mbah Suro dan

para juri yang akan memberi penilaian.

Bagi sebagian warga Muhammadiyah, karnaval justru

pengalamanyang kurang menyenangkan, kalautidak bisa dibilang

traumatis. Karnaval kami hanya terdiri atas serombongan anak kecil

berbaris banjar tiga, dipimpin oleh dua orang siswa yang membawa

spanduk lambang Muhammadiyah yang terbuat dari kain belacu

yang sudah lusuh. Spanduk itu tergantung menyedihkan di antara

dua buah bambu kuning seadanya.

Di belakangnya berbaris para siswa yang memakai sarung,

kopiah, dan baju takwa.

Mereka melambangkan tokoh-tokoh Sarekat Islam dan

pelopor Muhammadiyah tempo dulu.

Samson selalu berpakaian seperti penjaga pintu air. Tentu

bukan karena setelah besar ia ingin jadi penjaga pintu air seperti

ayahnya, tapi hanya itulah kostum karnaval yang ia punya.

Sedangkan pakaian tetap Syahdan adalah pakaian nelayan, juga

sesuai dengan profesi ayahnya. Adapun A Kiong selalu mengenakan

baju seperti juri kunci penunggu gong sebuah perguruan shaolin.

Sebagian besar siswa memakai sepatu bot tinggi, baju kerja

terusan, dan helm pengaman. Pakaian ini juga milik orangtuanya.

Mereka memperagakan diri sebagai buruh kasar PN Timah. B

eberapa orang yang tidak memiliki sepatu bot atau helm tetap nekat

berparade memakai baju terusan. Jika ditanya, mereka mengatakan

bahwa mereka adalah buruh timah yang sedang cuti.

Selebihnya memanggul setandan pisang, jagung, dan

semanggar kelapa. Ada pula yang membawa cangkul, pancing,

beberapa jerat tradisional, radio, ubi kayu, tempat sampah, dan

gitar. Agar lebih dramatis Syahdan membawa sekarung pukat,

Lintang meniup-niup peluit karena ia wasit sepak bola, sementara

aku dan Trapani berlari ke sana kemari mengibas-ngibaskan

bendera merah karena kami adalah hakim garis.

Beberapa siswa memikul kerangka besar tulang belulang ikan

paus, membawa tanduk rusa, membalut dirinya dengan kulit buaya,

dan menuntun beruk peliharaan—tak jelas apa maksudnya.

Seorang siswa tampak berpakaian rapi, memakai sepatu hitam,

celana panjang warna gelap, ikat pinggang besar, baju putih lengan

panjang dan menenteng sebuah tas koper besar. Siswa ajaib ini

adalah Harun. Tak jelas profesi apa yang diwakilinya. Di mataku dia

tampak seperti orang yang diusir mertua.

Demikianlah karnaval kami seetiap tahun. Tak melambangkan

cita-cita. Mungkin karena kami tak berani bercita-cita. Setiap siswa

disarankan memakai pakaian profesi orangtua karena kami tak

punya biaya untuk membuat atau menyewa baju karnaval.

Semuanya adalah wakil profesi kaum marginal. Maka dalam

hal ini Kucai juga berpakaian rapi seperti Harun dan ia melambailambaikan sepucuk kartu pensiun kepada para penonton

sebabayahnya adalah pensiunan. Sedangkan beberapa adik

keclasku terpaksa tidak bisa mengikuti karnaval karena ayahnya

Satu-satunya daya tarik karnaval kami adalah Mujis.

Meskipun bukan murid Muhammadiyah namun tukang semprot

nyamuk ini selalu inginikut. Dengan dua buah tabung seperti

penyelam di punggungnya dan topeng yang berfungsi sebagai

kacamata dan penutup mulut seperti moncong babi, ia

menyemprotkan asap tebal dan anak-anak kecil yang menonton di

pinggir jalan berduyun-duyun mengikutinya.

Jika melewati podium kehormatan, biasanya kami berjalan

cepat-cepat dan berdoa agar parade itu cepat selesai. Nyaris tak ada

kesenangan karena minder. Hanya Harun, dengan koper zaman

The Beatles-nya tadi yang melenggang pelan penuh percaya diri

dan melemparkan senyum penuharti kepada para petinggi di

Mungkin dalam hati para tamu terhormat itu bertanya-tanya,

“Apa yang dilakukan anak-anak beb ek ini?.

Kenyataan inilah yang memicu pro dan kontra di antara murid

dan guru Muhammadiyah setiap kali akan karnaval. Beberapa guru

menyarankan agar jangan ikut saja daripada tampil seadanya dan

bikin malu. Mereka yang gengsian dan tak kuat mental seperti

Sahara jauh-jauh hari sudah menolak berpartisipasi. Maka sore ini,

Pak Harfan, yang berjiwa demokratis, mengadakan rapat terbuka di

bawah pohon fillicium . Rapat ini melibatkan seluruh guru dan

Beliau diserang bertubi-tubi oleh para guru yang tak setuju

ikut karnaval, tapi beliau dan Bu Mus berpendirian sebaliknya.

Suasana memanas. Kami terjebak di tengah.

“Karnaval ini adalah satu-satunya cara untuk menunjukkan

kepada dunia bahwa sekolah kita ini masiheksis di muka bumi ini.

Sekolah kita ini adalah sekolah Islam yang mengedepankan

pengajaran nilai-nilai religi, kita harus bangga dengan hal itu!.

Suara Pak Harfan ber gemuruh. Sebuah pidato yang

menggetarkan. Kami bersorak sorai mendukung beliau. Tapi tak

berhenti sampai di situ.

“Kita harus karnaval! Apa pun yang terjadi! Dan biarlah tahun

ini para guru tidak ikut campur, mari kita beri kesempatan kepada

orang-orang muda berbakat seperti Mahar untuk menunjukkan

kreativitasnya, tahukah kalian ... dia adalah seniman yang genius!.

Kali ini tepuk tangan kami yang bergemuruh, gegap gempita

sambil berteriak- teriak seperti suku Mohawk berperang. Pak Harfan

telah membakar semangat kami sehingga kami siap tempur. Kami

sangat mendukung keputusan Pak Harfan dan sangat senang karena

akan digarap oleh Mahar, teman kami sekelas. Kami mengeluelukannya, tapi ia tak tampak. Ooh, rupanya dia sedang

bertengger di salah satu dahan filicium . Dia tersenyum.

Sebagai kelanjutan kep utusan rapat akbar, Mahar serta-merta

mengangkat A Kiong sebagai General Affairassistant , yaitu

pembantu segala macam urusan. A Kiong mengatakan padaku tiga

malam dia tak bisa tidur saking bangganya dengan penunjukan itu.

Dan telah tiga malam pula Mahar bersemadi mencari inspirasi. Tak

Kalau masuk kelas Mahar diam seribu bahasa. Belum pernah

aku melihatnya seserius ini. Ia menyadari bahwa semua orang

berharap padanya. Setiap hari kami dan para guru menunggu

dengan was was konsep seni kejutan seperti apa yang akan ia

tawarkan. Kami menunggu seperti orang menunggu buku baru

Agatha Christie. Jika kami ingin berbicara dengannya dia buru-buru

melintangkan jari di bibirnya menyuruh kami diam. Menyebalkan!

Tapi begitulah seniman bekerja. Dia melakukan semacam riset,

mengkhayal, dan berkontemplasi.

Dia duduk sendirian menabuh tabla , mencari-cari musik,

sampai sore di bawah filicium . Tak boleh didekati. Ia duduk

melamun menatap langit lalu tiba-tiba berdiri, mereka-reka

koreografi, berjingkrak-jingkrak sendiri, meloncat, duduk, berlari

berkeliling, diam, berteriak-teriak seperti orang gila, menjatuhkan

tubuhnya, berguling- guling di tanah, lalu dia duduk lagi, melamun

berlama-lama, bernyanyi tak jelas, tiba-tiba berdiri kembali, berlari

ke sana kemari. Tak ada ombak tak ada anginia menyeruduknyeruduk seperti hewan kena sampar.

Apakah ia sedang menciptakan sebuah master piece? Apakah

ia akan berhasil membuktikan sesuatu pada event yang

mempertaruhkan reputasi ini? Apakah ia akan berhasil membalikkan

kenyataan sekolah kami yang telah dipandang sebelah mata dalam

karnaval selama dua puluh tahun? Apakah ia benar-benar seorang

penerobos, seorang pendobrak yang akan menciptakan sebuah

prestasi fenomenal? Haruskan ia menanggung beban seberat ini?

Bagaimanapun ia masih tetap seorang anak kecil.

Kuamati ia dari jauh. Kasihan sahabatku seniman yang

kesepian itu, yang tak mendapatkan cukup apresiasi, yang selalu

kami ejek. Wajahnya tampak kusut semrawut.

Sudah seminggu berlalu, ia belum juga muncul dengan

Lalu pada suatu Sabtu pagi yang cerah ia datang ke sekolah

Kami paham ia telah mendapat pencerahan. Jin-jin telah

meraupi wajah kucel kurang tidurnya dengan ilham, dan Dionisos,

sang dewa misteri dan teater, telah meniup ubun- ubunnya subuh

tadi. Ia akan muncul dengan ide seni yang seksi. Kami sekelas dan

banyak siswa dari kelas lain serta para guru merubungnya. Ia maju

ke depan siap mempresentasikan rencananya. Wajahnya optimis.

Semua diam siap mendengarkan. Ia sengaja mengulur waktu,

menikmati ketidaksabaran kami. Kami memang sudah sangat

penasaran. Ia menatap kami satu per satu seperti akan

memperlihatkan sebuah bola ajaib bercahaya pada sekumpulan

“Tak ada petani, buruh timah, guru ngaji, atau penjaga pintu

air lagi utnuk karnaval tahun ini!” teriaknya lantang, kami terkejut.

Dan ia berteriak lagi.

“Semua kekuatan sekolah Muhammadiyah akan kita satukan

Kami hanya terperangah, belum mengerti apa maksudnya,

tapi Mahar optimis sekali.

“Apa itu Har? Ayolah, bagaimana nanti kami akan tampil,

jangan bertele-tele!.

tanya kami penasaran hampir bersamaan. Lalu inilah ledakan

“Kalian akan tampil dalam koreografi massal suku Masai dari

Kami saling berpandangan, serasa tak percaya dengan

pendengaran sendiri. Ide itu begitu menyengat seperti belut listrik

melilit lingkaran pinggang kami. Kami masih kaget dengan ide luar

biasa itu ketika Mahar kembali berteriak menggelegar

melambungkangairah kami.

“Lima puluh penari! Tiga puluh penabuh tabla! Berputar-putar

seperti gasing, kita ledakkan podium kehormatan!.

Oh, Tuhan, aku mau pingsan. Serta-merta kami melonjak

girang seperti kesurupan, bertepuk tangan, bersorak sorai senang

membayangkan kehebohan penampilan kami nanti. Mahar memang

sama sekali tak bisa diduga. Imajinasinya liar meloncat-loncat,

mendobrak, baru, dan segar.

“Dengan rumbai-rumbai!” kata suara keras di belakang. Suara

Pak Harfan sok tahu. Kami semakingegap gempita. Wajah beliau

sumringah penuh minat.

“Dengan bulu-bulu ayam!” sambung Bu Mus. Kami semakin

“Dengan surai-surai!.

“Dengan lukisan tubuh!.

Demikianguru-guru lain sambung-menyambung.

“Belum pernah ada ide seperti ini!” kata Pak Harfan lagi.

Para guru mengangguk-angguk salut dengan ide Mahar.

Mereka salut karena selain kana menampilkan sesuatu yang

berbeda, menampilkan suku terasing di Afrika adalah ide yang

cerdas. Suku itu tentu berpakaian seadanya. Semakin sedikit

pakaiannya— atau dengan kata lain semakin tidak berpakaian suku

itu—maka anggaran biaya untuk pakaian semakin sedikit. Ide

Mahar bukan saja baru dan yahud dari segi nilai seni tapi juga

aspiratif terhadap kondisi kas sekolah. Ide yang sangat istimewa.

Seluruh kalangan di perguruan Muhammadiyah sekarang

menjadi satu hati dan mendukung penuh konsep Mahar. Semangat

kami berkobar, kepercayaan diri kami meroket. Kami saling

berpelukan dan men eriak kan nama Mahar. Ia laksana pahlawan.

Kami akan menampilkan sebuah tarian spektakuler yang

belum pernah ditampilkan sebelumnya. Dengan suara tabla

bergemuruh, dengan kostum suku Masai yang eksotis, dengan

koreografi yang memukau, maka semua itu akan seperti festival Rio.

Kami sudah membayangkan penonton yang terpeona. Kali ini,

untuk pertama kalinya, kami beran i bersaing.

Setelah itu, setiap sore, di bawah pohon filicium , kami bekerja

keras berhari-hari melatih tarian aneh dari negeri yang jauh. Sesuai

dengan arahan Mahar tarian ini harus dilakukan dengan gerakan

cepat penuh tenaga. Kaki dihentakkan-hentakkan ke bumi, tangan

dibuang ke langit, berputar-putar bersama membentuk formasi

lingkaran, kemudian cepat-cepat menunduk seperti sapi akan

menanduk, lalu melompat berbalik, lari semburat tanpa arah dan

mundur kembali ke formasi semula dengan gerakan seperti banteng

mundur. Kaki harus mengais tanah dengan garang. Demikian

Tak ada gerakan santai atau lembut, semuanya cepat, ganas,

rancak, dan patah-patah.

Mahar menciptakan koreografi yang keras tapi penuh nilai

seni. Asyik ditarikan dan merupakan olah raga yang menyehatkan.

Tahukah Anda apa yang dimaksud dengan bahagia? Ialah apa

yang aku rasakan sekarang. Aku memiliki minat besar pada seni,

akan emmbuat sebuah performing art bersama para sahabat

karib—dan kemungkinan ditonton oleh cinta pertama? Aku

mengalami kebahagiaan paling besar yang mungkin dicapai seorang

Kami sangat menyukai gerakan- gerakan nerjik rekaan Mahar

dan kuat dugaanku bahwa kami sedang menarikan kegembiraan

suku Masai karena sapi-sapi peliharaannya baru saja beranak.

Selainitu selama menari kami harus meneriakkan kata-kata yang tak

kami pahami artinya seperti, “Habuna! Habuna! Habuna! Baraba...

baraba...baraba..habba...habba..homm!.

Ketika kami tanyakan makna kata-kata itu, dengan gaya

seperti orang memiliki pengetahuan yang amat luas sampai

melampaui benua Mahar menjawab bahwa itulah pantun orang

Afrika. Aku baru tahu ternyata orang Afrika juga memiliki kebiasaan

seperti orang Melayu, gemar berpantun. Aku simpan baik-baik

Namun mengenai maksud, ternyata aku salah duga. Semula

aku menyangka bahwa kami berdelapan—karena Sahara tak ikut

dan Mahar sendiri menjadi pemain tabla—adlaah anggota suku

Masai yang gembira karena sapi-sapinya beranak. Tapi ternyata

kami adalha sapi-sapi itu sendiri. Karena setelah kami menari

demikian riang gembira, kemudian kami diserbu oleh dua puluh

ekor cheetah. Mereka mengepung, mencabik-cabik harmonisasi

formasi tarian kami, meneror, menerkam, mengelilingi kami, dan

mengaum-aum dengan garang. Lalu situasi menjadi kritis dan kacau

balau bagi paras api dan pada saat itulah menyerbu dua puluh

orang Moran atau prajurit Masai yang sangat terkenal itu. Prajuritprajurit ini menyelamatkan para sapi dan berkelahi dengan cheetah

yang menyerang kami. Gerakan cheetah itu direka-reka Mahar

dengan sangat genius sehingga mereka benar-benar tampak seperti

binatang yang telah tiga hari tidak makan. Sedangkan para Moran

dilatih lebih khusus sebab menyangkut keterampilan memainkan

properti-properti seperti tombak, cambuk, dan parang.

Demikianlah cerita koreografi Mahar. Keseluruhan fragmen itu

diiringi oleh tabuhan tiga puluh tabla yang lantang bertalu-talu

memecah langit. Para penabuh tabla juga menari-nari dengan

gerakan dinamis memesona. Hasil akhirnya adalah sebuah drama

seru pertarungan massal antara manusia melawan binatang dalam

alam Afrika yang liar, sebuah karya yang memukau, master piece

Nuansa karnaval semakin tebal menggantung di awan

Belitong Timur. Hari H semakin dekat. Seluruh sekolah sibuk

dengna berbagai latihan. Marching band sekolah PN sepanjang

sore melakukangeladi sepanjang jalan kampung. Baru latihannya

saja penonton sudah membludak. Meneror semangat peserta lain.

Tapi kami tak gentar. Situasi moril kami sedang tinggi. Melihat

kepemimpinan, kepiawaian, dan gaya Mahar kepercayaan diri kami

meletup-letup. Ia tampil laksana para event organizeratau para

seniman, atau mereka yang menyangka dirinya seniman.

Pakaiannya serba hitam dengan tas pinggang berisi walkman,

pulpen, kacamata hitam, batu baterai, kaset, dan deodoran. Kami

mengerahkan seluruh sumber daya civitas akademika

Muhammadiyah. Latihan kami semakin serius dan yang palihng

sering membaut kesalahan adalah Kucai. Meskipun dia ketua kelas

tapi di panggung sandiwara ini Maharlah yang berkuasa.

Mahar mencoba menjelaskan maksudnya dengan berbagai

cara. Kadang-kadang ia demikian terperinci seperti buku resep

masakan, dan lebih sering ia merasa frustrasi.

Namun, kami sangat patuh pada setiap perintahnya walaupun

kadang-kadang tidak masuk akal. Tapi ini seni, Bung, tak ada

hubungannya dengan logika.

“Dalam tarian ini kalian harus mengeluarkan seluruh ener gi

dan h arus tampak gembira! Bersukacita seperti karyawan PN baru

terima jatah kain, seprti orang Saqwang dapat utangan, seperti para

pelaut terdampar di sekolah perawat!.

Aku sungguh kagum dari mana Mahar menemukan kata-kata

seperti itu. Ketika istirahat A Kiong berbisik pada Samson, “Son, aku

baru tahu kalau di Belitong ada sekolah perawat di pinggir laut?.

Rupanya bisikan polos itu terdengar oleh Sahara yang

kemduian, seperti biasa, merepet panjang mencela keluguan A

Kiong, “Apa kau tak paham kalau itu perumpamaan! Banyak -

banyaklah membaca buku sastra!.

Sebuah Kejahatan Terencana

DAN tibalah hari karnaval. Hari yang sangat mendebarkan.

Mahar merancang pakaian untuk cheetah dengan bahan semacam

terpal yang dicat kuning bertutul-tutul sehingga dua puluh orang

adik kelasku benar-benar mirip hewan itu. Wajah mereka dilukis

seperti kucing dan rambut mereka dicat kuning menyala-nyala

Tiga puluh pemain tabla seluruh tubuhnya dicat hitam berkilat

tapi wajahnya dicat putih mencolok sehingga menimbulkan

pemandangan yang sangat aneh. Sedangkan dua puluh Moran atau

prajurit Masai sekujur tubuhnya dicat merah, mereka menggunakan

penutup kepala berup a jalinan besar ilalang, membawa tombak

panjang, dan mengenakan jubah berwarna merah yang sangat

besar. Tampak sangat garang dan megah .

Tampaknya Mahar memberi perhatian istimewa pada delapan

ekor sapi. Pakaian kami paling artistik. Kami memakai celana merah

tua yang menutup pusar sampai ke bawah lutut. Seluruh tubuh kami

dicat cokelat muda seperti sapi Afrika. Wajah dilukis berbelangbelang. Pergelangan kaki dipasangi rumbai-rumbai seperti kuda

terbang dengan lonceng-lonceng kecil sehingga ketika melangkah

terdengar suara gemerincing semarak. Di pinggang dililitkan

selendang lebar dari bahan bulu ayam. Kami juga memakai

beragam jenis aksesoris yang indah, yaitu anting-anting besar yang

dijepit dan gelang-gelang yang dibuat dari akar-akar kayu.

Yang paling istimewa adalah penutup kepala. Tak cocok jika

disebut topi, tapi lebih sesuai jika disebut mahkota seribu rupa.

Mahkota ini sangat besar, dibuat dari lilitan kain semacam stagen

yang sangat panjang. Lalu berbagai jenis benda diselipkan, dijepit,

atau dijahit pada stagen itu. Puluhan bulu angsa dan belibis,

berbagai jenis perdu sepanjang hampir satu meter, dahan sapusapu, berbagai bunga liar, berbagai jenis daun, dan benderabendera kecil. Empat hari Sahara membuat mahkota hebat ini. Lalu

punggung kami dipasangi sesuatu seperti surai kuda, bahannya—

seperti tertulis pada sketsa—adalah tali rafia. Kami adalah sapi yang

Inilah rancangan adiguna karya Mahar. Secara umum kami

tidak tampak seperti sapi. Dilihat dari belakang kami lebih mirip

manusia keledai, dari samping seperti ayam kalkun, dari atas seperti

sarang burung bangau. Jika dilihat dari wajah, kami seperti hantu.

Aksesori yang tampaknya biasa saja adlaah untaian kalung.

Juga sesuai dengan sketsa rancangan Mahar, kami akan memakai

kalung besar yang terbuat dari benda-benda bulat sebesar bola

pingp ong berwarna hijau. Tak ada yang istimewa dengan kalung ini

dan tak seorang pun mau membicarakannya. Kami sibuk membahas

mahkota kami. Kami yakin mahkota ini akan membuat orang

kampung ternga-nga mulutnya dan wanita-wanita muda di kawasan

pasar ikan berebutan kirim salam.

Tak disangka ternyata kalung yang tak menarik perhatian

itulah sesungguhnya sentral ide seluruh koreografi ini. Tak ada

seorang yang menduga bahwa pada untaian anak-anak kalung itu

Mahar menyimpan rahasia terdalam daya magis pen ampilan kami,

yang membuatnya tidak tidur tiga hari tiga malam. Sesungguhnya

kalung itulah puncak tertinggi kreativitas Mahar.

Setelah seluruh pakaian siap, Mahar mengeluarkan aksesori

terakhir dari dalam karung, yaitu kalung tadi. Jumlahnya delapan

sejumlah sapi. Kami semakingirang. Tentu Mahar telah bersusah

payah sendirian membuatnya. Kalung itu dibaut dari buah pohon

aren yang masih hijau sebesar bola pingpong yang ditusuk seperti

sate dengan tali rotan kecil. Kami berebutan memakainya. Tak

banyak pengetahuan kami mengenai buah hutan ini. Sebelum

parade kami berkumpul berpegangan tangan, menundukkan kepala

untuk berdoa, mengharukan.

Seperti telah kami duga, sambutan penonton di sepanajng

jalan sangat luar biasa.

Mereka bertepuk tangan dan berlarian mengikuti dari

belakang untuk melihat penampilan kami di depan podium

Menjelang podium kami mendengar gelegar suara sepuluh

unit trimpani, yaitu drum terbesar. Suaranya menggetarkan dada

dan ditimpali oleh suara membahan a puluhan instrumen brass

mulai dari tuba, horn, trombon, klarinet, trompet, saksopon tenor

dan bariton yang dimainkan puluhan siswa. Marching band sekolah

PN sedang beraksi! Pakaian pemain marching band dibedakan

berdasarkan instrumen yang dimainkan. Yang paling gagah adalah

barisan bass drum yang tampil menggunakan pakaian prajurit

Romawi. Mereka membuat helm bertanduk runcing dan benarbenar mencetak aluminium menjadi rompi lalu mengecatnya

dengan warnakuningan. Pemain simbal memakai rompi berwarnawarni dan bawahan celana p anjang biru yang dimasukkan dalam

sepatu bot Pendragon yang mahal setinggi lutut. Mereka seperti

sekawanan ksatria yang baru turun dari punggung kuda-kuda putih.

Marching band PN tampil semakin baik setiap tahun. Mereka selalu

menunjukkan bahwa mereka yang terbaik.

Sebagai entry podium kehormatan mereka melantunkan

glenn Miller’s In the Mood dengan interpretasi yang pas. Penonton

melenggak-lenggok diayun irama swing yang asyik. Para colour

guard serta-merta menyesuaikan koreografinya dengan gaya kabaret

khas tahun 60-an. Panggung kasino Las Vegas segera berpindah ke

sudut pasar ikan Belitong yang kumuh. Setiap siswa yang terlibat

dalam marching band ini belum- belum sudah mengumbar senyum

kemenangan seolah seperti tahun-tahun lalu: Penampil Seni Terbaik

tahun ini pasti mereka sabet. Tapi jika menyaksikan mereka beraksi

agaknya keyakinan itu memang sangat beralasan.

Sebagai puncak atraksi di depan podium mereka

membawakan Concerto for Trumpet dan Orchestra yang biasa

dilantunkan Wynton Marsalis. Dalam nomor ini penampilan mereka

amat mengagumkan. Agaknya mereka sudah bisa dikompetisikan di

luar negeri. Komposisi ini sesungguhnya adalah musik klasik karya

Johann Hummel tapi oleh Marching Band PN dibawakan kembali

dalam aransemen big band dengan kekuatan brass section yang

Bagian intro Concerto indah itu diisi atraksi lima belas pemain

blira dengan pecahan suara satu, dua, dan tiga. Lalu ikut bergabung

hentakan-hentakan sepuluh pasang simbal, bass drum, dan timpani.

Tempo dan bahana mereka pelankan ketika puluhan snare drum

mengambil alih. Jiwa siapa pun yang mendengarnya akan tergetar.

Belum tuntas sensasi penonton dengan buaian snare drum yang

cantik rancak tiba-tiba para colour guard memasuki medan,

membentuk formasi dan menampilkan tarian kontemporer yang

memikat. Bayangkan indahnya: sebuah big band dengan kekuatan

brasss, kostum yang gemerlapan, dan koreografi kontemporer.

Ribuan penonton bertepuk tangan kagum. Kemudian mereka

bersorak-sorai ketika tiga orang mayoret—ratu segala pesona—

dengan sangat terampil melempar- lemparkan tongkatnya tanpa

membuat kesalahan sedikit pun. Para mayoret cantik, bertubuh

ramping tinggi, dengan senyum khas yang dijaga keanggunannya,

meliuk-liuk laksana burung merak sedang memamerkan ekornya.

Wanita-wanita muda yang meloncat dari gambar-gambar di

almanak ini mengenakan rok mini degnan stocking berwarna hitam

dan sepatu bot Cortez metalik tinggi sampai ke lutut. Sarung

tangannya putih sampai ke lengan atas dan mereka bergerak

demikian lincah tanpa sedikit pun terhalangi hak sepatunya yang

Topinya adalah baret putih yang diselipi selembar bulu angsa

putih bersih seperti topi Robin Hood. Mereka tidak sekadar mayoret,

mereka adalah pergawati. Langkahnya cepat panjang-panjang dan

sering kali memekik memberi perintah. Pandangannya menyapu

seluruh penonton seperti tipuna sihir yang membius.

Wajahnya mencerminkan suatu kebiasaan bergaul dengan

barang-barang impor dan tidak mau menghabiskan waktu untuk

soal remeh-temeh. Jika sore mereka berjalan- jalan dengan

beberapa ekor anjing chihuahua dan malam hari makan di bawah

temaram cahaya lilin. Tak pernah kekenyangan dan tak pernah

berserdawa. Garis matanya memperlihatkan kemanjaan,

kesejahteraan dan masa depan yang gilang gemilang.

Mereka seperti orang-orang yang tak’kan pernah kami kenal

namanya, seperti orang yang berasal dari tempat yang sangat jauh

dan hanya mampir sebentar untuk membuat kami ternganga.

Mereka seperti orang-orang yang hanya memakan bunga-bunga

putih melati dan emngisap embun untuk hidup. Jubahnya dari

bahan sutera berkilat, berkibar-kibar tertiup angin, men ebarkan bau

Sementara di sini, di sudut ini, kami terpojok di pinggir, seperti

segerombolan spesies primata aneh yang menyembul-nyembul dari

sela-sela akar p ohon beringin.

Hitam, kumal, dan coreng-moreng, terheran-heran melihat

gemerlap dunia. Tapi kami segera membentuk barisan, tak surut

semangat, tak sabar menunggu giliran.

Segera setelah ujung Marching Band PN meninggalkan arena

podium dan perlahan-lahan menghilang bersama lagu syahdu

penutup sensasi: Georgia on My Mind, diiringi tepuk tangan dan

suitanpanjang penonton, seketika itu juga, tanpa membuang tempo,

dengan amat ejli mencuri momen, secara sangat mendadak Mahar

bersama tiga puluh pemain tabla menghambur tak beraturan

menguasai arena depan podium. Gerakan mereka mengagetkan.

Dengan dentuman tabla bertalu-talu serta tingkah tarian yang sangat

dinamis, penonton pun terperanjat. Mahar menyajikan

pemandangan natural, asli, yang sama sekali kontras dengan

marching band modern. Melalui lantakan tabla sekuat tenaga dan

gerak tari seperti ratusan monyet sedang berebutan dengan tupai

menjarah buah kuini, Mahar menyeret fantasi penonton ke alam

Penonton terbelalak menerima sajian musik etnik menghentak

yang tak diduga- duga. Mereka berdesak-desakan maju merepotkan

para pengaman. Para penonton terbius oleh irama yang belum

pernah mereka dengar dan pakaian serta tarian yang belum pernah

mereka lihat. Demi mendengar lengkingan tabla yang memecah

langit, barisan Marching Band PN terpecah konsentrasinya dan

berbalik arah ke podium. Mereka membubarkan diri tanpa komando

lalu bergabung dengan para penonton yang terpaku. Mereka

keheranan melihat tarian liar yang tak seperti Campak Darat, yaitu

tarian Belitong paling kuno dengan gerakan tetap maju mundur,

dan irama yang tak seperti Betiong yakni irama asli Belitong yang

biasa mereka dengar. Sebaliknya yang mereka saksikan adalah

gerakan rancak tanpa pola dan ekspresi bebas spontan dari tubuh -

tubuh muda yang lentik meliuk-liuk seperti gelombang samudra,

garang seperti luak, dan menyengat laksana lebah tanah. Koreo grafi

Mahar berkarakter dance drumming dari suku-suku sub Sahara yang

mengandung fragmen survival ribuan tahun dari spesies yang hidup

saling memangsa. Inilah adzohu, sebuah manifestasi perjuangan

eksistensi dalam metafora gesture tubuh manusia yang memaknai

ketukan tabla laksana tiupan mantra-mantra nan magis. Koreografi

ini mengandung tenaga gaib yang emnyihir. Mahar

memvisualisasikan alam ganas di mana hu kum rimba berkuasa.

Maka musik tari ini tak hanya mendetak degup jantung karena tabla

yang berdentum-dentum tapi membran vibrasinya juga

menggetarkan jiwa karena tenaga mistik sebuah ritual suci siklus

Penonton semakin merangsek ke depan dan mulai terpukau

pada tarian etnik Afrika yang eksotis. Mereka mengamati satu per

satu wajah kami yang tersamar dalam coreng moreng, ingin tahu

siapa penampil tak biasa ini. Namun tanpa disadari tubuh mereka

bergerak-gerak patah-patah mengikuti potongan-potongan irama

yang dilantakkan dan tanpa diminta tepuk tangan, siulan, dan soraksorai ribuan penonton membahana menyambut kejutan aksi seksi

tabla. Penonton riuh rendah berdecak kagum.

Pada detik itu aku tahu bahwa penampilan kami telah

berhasil. Mahar telah melakukan entry dengan sukses. Semua

seniman panggung mengerti jika entr y telah sukses biasanya seluruh

pertunjukan akan selamat. Para hadirin telah terbeli tunai!

Kesuksesan entry pemain tabla mengangkat kepercayaan diri kami

sampai level tertinggi. Kami, delapan ekor sapi, yang akan tampil

pada plot kedua, gemetar menunggu aba-aba dari Mahar untuk

menerjang arena. Kami tak sabar dan rasanya kaki sudah gatal ingin

mendemons-trasikan kehebatan mamalia menari. Kami adalah

remaja-remaja kelebihan energi dan laparakan perhatian. Lima

belas meter dari tempat kami berdiri adalah arena utama dan kami

mengambil ancang-ancang laksana peluru-peluru meriam yang

siap diledakkan. Sangat mendebarkan, apalagi penonton semakin

menggila tak terkendali mengikuti ketukan tabla. Mereka

membentuk lingkaran yang rapat, ikut menari, bertepuk tangan,

bersuit-suit panjang, dan berteriak-teriak histeris.

“Tabahkan hati kalian, keluarkan seluruh kemampuan!” ledak

Bu Mus memberi semangat kepada kami, para mamalia. Pak Harfan

sudah tidak bisa bicara apa-apa.

Tangannya membekap dada seperti orang berdoa.

Tapi di tengah penantian menegangkan itu aku merasakan

sedikit keanehan di lingkaran leherku. Seperti ada kawat panas

menggantung. Aku juga merasa heran melihat warna telinga temantemanku yang berubah menjadi merah, demikian pula kalung kami,

membentuk lingkaran berwarna kelam di kulit. Aku merasakan

panas pada bagian dada, wajah, dan telinga, lalu rasa panas itu

berubah menjadi gatal.

Dalam waktu singkat rasa gatla meningkat dan aku mulai

menggaruk-garuk di seputar leher. Sekarang kami sadar bahwa rasa

gatal itu berasal dari getah buah aren yang menjadi mata kalung

kami. Hasil rancangan adibusana Mahar. Buah aren yang ditusuk

dengan tali rotan itu mengeluarkangetah yang pelan-pelan melelh di

Rasa gatal itu semakin menjadi-jadi tapi kami takb isa berbuat

apa-apa karena untuk melepaskan kalung itu berarti harus

melepaskan mahkota. Dan melepaskan mahkota besar yang

beratnya hampir satu setengah kilogram ini bukan persoalan

mudah. Mahkota raksasa ini sengaja dirancang Mahar untuk

dikenakan dengan lilitan tiga kali melalui dagu sehingga tanpa

bantuan seseorang tak mungkin membukanya sendiri. Tak mungkin

melakukan itu apalagi Mahar sekarang telah melakukan gerakan

seperti menyembah- nyembah ke arah kami. Itulah isyarat kami

harus masuk dan beraksi.

Maka semua usaha untuk berbuat sesuatu pada kalung itu

terlambat dan yang terjadi berikutnya tak ‘kan pernah kulupakan

seumur hidupku. Kami menyerbu aren a dengan semangat spartan.

Tepuk tangan penonton bergemuruh. Pada awalnya kami menari

bersukacita sesuai dengan skenario. Lalu kami, para sapi ini, mulai

bergerak- gerak aneh dan sedikit melenceng dari gerakan

seharusnya karena kami diserang oleh rasa gatal yang luar biasa.

Rasa gatal ini begitu dahsyat. Aku tak pernah merasakangatal

demikian hebat dan jelas berasal getah buah aren muda yang

menjadi mata kalung kami. Pertama-tama rasanya panas, perih, lalu

geli dan gatal sekali. Jika digaruk bukannya sembuh tapi akan

semakin menjadi-jadi, bertambah gatal dua kali lipat. Karena

gerakan kami rancak dengan tangan mengibas-ngibas ke sana

kemari maka getah aren itu menyebar ke seluruh tubuh. Sekarang

seluruh tubuh kami dilanda gatal tak tertahankan.

Kami berusaha tidak menggaruk-garuk karena hal itu akan

merusak koreografi, kami bertekad mengalahkan Marching Band

PN. Selain tu menggaruk hanya akan memperparah keadaan, maka

kami bertahan dalam penderitaan. Satu-satunya cara mengalihkan

siksaangatal adalah dengan terus-menerus bergerak jumpalitan

seperti orang lupa diri. Maka sekarang kami bergerak sendiri-sendiri

tak terkendali seperti orang kesetanan. Kami berteriak-teriak,

meraung, saling menanduk, saling menerkam, saling mencakar,

merayap, berguling-guling di tanah, menggelepar-gelepar. Semua itu

tak terdapat dalam skenario. Lintang komat-kamit tak jelas dan

matanya memerah seperti buah saga. Trapani sama sekali menguap

ketampanannya, wajah manisnya berubah menjadi wajah algojo

yang sedang kalap. Sedangkan A Kiong menampar-nampar dirinya

sendiri dengan keras seperti orang kesurupan. Telinganya seolah

mengeluarkan asap dan wajahnya seperti kaleng biskuit R oma.

Wajah kami memerah seperti terbakarapi dan urat-urat lengan

bertimbulan menahankangatal.

Kami bergerak demikian beringas, berjingkrak-jingkrak seperti

sekaleng cacing yang dicurahkan di atas aspal yang panas mendidih.

Sebaliknya, melihat kami sangat menjiwai, para pemain tabla pun

terbakar semangatnya. Mereka mempercepat tempo untuk

mengikuti gerakan-gerakan liar kami. Kami menari dengan tenaga

dua kali lipat dari latihan dan gerakan dua kali lebih cepat dari

seharusnya. Kami seolah berkejaran dengan tabuhan tabla.

Menimbulkan pemandangan yang menakjubkan. Bahkan orang

Afrika sendiri tak pernah menari sehebat ini.

Sesungguhnya maksud kami bukan itu. Tapi kami senewen

menanggungkan gatal. Penonton yang tidak memahami situasi

mengira suara tabla itu mengandung sihir dan telah membuat kami,

delapan ekor sapi ini, kesurupan, maka mereka bertepuk tangan

gegap gempita karena kagum dengan daya magis tarian Afrika.

Mereka berteriak-teriak histeris memberi semangat dan salut kepada

kami yang mampu mencapai penghayatan setinggi itu. Penonton

semakin merapat dan petinggi di podium kehormatan menghambur

ke depan meninggalkan tempat-tempat duduknya yang teduh dan

nyaman. Mereka berebutan menyaksikan kami dari dekat. Mereka

takjub dengan sebuah pemandangan aneh. Bagi mereka ini adalah

ekspresi seni yang luar biasa. Sementara kami semakin tungganglanggang, berputar-putar seperti gasing. Kami sudah tak peduli

dengan pantun Afrika yang harusnya kami lantunkan. Teriakan

kami sekarang menjadi: “Hushhhhhhh ...hushh...hushhhh!

Habbaa...habbbaaa... habbaaaa...!! !.

Penonton malah mengira itu mantra-mantra gaib. Aku melirik

Mahar. Aneh sekali, wajahnya tapak senang tak alang kepalang,

gembira bukan main. Ia tampak sangat setuju dengan seluruh

gerakangila kami walaupun tidak seperti yang dilatihkannya dulu.

“Terus Kawan, hebat sekali, ayo berguling- guling, inilah

maksudnya,” bisiknya di antara kami sambil berlari-lari memikul

tabla. Aku mulai curiga. Tapi aku tak sempat berpikir jauh karena

kami sekarang sedang diserang oleh dua puluh ekor cheetah.

Suasana semakin seru. Kami semakin sinting karena gatal dan

panas. Kami merasa sangat haus, menderita dehidrasi. Ketika

cheetah menyerang, kami berbalik menyerang. Kami sudah lupa

diri. Seharusnya hal ini tak terjadi. Skenarionya tidak begitu.

Skenarionya adalah kami seharusnya menguik-nguik

ketakutan sampai prajurit Masai, Moran yang gagah berani itu,

datang sebagai pahlawan untuk menyelamatkan kami. Tapi

sebaliknya sekarang kami dengan beringas membalas serangan

cheetah karena kami tak mungkin diam, jika diam rasa gatal rasanya

akan memecahkan pembuluh darah kami.

Para cheetah kebingungan. Ketika mereka men erjang kami

membalas, cheetah berlari kocar-kacir dan kembali menyerang,

demikian terjadi berulang-ulang. Namun anehnya skenario yang

kacau balautak direncanakan ini justru memunculkan karakter asli

binatang yang pada suatu ketika bisa demikianganas tanpa ampun

dan pada keadaan yang lain terbirit-birit ketakutan jika kekuatannya

tak berimbang. Sebalik nya sekali lagi kulirik Mahar. Ia senang sekali

dengan improvisasi spontan ini, tabuhan tablanya semakinganas.

Senyumnya mengembang. Tak pernah aku melihatnya sebahagia

Surai kuda, selendang yang melilit pinggang, dan mahkota

kami melambai-lambai eksotis karena kami melonjak-lonjak tak

terkendali. Kami menari seperti orang dirasuki iblis yang paling

jahat, seperti ditiup Lucifer sang raja hantu. Arena semakin

membara dan gairah tarian mend idih ketika dua puluh prajurit

Masai menyerbu masuk untuk menyelamatkan kami, yang terjadi

adalah pertarungan dahsyat antara sapi dan prajurit Masai melawan

dua puluh ekor cheetah. Ada enam puluh penari termasuk pemain

tabla yang sekarang saling menyerang dalam hentakan musik

Masai. Penonton riuh rendah dalam kekaguman. Para fotografer

sampai kehabisan film.

Pasir-pasir halus yang bertaburan di atas arena membubung

menjadi debu tebal yang mengaburkan pandangan. Debu itu

mengelilingi kami yang berputar seperti pusaran angin. Di tengah

pusaran itu kami bertempur habis-habisan dalam sebuah ritual

liaralam Afrika yang kami tarikan seperti binatang buas yang terluka.

Dalam kekacau-balauan terdengar teriakan-teriakan histeris, auman

binatang, dan suara tabla berdentum-dentum.

Keseluruhan koreografi yang menampilkan fragmen

pertempuran manusia melawan binatang dengan gerakan spontan

di depan podium kehormatan itu ternyata menghasilkan karya seni

yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Sebuah formasi gerakan

chaos orisinal yang tercipta secara tidak sengaja. Para penonton

tersihir melihat kami trance secara kolektif, mereka tersentak dalam

histeria menyaksikan pemandangan magis yang menkjubkan.

Sebuah pemandangan eksotis dari totalitas tarian yang menciptakan

efek seni yang luar biasa. Sebuah efek seni yang memang

diharapkan Mahar, efek seni yang akan membawa kami menjadi

Penampil Seni Terbaik tahun ini, tak diragukan, tak ada

Pak Harfan, Bu Mus, dan guru-guru kami sangat bangga dan

seolah tak percaya melihat murid-muridnya memiliki kemampuan

seperti itu. Mereka tak sadar bahwa kami menderita berat karena

gatal dan gerakan kami tak ada hubungannya dengan Moran,

cheetah, dan bunyi-bunyian tabla yang memecah gendang telinga.

Tiga puluh menit kami tampil serasa tiga puluh jam. Kami,

para sapi, memang dirancang untuk meninggalkan arena pertama

kali. Pemain tabla, cheetah, dan prajurit Masai masih harus melan

jutkan fragmen. Segera setelah meninggalkan arena kami berlari

pontang panting mencari air. Sayangnya air terdekat adalah sebuah

kolam kangkung butek di belakang sebuah toko kelontong. Kolam

itu adalah tempat pembuangan akhir ikan-ikan bsuuk yang tak laku

dijual. Apa boleh baut, kami ramai-ramai menceburkan diri di sana.

Kami tak melihat ketika penonton memberikan standing

applause selama tujuh menit. Kami tak menyaksikanguru-guru kami

menangis karena bangga. Aku kagum kepada Mahar, ia berhasil

memompa kepercayaan diri kami dan dengan kepercayaan diri

ternyata siapa pun dapat membuat prestasi yang mencengangkan.

Hal itu dibuktikan oleh sekolah Muhammadiyah yang mampu

mematahkan mitos bahwa sekolah kampung tidak mungkin menang

melawan sekolah PN dalam karnaval. Sayangnya saat itu kami tak

dapat ber gembira seperti warga Muhammadiyah di podium dan

kami jgua tak mendengar ketika ketua dewan juri, Mbah Suro, naik

mimbar. Beliau mengucapkan pidato panjang puji-pujian utnuk

kami: “Sekolah Muhammadiyah telah menciptakan daripada suatu

arwah baru dalam karnaval ini. Maka dari itu mereka telah

mencanangkan suatu daripada standar baru yang semakin

kompetitif dari pada mutu festival seni ini. Mereka mendobrak

dengan ide kreatif, tampil all out, dan berhasil menginterpretasikan

dengan sempurna daripada sebuah tarian dan musik dari negeri

yang jauh. Para penarinya tampil penuh penghayatan, dengan

spontanitas dan totalitas yang mengagumkan sebagai suatu

manifestasi daripada penghargaan daripada mereka terhadap seni

pertunjukan itu sendiri. Penampilan Muhammadiyah tahun ini

adalah daripada suatu puncak pencapaian seni yang gilang

gemilang dan oleh karena itu dewan juri tak punya daripada pilihan

lain selian daripada menganugerahkan penghargaan daripada

penampila seni terbaik tahun ini kepada sekolah Muhammadiyah !.

Whai dewan juri yang terhormat, mari kuberitahukan pada

bapak-bapak sekalian, tahu apa bapak-bapak soal seni, interpr etasi

seni kami adlaah interpretasi getah buah aren yang gatalnya

membakar lingkaran leher kami sampai ke pangkal-pangkal paha

dengan perasaan seperti memakan api. Itulah yang membuat kami

menari seperti orang yang tidak waras, dan tiulah interpretasi seni

Mendengar pidato itu para penonton kembali bergemuruh dan

seluruh warga Muhammadiyah bersorak-sorai senang karena

sebuah kemenangan yang fenomenal.

Sebaliknya kami, delapan ekor ternak dalam koreografi hebat

itu, tetap tak tahu semua kejadian yang menggemparkan itu, dan

kami juga masih tak tahu ketika Mahar diarak warga

Muhammadiyah setelah sekolah menerima trofi bergengsi Penampil

Seni Terbaik tahun ini. Trofi yang telah dua puluh tahun kami

idamakan dan selama itu pula bercokol di sekolah PN. Baru

pertama kali ini trofi itu dibawa pulang oleh sekolah kampung. Trofi

yang tak ‘kan membuat sekolah kami dihina lagi.

Kami tak tahu semua itu karena ketika itu kami sedang

berkubang di dalam lumpur kolam kangkung, menggosok-gosok

leher dengan daungenjer. Yang kami tahu hanyalah bahwa Mahar

telah membalas kami dengan setimpal karena pelecehan kami

padanya selama ini. Buah-buah aren itu sungguh merupakan

sebuah ran cangan kalung etnik properti adi busana koreografi yang

bernilai seni, hasil perenungan Mahar berjam- jam sambil

memandangi langit di bawah pohon filicium. Itulah sebuah

perenungan tingkat tinggi yang membuat hatinya bergejolak

sepanjang malam karena girang akan memberi kami pelajaran,

sebuah perenungan pembalasan dendam yang telah ia rencanakan

dengan rapi selama bertahun-tahun.

Wajah manisnya pasti sedang tersenyum sekarang dan

senyumnya tak berhenti mengembang jika ia ingat penderitaan

kami. Di kolam busuk luar biasa sehingga merontokkan bulu hidung

ini kami membayangkan Mahar melonjak-lonjak girang disirami

sinaragung prestasi dan kata-kata pujian setinggi langit. Sedangkan

kami agaknya memang patut dihukum di kolam perut ikan ini.

Mahar membalas kami sekaligus merebut penghar gaan terbaik—

sekali tepuk dua nyamuk tumbang. Pria muda yang nyeni itu

memang genius luar baisa, dan baginya pembalasan ini maniiiiis

sekali, semanis buah bintang.

AWAN-AWAN kapas berwarna biru lembut turun. Mengapung

rendah ingin menyentuh permukaan laut yang surut jauh, beratusratus hektare luasnya, hanya setinggi lutut, meninggalkan pohonpohon kelapa yang membujur di sepanjang Pantai Tanjong

Kelayang. Aku tahu bahwa awan-awan kapas biru muda itu dapat

menjadi penghibur bagi mataku, tapi dia tak kan pernah menjadi

sahabat bagi jiwaku, karena sejak minggu lalu aku telah menjadi

sekuntum daffodil yang gelisah, sejak kukenal sebuah kosakata baru

dalam hidupku: rindu.

Kini setiap hari aku dilanda rindu padanonakuku cantik itu.

Aku rindu pada wajahnya, rindu pada paras kuku-kukunya, dan

rindu pada senyumnya ketika memandangku. Aku juga rindu pada

sandal kayunya, rindu pada rambut-rambut liar di dahinya, rindu

pada caranya mengucapkan huruf “r”, serta rindu pada caranya

merapikan lipatan-lipatan lengan bajunya.

Kadang-kadang aku bersembunyi di bawah pohon filicium ,

melamun sendiri, dadku sesak sepanjang waktu. Aku segera

mengerti bahwa aku adalah tipe laki-laki yang tak kuat menahankan

rindu. Lalu aku berpikir keras mencari jalan untuk meringankan

beban itu. Setelah melalui pengkajian berbagai taktik, akhirnya aku

sampai pada kesimpulan bahwa rinduku hanya bisa diobati dengan

cara sering-sering membeli kapur dan untuk itu Bu Mus adalah satusatunya peluangku.

Maka aku mengerahkan segala daya upaya, memohon

sepenuh hati, agar tugas membeli kapur tulis diserahkan padaku,

kalau perlu kapur tulis untuk seluruh kelas SD dan SMP

Muhammadiyah, sepanjang tahun ini.

“Bukankah kau paling benci tugas itu Ikal?.

Aku tersipu. Ironis, aku telah menemukan definisi ironi yang

Penyebabnya tentu bukan karena Toko Sinar Harapan telah

menjadi wangi, tapi semata- mata karena ada putri Gurungobi

menungguku di sana. Maka ironi bukanlah persoalan substansi, ia

tak lain hanyalah soal kompensasi. Itulah definisi ironi, tak kurang

Bu Mus tak berminat mendebatku dan kulihat perubahan

wajahnya. Pastilah instingnya selama bertahun-tahun menjadi guru

secara naluriah telah membunyikan lonceng di kepalanya bahwa hal

ini sedikit banyak berhubungan dengan urusan cinta monyet.

Dengan jiwa penuh pengertian dan sebuah senyum jengkel b eliau

mengiyakan sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Asal jangan kau hilangkan lagi kapur-kapur itu, perlu kau

tahu, kapur itu dibeli dari uang sumbangan umat!.

Kemudian aku dan Syahdan menjadi tim yang solid dalam

pengadaan kapur. Aku menjadi semacam manajer pembelian,

Syahdan tak perlu mengayuh sepeda, cukup duduk di belakang,

memegang kotak-kotak kapur kuat-kuat dan menjaga mulutnya

rapat-rapat, karena hubungan antar-ras adalah isu yang sensitif

ketika itu. Kami menikmati ketegangan perjanjian rahasia ini dan

selama beberapa bulan setelah itu aku telah menjadi tukang kapur

yang berdedikasi tinggi. Sebaliknya Syahdan, tentu saja melalui

rekomendasiku pada Bu Mus, selalu ikut denganku. Ia gembira

karena semakin lama meninggalkan kelas sekligus leluasa mendekati

putri tukang hok lo pan .

Sesampainya di toko biasanya aku langsung cepat-cepat

masuk dan berdiri tegak dengan saksama di tengah-tengah lautan

barang kelontong. Minyak kayu putih kukipas- kipaskan di bawah

hidung untuk melawan bau tengik. Aku menyeka keringat dan tak

sabar menunggu menit-menit ajaib, yaitu ketika A Miauw memberi

perintah kepada burung murai batu di balik tirai yang terbuat dari

keong-keong kecil itu.

Aku megnhampiri kotak merpati saat ia menjulurkan kapur.

Setiap kali ini terjadi jantungku berdebar. Ia masih tetap tak berkata

apa pun, diam seribu bahasa, demikian juga aku. Tapi aku tahu ia

sekarang tak lagi cepat-cep at menarik tangannya. Ia memberiku

kesempatan lebih lama memandangi kuku-kukunya. Hal itu cukup

membuatku demikian bahagia sampai seminggu berikutnya.

Demikianlah berlangsung selama beberapa bulan. Setiap

Senin pagi aku dapat menjumpai belahan jiwaku, walaupun

hanyakuku-kukunya saja. Hanya sampai di situ saja kemajuan

hubungan kami, takada sapa, takada kata, hanya hati yang bicara

melalui kuku-kuku yang cantik. Tak ada perkenalan, tak ada tatap

muka, tak ada rayuan, dan tak ada pertemuan. Cinta kami adalah

cinta yang bisu, cinta yang sederhana, dan cinta yang sangat malu,

tapi indah, indah sekali tak terperikan.

Kadang-kadang ia menjentikkan jarinya atau menggodaku

sambil terus memegang kotak kapur ketika akan kuambil sehingga

kami saling tarik. Kadang kala ia mengepalkan tinjunya, mungkin

maksudnya: kenapa kamu terlambat? Sering telah kusiapkan diri

berminggu-minggu untuk sedikit saja memegang tangannya atau

untuk mengatakan betapa aku rindu padanya. Tapi setiap kali aku

melihat kuku-kukunya, semua kata yang telah ditulis rapi pun sirna,

menguap bersama aroma keringat orang Sawang dan seluruh

keberanian lenyap tertimbun tumpukan lobak asin. Tirai yang

terbuat dari keong-keong kecil itu demikian kukuh untuk ditembus

oleh mental laki-laki sekecil aku.

Sudah dua musim berlalu, sudah dua kali orang-orang

bersarung turun dari perahu, aku merasa sudah saatnya untuk tahu

siapa namanya. Namun sekali lagi, walaupun sudah berhari-hari

mengumpulkan keberanian untuk bertanya langsung ketika

tangannya menjuilur, aku menjadi bisu dan tuli. Aku begitu kerdil di

depannya. Maka kutugaskan Syahdan mencari informasi. Ia sangat

girang mendapat tugas itu. Lagaknya seperti intel Melayu,

mengendap-endap, berjingkat-jingkat penuh rahasia.

“Namanya A Ling ...!” bisiknya ketika kami sedang khatam

Al-Qur’an di Masjid Al Hikmah. Jantungku berdetak kencang.

“Seangkatan dengan ktia, di sekolah nasional!” Dan pyarrr!!

Kopiah resaman Taikong Razak menghantam rihalan Syahdan.

“Jaga adatmu di muka kitaballah anak muda!!.

Syahdan meringis dan kembali menekuri Khatamul Qur’an.

Sekolah nasional adalah sekolah khusus anak-anak Tionghoa. Aku

menatap Syahdan dengan serius.

Sekolah nasional ...? “Jangan sampai tahu ibuku,” kataku

cemas, “Bisa-bisa kau ken a rajam..

Syahdan tak mau menanggapi peringatkanku yang tidak

kontekstual dengan infonya yang berharga tadi. Wajahnya

mengisyaratkan bahwa ia punya keju tan lain.

“A Ling adalah sepupu A Kiong ...!.

Aku terkejut, rasanya seperti tertelan biji rambutan yang macet

A Kiong, pria kaleng kerupuk itu! Mana mungkin dia punya

sepupu bidadari? Syahdan membaca pikiranku, ia menganggukangguk yakin memastikan, “Iya, betul sekali, Kawan, A Kiong kita

itu, tapi aku tak pasti, apakah A Kiong seperti itu karena tumbal ilmu

sesat, titisan yang keliru, atau anomali genetika?.

Syahdan vulgar dan sok tahu. Aku segera teringat pada A

Kiong. Beberapa hari ini ia belajar di kelas sambil berdiri karena

lima biji bisul padi bermunculan di pantatnya sehingga ia tak bisa

duduk. Tapi ia berkeras ingin tetap sekolah.

Aku tak dapat menggamabrkan perasaanku atas semua info

ini. Kenyataan bahwa A Ling adalah sepupu a Kiong membuatku

bersemangat sekaligus waswas. Aku dan Syahdan berunding serius

membahas perkembangan ini dan kami putuskan untuk

menceritakan situasinya pada A Kiong. Kami menganggap dialah

satu-satunya peluang untuk menembus tirai keong itu.

Kami giring A Kiong menuju kebun bunga sekolah dan kami

dudukkan di abngku kecil dekat kelompok perdu kamar Beloperone

, Pittosporum , dan kembang sepatu yang saat itu sedang bersemi,

tempat yang sempurna untuk bermusyawarah soal cinta.

“Mudahnya begini saja, Kiong,” kataku tak sabar. “Aku akan

menitipkan padamu surat dan puisi untuk A Ling, maukah kau

memberikan padanya? Serahkan padanya kalau kalian sembahyang

di kelenteng, pahamkah engkau?.

Ia mengernyitkan dahinya, rambut landaknya berdiri tegak,

wajahnya yang bulat gemuk tampak semakin jenaka. Ketika ia

melepaskan kembali kernyitannya itu pipinya yang tembem jatuh

berayun-ayun lucu. Dia adalah pria berwajah mengerikan tapi lucu.

“Mengapa tak kauberikan langsung padahal setiap Senin pagi

kau bertemu dengannya? Tidak masuk akal!” A Kiong tak

mengucapkan kata-kata itu tapi inilah arti kernyitannya itu. Aku juga

menjawabnya dari dalam hati, semacam telepati. “Hei, anak

Hokian, sejak kapan cinta masuk akal?.

Aku menarik napas panjang, membalikkan badanku,

memandang jauh ke lapangan hijau pekarangan sekolah kami.

Seperti sedang berakting dalam sebuah teater aku merenggut daundaun Dracaena , meremas- remasnya lalu melemparkannya ke

“Aku malu, A Kiong, nyaliku lumpuh kalau berada satu meter

darinya, aku adalah seorang pria yang kompulsif, jika ceroboh aku

takut ketahuan bapaknya, kalau itu terjadi, tak terbayangkan

Kudapat kata-kata itu dari majalah Aktuil langganan abangku,

barangkali agak kurang tepat, tapi apa peduliku. Demi mendengar

kata-kata seperti naskah sandiwara radio itu Syahdan memeluk eraterat pohon petai cina di sampingnya. Aku kehabisan kata untuk

menjelaskan pada A Kiong bahwa titip-menitip dalam dunia

percintaan mengandung nilai romansa yang tinggi karena ada

unsur-unsur kejutan di sana.

Rupanya A Kiong menangkap keputusasaan dalam nada

suaraku. Ia adalah siswa yang tidak terlalu pintar tapi ia setia kawan.

Sepanjang masih bisa diusahakan ia tak ‘kan pernah membiarkan

sahabatnya patah harapan. Luluh hatinya melihat aktingku.

Sekarang ia tersenyum dan aku menyembahnya seperti murid

shaolin berpamitanpada suhunya untuk memberantas kejahatan.

Namun karena turunan darah wiraswasta leluhurnya, A Kiong tentu

menuntut kompensasi yang rasional. Aku tak keberatan menggarap

PR tata buku hitung dagangnya.

Lalu, tak terbendung, melalui A Kiong, puisi-puisi cintaku

mengalir deras menyerbu pasar ikan. Baginya itu hanyalah tugas

mduha. Sebaliknya, ia mulai merasakan kenikmatan eskalasi gengsi

akibat nilai-nilai tata buku hitung dagang yang membaik.

Hubungan A Kiong, aku dan Syahdan adalah simbiosis

mutualisme, seperti burung cako dengan kerbau. Ia sama sekali tak

menyadari bahwa persoalan titip menitip ini dapat membawa risiko

ia pecah kongsi dengan pamannya A Miauw.

Aku selalu mendesak A Kiong untuk menceritakan

bagaimana wajah A Ling ketika menerima puisi dariku.

“Seperti bebek ketemu kolam,” kata A Kiong penuh godaan

Dan pada suatu sore yang indah, di bulan Juli yang juga

indah, di tempat duduk bulat, sendirian di kebun bunga kami, aku

menulis puisi ini untuk A Ling:

A Ling, lihatlah ke langit

Jauh tinggi di angkasa

Awan-awan putih yang berarak itu

Aku mengirim bunga-bunga krisan untukmu

Ketikaku masukkan puisi ke dalam sampul surat, aku tersenyum,

tak percaya aku bisa menulis puisi seperti itu. Cinta barangkali dapat

memunculkan sesuatu, kemampuan atau sifat-sifat rahasia, yang tak

kita sadari sedang bersembunyi di dalam tubuh kita.

Namun ketika itu aku selalu merasa heran mengapa A Ling

selalu mengembalikan puisiku? Barangkali di tokonya yang sesak tak

ada lagi tempat untuk menyimpan kertas.

Demikianlah pikiranku, bukankah anak kecil selalu berpikir

positif. Aku tak ambil pusing soal itu lagi pula saat ini pikiranku

sedang tak keruan karena pada kotak kapur yang kuambil pagi ini

Jumpai aku di acara sembahyang rebut

Tulisan tangan A Ling! Ini adalah lompatan raksasa dalam

hubungan kami. Bagiku catatan kecil ini sangat penting seperti

katebelece presiden untuk menaikkangaji seluruh pegawai negeri.

Keinginanku melihat kembali wajah Michele Yeoh-ku setelah insiden

tirai dulu adalah tabungan rindu dalam celengan tanah liat yang

setiap saat hampir meledak. Dan dalam waktu 92 jam, 15 menit, 10

detik dari sekarang aku akan menjumpainya langsung! Di halaman

Hari-hari menjelang pertyemuan adalah hari-hari tak bisa

tidur. Klasik sekali memang, tapi apa boleh buiat karena memang itu

kenyataannya maka harus kuceritakan.

Berkali-kali kubaca pesan di atas kotak kapur itu tapi masih

tetap isinya tentang janji ketemu. Dibaca dari arah mana pun, dari

belakang seperti membaca huruf Arab, dari depan, dari atas, dari

jauh, dari dekat, dipantulkan di cermin, digerus dengan lilin, dibaca

dengan kaca pembesar, dibaca di balik api, ditaburi tepung terigu,

diawasi lama-lama seperti melihat gamabr tiga dimensi yang

tersamar, isinya tetap sama yaitu “jumpai aku di acara sembah yang

rebut”. Itu adalah kalimat bahasa Indonesia yang jelas, bukan idiom,

bukan isyarat atau simbol. Aku seolah tak percaya dengan pesan itu

tapi aku, si Ikal ini, akan segera berjumpa dengan cinta pertamanya!

Tak diragukan lagi, dunia boleh iri.

Kotak kapur yang ada tulisan pesan A Ling itu kusimpan di

kamarku seperti benda koleksi yang bernilai tinggi. Syahdan dan A

Kiong sampai bosan terus-menerus mendengar kisahku tentang

pesan itu. Mereka muak. Satu pelajaran berharga, orang yang

sedang jatuh cinta adalah orang yang egois. Aku seolah tak percaya

pada apa yang ak an terjadi, mimpikah ini? “Bukan, Kawan, bukan

mimpi, mandilah bersih-bersih dan tunggu dia pukul emapt sore di

halaman kelenteng, saat persiapan sembah yang rebut. Dia wanita

yang baik, dia akan datang untuk janjinya,” nasihat A Kiong, event

organizer pertemuan penting ini, yang tiba-tiba menjadi amat

Chiong Si Ku atau sembahyang rebut diadakan setiap tahun.

Sebuah acara semarak di mana seluruh warga Tionghoa berkumpul.

Tak jarang anak -anaknya yang merantau pulang kampung untuk

acara ini. Banyak hiburan lain ditempelkan pada ritual keagamaan

ini, misalnya panjat pinang, komidi putar, dan orkes Melayu,

sehingga menarik minat setiap orang untuk berkunjung. Dengan

demikian ajang ini dapat disebut sebagai media tempat empat

komponen utama kelompok subetnik di kampung kami: orang

Tionghoa, orang Melayu, orang pulau bersarung, dan orang Sawang

Orang Sawang tak terlalu tertarik dengan hiburan-hiburan tadi

tapi mata mereka tak lepas dari tiga buah meja berukuran besar

dengan panjang kira-kira 12 meter, lebar dan tingginya kira-kira 2

meter. Di atas meja itu ditimbun berlimpah ruah barang-barang

keperluan rumah tangga, mainan, dan berjenis-jenis makanan.

Barang-barang ini adalah sumbangan dari setiap warga Tionghoa.

Tak kurang dari 150 jenis barang mulai dari wajan, radio transistor,

bahkan televisi, berbagai jenis kue, biskuit, gula, kopi, beras, rokok,

bahan tekstil, berbagai botol dan kaleng minuman ringan, gayung,

pasta gigi, sirop, ban sepeda, tikar, tas, sabun, payung, jaket, ubi

jalar, baju, ember, celana, buah mangga, kursi plastik, batu baterai,

sampai beragam produk kecantikan disusun bertumpuk-tumpuk

laksana gunung di atas meja- meja besar tadi. Daya tarik terkuat dari

sembahyang rebut adalah sebuah benda kecil yang disebut fung pu,

yakni secarik kain merah yang disembunyikan di sela-sela barangbarang tadi. Benda ini merupakan incaran setiap orang karena ia

perlambang hoki dan yang mendapatkannya dapat menjualnya

kembali pada warga Tionghoa dengan harga jutaan rupiah.

Meja itu diletakkan di depan sebuah Thai Tse Ya, yaitu patung

raja hantu yang dibuat dari bambu dan kertas-kertas berwarnawarni. Tinggi Thai Tse Ya mencapai 5 meter dengan diameter perut

2 meter. Ia adalah sesosok hantu raksasa yang menyeramkan.

Matanya sebesar semangka dan lidahnya panjang menjuntai seperti

ingin menjilati jejeran babi berminyak-minyak yang dipanggang

berayun di bawahnya. Thai Tse Ya tak lain adalah representasi sifatsifat buruk dan kesialan manusia. Sepanjang sore dan malam hari,

warga Tionghoa yang Kong Hu Cu tentu saja melakukan

sembahyang di depan Thai Tse Ya ini.

Tepat tengah malam salah seorang paderi akan memukul

sebuah tempayan besar pertanda seluruh hadirin dapat

mengambil—lebih tepatnya merebut—semua barang yang ada di

tiga meja besar tadi. Oleh karena itu Chiong Si Ku disebut juga

acara sembah yang rebut.

Ketika tempayan itu dipukul bertalu-talu tanda mulai berebut

aku menyaksikan salah satu peristiwa paling dahsyat yang pernah

dilakukan manusia. Gunungan beratus- ratus jenis barang tersebut

lenyap dalam waktu tak lebih dari satu menit—25 detik lebih

tepatnya, dan tempat itu berubah menjadi kekacaubalauan yang tak

tertuliskan kata-kata.

Debu tebal mengepul ketika ratusan orang dengan garang

menyerbu meja-meja tinggi itu dengan semangat seperti orang

kesetanan. Tak jarang meja-meja itu hancur berantakan dan para

perebut cidera berat.

Mereka yang berhasil naik ke atas meja dengan gerakan secep

at kilat melemparkan barang-barang secara sistematis kepada rekanrekannya yang menunggu di bawah. Mereka yang bertindak sendiri

naik ke atas meja dan memasukkan apa saja yang ada di dekatnya

ke dalam sebuah karung—juga dengan kecepatan kilat—sampai

kadang kala tak bisa menurunkan karungnya itu karena sudah di

luar batas ten aganya.

Kadang kala belasan orang ber ebut sebuah barang sehingga

terjadi semacam perkelahian di tengah tumpukan barang dan b

eberapa di antaranya terjengkang, jatuh menabrak barang-barang

rebutan, lalu terjembab ke tanah. Para penonton tak sempat

bertepuk tangan tapi hanya terpana menyaksikan pemandangan

sekilas yang mahadahsyat sekaligus ngeri membayangkan

bagaimana manusia bisa begitu serakah dan beringas.

Mereka yang tidak membawa karung memasukkan apa saja ke

dalam seluruh saku baju dan celana bahkan ke dalam bajunya

sehingga tampak seperti badut. Dalam situasi berebutan yang sangat

cepat otak sudah tidak bisa menalar, kadang kala butir-butir beras

dan gula juga dimasukkan ke dalam saku celana. Mereka yang saku

baju dan celananya—bahkan bagian dalam bajunya—telah penuh

memasukkan apa saja ke dalam mulutnya, mereka makan apa saja,

sebanyak mungkin, ketika masih berada di atas meja, jika perlu

mereka akan menyimpan barang di dalam lubang-lubang hidung

dan telinga, luar biasa! Jika berhasil merebut radio transistor jangan

harapakan membawanya pulang dengan utuh karena ketika masih

di atas meja radio itu akan direbut oleh lima belas orang sekaligus

sehingga yang tersisa hanya tombol-tombol atau antenanya saja.

Prinsipnya tak mengapa mendapatkan tombolnya saja asalkan

orang lain juga tak mendapatkan radio seutuhnya. Perkara radio itu

menjadi hancur tak bisa dipakai adalah urusan lain yang tak

penting. Inilah manifestasi dasar keserakahan manusia. Chiong Si

Ku adalah bukti nyata tak terbantah terhadap teori yang dip ercaya

para antropolog tentang kecenderungan egois, tamak, merusak, dan

agresif sebagai sifat-sifat dasar homo sapiens.

Superstar dalam Chiong Si Ku tentu saja orang-orang Sawang.

Tanpa mereka bisa-bisa acara ini kehlilangan sensasinya. Mereka

sukses setiap tahun karena pengorganisasian yang solid. Sejak sore

mereka telah melakukan riset di mana posisi barang-barang

berharga, dari sudut mana harus menyerbu, berapa tenaga yang

diperlukan, dan mengkalkulasi perkiraan perolehan. Berhari-hari

sebelu m sembahyang rebut mereka telah menyusun strategi.

Pembagian tugasnya jelas, yaitu mereka yang berbadan besar

bertugas menjegal kelompok perebut lain, yang kecil menyerbu naik

ke atas meja seperti gerakan monyet: cepat, jeli, dan tangkas, dan

sisanya menunggu di bawah, siaga menangkapapa saja yang

dilemparkan dari atas meja. Kelompok ini beranggotakan sampai

dua puluh orang. Seorang pria Sawang kurus bermata liar

ditugaskan khusus selama bertahun-tahun untuk menjarah fung pu .

Ketika ia beraksi ekspresinya datar seolah ia tak punya urusan

dengan perebut-perebut serakah lainnya.

Tingkah lakunya persis budak yang dijanjikan merdeka oleh

Siti Hindun jika berhasil membunuh Hamzah sang panglima pada

perang Uhud. Sang budak tak ada urusan dengan perang Uhud,

perang itu bukan perangnya, setelah menombak dada Hamzah ia

bergegas pulang. Demikian pula pria bermata liar ini. Ketika paderi

memukul tempayan pertama kali ia langsung memanjat meja seperti

manusia laba-laba, lalu dengan cekatan ia berjingkat-jingkat di

antara lautan barang-barang. Matanya yang tajam nanar jelalatan

melacak ke sana kemari dan dalam waktu singkat ia mampu

menemukan fung fu . Ia selalu sukses meskipun paderi telah

menyembunyikan benda kecil keramat itu dengan amat rapi di

antara tumpukan terdalam lipatan daster, di dalam salah satu dari

puluhan kaleng biskuit Khong Guan yang paling sulit dijangkau, di

dalam karung ekmiri, di sela- sela dedaunan tebu, bahkan di dalam

buah jeruk kelapa. Setelah mendapatkan fung pu ia menyelipkan

carikan merah itu di pinggangnya dan melompat turun seperti

pemilikilmu peringan tubuh. Ia tak sedikit pun peduli dengan

barang-barang berharga lainnya serta kecamuk ratusan pria kasar

yang berebut dengan brutal. Sang legenda hidup Chiong Si Ku itu

mendarat ke bumi tanpa menimbulkan suara lalu sedetik kemudian

ia menghilang di tengah kerumunan massa membawa lari lambang

supremasi Chiong Si Ku. Ia lenyap di telangelap, asap gaharu, dan

Orang-orang Melayu, sebagaimana baisa, susah berorganisasi. Bukannya fokus pada ikhtar untuk mencapai tujuan dan

memenangkan persaingan tapi sebaliknya mereka gemar sekali

berpolitik sesama mereka sendiri. Tak terima jika dikoreksi dan

jarang ada yang mau berintrospeksi. Di antara mereka selalu saja

berbeda pendapat dan mereka senang bukan main dengan

pertengkaran yang tak konstruktif. Tak mengapa tujuan tak tercapai

asal tak jatuh nama dalam debat kusir. Dan selalu terjadi suatu

gejala yang paling umum yaitu: yang paling bodoh dan paling tak

berpendidikan adalah paling lantang dan paling pintar kalau bicara.

Jika orang Melayu membentuk sebuah tim maka setiap orang ingin

menjadi pemimpin. Akhirnya tim yang solid tak pernah terbentuk.

Akibatnya dalam sembahyang rebut mereka beroperasi secara

individu dan berjuang secara soliter maka yang berhasil dibawa

pulang hanya tubuh yang remuk redam, sebatang tebu, beberapa

bungkus sagon, sebelah kaos kaki Mundo, beberapa butir kepala

boneka, bibit kelapa yang tak dipedulikan orang Sawang, dan

pompa air—itu pun hanya sumbatnya saja.

Chiong Si Ku diakhiri dengan membakar Thai Tse Ya dengan

harapan tak ada sifat-sifat buruk dan kesialan melanda sepanjang

tahun ini. Sebuah acara keagamaan tua yang syarat makna, berseni,

Pukul 3.30 selesai shalat Ashar.

Pesan di kotak kapur! Seperti message in a botle . Aku berdiri

tegak di bawah pohon seri di halaman kelenteng sambil memegangi

sepedaku, menunggu. Anak-anak muda Tionghoa hilir mudik.

Mereka sibuk mendirikan Thai Tse Ya setinggi lima meter.

Ada A Kiong diantara mereka, ia berulang kali mengacungkan

jempolnya menyemangatiku.

“Tabahlah, Kawan, ambil semua risiko, begitulah hidup,”

demikian barangkali maksudnya.

Aku membalas dengan senyum kecut karena aku gelisah. Aku

gelisah membayangkan apa yang ada di pikiran seorang wanita

muda Tionghoa tentang laki-laki Melayu kampung seperti aku. Dan

berada di tengah lingkungan mereka membuat aku semakin ragu.

Apa aku pulang saja? Tapi aku rindu. Dan rinduku telanjur

Seperti terjadi setiap hari, pukul 3.30 sore matahari masih

terasa sangat panas dan dengan berdiri di sini sebagian tubuhku

tersiram cahayanya. Aku dapat merasakan keringatku mengalir

pelan di leher baju takwa putih berlengan panjang, baju terbaik

yang aku miliki, hadiah hiburan lomba azan. Jantungku berdetak

kacau, aku gugup luar biasa.

Burung matahari akwanan tujuh ekor yang berkicau-kicau di

dahan-dahan rendah seri jelas-jelas menggodaku. Mereka

berjingkat-jingkat dan ribut sekali. Kumbang juga menerorku, seperti

suara ambulans mereka sibuk melubangi kayu-kayu besar bercat

merah mencolok yang menyangga atap kelenteng. Suaranya

merisaukanku. Aku tak sabar menunggu.

Pukul 3.55 Sudah 25 menit aku mematung di sini, tak ada

tanda-tanda kehadiran A Ling.

Wajah A Kiong menaruh belas kasihan padaku. Barangkali

tadi aku tiba terlalu awal, harusnya aku datang terlambat saja, atau

tak datang sama sekali. Berbagai pikiran aneh mulai merasukiku.

Aku merasa lelah karena tegang. Kakiku kesemutan.

Mataku tak lepas-lepas memandang ke arah satu-satunya jalan

yang menghubungkan kelenteng dengan pasarikan. Di sepanjang

kiri kanan jalan ini tumbuh berderet-deret pohon saga. Cabang-

cabang atasnya bertemu meneduhi jalan di bawahnya sehingga

jalan ini tampak seperti gua. Setelah deretan pohon-pohon saga,

jalan ini berbelok ke kanan. Pinggir jalan ini dipagari bekas-bekas

tulang bangunan yang terlantar.

Tulang-tulang bangunan itu dirambati dengan lebat tak

beraturan ke sana kemari oleh Bougainvillea spectabilis liaratau

kembang kertas dan berakhir pada ujung sebuah jalan buntu. Di

ujung jalan ini berdiri toko Sinar Harapan, rumah A Ling. Maka

berdiri dua puluh meter persis di depan Thak Si Ya adalah posisi

yang telah kuperhitungkan dengan matang. Jika ia muncul di

belokan itu, maka dari posisi ini aku dapat melihatnya langsung

berjalan anggun seperti burung sekretaris menuju ke arahku. Pasti ia

akan menunduk tersenyum-senyum, atau, seperti film India, ia akan

berlari kecil membawa seikat bunga, lalu merentangkan tangannya

untuk memelukku. Ah, aku bermimpi.

Tapi ia tak muncul-muncul dan aku berulang kali mengusap

mataku yang kelelahan memelototi belokan itu. Kakiku penat dan

aku mulai merasa pusing karena ketegangan berkepanjangan.

Sekarang Thak Si Ya telah berdiri, para pemuda Tionghoa bertepuk

tangan, sementara aku semakingelisah. Aku melirik Thak Si Ya yang

berdiri tinggi tegak, matanya seram sekali mengawasi gerak gerikku.

Sekarang sudah pukul 3.57, tiga menit menjelang tenggat

waktu. Aku menghitung dengan jariku, jika sampai hitungan keenam

puluh ia tak muncul maka aku akan pergi saja. Aku kepanasan dan

merasa mual. Karena tegang, perutku naik membaut ngilu ulu

hatiku. Kalautadi pikiran yang bukan-bukan merasukiku, kini

pikiranku dilanda keraguan.

Apakah ia benar-benar seperti persepsiku selama ini? Apakah

yang kuabyangkan tentang dirinya akan sama sekali berbeda

kenyataannya? Mungkinkah sekarang ia sedang menyiangi tauge,

lupa akan janjinya? Tahukah ia betapa berarti pesannya itu

untukku? Dan sekarang ia tak datang, betapa hancur hatiku. Ingin

segera kukayuh sepeda ini, lari sekencang-kencangnya

menceburkan diri ke Sungai Lenggang.

Pukul 4.02, lewat sudah batas janji.

Tik! Tok! Tik! Tok! Tik! Tok! Sudah 60! Hitunganku sampai. Ia

ingkar! Aku berada di puncak kegelisahan. Tanganku dingin,

jantungku berdetak makin cepat. Suara kumbang-kumbang semakin

riuh merubung aku, menerorku tanpa ampun.

Ngiung! Ngiung! Ngiung ...

Dadaku sesak karena rindu dan marah, aku naiki sadel

sepeda, sudah tak tahan ingin berlalu dari neraka ini. Namun ketika

aku akan mengayuh sepeda, aku mendengar persis di belakangku

suara itu. Suara yang lembut seperti tofu. Suara yang membuat

kumbang-kumbang terdiam bungkam. Inilah suara yang sejuk

seperti angin selatan, suara terindah yang pernah kudengar seumur

hidupku, laksana denting harpa dari surga.

Aku berbalik cepat dan terkejut.

Aku tak mampu mengucapkan sep atah kata pun. Karena di

situ, persis di situ, tiga meter di depanku, berdirilah ia, the

distinguished Miss A Ling herself! Michele Yeoh-ku.

Ia datang dari arah yang sama sekali tak kuduga karena

sebenarnya dari tadi ia sudah berada di dalam kelenteng

memerhatikanku, dan pada detik-detik terakhiraku akan kecewa, ia

hadir, memberiku kejutan listrik voltase tinggi, menghancurkan

setiap butiran- butiran darah merah di tubuhku. Setelah lima tahun

mengenalnya, baru tu juh bulan yang lalu pertama melihat

wajahnya, setelah puluhan puisi yang kutulis untuknya, setelah

berton-ton rindu untuknya, baru sore ini dia akan tahu namaku.

Aku tergagap-gagap seeprti orang Melayu belajar mengaji.

Ia mengulum senyum, manis sekali tak terperikan. Hadir

dalam balutan chong kiun , baju acara penting yang memesona, di

suatu bulan Juli yang meriah, ia turun ke bumi bagai venus dari

Laut Cina Selatan. Baju itu mengikuti lekuk tubuhnya dari atas mata

kaki sampai ke leher dan dikunci dengan kancing tinggi berbentuk

Tubuhnya yang ramping bertumpu di atas sepasang sandal

kayu berwarna biru. Cantik rupawan melebihi mayoret mana pun.

Tingginya tak kurang dari 175 cm, jelas lebih tinggi dariku.

Serasi dengan rumpun genayun yang tumbuh kurus

menjulang di sampingnya ia mengikat rambutnya menjadi satu

ikatan besar dan ikatan itu ditegakkan tinggi-tinggi.

Beberapa helai rambut yang disatukan jatuh di atas pundak

chong kiun berwarna lam set , biru muda, dengan motif bunga ros

besar-besar. Beberapa helai rambut lainnya dibiarkan jatuh

melintasi wajahnya yang teduh jelita. Kuku-kukunya yang cantik

memegang hio utnuk sembahyang.

Ada sedikit kilasan kedewasaan pada pancaran matanya

dibanding terakhir kami bertemu. Teori yang memaksakan pendapat

bahwa wanita bermata besar kelihatan lebih cantik akan runtuh

berantakan jika melihat A Ling. Matanya yang sipit sedikti tertarik ke

atas, senada dengan bentuk alis yang dibiarkan alami. Dalam

lukisan wajah yang tirus bentuk mata seperti itu menciptakan rasa

kecantikan dengan karakter yang kaut. Inilah pusat gravitasi pesona

Sejujurnya aku tak sanggup mengatasi keanggunan pada level

seperti ini. Ini bukan untukku. Aku merasa tak pantas. Bagiku ia

seperti seseorang yang akan selalu menjadi milik orang lain. Dan

aku, tak lebih dari pengisi data nama dan alamat pada buku

simfoninya yang akan terlupakan sebulan setelah ini. Aku tak

mungkin berada di dalam liga ini. Aku rasanya ingin pulang saja. Ia

membaca itu. Lalu memegang mata kiang lian , seuntai kalung yang

menggantung panjang di lehernya. Mata kalung itu batu giok dan

bertulisan Tionghoa. Aku tak paham makna tulisan itu.

Miang sui ,” kata A Ling. Nasib, itulah artinya.

Dan lilin besar merah pun dinyalakan, cahayanya berkibarkibar, ratusan jumlahnya. Mata Thai Tse Ya berkilat-kilat karena lilin

menyinari wajahnya dari bawah.

Ia tampak makin seram tapi aura A Ling membuatnya tak

lebih dari boneka kertas yang jenaka dan kumbang-kumbang yang

nakal tadi tak berani muncul lagi.

A Ling menarik tanganku, kami berlari meninggalkan

halaman kelenteng, terus berlari melintasi kebun kosong tak terurus,

menyibak-nyibakkan rumput apit-apit setinggi dada, tertawa kecil

menuju lapangan rumput halaman sekolah nasional. Kami

merebahkan diri kelelahan, memandangi awan senja berarakan.

“Aku membaca puisimu, Bunga Krisan, di depan kelas!”

katanya serius. “Puisi yang indah .....

Wajah A Ling yang cantik berair karena keringat, seperti

embun di permukaan kaca. Ia bangkit, lalu berjalan hilir mudik di

depanku yang memandanginya seperti bayi melihat kelereng. Lalu

dengangaya seperti dosen ia menggenggam jemarinya, bercerita

penuh semangat tentang minatnya pada sketsa dan cita-citanya men

jadi perancang busana. Sebaliknya, aku menceritakan minatku pada

seni. Di dekatnya aku merasa berarti, merasa menjadi seseorang, di

dekatnya aku merasa ingin menjadi seorang pria yang lebih baik. Di

dekatnya aku merasa seperti sedang berada dalam sebuah adegan

Dari lapangan itu kami kemudian berlari-lari menuju komidi

putar. Bukankah komidi putaradalah sebuah benda yang

menakjubkan? Setelah seorang priakumal mengangkat sebuah tuas

lalu benda itu secara mekanik memutarinsan-insan yang dimabuk

cinta yang duduk berimpitan di dalam sebuah tempat seperti

mentudung. Lalu tiba-tiba semuanya menjadi mudah karena semua

hal disaksikan dari suatu jarak. Bagiku mentudung-mentudung itu

seumpama pelaminan di mana orang berusaha menikmati

keindahan cinta dalam kesederhanaan sensasi yang ditawarkan

Keindahan yang sederhana ini membuatku belajar

menghargai cinta yang sekarang duduk di sampingku. Inilah sore

terindah dalam hidupku. Aku bertanya-tanya pada diri sendiri: ke

manakah nasibakan membawaku setelah ini? Dari putaran tertinggi

komidi aku dapat melihat lapangan tempat tadi kami memandangi

DI sebuah buku aku melihatnya mengendarai kuda dengan cara

memeluk erat perut hewan itu seperti prajurit Kubilai Khan. Matanya

berkilat-kilat karena dewa mata tombak telah melukai hatinya.

Darahku menggelegak ketika ia mengendap-endap mendekati

Dan aku tak kuasa membalik satu lembar terakhir saat ia

mengatakan bahwa ia akan mencampakkan cinta wanita-wanita

berdarah campuran Tututni dan Chimakuan. Semua itu karena ia

tak mau mencemari darah Indian Pequot yang mengalir deras di

tubuhnya, dan yang paling memilukan, karena ia adalah pria

terakhir dalam sukunya.

Maka air kelaki-lakiannya bersimbah di punggung-punggung

kuda tak berpelana dan ia mengembara sendirian di lautan padang

rumput Vellowstone yang tak bertepi. Ia menjerit sepanjang hari dan

menari menantang matahari sehingga pandangan matanya gelap

gulita. Ia merangkak-rangkak, berdoa agar salah satu wanita dari

sukunya akan muncul di antara kawanan coyote seperti para dewa

telah menghadirkan wanita-wanita Sguamish. Tapi waktu yang

mengutus angin juga telah tega mengkhianatinya, sehingga ia

menjadi tua, dan saat maut menagih janjinya, ia mati masih perjaka.

Pagi itu langit melapangkan kedua tangan, menyambut darah asli

Pequot. Chinookcuk, yang terakhir dari kaumnya itu adalah prajurit

yang memutuskan untuk mengucilkan diri karena ingin menjaga

kesucian darah Pequot. Sama seperti suatu suku terasing di

Sepahua Amazon. Mereka melarikan diri jauh ke rimba yang dalam

karena ingin menghindarkan diri dari wabah kolera. Sejak tahun

1500 tak seorang pun pernah melihat mereka. Isolated by choice,

demikian para ahli menyebutnya, yaitu sikap sengaja mengasingkan

diri. Sedangkan yang mengumbar keberadaan dirinya seperti sukusuku Osage, Huron, Lakmiut, Cherokee, Sawang, atau Melayu

Belitong umumnya mengalami hambatan-hambatan geografis

sehingga terisolasi. Meskipun dalam kasus tertentu isolasi sengaja itu

juga terjadi karena pertimbangan komersial, misalnya Sheffield yang

tiga tahun lalu memutuskan untuk mengucilkan diri dengan

menutup bandaranya karena tidak menghasilkan keuntungan.

Adapun suku-suku Perupian itu memang terasing karena rimba

belantara yang sulit ditembus, sungai-sungai yang liar, dan gunung

gemu-nung yang terjal.

Pada suatu ketika Melayu Belitong sempat terisolasi karena

mereka tinggal di sebuah pulau kecil yang dikelilingi samudra,

sementara tidak semua peta memuat pulau ini. Waktu itu di sana

belum berdiri BTS-BTS atau antena gelombang mikro untuk

telekomunikasi. Satu- satunya akses suku ini kepada dunia luar

adalah melalui sebuah pintu baja setebal 30 sentimeter. Bagi orang

Belitong, pintu baja itu adalah tabir pemisah kehidupan jahiliah dan

dunia modern, sekaligus laksana teropong kapal selam yang timbul

untuk melongok- longok dunia luar.

Pintu baja tulen itu menutup sebuah ruangan sempit rahasia yang

menyimpan benda-benda keramat berwarna-warni. Ruangan ini

disebut kluis dan merupakan bagian utama dari sebuah kantor

peninggalan Belanda. Jika pintu ini ditutup maka orang Melayu

Belitong merasa bahwa di dunia ini Tuhan hanya menciptakan

mereka dan bumi ber-bentuk lonjong. Kluis adalah jendela alam

semesta bagi suku Melayu Belitong.

Oleh karena itu, kluis sangat penting dan kuncennya bukan orang

sembarangan. Di dunia ini hanya ia dan Tuhan yang tahu

kombinasi sebelas digit nomor benteng pertama kluis. Setelah

memutar kombinasi itu ia harus melalui tiga tahap lagi untuk

membukanya. Pertama, ia harus memasukkan dua buah anak kunci

tembaga kurus panjang ke dalam dua lubang kunci dan

memutarnya setengah lingkaran secara bersamaan. Kedua, ia

kembali memasukkan sebuah anak kunci besar yang harus diputar

dengan kedua tangan karena harus cukup tenaga untuk membalik

enam buah batangan baja murni sebesar lengan manusia dewasa

dari penyekatnya. Inilah tuas kunci utama kluis. Dan ketiga, setelah

pintu besi 30 sentimeter itu terbuka ternyata masih ada lagi pintu

besi jeruji yang dikunci dengan gembok tembaga selebar telapak

Ruangan kluis ini tahan api dan jika diledakkan dengan dinamit

100 kilogram ia masih tak akan bergerak. Di dalamnya gelap pekat

tak ada udara, apabila terperangkap di sana dipastikan akan mati

lemas dalam waktu singkat. Jika pintu itu rusak, hanya seorang pria

tua bernama Hans Ritsema Van Horn dari Uttrech yang bisa

membetulkannya. Pengamanan dibuat demikian ketat berlapis-lapis

karena dalam kluis itu terdapat benda-benda keramat berwarnawarni, benda inilah sang penguasa waktu. Ia bukan sema-cam

lorong waktu yang dapat membalik tempo tapi ia lebih seperti time

slider pada DVD player, dan ia disimpan dalam portepel-portepel.

Dengan Rp200, perangko kilat, tujuh hari insya Allah sampai

kepada alamat penerima, menuju tujuan kota mana pun di Pulau

Jawa, dan Rp75 adalah perangko biasa, jika ingin sampai saat Hari

Raya Idul Adha maka kirimlah sebelum Hari Raya Idul Fitri. Pria

pemegang kunci kluis itu merupakan orang terpilih dan Tuhan diamdiam telah menciptakan untuknya sebuah pekerjaan yang bukan

hanya bergaji rendah tapi juga unik dan bisa memacu otak sekaligus

Dan kepada pemangku pekerjaan inilah seharusnya kita,

khususnya kami, orang-orang Melayu Belitong, menghaturkan

terima kasih yang tak terperikan. Meskipun The Beatles telah

menunjukkan sedikit respek kepadanya dengan menulis lagu Mr.

Postman, tapi masih jarang sekali pujangga-pujangga Melayu yang

tersohor merangkai gurindam, mengarang puisi, atau sekadar

menulis cerpen tentang kiprahnya.

Pekerjaan kuncen kluis yang memacu otak dan jantung

kumaksud di atas adalah pekerjaan Pak Pos yang sekaligus menjadi

kepala kantor pos di kecamatan-kecamatan. Dalam susunan

organisasi, mereka menamainya Pengurus Kantor Pos Pembantu,

tapi di kampung kami beliau disebut Tuan Pos. Beliaulah yang

memungkinkan kami berkomunikasi dengan budaya luar melalui

benda keramat berwarna-warni, yaitu perangko-perangko itu, dan

beliau pula yang menyampaikan koran-koran terlambat sebulan dari

Jakarta sehingga kami tahu rupa kepala suku republik ini. Pada

suatu kurun waktu pernah angin barat berkepan-jangan berembus

demikian kencang, akibatnya kapal-kapal harus memilih muatan

secara selektif dan orang-orang Belitong juga terpaksa memilih:

mau makan beras atau makan kertas?

Karena di kampung kami tidak ada sawah maka kapal-kapal itu

memutuskan untuk membawa barang-barang penting saja, dan

koran dianggap kurang penting. Maka koran- koran itu terlambat

selama tiga puluh dua tahun. Kami tak tahu apa yang terjadi di

Jakarta. Tapi setelah koran-koran itu tiba kami tak kecewa meskipun

telah terlambat selama itu karena ternyata sang kepala suku masih

orang yang sama. Tuan Pos memacu otak karena ia menguras

pikirannya untuk membuat perencanaan cash flow dan benda pos

guna keperluan bulan depan. Ia harus memperkirakan berapa orang

yang akan menarik tabanas, menguangkan wesel, menerima

pensiun, dan mengirim surat, kartu, dan paket. Lalu setelah

sepanjang hari melayani pelanggan di loket, menjelang sore

Tuan Pos mengeluarkan sepeda untuk berkeliling kampung

mengantar surat, ia pun memacu jantungnya.

Tuan Pos kami adalah tuan sekaligus anak buah bagi dirinya

sendiri karena semua pekerjaan ia kerjakan sendiri. Beliau bekerja

sejak subuh: memasak sagu untuk lem, mengangkat karung paket,

menjual perangko, menerima dan membayar tabanas dan wesel,

mencap surat. Kadang-kadang beliau membantu pelanggan menulis

dan malah membacakan surat cinta untuk para kekasih yang buta

huruf. Ketika BUMN yang sok progresif sekarang ribut soal Good

Corporate Citizenship, Tuan Pos kami telah jauh-jauh hari

mempraktik-kannya. Beliau menyortir surat sejak su-buh dan

mengantarnya di bawah hujan dan panas. Sudah begitu tak jarang

pula beliau menerima keluhan yang pedas dari pelanggan.

Sekilas dalam hati aku berdoa:

\"Ya, Allah, cita-citaku adalah menjadi seorang penulis atau

pemain bulu tangkis, tapi jika gagal jadikan aku apa saja kalau

besar nanti, asal jangan jadikan aku pegawai pos. Dan

jangan beri aku pekerjaan sejak subuh.\"

\"APA anak-anak muda di kelas ini sudah boleh menerima surat

cinta, Ibunda Guru?\"

Itulah kata-kata dari sepotong kepala yang melongok dari balik

daun pintu kelas kami.

Bu Mus tersenyum ramah pada Tuan Pos yang tiba-tiba muncul.

Beliau biasa menerima kiriman majalah syiar Islam Panji Masyarakat

dari sebuah kantor Muhammadiyah di Jawa Tengah.

Tapi kali ini Tuan Pos membawa surat untukku.

Inilah surat pertama yang kuterima dari Perum Pos. Dulu aku

sering mengantar nenekku ke kantor pos untuk mengambil pensiun.

Tapi secara pribadi, baru kali ini aku menerima layanan dari

perusahaan umum yang sangat bersahaja ini, sahabat orang kecil,

pos giro. Aku bangga dan sekilas merasa menjadi orang yang agak

Apakah surat ini dari redaksi majalah Kawanku atau majalah Hai

untuk puisi-puisi yang tak pernah kukirimkan? Tentu saja tak

mungkin. Surat ini dialamatkan ke sekolah, tak adanama dan alamat

pengirimnya, sampulnya biru muda, indah, dan harum pula

baunya. Apakah salah alamat? Mungkin untuk Samson atau Sahara

dari sahabat pena mereka di Kuala Tungkai, Sungai Penuh, Lubuk

Sikaping, atau Gunung Sitoli. Mengapa para sahabat pena selalu

berasal dari tempat-tempat yang namanya aneh? Atau mungkin

untuk Trapani yang tampan dari seorang pengagum rahasia?

Pak Pos tersenyum menggoda. Beliau mengeluarkan form xl3.

Tanda terima kiriman penting. \"Surat ini untukmu, rambut ikal,

cepat tanda tangan di sini, tak 'kan kuhabiskan waktuku di

sekolahmu ini, masih banyak kerjaan, sekarang musim bayar pajak,

masih ratusan SPT pajak harus diantar, cepatlah ....

\"Pak Pos belum puas dengan godaannya. \"Ada gadis kecil datang

ke kantor pos pagi-pagi. Mengirimimu kilat khusus dalam kota!

Mungkin asap hio membuatnya sedikit linglung, pakai perangko

biasa pun pasti kuantar hari ini. Ia berkeras dengan kilat khusus,

begitu pentingkah urusanmu belakangan ini, ikal mayang?\" Aha,

asap hio! Sekarang aku paham, kurampas surat itu.

Dadaku berdebar- debar. Menunggu waktu pulang untuk

membuka isi surat itu rasanya seperti menunggu rakaat terakhir

shalat tarawih hari ketiga puluh. Saat itu imam membaca hampir

setengah Surah Al-Baqarah sementara ketupat sudah menari-nari di

Aku duduk sendiri di bawah filicium ketika seluruh siswa sudah

Surat bersampul biru itu berisi puisi.

Cinta benar-benar telah menyusahkanku

Ketika kita saling memandang saat sembahyang rebut

Malamnya aku tak bisa tidur karena wajahmu tak

Mau pergi dari kamarku

Kepala ku pusing sejak itu...

Yang berani merusak tidur dan selera makanku ?

Yang membuatku melamun sepanjang waktu?

Kamu tak lebih dari seorang anak muda pengganggu!

Namun ingin kukatakan padamu

Setiap malam aku bersyukur kita telah bertemu

Karena hanya padamu, aku akan merasa rindu ....

Aku terpaku memandangi kertas itu. Tanganku gemetar. Aku

membaca puisi itu dengan menanggung firasat sepi tak tertahankan

yang diam-diam menyelinap. Aku bahagia tapi dilanda kesedihan

yang gelap, ada rasa kehilangan yang mengharu biru. Tak lama

kemudian aku melihat pagar-pagar sekolahku perlahan-lahan

berubah menjadi kaki-kaki manusia yang rapat berselang-seling.

Ada seseorang duduk bersimpuh di tengah lapangan dikelilingi kakikaki itu. Dan ada bangkai seekor buaya terbujur kaku disampingnya,

Ia tampak samar-samar dan terlihat sangat putus asa. Lalu wajah

samar laki-laki itu mulai mendekat, dia menoleh ke arahku, air mata

mengalir di pipinya yang carut marut berbintik hitam. Hari itu aku

paham bahwa kepedihan Bodenga yang kusaksikan bertahun-tahun

lampau di lapangan basket sekolah nasional telah melekat dalam

benakku sebagai sebuah trauma, dan hari itu, setelah sekian ta-hun

berlalu, untuk.pertama kalinya Bodenga mengunjungiku.

TEKANAN darahku terlalu rendah. Penderita hipo-tensi tidak bisa

bangun tidur dengan tergesa-gesa. Jika langsung berdiri maka

pandangan mata akan berkunang-kunang lalu bisa-bisa ambruk dan

kembali tidur dalam bentuk yang lain. Sebuah konsekuensi yang

mengerikan. Namun, Samson sungguh tak punya perasaan. Ia

membabat kakiku tanpa ampun dengan gulungan tikar lais saat aku

se-dang tertidur lelap.

\"Bangun!\" hardiknya. \"Wak Haji sudah datang, sebentar lagi

azan, disiramnya kau nanti!\" Dan aku terbangkit mendadak,

meracau tak keruan antara tidur dan terjaga, tergagap-gagap.

Kurasakan dunia berputar-putar, pandanganku gelap. Aku

merangkak berlindung di balik pilar agar tak ketahuan Wak Haji

yang sedang membuka jendela- jendela masjid. Sempat kulihat

Lintang, Trapani, Mahar, Syahdan, dan Harun terbirit- birit

menyerbu tempat wudu. Tidur di ruang utama masjid adalah

pelanggaran. Kami seharusnya tidur di belakang, di ruangan beduk

dan usungan jenazah. Aku tersandar tanpa daya pada pilar yang

beku, berusaha meregang-regangkan mataku, jantungku terengahengah, aku bersusah payah mengumpul-ngumpulkan nyawa.

Angin dingin menyerbu lewat jendela. Mataku terpicing

mengintip keluar jendela. Sisa cahaya bulan yang telah pudar jatuh

di halaman rumput, sepi dan murung.

Inilah early morning blue, semacam hipokondria, perasaan

malas, sakit, pesimis, dan kelabu tanpa alasan jelas yang selalu

melandaku jika bangun terlalu dini. Teringat puisi A Ling untukku,

aku ingin tidur lagi dan baru bangun minggu depan.

Setelah Wak Haji selesai mengumandangkan azan baru

kurasakan jiwa dan ragaku bersatu. Kucai yang telah mengambil

wudu dengan sengaja melewatiku, jaraknya dekat sekali, bahkan

hampir melangkahiku. Ia menjentik-jentikkan air kewajahku.

Kibasan sarung panjangnya menampar mukaku.

\"Pemalas!\" katanya.

Malam minggu ini kami menginap di Masjid Al Hikmah karena

setelah shalat subuh nanti kami punya acara seru, yaitu naik

Gunung Selumar tidak terlalu tinggi tapi puncaknya merupakan

tempat tertinggi di Belitong Timur. Jika memasuki kampung kami

dari arah utara maka harus melewati bahu kiri gunung ini. Dari

kejauhan, gunung ini tampak seperti perahu yang terbalik, kukuh,

biru, dan samar-samar. Di sepanjang tanjakan dan turunan

menyusuri bahu kiri Gunung Selumar berderet-deret rumah-rumah

penduduk Selinsing dan Selumar. Mereka memagari pekarangannya

dengan bambu tali yang ditanam rapat-rapat dan dipangkas rendahrendah. Kampung kembar ini dipisahkan oleh sebuah lembah yang

digenangi air yang tenang. Danau Merantik, demikian namanya.

Jika mengendarai sepeda maka stamina tubuh akan diuji oleh

sebuah tanjakan pendek namun curam menjelang Desa Selinsing.

Pemuda-pemuda Melayu yang berusaha membuat kekasihnya

terkesan tak 'kan membiarkannya turun dari sepeda. Mereka nekat

mengayuh sampai ke puncak, mengerahkan segenap tenaga,

tertatih-tatih sehingga sepeda tak lurus lagi jalannya. Setelah

tanjakan Selinsing ini ditaklukkan maka sepeda akan menukik turun.

Sang pemuda akan tersenyum puas, meminta kekasihnya memeluk

pinggangnya erat-erat dan meyakinkannya bahwa ia kurang lebih

tidak akan terlalu memalukan nanti kalau dijadikan suami.

Pada tukikan ini sepeda akan meluncur turun dengan deras,

menikung sedikit, sebanyak dua kali, menelusuri lembah Danau

Merantik, lalu disambut lagi oleh tanjakan kampung Selumar.

Kekasih mana pun akan maklum kalau diminta turun, karena

tanjakan Selumar meskipun tak securam tanjakan Selinsing namun

jarak tanjaknya sangat panjang.

Baru seperempat saja menempuh tanjakan Selumar maka sepeda

yang dituntun akan terasa berat. Pagar bambu tali yang dibentuk

laksana anak-anak tangga tampak berbayang-bayang karena mata

berkunang-kunang akibat kelelahan. Semakin ke puncak langkah

semakin berat seperti dibebani batu. Keringat bercucuran mengalir

deras melalui celah-celah leher baju, daun telinga, dan mata, sampai

Tapi saat mencapai puncaknya, yaitu puncak bahu kiri Gunung

Selumar, semua kelelahan itu akan terbayar. Di hadapan mata

terhampar luas Belitong Timur yang indah, dibatasi pesisir pantai

yang panjang membiru, dinaungi awan-awan putih yang

mengapung rendah, dan barisan rapi pohon-pohon cemara angin.

Dari puncak bahu ini tampak rumah-rumah penduduk teruraiurai mengikuti pola anak- anak Sungai Langkang yang berkelakkelok seperti ular. Kelompok rumah ini tak lagi dipagari oleh bambu

tali namun berselang-seling di antara padang ilalang liar tak bertuan.

Semakin jauh, jalur pemukiman penduduk semakin menyebar

membentuk dua arah. Pemukiman yang berbelok ke arah barat

daya terlihat sayup-sayup mengikuti alur jalan raya satu-satunya

menuju Tanjong Pandan. Dan yang terdesak terus ke utara terputus

oleh aliran sebuah sungai lebar bergelombang yang tersambung ke

laut lepas Sungai Lenggang yang melegenda. Di seberang Sungai

Lenggang rumah-rumah penduduk semakin rapat mengitari pasar

Jangan terburu-buru menuruni lembah. Berhentilah untuk

beristirahat. Sandarkan tubuh berlama-lama di salah satu pokok

pohon angsana tempat anak-anak tupai ekor kuning rajin bermain.

Dengarkan orkestra daun-daun pohon jarum dan jeritan histeris

burung- burung kecil matahari yang berebut sari bunga jambu

mawar dengan kumbang hitam. Nikmati komposisi lanskap yang

manis antara gu-nung, lembah, sungai, dan laut.

Longgarkan kancing baju dan hirup sejuk angin selatan yang

membawa aroma daun Anthurium andraeanum, yaitu bunga hati

yang tumbuh semakin subur beranak pinak mengikuti ketinggian.

Dinamakan bunga hati karena daunnya berbentuk hati.

Aku sendiri tak pasti, apakah aroma harum a-lami yang

melapangkan dada itu berasal andraeanum sendiri atau dari

simbiosisnya, sebangsa fungi Clitocybe gibba yaitu jamur daun tak

bertangkai yang rajin merambati akar-akar familia keladi itu. Jamur

ini bersemi dalam suhu yang semakin lembap saat memasuki musim

angin barat pada bulan-bulan yang berakhiran ber. Bentuknya

tegap, rendah, dan gemuk-gemuk.

Kami sudah sangat sering piknik ke Gunung Selumar dan agak

sedikit bosan dengan sensasinya. Biasanya kami tidak sampai ke

puncak, sudah cukup puas dengan pemandangan dari 75%

ketinggiannya. Lagi pula komposisi batu granit di atas lereng gunung

ini membuat jalur pendakian ke puncak menjadi licin. Namun, kali

ini aku amat bergairah dan bertekad untuk mendaki sampai ke

puncak. Laskar Pelangi menyambut baik semangatku. Belum apaapa mereka telah sibuk bercerita tentang pemandangan hebat yang

akan kami saksikan nanti dari puncak, yaitu seluruh jembatan di

kampung kami, kapal-kapal ikan, dan tongkang pasir gelas yang

bersandar di dermaga.

Tapi aku tak peduli dengan semua pemandangan itu karena aku

punya misi rahasia. Rahasia ini menyangkut sebuah pemandangan

menakjubkan yang hanya bisa disaksikan dari puncak tertinggi

Gunung Selumar. Rahasia ini juga berhubungan dengan bungabunga kecil nan rupawan yang hanya tumbuh di puncak tertinggi.

Mereka adalah bunga liar Callistemon laevis atau bunga jarum

merah, atau kalau beruntung, bunga kecil kuning kelopak empat

semacam Dip lotaxis muralis.

Aku menyebutnya bunga rumput gunung, istilahku sendiri,

karena ia senang menyelinap, enam atau tujuh tangkai

seperanakan, di antara rerumputan zebra liar di puncak-puncak

gunung dekat laut. Kelopaknya selebar ibu jari, berwarna kuning

redup dan tangkai yang menopangnya berwarna hijau muda

dengan ukuran tak sepadan, natural, spontan, lucu, dan cantik.

Daun-daunnya tak dapat dikatakan indah karena bentuk dan

warnanya, bukan kurannya, lebih seperti daun Vitex trif olia biasa.

Namun jika kita siangi daunnya dan berhasil mengumpulkan paling

tidak 15 kuntum lalu disatukan dengan jumlah yang lebih sedikit

dari kuntum bunga jarum merah maka satu kata untuk mereka:

Bunga jarum merah berbentuk jarum yang lebat dengan ujung

bulat kecil-kecil berwarna kuning. Ketika bunga jarum digabungkan

dengan bunga rumput gunung tanpa diatur maka mereka seolah

berebutan tampil. Ikatlah mereka dengan pita rambut berwarna biru

muda dan tulislah sebuah puisi, maka Anda akan mampu

mendinginkan hati wanita mana pun.

Setelah tiga jam mendaki kami tiba di puncak. Lelah, haus, dan

berkeringat, tapi tampak jelas rasa puas pada setiap orang, sebuah

ekspresi \"telah mampu menaklukkan\".

Aku yakin perasaan inilah yang memicu sikap obsesif setiap

pendaki gunung profesional untuk menaklukkan atap-atap dunia.

Kiranya daya tarik mendaki gunung berkaitan langsung dengan

fitrah manusia. Lalu dengan hiruk pikuk sahut-menyahut temantemanku, para Laskar Pelangi, berkomentar tentang pemandangan

yang terhampar luas di bawah mereka.

\"Lihatlah sekolah kita,\" pekik Sahara. Bangunan itu tampak

menyedihkan dari jauh. Rupanya dilihat dari sudut dan jarak

bagaimanapun, sekolah kami tetap seperti gudang kopra!

Lalu Kucai menunjuk sebuah bangunan,\"Hai! Tengoklah! Itu

Seluruh khalayak meneriakinya, tak terima.

\"Itu kelenteng, bodoh!\" Dan mereka pun terbelah dalam dua

kelompok debat kusir.

Sebagaimana biasa Mahar mulai berdongeng, menurutnya

Gunung Selumar adalah seekor ular naga yang sedang menggulung

diri dan telah tidur panjang selama berabad- abad.

\"Ular ini akan bangun nanti kalau hari kiamat. Kepalanya ada di

puncak gunung ini. Berarti tepat berada di bawah kaki-kaki kita

sekarang! Dan ekornya melingkar di muara Sungai Lenggang,\"

\"Maka jangan terlalu ribut di sini, nanti kalian kualat,\" tambahnya

lagi belum puas membodohi diri sendiri. Teman-temanku riuh

rendah mendengar cerita itu dalam pro dan kontra.

Tapi seperti biasa pula, A Kiong-lah yang selalu termakan

dongeng Mahar, ia tampak serius dan percaya seratus persen.

Mungkin sebagai ungkapan rasa kagum atas cerita yang sangat

bermanfaat itu, dengan takzim ia memberikan bekal pisang

rebusnya kepada Mahar. Sikapnya seperti seorang anggota suku

primitif menyerahkan upeti kepada dukun yang telah

menyembuhkannya dari penyakit kudis. Mahar menyambar upeti itu

dan secara kilat memasukkannya ke dalam sistem pencernaannya

tanpa peduli bahwa dia sedang dianggap sangat berwibawa oleh A

Meledaklah tawa Laskar Pelangi melihat pemandangan itu.

Namun A Kiong tetap serius, ia sama sekali tidak tertawa, baginya

kejadian itu tidak lucu.

Demikian pula aku. Aku juga tidak tertawa. Karena aku sedang

merasa sepi di keramaian. Mataku tak lepas me-mandang sebuah

kotak persegi empat berwarna merah nun jauh di bawah sana, atap

sebuah rumah. Rumah A Ling.

Aku menyingkir dari kegirangan teman-temanku, sendirian

menelusuri padang ilalang rendah di puncak gunung, memetik

bunga-bunga liar. Kupandangi lagi atap rumah A Ling dan

segenggam bunga liar nan cantik di dalam genggaman. Untuk inikah

aku mendaki gunung setinggi ini?

Panorama dari puncak ini seperti musik. In-tronya adalah

gumpalan awan putih yang mengapung rendah seolah aku dapat

menjangkaunya. Lalu mengalir vokal dari suitan- suitan panjang

burung-burung prigantil yang kadang-kadang begitu dekat dan

nyaring, sampai terdengar jauh samar-samar bersahut-sahutan

dengan lengkingan-lengkingan kecil kawanan murai batu. Reff

rainnya adalah ribuan burung punai yang menyerbu hamparan

buah bakung yang masak menghitam seperti permadani raksasa.

Musik diakhiri secaraf ade out oleh jajaran panjang hutan bakau

tang-kapan hujan yang memagari anak-anak Sungai Lenggang,

berkelok-kelok sampai tak tampak oleh pandangan mata, ditelan

muara-muara di sepanjang Pantai Manggar sampai ke Tanjong

Angin sejuk yang bertiup dari lembah menampar-nampar

wajahku. Aku merasa tenang dan akan kutulis puisi demi seseorang

di balik tirai keong itu. Puisi inilah misi rahasiaku.

A Ling, hari ini aku mendaki Gunung Seiumar

Tinggi, tinggi sekali, sampai kepuncaknya

Hanya untuk melihat atap rumahmu

SENIN pagi yang cerah. Sepucuk puisi dibungkus kertas ungu

bermotif kembang api. Bunga-bunga kuning kelopak empat dan

kembang jarum merah primadona puncak gunung diikat pita

rambut biru muda. Tak juga hilang kesegarannya karena semalam

telah kurendam di dalam vas keramik. Tak sabar rasanya ingin

segera kuberikan pada A Ling.

Benda-benda ajaib ini adalah properti sekuel cinta pagi ini, dan

skenarionya ada-lah: ketika A Ling menyodorkan kotak kapur, aku

serta-merta meletakkan bunga dan puisiku ini ke tangannya yang

terbuka. Tak perlu ada kata-kata. Biarlah ia menghapus air matanya

karena keindahan bunga-bunga liar dari puncak gunung. Biarlah ia

membaca puisiku dan merasakan kue keranjang tahun ini lebih enak

dari tahun-tahun lalu.

Aku gugup dan bergegas menghampiri lubang kotak kapur segera

setelah A Miauw memberi perintah. Namun ketika tinggal dua

langkah sampai ke kotak itu aku terkejut tak alang kepalang. Aku

terjajar mundur ke belakang dan nyaris terantuk pada kaleng-kaleng

minyak sayur. Aku terperanjat hebat karena melihat tangan yang

menjulurkan kotak kapur adalah sepotong tangan yang sangat

kasar. Tangan itu bukan tangan A Ling!

Tangan itu sangat ganjil, seperti sebilah tembaga yang jahat.

Bentuknya benar-benar kebalikan dari tangan Michele Yeohku.

Tangan itu berotot, dekil, hitam legam, dan berminyak-minyak. Dari

otot lengan atasnya menjalar urat-urat besar berwarna biru, timbul

Sebuah gelang akar bahar, tidak tanggung-tanggung, melingkar

tiga kali pada lengan tembaga sepuhan tembaga itu. Ujung gelang

diukir berbentuk kepala ular beracun kuat pinang barik yang

menganga lapar siap menyambar. Sedangkan ada pergelangan siku,

seperti dikenakan raksasa jahat dalam pewayangan, melekat gelang

alumunium ketat dengan kedua ujung berbentuk gerigi kunci, biasa

dipakai untuk tujuan-tujuan melanggar hukum. Memang tidak

terdapat tato pantangan bagi orang melayu yang tahu agama, tapi

pada tiga jari jemarinya terdapat tiga mata cincin yang mengancam.

Jari telunjuknya dibalut cincin batu satam terbesar yang pernah

kulihat. Batu satam adalah material meteorit yang unik karena di

muka bumi ini hanya ada di Belitong.

Warnanya hitam pekat karena komposisi carbon acid dan

mangaan, dan kepadatannya lebih dari baja sehingga tidak mungkin

bisa dibentuk. Batu-batu ini biasa bersembunyi di lubang bekas

tambang timah dan tak 'kan dapat ditemukan jika sengaja dicari.

Hanya nasib baik yang dapat mengeluarkan satam dari perut bumi.

Tahun 1922 kompeni menyebut batu ini billitonite dan dari sinilah

Pulau Belitong mendapatkan namanya. Tanpa sama sekali

mempertimbangkan estetika, pemilik tangan itu mengikat benda

keramat dari tata surya itu apa adanya dengan kuningan murahan.

Namun, ia memakainya dengan bangga seolah dirinya penguasa

Pada jari manisnya terpajang cincin bermata batu akik yang

mengesankan seperti sebuah batu kecubung asli Kalimantan yang

amat berharga. Tapi aku tak bisa dibohongi. Batu itu tak lebih dari

sintetis hasil masakan plastik yang dipadatkan dengan kristal pada

suhu yang sangat tinggi. Pemakainya adalah seorang penipu. Yang

ditipunya tak lain dirinya sendiri.

Yang terakhir, di jari tengahnya, tampak pemimpin dari seluruh

cincin yang mengintimidasi dan pernyataan kecenderungan licik

pemiliknya. Di situ menyeringai angker sebuah mata cincin besar

tengkorak manusia dengan mata berlubang. Cincin ini dibuat dari

bahan mur baja putih yang didapat secara kongkalikong dengan

orang bengkel alat berat PN Timah. Cara mengubah baja ini

menjadi cincin membuat siapa pun bergidik. Setelah dibentuk secara

kasar dengan mesin bubut kemudian mur besar baja putih mentah

yang sangat keras itu dikikir secara manual selama bermingguminggu.

Kebiasaan membuat cincin seperti ini sering dipraktikkan oleh

karyawan PN Timah dalam tingkatan kuli. Kerja keras rahasia

berminggu-minggu itu hanya akan menghasilkan sebuah cincin

putih berkilauan yang jelek sekali. Sebuah kebiasaan yang tak

masuk akalku sampai sekarang.

Lalu kuku-kuku pemilik tangan ini, aduh! Minta ampun,

bentuknya seperti paras kuku- kuku yang terkena kutukan. Berbeda

seperti langit dan bumi dibanding kuku-kuku A Ling yang bertahuntahun menyihir pandanganku. Kuku-kuku ini sangat tebal, kotor,

panjang tak beraturan, dan ujungnya pecah-pecah. Secara umum

kuku-kuku ini mirip sekali dengan sisik buaya.

Belum hilang rasa terkejutku, aku mendengar suara ketukan

keras kuku-kuku besi itu di permukaan papan dekat kotak kapur

tanda tak sabar, maksudnya biar aku segera mengambil kapur itu.

Dari dalam terdengar suara gerutuan tak bersahabat. Karena kukukuku itu sangat kasar maka ketukan itu terdengar demikian keras,

membuatku semakin gelisah. Tapi yang paling merisaukanku adalah

karena aku tak menemukan A Ling. Ke manakah gerangan Michele

\"Apa yang terjadi?\" Syahdan mendekatiku. \"I-kal, tangan siapa

seperti pentungan satpam itu?\"

Aku tak menjawab, tenggorokanku tercekik. Tangan itu tak asing

bagiku. Itu adalah tangan Bang Sad. Aku ingat ketika ia mengukir

kepala ular pinang barik pada akar bahar pemberian pria-pria

berkerudung tempo hari. Pernah diceritakannya padaku bahwa

dibutuhkan waktu tiga minggu untuk membentuk akar panjang dari

dasar laut itu menjadi gelang >tiga lingkar. Akaryang tadinya lurus

kencang ditaklukkan dengan cara melumurinya dengan minyak rem

dan mengasapinya dengan sabar di atas suhu tungku yang

terkendali. Ketukan-ketukan itu terus menerorku. Bang Sad sungguh

tak punya perasaan. Ia tak tahu aku sedang panik, gugup, dan risau

karena tak menjumpai A Ling seperti kebiasaan yang telah

berlangsung selama tujuh tahun. Baru kali ini terjadi hal di luar

kebiasaan itu. Situasi ini sangat membingungkan buatku. Otakku tak

Hanya Syahdan yang kiranya segera dapat mencerna keadaan,

mengurai kebuntuan, memecah kebekuan. Ia berinisiatif mengambil

kotak kapur itu. Bang Sad menarik tangannya seperti seekor

binatang melata yang masuk kem-bali ke dalam sarangnya.

Syahdan mendekatiku yang ber-diri terpaku, wajahnya sendu. Ia

ingin menunjukkan simpati tapi aku juga tahu bahwa ia sendiri

memerhatikan menghampiriku dengan tenang. Berdiri persis di

sampingku ia menarik napas pan-jang dan mengatur dengan hatihati apa yang ingin diucap-kannya.

\"A Ling sudah pigi Jakarta .... Nanti dia terbang naik pesawat

pukul 9. Ia harus menemani bibinya yang sekarang hidup sendiri, ia

juga bisa mendapat sekolah yang bagus di sana ....\"

Aku tertegun putus asa. Rasanya tak percaya dengan apa yang

kudengar. Terjawab sudah firasatku ketika Bodenga mengunjungiku.

Semangatku terkulai lumpuh.

\"Kalau adanasib, lain hari kalian bisa bertemu lagi.\" A Miauw

menepuk-nepuk pundakku.

Aku terdiam dan menunduk seperti orang sedang

mengheningkan cipta. Tanganku mencengkeram kuat ikatan bungabunga liar dan selembar puisi.

\"Ia titip salam buatmu dan ia ingin kamu menyimpan ini ....\"

A Miauw menyerahkan sebuah kado yang dibungkus kertas

berwarna ungu bermotif kembang api, persis sama dengan kertas

sampul puisiku. Sebuah kebetulan yang hampir mustahil. Aku tahu,

sejak awal Tuhan telah mengamati baik-baik cinta yang luar biasa

Aku merasa seluruh barang dagangan yang ada di toko itu rubuh

menimpaku. Dadaku sesak. Aku melihat sekeliling dan terpikir akan

sesuatu. Aku menarik tangan Syahdan dan mengajaknya pulang.

Persis pukul 8.50 kami sampai di halaman sekolah, lalu berlari

melintasi lapangan menuju pokok pohon gayam tempat kami sering

duduk bersama-sama mengamati pesawat terbang yang datang dan

pergi meninggalkan Tanjong Pandan. Kami mengambil posisi

terbaik sambil bersandar di pokok pohon itu. Kami diam dan terus

menengadahkan kepala, memicingkan mata, ke arah langit yang

cerah biru menyilaukan.

Pukul 9.05. Perlahan-lahan muncul sebuah pesawat Foker 28

melintas pelan di atas lapangan sekolah kami. Aku tahu di dalam

pesawat itu ada A Ling dan ia juga pasti sedang sedih meninggalkan

Aku mengamati pesawat yang per-gi membawa cinta pertamaku

menembus awan-awan putih nun jauh tinggi di angkasa tak

terjangkau. Pesawat itu semakin lama semakin kecil dan

pandanganku semakin kabur, bukan karena pesawat itu semakin

jauh tapi karena air mata tergenang pelupuk mataku. Selamat

tinggal belahan jiwaku, cinta pertamaku.

Setelah pesawat itu sama sekali menghilang Syahdan

meninggalkanku sendirian. Tiba- tiba aku disergap oleh perasaan

sunyi yang tak tertahankan. Rasanya di dunia ini hanya aku satusatunya makhluk hidup. Daun-daun gayam yang rontok berbunyi

seperti bilah- bilah seng yang berjatuhan di kesunyian malam.

Pohon gayam ini adalah satu-satunya pohon di tengah lapangan

sekolahku yang sangat luas dan aku duduk sendiri di bawahnya,

kesepian. Aku baru saja ditinggalkan oleh seseorang yang telah

memenuhi hatiku sampai meluap-luap selama lima tahun terakhir

ini. Lalu dengan tiba-tiba pagi ini, ia begitu saja tercabut dari

Aku membuka kado yang dititipkan A Ling. Di dalamnya

terdapat sebuah buku berjudul Seandainya Mereka Bisa Bicara

karya Herriot dan sebuah diary yang memuat berbagai catatan

harian dan lirik-lirik lagu. Aku membalik lembar demi lembar diary

itu. Tak ada yang istimewa dan tak ada yang khusus ditujukan

untukku. Namun pada suatu halaman aku membaca judul sebuah

puisi yang rasanya aku kenal, judulnya Bunga Krisan. Pada lembarlembar berikutnya aku melihat seluruh puisi yang dulu pernah

kukirimkan kepadanya dan selalu ia kembalikan. A Ling menylin

kembali seluruh puisiku dalam diary-nya.

ANGIN selatan, angin paling jinak, biasa berembus dengan

kecepatan maksimum 10 mph. Angin lembut ini tiba-tiba mengamuk

menjadi monster puting beliung dengan kecepatan seribu kali lipat,

10.000 mph. Pohon dan mobil-mobil beterbangan seperti bulu,

aspal jalan terkelupas. Seluruh bangunan runtuh, bahkan fondasi

rumah tercabut, yang tersisa hanya lubang-lubang WC. Tepung sari

Camellia dan Buxus yang tumbuh di kebun liar peliharaan alam di

puncak Gunung Samak terhambur ke udara, menimbulkan

pemandangan menyedihkan seperti nyawa-nyawa muda yang

dicabut paksa oleh malaikat maut dari jasad yang segar bugar.

Semua itu gara-gara pembakaran minyak solar berlebihan selama

ratusan tahun dalam eksploitasi timah sehingga menimbulkan gas

rumah kaca. Gas itu tertumpuk di atas atmosfer Belitong dan segera

menimbulkan efek rumah kaca, menunggu hari untuk menjadi mara

bahaya. Lalu senyawa gas rumah kaca itu karbondioksida dan

radiasi matahari memicu reaksi kimia yang mengubah tepung sari

yang bergentayangan di udara menjadi semacam bubuk mesiu

dengan daya ledak sangat tinggi seperti TNT. Karena kuantitasnya

telah beraku mulasi demikian lama maka pada suatu tengah hari

saat orang-orang Melayu sedang mendengarkan musik pelepas lelah

di RRI, tanpa firasat apa pun, terjadilah katastropi itu. Sebuah

ledakan yang sangat dahsyat seperti ledakan nuklir menghantam

Orang-orang Belitong mengira kiamat telah datang maka tak

perlu menyelamatkan diri. Mereka terduduk pasrah di tangga-tangga

rumahnya, melongo melihat ekor ledakan yang kemudian

membentuk cendawan raksasa yang menutupi tanah kuno pulau itu

sehingga gelap gulita.

Dalam waktu singkat ajal yang sebenarnya pun pelan-pelan

menjemput, yakni ketika cendawan yang mengandung radio aktif,

merkuri, dan amoniak hanyut turun mengejar orang-orang Belitong

yang kocar-kacir mencari perlindungan. Mereka menyelinap ke

gorong-gorong, menyelam di sungai, sembunyi di dalam karung

goni, terjun ke sumur-sumur, dan tiarap di got-got.

Tapi semua usaha itu sia-sia karena gas-gas kimia tadi larut

dalam udara dan air. Sebagian orang Belitong tewas di tempat,

tertungging seperti ekstremis dibedil kompeni, dan mereka yang

selamat berubah menjadi makhluk-makhluk cebol berbau busuk.

Melihat penampilan orang Belitong seperti itu pemerintah pusat

di Jakarta merasa malu kepada dunia internasional dan tak sudi

mengakui orang Belitong sebagai warga negara republik. Karena itu

Kabupaten Belitong dipaksa rela melakukan referendum. Walaupun

hanya sedikit orang Melayu Belitong yang ingin memisahkan diri

dari NKRI tapi pemerintah menganggap keputusan manusiamanusia cebol itu sebagai aklamasi sehingga

Belitong menjadi negara yang merdeka. Bisa dipastikan bahwa

Belitong tidak mampu menghidupi dirinya sendiri. Di sisi lain, efek

rumah kaca yang demikian tinggi mengakibatkan ekologi di sana

tidak seimbang, permukaan air laut naik, dan suhu menjadi terlalu

panas. Dan saat itulah kebenaran yang hakiki datang. Bodenga

yang telah lama menghilang tiba-tiba muncul mengambil alih

pemerintahan kabupaten, ia menindas tandas orang-orang cebol

yang telah memper-lakukan ia dan ayahnya dengan tidak adil.

Orang-orang cebol itu digiring olehnya dan digelontor ke muara

Sungai Mirang agar dimangsa buaya. Orang-orang cebol itu

meregang nyawa dan dalam waktu singkat mereka tewas ter-apungapung seperti ikan kena tuba.

Itulah kira-kira isi kepala seorang pemimpi yang hampir gila

karena frustrasi putus cinta pertama.

Aku tak bisa berpikir jernih, bermimpi buruk, berhalusinasi, dan

dihantui khayalan- khayalan aneh. Jika aku melihat ke luar jendela

dan ada pelangi melingkar maka pelangi iu menjadi monokrom.

Jika aku mendengar kicauan prenjak maka ia berbunyi seperti

burung mistik pengabar kematian. Aku merasa setiap orang: para

penjaga toko, Tuan Pos, tukang parut kelapa, polisi pamong praja,

dan para kuli panggul telah berkonspirasi melawanku.

Meskipun selama lima tahun aku hanya dua kali berjumpa

dengan Michele Yeohku tapi perasaanku padanya melebihi

segalanya. A Ling adalah sosok yang dapat menimbulkan perasaan

sayang demikian kuat bagi orang-orang yang secara emosional

terhubung dengannya. Ia cantik, pintar, dan baik. Cintanya penuh

imajinasi dan kejutan-kejutan kecil yang menyenangkan, mungkin

itulah yang membuatku amat terkesan. Tapi rupanya ketika ia

melepaskan genggaman tangannya minggu lalu, saat itu pula nasib

memisahkan kami. Kini dirinya menjadi semakin berarti ketika ia

sudah tak ada dan aku merasa getir.

Kepergian A Ling meninggalkan sebuah ruangan kosong, rongga

hampa yang luas, dan duka lara di dalam hatiku. Dadaku sesak

karena rindu dan demi menyadari bahwa rindu itu tak 'kan pernah

terobati, aku rasanya ingin meledak.

Aku selalu ingin menghambur ke toko kelontong Sinar Harapan,

tapi aku tahu tindakan dramatis seperti film India itu akan percuma

saja karena di sana aku hanya akan disambut oleh botol-botol tauco

dan tumpukan terasi busuk. Aku merana, merana sekali.

Aku merasa tak percaya, amat terkejut, dan tak sanggup

menerima kenyataan bahwa sekarang aku sendiri. Sendiri di dunia

yang tak peduli. Jiwaku lumpuh karena ditinggal kekasih tercinta,

atau dalam bahasa puisi: aku mengharu biru tatkala kesepian

melayap mencekam dermaga jiwa, atau: batinku nelangsa berdarahdarah tiada daya mana kala ia sirna terbang mencampak asmara.

Dan juga, laksana film India, perpisahan itu membuatku sakit.

Seperti pertemuan pertama dalam insiden jatuhnya kapur di hari

yang bersejarah tempo hari, saat itu kebahagiaanku tak terlukiskan

kata-kata. Maka kini, saat perpisahan, kepedihanku juga tak

tergambarkan kalimat. Beberapa waktu lalu aku pernah

menertawakan Bang Jumari yang menderita diare hebat dan

menggigil di siang bolong karena cintanya diputuskan oleh Kak

Shita, kakak sepupuku. Ketika itu aku tak habis pikir bagaimana

kekonyolan seperti itu bisa terjadi. Namun, kini hal serupa aku

alami. Hukum karma pasti berlaku ! Selama dua hari aku sudah

tidak masuk sekolah. Maunya hanya tergeletak saja di tempat tidur.

Kepalaku berat, napasku cepat, dan mukaku memerah. Ibuku

memberiku Naspro dan obat cacing Askomin. Tapi aku tak sembuh.

Aku menderita panas tinggi.

Setelah Syahdan, Mahar dan pengikut setianya A Kionglah yang

datang menjengukku. Mahar memakai jas panjang sampai ke lutut

seperti seorang dokter hewan dari Eropa dan A Kiong tergopohgopoh di belakangnya menenteng sebuah tas koper laksana siswa

perawat yang sedang magang. Koper ini sangat istimewa karena di

sana sini ditempeli bekasp eneng sepeda dan berbagai lambang

pemerintahan sehingga mengesankan Mahar seperti seorang pejabat

Syahdan sedang duduk di samping tempat tidurku ketika Mahar

masuk ke kamar. A Kiong dan Mahar tak mengucapkan sepatah

kata pun, ekspresi mereka datar. Dengan gerakan isyarat Mahar

menyuruh Syahdan minggir.

Mahar berdiri persis di sampingku, memandangiku dengan

cermat dari ujung kaki sampai ujung rambut. Ia masih tetap tak

bicara. Wajahnya serius seperti seorang dokter profesional dan

seolah dalam waktu singkat telah menyelesaikan diagnosisnya. Ia

menggeleng-gelengkankan kepalanya pertanda kasus yang dihadapi

tidak sepele. Ia menarik napas prihatin dan menoleh ke arah A

Kiong. \"Pisau!\" pekiknya singkat.

A Kiong cepat-cepat memutar nomor kombinasi koper lalu

mengeluarkan sebilah pisau dapur karatan. Aku dan Syahdan

memerhatikan dengan khawatir. Pisau itu diberikan dengan takzim

pada Mahar yang menerimanya seperti seorang ahli bedah.

\"Kunir !\" perintah Mahar lagi, tegas dan keras.

A Kiong kembali merogoh sesuatu dari dalam koper dan segera

menyerahkan kunir seukuran ibu jari. Tanpa banyak cingcong

Mahar memotong kunir dan dengan gerakan sangat cepat tak

sempat kuhindari ia menggerus kunir itu di keningku, melukis tanda

silang yang besar. Maka terpampanglah di keningku huruf X

berwarna kuning. Lalu, seperti telah sama-sama paham prosedur

berikutnya, tanpa dikomando, A Kiong mengambil dahan-dahan

beluntas dari dalam koper, melemparkannya kepada Mahar yang

menyambutnya dengan tangkas dan langsung menamparnamparkan daun-daun itu ke sekujur tubuhku tanpa ampun sambil

Bukan hanya itu, sementara Mahar mengibas-ngibaskan daundaun beluntas dengan beringas, A Kiong serta-merta menyemburnyemburkan air ke seluruh tubuhku termasuk wajah melalui alat

penyemprot bunga, sehingga yang terjadi adalah sebuah kekacauan.

Aku jadi berantakan dan basah seperti kucing kehujanan, namun

aku tak berkutik karena mereka sangat kompak, cepat, terencana,

dan sistematis. Tak lama kemudian mereka berhenti. Mahar menarik

napas lega dan A Kiong dengan wajah bloonnya ikut-ikutan

bernapas lega sok tahu. Sebuah sikap gabungan antara kebodohan

dan fanatisme. Aku dan Syahdan hanya melongo, terpana, pasrah

\"Tiga anak jin tersinggung karena kau kencing sembarangan di

kerajaan mereka dekat sumur sekolah ...,\" Mahar menjelaskan

dengan gaya seolah-olah kalau dia tidak segera datang nyawaku tak

tertolong. Tak ada rasa bersalah dan niat menipu tecermin dari

wajahnya. Mahar dan A Kiong tampil penuh kordinasi dengan

ketenangan mutlak tanpa dosa. Mereka tak sedikit pun ragu atas

keyakinanya pada metode penyembuhan dukun yang konyol tak

\"Merekalah yang membuatmu demam panas,\" sambungnya lagi

sambil memasukkan alat-alat kedokterannya tadi ke dalam koper,

lalu dengan elegan menyerahkan koper itu pada A Kiong. A Kiong

menyambut tas itu seperti anggota Paskibraka menerima bendera

\"Tapi jangan cemas, Kawan, barusan mereka sudah ku-usir,

besok sudah bisa masuk sekolah!\"

Lalu tanpa basa-basi, tanpa pamit, mereka berdua langsung

pulang. Hanya itu saja kata- katanya. Bahkan A Kiong tak

mengucapkan sepatah kata pun. Aku terengah-engah. Syahdan

menutup wajahnya dengan tangannya.

Mahar memang sudah edan. Ia semakin tak peduli dengan bukubuku dan pelajaran sekolah. Nilai-nilai ulangannya merosot tajam,

bisa-bisa ia tidak lulus ujian nanti.

Sebenarnya ia murid yang pandai, belum lagi menghitung bakat

seninya, tapi nafsu ingin tahu yang terkekang terhadap dunia gaib

membuatnya lebih senang memperdalam hal-hal yang subtil.

Belakangan ini keanehannya semakin menjadi-jadi, dan semua itu

gara-gara anak Gedong yang tomboi itu Flo atau mungkin gara-gara

seorang dukun siluman bernama Tuk Bayan Tula.

Sebulan yang lalu seluruh kampung heboh karena Flo hilang.

Anak bengal penduduk Gedong itu memisahkan diri rombongan

teman-teman sekelasnya ketika hiking di Gunung Selumar. Polisi,

tim SAR, anjing pelacak, anjing kampung, kelompok pencinta alam,

para pendaki profesional dan amatir, para petualang, para

penduduk yang berpengalaman di hutan, para pengangguran yang

bosan tak melakukan apa-apa, dan ratusan orang kampung tumpah

ruah mencarinya di tengah hutan lebat ribuan hektare yang

melingkupi lereng gunung itu. Kami sekelas termasuk di dalamnya.

Sampai senja turun Flo masih belum ditemukan. Bapak, Ibu, dan

saudara-saudaranya berulang kali pingsan. Guru-guru dan teman-

teman sekelasnya menangis cemas. Segenap daya upaya

dikerahkan tapi belum ada tanda-tanda di mana ia berada. Susah

memang, hutan di gunung ini sangat lebat, sebagian belum

terjamah, dan hutan itu ber-ujung di lembah-lembah liar yang dialiri

anak-anak sungai berbahaya.

Salak anjing, teriakan orang memanggil-manggil, dan suara

belasan megafone bertalu- talu di lereng gunung. Para dukun tak

mampu memberi petunjuk apa pun, ada saja alasannya, tapi

umumnya adalah bahwa para jin penunggu Gunung Selumar lebih

sakti, sebuah alasan klasik.

Dari lengkingan megafone itu kami tahu nama anak perempuan

yang sedang hilang: Flo Menjelang sore sebuah lampu sorot besar

yang biasa dipakai di kapal keruk dibawa ke lereng gunung untuk

memudahkan tim penyelamat. Orang-orang dari kampung tetangga

turut bergabung. Sekarang jumlah pencari mencapai ribuan. Hari

beranjak gelap dan keadaan semakin meng-khawatirkan. Kabut

tebal yang menyelimuti gunung sangat menyulitkan usaha

pencarian. Wajah setiap orang mulai kelihatan cemas dan putus asa.

Tahun lalu dua orang anak laki-laki juga tersesat,setelah tiga hari

mereka ditemukan berpelukan di bawah sebatang pohon Medang,

meninggal dunia karena kelaparan dan hipotermia. Sinar merah

lampu sirine mobil ambulans yang berputar-putar menjilati sisi

pohon-pohon besar, menciptakan suasana mencekam, seperti ada

Sudah delapan jam berlalu tapi Flo masih tak diketahui

keberadaanya di tengah hutan rimba gunung ini. Orang tua Flo dan

para pencari mulai panik. Malam pun turun.

Kami merasa kasihan pada Flo. Kini ia seorang diri dalam gelap

gulita rimba. Ia bisa saja terjatuh, mengalami patah kaki atau

pingsan. Atau mungkin saat ini ia sedang terisak- isak, ketakutan,

lapar dan kedinginan di bawah sebatang pohon besar, dan suaranya

telah parau memanggil-manggil minta tolong. Anak perempuan

yang seperti anak laki-laki itu tentu tadi pagi tak menyadari

konsekuensi keisengannya. Mungkin awalnya ia hanya ingin

menggoda teman-temannya. Tapi sekarang, keadaan bisa fatal.

Kontur gunung ini sangat unik. Jika berada di dalam hutannya

banyak sekali komposisi pohon dan permukaan tanah yang tampak

sama. Maka jika melewati jalur itu seolah seseorang merasa berada

di tempat yang telah ia kenal, padahal tanpa disadari langkahnya

semakin menjauh tersasar ke dalam rimba. Jika Flo mengalami ini ia

akan tersasar jauh ke selatan menuju aliran anak-anak Sungai

Lenggang yang sangat deras berjeram-jeram menuju ke muara. Tak

sedikit orang yang telah menjadi korban di sana. Pada beberapa

bagian di wilayah selatan ini juga terhampar dataran tanah luas

yang mengandung jebakan mematikan, yaitu kiumi, semacam pasir

hidup yang kelihatan solid tapi jika diinjak langsung menelan tubuh.

Namun, ia akan sial sekali jika tersasar ke utara. Di sana jauh

lebih berbahaya. Ia memasuki semacam pintu mati. Ia tak 'kan bisa

kembali, sebuah point of no return, karena lereng gunung di bagian

itu terhalang oleh ujung aliran sungai jahat yang disebut Sungai

Buta. Sungai Buta adalah anak Sungai Lenggang tapi alirannya

putus hanya sampai di lereng utara Gunung Selumar. Sungai itu

seperti sebuah gang sempit yang buntu atau seperti jalan yang

berakhir di jurang. Orang kampung menamainya Sungai Buta

sebagai representasi keangkerannya. Buta lebih berarti gelap, tak

ada petunjuk, terperangkap tanpa jalan keluar, dan mati.

Sungai Buta demikian ditakuti karena permukaannya sangat

tenang seperti danau, seperti kaca yang diam. Tapi tersembunyi di

bawah air yang tenang itu adalah maut yang sesungguhnya, yaitu

buaya-buaya besar dan ular-ular dasar air yang aneh-aneh. Buaya

sungai ini berperangai lain dan amat agresif, mereka mengincar

kera-kera yang bergelantungan di dahan rendah, bahkan

menyambar orang di atas perahu. Pohon-pohon tua ru1 yang tinggi

tumbuh dengan akar tertanam di dasar sungai ini, sebagian telah

mati menghitam, membentuk pemandangan yang sangat

menyeramkan seperti sosok-sosok hantu raksasa yang merenungi

per mukaan sungai dan menunggu mangsa melintas.

Sungai Buta berbentuk melingkar, mengurung sisi utara Gunung

Selumar. Jika Flo tersesat ke sini ia tak mung-kin dapat kembali

mundur karena tenaganya pasti tak akan cukup untuk kembali

mendaki punggung granit yang curam.Jika ia memaksa, sangat

mungkin ia akan terpeleset jatuh dan terhempas di atas batu-batu

karang. Pilihan satu- satunya hanya berenang melintasi Sungai Buta

yang horor dengan kelebaran hampir seratus meter. Untuk

menyeberangi sungai itu ia terlebih dahulu harus menyibaknyibakkan hamparan bakung setinggi dada dan hampir dapat

dipastikan pada langkah- langkah pertama di area bakung itu

riwayatnya akan tamat. Di sanalah habitat terbesar buaya-buaya

Di tengah kepanikan tersiar kabar bahwa ada seorang sakti

mandraguna yang mampu menerawang, tapi beliau tinggal jauh di

sebuah Pulau Lanun yang terpencil. Ialah seorang dukun yang telah

menjadi legenda, Tuk Bayan Tula, demikian namanya. Tokoh ini

dianggap raja ilmu gaib dan orang paling sakti di atas yang tersakti,

biang semua keganjilan, muara semua ilmu aneh.

Banyak orang beranggapan Tuk Bayan Tula tak lebih dari

sekadar dongeng, bahwa ia sebenarnya tak pernah ada, dan tak

lebih dari mitos untuk menakuti anak kecil agar cepat-cepat tidur.

Tapi banyak juga yang berani bersaksi bahwa ia benar-benar ada.

Bahkan diyakini beliau dulu pernah tinggal di kampung dan

sempat menjadi penjaga hutan larangan suruhan Belanda, pernah

menjadi carik, dan pernah menjadi nakhoda kapal yang berulang

kali memimpin armada melanglang Selat Malaka. Menjadi

Konon beliau memang memiliki bakat khusus di bidang ilmu

antah berantah, karena dalam usia muda beliau sudah menguasai

budi suci. Ilmu ini sangat potensial membuat penganutnya senang

memanjat tiang bendera di tengah malam sebab menderita sakit

saraf. Jika tak kuat menahankan ilmu gaib budi suci, dalam waktu

singkat seseorang bisa menjadi gila.

tanpa menyentuhnya. Tuk sudah khatam budi suci sejak usia belasan.

Dalam usia itu beliau juga sudah bisa mempraktikkan ilmu

sekuntak, maka beliau mampu memadamkan bohlam hanya

dengan memandangnya sepintas. Namun, seiring tinggi ilmunya ia

Tapi jika sukses, pemegangnya bisa membunuh orang bahkan

semakin menjauhkan diri dari masyarakat dan telah berpantang kata

untuk menjaga kesaktiannya. Maka Tuk Bayan Tula tak 'kan pernah

Kini Tuk menyepi di pulautak berpenghuni. Nama Tuk Bayan

Tula sendiri adalah nama yang menciutkan nyali. Tuk adalah nama

julukan lama, dari kata datuk untuk menyebut orang sakti di

Belitong. Bayan juga panggilan bagi orang berilmu hebat yang

selalu memakai nama binatang, dalam hal ini burung bayan. Tula,

bahasa Belitong asli, artinya kualat, mungkin jika kurang ajar

dengan beliau orang bisa langsung kualat. Sedangkan nama Pulau

Lanun tempat tinggal Tuk sekarang juga tak kalah angker. Lanun

berarti perompak. Pulau itu tak berani didekati para nelayan karena

di sanalah para perompak yang kejam sering merapat. Namun,

kabarnya para perompak itu kabur tunggang langgang ketika Tuk

Bayan Tula menguasai pulau itu. Banyak yang mengatakan para

perompak itu dipenggal Tuk dengan sadis. Kini Tuk tinggal sendirian

Berbagai cerita yang mendirikan bulu kuduk selalu dikait-kaitkan

dengan tokoh siluman ini. Ada yang mengatakan beliau sengaja

mengasingkan diri di pulau kecil sebelah barat sebagai tameng yang

melindungi Pulau Belitong dari amukan badai. Ada yang percaya ia

bisa melayang-layang ringan seperti kabut dan bersembunyi di balik

sehelai ilalang. Dan yang paling menyeramkan adalah bahwa

dikatakan Tuk telah menjadi manusia separuh peri.

Anehnya, di balik keangkeran cerita yang berbau mistis itu semua

orang menganggap Tuk Bayan Tula adalah wakil dari alam bawah

tanah dunia putih. Di beberapa wilayah di Belitong beliau dianggap

sebagai pahlawan yang telah membasmi para dukun hitam

nekromansi yang mengambil keuntungan melalui komunikasi

dengan orang-orang yang telah mati. Beliau dianggapahli

menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh praktik klenik jahat

untuk mencelakakan orang. Maka Tuk tak ubahnya Robin Hood,

pahlawan yang mencuri untuk menolong kaum papa, atau orang

yang berbuat baik dengan cara yang salah. Ada pula sebagian orang

Belitong yang menganggap beliau bukan dukun, tapi sekadar

seorang eksentrik yang dianu-gerahi indra keenam.

Apakah Tuk Bayan Tula seseorang yang mengkhianati ajaran

tauhid? Mungkinkah ia sekadar seorang pahlawan pemusnah santet

yang ingin mati sebagai martir? Ataukah ia hanya seorang tua yang

memutuskan hidup sendiri ka-rena bermasalah dengan perangkat

syahwat? Tak ada yang tahu pasti. Kisah kesaktian, gaya hidup,

biografi, dan paradoks kepahlawanan Tuk ketika dikonfrontasikan

dengan keyakinan orang awam akan menjadi sebuah misteri. Misteri

ini mengandung daya tarik dunia bawah tanah, metafisika,

paranormal, fenomena-fenomena janggal, dan ilmu pengetahuan

yang membakar rasa ingin tahu sebagian orang. Sebagian dari

orang itu adalah Mahar.

Dalam kasus Flo, keadaan paniklah yang menyebabkan orangorang sudah tidak lagi mengandalkan akal sehat sehingga berunding

untuk minta bantuan Tuk Bayan Tula. Kekalutan memuncak karena

saat itu sudah tengah malam dan Flo tak juga diketahui nasibnya.

Maka diutuslah beberapa orang untuk menemui Tuk Bayan Tula.

Utusan ini bukan sembarangan, paling tidak terdiri atas orangorang yang telah cukup berpengalaman dalam urusan mistik

sehingga cukup teguh hatinya jika digertak Tuk. Mereka adalah

seorang pawang hujan, seorang dukun angin, kepala suku Sawang,

dan seorang polisi senior. Utusan ini berangkat menggunakan sp

eedboat milik PN Timah yang berkecepatan sangat tinggi. Kami

waswas menunggu mereka kembali, terutama cemas kalau-kalau

keempat orang utusan itu disembelih oleh sang manusia siluman

Ketika matahari pagi mulai merekah, utusan tadi kembali. Kami

senang menyambut mereka dengan mengharapkan keajaiban yang

tak masuk akal, tapi itu lebih baik dari pada patah harapan sama

sekali. Namun utusan ini tak membawa kabar apa-apa kecuali

sepucuk kertas dari Tuk Bayan Tula. Puluhan orang mengerumuni

cerita mereka yang mencengangkan. Mahar duduk paling depan.

\"Ketika perahu merapat, anjing-anjing hutan melolong-lolong

seolah melihat iblis beterbangan,\" kata ketua utusan, seorang

pawang hujan. Ia termasuk orang berilmu dan dunia bawah tanah

bukan hal baru baginya, tapi terlihat jelas ia takut dan merasa Tuk

tidak ada di liganya. Sama sekali bukan tandingannya.

\"Tuk Bayan Tula tinggal di sebuah gua yang gelap, di jantung

Pulau Lanun. Pulau itu berbelok menyimpang dari jalur nelayan,

jadi tak seorang pun akan ke sana. Perahu- perahu perompak yang

telah beliau bakar berserakan di tepi pantai. Tak ada siapa-siapa di

pulau itu kecuali beliau sendiri dan tak terlihat ada tanaman kebun

atau sumur air tawar, tak tahulah Datuk itu makan minum apa.\"

Kemudian para anggota utusan yang lain sambungmenyambung, \"Melihat wajahnya dada rasanya berdetak, sungguh

seseorang yang tampak sangat sakti dan berilmu ting-gi. Ketika

beliau keluar ke mulut gua seakan seluruh alam menunduk. Di sana

kami merasakan udara yang pe-nuh daya magis.\"

Cerita ini dikonfirmasikan oleh hampir seluruh anggota utusan,

bahwa ketika Tuk Bayan Tula berdiri kira-kira lima meter di depan

mereka, mereka melihat kaki-kaki datuk itu tak menyentuh bumi. Ia

seperti kabut yang melayang.

\"Tubuhnya tinggi besar, rambut, kumis, dan jenggot-nya lebat

dan panjang, matanya berkilat-kilat seperti burung bayan.

Pakaiannya hanya selembar kain panjang yang dililit- lilitkan. Ia

bertelanjang dada, dan sebilah parang yang sangat panjang terselip

di pinggangnya. Aku ketakutan melihatnya.\"

Kami mendengarkan dengan saksama, terutama Mahar yang

tampak terpesona bukan main. Mulutnya ternganga dan raut

wajahnya memperlihatkan kekaguman yang amat sangat pada Tuk

Bayan Tula. Ia tampak begitu terpengaruh dan siap mengabdi pada

superstar dunia gaib itu. Inilah fanatisme buta. Dalam imajinasinya

mungkin Tuk Bayan Tula sedang duduk di atas singgasana yang

dibuat dari tulang belulang musuh-musuhnya.

Lalu beberapa ekor dedemit yang telah ditaklukkannya patuh

melayaninya dengan limpahan anggur-anggur putih. Ketika itu tak

sedikit pun terlintas dalam pikirannya kalau nanti Tuk Bayan Tula

akan memutar jalan hidupnya dan jalan hidup perempuan kecil

yang sedang tersesat di rimba ini dengan sebuah kisah antiklimaks.

\"Di depan mulut gua kami melihat empat lembar pelepah pinang

raja tempat duduk telah tergelar, seolah beliau telah tahu jauh

sebelumnya kalau kami akan datang. Beliau menemui kami, sedikit

pun tidak tersenyum, sepatah pun tidak berkata.\" Sang ketua utusan

mengusap wajahnya yang masih kelihatan terkesiap karena

pertemuan langsungnya dengan tokoh sakti mandraguna Tuk Bayan

Tula. Meskipun sudah beberapa jam yang lalu ia masih belum bisa

menghilangkan perasaan terkejutnya.

\"Kami menceritakan maksud kedatangan kami. Beliau

mendengarkan dengan memalingkan muka. Belum selesai kami

berkisah beliau langsung memberi isyarat meminta sepucuk kertas

dan pena, lalu beliau menuliskan sesuatu. Juga diisyaratkan agar

kami segera pulang dan hanya membuka tulisan beliau setelah tiba

di sini. Di kertas inilah beliau menulis.\"

Ketua utusan memperlihatkan gulungan kertas, semua orang

merubungnya. Mahar melihat gulungan itu dengan tatapan seperti

melihat benda ajaib peninggalan makhluk angkasa luar. Dengan

gemetar sang ketua utusan membuka gulungan kertas itu dan di

INILAH PESAN TUK BAYAN TULA:

“JIKA INGIN MENEMUKAN ANAK PEREMPUAN ITU MAKA

CARILAH DIA DI DEKAT GUBUK LADANG YANG

DITINGGALKAN. TEMUKAN SEGERA, ATAU DIA AKAN

TENGGELAM DI BAWAH AKAR BAKAU..”

Sebuah pesan yang mendirikan bulu tengkuk, lugas, dan

mengancam atau lebih tepatnya menakut-nakuti. Tapi harus diakui

bahwa pesan ini mengandung sebuah tenaga. Pilihan

katanya teliti dan menunjukkan sebuah kualitas ke-paranormalan

tingkat tinggi. Jika Tuk Bayan Tula seorang penipu maka ia pasti

penipu ulung, tapi jika ia memang dukun maka ia pasti bukan

dukun palsu yang oportunistik. Bagaimanapun pesan ini

mengandung pertaruhan reputasi yang pasti. Tidak ada kata

tersembunyi, tak ada kata bersayap. Intinya jelas:jika Flo tidak

ditemukan di dekat gubuk ladang yang telah ditinggalkan

pemiliknya atau jika ia tidak ditemukan tewas hari ini di sela-sela

akar bakau, maka sang legenda Tuk Bayan Tula tak lebih dari

seorang tukang dadu cangkir di pinggir jalan. Semua makhluk yang

senang memain-mainkan dadu adalah kaum penipu. Kalau itu

sampai terjadi rasanya aku ingin berangkat sendiri ke Pulau Lanun

untuk menyita satu- satunya kain yang melilit tubuh Tuk. Tapi selain

semua kemungkinan itu pesan tadi juga harus diakui telah memberi

harapan dan batas waktu, apa yang akan terjadi jika semuanya

Kebiasaan berladang berpindah-pindah masih berlangsung

hingga saat ini. Namun potensi kesulitan sangat mungkin muncul.

Tak mudah menentukan yang mana yang merupakan gubuk

ladang. Gubuk telantar banyak terdapat di lereng gunung, yaitu

gubuk rahasia para pencuri timah. Para pendulang liar menggali

timah nun jauh di lereng gunung secara ilegal dan menjualnya pada

para penyelundup yang menyamar sebagai nelayan di perairan

Bangka Belitong. Pencuri dan penyelundup timah adalah profesi

yang sangat tua. Aktivitas kriminal ini kriminal dari kaca mata PN

Timah tentu saja telah ada sejak orang-orang Kek datang dari

daratan Tiongkok untuk menggali timah secara resmi di Belitong

dalam rangka mengerjakan konsesi dari kompeni, hari-hari itu

PN Timah memperlakukan pelaku eksploitasi timah ilegal dan

penyelundup dengan sangat keras, tanpa perikemanusiaan.

Pelakunya diperlakukan seolah pelaku tindak

pidana subversif. Di gunung-gunung yang sepi tempat para

pendulang timah dianggap pencuri dan di laut tempat penyelundup

dianggap perompak, hukum seolah tak berlaku. Jika tertangkap tak

jarang kepala mereka diledakkan di tempat dengan AKA 47 oleh

manusia-manusia tengik bernama Polsus Timah.

Tim kami berangkat sejak pagi benar di bawah pimpinan Mahar.

Kami bergerak ke utara, ke arah jalur maut Sungai Buta. Belasan

ladang terutama yang dekat sungai telah kami kunjungi dan

gubuknya telah kami obrak-abrik, kami juga mencari-cari di sela-sela

akar bakau, tapi hasilnya nihil. Flo raib seperti ditelan bumi. Suara

kami sampai parau memanggil-manggil namanya dan satu-satunya

megafone yang dibekali posko telah habis baterainya.

Dan pagi pun tiba, pencarian berlangsung terus. Dari walky talky

kami pantau bahwa Flo masih tetap misteri. Sekarang baterai walky

talky mulai lemah dan hanya dapat memonitor saja. Tidak hanya

batu-batu baterai itu, sema-ngat kami pun melemah. Kami mulai

dihinggapi perasaan putus asa.

Dari setiap gubuk yang kami kunjungi dan tidak ditemukan Flo di

dalamnya maka satu kredit minus mengurangi reputasi Tuk.

Sesudah hampir dua puluh gubuk yang nihil, saat itu menjelang

tangah hari, reputasi beliau pun makin pudar kalau bukan disebut

hancur. Kami mulai meragukan kesaktian dukun siluman itu. Mahar

tampak agak tersinggung setiap kali kami mengeluh jika

menemukan gubuk yang kosong, apa lagi ada celetukan yang

melecehkan Tuk Bayan Tula.

\"Kalau dia bisa berubah menjadi burung bayan, tak perlu susahsusah kita mencari-cari seperti ini,\" desah Kucai sambil terengahengah.

Berbagai pikiran buruk menghantui kepala yang penat dan tubuh

Ke manakah engkau gadis kecil? Mungkinkah anak gedongan itu

Parameter pencarian demikian luas. Flo bisa saja tidak menuruni

lereng menuju ke lembah melainkan naik terus ke puncak, atau

berjalan berputar-putar mengelilingi lereng,

tersesat dalam fatamorgana sampai habis tenaganya. Mungkin

juga ia telah tembus di sisi barat daya dan memasuki perkampungan

Tionghoa kebun di sana. Atau ia sedang dililit ular untuk dibusukkan

dan ditelan besok malam.

Mungkinkah ia telah berenang melintasi Sungai Buta? Bukankah

ia anak tomboi yang terkenal nekat tak kenal takut? Selamat atau

sudah tamatkah riwayatnya? Perbekal-an air dan makanan kami

yang seadanya telah habis. Harun, Trapani, dan Samson sudah

ingin menyerah dan menyarankan kami kembali ke posko, tapi

Mahar tak setuju, ia yakin sekali pada kebenaran pesan Tuk Bayan

Tula. Sebaliknya, bagi kami hanya bayangan penderitaan Flo yang

masih menguatkan hati untuk terus mencari. Jika ingat betapa ia

ketakutan, kelaparan, dan kedinginan, kelelahan kami rasanya

Menjelang pukul 10 pagi, berarti telah 27 jam Flo lenyap. Kami

sudah tak memedulikan pesan Tuk. Bagi kami kecuali Mahar datuk

itu tak lebih dari semua dukun-dukun lainnya, palsu dan

oportunistik. Kami memperlebar parameter pencarian sampai agak

naik ke atas ladang. Di setiap gubuk kami menemukan

pemandangan yang sama, yaitu babi-babi hutan yang kawin

berpesta pora atau tikus-tikus pengerat bercengkrama di antara

dengungan kumbang yang bersarang di tiang-tiang gubuk yang

Pukul 11, siang sudah, kami tiba di sebuah batu cadas besar

yang menjorok. Kami berkumpul di sana untuk mengistirahatkan

sisa-sisa tenaga terakhir. Inilah ujung akhir lereng utara karena

setelah ini, nun setengah kilometer di bawah kami adalah wilayah

bahaya maut Sungai Buta. Kami tak 'kan turun ke wilayah yang

dihindari setiap orang itu, bahkan penjelajah profesional tak berani

ke sana. Kami sudah putus asa dan setelah beristirahat ini kami akan

segera kembali ke posko. Kami telah gagal, Flo tetap nihil, dan

paling tidak di lereng utara Tuk Bayan Tula telah berdusta. Dari

walky talky kami memonitor bahwa di barat, timur, dan selatan Flo

juga tak ditemukan, berati Tuk Bayan Tula telah berdusta di empat

Kami diam terpaku menerima berita itu. Wajah Mahar sembap

seperti ingin menangis. Ia seumpama kekasih yang dikhianati orang

tersayang. Tuk telah melukai hatinya meskipun ia sedikit pun tak

kenal tokoh pujaannya itu. Ini risiko keyakinan yang rabun. Dan aku

sedih, bukan karena membayangkan kehancuran integritas Tuk atau

perasaan Mahar yang kecewa, tapi karena memikirkan nasib buruk

yang menimpa Flo. Bisa saja ia tak 'kan pernah ditemukan, hilang,

raib. Bisa juga ia ditemukan tapi cuma tinggal berupa kerangka yang

dipatuki burung gagak. Ia juga mungkin ditemukan dalam keadaan

menyedihkan telah tercabik-cabik hewan buas. Dan yang paling tak

tertahankan adalah jika ia mati sia-sia secara memilukan karena

pertolongan terlambat beberapa jam saja. Sulit untuk bertahan

hidup dalam suhu sedingin malam tadi tanpa makanan sama sekali.

Dan saat-saat sekarang ini sudah memasuki keadaan yang mulai

terlambat itu. Mengapa anak cantik kaya raya yang hidup di rumah

seperti istana, dari keluarga terhormat,tanpa trauma masa kecil, dan

yang memiliki limpahan kasih sayang semua orang, serta lingkungan

seperti taman eden, ha-rus berakhir di tempat ganas ini? Aku tak

sanggup mem-bayangkan lebih jauh perasaan orangtuanya.

Aku terbaring kelelahan memandangi keseluruhan Gunung

Selumar yang biru, agung, dan samar-samar. Aku per-nah menulis

puisi cinta di puncaknya dan gunung ini pernah memberiku inspirasi

keindahan yang lembut. Bahkan di sabana di atas sana tumbuh

bunga-bunga liar kuning kecil yang dapat membuat siapa pun jatuh

cinta, bukan hanya kepada bunganya, tapi juga kepada orang yang

Namun kelembutan gunung ini, seperti kelembutan unsur-unsur

alam lainnya, air, angin, api, dan bumi, ternyata menyembunyikan

kekejaman tak kenal ampun. Betapa teganya, toh bagaimanapun

nakalnya, Flo hanyalah seorang gadis kecil, permata hati

keluarganya. Kucai menepuk-nepuk bahu Mahar dan

menghiburnya. Mahar memalingkan muka. Ia menunduk diam.

Matanya jauh menyapu pandangan ke Sungai Buta dan rawa-rawa

bakung di bawah sana. Kami bangkit, membereskan perlengkapan,

dan mempersiapkan diri untuk pulang. Sebelum kami melangkah

pergi Syahdan yang mengalungkan teropong kecil di lehernya

mencoba-coba benda plastik mainan itu. Ia meneropong tepian

Sungai Buta. Saat kami ingin menuruni batu cadas itu tiba-tiba

Syahdan berteriak, sebuah teriakan nasib.

\"Lihatlah itu, ada pohon kuini di pinggir Sungai Buta.\"

Kami membalikkan badan terkejut dan Mahar serta-merta

merampas teropong Syahdan. Ia berlari ke bibir cadas dan

meneropong ke bawah dengan saksama, \"Dan ada gubuk!\" katanya

\"Kita harus turun ke sana!\" katanya lagi tanpa berpikir panjang.

Kami semua terperanjat dengan usul sinting itu. Kucai yang dari

tadi membisu menganggap kekonyolan Mahar telahmelampaui

batas. Sebagai ketua kelas ia merasa bertanggung jawab.

\"Apa kau sudah gila!\" Ia menyalak dengan galak. Sorot matanya

tajam, merah, dan marah, walaupun yang ditatapnya adalah Harun

yang berdiri melongo di samping Mahar.

\"Mari aku jelaskan ke kepalamu yang dikaburkan asap kemenyan

sehingga tak bisa berpikir waras. Pertama-tama di bawah sana tak

mungkin sebuah ladang. Tak ada orang sinting yang mau berladang

di pinggir Sungai Buta kecuali ia ingin mati konyol. Tak tahukah kau

cerita pengalaman orang lain, di situ buaya tidak menunggu tapi

mengejar. Dan ular-ular sebesar pohon kelapa melingkar-lingkar di

sembarang tempat. Kalaupun itu memang gubuk, itu gubuk pencuri

timah. Berdasarkan pesan datuk setengah iblis anak gedongan itu

hanya ada di gubuk ladang yang ditinggalkan!\"

Mahar menatap Kucai dengan dingin, Kucai semakin geram.

\"Kalau kita turun ke sana, aku pastikan kita bisa menjadi Flo-Flo

baru yang malah akan dicari orang, menambah persoalan,

merepotkan semuanya nanti. Tempat itu sangat berbahaya, Har,

pakai otakmu ! Ayo pulang!!\"

Mahar tetap sedingin es, ekspresinya datar. \"Lagi pula mana

mungkin anak perempuan kecil itu dapat mencapai tempat ini. Batu

ini adalah dinding utara terakhir. Kita telah mendatangi puluhan

gubuk ladang yang ditinggalkan, hasilnya nol, mendatangi satu

gubuk pencuri timah hasilnya akan tetap sama, ayolah pulang,

Kawan, terimalah kenyataan bahwa Tuk telah menipu kita, ayolah

pulang, Kawan ..,,\" Kucai merendahkan suaranya, mungkin ia sadar

membujuk orang setengah gila tidak bisa dengan marah- marah.

Tapi Mahar tetap membatu, ia seperti menhir, masih belum bisa

diyakinkan. Ia tak 'kan menyerah semudah ini. Syahdan ikut

menasihati dengan kata-kata pesimis.

\"Sudah hampir tiga puluh jam Flo hilang, kita harus belajar

realistis, mungkin ia memang ditakdirkan menemui ajal di gunung

ini. Tuhan telah memanggilnya dan gunung ini pun mengambilnya.\"

Mahar tak bergerak. Kami beranjak meninggalkan tempat itu.

Lalu dengan dingin Mahar mengatakan ini, \"Kalian boleh pulang,

aku akan turun sendiri....\"

Maka turunlah kami semua walaupun kami tahu tak 'kan

menemukan Flo di pinggir Sungai Buta. Hal itu sangat muskil,

sangat mustahil. Semuanya menggerutu dan kami mengutuki

Syahdan yang tadi iseng-iseng meneropong dengan teropong plastik

jelek mainan anak-anak itu. Dia menyesal. Tapi semuanya telah

telanjur, sekarang kami pontang panting menuruni punggung lereng

yang curam, berkelak-kelok di antara batu- batu besar dan

menerabas kerimbunan gulma yang sering menusuk mata.

Kami menuju ke sebuah gubuk pencuri timah di wi-layah maut

pinggiran Sungai Buta hanya untuk menemani Mahar, menemani ia

memuaskan egonya, membuktikan padanya bahwa insting tidak

harus selalu benar, dan melindunginya dari ketololannya sendiri.

Walaupun kami benci pada kefanatikannya tapi ia tetap teman

kami, anggota Laskar Pelangi, kami tak ingin kehilangan dia.

Kadang-kadang persahabatan sangat menuntut dan menyebalkan.

Pelajaran moral nomor lima:jangan bersahabat dengan orang yang

Kira-kira satu jam kemudian, tepat tengah hari, kami telah berada

di lembah Sungai Buta. Wilayah ini merupakan blank spot untuk

frekuensi walky talky sehingga suara kemerosok yang sedikit

menghibur dari alat itu sekarang mati dan tempat ini segera jadi

mencekam. Untuk pertama kalinya aku ke sini dan rasa angkernya

memang tidak dibesar-besarkan orang. Kenyataannya malah terasa

lebih ngeri dari bayanganku sebelumnya. Kami memasuki wilayah

yang jelas-jelas menunjukkan permusuhan pada pendatang.

Wilayah ini seperti dikuasai oleh suatu makhluk teritorial yang buas,

asing, dan sangat jahat. Kerasak-kerasak gelap di pokok pohon

nipah yang digenangi air seperti kerajaan jin dan tempat sarang

berkembang biaknya semua jenis bangsa-bangsa hantu. Biawak

berbagai ukuran melingkar-lingkar di situ, sama sekali tak takut pada

kehadiran kami, beberepa ekor di antaranya malah bersikap ingin

Hanya sedikit orang pernah ke sini dan di antara yang sedikit itu

dan yang paling tolol adalah kami. Kami berjalan dalam langkah

senyap berhati-hati. Semuanya mengeluarkan parang dari

sarungnya dan terus-menerus menoleh ke kiri dan kanan serta

membentuk formasi untuk melindungi punggung orang terdekat.

Kami mendengar suara sesuatu ditangkupkan dengan sangat keras

dan mengerikan disertai suara kibasan air yang besar.

Kami diam tak membahas itu, kami tahu suara itu tangkupan

mulut buaya yang besarnya tak terkira. Ada juga suara bayi-bayi

buaya yang berkeciak dan pemandangan beberapa ekor ular

bergelantungan di dahan-dahan pohon. Kami terus merangsek maju

seperti sedang mengintai musuh. Pondok itu kira-kira seratus meter

di depan kami. Semakin dekat, semakin jelas dan mencengangkan

karena tempat itu agaknya memang bekas sebuah ladang yang

ditinggalkan. Kami menemukan kawat-kawat bekas pagar dan dari

kejauhan melihat pohon-pohon kuini, jambu bol, dan sawo. Siapa

orang luar biasa yang berani berladang di sini?

Jarak ladang ini dekat sekali dengan pinggiran Sungai Buta, bisa

dipastikan sangat berbahaya. Pemiliknya pasti ingin mendekati air

tanpa mempertimbangkan keselamatan.

Sebuah tindakan bodoh. Atau mungkinkah karena ketololannya

itulah maka riwayat sang pemilik telah berakhir di tepi sungai ini

sehingga ladangnya sekarang tak bertuan? Tapi ada hal lain, yaitu

siapa pun pemilik tersebut terutama jika ia masih hidup maka ia

pasti tak sanggup memelihara ladang ini karena hama perompak

tanaman juga luar biasa di sini. Kawanan kera sampai mencapai

lima kelompok, saling berebutan lahan dengan serakah. Belum lagi

tupai, lutung, babi hutan, musang, luak, dan tikus pengerat, hewanhewan ini sudah keterlaluan.

Kami berjingkat-jingkat tangkas di atas akar-akar bakau yang

cembung berselang-seling. Akar-akar ini seperti menopang

pohonnya yang rendah. Tak kami temukan Flo tersangkut di bawah

akar-akar itu, satu lagi konfirmasi penipuan Tuk Bayan Tula. Setelah

yakin Flo tak ada di bawah akar bakau, kami pelan-pelan mendekati

Semakin dekat ke lokasi ladang kami dapat melihat dengan jelas

sebuah gubuk beratap daun nipah. Lalu ada suatu pemandangan

yang agak menarik, yaitu salah satu dahan pohon jambu mawar

yang berdaun amat lebat bergoyang-goyang hebat seperti ingin

dirubuhkan. Jambu mawar itu tumbuh persis di samping gubuk.

Pastilah itu ulah lutung besar yang sepanjang waktu selalu lapar.

Kami mendekati pohon jambu mawar itu dengan waspada. Kami

menyusun semacam strategi penyergapan untuk memberi pelajaran

pada lutung rakus itu. Kami mengendap- endap seperti pasukan

katak baru keluar dari rawa untuk merebut sebuah gudang senjata.

Di ladang telantar ini tumbuh subur ilalang setinggi dada dan

pohon-pohon singkong yang sudah centang perenang dirampok

hewan-hewan liar. Buah-buah sawo yang masih muda, putik-putik

jambu bol, dan buah kuini muda juga berserakan di tanah karena

dijarah secara sembrono oleh hama hewan-hewan itu. Bahkan

buah-buahan ini tak sempat masak. Binatang-binatang tak tahu diri!

Lutung besar yang sedang berpesta pora di dahan jambu mawar

itu tak menyadari kehadiran kami. Ia semakin menjadi-jadi,

mengguncang-guncang dahan jambu itu hingga daun dan bakal

buahnya berjatuhan, kurang ajar sekali. Kami semakin dekat dan

berjinjit- jinjit tak menimbulkan suara. Kami ingin menangkapnya

basah sehingga ia semaput ketakutan, inilah hiburan kecil di tengah

ketegangan menyelamatkan nyawa manusia.

Setelah tiba saatnya kami bersama-sama menghitung hingga tiga

dan melompat serentak, menghambur ke bawah dahan itu sambil

bertepuk tangan dan berteriak sekeras-kerasnya untuk mengejutkan

sang lutung. Tapi tak sedikit pun diduga situasi berbalik seratus

delapan puluh derajat, karena sebaliknya, ketika kami menyerbu

justru kami yang terkejut setengah mati tak alang kepalang, rasanya

ingin terkencing-kencing. Kami tak percaya dengan penglihatan

kami dan terkaget-kaget hebat karena persis di atas kami, di selasela dedaunan yang sangat rimbun, bertengger santai seekor kera

besar putih yang tampak riang gembira menunggangi sebatang

dahan seperti anak kecil kegirangan main kuda-kudaan, wajahnya

seperti baru saja bangun tidur dan belum sempat cuci muka. Ia

tertawa terbahak-bahak sampai keluar air matanya melihat wajah

kami yang terbengong- bengong pucat pasi.

Flo yang berandal telah ditemukan!

AKU terengah-engah basah kuyup. Syahdan memandangi aku

dengan prihatin. Kami saling berpandangan lalu tertawa. Tawaku

semakin keras seiring tangis di dalam hati tentu saja. Tangis karena

mendapati diri sampai sakit karena dera putus cinta. Mahar telah

habis—habisan menjadikanku kelinci percobaan. “Anak-anak jin

yang tersinggung?” Ke mana perginya akal sehatnya? Dia patut

mendapat nomor 7 dalam teori gila versi ibuku. Tapi aku tahu dia

sesungguhnya bermaksud baik.

Setelah Mahar, A Kiong dan daun-daun beluntasnya pergi tanpa

pamit lalu datang Bu Mus dan teman-teman sekolahku yang lain.

Syahdan mengadukan kelakuan Mahar, tapi Bu Mus menunjukkan

wajah tak peduli. Beliau sudah cukup lama dibuat pusing oleh

Mahar dan tak berminat menambah beban berat hidupnya dengan

memikirkan dukun palsu itu.

Beliau mengeluarkan pil ajaib APC. Besoknya aku sudah bisa

berangkat ke sekolah dan aku tahu persis yang menyembuhkanku

adalah pil APC. Begitu melihatku memasuki kelas A Kiong Iangsung

menyalami Mahar. Mahar menaikkan alisnya, mengangkat bahunya,

dan mengangguk-angguk seperti burung penguin selesai kawin.

Itulah gerakan khas Mahar yang sangat menyebalkan.

“Apa kubilang!” barangkali itulah maknanya.

Mahar mengelus-elus koper bututnya dan A Kiong semakin

fanatik padanya. Mereka berdua tenggelam dalam kesesatan

memersepsikan diri sendiri.

Rupanya fisikku memang telah sembuh tapi hatiku tidak, Pulang

dari sekolah aku kembali disergap perasaan sedih. Tak mudah

melupakan A Ling. Dadaku kosong karena kehilangan sekaligus

sesak karena rindu. Aku terbaring kuyu di atas dipan memandangi

diary dan buku Herriot kenang-kenangan darinya. Untuk

mengalihkan kesedihan aku mengambil buku Seandainya Mereka

Bisa Bicara itu dan dengan malas aku berusaha membacanya.

Sudah kuniatkan dalam hati bahwa jika buku itu membosankan

maka setelah halaman pertama ia akan langsung kutangkupkan di

wajahku karena aku ingin tidur. Lalu kata demi kata berlalu. Setelah

itu kalimat demi kalimat dan dilanjutkan dengan paragraf demi

paragraf. Aku tak berhenti membaca dan beberapa kali membaca

paragraf yang sama berulang-ulang. Tanpa kusadari dalam waktu

singkat aku telah berada di halaman 10 tanpa sedikit pun sanggup

menggeser posisi tidurku. Seluruh perasaan gundah, putus asa, dan

air mata rindu yang tadi sudah menggenang di pelupuk mataku

diisap habis oleh lembar demi lembar buku itu.

Buku ajaib itu bercerita tentang perjuangan seorang dokter

hewan muda di zaman susah tahun 30an. Dokter muda itu, Herriot

sendiri, bekerja nun jauh di sebuah desa tenpercil di bagian antah

berantah di Inggris sana. Desa kecil itu bernama Edensor.

Mulutku ternganga dan aku menahan napas ketika Herriot

menggambarkan keindahan Edensor: “Lereng-lereng bukit yang tak

teratur tampak seperti berjatuhan, puncaknya seperti bergulingguling tertelan oleh langit sebelah barat, yang bentuknya seperti pita

kuning dan merah tua…

Pegunungan tinggi yang tak berbentuk itu mulai terurai menjadi

bukit-bukit hijau dan lembah-lembah luas. Di dasar lembah tampak

sungai yang berliku-liku di antara pepohonan. Rumah-rumah petani

yang terbuat dan batu-batu yang kukuh dan berwarna kelabu

tampak seperti pulau di tengah ladang yang diusahakan. Ladang itu

terbentang ke atas seperti tanjung yang hijau cerah di atas lereng

Aku sampai di taman bunga mawar, kemudian ke taman

asparagus, yang tumbuh jadi pohon yang tinggi. Lebih jauh ada

pohon arbei dan tumbuhan frambos. Pohon buah terdapat di manamana. Buah persik, buah pir, buah ceri, buah prem, bergantungan

di atas tembok selatan, berebut tempat dengan bunga-bunga mawar

Aku terkesima pada desa kecil Edenson. Aku segera menyadani

bahwa ada keindahan lain yang memukau di dunia ini selain cinta,

Herriot menggambarkan Edensor dengan begitu indah dan

memengaruhiku sehingga ketika ia bercerita tentang jalan-jalan kecil

beralaskan batu-batu bulat di luar rumah praktiknya rasanya aku

dapat mencium harum bunga daffodil dan astuaria yang menjalar di

sepanjang pagar peternakan di jalan itu. Ketika ia bercerita tentang

padang sabana yang terhampar di Bukit Derbyshire yang

mengelilingi Edensor rasanya aku terbaring mengistirahatkan hatiku

yang lelah dan wajahku menjadi dingin ditiup angin dan desa

tenang dan cantik itu. Aku telah jatuh hati dengan Edensor dan

menemukannya sebagai sebuah tempat dalam khayalanku setiap

kali aku ingin Lari dan kesedihan.

Sebaliknya aku semakin mencintai A Ling. Ia dengan bijak telah

mengganti kehadirannya dengan kehadiran Edensor yang mampu

melipur laraku. A Ling meninggalkan buku Herriot untukku tentu

karena sebuah alasan yang jelas. Selanjutnya, aku membaca buku

Herniot berulang-ulang sehingga hampir hafal. Ke mana pun aku

pergi buku itu selalu kubawa dalam tas sandang bututku. Buku itu

adalah representasi A Ling dan pengobat jiwaku. Jika aku merasa

risau dan sedih maka aku segera mengalihkan pikiranku dengan

membayangkan aku sedang duduk di bangku rendah di tengah

taman anggur di Edensor. Kumbang-kumbang berdengung riuh

rendah, mataku menatap lembut Pegunungan Pennines yang biru di

Derbyshire dan angin Lembah yang sejuk mengembus wajahku,

semua kepedihan, resah, dan kesulitan hidupku di sudut

kampung kumuh panas di Belitong ini. Aneh memang, jika Trapani

seluruh hidupnya seolah dipengaruhi oleh lagu Wajib Blajar maka

kini seluruh hidupku terinspirasi oleh buku Seandainya Mereka Bisa

Bicara, terutama oleh Desa Edensor yang ada di buku itu. Jika

beban hidup demikian memuncak rasanya aku ingin sekali berada

di Edensor, Punguk merindukan bulan tentu saja. Mana mungkin

anak Melayu miskin nun di Pulau Belitong sana mengangankan

berada di sebuah tempat di Inggris. Bermimpi pun tak pantas.

Sebaliknya, karena Edensor aku segera merasa pulih jiwa dan

raga. Edensor memberiku alternatif guna memecah penghalang

mental agar tak stres berkepanjangan karena terus-terusan terpaku

pada perasaan patah hati. A Ling telah memberi racun cinta

sekaligus penawarnya. Aku mulai tegar meskipun tak ‘kan ada lagi

Michele Yeoh. Aku siap menyesuaikan diri dengan kenyataan baru.

Aku sudah ikhlas meninggalkan cetak biru kehidupan indah asmara

pertamaku yang bertaburan wangi bunga dalam ritual rutin

pembelian kapur tulis.

Inilah asyiknya menjadi anak kecil. Patah hati karena cinta yang

telah berlangsung sekian tahun lima tahun! bisa pulih dalam waktu

tiga hari dan disembuhkan oleh sebuah desa bernama Edensor di

tempat antah berantah di Inggris sana dan hanya diceritakan melalui

Sedangkan orang dewasa bisa-bisa memerlukan waktu tiga tahun

untuk mengobati frustrasi karena hancurnya cinta platonik tiga

minggu. Apakah semakin dewasa manusia cenderung menjadi

semakin tidak positif? Aku belajar berjiwa besar, berusaha

memahami esensi konsep virtual dan fisik dalam hubungan

emosional. Bukankah jika mencintai seseorang kita harus

membiarkan ia bebas? Apabila hal semacam ini dialami oleh

seorang dewasa mungkin ia tak mau lagi melihat kapur tulis seumur

Kini aku akan mengenang A Ling sebagai bagian terindah dalam

hidupku. Aku tetap rajin, dengan naluri cinta yang sama, dengan

semangat yang sama, berangkat dengan Syahdan setiap Senin pagi

untuk membeli kapur, meskipun sekarang aku disambut oleh sebilah

tangan beruang dan kuku-k uku burung nazar pemakan bangkai.

Setiap membeli kapur aku tetap mengikuti prosedur yang sama dan

menikmati kronologi perasaanku di tengah kepengapan Toko Sinar

Harapan. Aku menyimulasikan urutan-urutan sensasi keindahan

cinta pertama seolah A Ling masih menungguku di balik tirai-tirai

rapat yang terbuat dan keong-keong kecil itu.

Sering kali sekarang aku bertanya pada diri sendiri: berapakah

jumlah pasangan yang telah mengalami cinta pertama, lalu hanya

memiliki satu cinta itu dalam hidupnya, menikah, dan kemudian

hanya terpisahkan karena Tuhan memanggil salah satu dan mereka?

Sedikit sekali! Atau malah mungkin tidak ada! Sepertinya kedua

jawaban tersebut bisa menjadi hipotesis yang meyakinkan untuk

pertanyaan dangkal semacam itu. Karena itulah yang umumnya

terjadi dalam dunia nyata.

Maka aku memiliki pandangan sendiri mengenai perkara cinta

pertama i, yaitu cinta pertama memang tak ‘kan pernah mati, tapi ia

juga tak ‘kan pernah survive. Selain itu aku telah menarik pelajaran

moral nomor enam dan pengalaman cinta pertamaku yaitu: jika

Anda memiliki kesempatan mendapatkan cinta pertama di sebuah

toko kelontong, meskipun toko itu bobrok dan bau tengik, maka

rebutlah cepat-cepat kesempatan itu, karena cinta pertama semacam

itu bisa menjadi demikian indah tak terperikan!

Aku melihat ke belakang, membuat evaluasi kemajuan hidupku,

dan bersyukur telah mengenal A Ling. Jika berpikir positif, ternyata

mengenal seseorang secara emosional memberikan akses pada

sebuah bank data kepribadian tempat kita dapat belajar banyak hal

baru. Hal-hal baru itu bagiku pada intinya satu: wanita adalah

makhluk yang tak mudah diduga. Maka banyak orang berpikir keras

mengurai sifat-sifat rahasia wanita, Paul I. Wellman misalnya

dengan tesis Dewi Aphroditenya. Ia menggambarkan wanita sebagai

makhluk yang di dalam dirinya berkecamuk pertentangan -

pertentangan, mengandung pergolakan abadi, sopan tapi berlagak,

sentimental sekaligus bengis, beradab namun ganas.

Bagiku, aku masih tak mengerti wanita, namun sepertinya ada

semacam komposisi kimiawi tertentu di dalam tubuh mereka yang

menyebabkan lelaki dengan komposisi kimiawi tertentu pula merasa

betah di dekatnya. Maka cinta adalah reaksi kimia sehingga

keanehan dapat terjadi, se-orang pangeran tampan kaya raya bisa

saja ditolak oleh se-orang gadis penjaga pintu tol, dan seorang

wanita public relation officer di sebuah BUMN yang sangat luas

pergaulannya bisa saja tergila-gila setengah mati dengan seorang

laki-laki penyendiri yang eksentrik. Itulah wanita, maka siapa pun ia,

seorang dewi agung dalam mitologi Vunani atau sekadar seorang

penjaga toko kelontong bobrok di Belitong, masing-masing

menyimpan rahasia untuk dirinya sendiri, rahasia yang tak ‘kan

pernah diketahui siapa pun.

Wanita seperti apakah A Ling? Inilah yang paling menarik dan

kisah cinta monyet in Setelah berpisah dengannya, aku baru

mengerti tipe semacam ini. Ia bukanlah pribadi mekanis yang

mengungkapkan perasaan secara eksplisit. Ia memiliki pendirian

yang kuat dan amat percaya diri. Ia model wanita yang memegang

pertanggung jawaban pada setiap gabungan huruf-huruf yang

meluncur dan mulutnya. Dan ini menimbulkan respek karena aku

tahu banyak orang harus berulang-ulang meyakinkan dirinya sendiri

dan pasangannya dengan kata-kata basi berbusa-busa, bahwa

mereka masih saling mencintai, sungguh mengibakan! A Ling tak

ingin menghabiskan waktu berurusan dengan pola respons aksi

reaksi cinta picisan yang klise, retoris, dan membosankan.

Aku belajar berjiwa besar atas seluruh kejadian dengan A Ling.

Sekarang aku memiliki cinta yang baru dalam tas bututku: Edensor,

Sudah selama 115 jam, 37 menit, 12 detik aku kehilangan A Ling

dan saat ini kuputuskan untuk berhenti mengiba-iba mengenang

Akhirnya, aku mampu melangkah menyeberangi garis ujian

tabiat mengasihani diri dan sekarang aku berada di wilayah positif

dalam menilai pengalamanku. Aku mulai bangkit untuk menata diri,

Aku mempelajari metode-metode ilmiah modern agar dapat bangkit

dan keterpunukan. Aku rajin membaca berbagai buku kiat-kiat

sukses, pergaulan yang efektif, cara cepat menjadi kaya, langkahlangkah menjadi pribadi magnetik, dan bunga rampai manajemen

pengembangan pribadi.

Aku berhenti membuat nencana-rencana yang tidak realistis.

Filosofi just do it, itulah prinsipku sekanang, lagi pula bukankah

John Lennon mengatakan life is what happens to us while we are

busy making plans! Sesuai saran buku-buku psikologi praktis yang

mutakhir itu aku mulai menginventanisasi bidang minat, bakat, dan

kemampuanku. Dan aku tak pernah ragu akan jawabannya yaitu:

aku paling piawai bermain bulu tangkis dan aku punya minat sangat

besar dalam bidang tulis-menulis.

Kesimpulan itu kuperoleh karena aku selalu menjadi juara

pertama pertandingan bulu tangkis kelurahan U 19 dan pialanya

berderet-deret di numahku. Piala itu demikian banyak sampai ada

yang dipakai ibuku untuk pemberat tumpukan cucian, ganjal pintu,

dan penahan dinding kandang ayam. Ada juga piala yang dipakai

menjadi semacam palu untuk memecahkan buah kemiri, dan

sebuah piala berbentuk panjang bergerigi dan pertandingan terakhir

sering dimanfaatkan ayahku untuk menggaruk punggungnya yang

Lawan-lawanku selalu kukalahkan dengan skor di bawah

setengah. Kasihan mereka, meskipun telah berlatih mati-matian

berbulan-bulan dan setiap pagi makan telur setengah masak

dicampur jadam dan madu pahit, tapi mereka selalu tak berkutik di

depanku. Kadang-kadang aku beraksi dengan melakukan drop shot

sambil salto dua kali atau menangkis sebuah smash sambil koprol.

Jika aku sedang ingin, aku juga biasa melakukan semacam pukulan

straight dan celah-celah kedua selangkangku dengan posisi

membelakangi lawan, tak jarang aku melakukan itu dengan tangan

Lawan yang tak kuat mentalnya melihat ulahku akan emosi dan

jika ia terpancing marah maka pada detik itulah ia telah kalah. Para

penonton bergemuruh melihat hiburan di lapangan bulu tangkis.

Jika aku bertanding maka pasar menjadi sepi, warung-warung kopi

tutup, sekolah-sekolah memulangkan murid-muridnya Iebih awal,

dan kuli-kuli PN membolos. “Si kancil keriting”, demikianlah mereka

menjulukiku. Lapangan bulu tangkis di samping kantor desa

membludak. Mereka yang tak kebagian tempat berdiri di pinggir

lapangan sampai naik ke pohon-pohon kelapa di sekitarnya.

Kukira semua fakta itu Iebih dan cukup bagiku untuk menyebut

bulu tangkis sebagai potensi seperti dinyatakan dalam buku-buku

pengembangan diri itu, Dan minat besar Iainnya adalah menulis.

Tapi memang tak banyak bukti yang mengonfirmasi potensiku di

bidang in kecuali komentar A Kiong bahwa surat dan puisiku untuk

A Ling sering membuatnya tertawa geli. Tak tahu apa artinya, bagus

atau sebaliknya. Maka aku mulai mengonsentrasikan diri untuk

mengasah kemampuan kedua bidang in Seperti juga disarankan

oleh buku-buku ilmiah itu maka aku membuat program yang jelas,

terfokus, dan memantau dengan teliti kemajuanku. Buku itu juga

menyarankan agar setiap individu membuat semacam rencana A

Rencana A adalah mengerahkan segenap sumber daya untuk

mengembangkan minat dan kemampuan pada kemampuan utama

atau dalam bahasa bukunya core competency, dalam kasusku

berarti bulu tangkis dan menulis. Setelah tahap pengembangan itu

selesai lalu bergerak pelan tapi pasti menuju tahap profesionalisme

dan tahapaktualisasi diri, yaitu muncul menggebrak secara

memesona di hadapan publik sebagai yang terbaik. Kemudian akhir

dan semua usaha sistematis ilmiah dan terencana itu adalah

mendapat pengakuan kejayaan prestasi, menjadi orang tenar atau

selebriti, hidup tenang, sehat walafiat, bahagia, dan kaya raya.

Sebuah rencana yang sangat indah. Setiap kali membaca rencana

Aku aku mengalami kesulitan untuk tidur.

Demikianlah, rencana A sesungguhnya adalah apa yang orang

sebut sebagai kata-kata ajaib mandraguna: cita-cita. Dan aku senang

sekali memiliki cita-cita atau arah masa depan yang sangat jelas,

yaitu: menjadi pemain bulu tangkis yang berprestasi dan menjadi

penulis berbobot. Jika mungkin sekaligus kedua-duanya, jika tidak

mungkin salah satunya saja, dan jika tidak tercapai keduaduanya,

jadi apa saja asal jangan jadi pegawai PoS.

Cita-cita ini adalah kutub magnet yang menggerakkan jarum

kompas di dalam kepalaku dan membimbing hidupku secara

meyakinkan. Setelah selesai merumuskan masa depanku itu sejenak

aku merasa menjadi manusia yang agak berguna.

Jika aku menengok sahabat sekelasku mereka juga ternyata

memiliki cita-cita yang istimewa. Sahara misalnya, ia ingin mejadi

pejuang hak-hak asasi wanita. Dia mendapat inspirasi cita-citanya

itu dan penindasan luar biasa terhadap wanita yang dilihatnya di

film-film India. A Kiong ingin menjadi kapten kapal, mungkin karena

ia senang berpergian atau mungkin tUpi kapten kapal yang besar

dapat menutupi sebagian kepala kalengnya itu, Kucai menyadari

bahwa dirinya memiliki sedikit banyak kualitas sebagai seorang

politisi yaitu bermulut besar, berotak tumpul, pendebat yang

kompulsif, populis, sedikit licik, dan tak tahu malu, maka cita-citanya

sangat jelas: ia ingin jadi seorang wakil rakyat, anggota dewan.

Tak ada angin tak ada hujan, tanpa ragu dan malu-malu,

Syahdan ingin menjadi aktor. Tak sedikit pun tidak menunjukkan

kapasitas atau bakat akting, bahkan dalam pertunjukan teater kelas

kami Syahdan tidak bisa memba-wakan peran apa pun yang

mengandung dialog karena ia selalu membuat kesalahan, Karena itu

Mahar memberinya peran sederhana sebagai tukang kipas putri raja

yang selama pertunjukan tidak mengucapkan sepatah kata pun.

Tugasnya hanya mengipas-ngipasi sang putri dengan benda

semacam ekor burung merak, itu pun masih sering tak becus ia

lakukan. Semua orang menyarankan agar Syahdan meninjau

kembali cita-citanya tapi ia bergeming. Ia tak peduli dengan segala

cemoohan, ia ingin menjadi aktor, tak bisa diganggu gugat.

“Cita-cita adalah doa, Dan,” begitulah nasihat bijak dan Sahara.

“Kalautuhan mengabulkan doamu, dapatkah kaubayangkan apa

jadinya dunia perfilman Indonesia”

Sedangkan Mahar sendiri mengaku bahwa ia mampu

menerawang masa depannya. Dan dalam terawangannya itu ia

dengan yakin mengatakan bahwa setelah dewasa ia akan menjadi

seorang sutradara sekaligus seorang penasihat spiritual dan

hypnotherapist ternama.

Cita-cita yang paling sederhana adalah milik Samson. Ia memang

sangat pesimis dan hanya ingin menjadi tukang sobek karcis

sekaligus sekuriti di

Bioskop Kicong karena ia bisa dengan gratis menonton film. Ia

memang hobi menonton film. Selain itu profesi tersebut dapat

memelihara citra machonya. Adapun Trapani yang baik dan tampan

ingin menjadi guru. Ketika kami tanyakan kepada Harun apa citacitanya ia menjawab kalau besar nanti ia ingin menjadi Trapani.

Semua ini gara-gara Lintang. Kalautak ada Lintang mungkin

kami tak ‘kan berani bercita-cita. Yang ada di kepala kami, dan di

kepala setiapanak kampung di Belitong adalah jika selesai sekolah

lanjutan pertama atau menengah atas kami akan mendaftar menjadi

tenaga langkong (calon karyawan rendahan di PN Timah) dan akan

bekerja bertahun-tahun sebagai buruh tambang lalu pensiun sebagai

kuli. Namun, Lintang memperlihatkan sebuah kemampuan luar

biasa yang menyihir kepercayaan diri kami. Ia membuka wawasan

kami untuk melihat kemungkinan menjadi orang lain meskipun kami

dipenuhi keterbatasan. Lintang sendiri bercita-cita menjadi seorang

matematikawan. Jika ini tercapai ia akan menjadi orang Melayu

pertama yang menjadi matematikawan, indah sekali.

Pribadi yang positif, menurut buku, tidak boleh hanya memiliki

satu rencana, tapi harus memiliki rencana alternatif yang disebut

dengan istilah yang sangat susah diucapkan, yaitu contingency plan!

Rencana alternatif itu disebut juga rencana B. Rencana B tentu saja

dibuat jika rencana A gagal. Prosedurnya sederhana yakni: lupakan,

dan buang jauh-jauh rencana A dan mulailah mencari minat dan

kemampuan baru, setelah ditemukan maka ikuti lagi prosedur

seperti rencana A. Inilah buku resep kehidupan yang bukan main

hebatnya hasil karya para pakar psikologi praktis yang bersekongkol

dengan para praktisi sumber daya manusia dan penerbit buku tentu

Seorang pribadi yang efektif dan efisien harus sudah memiliki

rencana A dan rencana B sebelum ia keluar dan pekarangan

rumahnya. Tapi aku tak tahan membayangkan rencana B dalam

hidupku karena selain bulu tangkis dan menulis aku tak punya

kemampuan lain. Sebenarnya ada tapi sungguh tak bisa

dipertanggungjawabkan, yaitu kemampuan mengkhayal dan

bermimpi, aku agak malu mengakui in Aku tak punya kecerdasan

seperti Lintang dan tak punya bakat seni seperti Mahar. Aku berpikir

keras untuk memformulasikan rencana B. Namun sangat beruntung, setelah berminggu-minggu melakukan perenungan akhir-nya

tanpa disengaja aku mendapat inspirasi untuk me-rumuskan sebuah

rencana B yang hebat luar biasa.

Rencana B ku ini sangat istimewa karena aku tidak perlu

meninggalkan rencana A. Para pakar sendiri mungkin belum pernah

berpikir sejauh ini. Rencana B-ku sifatnya menggabungkan minat

dan kemampuan yang ada pada rencana A. Tntinya jika aku gagal

meniti karier di bidang bulu tangkis dan tak berhasil sebagai penulis

sehingga semua penerbit hanya sudi menerima tulisanku untuk

dijual menjadi kertas kiloan, maka aku akan menempuh rencana B

yaitu: aku akan menulis tentang bulu tangkis!

Aku menghabiskan sekian banyak waktu untuk membuat

rencana B ini agar sebaik rencana A, yaitu sampai tahap-tahap yang

paling teknis dan operasional. Oleh karena itu, aku telah punya

ancang-ancang judul bukuku, seluruhnya ada tiga yaitu TATA

CARA BERMAIN BULU TANGKIS, FAEDAH BULU TANGKIS,

atau BULU TANGKIS UNTUK PERGAULAN.

Rencana B ini kuanggap sangat rasional karena aku telah melihat

bagaimana pengaruh bulu tangkis pada orang-orang Melayu

pedalaman. Jika musim Thomas Cup atau All England maka di

kampung kami bulu tangkis bukan hanya sekadar olahraga tapi ia

menjadi semacam budaya, semacam jalan hidup, seperti sepak bola

bagi rakyat Brasil. Pada musim itu ilalang tanah-tanah kosong

dibabat, pohon-pohon pinang ditumbangkan untuk dibelah dan

dijadikan garis lapangan bulu tangkis, dan gengsi kampung

dipertaruhkan habis-habisan dalam pertandingan antar dusun. Jika

malam tiba kampung menjelma menjadi semarak karena lampu

petromaks menerangi arena-arena bulu tangkis dan teriakan para

penonton yang gegap gempita. Di sisi lain aku percaya bahwa

ratusan kaum pria yang tergila-gila pada bulu tangkis lalu pulang ke

rumah kelelahan akan mengalihkan mereka dan rutinas malam

sehingga dapat menekan angka kelahiran anak-anak Melayu.

Sungguh besar manfaat bulu tangkis bagi kampung kami yang

minim hiburan. Fenomena ini meyakinkanku bahwa tulisanku

tentang bulu tangkis akan mencapai suatu kedalaman dan kategori

yang disebut para sastrawan pintar zaman sekarang sebagai buku

dalam genre humaniora!

Buku itu akan ditulis setelah melalui riset yang serius dan

melibatkan studi literatur serta wawancara yang luas. Jika beruntung

aku akan mengusahakan agar mendapat semacam kata pengantar

sekapur sirih dan Ferry Sonneville dan dengan sedikit kerja sama

dengan penerbit aku sudah mengkhayalkan akan mendapat banyak

komentar berisi pujian dan para pakar di sampul belakang buku itu.

Misalnya Liem Swie King, ia akan berkomentar, “ini adalah

sebuah buku yang sangat bermanfaat untuk meningkatkan

kepercayaan diri, membangun network, dan menambah kawan.”

Komentar Lius Pongoh agak lebih singkat:

“Sebuah buku yang memberi pencerahan.”

Seorang birokrat dan komite olah raga menyumbangkan pujian

yang filosofis: “Belum pernah ada buku olahraga ditulis seperti ini,

penulisnya sangat memahami makna men sane incorpore sano.”

Demikian pula pujian seorang seksolog yang gemar bermain bulu

tangkis: “Buku wajib bagi Anda yang memiliki kelebihan berat

badan dan kesulitan membina hubungan.”

Rudy Hartono memuji habis-habisan: “Sebuah buku yang

Sedangkan komentar dan Ivana Lie adalah:

“Membaca buku ini rasanya aku ingin memeluk penulisnya.”

I Be There or Be Damned’

“APAKAH Ananda sudah memiliki rencana A dan rencana B?”

Itulah pertanyaan pertama Bu Mus kepada Mahar sekaligus awal

pidato panjang untuk menasihati tindakannya yang sudah

keterlaluan. Ia sudah berbelok ke jalan gelap dunia hitam, ia harus

segera disadarkan. Pelajaran praktik olahraga yang sangat kami

sukai dibatalkan. Semuanya harus masuk kelas dalam rangka

menghakimi Mahar dan mengembali- kannya ke jalan yang lurus.

Layar pun turun, rol-rol film drama diputar.

Mahar menunduk. Ia pemuda yang tampan, pintar, berseni, tapi

“Ibunda, masa depan milik Tuhan ....“

Aku melihat cobaan yang dihadapi seorang guru. Wajah Bu Mus

redup. Seorang sahabat pernah mengatakan bahwa guru yang

pertama kali membuka mata kita akan huruf dan angka-angka

sehingga kita pandai membaca dan menghitung tak ‘kan putusputus pahalanya hingga akhir hayatnya. Aku setuju dengan

pendapat itu, Dan tak hanya itu yang dilakukan seorang guru. Ia

juga membuka hati kita yang gelap gulita.

“Artinya Ananda tidak punya sebuah rencana yang positif, tak

pernah lagi mau membaca buku dan mengerjakan PR karena

menghabiskan waktu untuk kegiatan perdukunan yang

membelakangi ayat-ayat Allah.’

Bu Mus mulai terdengar seperti warta berita RRI pukul 7.

Lintasan berita: “Nilai-nilai ulanganmu merosot tajam. Kita akan

segera menghadapi ulangan caturwulan ke tiga, setelah itu

caturwulan terakhir menghadapi Ebtanas. Nilaimu bahkan tak

memenuhi syarat untuk melalui caturwulan tiga ini. .Jika nanti ujian

antaramu masih seperti i, Ibunda tidak akan mengizinkanmu ikut

kelas caturwulan terakhir. Itu artinya kamu tidak boleh ikut

Ini mulai serius, Mahar tertunduk makin dalam. Kami diam

mendengarkan dan khotbah berlanjut. Berita utama: “Hiduplah

hanya dan ajaran AlQur’an, hadist, dan sunatullah, itulah pokokpokok tuntunan Muhammadiyah. mnsya Allah nanti setelah besar

engkau akan dilimpahi rezeki yang halal dan pendamping hidup

Disambung berita penting: “Klenik, ilmu gaib, takhayul,

paranormal, semuanya sangat dekat dengan pemberhalaan. Syirik

adalah larangan tertinggi dalam Islam. Ke mana semua kebajikan

dan pelajaran aqidah setiap Selasa? Ke mana semua hikmah dan

pengalaman jahiliah masa lampau dalam pelajaran tarikh Islam? Ke

mana etika ke-Muhammadiyahan?”

Suasana kelas menjadi tegang. Kami harap

Mahar segera minta maaf dan menyatakan pertobatan tapi

sungguh sial, ia malah menjawab dengan nada bantahan.

“Aku mencari hikmah dan dunia gelap Ibunda dan penasaran

karena keingintahuan. Tuhan akan memberiku pendamping dengan

Kurang ajar betul, Bu Mus bersusah payah menahan emosinya.

Aku tahu beliau sebenarnya ingin langsung me-labrak Mahar. Air

mukanya yang sabar menjadi merah. Beliau segera keluar ruangan

Kami serentak menatap Mahar dengan tajam. Alis Sahara

bertemu, tatapan matanya kejam sekali.

“Minta maaf sana! Tak tahu diuntung!” hardik Sahara. Kucai

selaku ketua kelas ambil bagian, suaranya menggelegar, “Melawan

guru sama hukumnya dengan melawan orangtua, durhaka! Siksa

dunia yang segera kauterima adalah burut! Pangkal pahamu akan

membesar seperti timun sun hingga langkahmu ngangkang!” Keras

sekali Kucai menghardik Mahar tapi yang dipelototinya Harun.

Wajah Mahar aneh. Ia seperti sangat menyesal dan merasa

bersalah tapi di sisi lain tampak yakin bahwa ia sedang

mempertahankan sebuah argumen yang benar, menurut versinya

sendiri tentu saja. Persis ketika kami ingin memprotes Mahar secara

besar-besaran tiba-tiba Bu Mus masuk lagi ke dalam ruangan dan

menyemprotkan pokok berita, “Camkan ini anak muda, tidak ada

hikmah apa pun dan kemusynikan, yang akan kau dapat dan

praktik-praktik klenik itu adalah kesesatan yang semakin lama

semakin dalam karena sifat syirik yang berlapis-lapis. Iblis mengipasngipasimu setiap kali kaukipasi bara api kemenyan-kemenyan itu.”

Mahar mengerut. Ia tampak sangat bersalah telah membuat

ibunda gurunya muntab. Bu Mus ternyata bisa juga emosi dan tak

berhenti sampai di situ, “Sekarang kau harus mengambil sikap

karena belum selesai ultimatum itu tiba-tiba terdengar

assalamu’alaikum. Bu Mus menjawab dan mempersilakan masuk

kepala sekolah kami, seorang bapak berwajah penting, dan seorang

anak perempuan tapi seperti laki-laki. Anak perempuan ini berpostur

tinggi, dadanya rata, pantatnya juga rata, Ia seperti sekeping papan

Sepatunya bot Wrangler navigator yang mahal dan itu adalah

sepatu laki-laki. Kaus kakinya lucu, berwarna-warni meriah berlapislapis seperti sarang lebah dan menutupi tempurung lutut. Ia jelas

bukan orang Muhammadiyah karena semua wanita Muhammadiyah

berjilbab. Ia memakai rok besar dan bahan wol bermotif kotak-kotak

besar merah seperti kilt orang-orang Skotlandia. Kilt itu menutupi

ujung atas kaus kakinya tadi sehingga tak ada sedikit pun celah kulit

kakinya yang terbuka. Rambutnya pendek, kulitnya putih bersih

sangat halus, dan wajahnya cantik. Secara umum ia tampak seperti

seorang pemuda Skotlandia yang imut.

Bapak berwajah orang penting tadi berusaha tersenyum ramah.

“ini anak saya, Flo,” katanya pelan-pelan.

“Dia sudah tidak ingin lagi sekolah di sekolah PN dan sudah

membolos dua minggu. Dia bersikeras hanya ingin sekolah di sini.”

Orang penting ini menggaruk-garuk kepalanya. Setiap katakatanya adalah batu berat puluhan kilo yang ia seret satu per satu.

Nada bicananya jelas sekali seperti orang yang sudah kehabisan

akal mengatasi anaknya itu. Kami semua tenmasuk kepala sekolah

tensipu menahan tawa, Bu Mus yang banu saja manah juga

tensenyum. Sebuah senyum tenpaksa karena kami semua sudah

tahu neputasi Flo. Beliau sudah pusing tujuh keliling menghadapi

Mahan dan sekanang hanus ditambah lagi satu anak setengah lakilaki setengah penempuan yang sudah pasti tak bisa diatun! Hari ini

adalah hari yang sial dalam hidup Bu Mus.

Flo sendini acuh tak acuh, ia tak tensenyum dan hanya menatap

bapaknya. Anak cantik ini benkanakten tegas, pasti, tahu pensis apa

yang ia inginkan, dan tak pennah nagu-nagu, sebuah gambanan

sikap yang mengesankan. Bapak-nya juga menatapanaknya, suatu

tatapan penuh kekalahan yang pedih. Lalu bapaknya melihat

sekeliling nuangan kelas kami yang seperti nuang intenogasi tentana

Jepang, tatapannya semakin pedih. Dengan pasnah ia

“Maka saya senahkan anak saya pada Ibu, jika ia menyulitkan,

Bapak Kepala Sekolah sudah tahu di mana harus menemui saya.

Menyesal harus saya sampaikan bahwa ia pasti akan menyulitkan.”

Kami tertawa dan bapaknya tersenyum pahit. Flo masih cuek

seolah semua kata-kata itu tak ada maknanya, laksana angin lewat

saja. Kepala Sekolah dan orang penting itu mohon dir Kepala

Sekolah kami tersenyum simpul sambil memandang Bu Mus penuh

Bu Mus memandangi Flo dan samping Mahar yang baru saja

dimarahinya habis-habisan dan Flo yang berandal berdiri tegak di

depan kelas seperti orang mengambil pose untuk peragaan kaus

kaki Italia model terbaru. Meskipun seperti laki-laki tapi ia

sesungguhnya gadis remaja yang menawan, dan kulitnya indah luar

biasa. Di kelas ini ia laksana Winona Ryder yang diutus UNICEF

untuk membesarkan hati para penderita lepra di sebuah kampung

Flo menyilangkan kakinya, bahunya yang kurus bidang mekar

seperti memiliki bantalan di pundak-pundaknya. Ia sangat

memesona. Semua mata menghunjam ke arahnya. Sebuah

pemandangan yang tak biasa. Jika diamati dengan saksama, di balik

kedua bola matanya yang gelap coklat seperti buah hamlam

tersembunyi kebaikan yang sangat besar,

Semuanya diam, Flo juga diam. Kami berharap Flo akan

memecah kekakuan dengan memperkenalkan dirinya. Tapi ia tak

melakukan itu dan Bu Mus juga tak memintanya mengenalkan diri

karena dua alasan: Flo jelas tak senang dengan formalitas,

kedua: siapa yang tak kenal Flo? Namanya melambung gara-gara

hilang di Gunung Selumar tempo hari dan reputasinya semakin top

karena baru-baru ini menjuarai pertarungan kick boxing. Ia meng

KO hampir seluruh lawannya padahal ia satusatunya petarung

wanita. Maka Bu Mus mengambil inisiatif sambil tersenyum

“Baiklah, selamat datang di kelas kami, setelah ini pelajaran

kemuhammadiyahan, silakan Ananda duduk di sana dengan

Sahara senang bukan main karena selama sembilan tahun hanya

ia satu-satunya wanita di kelas kami. Selama ini ia duduk sendirian

dan sekarang ia akan punya teman sesama jenis. Ia mengusap-usap

kursi kosong di sampingnya dan menampilkan bahasa tubuh

selamat datang. Tapi di luar dugaan ternyata Flo tak beranjak

Wajahnya tak menunjukkan minat sama sekali. Dia membatu dan

meman-dang jauh ke luar jendela. Kami bingung, lalu Flo kembali

meman-dang kami dan kami terkejut ketika dengan pasti ia menunjuk Tarapani sambil bersabda:

“Aku hanya ingin duduk di samping Mahar!”

Luar biasa! Kalimat pertama yang meluncur dan mulut kecil

makmurnya itu setelah baru saja beberapa menit menginjakkan kaki

di sekolah Muhammadiyah adalah sebuah pembangkangan!

Pembangkangan bukanlah hal yang biasa di perguruan kami. Kami

tak pernah sekali pun dengan sengaja menyatakan pembangkangan,

kami bahkan memanggil guru kami ibunda guru. Kami terperanjat,

demikian pula Bu Mus. Air muka sabarnya menjadi keruh. Baru saja

beliau memikirkan kemungkinan kerusakan etika Muhammadiyah

yang akan dibuat Mahar dan murid baru separuh pria ini, tiba-tiba

sekarang dua ekor angin tornado ini ingin bersekutu. Berat sekali

cobaan hidup Bu Mus. Wajah Bu Mus sembap. Flo menunjukkan

wajah tak mau berkompromi dan Bu Mus sudah tahu bahwa

percuma melawan dia, Lagi pula bagi Flo dirinya bukanlah wanita,

maka ia tak mau duduk dengan Sahara. Di sisi lain ia menganggap

Trapani harus mengalah karena ia adalah seorang wanita.

Transeksual memang sering membingungkan.

Trapani kebingungan karena dia sudah sembilan tahun terbiasa

duduk sebangku dengan Mahar dan Bu Mus harus mengambil

keputusan yang sulit. Beliau memberi isyarat pada Trapani agar

lungsur. Flo menghambur ke kursi bekas Trapani di samping Mahar.

Mahar serta-merta mengeluarkan tiga macam sikap khasnya yang

menyebalkan: menaikkan alis, mengangkat bahu, dan menganggukangguk. Kami muak melihatnya tapi ia tampak senang bukan main.

Seperti dugaannya, Tuhan telah memberinya pendamping secara

misterius. Sebuah doa yang langsung dikabulkan di tempat.

Bajingan kecil itu memang selalu beruntung. Sebaliknya, Trapani

kehilangan teman sebangku dan ia sekarang harus duduk dengan

Sahara yang temperamental. Sahara sendiri sangat tidak suka

menerima Trapani. Ia mengaum, alisnya bertemu.

Flo tampak kaku duduk di kelas kami dan seluruh ruangan itu

sama sekali tidak merepresentasikan setiap jenis sandang yang

dikenakannya. Kelas rombeng ini juga tak cocok dengan kulit putih

dan raut mukanya yang penuh sinar kekayaan. Apa yang dicari

anak kaya ini di sekolah miskin yang tak punya apa-apa? Mengapa

ia ingin menukar gemerlap sekolah PN dengan sekolah gudang

kopra? Buah khuldi di pekarangan siapa yang telah dimakannya

sehingga dia terusir dan taman eden Gedong?

Tidak, ia tidak dicampakkan oleh sekolah PN tapi ia sengaja ingin

pindah ke sekolah Muhammadiyah atas kemauan sendiri, tanpa

tekanan dan pihak mana pun dan dalam keadaan sehat walafiat

jasmani dan rohani, hanya pikirannya saja yang sedikit kacau.

Pada hari-hari pertama kami terkagum-kagum dengan berbagai

perlengkapan sekolahnya yang menurut ia biasa saja. Ia memiliki

enam macam tas yang dipakai berbeda-beda setiap hari. Tas hari

Jumat paling menarik karena ber-umbai-rumbai seperti tas Indian. Ia

juga memiliki banyak kotak. Kotak khusus untuk beragam penggaris:

ada penggaris busur, penggaris segitiga, penggaris siku, dan

beragam ukuran penggaris segi empat. Kotak lainnya berisi jangkajangka kecil, berbagai jenis pensil, pulpen, dan penghapus seperti

kue lapis yang dapat menimbulkan rasa lapar. Lalu ada serutan

yang lucu serta sapu tangan handuk kecil di dalam tas rajutan

Di dalam tas rajutan kecil itu ada berjejal-jejal uang kertas yang

dimasukkan dengan sembrono oleh Flo. Jika ia membuka tas itu

sering kali uang tadi berjatuhan ke lantai, Jumlah uang itu semakin

hari semakin banyak dan membuat tasnya menjadi gendut. Flo tidak

bisa membelanjakan uang itu di sekolah Muhammadiyah karena tak

ada yang bisa dibeli. Uang itu memiliki nama yang sangat asing bagi

kami: uang saku. Sesuatu yang seumur-umur tak pernah kami

dapat-kan dan orangtua kami.

Sebagian besar benda-benda itu belum pernah kami lihat. Ia

amat berbeda dengan kami dalam semua hal. Ia seumpama bangau

Hokaido yang anggun tersasar ke kandang itik. Setiap pagi ia

diantar sopirnya dengan sebuah mobil mewah tentu saja setelah ia

sarapan dan semacam benda yang dapat membuat roti meloncat.

Sejak kami menjadi pahlawan kesiangan yang menemukan Flo

ketika ia hilang di Gunung Selumar tempo hari, ia memang telah

mengenal kami, terutama Mahar dan reputasinya. Flo hengkang dan

sekolah PN karena didorong oleh kepribadiannya yang pembosan,

cenderung anti kemapanan, tergilagila dengan pemberontakan, dan

keinginannya menjadi anggota Laskar Pelangi yang unik. Tapi ada

alasan lain yang tak banyak orang tahu, dan ini agak berbahaya,

yaitu ia tergila-gila pada Mahar. Ia mengagumi Mahar bukan

sebagai pribadi tapi sebagai seorang profesional muda perdukunan.

Karena orangnya memang ekstrovert dan berpikiran terbuka

maka kami segera akrab dengan Flo. Pada sebuah sore yang dingin

setelah hujan lebat Flo kami inisiasi di dahan tertinggi fihicium dan

sejak sore itu ia resmi kami bai’at sebagal anggota Laskar Pelangi.

Saat pelangi melingkar dan guruh bersahutsahutan membahana di

atas langit Belitong Timur, ia mengucapkan janji setia persaudaraan.

Ternyata Flo adalah pribadi yang sangat menyenangkan. Ia

memiliki kemampuan beradaptasi yang luar biasa. Ia cantik dan

sangat rendah hati, sehingga kami betah di dekatnya. Ia tak pernah

segan menolong dan selalu rela berkorban, Terbukti bahwa di balik

sifatnya keras kepala tersimpan kebaikan hati yang besar.

Aneh, di sekolah Muhammadiyah yang tak punya fasilitas apa

pun Flo sangat bersemangat. Ada sesuatu yang menggerakkannya.

Ia tak pernah sehari pun bolos dan bersikap sangat santun kepada

para pengajar. Konon bapaknya sampai mengucapkan terima kasih

kepada kepala sekolah kami dan Bu Mus. Ia datang lebih pagi dan

siapa pun, menyapu seluruh sekolah, menimba berember ember air

dan menyiram bunga tanpa diminta. Sekolah ini adalah jembatan

Flo sangat dekat dengan Mahar. Mereka saling tergantung dan

saling melindungi. Hubungan mereka sangat unik. Dengan bersama

Mahar dan berada di sekolah Muhammadiyah Flo seperti berada di

dunia yang memang diidamkannya selama ini. Ia seperti orang yang

telah menemukan identitas setelah bersusah payah mencarinya

melalul pemberontakan-pemberontakan sinting. Demikian pula

Mahar, ia merasa menemukan satu-satunya orang yang

memahaminya, tak pernah melecehkannya, dan menghargai setiap

kelakuan anehnya. Maka mereka seperti Starsky and Hutch atau

Harley Davidson and The Marlboro Man, gandeng renteng ke sana

kemari persis Trapani dan ibunya.

Mahar benar-benar telah mendapatkan pendamping. Mereka

sering tampak berduaan, berbicara, bertukar pikiran sampai berjamjam. Orang yang melihatnya akan menyangka mereka berpacaran.

Seorang pemuda tampan dan seorang anak gadis cantik yang

tomboi, siang malam tak terpisahkan. Saling tergila-gila, serasi

sekali, Tapi kenyataannya mereka sama sekali tidak punya

hubungan emosional semacam itu, Mereka memang tergila-gila tapi

kekasih hati mereka adalah dunia gelap mistik dan klenik.

Dunia gelap itulah yang memicu adrenalin Flo dan itu jugalah

salah satu tujuannya mendekati Mahar. Berbeda dengan A Kiong

yang juga mengabdi kepada Mahar tapi memosisikan diri sebagai

murid, Flo sebaliknya memosisikan diri sebagai rekan. Persekutuan

mereka membawa kemajuan yang pesat dalam elaborasi dunia

metafisik karena ditunjang oleh sumber daya yang dimiliki Flo.

Mereka mempelajari dengan saksama fenomena-fenomena aneh

melalui majalah-majalah luar negeri dan buku-buku ilmiah karangan

psychist ternama. Kalau dulu Mahar berurusan dengan primbon

atau prasasti dan istilah-istilah kuntilanak, jenglot, Dalbho anak

genderuwo, dan pocong, sekarang referensinya meningkat menjadi

paranormal-phernalia, UFO codes, science fictions news, dan The

Anomalist, dan bicaranya juga menjadi lebih maju dan keren, kalau

dulu kemenyan, tuyul, kerasukan setan, dan santet, sekarang

menjadi istilah-istilah paranormal asing seperti exorcism,

clairevoyance, sightings, dan poltergeist.

Mahar tertarik pada mitologi, hubungan supranatural dengan

antropologi, sejarah, cerita rakyat, arkeologi, kekuatan

penyembuhan, ilmu-ilmu purba, ritual, dan kepercayaan berhala.

Maka sedikit banyak ia menganggap dirinya seorang ilmuwan

supranatural. Sebaliknya, Flo adalah petualang sejati. Ia kurang

tertarik dengan aspek ilmu dan keyakinan dalam kejadian-kejadian

mistik tapi ia ingin mengalami manifestasi berbagai teori dan

fenomena magis dalam praktik. Karena tujuan utama pendalaman

mistik Flo adalah untuk menguji dirinya sendiri, sampai sejauh mana

ia bisa menoleransi rasa takutnya. Ia kecanduan getargetar mara

bahaya dunia lain. Flo sedikit lebih parah sintingnya dibanding

Maka untuk merealisasikan semua tujuan itu dan untuk

menikmati hobinya, mereka berdua menyusun sebuah rencana

sistematis. Langkah awal mereka adalah membentuk sebuah

organisasi rahasia para penggemar paranormal. Setelah kasakkusuk

sekian lama, tak dinyana ternyata mereka mampu menemukan

anggota-anggota se-paham yang sangat antusias. Mereka

membentuk sebuah perkumpulan yang disebut Societeit de Limpai

dan melakukan pertemuan rutin serta aktivitas perklenikan secara

Semakin lama aktivitas itu semakin tinggi dan tak jarang

melibatkan perjalanan yang jauh. Tak terbayangkan ke mana

keingintahuan dapat membawa manusia: ke gunung tertinggi, ke

gua yang gelap, melintasi padang, menuruni ngarai, menyeberangi

lumpur, sungai, dan laut. Sing-kat-nya, organisasi bawah tanah ini

sangat sibuk dan menuntut pengadministrasian jadwal, dana, dan

properti sehingga mereka membutuhkan bantuan seorang sekretaris

Ketika aku ditawari posisi itu, aku segera menyambarnya.

Meskipun tidak ada honornya sepeser pun tapi aku merasa

terhormat menjadi seorang sekretaris dan sebuah gerombolan

orangorang yang bersahabat dengan hantu. Aku juga bangga

karena jabatan itu menunjukkan bahwa aku punya cukup integritas

untuk memegang uang, artinya paling tidak aku bisa dipercaya

walaupun hanya dipercaya oleh orang-orang yang sudah tidak lurus

Tugasku sederhana dan cukup diatur melalui sebuah buku

register. Tugas tersebut adalah mencatat iuran anggota, menyimpan

uangnya, dan mencatat barang-barang pribadi milik anggota yang

akan dijual atau digadaikan guna membeli peralatan dan

membiayai ekspedisi. Tugas lainnya adalah mengatur pertemuan

rahasia, Biasanya undangan dibuat oleh bosku, Mahar atau Flo, dan

aku harus mengedarkannya pada seluruh anggota. Seperti sore ini

misalnya, Flo menyerahkan undangan padaku, isinya:

“Rapat mendesak, Los V/B pasar ikan, Pk. 7 tepat.

Be there or be damned!”

Detik-Detik Kebenaran

DALAM sebuah bangunan berarsitektur art deco, di ruangan oval

yang hingar-bingar, kami terpojok: aku, Sahara, dan Lintang.

Kembali kami berada dalam sebuah situasi yang

mempertaruhkan reputasi. Lom-ba kecerdasan. Dan kami berkecil

hati melihat murid-murid negeri dan sekolah PN membawa bukubuku teks yang belum pernah kami lihat, Tebal berkilat-kilat dengan

sampul berwarna-warni, pasti buku-buku mahal. Sebagian peserta

berteriak-teriak keras menghafalkan nama-nama kantor berita.

Risikonya tentu jauh lebih besar dan karnaval dulu. Lomba

kecerdasan adalah arena terbuka untuk mempertontonkan

kecerdasan, atau jika sedang bernasib sial, mempertontonkan

ketololan yang tak terkira. Dan semua nasib sial itu akan ditanggung

langsung oleh aku, Sahara, dan Lintang. Kami adalah regu F pada

lomba memencet tombol in Bagaimana kalau kami tak mampu

menjawab dan hanya membawa pulang angka nol?

Persoalan klasiknya adalah kepercayaan diri. Inilah problem

utama jika berasal dan lingkungan marginal dan mencoba bersaing.

Kami telah dipersiapkan dengan baik oleh Bu Mus. Beliau memang

menaruh harapan besar pada lomba ini lebih dan beliau berharap

waktu kami karnaval dulu. Bu Mus pontang-panting mengumpulkan

contoh contoh soal dan bekerja sangat keras melatih kami dan pagi

sampai sore. Bu Mus melihat lomba ini sebagai media yang

sempurna untuk menaikkan martabat sekolah Muhammadiyah yang

bertahun tahun selalu diremehkan. Bu Mus sudah bosan dihina.

Sayangnya sekeras apa pun beliau membuat kami pintar dan

menguatkan mental kami, mendorong-dorong, membujuk, dan

mengajari kami agar tegar, kami tetap gugup. Semua yang telah

dihafalkan berminggu-minggu lenyap seketika, jalan pikiran menjadi

buntu. Aku berusaha menenangkan diri dengan membayangkan

duduk bersemadi di atas padang rumput hijau di tempat yang paling

tenang dalam imajinasiku: Edensor, tapi upaya ini juga gagal.

“Persetan kepercayaan diri pokoknya dengar pertanyaannya

baik-baik, pencet tombolnya cepatcepat, dan jawab dengan benar”

demikian kataku. Sahara mengangguk, Lintang tak peduli.

Kami duduk menghadapi sebuah meja mahoni yang besar,

panjang, indah, dan dingin. Seluruh teman sekelasku dan guru-guru

hadir untuk menyemangati kami. Ruangan penuh sesak oleh para

pendukung setiap sekolah. Aku, Lintang, dan Sahara mengerut di

balik meja itu. Kami berpakaian amat sederhana dan sepatu cunghai

Lintang masih menebarkan bau hangus.

Pendukung yang paling dominan tentu saja pendukung sekolah

PN. Jumlahnya ratusan dan menggunakan seragam khusus dengan

tulisan mencolok di punggungnya: VINI, VIDI, VICI, artinya AKU

DATANG, AKU LIHAT, AKU MENANG. Benarbenar menjatuhkan

mental lawan. Sekolah PN mengirim tiga regu, masing-masing regu

A, B, dan C. Anggota regu itu adalah yang terbaik dan yang terbaik.

Mereka diseleksi secara khusus dengan amat ketat dan standar yang

sangat tinggi. Beberapa peserta itu pernah menjuarai lomba cerdas

cermat tingkat provinsi bahkan ada yang telah dikirim untuk tingkat

nasional. Pakaian anggota regu juga sangat berbeda.

Mereka mengenakan jas warna biru gelap yang indah, sepatu

yang seragam dengan celana panjang berwarna serasi, dan mereka

Tahun ini mereka dipersiapkan lebih matang, sistematis, dan

secara amat ilmiah oleh seorang guru muda yang terkenal karena

kepandaiannya. Guru ini membuat simulasi situasi lomba

sesungguhnya dengan bel, dewan juri, stop watch, dan antisipasi

variasi-variasi soal. Guru yang cemerlang ini baru saja mengajar di

PN, dulu ia bekerja di sebuah perusahaan asing di unit riset dan

pengembangan kemudian ditawari mengajar di PN dengan gaji

berlipat-lipat dan janji beasiswa S2 dan S3. Ia lulus cum laude dan

Fakultas MIPA sebuah universitas negeri ternama. Tahun ini ia

terpilih sebagai guru teladan provinsi. Ia mengajar fisi-ka, Drs.

Zulfikar, itulah namanya.

Pendukung kami dipimpin oleh Mahar dan Flo. Meskipun hanya

berjumlah sedikit tapi semangat mereka menggebu. Mereka

membawa dua buah bendera besar Muhammadiyah yang telah

lapuk dan berbagai macam tabuh-tabuhannya seperti para suporter

sepak bola. Para pelajar PN yang menganggap Flo pengkhianat

melirik kejam padanya, tapi seperti Lintang, Flo juga tak peduli.

Walaupun besar sekali kemungkinan tim kami dipermalukan oleh

kecerdasan tim PN dalam lomba ini, tapi Flo tak ragu sedikit pun

membela habis-habisan sekolahnya, sekolah kampung

Di antara pendukung kami ada Trapani dan ibunya, kedua anak

beranak ini saling bergandengan tangan. Aku melihat pelajar-pelajar

wanita berbisikbisik, tertawa cekikikan, dan terus-menerus

meliriknya karena semakin remaja Trapani semakin tampan. Ia

ramping, berkulit putih bersih, tinggi, berambut hitam lebat, di

wajahnya mulai tumbuh kumis-kumis tipis, dan matanya seperti

buah kenari muda: teduh, dingin, dan dalam.

Sesungguhnya dalam seleksi tim yang akan mewakili sekolah

kami Trapani telah terpilih. Skornya lebih tinggi dibanding skor

Sahara namun nilai geografinya lebih rendah. Kekuatan tim kami

adalah matematika, hitungan-hitungan IPA, biologi, dan bahasa

Inggris yang semuanya tak diragukan ada di tangan Lintang. Aku

agak baik pada bidangbidang kewarganegaraan, tarikh Islam, fikih,

budi pekerti, dan sedikit bahasa Indonesia. Yang paling lemah

dalam tim kami adalah geografi dan ahli geografi kami adalah

Sahara, Maka demi kekuatan tim Trapani dengan lapang dada

memberi kesempatan pada Sahara untuk tampil. Trapani adalah

pria muda yang amat tampan dan berjiwa besar.

“Tabahkan hatimu, Ikal “ itulah nasihat Trapani pelan padaku.

Sementara di meja mahoni yang megah itu Lintang diam seribu

bahasa, kelelahan, selayaknya orang yang memikul seluruh beban

pertaruhan nama baik. Aku tak henti-henti berkipas, bukan

kepanasan, tapi hatiku mendidih karena gentar. Tak pernah sekali

pun sekolah kampung menang dalam lomba ini, bahkan untuk

diundang saja sudah merupakan kehormatan besar.

Lintang sudah membatu sejak subuh tadi. Di atas truk terbuka

yang membawa kami ke ibu kota kabupaten in Tanjong Pandan, ia

membisu seperti orang sakit gigi parah. Ia memandang jauh. Tak

mampu kuartikan apa yang berkecamuk di dadanya. Ayah, Ibu, dan

adik-adiknya juga ikut. Mereka, termasuk Lintang, baru pertama kali

ini pergi ke Tanjong Pandan.

Sahara duduk di tengah. Aku dan Lintang di samping kin dan

kanannya. Ekspresi Lintang datar, ia tersandar lesu tanpa minat.

Agaknya ia demikian minder, berkecil hati, dan malu berada di

lingkungan yang sama sekali asing baginya. Ia hanya menatap

Ayah, Ibu, dan adik-adiknya yang berpakaian amat sederhana,

duduk saling merapatkan diri di pojok, tampak bingung dalam

suasana yang hiruk pikuk. Aku mencoba berkonsentrasi tapi gagal.

Lintang dan Sahara sudah tak bisa diharapkan.

Kulihat tangan para peserta lain mulai meraba tombol di depan

mereka, siap menyalak. Sahara kelihatan pucat, seperti orang

bingung. Ia yang telah ditugasi dan dilatih khusus memencet tombol

sedikit pun tak mampu mendekatkan jarinya ke benda bulat itu. Ia

sudah pasrah atas kemungkinan kalah mutlak, Sahara mengalami

demam panggung tingkat gawat.

Sementara otakku tak bisa lagi dipakai untuk berpikir. Keributan

yang terjadi ketika peserta lain mencoba-coba tombol dan mikrofon

terdengar bagaikan teror bagi kami. Kami tak sedikit pun mencoba

benda-benda itu. Kami sudah kalah sebelum bertanding. Para

pendukung Muhammadiyah membaca kegentaran kami. Mereka

Suasana semakin tegang ketika ketua dewan Juri bangkit dan

tempat duduknya, memperkenalkan diri, dan menyatakan lomba

dimulai. Jantungku berdegup kencang, Sahara pucat pasi, dan

Lintang tetap diam misterius, ia bahkan memalingkan wajah keluar

Dan inilah detik-detik kebenaran itu. Pertanyaan ditujukan

kepada semua peserta yang harus berlomba cepat memencet

tombol agar dapat menjawab dan jika keliru akan kena denda. Aku

tak berani melihat para penonton. Dan Bu Mus tak berani melihat

wajah kami. Wajahnya dipalingkan ke lampu besar di tengah

ruangan yang berjuntai Junta

laksana raja gurita. Baginya ini adalah peristiwa terpenting

selama lima belas tahun karier mengajarnya. Beliau benar-benar

menginginkan kami menang dalam lomba ini, karena beliau tahu

lomba ini sangat penting artinya bagi sekolah kampung seperti

Muhammadiyah. Wajahnya kusut menanggung beban, mungkin

beliau Juga telah bosan bertahun-tahun selalu diremehkan.

Tak lama kemudian seorang wanita anggun yang bergaun Jas

cantik berwarna merah muda berdiri. Beliau meminta penonton

agar tenang karena beliau akan mengajukan pertanyaan. Suaranya

indah, bertimbre berat, dan tegas seperti penyiar RRI.

Wanita itu mendekatkan wajahnya pada mikrofon dan

menegakkan lembaran kertas di depannya seperti orang akan

membaca Pancasila. Detik-detik kebenaran yang hakiki dan

mencemaskan tergelar di depan kami. Seluruh peserta memasang

telinga baik-baik, siap menyambar tombol, dan siaga mendengar

berondongan pertanyaan. Suasana mencekam

Pertanyaan pertama bergema.

“Ia seorang wanita Prancis, antara mitos dan realita ..

Kring! Kriiiiiiiingggg! Kriiiiiiiiiiiiinnnggggg!

Wanita anggun itu tersentak kaget karena pertanya-annya secara

mendadak dipotong oleh suara sebuah tombol meraung-raung tak

sabar, Aku dan Sahara juga tenpenanjat tak alang kepalang karena

baru saja sepotong lengan kasar dengan kecepatan kilat menyambar

tombol di depan kami, tangan Lintang!

“Regu F!” kata seorang pria anggota dewan Juri lainnya.

Wajahnya seperti almarhum Benyamin S. Ia memakai jas dan dasi

“Joan D’Arch, Loire Valley, France!” jawab Lintang membahana,

tanpa berkedip, tanpa keraguan sedikit pun, dengan logat Prancis

yang sengausenqau aduhai.

“Seratusss!” Benyamin S. tadi membalas disambut tepuk tangan

gemuruh para penonton. Kulihat bendera Muhammadiyah berkibarkibar.

“Pertanyaan kedua: Terjemahkan dalam kalimat integral dan

hitung luas wilayah yang dibatasai oleh y = 2x dan x = S.”

Lintang kembali menyambar tombol secepat kilat dan

jawabannya serta-merta memecah ruangan.

“Integral batas S dan 0, 2x minus x kali dx, hasilnya: dua belas

Luar biasa! tanpa ada kesangsian, tanpa membuat catatan apa

pun, kurang dan S detik, tanpa membuat kesalahan sedikit pun, dan

nyaris tanpa berkedip.

“Seratussssss!” lengking Benyamin S.

Mendengar lengkingan Benyamin S. pendukung kami melonjaklonjak seperti orang kesurupan. Suara mereka riuh rendah laksana

kawanan kumbang kawin. Flo melompat-lompat sambil

mengeluarkan jurus-jurus kick boxing.

“Pertanyaan ketiga: Hitunglah luas dalam jarak integral 3 dan 0

untuk sebuah fungsi 6 plus 5x minus x pangkat 2 minus 4 x.”

Lintang memejamkan matanya sebentar, ia tak membuat catatan

apa pun, semua orang memandangnya dengan tegang, lalu kurang

dan 7 detik kembali ia melolong.

“Tiga belas setengah!”

Tak sebiji pun meleset, tak ada ketergesa gesaan, tak ada

keraguan sedikit pun.

“Seratusssss!” balas Benyamin S. sambil menggeleng-gelengkan

kepalanya karena takjub melihat kecepatan daya pikir Lintang.

Pendukung kami bersorak sorai histeris gegap gempita. Mereka

mendesak maju karena perlombaan semakin seru. Ayah, Ibu, dan

adik-adik Lintang berusaha berdiri dan bergabung dengan

pendukung kami yang lain. Mereka tersenyum lebar dan kulihat

ayah Lintang, pria cemara angin itu, wajahnya berseri-seri penuh

kebanggaan pada anaknya, matanya yang kuning keruh berkacakaca.

Sementara para peserta lain terpana dan berkecil hati. Lintang

menjawab kontan, bahkan ketika mereka belum selesai menulis soal

itu dalam kertas catatan yang disedia-kan panitia. Beberapa di

antaranya membanting pensil tanpa ampun. Trapani yang kalem

mengangguk-angguk pelan. Pak Hanfan bertepuk tangan girang

sekali seperti anak kecil, wajahnya menoleh ke sana kemani.

“Lihatlah murid-muridku, ini baru murid-muridku ...,“ itu mungkin

makna ekspresi wajahnya.

Bu Mus bergerak maju ke depan, wajah kusutnya telah sirna

menjadi cerah. Sekarang beliau berani mengangkat wajah nya,

matanya juga berkaca-kaca dan bibirnya bergumam, “Subhanallah,

Ibu jas merah muda berupaya keras menenangkan penonton

yang riuh dan berdecak-decak kagum, terutama menenangkan

pendukung kami yang tak bisa menguasai diri. Beliau melanjutkan

“Selain menggunakan teknik radiocarbon untuk menentukan usia

sebuah temuan arkeologi, para ahli juga....“

Kring! Kriiiiiiiingggg!

Kembali Lintang mengamuk, dan ia menjawab Lantang.

“Thermoluminescent dating! Penentuan usia melalui pelepasan

energi sinar dalam suhu panas!”

Berikutnya hanyalah kejadian yang persis sama dengan pertanyaan

itu, Wanita cantik benjas merah muda itu tak pernah sempat

menyelesaikan pertanyaannya. Lintang menyambar setiap soal

tanpa memberikan kesempatan sekali pun pada peserta lain.

Ratusan penonton terkagum-kagum. Warga Muhammadiyah di

ruangan itu berjingkrak-jingkrak sambil saling memeluk pundak.

Yang paling bahagia adalah Harun. Dia memang senang dengan

keramaian. Aku melihatnya bertepuk-tangan tak henti-henti,

berteriak-teriak memberi semangat, tapi wajahnya tak melihat ke

arah kami, ia menoleh keluar jendela. Kiranya ia sedang memberi

semangat kepada sekelompok anak perempuan yang sedang

bermain kasti di halaman.

Di tengah hiruk pikuk para penonton aku sempat mendengar

jawaban-jawaban tangkas Lintang:

“Vincent Van Gogh, men yasszonytanc, The Hunch back of

Notredame, paradoks air, Edgar Alan Poe, medula spinalis, Dian

Fossey, artropoda, 300 ribu kilometer per detik. Basedow,

dactylorhiza moculata, ancyostoma duodenale, Stone Henge,

Platyhelminthes, endoskeleton, Serebrum, Langerhans, fluoxetine

hydrochloride, 8,5 menit cahaya, extremely low frequency, molekul

Ia tak terbendung, aku meninding melihat kecerdasan sahabatku

i. Peserta lain terpesona dibuatnya. Mereka seperti terbius sebuah

kharisma kuat kecerdasan murni dan seorang anak Melayu

pedalaman miskin, murid sekolah kampung Muhammadiyah yang

berambut keriting merah tak terawat dan tinggal di rumah kayu

doyong beratap daun nun jauh terpencil di pesisir.

Para peserta sekolah PN merasa geram karena tak kebagian satu

pun jawaban. Maka mereka mencoba berspekulasi. Tujuannya

bukan untuk menjawab tapi untuk menjegal Lintang. Mereka

berusaha secara tidak rasional memencet tombol secepat mungkin.

Sebuah tindakan tolol yang berakibat denda karena tak mampu

menginterpnetasikan selunuh konteks pentanyaan. Sedangkan

Lintang, seperti dulu pernah kucenitakan, anak ajaib kuli kopra ini,

memiliki kemampuan yang mengagumkan untuk menebak isi kepala

Dominasi Lintang membuat bebenapa penonton

terusik egonya dan penasaran ingin menguji Einstein kecil ini

maka insiden pun terjadi. Ketika itu juri menanyakan:

“Terobosan pemahaman ilmiah terhadap konsep warna pada

awal abad ke-16 memulai penelitian yang intens di bidang optik.

Ketika itu banyak ilmuwan yang percaya bahwa campuran cahaya

dan kegelapanlah yang menciptakan warna, sebuah pendapat yang

rupanya keliru. Kekeliruan itu dibuktikan dengan memantulkan

cahaya pada sekeping lensa cekung ..,.“

Kriiiiiing! Kriiiiing! Kring! Lintang menyalaknyalak.

Sekali lagi suporter kami bergemuruh jumpalitan, tapi tiba-tiba

seseorang di antara penonton menyela, “Saudara ketua! Saudara

ketua! Saudara ketua dewan juri! Saya kira pertanyaan dan jawaban

Seluruh hadirin sontak diam dan melihat ke arah seorang

pemuda yang kecewa ini. Oh, Drs. Zulfikar, guru fisika teladan dan

sekolah PN itu. Gawat! Urusan ini bisa runyam. Sekarang

pandangan seluruh hadirin menghunjam ke arah guru muda yang

otak cemenlangnya sudah kondang ke mana- mana. Untuk diajar

privat olehnya bahkan harus antre. Ia harapan yang akan

melanjutkan tradisi lama sekolah PN sebagai pemenang pertama

lomba kecerdasan ini dan ia sudah mempersiapkan timnya

demikian sempurna. Ia tak ingin dipermalukan dan ia tak pernah

berurusan dengan sesuatu yang tidak terbaik. Sekarang apa yang

akan ia perbuat? Aku dan Sahara waswas tapi Lintang tenangtenang saja. Drs. itu angkat bicara dengan gaya akademisi tulen:

“Percobaan dengan lensa cekung tidak ada kaitannya dengan

bantahan terhadap teori awal yang meyakini bahwa warna

dihasilkan oleh campuran cahaya dan kegelapan. Dan sebaliknya,

pemahaman terhadap penciptaaan warna bukanlah persoalan optik,

kecuali dewan juri ingin membantah Descartes atau Aristoteles. Soal

optik dan spektrum warna adalah dua macam hal yang berbeda.

Situasi ini ambigu, di sini kita menghadapi tiga kemungkinan,

pertanyaan yang salah, jawaban yang keliru, atau kedua-duanya tak

berdasar dalam arti tidak kon t e k s t u a I!”

Aduh...! Komentar ini sudah di luar daya jangkau akalku, asing,

tinggi, dan jauh. ini sudah semacam debat mempertahankan tesis S2

di depan tiga orang profesor. Tapi tidakkah sedikit banyak kata-kata

sang Drs. itu berbentuk U, kritis namun berputar-putar? Dan ia

pintar sekali membimbangkan dewan juri dengan menyintir

pendapat René Descartes, siapa yang berani membantah sinuhun

ilmu zaman lawas itu? Mudah-mudahan Lintang punya argumentasi.

Kalautidak kami akan habis di sini. Aku membatin dengan cemas

tapi tak tahu akan berbuat apa. Pak Harfan bertelekan pinggang lalu

menunduk dan Bu Mus merapatkan kedua tangannya di atas

dadanya seperti orang berdoa, wajahnya prihatin ingin membela

kami tapi beliau tak berdaya karena serangan Drs. Zulfikar memang

sudah ter-lalu canggih. Bu Mus tampak tak tega melihat kami. Aku

memandang Sahara dan ia cepat-cepat memalingkan muka, ia

menoleh keluar jendela seolah tak mengenal kami. Wajahnya

menunjukkan ekspresi bahwa saat itu ia sedang tidak duduk di situ.

Para penonton dan dewan juri terlihat bingung atas bantahan

yang supercerdas itu, Jangankan menjawab bahkan sebagian tak

mengerti apa yang dipersoalkan. Tapi seseorang memang harus

menyelamatkan situasi ini, maka ketua dewan juri bangkit dan

tempat duduknya. Lintang masih tenang-tenang saja, ia tersenyum

sedikit, santai sekali.

‘Tenima kasih atas bantahan yang hebat ini, apa yang harus saya

katakan, bidang saya adalah pendidikan moral Pancasila ...,“ kata

Si Drs. bersungut-sungut, ia merasa di atas angin. Ekor matanya

seolah mengumumkan kalau ia sudah khatam membaca buku

Principle karya Isaac Newton, bahwa ia juga pelanggan jurnal-jurnal

fisika internasional, bahwa ia kutu laboratonium yang kenyang

pengalaman ekspenimen, bahkan seolah fisikawan Christiaan

Huygens itu uwaknya. Pria ini adalah seorang fresh graduate yang

sombong, ia memperlihatkan karakter manusia sok pintar yang baru

Bicaranya di awang-awang dengan gaya seperti Pak Habibie. Ia

mengutip buku asing di sana sini tak keruan, menggunakan istilahistilah aneh karena ingin mengesankan dirinya luar biasa, Tapi kali

ini, aku jamin dia akan menelan APC, pil pahit segala penyakit

andalan orang kampung Belitong yang amat manjur.

Karena merasa sudah menang dengan kritiknya guru muda itu

meningkatkan sifat buruk dan sombong menjadi tak tahan pada

godaan untuk meremehkan.

“Atau barangkali anak-anak SMP Muhammadiyah ini atau

dewan juri bisa menguraikan pendekatan optik Descartes untuk

menjelaskan fenomena warna?”

Keterlaluan! Seluruh hadirin tentu mengerti bahwa kalimat

bernada menguji itu sesungguhnya tak perlu. Pak Zulfikar hanya

ingin menghina sekaligus melumpuhkan mental kami dan dewan

juri karena ia yakin bahwa kami tak mengerti apa pun mengenai

Descartes. Dengan demikian ia dapat menganulir pertanyaan awal

tadi sekaligus menjatuhkan martabat majelis ini. Yang menyakitkan

adalah ia dengan jelas menekankan kata SMP Muhammediyah

untuk megingatkan semua orang bahwa kami hanyalah sebuah

sekolah kampung yang tak penting.

Aku memang tak mengerti pendekatan optik tapi aku tahu sedikit

sejarah penemuan fenomena warna. Aku tahu bahwa Descartes

bekerja dengan prisma dan lembaran-lembaran kertas untuk

menguji warna, bukan murni dengan manipulasi optik. Newton-Iah

sesungguhnya sang guru besar optik. Pak Zulfikar jelas sok tahu dan

dengan mulut besarnya ia mencoba menggertak semua orang

melalui kesan seolah ia sangat memahami teori warna. Aku geram

dan ingin membantah Drs. congkak ini tapi pengetahuanku terbatas.

Tabiat Pak Zulfikar adalah persoalan kiasik di negeri ini, orangorang pintar sering bicara meracau dengan istilah yang tak

membumi dan teori-teori tingkat tinggi bukan untuk menemukan

sebuah karya ilmiah tapi untuk membodohi orang-orang miskin.

Sementara orang miskin diam terpuruk, tak menemukan kata-kata

Aku menatap Lintang, memohon bantuannya jika nanti aku

angkat bicara melawan kezaliman Drs. itu. Aku sangat perlu

dukungannya. Tapi bagaimana nanti kalauternyata aku yang keliru?

Bagaimana kalau aku diserang balik bertubi-tubi?

Ah, risikonya terlalu tinggi, bisa-bisa aku dipermalukan. ini juga

persoalan kiasik bagi orang yang memiliki pengetahuan setengahsetengah sepertiku. Maka dadaku berkecamuk antara ingin melawan

dan ragu-ragu. Tapi aku sangat marah karena sekolahku dihina dan

aku jengkel karena aku tahu bahwa Drs. itu membawa-bawa nama

Descartes secara keliru dan tidak adil guna keuntungannya sendiri.

Melihatku demikian gusar Lintang tersenyum kecil padaku.

Sebuah senyum damai, Aku tahu, seperti biasa, ia dapat membaca

pikiranku dengan benderang. Ia membalas tatapanku dengan

lembut seakan mengatakan, “Sabar Dik, biar Abang bereskan

persoalan ini ....“ Wajahnya tenang sekali. Aku dan Sahara ciut.

Kami mengerut di ketiak kiri kanan pendekar ilmu pengetahuan

yang sakti mandraguna andalan kami ini.

Mendengar tantangan Pak Zulfikaryang tak bersahabat tadi

bapak ketua dewan juri yang baik menarik napas panjang. Beliau

menoleh ke arah para koleganya, anggota dewan juri. Semuanya

menggeleng-gelengkan kepala. Lalu beliau mencoba menengahi

dengan diplomatis dan sangat merendah.

“Maafkan Bapak Guru Muda, atas nama dewan juri saya

tenpaksa mengatakan bahwa pengetahuan kami agaknya belum

Kata-katanya demikian bersahaja. Kasihan bapak tua itu. Ia

seorang guru senior yang rendah hati dan sangat disegani karena

dedikasinya selama puluhan tahun di dunia pendidikan Belitong.

Beliau tampak malu dan putus asa. Lalu beliau mengalihkan

pandangan ke arah regu F, regu kami, Lintang tersenyum dan

mengangguk kecil padanya. Tanpa diduga ketua dewan juri

mengatakan, “Tapi mungkin anak Muhammadiyah yang cemenlang

Suasana sunyi senyap dalam nuansa yang sangat tidak

mengenakkan, dan semakin tidak enak karena sang Drs. kembali

mengudara dengan komentar sengak tanpa perasaan.

“Saya harapargumentasi mereka bisa setepat jawabannya tadi!”

Semakin keterIaIuan Ia sengaja memprovokasi Lintang dan kali

ini Lintang tenpancing, ia angkat bicara ‘Jika bantahan Bapak

mengenai pertanyaan yang tidak kontekstual dengan jawaban,

mungkin saja bantahan semacam itu bisa diterima. Dewan juri

menanyakan sesuatu yang jawabannya tertera di kertas yang

dibacakan ibu pembaca soal, Saya yakin di sana tertulis cincin

Newton dan kami menjawab cincin Newton, berarti kami berhak

atas angka seratus. Maka kalaupun itu memang tidak kontekstual,

itu hanya berarti dewan juri menanyakan sesuatu yang benar

dengan cara keliru . .!

Pak Zulfikar tak terima.

‘Dengan kata lain pertanyaan nomor itu gugur karena bisa saja

peserta lain menduga arah jawaban yang keliru!” Lintang tak sabar.

“Tidak ada yang keliru! Kecuali Bapak tidak memedulikan

substansi dan ingin menggugurkan nilai kami karena persoalan

Pak Zulfikar tersinggung, ia menjadi marah, dan suasana berubah

“Kalau begitu jelaskan pada saya substansinya! Karena bisa saja

kalian mendapat nilai melalui kemampuan menebak-nebak jawaban

secara untung-untungan tanpa memahami persoalan

Wah, ini sudah kurang ajar. Sahara menyeringai, setelah sekian

lama menghilang ke alam lain kini ia kembali dalam penjelmaan

seekor leopard, alisnya bertemu. Para penonton dan dewan juri

tercengang, terlongong-longong dalam adu argumentasi ilmiah

tingkat tinggi yang memanas. Mereka bahkan tak mampu memberi

satu komentar pun, persoalan ini gelap bagi mereka. Tapi aku

tersenyum senang karena aku tahu kali ini guru muda yang sok tahu

ini akan kena batunya.

Bantahannya yang terakhir itu adalah pelecehan. Lintang

tersengat harga dirinya, wajahnya merah padam, sorot matanya tak

lagi jenaka. Lintang, yang baru sekali ini menginjak Tanjong

Pandan, berdiri dengan gagah berani menghadapi guru PN yang

jebolan perguruan tinggi terkemuka itu, sembilan tahun sangat dekat

dengan Lintang, baru kali ini aku melihatnya benar benar muntab,

maka inilah cara orang jenius mengamuk:

“Substansinya adalah bahwa Newton terangterangan berhasil

membuktikan kesalahan teoriteori warna yang dikemukakan

Descartes dan Aristoteles! Bahkan yang pa-ling mutakhir ketika itu,

Robert Hooke. Perlu dicatat bahwa Robert Hooke mengadopsi teori

cahaya berdasarkan filosofi mekanis Descartes dan mereka semua,

ketiga orang itu, menganggap warna memiliki spektrum yang

terpisah. Melalui optik cekung yang kemudian melahirkan dalil

cincin, Newton membuktikan bahwa warna memiliki spektrum yang

kontinu dan spektrum warna sama sekali tidak dihasilkan oleh sifatsifat kaca, ia semata-mata pro-duk dan sifat-sifat hakiki cahaya!”

Drs. Zulfikar terperangah, penonton tersesat dalam teori fisika

optik, sekadar mengangguk sedikit saja sudah tak sanggup. Dan aku

girang tak alang kepalang, dugaanku terbukti! Rasanya aku ingin

meloncat dan tempat duduk dan berdiri di atas meja mahoni mahal

berusia ratusan tahun itu sambil berteriak kencang kepada seluruh

hadirin: “Kalian tahu, ini Lintang Samudra Basara bin Syahbani

Maulana Basara, orang pintar kawanku sebangku! Rasakan kalian

semua!” Sekarang ekspresi Sahara seperti leopard yang sedang

mencabik-cabik predator pesaing, ia mengaum, alisnya bertemu

seperti sayap elang, dan Lintang masih belum puas.

“Newton mengatakan, kecuali Bapak ingin nyangkal manuskrip

ilmiah yang tak terbantahkan selama 500 tahun hasil karya ilmuwan

yang disebut Michael Hart sebagai manusia paling hebat setelah

Nabi Muhammad, bahwa tebal tipisnya partikel transparan

menentukan warna yang ia pantulkan. Itulah persamaan ketebalan

lapisan udara antara optik sebagai dasar dalil warna cincin. Semua

itu hanya bisa diobservasi melalui optik, bagaimana Bapak bisa

mengatakan perkara-perkara ini tidak saling berhubungan?”

Sang Drs. terkulai lemas, wajahnya pucat pasi. Ia membenamkan

pantatnya yang tepos di bantalan kursi seperti tulang belulangnya

telah dipresto. Ia kehabisan kata-kata pintar, kacamata minusnya

merosot layu di batang hidungnya yang bengkok. Ia paham bahwa

berpolemik secara membabi buta dan berkomentar lebih jauh

tentang sesuatu yang tak terlalu ia kuasai hanya akan

memperlihatkan ketololannya sendiri di mata orang genius seperti

Lintang. Maka ia mengibarkan saputangan putih, Lintang telah

menghantamnya knock out. Ia dipaksa Lintang menelan pu APC

yang pahit tanpa air minum dan pil manjur itu kini tersangkut di

tenggorokannya. Sekali lagi para pendukung kami berjingkrakjingkrak histeris seperti doger monyet. Pak Harfan mengacungkan

dua jempolnya tinggi-tinggi pada Lintang. “Bravo! Bravo!” teriaknya

girang. Bu Mus yang berpakaian paling sederhana dibanding guruguru lain mengangguk-angguk takzim. Ia terlihat sangat bangga

pada murid-murid miskinnya, matanya berca-kaca dan dengan haru

beliau berucap lirih, “Subhanallah s ubhanallah ....‘

Selanjutnya, mekanisme lomba menjadi monoton, yaitu ibu

cantik membacakan pertanyaan yang tak selesai, suara kriiiiiing,

teriakan jawaban Lintang, dan pekikan seratussss dan Benyamin S.

Aku terpaku memandang Lintang, betapa aku menyayangi dan

kagum setengah mati pa-da sahabatku in Dialah idolaku. Pikiranku

melayang ke suatu hari bertahun-tahun yang lalu ketika sang bunga

pilea ini membawa pensil dan buku yang keliru, ketika ia beringsutingsut naik sepeda besar 80 kilometer setiap hari untuk sekolah,

ketika suatu hari ia menempuh jarak sejauh itu hanya untuk

menyanyikan lagu Padamu Negeri. Dan ha-ri ini ia meraja di sini di

majelis kecerdasan yang amat terhormat ini.

Seperti Mahar, Lintang berhasil mengharumkan

nama per-guruan Muhammadiyah. Kami adalah sedang tidak

duduk di situ. sekolah kampung pertama yang menjuarai

perlombaan ini, dan dengan sebuah kemenangan mutlak.

Air yang menggenang seperti kaca di mata Bu Mus dan laki-laki

cemara angin itu kini menjadi butirbutiran yang berlinang, air mata

kemenangan yang mengobati harapan, pengorbanan, dan jerih

Hari ini aku belajar bahwa setiap orang, bagaimana pun terbatas

keadaannya, berhak memiliki cita-cita, dan keinginan yang kuat

untuk mencapai Cita-cita itu mampu menimbulkan prestasi-prestasi

lain sebelum cita-cita sesungguhnya tercapai. Keinginan kuat itu juga

memunculkan kemampuankemampuan besar yang tersembunyi dan

keajaibankeajaiban di luar perkiraan. Siapa pun tak pernah

membayangkan sekolah kampung Muhammadiyah yang melarat

dapat mengalahkan raksasa-raksasa di meja mahoni itu, tapi

keinginan yang kuat, yang kami pelajari dan petuah Pak Harfan

sembilan tahun yang lalu di hari pertama kami masuk SD, agaknya

terbukti. Keinginan kuat itu telah mem-belokkan perkiraan siapa pun

sebab kami tampil sebagai juara pertama tanpa banding. Maka

barangkali keinginan kuat tak kalah penting dibanding cita-cita itu

Ketika Lintang mengangkat tinggi-tinggi trofi besar kemenangan,

Harun bersuit-suit panjang seperti koboi memanggil pulang sapisapinya, dan di sana, di sebuah tempat duduk yang besar, ibu

Frischa berkipas-kipas kegerahan, wajahnya menunjukkan sebuah

ekspresi seolah saat itu dia sedang tidak duduk disitu.

MEREKA menyebut diri mereka Societeit de Limpai,

Limpai adalah binatang legendaris jadi-jadian yang menakutkan

dalam mitologi Belitong. Sebuah karakter fabel yang menarik karena

beberapa cerita rakyat memberikan definisi yang berbeda bagi

Orang orang pesisir menganggapnya sebagai semacam peri yang

hidup di gunung-gunung. Di Belitong bagian tengah ia dipercaya

berbentuk binatang besar berwarna putih seperti gajah atau

mammoth, Sebaliknya di utara ia adalah angin yang jika marah

akan menumbangkan pohon-pohon dan merebahkan batangbatang padi.

Ada pula beberapa wilayah yang mengartikannya sebagai bogey

yakni hantu hitam dan besar. Orang-orang muda semakin salah

mengerti. Bagi mereka Limpai adalah urban legend maka ia bisa

saja incubus yaitu setan yang menyaru sebagai pria tampan atau

death omen yang dapat menyamar menjadi apa saja. Disebut salah

mengerti karena sebenarnya akar cerita Limpai terkait dengan

ajaran kuno turun-temurun di Belitong agar masyarakat tidak

semena-mena memperlakukan hutan dan sumber- sumber air.

Ajaran itu mengandung tenaga sugestif ketakutan terhadap kualat

karena hutan dan sumber-sumber air dijaga oleh hantu Limpai.

Namun, dewasa ini sebagian besar orang melihat wujud Limpai tak

lebih dan kabut yang melayanglayang di dalam kepala yang bodoh,

tipis iman, senang bergunjing, dan kurang kerjaan, itulah Limpai.

Societeit de Limpai merupakan organisasi rahasia bentukan

orang-orang aneh dan aku adalah sekretaris organisasi yang unik

ini. Societeit beroperasi diam-diam. Ia semacam organisasi tanpa

bentuk. Tak diketahui kapan, di mana mereka biasa berkumpul, dan

apa yang mereka bicarakan. Jika secara tak sengaja ada yang

memergoki mereka, mereka segera mengalihkan pembicaraan,

bahkan menganggap saling tak kenal satu sama lain. Tindak

tanduknya demikian disamarkan bukan karena mereka mengusung

sebuah misi yang amat berbahaya, anarkis, komunis, atau melawan

hukum, tapi lebih karena mereka menghindarkan diri dan ejekan

khalayak karena kekonyolannya. Sebab Societeit adalah kumpulan

manusia tak berguna yang memiliki kecintaan berlebihan pada

dunia klenik dan mistik. Para peminat klenik dalam masyarakat kami

selalu jadi bahan tertawaan. Mereka tidak populer karena barangkali

tidak seperti pada budaya lain di tanah air, orang-orang Melayu

khususnya di Belitong memang tidak terlalu meminati dunia

perdukunan. Maka Societeit de Limpai pada dasarnya tidak

mendapat tempat di kampung kami.

Namun bagi para anggota Societeit, organisasi mereka adalah

organisasi yang sangat serius. Anggotanya hanya sembilan orang

dan untuk menjadi anggota syaratnya berat bukan main. Anggota

paling senior saat ini berusia 57 tahun, pensiunan syah bandar, dan

yang termuda adalah dua orang remaja berusia 16 tahun. Enam

orang lainnya adalah seorang petugas teller di BRI cabang

pembantu, seorang Tionghoa tukang sepuh emas, seorang

pengangguran, seorang pemain organ tunggal, seorang mahasiswa

teknik elektro drop out yang membuka sebuah bengkel sepeda, dan

Mujis, si tukang semprot nyamuk. Anehnya ketua kelompok ini

justru yang termuda itu. Ialah bapak pendiri organisasi yang disegani

anggotanya karena pengetahuannya yang luas tentang dunma

gelap, perahenan, serta koleksinya yang lengkap tentang cerita

kabar angin atau cerita konon kabarnya. Ia tak lain tak bukan adalah

Mahar yang fenomenal. Sedangkan anak remaja satunya tentu saja

Flo. Adapun aku hanya seorang sekretaris dan pembantu umum,

maka tidak dihitung sebagai anggota kehormatan.

Aktivitas Societeit sangat padat. Mereka melakukan ekspedisi ke

daerah-daerah angker, menyelidiki kejadian-kejadian mistik,

berdiskusi dengan para spiritual di seantero Belitong, dan

memetakan mitologi lokal, baik Folklor maupun urban legend dalam

suatu mitografi yang menarik. Dalam banyak sisi dapat dianggap

bahwa para anggota Societeit sesungguhnya adalah orang-orang

pemberani yang sangat penasaran ingin membongkar rahasia

fenomena ganjil dan memiliki skeptisisme yang tak mau

dikompromikan. Jika belum melihat dan merasakan sendiri, mereka

tak ‘kan percaya. Societeit dengan brilian telah mengadopsi sosok

Limpai yang mistis sebagai metafora sehingga mereka bisa disebut

orang-orang antusias, ilmuwan, orang gila, atau musyrikin

tergantung sudut pandang setiap orang menilainya. Sama seperti

perbedaan perspektif setiap orang dalam memaknai Limpai.

Dalam pembuktiannya terhadap fenomena paranormal mereka

sering menggunakan metode ilmiah sehingga mereka dapat juga

disebut sebagai ilmuwan tentu saja ilmuwan dalam definisi mereka

sendiri. Ke arah inilah Mahar telah berkembang, bukan ke arah

pencapaian-pencapaian seni yang seharusnya menjadi rencana A

baginya, dan dengan kehadiran Flo, kesia-siaan bakat itu semakin

Dalam menjalankan tugas sintingnya mereka melengkapi diri

dengan perangkat elektronik, misalnya beragam alat perekam audio

video, perangkat perangkat sensor, dan berbagai jenis teropong. Di

bawah supervisi mahasiswa elektro yang drop out itu mereka

merakit sendiri detektor medan elektro magnet yang dapat

membaca gelombang area observasi dalam kisaran 2 sampai 7

miligauss karena mereka yakin aktivitas kaum lelembut berada

dalam kisaran tersebut. Mereka juga menciptakan sensor frekuensi

yang dapat mengenali frekuensi sangat rendah sampai di bawah 60

hertz karena menurut akal sesat mereka dalam frekuensi itulah kaum

setan alas sering berbicara. Selain semua elektronik yang canggih itu

pada setiap ekspedisi mereka juga membekali diri dengan

kemenyan, gaharu, jimat telur biawak, buntat, dan penangkal bala,

serta seekor ayam kate kampung karena seekor ayam dianggap

paling cepat tanggap kalau iblis mendekat.

Mereka secara rutin berkelana. Suatu ketika mereka memasuki

Hutan Genting Apit, tempat paling angker di Belitong. Hutan ini

menyimpan ribuan cerita seram dan yang paling menonjol adalah

fenomena ectoplasmic mist yakni kabut yang bercengkerama sendiri

dan secara alamiah atau mungkin setaniah membentuk wujudwujud tertentu seperti manusia, hewan, atau raksasa. Tak jarang

bentuk-bentuk ini tertangkap kamera film biasa. Para pengendara

yang melalui kawasan ini sangat disarankan untuk tidak melirik kaca

spion karena hantu-hantu penghuni lembah ini biasa menumpang

sebentar di jok belakang.

Di lembah ini mereka memasang alat-alat elektronik tadi di

cabang-cabang pohon untuk mendeteksi gerakan, suara, dan

bentuk-bentuk tak biasa lalu menganalisisnya. Kemudian Genting

Apit menjadi semacam laboratorium alam bagi Societeit. Tempat

yang selalu dihindari orang mereka kunjungi seumpama orang

piknik ke pantai saja.

Tak ayal Societeit juga mendatangi kuburan kuburan keramat,

bermalam di lokasi-lokasi yang terkenal keseramannya,

mengumpulkan cerita-cerita takhayul, dan mencari benda-benda

magis pusaka warisan antah berantah. Mereka diam di tempat yang

ditinggalkan orang karena takut, mereka justru menunggu makhlukmakhluk halus yang membuat orang lain terbirit-birit. Semakin lama

Societeit semakin bergairah dengan aktivitasnya meskipun di sisi lain

masyarakat juga semakin mencemooh mereka. Mereka dianggap

orang-orang aneh yang menghambur-hamburkan waktu untuk halhal tak bermanfaat.

Tak semua kegiatan Societeit tak berguna. Adakalanya

pendekatan ilmiah mereka malah mampu mematahkan mitos.

Misalnya dalam kasus api anggun di atas sebatang pohon jemang

besar. Telah puluhan tahun berlangsung para pengendara sering

ketakutan ketika melintasi sebuah tikungan menuju Manggar karena

pada puncak sebuah pohon jemang besar persis di seberang

tikungan itu sering tampak api berkobar-kobar, Jemang Hantu,

demikian juluk-an tempat angker itu. Kejadian itu selalu tengah

malam setelah turun hujan dan sudah menjadi cerita seram yang

Sulit untuk mengatakan bahwa para pengendara telah salah lihat

apalagi berbohong karena di antara mereka yang telah menyaksikan

pemandangan horor itu adalah Zaharudin bin Abu Bakar, ustad

muda kampung kami yang pantang berdusta.

Maka Societeit turun tangan melakukan semacam riset, Setelah

sepanjang sore turun hujan malamnya mereka mengendap-endap di

sekitar jemang angker tadi untuk melakukan pengamatan. Tak lama

setelah lewat tengah malam mereka memang menyaksikan api

berkobar-kobar di puncak pohon itu namun pada saat itu pula

mengerti jawabannya. Mereka berhasil menghancurkan mitos

angker pohon jemang yang telah puluhan tahun menciutkan nyali

Letupan api itu sesungguhnya berasal dan kabel listrik tegangan

tinggi yang korslet karena air hujan. Tiang kabel itu berjarak kira-kira

120 meter dan puncak pohon dan ketinggian keduanya sepadan

sehingga jika dilihat dan jauh sebelum memasuki tikungan seolaholah letupan korslet yang menimbulkan bunga-bunga api itu

berkobar-kobar dan puncak pohon jemang.

Jika tiba dan pengembaraan mistiknya, Mahar dan Flo selalu

membawa cerita-cerita seru ke sekolah. Misalnya suatu hari mereka

berkisah bahwa di tengah sebuah hutan yang gelap mereka

menemukan kuburan dengan ukuran tambak hampir tiga kali enam

meter dan jarak antara kedua misannya hampir lima meter, Karena

orang Melayu selalu memasang misan di sekitar kepala dan ujung

kaki maka dapat diperkirakan ukuran jasad yang terkubur di

bawahnya adalah ukuran manusia yang luar biasa besar.

Flo memulai kisah bahwa ia menemukan piring-piring dan tanah

hat di sekitar kuburan dengan ukuran seperti dulang dan kondisinya

masih utuh. Ia juga menemukan berbagai jenis kendi yang tidak

rusak dan terkubur dangkal. Flo dengan dingin saja memberi tahu

kami bahwa ia tidur paling dekat dengan misan-misan itu dan tak

sedikit pun merasa takut. Ia menceritakan sebuah pengalaman yang

menderikan bulu kuduk seolah sebuah cerita lucu tentang baru saja

meminumkan susu pada anakanak kucing persia di rumahnya. Ingin

kukatakan padanya bahwa gerabah-gerabah arkeologi itu memang

tidak rusak tapi yang rusak adalah otaknya.

Sebaliknya versi Mahar jauh lebih menarik. Ia memberi

penjelasan pengetahuan tentang hubungan beberapa kuburan

purba bertambak super besar di Behitong dengan teori-teori para

arkeolog terkenal seperti Barry Chamis atau Harold T. Wilkins yang

percaya bahwa pada suatu masa yang lampau manusia-manusia

raksasa pernah menjelajahi bumi. Ia membuat analogi yang

menarik, logis, dan lengkap dengan analisis waktu tentang kuburan

itu dengan hal ikhwal tengkorak manusia raksasa Pasnuta yang

ditemukan di Omaha atau kerangka tak utuh manusia yang digali

dan situs-situs kuburan purba di Dataran Tinggi Golan. Jika

direkonstruksi kerangka-kerangka itu membentuk manusia setinggi

Maka cerita Mahar selalu mengandung ilmu. Dia memang

seorang eksentrik yang berdiri di area abu-abu antara imajinasi dan

kenyataan, tapi tak diragukan bahwa ia cerdas, pemikirannya

terstruktur dengan balk, dan pengetahuan dunia gaibnya amat luas.

Mahar dan Flo duduk santai pada cabang rendah tilicium seperti

para paderi tukang cerita dan sebuah kuil Sikh dan kami, para

Laskar Pelangi, bersimpuh membentuk lingkaran, tercengang

dengan mata berbinar-binar mendengar keajaiban-keajaiban

petilasan mereka dalam dunia magis. Adapun orang lain dan

kejauhan hanya akan melihat ikatan persahabatan Laskar Pelangi

Pada kesempatan lain mereka bercerita tentang petualangan

mencari sebuah gua purba tersembunyi yang belum pernah dijamah

siapa pun. Gua itu konon berada di tengah rimba dan eksistensinya

hanya berdasarkan mitos samar turun-temurun dan sebuah

komunitas kecil terasing yang hidup seperti suku primitif di barat

daya Belitong. Mereka menyebutnya qua qambar. Tak tahu apa

maksud nama itu dan bagi mereka gua itu adalah gua gaib yang tak

‘kan pernah ditemukan.

Mendengar kisah itu Societeit berdiri tehinganya dan merasa

Ketika Societeit mendatangi komunitas yang hanya terdiri dan

sebelas kepala keluarga dan mencari informasi tentang gua gambar,

pawang suku di sana menertawakan mereka.

“Ananda tak ‘kan menemukan gua itu, karena gua itu adalah gua

siluman. Gua itu hanya akan menampakkan diri di malam hari yang

paling gelap, itu pun hanya bisa dilihat oleh orang-orang gunung

terpilih yang tak kita kenal.”

Orang-orang gunung adalah cerita konon yang lain. Kami

menyebutnya orang Tungkup. Mereka tinggal di gunung dan juga

tak pernah dilihat orang kampung.

“Selama tiga hari tiga malam kami berjalan kaki menembus

rimba belantara liar untuk mencari gua itu. Pohon-pohon di sana

sebesar pelukan empat orang dewasa dengan kanopi menjulang ke

langit,” demikian cerita Mahar.

“Saking lebatnya hutan itu sinar matahari tak mampu menembus

permukaan tanah. Pohon-pohon berlumut, gelap dan lembap,

penuh lintah, kelelawar, kadal, macan akar, luak, dan ular-ular

besar,” sambung Flo meyakinkan.

“Kami hampir putus asa, tapi beruntung, pengetahuan Mujis

yang baik tentang kontur hutan akhirnya membimbing kami

menuruni sebuah lembah curam di antara dua gunung dan di dasar

lembah itu, pas menjelang magrib, kami menemukan sebuah g u a!”

Kami ternganga-nganga, merapatkan lingkaran duduk, mendekati

dua petualang sejati yang sangat hebat ini, tak sabar mendengar

“Kami belum yakin apakah itu gua gambar seperti dimaksud

komunitas kuno itu. Wilayah itu sangat sulit ditempuh. Mulut gua

sangat sempit dan ditutupi akar-akar mahoni raksasa, seperti jan-jan

yang sengaja menyamarkan,” demikian kata Flo ekspresif. Ah, Flo

yang cantik, ramping, atletis, dan berkulit putih seindah anggrek

bulan, dikombinasikan dengan cerita petualangan mendebarkan

penuh getaran marabahaya di tengah hutan rimba dan sebuah gua

misteri, sungguh sebuah perpaduan yang mem-buat dirinya tampak

semakin indah, mentalitas dan prinsip-prinsip hidup Flo yang tak

biasa, telah menjadikan dirinya seorang wanita yang sangat

“Ketika kami mendekat, kami terkejut karena beberapa ekor

biawak dan musang yang garang berloncatan keluar dan gua.”

Mahar dan Flo sambung menyambung.

“Setelah menyiangi akar-akar itu akhirnya kami berhasil masuk

“Di dalamnya amat lebar dan memanjang, menjulur ke bawah

seperti sumur yang landai, dingin, gelap, dan ada suara riak-riak

“Ternyata di tengah gua itu ada aliran air yang deras!”

Cerita semakin seru, seperti cerita petualangan Indian Winnetou,

kami duduk terpaku menyimak.

“Kami mencoba menelusuri gua itu, bau amis kotoran kelelawar

menyengat hidung dan membuat perut mual. Sarang laba-laba

hitam besar menutupi celah-celah gua seperti tirai putih berjuntaijuntai. Laba-laba itu demikian besar sehingga cecak dan kelelawar

tersangkut di jaringnya dan mengering karena darahnya telah diisap

serangga maut itu. Lintah merayapi dinding gua, mengincar darah

anak-anak kelelawar.”

“Rantai makanan di dalam gua adalah singkat,

tidak se-perti subekosistem lain di luar!” Flo menambahi.

“Kami terus merambah masuk sampai beratusratus meter tapi tak

menemukan tanda-tanda gua itu akan berakhir.”

“Gua itu seperti tak berujung ...,“ Mahar bercerita dengan penuh

penghayatan sehingga kami merasa seperti berada di dalam gua

yang sangat mencekam itu. Kami merasakan udara dingin,

kegelapan, ketakutan, dan seakan mendengar pekik keleawar dan

percikan air di dalamnya.

“Tapi suara aliran air tadi semakin lama semakin bergemuruh,

kami perkirakan di depan kami ada jurang di bawah tanah yang

amat berbahaya, maka kami memutus-kan untuk beristirahat.”

Wajah Mahar serius, nyali kami ciut ketika menatap-nya, dan dia

melanjutkan cerita seperti orang berbisik.

“Kami agak merapat ke dinding gua untuk menyiapkan peralatan

tidur, ketika aku menaikkan lampu aki untuk mendapat bentangan

cahaya yang lebih besar, aku terkejut melihat bayangan goresangoresan berpola yang samar di dinding licin itu,..,”

Menegangkan sekali. Kami semakin merapat, Sahara menggigit

jarinya, A Kiong berkali-kali menarik napas panjang, Samson tak

berkedip, Lintang menyimak penuh perhatian, Syahdan ketakutan,

Trapani memeluk Harun.

“Kami semua saling berpandangan lalu serentak menaikkan

lampu, dan kami tersentak melihat

“Ternyata kami dikelilingi oleh ribuan goresan simbol-simbol

purba atau huruf-huruf hieroglif primitif yang terhampar di dinding

gua, menjalarjalar misterius sampai ke stalagmit dan stalagtit!”

Rasanya aku mau meloncat dan tempat duduk, dan perut

bawahku ngilu menahan kencing karena perasaan tegang yang

meluap-luap. Kami terpana, bahkan tak mampu mengucapkan

sepatah kata pun. Dadaku berdegup kencang.

“Kemudian di langit - langit gua terdapat beberapa lukisan

paleolitikum yang menggambarkan orang-orang yang tak

berpakaian sedang memakan mentah-mentah seekor burung besar

“Sebuah gua antediluvium dengan seni lukis gua yang

memukau!” sambung Flo.

Sekarang kami mengerti mengapa komunitas terasing tadi

menyebut gua itu gua gambar.

“Ada lukisan kucing pohon, tombak kayu, ular tanah, bulan, dan

“Kami memutuskan untuk tidur di bagian itu ...,“ kata Mahar

pelan. Raut wajahnya memperlihatkan bahwa ia masih memiliki

sebuah kejutan lain yang tak kalah misteriusnya. Maka dada kami

“Aku tak bisa tidur sepanjang malam. Ketika semua anggota

Societeit terlelap karena kelelahan aku melamun dan memerhatikan

dengan saksama simbol-simbol yang berserakan tak teratur meme

nuhi dinding dan langit-langit gua.”

Kami terpaku, pasti akan terjadi sesuatu yang ajaib.

“Lalu aku merasa simbol-simbol itu seperti diam-diam terangkai

sendiri dan membisikkan sesuatu ke telingaku. ..“

Oh, jantungku berdebar-debar.

“Tapi semuanya tak jelas, hingga aku merasa Ielah dan

Kami menunggu kejutan besar itu.

“Namun tak lama kemudian, antara tidur dan terjaga, aku

mendengar suara gemerisik seperti jutaan semut mendekatiku, dan

agaknya ribuan simbol-simbol samar itu menjadi hidup lalu

memberiku semacam mimpi, semacam wangsit, semacam gambaran

masa depan ... semua ini tak pernah kuceritakan pada siapa pun!”

Kami semakin merapat, sangat penasaran.

“Apakah wangsit itu saudaraku Mahar??!!’ A Kiong berteriak tak

sabar menunggu terkuaknya sebuah misteri besar. Ia sedikit merayu.

Suaranya tercekat dan bergetar. Bahkan Flo tampak tegang.

Rupanya ia sendiri belum pernah mendengar wangsit ini.

Mahar menarik napas panjang sekali, agaknya ia merasa berat

membocorkan kisah ini. “Begini ...,“ katanya serius,

“Mimpi itu memperlihatkan bahwa sebuah kekuatan besar di

Pulau Belitong akan segera runtuh, Orang-orang Melayu Belitong

akan jatuh melarat dan kembali berperikehidupan seperti zaman

purba dulu, yaitu bernafkah secara bersahaja dan hasilhasil laut dan

Sebaliknya, dunia luar akan maju demikian pesat. Penggunaan

kompu-ter akan merasuki seluruh segi kehidupan. Penggunaan

komputer yang merajalela itu menyebabkan praktikpraktik akuntansi

tak lama lagi akan punah....“

SEPERTI layaknya sesuatu yang sederhana, maka tragedi atau

drama semacam opera sabun tak pernah terjadi di sekolah

Muhammadiyah. Sekolah itu demikian teduh dalam kiprahnya,

tenang dalam kesahajaannya, bermartabat dalam kesederhanaannya, dan tenteram dalam kemiskinannya.

Namun kali ini berbeda, mendung tebal bergelayut rendah siap

menumpahkan murka di atap sekolah itu karena dua warganya

semakin lama semakin tidak waras sehingga kelangsungan

pendidikan keduanya terancam.

Lebih dan itu tingkah laku keduanya merongrong reputasi

sekolah Muhammadiyah yang ketat menjaga nilai-nilai moral Islami.

Dan tak tanggung-tanggung, rongrongan itu berupa pelanggaran

paling berat dalam konteks moral itu sendiri yakni: kemusyrikan

Kedua makhluk dramatis itu tentu saja sudah sangat dikenal: Mahar

Seiring dengan euforia organisasi rahasia Societeit yang mereka

inisiasi, nilai-nilai ulangan Mahar dan Flo persis penerjun yang

terjun dengan parasut cadangan yang tak mengembang terjun

bebas. Rapor terakhir mereka memperlihatkan deretan angka

merah seperti punggung dikerok. Umumnya angka-angka biru

hanya untuk mata pelajaran pembinaan kecakapan khusus, yaitu

kejuruan agraria, kejuruan teknik, ketatalaksanaan, dan bahasa

Indonesia, itu pun hanya untuk bidang bercakap-cakap dan

mengarang. Nilai Flo adalah yang paling parah. Matematika, bahasa

Inggris, dan IPA hanya mendapat angka 2. Meskipun bapaknya

telah menyumbang papan tulis baru, lonceng, jam dinding, dan

pompa air untuk Muhammadiyah namun Bu Mus tak peduli, beliau

tak sedikit pun sungkan menganugerahkan angka-angka bebek

berenang itu di rapor Flo karena memang itulah nilai anak Gedong

Mahar dan Flo berada dalam situasi kritis dan sangat mungkin

dilungsurkan ke kelas bawah karena tidak bisa mengikuti Ebtanas.

Surat peringatan telah mereka terima tiga kali.

Menanggapi masalah gawat ini diam-diam Bapak Flo melakukan

konspirasi dengan Bu Frischa untuk menghasut Flo agar kembali ke

sekolah PN. Lagi pula di sekolah PN Bu Frischa telah menjamin nilai

yang tak memalukan di rapor Flo. Untuk keperluan penghasutan itu

Bu Frischa mengutus seorang guru pria muda yang flamboyan di sekolah PN agar dapat mendekati Flo,

Sore itu kami sekelas baru saja pulang menonton pertandingan

sepak bola dan melewati pasar. Bu Frischa dan guru flamboyan tadi

sedang berbelanja. Flo yang mengenakan celana dan jaket jin belel

mendekati Bu Frischa seperti gaya berjalan koboi yang akan duel

“Nama saya Flo, Floriana,” kata Flo sambil berusaha menyalami

Bu Frischa. Pria flamboyan itu mengangguk santun dan

melemparkan senyum termanisnya untuk Flo.

“Tolong bilang pada pria tengik ini, saya tak ‘kan pernah

meninggalkan Bu Muslimah dan sekolah Muhammadiyah ....“

Flo berlalu begitu saja, Bu Frischa dan sang pria flamboyan

terpana, dan ide untuk menghasutnya tak pernah terdengar lagi.

Nilai-nilai rapor Mahar dan Flo hancur karena agaknya mereka

sulit berkonsentrasi sebab terikat pada komitmen-komitmen kegiatan

organisasi, dan lebih dan itu, karena mereka semakin tergila-gila

dengan mistik. Hari demi hari pendidikan mereka semakin

memprihatinkan. Tapi bukan Mahar dan Flo namanya kalautidak

kreatif. Mereka sadar bahwa mereka menghadapi tradeoff, dua sisi

yang harus saling menyisihkan, memilih sekolah atau memilih

kegiatan organisasi paranormal. Sekolah sangat penting namun

godaan untuk berkelana menyibak misteri gaib sungguh tak

tertahankan. Mereka tidak ingin meninggalkan keduanya.

Lalu tak tahu siapa yang memulai tiba-tiba mereka muncul

dengan satu gagasan yang paling absurd. Karena tak ingin

kehilangan sekolah dan tak ingin meninggalkan hobi klenik maka

mereka berusaha menggabungkan keduanya. Mahar dan Flo akan

mencari jalan keluar mengatasi kemerosotan nilai sekolah melalui

cara yang mereka paling mereka kuasai, yaitu melalui jalan pintas

dunia gaib perdukunan. Sebuah cara tidak masuk akal yang unik,

lucu, dan mengandung mara bahaya.

Mahar dan Flo sangat yakin bahwa kekuatan supranatural dapat

memberi mereka solusi gaib atas nilai-nilai yang anjlok di sekolah.

Dan mereka tahu seorang sakti mandraguna yang dapat membantu

mereka dan kesaktiannya telah mereka buktikan sendiri melalui

Orang sakti ini secara ajaib telah menunjukkan jalan untuk

menemukan Flo ketika ia raib ditelan hutan Gunung Selumar tempo

hari. Orang supersakti itu tentu saja Tuk Bayan Tula. Menurut

anggapan mereka masalah sekolah ini hanyalah masalah kecil

seujung kuku yang tak ada artinya bagi raja dukun itu. Mereka

percaya manusia setengah peri itu bisa dengan mudah membalikkan

angka enam menjadi sembilan, empat menjadi delapan, dan merah

Setelah menemukan rencana solusi yang sangat andal itu Mahar

dan Flo tertawa girang sekali sampai meloncat-loncat. Flo

menunjukkan kekagumannya pada kneativitas Mahar dalam

memecahkan masalah mereka. Mendunq yang menghiasi wajah

mereka setiap kali dimarahi Bu Mus kini sirna sudah. Di dalam kelas

mereka tampak sumringah walaupun tidak sedikit pun belajar.

Seluruh anggota Societeit menyambut antusias ide ketuanya

untuk mengunjungi Tuk Bayan Tula. Para anggota ini sebenarnya

telah lama mengidamkan pertemuan dengan Tuk, idola mereka itu,

namun niat itu terpendam karena mereka takut

mengungkapkannya, bahkan membayangkannya saja mereka tak

berani. Apalagi tersiar kabar bahwa Tuk tak menerima semua orang.

Hanya nasib yang menentukan apakah Tuk berkenan atau tidak.

Dan tragisnya, jika Tuk tak berkenan biasanya yang

mengunjunginya tak pernah kembali pulang. Ketika Mahan

beninisiatif ke sana para anggota menyambut usulan yang memang

telah mereka tunggu-tunggu. Meneka siap menerima risiko asal

dapat melihat wajah Tuk walau hanya sekali saja.

Kunjungan ke Pulau Lanun untuk menjumpai Tuk merupakan

ekspedisi paling penting dan puncak seluruh aktivitas paranormal

Societeit. Mereka mempersiapkan diri dengan teliti dan

mengerahkan seluruh sumber daya karena perjalanan ke Pulau

Lanun tak mudah dan biayanya sangat mahal. Mereka harus

menyewa perahu dengan kemampuan paling tidak 40 PK, jika tidak

maka akan memakan waktu sangat lama dan tak ‘kan kuat melawan

ombak yang terkenal besar di sana.

Kemudian mereka harus menyewa seorang nakhoda yang

berpengalaman dan suku orangorang berkerudung. Karena ia

berpengalaman dan tak mau mati konyol sebab ia tahu reputasi Tuk

maka harga jasa nakhoda ini juga sangat mahal.

Akibatnya Mahar rela menggadaikan sepeda

warisan kakeknya, Flo menjual kalung, cincin, gelang, dan

merelakan tabungan uang saku selama dua bulan yang ada dalam

tas rajutannya. Mujis melego hartanya yang paling berharga, yaitu

sebuah radio transistor dua band merk Philip, si peng-angguran

menggaruk-garuk sampah untuk tambahan ongkos, sang mahasiswa

drop out meminjam uang pada bapaknya, dan si pemain organ

tunggal menggadaikan elec-tone Yamaha PSR sumber nafkahnya.

Adapun orang Tionghoa yang menjadi tukang sepuh emas

memecahkan celengan ayam jago disaksikan tangisan anakanaknya, si petugas teller BRI kerja lembur sampai tengah malam,

sang pensiunan syah bandar menggadaikan lemari kaca yang

digotong empat orang dan menimbulkan keributan besar dengan

istrinya, sementara aku sendiri merelakan koleksi uang kunoku dibeli

Kami berdebar-debar menunggu hari H dan ketika uang

patungan digelar di atas meja gaple, terkumpul uang sebanyak Rp

1,5 juta! Luar biasa.

Uang yang sebagian besar logam itu bergemerincingan

bertumpuk-tumpuk. Aku gemetar karena seumur hidupku tak

pernah melihat uang sebanyak itu, apalagi karena sebagai sekretaris

Societeit aku harus menyimpannya. Aku genggam uang itu dan

terkesiap pada perasaan menjadi orang kaya. Ternyata jika kita

telah menjadi orang miskin sejak dalam kandungan, perasaan itu

Kami bersorak karena inilah dana terbesar

yang berhasil kami kumpulkan. Aku menyimpan uang itu di

dalam saku dan terus-menerus memegangnya. Tiba-tiba semua

orang tampak seperti pencuri. Kadang-kadang uang memang punya

pengaruh yang jahat. Setelah mendapatkan perahu dan

bernegosiasi alot dengan nakhoda akhirnya pas tengah hari kami

Pada awalnya perjalanan cukup lancar, ikan lumba-lumba

berkejaran dengan haluan perahu, cuaca cerah, angin bertiup sepoisepoi, dan semua penumpang bersukacita. Namun, menjelang sore

angin bertiup sangat kencang. Perahu mulai terbanting-banting tak

tentu arah, meliuk-liuk mengikuti ombak yang tiba-tiba naik turun

dengan kekuatan luar biasa. Dan ombak itu semakin lama semakin

tinggi. Dalam waktu singkat keadaan tenang berubah menjadi horor.

Semakin ke tengah laut perahu semakin tak terkendali. Sama sekali

tak diduga sebelumnya ombak mendadak marah dan langit mulai

mendung. Badai besar akan menghantam kami. Semua penumpang

pucat pasi. Terlambat untuk kembali pulang, lagi pula perahu sudah

Kadang-kadang sebuah gelombang yang dahsyat menghantam

lambung perahu hingga terdengar suara seperti papan patah. Aku

menyangka perahu kami pecah dan kami akan karam dan

berserakan di laut lepas i. Gelombang itu mengangkat perahu

setinggi empat meter kemudian menghempaskannya seolah tanpa

beban. Kami terhunjam bersama ombak besar yang menimbulkan

lautan buih putih meluap-luap mengerikan. Ombak sudah demikian

ganas, sedangkan badai yang sesungguhnya belum tiba.

Aku melihat wajah nakhoda yang sudah berpengalaman itu dan

jelas sekali ia cemas, membuat kami menjadi semakin gamang.

Nakhoda menunjuk jauh ke arah depan, di sana tampak sebuah

pemandangan yang membuat kami merinding hebat, yaitu

gumpalan awan gelap bergerak pasti menuju ke arah kami dengan

kilatan-kilatan halilintar sam-bung menyambung di dalamnya. Badai

besar akan segera datang menggulung kami.

Nakhoda mencoba membalikkan arah perahu tapi mesin 40 PK

itu tak berdaya dan jika menelusuri gelombang yang demikian tinggi

nakhoda khawatir perahu akan tertelungkup. Maka tak ada pilihan

baginya kecuali menyonsong awan yang gelap kelam itu. Kami tak

berdaya seperti diombangambingkan oleh sebuah tangan raksasa

dan tangan itu justru mengumpankan kami kepada badai. Dalam

waktu singkat badai sudah tiba di atas kami dan angin puting

beliung memboyakkan perahu tanpa ampun.

Hujan sangat lebat dan suasana menjadi gelap. Sambaransambaran kilat yang sangat dekat dengan perahu menimbulkan

pemandangan yang menciutkan nyali.

Ketika pusaran angin menusuk permukaan laut, kira-kira dua

puluh meter di samping kami, seluruh tubuhku gemetar melihat

semburan air besar tumpah di atas perahu. Perahu berputar-putar di

tempat seperti gasing. Kami terpeleset dan telentang di sepanjang

geladak, berusaha saling memegangi agar tak tumpah dan perahu.

Nakhoda bertindak cepat menurunkan layar yang koyak dihantam

angin, menutup palka, menjauhkan benda-benda tajam, dan

mematikan mesin. Lalu ia berteriak kencang memerintahkan kami

agar mengikat tubuh masing-masing ke tiang layar. Kami melilitlilitkan tali beberapa kali seputar lingkar pinggang dan

menyimpulkan ujungnya dengan simpul mati kemudian

mengikatkan diri dengan cara yang sama ke tiang layar. Usaha ini

dilakukan agar kami tak terpelanting ke laut.

Kami segera sadar bahwa situasi telah menjadi gawat, nyawa

kami berada di ujung tanduk. Begitu cepat alam berubah dan

pelayaran yang damai beberapa waktu lalu hingga menjadi usaha

mempertahankan hidup yang mencekam saat in Kami dibukakan

Allah sebuah lembar kitab yang nyata bahwa kuasaNya demikian

besar tak terbatas. Kami berkumpul membentuk iingkaran kecil

mengelilingi tiang layar. Tangan kami bertumpuk-tumpuk berusaha

menggengam tiang itu. Bahu kami saling bersentuhan satu sama

lain. Kami seperti orang yang bersatu padu menjelang ajal.

Hampir satu jam kami masih tak tentu arah. Aku melihat haluan

perahu berpendar-pendar dan kepalaku pusing seolah akan pecah.

Ketika kulihat Mujis menghamburkan muntah, perutku serasa

diaduk-aduk dan dalam waktu singkat aku pun muntah.

Pemandangan berikutnya adalah setiap orang di atas perahu

menyemburkan seluruh isi perutnya, termasuk nakhoda kapal yang

telah berpengalaman puluhan tahun. Aku mencapai tingkat puncak

mabuk laut ketika tak ada lagi yang bisa dimuntahkan dan yang

keluar hanya cairan bening yang pahit. Semua penumpang perahu

Kami sudah pasrah di atas perahu yang terangkat tinggi lalu

terhempas dahsyat bak sepotong busa di atas samudra yang

mengamuk. Inilah pengalaman terburuk dalam hidupku. Saat itu

aku amat menyesal telah ikut campur dalam ekspedisi orang-orang

gila Societeit untuk menemui seorang dukun yang bahkan tak peduli

dengan hidupnya sendiri. Tak adil mempertaruhkan nyawa untuk

orang yang tidak menghargai nyawa. Aku memandang permukaan

laut yang biru gelap dengan kedalaman tak terbayangkan dan dunia

asing di bawah sana. Aku merasa sangat ngeri jika tenggelam.

Wajah nakhoda tak memperlihatkan harapan sedikit pun. Ia juga

telah mengikatkan tubuhnya ke tiang layar. Ia terpekur menunduk

dalam, tangannya yang kuat dan tua berurat-urat memegang kuat

tiang layar, berebutan dengan tangan-tangan kami. Jika kami

tenggelam maka di dasar laut mayat kami akan melayang-layang di

ujung simpul-simpul tali yang mengikat tubuh kami seperti suraisurai gurita. Sebagian besar penumpang mengalirkan air mata putus

asa. Namun, Flo sama sekali tak menangis. Sebelah tangannya

menggenggam tiang layar, bibirnya membiru, dan wajahnya

menengadah menantang langit. Wanita itu tak pernah takluk pada

Tak ada tanda-tanda ombak akan reda, bahkan semakin

Tinggal menunggu waktu kami akan terbenam karam, Dan saat

yang menakutkan itu datang ketika dari jauh kami melihat

gelombang yang sangat tinggi, hampir tujuh meter. Inilah

gelombang paling besar dalam badai ini

Kami gemetar dan berteriak histeris. Dalam waktu beberapa detik

hentakan gelombang dahsyat itu menerjang perahu dan

mematahkan tiang layar yang sedang kami pegang. Tiang itu patah

dua dan bagian yang patah meluncur deras menuju buritan

membingkas tiga keping papan di lambung perahu sehingga kapal

bocor dan air masuk berlimpahlimpah. Mujis, Mahar, dan orang

Tionghoa yang berpegangan pada sisi belakang layar tertendang

patahan tadi dan terpelanting ke geladak. Jika tak dihalangi tutup

palka mereka sudah jadi santapan samudra. Mereka menjerit-jerit

ketakutan, menimbulkan kepanikan yang mencekam. Aku berpikir

inilah akhir hayatku, akhir hayat kami semua, laut ini akan segera

memerah karena ikan-ikan hiu berpesta pora. Namun pada saat

paling genting itu aku mendengar samar-samar suara orang

berteriak. Rupanya syah bandar melepaskan pegangannya dan tiang

layar dan mengumandangkan azan berulangulang. Kami masih

terlonjak-lonjak dengan hebat dan air mulai menggenangi geladak

tapi lonjakan perahu tiba-tiba reda. Anehnya segera setelah azan itu

selesai perlahan-lahan gelombang turun,

Gelombang laut yang meluap-luap berbuih mengerikan tiba-tiba

surut seperti dihisap kembali oleh awan yang gelap. Kami terkesima

pada perubahan yang drastis. Ombak ganas menjadi semakin jinak.

Hanya dalam waktu beberapa menit angin berhenti bertiup

seperti kipas angin yang dimatikan. Badai yang mencekam nyawa

lenyap seketika seperti tak pernah terjadi apa-apa. Tak lama

kemudian seberkas sinar menyelinap di antara gumpalan awan

hitam, mengintip-intip dan gumpalan-gumpalan kelam yang

memudar, Meskipun kami tak tahu sedang berada di perairan mana

namun kami bersyukur kepada Allah berulang-ulang, bahkan

menangis haru. Setidaknya harapan muncul kembali. Lalu kami

bergegas menimba air yang memenuhi perahu. Permukaan laut

yang luas tak terbatas menjadi amat tenang seperti permukaan

Kami memandang jauh ke laut dan tak berkata-kata karena

masih gentar pada bencana yang baru saja mengancam. Flo

tersenyum puas. Ia telah membuktikan bahwa ketika maut tercekat

di kerongkongannya ía tetap tak takut, Sebelum menemui Tuk

Bayan Tula, ía telah mencapai salah satu tujuannya. Pengalaman

seperti tadilah yang sesungguhnya ía can.

Awan perlahan-lahan menjadi gelap, bukan karena akan badai

tapi karena senja telah turun, Nakhoda berusaha mempenkirakan

posisi kami. Ia membaca bulan dan bintang di atas langit yang cerah

karena cahaya purnama hari kedua belas. Ia menghidupkan mesin

dan perahu bengerak pelan menuju arah sesuai hempasan badai.

Beranti badai tadi telah membuang kami jauh tapi ke arah yang

memang kami tuju. Tak lama kemudian nakhoda kembali

Beliau benjalan menuju haluan dan menyuruh kami diam.

Pantulan sinar bulan berkilau-kilauan di permukaan laut lepas

sejauh mata memandang. Perahu pelan-pelan menembus benteng

kabut yang tebal. Sunyi senyap seperti suasana danau di tengah

nimba. Ada penasaan senam diam-diam menyelinap.

Nakhoda mengawasi jauh ke depan dengan mata tajamnya yang

terlatih. Kami cemas mengantisipasi bahaya lain yang akan datang,

mungkin perompak, munqkin binatang yang besar, atau mungkin

badai lagi. Kami melihat bayangan hitam gelap di depan kami tapi

sangat tak jelas karena tertutup halimun yang semakin tebal. Kami

ketakutan. Tiba-tiba nakhoda menunjuk lurus ke depan dan

mengatakan sesuatu dengan suaranya yang serak.

Kami serentak bendini terperangah dan tepat ketika beliau selesai

menyebutkan nama pulau itu terdenganlah lolongan segerombolan

anjing melengking-lengking mendirikan bulu kuduk, seperti

menyambut tamu tak diundang.

Teronggok sepi seperti sebuah benda asing yang dikelilingi

samudna, Pulau Lanun tampak kecil sekali. Ada puluhan pohon

kelapa di sisi timurnya

dan daun-daun kelapa itu berkilauan laksana lampu-lampu neon

yang berkibar-kibar karena pantulan sinar purnama. Di tengah

pulautumbuh pohon-pohon besar yang rindang di antara ilalang

dan bongkahan-bongkahan batu. Lolongan anjing semakin panjang

dan menjadi-jadi ketika perahu menyelusuri naungan dahan-dahan

bakau, mendekati Pulau Lanun. Pada baqian ini cahaya bulan tak

tembus dan terang hanya kami dapat dan lampu pelita kecil yang

berayun-ayun di tiang layar. Di bawah naungan daun-daun bakau

itu kami disergap perasaan takut yang sulit dijelaskan.

Di dalam hati aku mencoba merekonstruksi perasaan yang

dialami utusan pawang angin tempo hari dan sejauh ini semuanya

tepat. Mereka mengatakan nuansa magis mulai terasa ketika perahu

mendekati pulau, hal itu benar. Saat perahu merapat rasanya

tengkuk ditiup-tiup oleh angin yang jahat dan mulut ribuan hantu

tak kasatmata yang membuntuti kami. Ada sebuah pengaruh mistis

dan udara kuburan. Ada rasa kemurtadan, pengkhianatan, dan

pembangkangan pada Tuhan. Ada jerit kesakitan dan binatang yang

dibantai untuk ritual sesat dan tercium bau amis darah, bau mayatmayat lama yang sengaja tak dikubur, bau asap dupa untuk

memanggil iblis, dan bau ancaman kematian.

Kabut yang beterbangan agaknya makhluk suruhan gentayangan

yang mengawasi setiap gerak-gerik kami. Bangkai-bangkai perahu

perompak yang pemiliknya telah dipenggal Tuk Bayan Tula

berserakan hitam dan hangus. Pakaian-pakaian lengkap manusia

memperlihatkan mayat mereka tak pernah diurus sang datuk. Jika ia

ingin menyembelih kami tak ada hukum yang akan membela kami

di sini. Kami seperti menyerahkan leher memasuki sumur sarang

makhluk jadi-jadian karena tak mampu mengekang nafsu ingin

Anjing-anjing yang melolong dalam kesenyapan malam tak

tampak bentuknya. Kadang kala terdengar seperti bayi yang

menangis atau nenek tua yang memohon ampun karena jilatan api

Suara-suara ni mematahkan semangat dan menciutkan nyali.

Sungguh besar sugesti Tuk Bayan Tula dan sungguh hebat

pengaruh magis legendanya sehingga menciptakan kesan

mencekam seperti in Saat itu kuakui bahwa beliau apa pun

bentuknya memang orang yang berilmu sangat tinggi. Daya bius

magis Tuk Bayan Tula menisbikan pengalaman bertaruh dengan

maut ketika badai menghantam perahu kami beberapa waktu yang

lalu. Seperti kharisma binatang buas yang membuat mangsanya tak

berkutik sebelum diterkam, demikianlah kharisma Tuk Bayan Tula.

Walaupun sinar purnama kedua belas terang tapi semuanya

tampak kelam. Kami berjalan pelan beriringan menuju kelompok

pohon-pohon rindang dan batu-batu tadi. Di situlah Tuk Bayan

Tula, orang tersakti dan yang paling sakti, raja semua dukun, dan

manusia setengah pen tinggal. Kami gemetar namun tampak jelas

setiapanggota Societeit telah menunggu momen ini sepanjang

Tiba-tiba, seperti dikomando, suara lolongan anjing berhenti,

diganti oleh kesenyapan yang mengikat. Burung-burung gagak

berkaok-kaok nyaring di puncak pohon bakau yang tumbuh subur

sampai naik ke daratan.

Suasana semakin seram ketika kami menerabas ilalang dan

menjumpai beberapa punsuk menyembul-nyembul seperti iblis

bersembuyi di celah-celah perdu tebal. Punsuk adalah istilah orang

Kek untuk menyebut gundukan tanah seperti makam-makam kuno.

Punsuk selalu identik dengan rumah berbagai makhluk halus, lebih

dan itu karena ia kelihatan seperti kuburan-kuburan Belanda, maka

padang kecil ini terkesan sangat angker.

Akhirnya, kami tiba di sebuah rongga yang disebut gua oleh

utusan dulu, Gua itu adalah celah antara dua batu be-sar yang

bersanding tidak simetris. Itulah rumah Tuk Bayan Tula. Kengerian

semakin mencekam tapi apa pun yang terjadi semuanya telah

terlambat karena kami melihat se-belas pelepah pinang tergelar di

mulut rongga batu. Kami menjual dan datuk telah membeli. Kami

telah disambut dan harus siap dengan risiko apa pun.

Kami tak langsung duduk karena dilanda ketakutan apa-lagi di

dalam gua terlihat kain tipis berkelebat lalu pelan-pelan seperti asap

yang mengepul dan tumpukan kayu basah yang dibakar muncul

sebuah sosok tinggi besar. Dengan mata kepalaku sendiri aku

menyaksikan bahwa sosok itu tidak menginjak bumi. Ia seperti

mengambang di udara, bergerak maju mundur seumpama benda

tak berbobot. Belum pernah seumur hidupku menyaksikan

pemandangan seajaib itu. Dialah sang orang

sakti, manusia setengah pen, Tuk Bayan Tula.

Tanpa sempat kami berpikir tiba-tiba sosok itu melesat seperti

angin dan telah berdiri tegap kukuh di depan kami. Kami

terperanjat, serentak terjajar mundun, dan nyaris Lari pontangpanting. Tapi kami menguatkan hati. Tuk Bayan Tula benada dua

meter dan kami yang takzim mengelilinginya. Beliau adalah

seseorang yang sungguh-sungguh mencitnakan dirinya sebagai

orang sakti benilmu setinggi langit. Kain hitam melilit-lilit tubuhnya,

parang panjangnya masih sama dengan cenita utusan dulu, rambut,

kumis, dan jenggotnya lebat tak tenunus, benwanna putih

bercampur cokelat. Tulang pipinya sangat keras mengisyanatkan ia

mampu melakukan kekejaman yang tak tenbayangkan dan dan

alisnya mencerminkan ia tak takut pada apa pun bah-kan pada

Tuhan. Namun, yang paling menonjol adalah matanya yang

benkilat-kilat seperti mata burung, selunuhnya berwarna hitam,

Sedikit banyak, apa pun yang akan terjadi, aku merasa beruntung

pernah melihat legenda hidup ini.

Tuk Bayan diam mematung. Selunuh anggota Societeit

memandanginya. Bertarung nyawa ke pulau ini agaknya tenbayan

karena telah melihat tokoh panutan mereka. Tak sedikit pun

kenamahan ditunjukkan Tuk. Lalu beliau duduk dan kami juga

duduk di sebelas pelepah pinang yang secara misterius telah beliau

sediakan. Mahar tampak sangat terpesona dengan sang datuk,

baginya ini mimpi yang menjadi kenyataan. Tapi ia masih tak berani

mendekat karena takut. Maka Flo bangkit menghampiri Mahar,

menarik tangannya, dan wanita muda luar biasa itu tanpa tedeng

aling-aling menyeret Mahar menghadap datuk.

Selanjutnya dengan amat berhati-hati Mahar berbisik pada sang

datuk. Tuk memandang jauh ke samudra yang berkilauan tak peduli

meskipun Mahar menceritakan bahaya maut yang kami alami untuk

menjumpainya. Suara Mahar terdengar sayup-sayup

“... ombak setinggi tujuh meter ....“

“... badai ... angin puting beliung ... tiang Iayar patah ...

Tuk Bayan Tula mendengarkan tanpa minat. Mahar melanjutkan

kisahnya hingga sampai kepada tujuan utama kedatangannya.

“... saya dan Flo akan diusir dan sekolah ....°

“... sudah mendapat surat peringatan karena nilai-ni-lai yang

“... minta tolong agar kami bisa lulus ujian ....“

“... minta tolong Datuk, tak ada lagi harapan lain . ..

“... dimarahi orangtua dan guru setiap hari .. .

Kami diam seribu basa dan terus-menerus memandangi Tuk dan

ujung kaki sampai ujung rambut.

Tiba-tiba tak dinyana, Datuk memalingkan wajahnya pada

Mahar dan Flo. Kedua anak nakal itu pucat pasi. Tuk memegang

pundak Mahar sambil mengangguk-angguk. Mahar berseri-seri

bukan main seperti korban longsor dicium presiden. Para anggota

Societeit tampak bangga ketuanya disentuh dukun sakti pujaan hati

mereka. Mahar mengerti apa yang harus dilakukan. Ia

mengeluarkan sepucuk surat dan sebuah pena lalu menyerahkannya

dengan penuh hormat pada Tuk. Datuk itu mengambilnya dan

dengan kecepatan yang tak masuk akal beliau kembali masuk ke

Selanjutnya terjadi sesuatu yang sangat aneh, Dan dalam gua

terdengar suara keras bantinganbantingan seperti sepuluh orang

sedang berkelahi. Kami terlonjak dan tempat duduk, berkumpul

rapat-rapat, mamandang waspada ke dalam gua. Kami mendengar

suara auman seekor binatang buas bersuara menakutkan yang

belum pernah kami dengar sebelumnya.

Jelas sekali di dalam sana Tuk Bayan Tula sedang bertarung

habis-habisan dengan makhlukmakhluk besar yang ganas. Rupanya

untuk memenuhi permintaan Mahar beliau harus mengalahkan

ribuan hantu. Seberkas penyesalan tampak di wajah Mahar. Ia tak

sanggup menanggungkan beban jika tokoh kesayangannya harus

tewas karena permohonannya.

Debu mengepul dan pasir Iantai gua karena makhluk-makhluk

liar bergumul di dalamnya. Kami bergidik cemas tapi tak berani

mendekat. Kami menunduk memejamkan mata membayangkan

risiko maut. Lalu piring kaleng, panci, tulang-tulang ikan, tempurung

kelapa, tungku, cangkir, cambuk, parang, dan sendok terlempar

keluar gua dan ber-serakan di dekat kami. Di antara benda-benda

itu terdapat primbon, penanggalan tradisional Bali, peta laut, dan

heberapa kitab lama bertulisan tangan bahasa Melayu kuno dan

Pertempuran demikian seru hingga akhirnya terdengar jeritan

kekalahan. Lalu kami melihat puluhan sosok bayangan lelembut

berbentuk seperti jasad terbungkus kain kafan hitam beterbangan

melesat cepat keluar dan dalam gua menembus pucuk-pucuk pohon

santigi menghilang ke arah laut. Anjing-anjing hutan kembali

melolong agaknya lolongan anjing-anjing itu memaki-maki

gerombolan hantu yang telah dikalahkan Tuk Bayan Tula.

Tuk Bayan Tula kembali hadir di mulut gua dalam keadaan

terengah-engah, compang-camping, dan berantakan. Aku sangat

prihatin melihat orang sakti sampai terseok-seok seperti itu. Demi

memenuhi permintaan Mahar dan Flo agar tak diusir dan sekolah

beliau telah mempertaruhkan jiwa.

Tuk mengangkat gulungan kertas pesannya tinggi-tinggi seakan

mengatakan, ‘Lihatlah wahai manusia-manusia cacing tak berguna,

siapa pun, kasat atau siluman tak ‘kan sanggup melawanku. Aku

telah membinasakan iblis-iblis dan dasar neraka untuk membuat

keajaiban yang membalikkan hukum alam. Nilai-nilai ujianmu akan

melingkar sendiri dalam kegelapan untuk menyelamatkanmu di

sekolah tua itu. Terimalah hadiahmu, karena engkau anak muda

pemberani yang telah menantang maut untuk menemuiku ....“

Tuk menyerahkan gulungan kertas itu yang disambut Mahar

dengan kedua tangannya seperti gelandangan yang hampir mati

kelaparan menerima sedekah. Mahar memasukkan gulungan kertas

ke dalam tempat bekas bola badminton dengan amat hati-hati dan

menutupnya rapat-rapat seperti arsitek menyimpan cetak biru

bangunan rahasia tempat menyiksa aktivis. Kotak itu

dimasukkannya ke dalam jaketnya. Tuk memberi isyarat agar kertas

itu dibuka setelah kami tiba di rumah dan menunjuk ke perahu agar

kami segera angkat kaki. Tak sempat kami mengucapkan terima

kasih, secepat kilat, seperti angin Tuk Bayan Tula lenyap dan

pandangan, sirna ditelan gelap dan asap dupa gua

Kami Lari tenbirit-birit menuju perahu. Nakhoda segera

menghidupkan mesin. Kami langsung kabur pulang. Mahar

memegangi kotak bola badminton di jaketnya tak lepas-lepas.

Wajahnya senang bukan main. Flo juga tersenyum lega. Kentas

itulah sertifikat asuransi pendidikan mereka. Kami semua sepakat

akan membuka surat itu besok se-pulang sekolah di bawah flhcium.

Tengah hari itu banyak orang berkumpul di bawah pohon

filicium. Selunuh teman sekelasku, seluruh anggota Societeit

termasuk nakhoda yang juga menyatakan minat mendaftar sebagai

anggota baru, dan para utusan tendahulu yaitu dua orang dukun,

kepala suku Sawang, dan seorang polisi senior. Karena berita kami

mengunjungi Tuk Bayan Tula telah tersebar ke seantero kampung

maka dalam waktu singkat reputasi Societeit melejit.

Semua orang tahu betapa besarnya risiko mengunjungi Pulau

Lanun, yaitu ombak yang ganas, ikan-ikan hiu, dan kekejaman Tuk

Bayan Tula sendiri. Maka dalam pembukaan pesan Tuk siang ini

banyak sekali yang hadir. Kulihat ada Tuan Pos, para calon anggota

baru Societeit yang bersemangat karena reputasi baru organisasi,

beberapa penjaga dan pemilik warung kopi, beberapa orang tukang

gosip, tukang ikan, juraganjuragan perahu, dan beberapa

penggemar para norma’ tingkat pemula.

Setelah seluruh guru pulang Mahar dan Flo keluar dan kelas

dengan wajah berseri-seri. Langkahnya ringan karena beban

hancurnya nilainilai ulangan yang telah sekian lame menggelayut di

pundak mereka akan segera sirna. Mereka yakin sekali pesan Tuk

akan menyelamatkan masa depannya.

Parapsikologi, metafisika, dan paranormal terbukti bisa memasuki

area mana pun, demikian kesan di wajah keduanya. Lalu kesan lain:

kalian boleh membaca buku sampai bola mata kalian meloncat tapi

Tuk Bayan Tula akan membuat kami tampak lebih pintar, atau: belajarlah kalian sampai muntah-muntah dan kami akan terus

mengembara mengejar pesona dunia gaib, tapi tetap naik kelas

sampai tingkat berapa pun.

Mahar dengan cermat mengeluarkan kotak bole badminton, ia

membuka tutupnya pelan-pelan. Mengambil gulungan kertas itu dan

mengangkatnya tinggi-tinggi. Baginya itulah dokumen deklarasi

kemerdekaan dirinya dan Flo dan penjajahan dunia pendidikan

yang banyak menuntut. Mahar memegangi gulungan itu kuat-kuat

dan sebelum membukanya ia memberikan sebuah pidato singkat:

“Nasib baik memihak para pemberani” Itulah pembukaan

pidatonya, sangat filosofis seperti Socrates sedang memberikan

pelajaran filsafat pada murid-muridnya. Anggota Societeit

mengangguk-angguk setuju.

“Inilah pesan yang kami dapatkan dengan susah payah. Kami

mengikatkan diri pada tiang layar karena nyawa kami tinggal

sejengkal dan kami memuntahkan cairan terakhir yang rasanya

pahit untuk mendapatkan keajaiban ini!”

Anggota Societeit bertepuk tangan bangga mendengar pidato

hebat ketuanya. Demi menyaksikan pembukaan pesan ini sang teller

BRI bolos kerja sedangkan bapak Tionghoa tukang sepuh emas

Mahar melanjut-kan pidato dengan berapi-api.

“Kami rela menggadaikan harta benda kesayangan dan berani

mengambil risiko dimusnahkan dan muka bumi oleh Tuk Bayan

Tula, tapi akhirnya kami bisa membuktikan bahwa Societeit de

Limpai bukan organisasi sembarangan!”

Mahar berpidato penuh wibawa di hadapan pare pengikutnya

lalu seperti biasa ia mengeluarkan bahasa tubuhnya yang khas:

menaikkan alis, mengangkat bahu, den mengangguk-angguk.

“Kami menyaksikan sendiri bahwa Tuk Bayan Tula bertempur

habis-habisan untuk memberi kite

pesan pada kertas ini!! Sebagai ketua Societeit, saya merasa

mendapat respek dengan perlakuan beliau itu.”

Anggota Societeit kembali bertepuk tangan bergemuruh. Wajah

Flo tampak semakin cantik ketika ia gembira.

“Maka, inilah prestasi tertinggi Societeit de Limpai.”

Mahar mengangkat lagi gulungan kertas pesan Tuk Bayan Tula

tinggi dan akan segera membukanya.

Semua orang merubung ingin tahu, Beberapa peminat, termasuk

aku, sampai naik ke atas dahan-dahan rendah filicium agar dapat

membaca pesan Tuk. Tangan Mahar gemetar memegang gulungan

kertas keramat itu dan wajah Flo memerah menahan girang, ia

melonjak-lonjak tak sabar menunggu kejutan yang menyenangkan.

Semua orang merasa tegang dan sangat ingin tahu. Mahar

perlahan-lahan membuka gulungan kertas itu dan di sana, di kertas

itu tertulis dengan jelas:

“PESAN TUK-BAYAN-TULA UNTUK KALIAN BERDUA,

KALAU INGIN LULUS UJIAN: BUKA BUKU, BELAJAR!!”

Elvis Has Left the Building

KAMI sedang benci pada Samson karena sikapnya yang keras

kepala. Kami berdebat hebat di bawah pohon filicium. Sembilan

lawan satu. Tapi ia dengan konyol tetap memperjuangkan

pendiriannya, tak mau kalah. Duduk perkaranya adalah semalam

kami baru saja menonton film Pulau Putri yang dibintangi S. Bagyo.

Di film itu S. Bagyo dkk. terdampar di sebuah pulau sepi yang

hanya dihuni kaum wanita. Kerajaan atau berarti lebih tepatnya

keratuan di pulau itu sedang diteror seorang ne-nek sihir berwajah

seram. Jika ia tertawa, ingin rasanya kami terkencing-kencing.

Kami menonton film yang diputar sehabis magrib itu di bioskop

MPB (Markas Pertemuan Buruh) yang khusus disediakan oleh PN

Timah bagi anak anak bukan orang staf. Sebuah bioskop kualitas

misbar dengan 2 buah pengeras suara lapangan merk TOA. Karena

lantainya tidak didesain selayaknya bioskop maka agar penonton

yang paling belakang tidak terhalang pandangannya, di bagman

belakang disediakan bangku tinggi tinggi.

Dan kami, sepuluh orang termasuk Flo duduk berjejer di bangku

Anak-anak orang staf menonton di tempat yang berbeda,

namanya Wisma Ria. Di sana film diputar dua kali seminggu.

Penonton dijemput dengan bus berwarna biru. Tentu saja di

bioskop itu juga terpampang peringatan keras..

“DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK”.

Kami tak menduga sama sekali kalau film yang berjudul indah

Pulau Putri tersebut adalah film horor. Membaca judulnya kami pikir

kami akan melihat beberapa putri cantik melumuri tubuhnya dengan

semacam krim dan Lari berlanian sambil tertawa cekikikan di pinggir

“Asyik,” kata Kucai berbinar-binar.

Namun, perkiraan kami meleset, Baru beberapa menit film

dimulai nenek sihir itu muncul dengan tawanya yang mengerikan.

Yang cekikikan adalah kaum dedemit. S. Bagyo dan kawan-kawan

Lari terbirit-birit. Dan belakang aku dapat menyaksikan seluruh

penonton, anak-anak kuli PN

Timah, tiarap setiap nenek jahat itu muncul di layar. Beberapa

anak perempuan menangis dan anak-anak lainnya ambil langkah

seribu, kabur dan bioskop rombeng ini dan tak kembali lagi.

Di deretan tempat dudukku kulihat Samson yang duduk di ujung

kin hampir sama sekali tidak menonton. Ia bersembunyi di ketiak

Syahdan. Sebaliknya, Syahdan bersembunyi di ketiak A Kiong. A

Kiong bersembunyi di ketiak Kucai, Kucai di ketiakku, Aku dan

Trapani di ketiak Mahar.

Trapani menjerit-jerit memanggil ibunya jika nenek sihir itu

mengobrak-abrik kampung. Dan Mahar menunduk seperti orang

Yang berdiri tegak tak bergerak hanya Harun, Sahara, dan Flo.

Mereka tertawa terbahak-bahak melihat S. Bagyo pontang-panting

dikejar setan. Jika S. Bagyo berhasil lolos mereka bertepuk tangan.

Ketika pulang, kami bergandengan tangan. Ketika melewati

kuburan, tangan Trapani sedingin es.

Esoknya, saat istirahat siang Samson berkeras bahwa nenek sihir

itulah yang diuber-uber oleh S. Bagyo. Kami semua protes karena

ceritanya sama sekali tidak begitu.

“Tahukah kau justru Bagyolah yang diuberuber nenek sihir

sepanjang film itu,’ Samson berkeras.

“Mana mungkin,” bantah Kucai.

“Aku melihat sendiri kau menggigil ketakutan di bawah ketiak

Syahdan,” serang A Kiong.

Samson masih berkelit, ‘Apa kau sendiri menonton? Setahuku

hanya Sahara, Harun, dan Flo yang tak sembunyi.”

Sahara melirik kami dengan pandangan jijik, “Semua pria

brengsek!” katanya ketus.

Harun mengangguk-angguk mendukung mutlak pernyataan itu.

“Biar kami hanya melirik sekali-sekali bukan berarti kami tak tahu

jalan ceritanya,” Mahar memojokkan Samson.

Demi mendengar kata “melirik sekali-sekali’ itu

Sahara semakin jijik.

“Semua pria menyedihkan!” Samson membalas Mahar, ‘Ah!

Tahu apa kau soal film, urus saja jambulmu itu!”

Kami semua tertawa geli, dan memang Mahar segera menyisir

Kami semua terlibat perang mulut, kecuali Trapani, ia diam

melamun, Belakangan ini Trapani semakin pendiam dan sering

melamun. Aku paham apa yang terjadi. Samson malu mengakui

bahwa ia bersembunyi di bawah ketiak Syahdan. Ia tak inqin

citranya sebagai pria macho hancur hanya karena ketakutan nonton

sebuah film. Perilakunya itu persis kaum oportunis di panggung

Perdebatan semakin seru. Diperlukan seorang penengah dengan

wawasan dan kata-kata cerdas pamungkas untuk mengakhiri

Sayangnya si cerdas itu sudah dua hari tak tampak batang

hidungnya. Tak ada kabar berita.

Ketika esoknya Lintang tak juga hadir, kami mulai khawatir.

Sembilan tahun bersama-sama tak pernah ia bolos. Saat ini sedang

musim hujan, bukan saatnya kerja kopra. Bukan pula musim panen

kerang, sementara karet telah digerus bulan lalu. Pasti ada sesuatu

yang sangat penting. Rumahnya terlalu jauh untuk mencari berita.

Sekarang hari Kamis, sudah empat hari Lintang tak muncul juga.

Aku melamun memandangi tempat duduk di sebelahku yang

kosong. Aku sedih melihat dahan filicium tempat ia bertengger jika

kami memandangi pelangi. Ia tak ada di sana. Kami sangat

kehilangan dan cemas. Aku rindu pada Lintang.

Kelas tak sama tanpa Lintang. Tanpanya kelas kami hampa

kehilangan auranya, tak berdaya. Suasana kelas menjadi sepi. Kami

rindu jawaban-jawaban hebatnya, kami rindu kata-kata cerdasnya,

kami rindu melihat-nya berdebat dengan guru. Kami juga rindu

rambut acak-acakannya, sandal jeleknya, dan tas karungnya.

Bu Mus berusaha ke sana sini mencari kabar dan menitipkan

pesan pada orang yang mungkin melalui kampung pesisir tempat

tinggal Lintang. Aku cemas membayangkan kemungkinan buruk.

Tapi biarlah kami tunggu sampai akhir minggu ini.

Senin pagi, kami semua berharap menjumpai Lintang dengan

senyum cerianya dan kejutankejutan barunya. Tapi ia tak muncul

Ketika kami sedang berunding untuk mengunjunginya, seorang

pria kurus tak beralas kaki masuk ke kelas kami, menyampaikan

Begitu banyak kesedihan kami lalui dengan Bu Mus selama

hampir sembilan tahun di SD dan SMP Muhammadiyah tapi baru

pertama kali ini aku melihatnya menangis.

Air matanya berjatuhan di atas surat itu..

Ayahku telah meninggal, besok aku akan

Seorang anak laki-laki tertua keluarga pesisir miskin yang

ditinggal mati ayah, harus menanggung nafkah ibu, banyak adik,

kakek-nenek, dan pamanpaman yang tak berdaya, Lintang tak

punya peluang sedikit pun untuk melanjutkan sekolah. Ia sekarang

harus mengambil alih menanggung nafkah paling tidak empat belas

orang, karena ayahnya, pria kurus berwajah lembut itu, telah mati,

karena pria cemara angin itu kini telah tumbang. Jasadnya

dimakamkan bersama harapan besarnya terhadapanak lelaki satusatunya dan justru kematiannya ikut membunuh cita—cita agung

anaknya itu. Maka mereka berdua, orang-orang hebat dan pesisir

ini, hari ini terkubur dalam ironi.

Di bawah pohon filicium kami akan mengucapkan perpisahan.

Aku hanya diam. Hatiku kosong. Perpisahan belum dimulai tapi

Trapani sudah menangis terisak-isak. Sahara dan Harun duduk

bergandengan tangan sambil tersedu-sedu. Samson, Mahar, Kucai,

dan Syahdan berulang kali mengambil wudu, sebenarnya dengan

tujuan menghapus air mata. A Kiong melamun sendirian tak mau

diganggu. Flo, yang baru saja mengenal Lintang dan tak mudah

terharu tampak sangat muram. Ia menunduk diam, matanya

Baru kali ini aku melihatnya sedih.

Kami melepas seorang sahabat genius asli didikan alam, salah

seorang pejuang Laskar Pelangi lapisan tertinggi. Dialah ningrat di

antara kami. Dialah yang telah menorehkan prestasi paling istimewa

dan pahlawan yang mengangkat derajat perguruan miskin in

Kuingat semua jejak kecerdasannya sejak pertama kali ia memegang

pensil yang salah pada hari pertama sekolah, sembilan tahun yang

lalu. Aku ingat semangat persahabatan dan kejernihan buah

pikirannya. Dialah Newton-ku, Adam Smithku, Andre Ampereku.

Lintang adalah mercu suar. Ia bintang petunjuk bagi pelaut di

samudra. Begitu banyak energi positif, keceriaan, dan daya hidup

terpancar dan dirinya. Di dekatnya kami terimbas cahaya yang

masuk ke dalam rongga-rongga otak, memperjelas penglihatan

pikiran, memicu keingintahuan, dan membuka jalan menuju

pemahaman. Darinya kami belajar tentang kerendahan hati, tekad,

dan persahabatan. Ketika ia menekan tombol di atas meja mahoni

pada lomba kecerdasan dulu, ia telah menyihir kepercayaan diri

kami sampai hari ini, membuat kami berani bermimpi melawan

nasib, berani memiliki cita-cita.

Lintang seumpama bintang dalam rasi Cassiopeia yang meledak

dini hari ketika menyentuh atmosfer. Ketika orang-orang masih lelap

tertidur. Cahaya Iedakannya menerangi angkasa raya, membeni

terang bagi kecemerlangan pikiran tanpa seorang pun tahu, tanpa

ada yang peduli. Bagai meteor pijar ia berkelana sendirian ke

planet-planet pengetahuan, lalu kelipnya meredup dalam hitungan

mundur dan hari ini ia padam, tepat empat bulan sebelum ia

menyelesaikan SMP. Aku merasa amat pedih karena seorang anak

supergenius, penduduk asli sebuah pulauterkaya di Indonesia hari

ini harus berhenti sekolah karena kekurangan biaya. Hari ini, seekor

tikus kecil mati di lum-bung padi yang berhimpah ruah.

Kami pernah tertawa, menangis, dan menari bersama di dalam

hingkaran bayang kobaran api. Kami tercengang karena terobosan

pemikirannya, terhibur oleh ide-ide segarnya yang memberontak,

tak biasa, dan menerobos. Ia belum pergi tapi aku sudah rindu

dengan sorot mata lucunya, senyum polosnya, dan setiap kata-kata

cerdas dan mulutnya. Aku rindu pada dunia sendiri di dalam

kepalanya, sebuah dunia kepandaian yang luas tak terbatas dan

kerendahan hati yang tak bertepi.

Inilah kisah klasik tentang anak pintar dan keluarga melarat. Hari

ini, hari yang membuat gamang seorang laki-laki kurus cemara

angin sembilan tahun yang lalu akhirnya terjadi juga. Lintang, sang

bunga meriam ini tak •kan lagi melontarkan tepung sari. Hari ini

aku kehilangan teman sebangku selama sembilan tahun. Kehilangan

ini terasa lebih menyakitkan melebihi kehilangan A Ling, karena

kehilangan Lintang adalah kesia-siaan yang mahabesar. ini tidak

adil. Aku benci pada mereka yang berpesta pora di Gedong dan aku

benci pada diriku sendiri yang tak berdaya menolong Lintang

karena keluarga kami sendiri melarat dan orangtua-orangtua kami

harus berjuang setiap hari untuk sekadar menyambung hidup.

Ketika datang keesokan harinya, wajah Lintang tampak hampa.

Aku tahu hatinya menjerit, meronta-ronta dalam putus asa karena

penolakan yang hebat terhadap perpisahan in Sekolah,

kawankawan, buku, dan pelajaran adalah segala-galanya baginya,

itulah dunianya dan seluruh kecintaannya. Suasana sepi membisu,

suara-suara unggas yang biasanya riuh rendah di pohon fihicium

sore ini lengang. Semua hati terendam air mata melepas sang

mutiara ilmu dan hingkaran pendidikan. Ketika kami satu per satu

memeluknya tanda perpisahan, air matanya mengahir pelan,

pelukannya erat seolah tak mau melepaskan, tubuhnya bergetar saat

jiwa kecerdasannya yang agung tercabut paksa meninggalkan

Aku tak sanggup menatap wajahnya yang pilu dan kesedihanku

yang mengharu biru telah mencurahkan habis air mataku, tak dapat

kutahantahan sekeras apa pun aku berusaha. Kini ia menjadi tangis

bisu tanpa air mata, perih sekahi. Aku bahkan tak kuat

mengucapkan sepatah pun kata perpisahan. Kami semua

sesenggukan. Bibir Bu Mus bergetar menahan tangis, matanya

semerah saga. Tak setitik pun air matanya jatuh. Behiau ingin kami

tegar. Dadaku sesak menahankan pemandangan itu. Sore itu

adahah sore yang paling sendu di seantero Behitong, dan muara

Sungai Lenggang sampai ke pesisir Pangkalan Punai, dan Jembatan

sampai ke Tanjong Pandan. Itu adalah sore yang paling sendu di

Saat itu aku menyadari bahwa kami Sesungguhnya adalah

kumpulan persaudaran cahaya dan api. Kami berjanji setia di bawah

halilintar yang menyambar-nyambar dan angin topan yang

menerbangkan gunung-gunung. Janji kami tertulis pada tujuh

tingkatan langit, disaksikan naga-naga siluman yang menguasai Laut

Cina Selatan. Kami adalah lapisan-lapisan pelangi terindah yang

pernah diciptakan Tuhan.

Dua belas tahun kemudian..

SEORANG wanita setengah baya berjalan de-ngan seorang pria

bernama Dahroji, menghampiriku. Masalah! Pasti masalah lagi!

“Kalau Nyonya mau marah, tumpahkan pada laki-laki

berantakan ini,” kata Dahroji. Ia pergi menahan murka.

Wanita itu mengamatiku baik-baik. Dandanannya, huruf ‘r’ dan

“g” yang keluar dan tenggorokannya, tarikan alisnya, serta gayanya

memandang, mengesankan ia pernah sekian lama tinggal di luar

negeri dan ia muak dengan semua ketidak efisienan di negeri ini.

Agaknya ia memiliki masalah yang sangat gawat. Va, memang

gawat, surat restitusi bea masuk lukisan dan luar negeri yang dikirim

oleh kantor Duane terlambat ia terima karena aku salah sortir.

Seharusnya ia masuk kotak Ciawi tapi aku tak sengaja

melemparkannya ke lubang Gunung Sindur. Human error!

Telah tiga kali aku keliru minggu in Alasanku karena overload.

Dahroji, ketua ekspedisi, tak mau tahu kesulitanku. Volume surat

meningkat tajam dan banyak perluasan wilayah yang membuka wijk

baru yang tak kukenal. Aku memandang kuyu pada tiga karung

surat bercap Union Postale Universele ketika nyonya yang masih

seksi itu komplain. Sejenak aku benci pada hidupku yang kacau

balau, Salah satu ciri hidup yang tak sukses adalah menerima

semprotan pelanggan sebelum sempat sarapan pagi. Tapi sekian

lama bekerja di sini aku telah terlatih memadamkan sementara

fungsi gendang telinga. Maka madam itu hanya kulihat bergetargetar seperti Greta Garbo dalam film bisu hitam putih.

“Hoe vaak moet ikje dat nog zeggen!’ hardiknya sambil melengos

pergi. Benar kan kataku? Kira-kira maksudnya: saya sudah komplain

berapa kali masih saja keliru!

Dan kembali aku termangu-mangu menatap tiga karung surat

tadi. Setelah terpuruk akibat dikhotbahi nyonya itu aku masih harus

bekerja keras menyortir semuanya karena pukul delapan seluruh

pengantar kilat khusus termin pertama akan berangkat dan karena

aku adalah pegawai p0s, tukang sortir, bagian kiriman peka waktu,

shift pagi, yang bekerja mulai subuh.

Aku sengsara batin karena ironi dalam hidupku. Rencana Aku

dua belas tahun yang lalu untuk menjadi seorang penulis dan

pemain bulu tangkis ternama telah lenyap, kandas di dalam kotakkotak sortir surat. Bahkan rencana Bku, yaitu menjadi penulis buku

tentang bulu tangkis dan kehidupan sosial, juga telah gagal

meskipun di dalam hati aku

masih menyimpan komentar-komentar manis para mantan

kampiun bulu tangkis.

Buku itu sebenarnya telah selesai kutulis, tidak tanggungtanggung, seluruhnya mencapai 34 bab dan hampir 100.000 kata.

Untuk menulisnya aku telah melakukan riset yang intensif di federasi

bulu tangkis dan komite olahraga nasional serta mengamati

kehidupan sosial beberapa mantan pemain bulu tangkis terkenal.

Aku juga mempelajari budaya pop serta tren terbaru pengembangan

kepribadian. Tapi para penerbit tak sudi menerbitkan bukuku

berdasarkan pertimbanqan komersial. Mereka lebih tertarik pada

karya-karya sastra cabul, yaitu buku buku yang penuh tulisan jorok,

karena buku-buku semacam itu lebih mendatangkan keuntungan.

Mereka, para penerbit itu, telah melupakan prinsip prinsip men sana

Aku berusaha membesarkan hati dengan berpretensi menyamanyamakan diriku dengan John Steinbeck yang tujuh kali ditolak

penerbit tapi akhirnya bisa mengantongi Pulitzer. Aku juga tak

keberatan menjadi Mary Shelley yang hanya pernah sekali menulis

buku Frankenstein lalu hilang dalam kejayaan. Aku harap bukuku:

Bulu Tangkis den Pergaulan dapat menjadi sebuah karya fenomenal

yang dikenang orang sepanjang masa. Setidaknya itulah

sumbanganku untuk kemanusiaan. Namun bagaimanapun aku

berusaha menguatkan diri, kenyataannya aku hampir mati lemas

ditumpuki kegagalan demi kegagalan. Bagaimanapun dulu Pak

Harfan dan Bu Mus mengajariku agar tak gentar pada kesulitan apa

pun, namun pada titik ini dalam hidupku ternyata nasib telah

menghantamku dengan technical knock out.

Pada suatu dini hari yang paling frustrasi, di bawah hujan deras,

aku menumpuk empat bendel master tulisanku beserta enam buah

disket. Tumpukan itu kusimpul mati dengan tali jalin dan pemberat

setengah kilo berupa segel timah plombir untuk mengikat kantong

pos. Aku berlari menuju Jembatan Sempur lalu buku bulu tangkis

rencana B ku itu, buku bergenre humaniora itu sambil memejamkan

mata dengan hati yang redam kulemparkan ke dasar Kali Ciliwung.

Jika tak tersangkut di celah batu-batu di dasar kali maka buku itu

akan terapung-apung bersama banjir kiriman ke

Jakarta, hanyut terombang-ambing bersama cita-citaku.

Aku ingin melarikan diri ke satu-satunya tempat yang paling indah

dalam hidupku, yang telah kukenal sejak belasan tahun yang lalu.

Sebuah desa cantik dengan taman bunga, pagar-pagar batu kelabu

yang mengelilinginya, dan jalan setapak yang ditudungi untaian

dahan-dahan prem. Itulah Edensor, eden berarti surga, nirwana

pelarian dalam otak kecilku dan buku Herriot yang sangat kumal

karena telah puluhan kali kubaca. Semakin sukar hidupku, semakin

sering aku membacanya. Sayangnya aku tak bisa ke Edensor karena

sampai hari ini tempat itu masih tetap hanya ada dalam khayalanku.

Setiap pulang kerja aku sering duduk melamun

di pokok pohon randu, di pinggir Lapangan Sempur, dekat

kamar kontrakanku. Menghadap ke Kali Ciliwung aku memprotes

“Ya, Allah, bukankah dulu pernah kuminta jika aku gagal

menjadi penulis dan pemain bulu tangkis maka jadi-kan aku apa

saja asal bukan pegawai pos! Dan jangan ben aku pekerjaan mulai

Tuhan menjawab doaku dulu persis sama seperti yang tak

kuminta. Begitulah cara Tuhan bekerja. Jika kita menganggap doa

dan pengabulan merupakan variabel-variabel dalam sebuah fungsi

linier maka Tuhan tak lain adalah musim hujan, sedikit banyak kita

dapat membuat prediksi. Kuberi tahu Kawan, cara bertindak Tuhan

sangat aneh, Tuhan tidak tunduk pada postulat dan teorema mana

pun. Oleh karena itu, Tuhan sama sekali tak dapat diramalkan.

Maka inilah aku sekarang. Dalam asumsi yang konservatif

petugas biro statistik menyebut orang sepertiku sebagai mereka yang

bekerja pada sektor jasa, mengonsumsi di bawah 2.100 kalori setiap

hari, dan berada dekat sekali dengan garis miskin. Miskin, kata itu

demikian akrab sepanjang hidupku, bagaikan sahabat baik, seperti

mandi pagi. Sebenarnya sepanjang waktu aku meloncat-loncat di

antara garis miskin itu, tergantung jam lembur yang diberikan

Dahroji. Jika aku banyak lembur maka bulan itu mereka dapat

mempertimbangkanku dalam lapisan berpenghasilan menengah ke

bawah. Toh orang-orang statistik itu tidak membuat parameter

waktu bagi setiap kategori. Tapi singkatnya begini saja, aku adalah

bagian dan 57% rakyat miskin yang ada republik ini.

Hidup membujang, mandiri, terabaikan, bekerja sepuluh jam

sehari, kisaran usia 25-30 tahun, itulah demografi yang aku wakili.

Secara psikografi identitasku adalah pria yang kesepian. Orang

marketing melihatku sebagai target market produkproduk minyak

rambut, deodoran, peninggi tubuh, peramping perut buncit, atau

apa saja yang berkenaan dengan upaya peningkatan kepercayaan

diri. Dunia tak mau peduli padaku, dan negara hanya mengenalku

me-lalui sembilan digit nomor, 967275337, itulah nomor induk

Tak ada bahagia pada pekerjaan sortir. Pekenjaan ini tidak

termasuk dalam profesi yang ditampilkan munid-munid SD dalam

karnaval. Setiap hari berkubang dalam puluhan kantong pUS dan

negeri antah berantah. Masa depan bagiku adalah pensiun dalam

keadaan miskin dan rutin berobat melalui fasilitas Jamsostek, lalu

mati merana sebagai orang yang bukan siapa-siapa.

Setelah usai bekerja aku tenlalu lelah untuk bersosialisasi. Aku

mendenita insomnia, Setiap malam antara tidur dan terjaga aku

terhipnotis cerita wayang golek dan suara kemerosok radio AM. Aku

bangun pagi-pagi buta ketika orang-orang Bogon masih meringkuk

di tempat tidur mereka yang nyaman. Aku merangkak-rangkak

kedinginan, terseok-seok menuju kantor poS melewati bantaran Kali

Ciliwung yang masih diliputi kabut untuk kembali menyortir ribuan

surat, Saat orang-orang Bogor

bangun dan mengibas-ngibaskan koran pagi di depan teh panas

dan tangkupan roti, aku juga sarapan makian dan madam Belanda

tadi. Itulah hidupku sekarang, masa depanku tak jelas dan aku

sudah tak punya konsep lagi tentang masa depan. Semuanya serba

tak pasti. Yang kutahu pasti cuma satu hal: aku telah gagal. Aku

mengutuki diri sendiri terutama ketika apel Korpri tanggal 17.

Hanya Eryn Resvaldya Novella satu-satunya hiburan dalam

hidupku. Ia cerdas, agamais, cantik, dan baik hati. Usianya 21

tahun. Belakangan aku memanggilnya awardee karena ia baru saja

menerima award sebagai mahasiswa paling bermutu di salah satu

univensitas paling bergengsi di negeri ini di kawasan Depok. Ia

mahasiswa universitas itu, jurusan psikologi. Ayah Eryn, abangku,

terkena PHK dan aku mengambil alih membiayai sekolahnya.

Lelah seharian bekerja lenyap jika melihat Eryn dan semangat

belajarnya, jiwa positifnya, dan intelegensia yang terpancar dan

sinar matanya. Aku rela kerja lembur berjam-jam, membantu

menerjemahkan bahasa Ing-gris, menerima ketikan, dan berkorban

apa saja termasuk baru-baru ini menggadaikan sebuah tape deck,

hartaku yang paling benhanga demi membiayai kuliahnya.

Pengalaman dengan Lintang telah menjadi trauma bagiku. Kadangkadang aku bekenja begitu kenas demi Eryn untuk menghilangkan

perasaan bersalah karena tak mampu membantu Lintang. Eryn

menimbulkan semacam perasaan bahwa semenyedihkan apa pun,

hidupku masih benguna. Tak ada yang dapat dibanggakan dalam

hidupku sekarang, tapi aku ingin mendedikasikannya pada sesuatu

Eryn adalah satu-satunya arti dalam hidupku.

Saat ini Eryn sedang panik karena proposal skripsinya berulang

kali ditolak. Sudah belasan kali hal ini terjadi. Sejak kuliahnya

selesai semester lalu ia telah menghabiskan waktu lima bulan hanya

untuk mencari topik skripsi yang bermutu. Bersama surat penolakan

itu pembimbingnya melampirkan lima belas lembar kertas berisi

judul skripsi yang pernah ditulis. Aku melirik, benar saja, sudah tiga

puluh orang yang menulis tentang personality disorder, puluhan

lainnya menulis topik tentang kepuasan kerja, down syndrome, dan

metode konseling anak. Tak terhitung yang telah menulis skripsi

Pembimbingnya menuntut Eryn menulis sesuatu yang baru,

berbeda, dan mampu membuat terobosan ilmiah karena ia adalah

mahasiswa cerdas pemenang award. Aku setuju dengan pandangan

itu. Eryn sebenarnya telah memiliki konsep tentang sesuatu yang

berbeda itu. Dan pembicaraannya yang meluap-luapaku

menangkap bahwa ia telah mempelajari suatu gejala psikologi di

mana seorang individu demikian tergantung pada individu lain

sehingga tak bisa melakukan apa pun tanpa pasangannya itu.

Kemudian ia pun mengajukan tema tersebut, pembimbingnya

Masalahnya adalah gejala seperti itu sangat jarang terjadi

sehingga Eryn tak kunjung mendapatkan kasus. Memang terdapat

kasus dependensi tapi intensitasnya rendah, gejala sehari-hari

saja yang tidak memerlukan perawatan khusus sehingga dianggap

kurang memadai untuk analisis mendalam. Eryn mencari sebuah

kasus ketergantungan yang akut, Ia telah berkorespondensi dengan

puluhan psikolog, psikiater, dosen-dosen universitas, lembagalembaga yang menangani kesehatan mental, dan para dokter di

rumah sakit jiwa di seluruh negeri, tapi hampir empat bulan berlalu

kasusnya tak kunjung ditemukan. Eryn mulai frustrasi,

Namun agaknya nasib menyapa Eryn hari ini. Ketika menyortir

aku menemukan sepucuk surat yang ditujukan ke kontrakanku.

Surat untuk Eryn dengan sampul resmi yang bagus sekali, dan

sebuah rumah sakit jiwa di Sungai Liat, Bangka.

“Awardee! Seseorang dan rumah sakit jiwa agaknya jatuh hati

padamu ...‘ kataku setiba di rumah kontrakanku.

Ia merampas surat dan tanganku, membacanya sekilas, lalu

meloncat-locat gembira.

“Alhamdullilah, finally! Cicik (paman), kita akan berangkat ke

Eryn telah menemukan kasusnya. Seorang dokter senior profesor

tepatnya yang menjadi staf ahli di rumah sakit jiwa Sungai Liat

memberi tahu bahwa kasus langka yang dicari Eryn ditemukan di

sana. Dokter itu juga mengatakan bahwa kasus itu banyak diincar

para ilmuwan, termasuk beberapa kandidat Ph.D. untuk diteliti, tapi

Eryn diprioritaskan karena prestasi kuliahnya.

Eryn memintaku cuti untuk mengantarnya ke rumah sakit jiwa

itu. Apa dayaku menolak, bukankah semuanya memang untuk

mendukung dirinya. Lagi pula Sungai Liat ada di Pulau Bangka,

tetangga Pulau Belitong. Kami akan sekalian pulang kampung

Rumah sakit jiwa Sungai Liat sudah sangat tua. Orang Belitong

menyebutnya Zaal Batu. Barangkali zaman dulu dinding ruang

perawatannya adalah batu. Karena di Belitong tidak ada rumah

sakit jiwa bahkan sampai sekarang maka orang Belitong yang

mentalnya sakit parah sering dikirim melintasi laut ke rumah sakit

jiwa in Karena itu Zaal Batu bagi orang Belitong selalu memberi

kesan sesuatu yang mendirikan bulu kuduk, kelam, sakit, dan putus

Sore itu mendung ketika kami tiba di Zaal Batu. Suara azan ashar

bersahut-sahutan lalu sepi pun mencekam. Kami memasuki gedung

tua berwarna serba putih dengan plafon tinggi dan pilar-pilar. Lalu

kami melewati sebuah selasar panjang berlantai ubin tua berwarna

cokelat dan bermotif jajaran genjang simetris,

Beberapa jambangan bunga model lama gaya Belanda bederet-

deret di sepanjang selasar itu. Pemandangan lainnya tak berbeda

dengan rumah sakit jiwa lainnya. Pintu-pintu besi dengan gembok

besar, kamar obat berisi botol-botol pendek, bau karbol, meja

beroda, para perawat yang berpakaian serba putih, dan para pasien

yang berbicara sendiri atau memandang aneh. Terdengar lamatlamat suara cekikikan dan teriakan beberapa kelompok pasien yang

sedang bercanda dengan para perawat di halaman rumah sakit yang

Setelah melewati selasar kami berhadapan dengan sebuah pintu

jeruji yang dikunci dengan lilitan rantai dan digembok. Kami terhenti

di situ. Seorang perawat pria tergopoh-gopoh menghampiri kami. Ia

tahu kami sedang ditunggu, ia membuka pintu. Kami masuk

melintasi sebuah ruangan panjang. Ruangan yang terkunci rapat ini

menampung beberapa pasien.

Mereka mengikuti gerakgerik kami dengan teliti.

Eryn tak berani jauh-jauh dari perawat tadi. Aku tak takut tapi

sedih melihat penderitaan jiwa mereka. Suasana di sini mencekam.

Banyak pasien berusia lanjut dan meskipun kelihatan sehat tapi kita

segera tahu bahwa orang-orang ini sangat terganggu kewarasannya.

Pandangan matanya penuh tekanan, kesedihan, dan beban,

Beberapa di antaranya bersimpuh di Iantai atau mengguncangguncang jerejak besi di jendela.

Aku memerhatikan beberapa wajah para pasien di balik

batangan jeruji besi. Perlahan-lahan batangan jeruji itu bergerak

sendiri benselang seling. Wujudnya menjelma menjadi puluhan

pasang kaki manusia. Di sela-sela kaki itu kulihat wajah yang telah

sangat lama kukenal. Kesedihan rumah sakit jiwa ini membuka

ruangan gelap di kepalaku, tempat Bodenga bersembunyi.

Kami kembali terhenti di depan sebuah pintu besi. Kali ini pintu

besi dua lapis. Setelah rantai dibuka kami memasuki ruangan

berupa lorong yang panjang. Sisi kin kanan lorong adalah kamarkamar perawatan. Suasana di lorong ini sunyi senyap. Sebagian

besar kamar kosong dengan pintu terbuka. Kamar yang diisi pasien

tertutup rapat. Lamat-lamat terdengar suara orang meratap dan

balik pintu-pintu tertutup itu.

Aku mendengar suara langkah sepatu yang bergema dalam

kesepian ruangan. Seorang pria berusia enam puluhan mendekati

kami. Beliau tersenyum. Wajahnya tenang, bersih, dan bening,

tipikal wajah yang sering tersiram air wudu. Jemari tangannya

menggulirkan biji-biji tasbih, beliau mengucapkan asma-asma Allah,

beliau membuatku sangat segan, seorang intelektual yang rendah

hati sekaligus yang taat beragama. Profesor ini memiliki dua kualitas

agung tersebut. Dengan sangat santun beliau menyatakan terima

kasih atas kedatangan kami. Namanya Profesor Van.

“ini kasus mother complex yang sangat ekstrem ...,‘ kata profesor

itu dengan suara berat, itu seakan ikut merasakan penderitaan

‘Tiga puluh delapan tahun di bidang ini baru kali ini aku

menjumpai hal semacam in Anak muda ini sedikit pun tak bisa lepas

dan ibunya. Jika bangun tidur tidak melihat ibunya ia menjerit-jerit

histeris. Ketergantungan yang kronis ini menyebabkan ibunya

sendiri sekarang hampir terganggu jiwanya. Mereka telah menghuni

tempat ini hampir selama enam tahun ....“

Aku tersentak miris mendengar penjelasan beliau , Eryn sendiri

terperanjat. Ia berusaha menguatkan diri mendengar kenyataan

yang menghancurkan hati itu. Aku menatap wajah Profesor Van, Ia

adalah dokter jiwa yang amat berpengalaman tapi jelas ia prihatin

dan terpengaruh dengan kasus ini. Di sisi lain aku kagum pada

psikologi dan orang orang yang mendedikasikan hidupnya pada

Penjelasan Profesor Van melekat dalam pikiranku , Aku

merinding karena merasa getir pada nasib anak beranak itu. Anak

muda yang malang. Ibunya yang tadinya sehat terpaksa hidup tidak

normal. Orangtua mana yang mampu menolak kasih sayang

anaknya, meskipun rasa sayang itu berlebihan? Mungkin ia lebih

rela gila daripada membiarkan anaknya berteriak-teriak

memerlukannya sepanjang waktu. Mereka berdua pasti amat

menderita. Enam tahun terpuruk di sini, betapa mengerikan.

Kadangkadang nasib bisa demikian kejam pada manusia. Siapakah

anak beranak yang malang itu?

Profesor Van membimbing kami menyelusuri lorong tadi menuju

sebuah pintu paling ujung. Di sana ada ruangan terpencil dan

menyendiri. Beliau membuka pintu pelan-pelanm. Aku gugup

membayangkan pemandangan yang akan kulihat. Akankah aku

kuat menyaksmkan penderitaan seberat itu? Apa sebaiknya aku

menunggu di luar saja? Tapi Profesor Van telanjur membuka pintu.

Engsel pintu ber-decit panjang, menimbulkan rasa gamang.

Kami berdiri di ambang pintu. Ruangan itu luas, tak berjendela,

dan dindingnya polos tinggi berwarna putih. Tak ada lukisan atau

jambangan bunga. Begitu sepi, tak ada suara satu pun. Penerangan

hanya berasal dan sebuah bohlam dengan kap rendah sehingga

plafon menjadi gelap. Ruangan ini suram, penuh nuansa kepedihan

dan keputusasaan. Dalam sorot lampu tak tampak perabot apa pun

kecuali sebuah bangku panjang kecil nun jauh di sudut ruangan.

Dan di bangku panjang itu, kira-kira lima belas langkah dan

kami, duduk berdua rapat-rapat kedua makhluk malang itu, seorang

ibu dan anaknya. Gerak-gerik mereka gelisah, seperti tempat itu

sangat asing dan mengancam mereka. Mereka seakan memelas,

memohon agar diselamatkan.

Dalam cahaya lampu yang samar tampak sang anak berpostur

tinggi dan sangat kurus, rambutnya panjang dan menutupi sebagian

Jambang, alis, dan kumisnya tebal tak teratur. Kulitnya putih. Air

mukanya menimbulkan perasaan iba yang memilukan. Ia

berpakaian rapi, bajunya adalah kemeja putih lengan panjang,

celananya berwarna gelap, dan sepatu kulitnya bersih mengilap.

Usianya kurang lebih tiga puluhan. Ia ketakutan, Sorot matanya

yang teduh melirik ke kin dan ke kanan. Ia gugup dan sering

menarik napas panjang.

Ibunya kelihatan puluhan tahun lebih tua dan usia

sesungguhnya. Pancaran matanya menyimpan kesakitan yang

parah dan caranya menatap menjalarkan rasa pedih yang dalam.

Lingkaran di sekeliling matanya berwarna hitam dan ia amatlah

kurus. Daya hidup telah padam dalam dirinya. Ia memakai sandal

jepit yang kebesaran dan tampak menyedihkan. Wajahnya jelas

memperlihatkan kerisauan yang amat sangat dan tekanan jiwa yang

Mereka berdua melihat kami sepintas-sepintas tapi kebanyakan

menunduk. Sang anak mengapit lengan ibu-nya. Ketika kami

masuk, ia semakin merapatkan dirinya pada ibunya. Aku tak

sanggup menanggungkan pemandangan memilukan ini. Tanpa

kusadari air mataku mengalir. Eryn pun ingin menangis tapi ia

berupaya keras menjaga sikap profesional sebaqai seorang peneliti.

Aku tak tahan me-lihat anak beranak dengan cobaan hidup seberat

ini, Mereka seperti dua makhluk yang terjerat, cidera, dan tak

berdaya. Aku minta diri keluar dan ruangan yang menyesakan dada

Hampir selama satu setengah jam Eryn dibantu oleh profesor

yang baik itu dalam melakukan semacam wawancara pendahuluan

dengan kedua pasien malang itu. Dan pintu yang tenbuka aku dapat

melihat mereka berempat duduk di bangku tersebut. Kedua pasien

itu masih terlihat gelisah.

Kemudian wawancara pun selesai dan Eryn memberi isyarat

padaku untuk berpamitan pada ibu dan anak itu. Aku masuk lagi ke

ruangan, mencoba tersenyum seramah mungkin walaupun hatiku

hancur membayangkan penderitaan mereka. Aku menyalami

keduanya. Kali ini Eryn tak sanggup menahan air matanya. Lalu

pelan-pelan kami pamit keluar ruangan.

Profesor Van dan Eryn berjalan di depanku. Mereka terlebih

dahulu keluar ruangan, sementara aku yang keluar terakhir meraih

gagang pintu dan menutupnya. Tepat pada saat itu aku terperanjat

karena mendengar seseorang me-mang-gil namaku.

“Ikal ...,“ suara lirih itu berucap.

Eryn dan Profesor Van kaget. Mereka terheran-heran, apa-lagi

aku. Kami saling berpandanqan. Tak ada orang lain di ruangan itu

kecuali kami bertiga dan kedua makhluk malang tadi. Dan jelas

suara itu berasal dan ruangan yang ba-ru saja kututup. Kami

berbalik, tapi ragu, maka aku tak segera membuka pintu.

“Ikal •..,“ panggilnya lagi.

“Mereka memanggil Cicik!’ teriak Eryn menatapku takjub.

Salah seorang dan pasien itu jelas memanggilku.

Aku memutar gagang pintu dan menghambur ke dalam.

Kuhampiri mereka dengan hati-hati. Dalam jarak tiga meter aku

berhenti. Mereka berdua bangkit. Aku mengamati mereka baik-baik,

berusaha keras mengenali kedua tubuh ringkih yang berdiri saling

mencengkeram lengan masing-masing dengan jan-jan yang kurus

tak terawat. Rambut sang ibu yang kelabu terjuntai panjang

semrawut menutupi kedua matanya yang cekung dan berwarna

abuabu. Pipi anaknya basah karena air mata yang mengalir pelan.

Air matanya itu berjatuhan ke lantai. Bibirnya yang pucat bergetar

mengucapkan namaku berkali-kali, seakan ia telah bertahun-tahun

menu n gg u k u, tangannya menjangkau - jangkau. Ibunya terisakisak dan menutup wajah de-ngan kedua tangannya. Aku tak mampu

berkata apa pun dan masih diliputi tanda tanya. Namun, tepat

ketika aku maju selangkah untuk mengamati mereka lebih dekat si

anak menyibakkan rambut panjang yang menutupi wajahnya dan

pada saat itu aku tersentak tak alang kepalang.

Aku terkejut luar biasa. Kurasakan seluruh tubuhku menggigil.

Rangka badanku seakan runtuh dan setiap persendian di tubuhku

seakan terlepas. Aku tak percaya dengan pemandangan di depan

mataku. Aku merasa kalut dan amat pedih. Aku ingin berteriak dan

meledakkan tangis. Aku mengenal dengan baik kedua anak beranak

yang malang itu. Mereka adalah Trapani dan ibunya.

Satu titik dalam relativitas waktu:

Saat inilah masa depan itu..!

TOKO Sinar Harapan tak banyak berubah, masih amburadul

Ketika bus reyot yang membawaku pulang kampung melewati

toko itu, di sebelahnya aku melihat toko yang bernama Sinar

Perkasa. Di situ ada seorang laki-laki yang menarik perhatianku.

Pria itu agaknya seorang kuli toko. Badannya tinggi besar dan

rambutnya panjang sebahu diikat seperti samurai. Lengan bajunya

digulung tinggi-tinggi. Ia sengaja memperlihatkan otot-ototnya. Tapi

wajahnya sangat ramah dan tapaknya ia senang sekali menunaikan

tugasnya. Belanjaan yang dipanggul kuli ini tak tanggungtanggung:

dua karung dedak di punggungnya, ban sepeda dikalungkan di

Iehernya, dan plastik-plastik kresek serta tas-tas belanjaan

bergelantungan di lengan kin kanannya. Ia seperti toko kelontong

Di belakangnya berjalan terantuk-antuk seorang nyonya gemuk

yang memborong segala macam barang itu.

Setelah memuat belanjaan ke atas bak sebuah mobil pikap, pria

bertulang besi tadi menerima sejumlah uang. Ia mengucapkan

terima kasih dengan menunduk sopan lalu kembali ke tokonya.

Toko berjudul Sinar Perkasa itu, sesuai sekali dengan penampilan

kulinya. Pria itu menyerahkan uang tadi kepada juragan toko yang

kemudian mengibas-ngibaskan uang itu ke barang-barang

daganqannya lalu mereka berdua tertawa lepas layaknya dua

sahabat baik. Wajah keduanya tak lekang dimakan waktu.

Aku tersenyum mengenang nostalgia di Toko Sinar Harapan dan

teringat bahwa dulu aku pernah memiliki cinta yang ternyata tak

hanya sedalam lubuk kaleng-kaleng cat yang sampai sekarang masih

berjejal-jejal di situ. Aku juga merasa beruntung telah menjadi orang

yang pernah mengungkapkan cinta, Masih terasa indahnya sampai

sekarang. Merasa beruntung karena kejadian itu merupakan tonggak

bagaimana secara emosional aku telah berevolusi. Dan agaknya

cinta pertamaku dulu amat berkesan karena ia telah

melambungkanku ke puncak kebahagiaan sekaligus membuatku

menggelongsor karena patah hati di antara keranjang buah

mengkudu busuk di toko itu.

Kita dapat menjadi orang yang skeptis, selalu

curiga, dan tak gampang percaya karena satu orang pernah

menipu kita. Tapi ternyata dengan satu kasih yang tulus lebih dan

cukup untuk mengubah seluruh persepsi tentang cinta. Paling tidak

itu terjadi padaku. Meskipun kemudian setelah dewasa beberapa

kali cinta memperlakukan aku dengan amat buruk, aku tetap

percaya pada cinta. Semua itu gara-gara wanita berparas kuku ajaib

di Toko Sinar Harapan itu. Kemanakah gerangan dia sekarang? Aku

tak tahu dan tak mau tahu. Gambaran cinta seindah lukisan taman

bunga karya Monet itu biarlah seperti apa adanya. Kalau aku

menjumpai A Ling lagi bisa-bisa citra lukisan itu pudar karena

mungkin saja A Ling sekarang adalah A Ling dengan parises, selulit,

pantat turun, susu kempes, gemuk, perut buncit, dan kantong mata.

Ia dulu adalah venus dan Laut Cina Selatan dan aku ingin tetap

mengenangnya seperti itu.

Aku mengeluarkan dan tasku buku Seandainya Mereka Bisa

Bicara yang dihadiahkan A Ling padaku sebagai kenangan cinta

pertama kami. Bus reyot yang terlonjak-lonjak karena jalan yang

berlubanglubang membuat aku tak dapat membacanya. Ketika jarak

antara bus dan Toko Sinar Harapan perlahan mengembang aku

merasa takjub bagaimana lingkaran hidup merupakan jalinan aksi

dan reaksi seperti postulat Isaac Newton atau hidup tak ubahnya sekotak cokelat seperti kata Forest Gump. Jika membuka kotak cokelat

kita tak ‘kan dapat menduga rasa apa yang akan kita dapatkan dan

bungkus-bungkus plastik lucu di dalamnya. Sebuah benda kecil

yang tak penting atau suatu kejadian yang sederhana pada masa

yang amat lampau dapat saja menjadi sesuatu yang kemudian

sangat memengaruhi kehidupan kita.

Buku itu kugenggam erat di atas pangkuanku dan aku segera

menyadari bahwa seluruh kehidupan dewasaku telah terinspirasi

oleh buku kumal yang selalu kubawa ke mana-mana itu, Dulu ketika

frustrasi karena berpisah dengan A Ling maka pesona Desa

Edensor, Taman Daffodil dan jalan pasar berlandaskan batu-batu

bulat, serta hamparan sabana di bukit-bukit Derbyshire telah

menghiburku. Kemudian pada masa dewasa ini ketika kehidupanku

di Bogor berada pada titik terendah aku perlahan-lahan bangkit juga

karena semangat yang dipancarkan oleh Herriot, sang tokoh utama

buku itu. Seperti ajaran Pak Harfan, Bu Mus, dan Kemuhammadiyahan, Herriot juga mengajariku tentang optimisme dan

bagaimana aku harus berjuang untuk meraih masa depanku.

Seminggu setelah kulemparkan naskah bulu tangkisku ke Kali

Ciliwung aku membaca sebuah pengumuman beasiswa pendidikan

lanjutan dan sebuah negara asing. Aku segera menyusun rencana C,

yaitu aku ingin sekolah lagi! Kemudian setelah itu tak ada satu menit

pun waktu kusiasiakan selain untuk belajar. Aku membaca

sebanyak-banyaknya buku. Aku membaca buku sambil menyortir

surat, sambil makan, sambil minum, sambil tiduran mendengarkan

wayang golek di radio AM. Aku membaca buku di dalam angkutan

umum, di dalam jamban, sambil mencuci pakaian, sambil dimarahi

pelanggan, sambil disindir ketua ekspedisi, sambil upacara Korpri,

sambil menimba air, atau sambil memperbaiki atap bocor. Bahkan

aku membaca sambil membaca, Dinding kamar kostku penuh

dengan grafiti rumus-rumus kalkulus, GMAT, dan aturan-aturan

tenses. Aku adalah pengunjung perpustakaan LIPI yang paling rajin

dan shift sortir subuh yang dulu sangat kubenci sekarang malah

kuminta karena dengan demikian aku dapat pulang lebih awal untuk

belajar di rumah. Jika beban pe-kerjaan demikian tinggi aku

membuat resume bacaanku dalam kertas-kertas kecil, inilah teknik

jembatan keledai yang dulu diajarkan Lintang padaku. Kertas-kertas

kecil itu kubaca sambil menunggu ketua 05 menurunkan kantongkantong surat dan truk.

Di rumah aku belajar sampai jauh malam dan penyakit insomnia

ternyata malah mendukungku. Aku adalah penderita insomnia yang

paling produktif karena saat-saat tak bisa tidur kugunakan untuk

membaca. Jika kelelahan belajar aku melakukan penyegaran mental

yaitu kembali membuka buku Seandainya Mereka Bisa Bicara dan

di sana kutemukan bagaimana Herriot menghadapi kesulitan

membuktikan dirinya di depan para petani Derbyshire yang sangat

skeptis, keras kepala, dan antiperubahan. Dan buku itu juga aku

merasakan angin pagi lembah Edensor yang dingin bertiup merasuki

dadaku yang sesak setelah menyelusup di antara dedaunan astuaria.

Membaca semua itu semangatku kembali terpompa dan hatiku

semakin bening slap menerima pelajaran-pelajaran baru.

“Aku harus mendapatkan beasiswa itu!” demiklan kataku dalam

hati setiap berada di depan kaca. Aku benar-benar bertekad

mendapatkan beasiswa itu karena bagiku ia adalah tiket untuk

meninggalkan hidupku yang terpuruk. Lebih dan itu aku merasa

berutang pada Lintang, A Ling, Pak Harfan, Bu Mus, Laskar

Pelangi, Sekolah Muhammadiyah, dan Herriot.

Kemudian tes demi tes yang mendebarkan berlang-sung selama

berbulan-bulan, diawah dengan sebuah tes pe-nyaringan pertama di

sebuah stadion sepak bola yang dipenuhi peserta. Hampir tujuh

bulan kemudian aku berada pada tahap yang disebut penentuan

terakhir. Penentuan terakhir merupakan sebuah wawancara di

sebuah lembaga yang hebat di Jakarta.

Wawancara akhir ini dilakukan oleh seorang mantan menteri

yang berwajah tampan tapi senang bukan main pada rokok.

“Disgusting habit!” Sebuah kebiasaan yang menjijikkan, kata

Morgan Freeman dalam sebuah film.

Aku mengenakan pakaian rapi dan untuk pertama kalinya.

Berdasi, memakai sedikit minyak wangi, dan menyemir sepatu.

Pulpen di saku dan kubawa map yang tak tahu berisi apa. Aku telah

menjadi tipikal orang muda yang spekulatif. Sebuah pemandangan

yang menyedihkan sesungguhnya.

Bapak perokok itu memanggilku, mempersila kan duduk di

depannya, dan mengamatiku dengan teliti. Barangkali ía berpikir

apakah anak kampung ini akan bikin malu tanah air di negeri orang.

Lalu ia membaca motivation letterku yaitu suatu catatan alasan dan

berbagai aspek yang dibuat peserta mengapa ia merasa patut diberi

Mantan menteri itu mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu ajaib

sekali! Ia sama sekali tidak mengeluarkan kembali asap rokok itu.

Rupanya asap itu diendapkannya sebentar di dalam rongga

dadanya. Matanya terpejam ketika menikmati racun nikotin lalu

disertai sebuah senyum puas yang mengerikan ia mengembuskan

asap rokok itu dekat sekali dengan wajahku. Mataku perih, aku

menahan batuk dan ingin muntah tapi apa dayaku, laki-laki di

depan-ku ini memegang tiket masa depanku dan tiket itu amat

kuperlukan. Maka aku duduk bertahan sambil membalas

senyumnya dengan senyum basi ala pramugari sementara perutku

“Saya tertarik dengan motivation letter Anda, alasan dan cara

Anda menyampaikannya dalam kalimat Inggris sangat

mengesankan,” katanya.

Aku kembali tersenyum, kali ini senyum khas penjual asuransi.

“Belum tahu dia, orang Melayu lincah benar bersilat kata,” kataku

Lalu sang mantan menteri membuka proposal penelitianku yang

berisi bidang yang akan kutekuni, materi riset, dan topik tesis dalam

pendidikan beasiswa nanti.

“Ahhhh, ml juga menarik ....“

Ia ingin melanjutkan kata-katanya tapi agaknya rokok yang

sangat dicintainya itu lebih penting maka ia kembali memenuhi

dadanya dengan asap. Aku berani bertaruh jika dirontgen maka

rongga dada dan seluruh isinya pasti telah berwarna hitam, Bapak

ini terkenal sangat pintar bukan hanya di dalam negeri tapi juga di

luar negeri, sumbangannya tak kecil untuk bangsa ini, tapi

bagaimana ia bisa menjadi demikian bodoh dalam persoalan rokok

“Hmmm ... hmmm ... sebuah topik yang memang patut dipelajari

lebih jauh, menarik sekali, siapa yang membimbing Anda menulis

ini?” beliau tersenyum lebar dan asap masih mengepul di mulutnya.

Aku tahu pertanyaan itu retoris., tak memerlukan jawaban,

karena dia tahu seseorang tak mungkin dibimbing untuk membuat

proposal tersebut, maka aku hanya tersenyum.

“Bu Mus, Pak Harfan, Lintang, Sekolah Muhammadiyah, A Ling,

dan Herriot!” Itulah jawaban yang tak kuucapkan.

“Saya telah lama menunggu ada proposal riset semacam i,

ternyata datang dan seorang pegawai kantor pos! Ke mana kau

pergi selama ini anak muda?”

Kembali retoris dan aku kembali tersenyum. “Edensor!” Bisik

Maka tak lama kemudian aku telah menjadi mahasiswa,

Meskipun hanya langkah kecil aku merasa telah membuat sebuah

kemajuan dan sekarang aku dapat menilai hidupku dan perspektif

yang sama sekali berbeda, Aku lega terutama karena aku telah

membayar utangku pada Sekolah Muhammadiyah, Bu Mus, Pak

Harfan, Lintang, Laskar Pelangi, A Ling, bahkan Herriot dan

Edensor. Setiap titik yang aku singgahi dalam hidupku selalu

memberiku pelajaran berharga. Sekolah Muhammadiyah dan

persahabatan Laskar Pelangi telah membentuk karakterku, A Ling,

Herriot, dan Edensor telah mengajariku optimisme dan

menunjukkan bahwa jalinan nasib dapat menjadi begitu

menakjubkan. Kemudian, meskipun aku tidak menyukai pekerjaan

sortir, tapi orang-orang hebat kawan sekerja di kantor Pos Bogor

telah mengajariku arti integritas bagi sebuah badan usaha dan

makna dedikasi pada pekerjaan pos yang mulia, yaitu mengemban

ADA orang-orang tertentu yang memendam cinta demikian rapi.

Bahkan sampai mereka mati, sekerling pun me-reka tak pernah

memperlihatkan getar hatinya. Cinta mereka sesepi stambul lama

nan melankolis dengan pengarang yang tak pernah dikenal, Jika

malam tiba mereka mendengus-dengus meratapi rindu, menampar

muka sen-diri karena jengkel tak berani mendeklarasikan cinta yang

menggelitik perutnya.

Cintanya tak pernah terungkap karena ngeri membayangkan

rismko ditolak. Lama-lama, seperti seorang narsis, mereka

menyukai mencintai seseorang di dalam hatinya sendiri. Cinta

satu sisi, indah tapi merana tak terperi. Mereka hidup dalam

Mengungkapkan cinta agaknya mengandung daya tank paling

misterius dan cinta itu sendiri. Itulah yang dirasakan A Kiong selama

Hampa karena cinta dan kecewa pada masa depan membuat A

Kiong sempat menjalani hidup sebagai seorang agnostik, yaitu orang

yang percaya kepada Tuhan tapi tidak memeluk agama apa pun,

oleh karena itu ia tidak pernah beribadah. Ia mendaki puncak bukit

keangkuhan di dalam hatinya untuk berteriak lantang menentang

segala bentuk penyembahan. Ia berkelana mengamati agama demi

agama, terombang ambing dalam kebingungan tentang keyakinan

dan konsep keadilan Tuhan. Hari demi hari ia semakin sesat. Ia kafir

Namun, menjelang dewasa ia mengalami suatu masa di saat

setiap mendengar suara azan ia sering disergap perasaan sepi nan

indah yang menyelusup ke dalam kalbunya, membuatnya terpaku,

dan melelehkan air matanya. Panggilan shalat itu mengembuskan

rasa hampa yang menyuruhnya merenung. Ia cemas serasa akan

mati esok pagi. Ia merenung dan pada suatu hari dengungan azan

magrib membuatnya berputar seperti gasing, perutnya naik

memuntahkan seluruh makanan dan minuman haram dan lipatanlipatan ususnya, ia terjerembap tak berdaya seakan tulang

belulangnya hancur dihantam palu godam. Air matanya berlinang

tak terbendung. Ia merangkak-rangkak memohon ampunan. Ia

telah dipilih oleh Allah untuk diselamatkan. A Kiong, makhluk

pendusta agama ini, bagian dan sebagian kecil orang yang amat

beruntung, mendapat magfirah.

Ia memeluk Islam, disunat, dan mengucapkan kalimat syahadat

disaksikan Pak Harfan dan Bu Mus. Bu Mus menganugerahkan

sebuah nama untuknya: “Muhammad Jundullah Gufron Nur

Zaman”, Nama yang sangat hebat. Artinya tentara Allah, orang

yang mendapat ampunan dan cahaya. A Kiong tinggal sejarah,

bagian dan sebuah masa lalu yang gelap. Ia segera menjadi muslim

yang taat. Hidupnya tenang, namun kesepian sepanjang malam

Penerima cahaya ini menceritakan dengan sepenuh jiwa

kepadaku bahwa yang merisaukannya itu adalah cinta yang telah

disimpannya sangat lama. Cinta yang tak terungkap. Tak seorang

pun tahu kalau Nur Zaman selama ini telah menjadi seekor

pungguk. Wanita itu, katanya, telah membuat malam-malamnya

“Aku lemas karena paru-paruku basah digenangi air mata rindu,°

demikian ungkapan perasaannya padaku. Laki-laki berkepala kaleng

kerupuk ini bisa juga puitis.

“Berhari-hari terperangkap dalam bingkai kaca seraut wa-jah

yang sama, tak dapat lagi kupikirkan lagi hal-hal lain. Setiap melihat

cermin yang terpantul hanya wajahnya. Aku tak mau makan, tak

bisa tidur ...,“ kenangnya. Romantis laksana opera sabun, sekaligus

lucu dan menyedihkan.

Lalu setelah belasan tahun mengumpulkan keberanian, pada

suatu malam, dengan basmallah, ia menjumpai wanita itu dan

langsung, di depan orangtuanya, menyatakan keinginannya

melamar. Ia pasrahkan semua keputusan kepada Allah. Ia siap

hijrah ke Kanton naik kapal barang jika ditolak. Ternyata wanita itu

juga telah lama diam-diam menaruh hati padanya. Terberkatilah

mereka yang berani berterus terang. Wanita itu adalah Sahara.

Sekarang mereka sudah punya anak lima dan membuka toko

kelontong dengan judul Sinar Perkasa tadi. Mereka mempekerjakan

seorang kuli dan memperlakukannya sebagai sahabat. Kulinya

adalah pria raksasa berambut sebahu seperti samurai itu, tak lain

adalah Samson, Jika waktu luang mereka bertiga mengunjungi

Harun. Harun bercerita tentang kucingnya yang berbelang tiga,

melahirkan anak tiga, semuanya berbelang tiga, dan kejadian itu

terjadi pada tanggal tiga. Sahara mendengarkan penuh perhatian.

Kalau dulu Harun adalah anak kecil yang terperangkap dalam tubuh

orang dewasa, sekarang ia adalah orang dewasa yang terperangkap

dalam alam pikiran anak kecil.

“Aku mendapatkan kebahagiaan terbesar yang mungkin

didapatkan seorang pria,” kata Nur Zaman padaku.

Ingatkah akan kata-kata itu? Bukankah dulu kata-kata itu pernah

kuucapkan? Klise! Tidak, sama sekali tidak klise bagi Nur Zaman. Ia

adalah pria terhormat yang telah memanfaatkan dengan baik waktu

yang diberikan Tuhan. Ia berhasil menemukan kebenaran hakiki

melalui penderitaan pergolakan batin. Tuhan mencintai orang-orang

BUS reyot itu menurunkan aku di seberang jaIan di depan rumah

ibuku. Aku mendengar lagu Payuan Pulau Kelapa di RRI, yang

berarti warta berita pukul 12. Sebuah siang yang panas dan sunyi.

Dan kesunyian itu bubar oleh suara klakson panjang dan sebuah

mobil tronton kapasitas sepuluh ton, gardan ganda, bertenaga turbo,

dengan delapan belas ban berdiameter satu meter.

Seorang pria kecil terlonjak-lonjak di jok sopir. Ia terlalu kecil bagi

truk raksasa pengangkut pasir gelas ini.

“Pulang kampung juga kau akhirnya, Ikal. Hari yang sibuk!

Datanglah ke proyek,” teriaknya.

Aku melepaskan empat tas yang membebaniku tapi hanya

sempat melambaikan tangan. Ia pun pergi meninggalkan debu.

Esoknya aku berkunjung ke bedeng proyek pasir gelas sesuai

undangan sopir kecil itu. Bedeng itu memanjang di tepi pantai, tak

berpintu, lebih seperti kandang ternak. Inilah tempat beristirahat

puluhan sopir truk pasir yang bekerja siang malam bergiliran 24 jam

untuk mengejar tenggat waktu mengisi tongkang. Tongkangtongkang itu dimuati ribuan ton kekayaan bumi Belitong, tak tahu

dibawa ke mana, salah satu perbuatan kongkalikong yang

mengangkangi hak-hak warga pribumi.

Aku masuk ke dalam bedeng dan melihat ke sekeliling. Di tengah

bedeng ada tungku besar tempat berdiang melawan dingin angin

laut, Di pojok bertumpuk-tumpuk kaleng minyak solar, bungkus

rokok Jambu Bol, dongkrak, beragam kunci, pompa minyak, tong,

jerigen air minum, semuanya serba kuma? dan berkilat. Panci hitam,

piring kaleng, kotak obat nyamuk, kopi, dan ini instan berserakan di

lantai tanah. Selembar sajadah usang terhampar lesu. Sebuah

kalender bergambar wanita berbikini tergantung miring. Walaupun

sekarang sudah bulan Mei tak ada yang berminat menyobek

kalender bulan Maret, karena gambar wanita bulan Maret paling hot

dibanding bulan lainnya.

Pria yang kemarin menyapaku, yang menyetir tronton itu, salah

satu dan puluhan sopir truk yang tinggal di bedeng in duduk di atas

dipan, dekat tungku, berhadap-hadapan denganku. Ia kotor, miskin,

hidup membujang, dan kurang gizi, ia adalah Lintang.

Aku tak berkata apa-apa. Terlihat jelas ia kelelahan melawan

nasib. Lengannya kaku seperti besi karena kerja rodi tapi tubuhnya

kurus dan ringkih. Binar mata kepintaran dan senyum manis yang

jenaka itu tak pernah hilang walaupun sekarang kulitnya kering

berkilat dimakan minyak. Rambutnya semakin merah awut-awutan.

Lin- tang dan keseluruhan bangunan ini menimbulkan rasa iba, iba

karena kecerdasan yang sia-sia terbuang.

Aku masih diam. Dadaku sesak. Bedeng ini berdin di atas tanah

semacam semenanjung, daratan yang menjorok ke laut. Aku

mendengar suara Bum .! Bum ,..! Bum ...! Aku melihat ke luar

jendela sebelah kananku.

Sebuah tugboat, penarik tongkang meluncur pelan di samping

bedeng. Suara motor tempel yang nendang menggetarkan tiangtiang

bedeng dan asap hitam mengepul tebal. Gelombang halus yang

ditimbulkan tugboat tersebut memecah tepian yang berkilat seperti

permukaan kaca berwarna-warni karena digenangi minyak.

Kupandangi terus tugboat yang melaju dan sekejapaku merasa

tugboat itu tak bergerak tapi justru aku dan bedeng itu yang

Lintang yang dan tadi mengamatiku membaca pikiranku.

“Einstein is simultaneous relativity” katanya memulai

Kerinduannya pada bangku sekolah tentu membuatnya perih.

Aku juga tersenyum. Aku mengerti ia tidak mengalami apa yang

secara imajiner baru saja aku alami. Dua orang melihat objek yang

sama dan dua sudut pandang yang berbeda maka pasti mereka

memiliki persepsi yang berbeda. Oleh karena itu, Lintang

menyebutnya simultan. Sebuah konteks yang relevan dengan

perspektifku melihat hidup kami berdua sekarang.

Tak lama kemudian aku mendengar lagi suara bum! Bum! Bum!

Kali ini sebuah tugboat yang lain meluncur pelan dan arah yang

berlawanan dengan arah tugboat yang pertama tadi. Buritan

tugboat yang pertama belum habis melewatiku maka aku menoleh

ke kin dan ke kanan membandingkan panjang ke dua tugboat yang

melewatiku secara berlawanan arah.

Lintang mengobservasi penilakuku. Aku tahu ia kembali

membaca isi kepalaku, keahliannya yang selalu mem-buatku

“Paradoks ...,“ kataku.

“Relatif ...,“ kata Lintang tersenyum.

Aku menyebut paradoks karena ukuran yang kupen-kinakan

sebagai subjek yang diam akan berbeda dengan ukuran orang lain

yang ada di tugboat meskipun untuk tugboat yang sama.

“Bukan, bukan paradoks, tapi relatif,” sanggah Lintang.

“Ukuran objek bergerak dilihat oleh subjek yang diam dan

bergerak membuktikan hipotesis bahwa waktu dan jarak tidaklah

mutlak tapi sebaliknya relatif, Einstein membantah Newton dengan

pendapat itu dan itulah aksi oma pertama teori relativitas yang

melambungkan Einstein.”

Ugghh, Lintang! Sejak kecil aku tak pernah punya kesempatan

sedikit pun untuk berhenti mengagumi tokoh di depanku ini, Mantan

kawanku sebangku yang sekarang menjadi penghuni sebuah bedeng

kuli ternyata masih sharp! Walaupun bola mata jenakanya telah

menjadi kusam seperti kelereng diamplas namun intuisi

kecerdasannya tetap tajam seperti alap-alap mengintai anak ayam.

Aku beruntung sempat bertemu dengan beberapa orang yang

sangat genius tapi aku tahu Lintang memiliki bakat genius yang jauh

Aku termenung lalu menatapnya dalam-dalam. Aku merasa amat

sedih. Pikiranku melayang membayangkan dia memakai celana

panjang putih dan rompi pas badan dan bahan rajutan poliester,

melapisi kemeja lengan panjang benwarna binu laut, naik mimbar,

membawakan sebuah makalah di sebuah forum ilmiah yang

terhormat. Makalah itu tentang terobosannya di bidang biologi

manitim, fisika nuklin, atau energi alternatif.

Mungkin ia lebih berhak hilir mudik keluar negeni, mendapat

beasiswa bergengsi, dibanding begitu banyak mereka yang mengaku

dininya intelektual tapi tak lebih dan ilmuwan tanggung tanpa

kontnibusi apa pun selain tugas akhin dan nilai-nilai ujian untuk

dininya sendini. Aku ingin membaca namanya di bawah sebuah

artikel dalam jurnal ilmiah. Aku ingin mengatakan pada setiap orang

bahwa Lintang, satu-satunya ahli genetika di Indonesia, orang yang

telah menguasai operasi pohon Pascal sejak kelas satu SMP, orang

yang memahami filosofi diferensial dan integral sejak usia demikian

muda, adalah munid perguruan Muhammadiyah, temanku

Namun, hari ini Lintang tennyata hanya seonang laki-laki kunus

yang duduk bensimpuh menunggu gilinan kenja nodi. Aku teningat

lima belas tahun yang lalu ia memejamkan matanya tak lebih dan

tujuh detik untuk menjawab soal matematika yang rumit atau untuk

meneriakkan Joan dArch! Merajai lomba kecerdasan, melejitkan

kepercayaan diri kami.

Kini ia terpojok di bedeng ini, tampak tak yakin akan masa

depannya sendiri. Aku sering berangan-angan ia mendapat

kesempatan menjadi orang Melayu pertama yang menjadi

matematikawan. Tapi anganangan itu menguap, karena di sini, di

dalam bendeng tak berpintu inilah Isaac Newtonku berakhir.

“Jangan sedih Ikal, paling tidak aku telah memenuhi harapan

ayahku agar tak jadi nelayan .,..“

Dan kata-kata itu semakin menghancurkan hatiku, maka

sekarang aku marah, aku kecewa pada kenyataan be-gitu banyak

anak pintar yang harus berhenti sekolah karena alasan ekonomi.

Aku mengutuki orang-orang bodoh sok pintar yang

menyombongkan diri, dan anak-anak orang kaya yang menyianyiakan kesempatan pendidikan.

ALASAN orang menenima profesi tertentu kadang-kadang sangat

luar biasa. Ada orang yang senang menjadi kondektur karena

hobinya jalanjalan keliling kota, ada yang gembira memandikan

gajah di kebun binatang karena hobinya main air, dan ada yang

selalu meminta tugas ke luar kota agar dapat sekian ama

meninggalkan istrinya. Tapi tak ada yang senang menyortir surat

untuk alasan apa pun. Oleh karena itu, ketika 10 karung surat

ditumpahkan di depanku untuk disortir sedangkan tambahan tenaga

yang kuminta berulang-ulang tak terpenuhi, aku langsung hengkang

meninggalkan meja sortir itu, tak pernah kembali.

Sebagian orang menduduki profesinya sekarang sesuai citacitanya, sebagian besar tak pernah sama sekali menduga bahwa ia

akan menjadi seperti apa adanya sekarang, dan sebagian kecil

memilih profesi karena pertemuan dengan seseorang.

Pertemuan dengan seseorang sering menjadi sebuah titik balik

nasib. Jika tak percaya, tanyakan itu pada Mahar, Flo, dan seluruh

anggota Societeit de Limpai. Pertemuan dengan Tuk Bayan Tula

dan pesan beliau yang berbunyi: “Jika ingin lulus ujian, buka buku,

belajar!” Ternyata menjadi kata-kata keramat yang mampu

memutar haluan hidup mereka.

Pada hari Sabtu, sehari sesudah Mahar membaca pesan Tuk,

kami bendesak-desakkan di jendela kelas menyaksikan Flo dan

Mahar menemui Bu Mus di bawah pohon filicium. Ketiga orang itu

berdiri mematung dan tak banyak bicara. Lalu tampak kedua anak

berandal itu bergantian men-cium tangan Bu Mus, guru kami yang

bersahaja. Per-seteruan lama telah benakhin dengan damai.

Keesokan harinya Mahar membubarkan Societeit de Limpai, dan

esoknya lagi, pada Senin pagi yang biasa saja, kami menerima

kejutan yang luar biasa, mengagetkan, dan amat mengharukan, Flo

datang ke sekolah mengenakan jilbab.

Mahar dan Flo berhasil lulus ujian caturwulan terakhir. Flo telah

berubah total. Ia dulu seorang wanita yang berusaha melawan

kodratnya namun akhirnya ia menjadi wanita sejati. Momentum

dalam hidupnya jelas terjadi karena pertemuan dengan seseorang.

Seseorang itu ada dua, yaitu Mahar dan Tuk Bayan Tula, Kejadian

itu telah memutarbalikkan hidupnya. Flo menempuh perguruan

tinggi di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di universitas

Sriwijaya. Setelah lulus, ia menjadi guru TK di Tanjong Pandan dan

bercita-cita membangun gerakan wanita Muhammadiyah. Ia

menikah dengan seorang petugas teller bank BRI mantan anggota

Societeit, dan keinginan lama Flo untuk menjadi laki-laki dibayar

Allah dengan memberinya dua kali persalinan yang melahirkan

empat anak laki-laki yang tampan luar biasa dalam jarak hanya

setahun. Dua kali anak kembar!

Pesan Tuk Bayan Tula telah memberi pencerahan bagi para

anggota Societeit, bahwa tak ada yang dapat dicapai di dunia ini

tanpa usaha yang rasional. Sebuah pencerahan terang benderang

yang datang justru dan seorang tokoh dunia gelap, manusia separuh

pen, bahkan banyak yang menganggapnya manusia separuh iblis.

Para anggota Societeit adalah orang-orang biasa, miskin, dan

kebanyakan, namun mereka kaya raya akan pengalaman batin dan

petualangan penuh mara bahaya untuk mencari kebenaran hakiki.

Mereka memastikan setiap kesangsian, mem buktika

prasangka dan mitos-mitos, serta mengalami sendiri apa yang

hanya bisa diduga-duga orang. Mereka memuaskan sifat dasar

keingin tahuan manusia sampai batas akhir yang menguji

keyakinan. Mereka adalah orang-orang yang menjemput hidayah

dan tidak duduk termangumangu menunggunya.

Kini mereka menjadi orangorang Islam yang taat yang

menjauhkan diri dan syirik. Di bawah pemimpin baru, pemain organ

tunggal itu, mereka mem-bentuk perkumpulan yang aktif melakukan

dakwah dan mengislamkan komunitas-komunitas terasing di pulaupulauterpencil di perairan Bangka Belitong. Mereka laksana

manusia-manusia baru yang dilahirkan dan kegelapan dan kini

berjalan tegak di ladang ijtihad di bawah siraman air Danau Kautsar

yang membersihkan hati.

Tuk Bayan Tula sendiri tak ada kabar beritanya. Anggota

Societeit adalah manusia terakhir yang melihat beliau masih hidup.

Dalam kaar (peta laut) terakhir perairan Belitong yang dipetakan

oleh TNI AL, Pulau Lanun sudah tak tampak. Di perairan ini sering

sekali pulau-pulau kecil timbul dan tenggelam karena badai atau

ketidakstabilan permukaan air laut. Adapun pensiunan syah bandar

yang dulu mengumandangkan azan ketika anggota Societeit hampir

tewas dilamun badai sekarang menjadi muazin tetap di Masjid AlHikmah,

Nasib, usaha, dan takdir bagaikan tiga bukit biru samar-samar

yang memeluk manusia dalam lena. Mereka yang gagal tak jarang

menyalahkan aturan main Tuhan. Jika me-reka miskin mereka

mengatakan bahwa Tuhan, melalui takdir-Nya, memang

mengharuskan mereka miskin.

Bukit-bukit itu membentuk konspirasi rahasia masa depan dan

definisi yang sulit dipahami sebagian orang. Seseorang yang lelah

berusaha menunggu takdir akan mengubah nasibnya. Sebaliknya,

seseorang yang enggan mem-banting tulang menerima saja

nasibnya yang menurutnya tak ‘kan berubah karena semua telah

ditakdirkan. Inilah lingkaran iblis yang umumnya melanda para

pemalas. Tapi yang pasti pengalaman selalu menunjukkan bahwa

hidup dengan usaha adalah mata yang ditutup untuk memilih buahbuahan dalam keranjang. Buah apa pun yang didapat kita tetap

mendapat buah. Sedangkan hidup tanpa usaha ada-lah mata yang

ditutup untuk mencari kucing hitam di dalam kamar gelap dan

kucingnya tidak ada. Mahar memiliki bukti untuk hipotesis ini.

Ia hanya berijazah SMA. Nasibnya seperti Lintang. Mereka

adalah dua orang genius yang kemampuannya dinisbikan secara

paksa oleh tuntutan tanggung jawab pada keluarga. Mahar tak bisa

meninggalkan rumah untuk berkiprah di lingkungan yang lebih

mendukung bakatnya sejak ibunya sakit-sakitan karena tua. Sebagai

anak tunggal ia harus merawat ibunya siang malam karena ayahnya

Mahar pernah menganggur dan setiap hari, tanpa berusaha,

menunggu takdir menyapanya. Ia mengharapkan su-rat panggilan

dan Pemda untuk tenaga honorer. Ketika itu ia berpikir kalautakdir

menginginkannya menjadi se-orang guru kesenian maka ia tak perlu

melamar. Ternyata cara berpikir seperti itu tak berhasil.

Maka ia mulai berusaha menulis artikel-artikel kebudayaan

Artikelnya menarik bagi para petinggi lalu ia dipercaya membuat

dokumentasi permainan anak tradisional. Dokumentasi itu

berkembang ke bidang-bidang lain seperti kesenian dan bahasa

yang membuka kesem-patan riset kebudayaan yang luas dan

memungkinkannya menulis beberapa buku

Jika dulu ia tak menulis artikel maka ia tak ‘kan pernah menulis

buku. Melalui buku-buku itu ia tertakdirkan menjadi seorang

narasumber budaya. One thing leads to another, Dalam kasus

Mahar nasib adalah setiap deretan titik-titik yang dilalui sebagai

akibat dan setiap gerakan-gerakan konsisten usahanya dan takdir

adalah ujung titiktitik itu. Sekarang Mahar sibuk mengajar dan

mengor-ganisasi berbagai kegiatan budaya.

Tentu saja pekerjaan-pekerjaan itu tak mampu menyokong

nafkah ia dan ibunya maka honor kecil tapi rutin juga Mahar

peroleh dan orang pesisir yang meminta bantuannya melatih beruk

kelapa. Ia sangat ahli dalam bidang ini. Dalam tiga minggu

seekor beruk sudah bisa mengguncangguncang kelapa untuk

membedakan mana kelapa yang harus dipetik.

Lain pula cerita Syahdan. Syahdan yang kecil, santun, dan lemah

lembut agaknya memang ditakdirkan untuk menjadi pecundang

yang selalu menerima perintah. Jika kami membentuk tim ia pasti

menjadi orang yang paling tak penting. Ia adalah seksi repot, tempat

penitipan barang, pengurus konsumsi, pembersih, tukang

angkatangkat, dan jika makan paling belakangan. Ia adalah

kambing hitam tempat tumpahan semua kesalahan, dia tak pernah

sekalipun dimintai pertimbangan jika Laskar Pelangi mengambil

keputusan, lalu dalam lomba apa pun dia selalu kalah. Lebih dan itu

ia sangat menyebalkan karena sangat gagap teknologi. Ia sama

sekali tak bisa diandalkan untuk hal-hal berbau teknik, bahkan

hanya untuk membetulkan rantai sepeda yang lepas saja ia sering

tak becus. Cita-citanya untuk menjadi aktor sangat tidak realistis,

maka kami tak pernah berhenti menyadarkannya dan mimpi itu,

bahkan bertubi-tubi mencemoohnya.

Namun tak disangka di balik kelembutannya ternyata Syahdan

adalah seorang pejuang. Semangat juangnya sekeras batu satam.

Setelah SMA ia berangkat ke Jakarta. Dengan map di ketiaknya ia

melamar untuk menjadi aktor dan satu rumah produksi ke rumah

produksi lainnya, hanya bermodalkan satu hal: keinginan! Itu saja.

Aneh, setelah lebih dan setahun akhirnya ia benar-benar menjadi

Sayangnya sampai hampir tiga tahun berikutnya ia masih saja

seorang aktor figuran. Lalu ia bosan berperan sebagai figuran

makhluk-makhluk aneh: tuyul, setan, dan jin-jin kecil karena

tubuhnya yang mini dan berkulit gelap. Ia juga bosan menjadi

pesuruh ini itu di sebuah grup sandiwara tradisional kecil yang

sering manggung di pinggiran Jakarta. Tugas ini itu-nya itu antara

lain memikul genset dan mencuci layar panggung yang sangat besar.

Lebih dan semua itu, menjadi figuran dan pesuruh ternyata tak

mampu menghidupinya. Di tengah kemelaratannya Syahdan yang

malang iseng-iseng kursus komputer dan di tengah perjuangan

mendapatkan kursus itu ia nyaris menggelandang di Jakarta.

Di luar dugaan, orang lain umumnya mengetahui bakatnya

ketika masih belia tapi Syahdan baru tahu kalau ia berbakat

mengutak-atik program komputer justru ketika sudah dewasa.

Dengan cepat ia menguasai berbagai bahasa pemrograman dan

dalam waktu singkat ia sudah menjadi net-work designer. Tahun

berikutnya sangat mengejutkan. Ia mendapat beasiswa short course

di bidang computer net-work di Kyoto university, Jepang. Di sana ia

berhasil men-capai kualifikasm keahliannya dan menjadi salah satu

dan segelintir orang Indonesia yang memiliki sertifikat Sisco Expert

Network. Ia kembali ke Indonesia dan dua tahun kemudian

Syahdan, pria liliput putra orang Melayu, nelayan, jebolan sekolah

gudang kopra Muhammadiyah telah menduduki posisi sebagai

Information Technology Manager di sebuah perusahaan

multinasional terkemuka yang berkantor pusat di Tangerang. Dan

sudut pandang material Syahdan adalah anggota

Laskar Pelangi yang paling sukses. Ia yang dulu selalu menjadi

penerima perintah, tukang angkat-angkat, dan tak becus terhadap

sesuatu yang berbau teknik, kini memimpin divisi inovasi teknologi

dengan ratusan anak buah.

Namun Syahdan tak pernah menyerah pada cita-citanya untuk

menjadi aktor sungguhan. Suatu hari ía meneleponku tanpa salam

pembukaan dan tanpa basa-basi penutupan. Ia hanya mengatakan

ini dan tanpa sempat aku berkata apa-apa ia langsung menutup

“Kau dengar ini Ikal, aku ingin menjadi aktorfl”

Syahdan tak pernah melepaskan mimpinya karena ia adalah

DAN inilah yang paling menyedihkan dan seluruh kisah ini.

Karena tak selembar pun daun jatuh tanpa sepengetahuan Tuhan

maka tak absurd untuk menyamakan PN Timah dengan The Tower

of Babel di Babylonia. Sebuah analogi yang pas karena setelah

membentuk provinsi baru kawasan itu juga disebut Babel: Bangka

Pada tahun 1987 harga timah dunia merosot dan 16.000

USD/metriks ton menjadi hanya 5.000 USD/metriks ton dan dalam

sekejap PN Timah lumpuh. Seluruh fasilitas produksi tutup, puluhan

ribu karyawan terkena PHK.

Ketika berada di puncak komidi putar dulu, barangkali itu sebuah

kemunafikan, seperti halnya Babylonia, sebab Tuhan menghukum

keduanya dengan kehancuran berkeping-keping yang menghinakan.

Ternyata untuk musnah tak harus termaktub dalam Talmud. Tak

ada firasat sebelumnya, Perusahaan Gulliver yang telah berjaya

ratusan tahun itu mendadak lumpuh hanya dalam hitungan malam.

Maka Babel adalah inskripsi, sebuah prasasti peringatan bahwa

Tuhan telah menghancurkan dekadensi di Babylonia seperti Tuhan

menghancurkan kecongkakan di Belitong. Segera setelah harga

timah dunia turun, keadaan diperparah oleh ditemukannya sumber

suplai lain di beberapa negara, PN Timah pun megap-megap.

Orang Islam tidak diperbolehkan memercayai ramalan namun ingin

rasanya mengenang mimpi Mahar bertahun-tahun yang lalu di gua

gambar tentang kehancuran sebuah kekuatan besar di Belitong. Hari

ini mimpi meracau itu terbukti, Pemerintah pusat yang rutin

menerima royalti dan deviden miliaran rupiah tiba-tiba seperti tak

pernah mengenal pulau kecil itu. Mereka memalingkan muka ketika

rakyat Belitong menjerit menuntut ketidakadilan kompensasi atas

PHK massal. Habis manis sepah dibuang. Jargon persatuan dan

kesatuan menjadi sepi ketika ayam petelur telah menjadi mandul.

Belitong yang dulu biru berkilauan laksana jutaan ubur-ubur

Ctenopore redup laksana kapal hantu yang terapung-apung tak

tentu arah, gelap, dan sendirian.

Dalam waktu singkat Gedong berada dalam status quo. Warga

pribumi yang menahankan sakit hati karena kesenjangan selama

puluhan tahun, dan yang agak sedikit picik, menyerbu Gedong.

Para Polsus kocar-kacir ketika warga menjarah rumahrumah Victoria

mewah di kawasan prestisus tak bertuan itu. Laksana kaum proletar

membalas kesemena-menaan borjuis, mereka merubuhkan dinding,

menariki genteng, menangkapi angsa dan ayam kalkun, men-cabuti

pagar, mencuri daun pintu dan jendela, mencongkel kusen,

memecahkan setiap kaca, mengungkit tegel, dan membawa lan

Tanda-tanda peringatan “DILARANG MASUK BAGI YANG

TIDAK MEMILIKI HAK” diturunkan dan dibawa pulang untuk

dijadikan koleksi seperti cinderamata pecahan batu tembok Berlin.

Sebagian penjarah yang marah duduk sebentar di sofa besar

chesterfield dan makan di meja terracotta yang mahal, berpura-pura

menjadi orang staf sebelum mereka beramai-ramai menjarahnya.

Rumah-rumah Victoria di kawasan Gedong, negeri dongeng

tempat pun dan Cinderella bersukaria langsung berubah menjadi

Bukit Carphatian tempat kastil keluarga Dracula. Jika malam

kawasan itu gelap gulita. Pohon-pohon beringin tak lagi imut tapi

kini menunjukkan karakter asli-nya sebagai pohon tempat kaum jin

rajin beranak pinak. Daunnya yang rindang memayungi jalan raya

seakan siap memangsa siapa pun yang melintas di bawahnya.

Danau-danau buatan berubah menjadi habitat biawak dan tiangtiang utama dan bangunan yang telah dijarah tampak seumpama

bangkai binatang besar atau tombak-tombak perang bangsa Troya

yang panjang dan di puncaknya ditancapkan kepala-kepala

manusia. Sekolahsekolah PN bubar, berubah menjadi bangunan

kosong yang termangu-mangu sebagai jejak feodalisme. Kini

sekolah-sekolah itu lebih cocok menjadi lokasi shooting acara

misteri. Ratusan siswa PN yang masih aktif dilungsurkan ke sekolahsekolah negeri atau sekolah kampung.

Rumah Kepala Wilayah Produksi PN yang berdiri amat megah

seperti istana di Manggar, puncak Bukit Samak dengan

pemandangan spektakuler laut lepas dan sebuah generator listrik

terbesar seAsia Tenggara dijarah sehingga rata dengan tanah.

Rumah Sakit PN yang hebat juga tak luput dan anarkisme. Obatobatan dihamburkan ke jalan, kursi dan meja roda dibawa pulang

atau dihancurkan. Sepintas aku masih mencium amis darah di atas

brankar dan bau cairan kompres yang tergenang dalam piring piala

ginjal, suatu bau busuk kekayaan yang dikumpulkan dalam pundipundi ketidakadilan tanpa belas kasihan pada rakyat kecil,

Bentangan kawat telepon digulung. Kabel ustrik yang masih

dialiri tegangan tinggi dikampak sehingga menimbulkan bunga api

seperti asteroid menabrak atmosfer. Kapal keruk digergaji menjadi

besi kiloan, Sebuah dinasti yang kukuh dan congkak hancur

berantakan menjadi remah-remah hanya dalam hitungan malam,

seiring dengan itu, reduplah seluruh metafora yang mewakili

kedigdayaan sebuah perusahaan yang telah membuat Belitong

Yang terpukul knock out tentu saja orangorang staf. Tidak hanya

karena secara mendadak kehilangan jabatan dan hancur citranya

tapi sekian lama mapan dalam mentalitas feodalistik terorganisasi

yang inheren tiba-tiba menjadi miskin tanpa pelindungan sistem.

Karakter terbunuh secara besar-besaran. Verloop ke wisma-wisma

timah yang mewah di Jakarta atau Bandung dua kali setahun

sekarang harus diganti dengan mencangkul, memanjat, memancing,

menjerat, menggali, mendulang, atau menyelam untuk menghidupi

keluarga. Anakronistis mungkin, sebab mereka kembali hidup

bersahaja seperti zaman antediluvium ketika orang Melayu masih

Karena tak terbiasa susah dan ditambah dengan anak-anak yang

tak mau berkompromi dalam menurunkan standar hidup sementara

mereka tengah kuliah di universitas-universitas swasta mahal

membuat orang-orang staf stres berkepanjangan. Tak jarang

masalah mereka berakhir dengan stroke, operasi jantung, mati

mendadak, drop out massal, dan lilitan utang.

Mereka seperti orang tersedak sendok perak. Yang tak mampu

menerima kenyataan dan hidup menipu diri sendiri didera post

power syndrome, biasanya tak bertahan lama dan segera check in di

ZaaI Batu. Komidi berputar berbalik arah dalam kecepatan tinggi,

penumpangnya pun terjungkal.

Kehancuran PN Timah adalah kehancuran agen kapitalis yang

membawa berkah bagi kaum yang selama ini terpinggirkan, yakni

penduduk pribumi Belitong. Blessing in disguise, berkah tersamar.

Sekarang mereka bebas menggali timah di mana pun mereka suka

di tanah nenek moyangnya dan menjualnya seperti menjual ubi

Saat ini diperkirakan tak kurang dan 9.000 orang bekerja

mendulang timah di Belitong Mereka menggali tanah dengan sekop

dan mendulang tanah itu dengan kedua tangannya untuk

memisahkan bijih-bijih timah. Mereka bekerja dengan pakaian

seperti tarzan namun menghasilkan 15,000 ton timah per tahun.

Jumlah itu lebih tinggi dan produksi PN Timah dengan 16 buah

kapal keruk, tambangtambang besar, dan open pit mining, serta

dukungan miliaran dolar aset. Satu lagi bukti kegagalan metanarasi

Ekonomi Belitong yang sempat lumpuh pelan pelan mengqeliat,

berputar lagi karena aktivitas para pendulang. Suatu profesi yang

dulu dihukum sangat keras seperti pelaku subversi.

Tahun 1991 perguruan Muhammadiyah ditutup. Namun perintis

jalan terang yang gagah berani ini meninggalkan semangat

pendidikan Islam yang tak pernah mati. Sekarang Belitong telah

memiliki dua buah pesantren.

Pembangunan pesantren ini adalah harapan para tokoh

Muhammadiyah sejak lama. Generasi baru para legenda K.H.

Achmad Dahlan, Zubair, K.A. Abdul Hamid, Ibrahim bin Zaidin, dan

K.A. Harfan Effendi Noor lahir silih berganti. Suatu hari nanti akan

ada yang mengisahkan hidup mereka laksana sebuah epik.

Tak dapat dikatakan bahwa seluruh alumni sekolah

Muhammadiyah Belitong telah menjadi orang yang sukses apalagi

secara matenial namun para mantan pengajar sekolah itu patut

bangga bahwa mereka telah mewariskan semacam rasa bersalah

bagi mantan muridnya jika mencoba-coba berdekatan dengan

khianat terhadap amanah, jika mempertimbangkan dirinya

merupakan bagian dan sebuah gerombolan atau rencana yang

melawan hukum, dan jika membelakangi ayat-ayat Allah. Itulah

panggilan tak sadar yang membimbing lurus jalan kami sebagai

keyakinan yang dipegang teguh karena bekal dan pendidikan dasar

Islam yang tangguh di sekolah miskin itu. Perasaan beruntungku

karena didaftarkan ayahku di SD miskin itu puluhan tahun lalu

terbukti dan masih berlaku hingga saat ini.

Fondasi budi pekerti Islam dan kemuhammadiyahan yang telah

diajarkan padaku menggema hingga kini sehingga aku tak pernah

berbelok jauh dan tuntunan Islam bagaimanapun ibadahku sering

berfluktuasi dalam kisaran yang lebar. Sepanjang pengetahuanku

tak ada mantan warga Muhammadiyah yang menjadi bagian dan

sebuah daftar para kniminal, khususnya koruptor. Pesan Pak

Hanfan bahwa hiduplah dengan memberi sebanyak banyaknya,

bukan menerima sebanyak-banyaknya terefleksi pada kehidupan

puluh-an mantan siswa Muhammadiyah yang kukenal dekat secara

pribadi. Mereka adalah tipikal orang yang sederhana namun

bahagia dalam kesederhanaan itu.

Pak Harfan dan mantan pengajar penguruan Muhammadiyah

hingga kini tak pernah berhenti mendengungkan syiar Islam. Mereka

bangga memikul takdir sebagai pembela agama. Bu Mus dan guruguru muda Muhammadiyah mendapat kesempatan dan Depdikbud

untuk mengikuti kursus Pendidikan Guru (KPG) lalu diangkat

menjadi PNS. Bu Mus sekarang mengajar Matematika di SD Negeri

6 Belitong Timur. Beliau telah menjadi guru selama 34 tahun dan

mengaku tak pernah lagi menemukan murid-murid spektakuler

seperti Lintang, Flo, dan Mahar.

AKU bangga duduk di sini di antara para panelis, yaitu para

budayawan Melayu yang selalu menimbulkan rasa in. Sebuah

benda segitiga dan plastik di depanku menyatakan eksistensiku:

Syahdan Noor Aziz Bin

Aku terutama bangga pada sahabat lamaku Mahar Ahlan bin

Jumadi Ahlan bin Zubair bin Awam, cicit langsung tokoh besar

pendidikan Belitong, Zubair. Ia meluncurkan bukunya hari in

Sebuah novel tentang persahabatan yang sangat indah. Ketika ia

memintaku menjadi panelis, aku langsung setuju. Aku mengambil

cuti di antara kesibukanku di Bandung sekaligus pulang kampung ke

Di antara hadirin ada Nur Zaman dan guruku, Bu Mus serta Pak

Harfan, Ada pula Kucai, sekarang ia adalah Drs. Mukharam Kucai

Khairani, MBA dan selalu berpakaian safari. Dulu di kelas otaknya

paling lemah tapi sekarang gelar akademiknya termasuk paling

tinggi di antara kami. Nasib memang aneh.

Kucai selalu berpakaian safari karena citacitanya untuk menjadi

anggota dewan rupanya telah tercapai. Ia telah menjadi politisi

walaupun hanya kelas kampung. Ia menjadi seorang ketua salah

satu fraksi di DPRD Belitong. Kucai sangat progresif. Ia bertekad

menurunkan peringkat korupsi bangsa ini dan ia geram ingin

membongkar perilaku eksekutif yang sengaja membuat struktur baru

guna melegalisasi skenario besar, yaitu merampoki uang rakyat.

Bersama Mahar ia juga berniat mengembalikan nama-nama daerah

di Belitong kepadanama asli berbahasa setempat. Nama-nama itu

sehama masa orde baru dengan konyol dibahasa Indonesia kan,

Proyek prestisius mereka lainnya adahah mematenkan permainan

perosotan dengan pelepah pinang.

Tapi lebih dar semua itu aku rindu pada Ikal. Kasihan pria

keriting yang pernah jadi tukang sortir itu. Kelelahan mencari

identitas, insomnia, dan terobsesi dengan satu cinta telah

membuatnya agak senewen. Kabarnya ia hengkang dar kantor pos

lalu mendapat beasiswa untuk mehanjutkan pendidikan. Barangkahi

untuk tujuan sebenarnya: ”membuang dirinya sendiri.”

Setehah acara pehuncuran buku, aku, Nur Zaman, Mahar, dan

Kucai mengunjungi ibu Ikal untuk bersilaturahmi sekalian

menanyakan kabar anaknya di rantau orang. Ketika bus umum

yang kami tumpangi melewati pasar Tanjong Pandan, aku melihat

seorang pria yang sangat gagah seperti seorang petinggi bank atau

seperti petugas asuransi dan Jakarta yang sedang mengincar

asuransi aset di provinsi baru Babel.

Pria itu bercelana panjang cokelat teduh senada dengan warna

ikat pinggangnya. Kemejanya jatuh menarik di tubuhnya yang kurus

tinggi dengan bahu bidang. Postur yang disukai para perancang

mode. Sepatu pantofelnya jelas sering disemir. Rambutnya lurus

pendek disisir ke belakang. Kulitnya putih bersih. Tak berlebihan, ia

seperti Adrien Brody!

Sayangnya barang bawaannya sama sekali tak sesuai dengan

penampilan gagahnya. Ia menenteng plastik kresek be-lanjaan,

ikatan daun saledri, kangkung, kardus, dan alat-alat dapur. Ia

berjalan tercepuk-cepuk mengikuti seorang ibu di depannya.

Meskipun sangat repot dan kepanasan Ia-pi ia berseri-seri. Aku kenal

pria ganteng itu, ia Trapani. Tahun lalu aku mendengar cerita

pertemuannya dengan Ikal di Zaal Batu. Ia mengalami kemajuan

dan diizinkan pulang. Aku tak memberi tahu Nur Zaman, Mahar,

dan Kucai. Aku memandang ibu dan anak itu berjalan beriringan

sampai jauh. Air mataku mengahir. Nur Zaman, Mahar, dan Kucai

Aku terkenang lima belas tahun yang lalu. Setelah tamat SMA,

aku, Ikal, Trapani, dan Kucai memutuskan untuk merantau

mengadu nasib ke Jawa, Hari itu kami berjanji berangkat dengan

kapal barang dari Dermaga Ohivir. Tapi sampai sore Trapani tak

datang. Karena kapal barang hanya

berangkat sebulan sekali maka terpaksa kami berangkat tanpa

dia. Pada saat itu rupanya Trapani telah mengambil keputusan lain.

Ia tak datang ke dermaga karena ia tak mampu meninggalkan

ibunya. Setelah itu kami tak pernah mendengar kabar Trapani.

Sekarang kami duduk di beranda sebuah rumah panggung kuno

khas Melayu, rumah ibu Ikal.

“Bagaimana kabarnya si Ikal itu, Ibunda?” tanya Mahar kepada

Ibu tua berwajah keras itu awalnya tadi sangat ramah. Beliau

menyatakan rindu kepada kami, namun demi mendengar

pertanyaan itu beliau menatap Mahar dengan tajam.

Mahar tersenyum kecut. Wajah ibu Ikal kelihatan kecewa berat.

Beliau diam. Tangannya memegang sebilah pisau antip,

mencengkeramnya dengan geram sehingga dua butir pinang

terbelah dua tanpa ampun. Salah satu belahan pinang jatuh

berguling dan terjerumus di antara celah lantai papan lalu diserbu

ayam-ayam di bawah rumah, beliau tak sedikit pun peduli.

Si pemimpi itu pasti sudah bikin ulah lagi. Mahar sedikit

menyesal mengungkapkan pertanyaan itu. dan gambir yang

bertumpuk-tumpuk di dalam kotak tembaga yang disebut

keminangan. Lalu dua lembar daun sirih dibalutkan pada ramuan

tadi sehingga menjadi bola kecil. Beliau menggigit bola kecil itu

dengan geraham di sudut mulutnya seperti orang ingin memutuskan

kawat dengan gigi, bersungutsungut, dan bersabda dengan tegas:

“Terakhir ia mengirimiku sepucuk surat dan diselipkannya

selembar foto dalam suratnya itu.”

Beliau meludahkan cairan merah yang terbang melalui jendela

rumah panggung sambil melilitkan jilbabnya dua kali menutupi

dagunya sehingga seperti cadar. Beliau jelas sedang marah.

“Rupanya dia dan kawan-kawannya sedang mengikuti semacam

festival seni mahasiswa, Wajahnya di foto itu di-coreng-moreng tak

keruan tapi dia sebut itu seni?!!”

Kami menunduk tak berani berkomentar.

“Menurutnya itu seni lukis wajah, ya seni lukis wajah, apa itu...

gotik! Va gotik! Dia sebut itu seni lukis wajah gotik! Dan dia sangat

bangga pada coreng-morengnya itu!”

Beliau menghampiri kami yang duduk tertunduk melingkari meja

tua batu pualam. Kami pun ciut.

“Bukan main anak muda Melayu zaman sekarang!!!”

Ibu Ikal mengepalkan tinjunya, kami ketakutan, beliau

mengacung-acungkan pisau antip, kami tak berkutik, suara beliau

meninggi..“Dia sebut itu seni??? Ha! Seni!!

Barangkali dia ingin tahu pendapatku tentang seninya itu!!!”

Ibu Ikal meramu tembakau, pinang, kapur sirih,

Beliau benar-benar muntab, murka tak terkirakira. Untuk kedua

kalinya beliau menyemburkan cairan merah sirih melalui jendela

seperti anak-anak panah yang melesat.

“Pendapatku adalah wajahnya itu persis benar dengan wajah

orang yang sama sekali tidak pernah shalat!

Demi mendengar kata-kata itu Kucai yang tengah memamah

biak sagan tak bisa menguasai diri. Dia berusaha keras menahan

tawa tapi tak berhasil sehingga serbuk kelapa sagon terhambur ke

wajah Mahar, membuat jambul pengarang berbakat itu kacau balau.

Kucai berulang kali minta maaf pada ibu Ikal, bukan pada Mahar,

tapi wajahnya mengangguk-angguk takzim menghadap ke Nur

Dul Muluk: sandiwara orang Melayu, dipentaskan seperti ketoprak tapi

pakemnya berbabak-babak, dalam Dul Muluk tak ada unsur musik

sebagai bagian dan dramatisasi sandiwara, Temanya selalu tentang

sesuatu yang berhubungan dengan kerajaan. Dul Muluk disebut

Demulok dalam dialek Belitong atau sekadar Mulok saja.

Filicium (Filicium decipiens; fern tree; pohon kerel/kiara/kerai payung;

Ki Sabun): pohon yang termasuk familia Sapindaceae, disebut Ki

Sabun karena seluruh bagian tubuhnya mengandung saponin atau zat

kimia yang menjadi salah satu bahan dasar sabun. Pohon peneduh ini

termasuk salah satu jenis pohon yang dapat mengurangi polusi udara

Keramba: keranjang atau kotak dan bilah bambu untuk

membudidayakan ikan yang diletakkan di pinggir pantai, sungai, danau,

atau keranjang untuk mengangkut ikan, bentuknya lonjong, terbuat

dan anyaman bambu dengan kerangka kayu, biasanya berlapis ter

Kopra: daging buah kelapa yang dikeringkan untuk membuat minyak

Tercepuk-cepuk: istilah daerah untuk menggambarkan cara jalan yang

terpincang-pincang/ terseok-seok.

Antediluvium: masa sebelum diluvium (zaman pleistosen).

Burung pelintang pulau: agaknya berada dalam keluarga betet dan bayan

penampilannya seperti itu, selebihnya misterius.

Bushman: suku yang hidup di dataran bersemaksemak dan belukar di

sabana-sabana Afrika (bush dalam bahasa Inggris berarti

semak/belukar). Nama itu didapat dan antropolog Prancis. Suku ini

terangkat pamornya karena film Cod Must be Crazy, wajah dan sifat

mereka polos dan lugu.

Cemara angin: salah satu jenis cemara (Casuarina eqnisetifolia) yang

penampakannya sangat seram,

tinggi meranggas, sekeras batu. Entah menanggung karma apa jenis

cemara ini karena sering sekali disambar petir, tapi mungkin karena ada

unsur medan magnet di dalamnya. Daunnya jika ditiup angin kadangkadang berbunyi seperti siulan, mungkin ini yang menyebabkan orang

menamainya cemara angin.

Crinum giganteum: jenis crinum yang paling besar (kata giganteum

berasal dan kata gigantic

yang berarti raksasa). Umumnya setiap bunga

crinum mengeluarkan aroma seperti aroma vanili. Di dunia terdapat

tidak kurang dan 180 jenis crinum, banyak ahli yang menganggap ia

masuk dalam familia lily, lebih tepatnya perennial lily, karena warnanya

yang putih dan bentuknya yang mirip bunga tersebut. Tapi ada juga ahli

yang tidak sependapat, karena jika dilihat dan jenis crinum rawa (swamp

crinum atau Crinum asiaticum) yang beracun, penampilannya jauh benar

Ketapang (Terminalia catapa): pohon besar yang berdaun lebar dan

buahnya bertempurung keras. Kulit buahnya dipakai untuk menyamak

kulit dan bijinya dapat dibuat minyak. Pohon ini banyak sekali tumbuh

di daerah pinggir laut.

Lintang: bahasa Jawa, berarti bintang.

Nebula: sekelompok bintang di langit yang tampak sebagai kabut atau

Nipoh (Nipa fruticans): palem yang tumbuh merumpun dan subur di

rawa-rawa daerah tropis, menyerupai pohon sagu, tingginya mencapai 8

meter, daunnya digunakan untuk bahan atap, tikar, keranjang, topi, dan

payung. Nira dan sadapan perbungaannya digunakan untuk pembuatan

Pilea/bunga meriam (P/lea microphylla atau

artillery plant): tanaman ini berbentuk menyerupai pakis, dengan daundaun hijau yang mungil. Daunnya mengandung tepung sari yang pada

musim kemarau akan menebal dan jika terkena percikan air, tepung sari

tersebut akan terlontar, atau seperti meledak sehingga disebut bunga

Atop sirop: Map yang dibuat dan kayu ulin

(Eusideroxylon zwageri), sebagian orang menyebutnya kayu besi atau

kayu belian. Ulin sirap secara alamiah berupa pohon yang batangnya

seperti berlapis-lapis sehingga begitu dibelah langsung rata menyerupai

tripleks atau papan tipis. Langkah selanjutnya tinggal memotongmotong ulin sirap sesuai dengan ukuran yang dikehendaki dan siap

digunakan untuk atap rumah. Kayu ulin sirap yang berusia tua sudah

semakin sulit diperoleh karena penebangan hutan yang tidak terkendali.

Sekarang ini penggunaan atap sirap sudah semakin langka,

namun masih bisa dilihat misalnya gedung asli ITB di Bandung.

Tionghoo kebun: sebuah julukan di masyarakat Melayu untuk orangorang Tionghoa yang tidak berdagang seperti kebanyakan profesi

komunitasnya, melainkan berkebun untuk mencari nafkah. Kebanyakan

kehidupannya kurang beruntung dibandingkan saudara-saudaranya yang

berdagang, sehingga julukan Tionghoa kebun identik dengan

Lois (Tandarus furcatus): tanaman semacam pandan tapi berduri,

anyaman daunnya digunakan untuk membuat topi kerucut, karung, dan

Aichong: dahan-dahan, ranting, yang digunakan untuk menyumbat

agar ahiran air tidak bocor.

Aluvium: lempung, pasir halus, pasir, kerikil, atau butiran lain yang

terendapkan oheh air mengahir; zaman geohogi yang paling muda dan

zaman kuarter atau zaman geohogi yang sekarang.

dan dedaunan seha-seha kiaw

Bangsa Lemuria: seperti Pompeii yang dilanda bencana terus punah,

Lemuria dianggap bangsa berbudaya tinggi yang ada di wilayah

Samudra Pasifik. Hilang secara misterius dan sebagian arkeolog

menganggap Lemuria hanya mitos.

Granit: batuan keras yang berwarna keputihputihan dan berkilauan,

Hematit: bijih besi yang

Ilmenit: mineral yang bentuknya persis bijih timah, yaitu berupa pasir,

berwarna hitam, tapi sangat ringan, sementara bijih timah amat berat.

Berat segenggam timah seperti segenggam besi, sedangkan segenggam

ilmenit lebih ringan daripada segenggam pasir, sehingga ilmenit disebut

juga timah kosong. Ilmenit banyak sekali berada di lapisan aluvium

yang dangkal. Sekian lama tak dipedulikan karena dianggap tak

berharga sampai seorang ilmuwan Australia menemukan bahwa ilmenit

merupakan bahan yang nyaris sempurna untuk produk-produk antipanas

Kaolin: tanah bat yang lunak, halus, dan putih, terjadi dan pelapukan

batuan granit, dijadikan

bahan untuk membuat porselen atau untuk campuran membuat kain

tenun (kertas, karet, obat-obatan, dan sebagainya); tanah hat Gina.

Khaknai: lumpur yang akan dibuang setelah bijih-bijih timah dipisahkan

Kiaw: kayu-kayu bulat sepanjang dua atau tiga meter sebesar lengan

laki-laki dewasa yang digunakan untuk membuat phok.

Knautia (widow flower): tanaman ini diyakini hanya hidup di daerah

tropis, karena susah tumbuh jika terlindung dan sinar matahari.

Bunganya bertangkai kurus, kelopaknya menyerupai daun-daun kecil

dan berwarna merah menyala.

Kuarsa: mineral penyusun utama dalam pasir, batuan, dan berbagai

mineral, bersifat lebih tembus cahaya ultraungu daripada kaca biasa

sehingga banyak digunakan dalam alat optik; silika,

Phok: tanggul air yang dibuat oleh penambang dalam instalasi

penambangan timah tradisional.

mineral yang terdiri atas unsur plumbum sulfur (S), berbentuk seperti

rvlonazite: fosfat berwarna cokelat kemerahan,

mengandung logam bumi yang langka dan

merupakan sumber penting dan thorium,

lanthanum, dan cerium. Biasanya berupa kristalkristal kecil yang

Senotim: berada pada lapisan aluvium, berbentuk butir-butir pasir

berwarna kekuning-kuningan dengan kandungan utama fosfat, thorium,

yttrium. Mineral ini juga mengandung unsur radioaktif, namun masih

bisa ditoleransi karena kadarnya sangat rendah.

Siderit: mineral besi karbonat alamiah, lazim diperoleh dan meteor.

Silika: mineral terbesar dan pasir dan batu pasir; Si02; kristal; hablur.

Tanah ulayah: tanah hutan yang diwariskan turun-temurun (sudah

menjadi milik orang/adat) tapi belum diusahakan.

Titanium: logam berwarna kelabu tua dan amorf; unsur dengan nomor

atom 22, berlambang Ti. Logam ini sangat ringan dan kuat.

Topas: batu permata berwarna macam-macam (kuning, cokelat,

kemerah-merahan, tidak berwarna, dan sebagainya); aluminium silikat

dengan berbagai campuran.

Trickle down effect: teori ekonomi yang menyebutkan bahwa

keuntungan finansial dan lainnya yang diterima oleh bisnis besar secara

bertahapakan menyebar menjadi keuntungan seluruh masyarakat.

Zirkonium: logam tanah langka, berwarna putih perak kristalin atau

kelabu amorf, tahan terhadap korosi, lambang kimia Zr.

Caesar salad: salad yang dibuat dan campuran lettuce (daun dan tanaman

serupa kol yang berwarna putih kehijauan, lebar, dan renyah), croutons

(roti tawar kering berbentuk dadu), keju parmesan, dan anchovy

(semacam ikan ten yang diasinkan), dengan bumbu (dressing) berbahan

dasar telur. Namanya diambil dan Caesar Gardini, pemilik sebuah

restoran di Tijuana, Meksiko, yang konon pertama kali menemukannya.

Cappuccino: minuman yang merupakan campuran dan kopi espresso

dan susu panas yang berbusa, kadang ditaburi bubuk kayu manis atau

Chicken cordon bleu: ayam yang diisi dengan gulungan daging asap dan

keju dan digoreng dengan tepung panir.

ChVisis (baby orchid): anggrek ini sepintas menyerupai cattelya, tapi

bunganya lebih tebal dan berlilin, Sepal dan petalnya lebar dan luas,

labelumnya berdaging tebal dan berlilin. Daunnya tersusun seperti kipas

dan berbaris di sepanjang pseudobulbnya. Spesies-spesiesnya memiliki

yang berbeda-beda: putih-kuning, putih dengan ujung ungu, kuning

kecokelatan, kuning-peach dengan setrip merah di labelumnya.

Cul de sac: jalan yang tertutup di salah satu ujungnya, biasanya untuk di

Mannequin Piss: nama sebuah patung yg sangat terkenal, merupakan

landmark berusia ratusan tahun yang terletak di sebuah persimpangan

kecil di pusat Kota Brussel, Belgia. Legendanya, zaman dahulu ketika

terjadi sebuah kebakaran hebat warga diselamatkan oleh seorang

malaikat yang berkemih. Patung-patung kecil menyerupai Mannequin

Piss banyak diproduksi dan digunakan sebagai hiasan di air mancur.

NVmphaea caerulea (seroja biru; tunjung biru; the blue waterlily; blue

lotus; egyptian lotus;

Sacred Narcotic Lily of the Nile): jenis lotus air berwarna biru nan

cantik. Dipercaya telah digunakan oleh bangsa Mesir kuno sebagai obat

dan pelengkap ritual. Bunga yang dikeringkan terkadang diisap seperti

rokok untuk menimbulkan efek sedatif ringan.

Plum: buah kecil bulat berwarna ungu gelap kemerahan dengan kulit

licin. Berasal dan pohon plum, yang satu genus (Prunus) dengan buah

persik (peach), ceri, aprikot, dan lain-lain. Buah plum mengandung

antioksidan, vitamin C dengan kadar

sangat tinggi, rasanya asam, berair, dan bisa dimakan segar atau

dibuat selai dan prunes (dried plums).

Pumpkin dan Gorgonzola soup: sup labu yang dicampur dengan

Gorgonzola (keju biru Italia yang lembap dengan rasa yang kuat).

Saga (Adenanthera microsperma): Ada dua macam saga, yaitu saga

pohon dan saga rambat. Saga pohon biasa disebut saga saja, pohonnya

bisa tumbuh sangat besar seperti be-ringin dan berbuah keras, kecil, dan

berwarna merah berkilap. Tumbuhan ini termasuk suku polong-

polongan (Papiliocaceae), berdaun majemuk menyirip ganjil, bunganya

Snooker bar: tempat bermain snoolcer, yaitu sebuah variasi dan

permainan biliar, yang dimainkan di atas meja berlapis kain laken yang

memiliki 6 kantung berbukaan bundar (4 di tiap sudut dan 2 di tengah

sisi panjangnya). Permainan ini menggunakan sebuah tongkat panjang

(cue), satu bola putih (cue ball), 15 bola merah, serta 6 bola warna

lainnya (merah muda, hijau, cokelat, biru, kuning, dan hitam).

Permainan ini sangat populer di Inggris dan negara-negara yang pernah

menjadi bagian dan Kekaisaran Inggris.

Tainia shimadai (azalea orchid): anggrek ini memiliki sepal berwarna

kuning, cokelat kehijauan,

atau cokelat, Labelumnya berwarna kuning dengan bercak-bercak

merah cokelat kecil di kedua sisinya, dengan ujung depan terbelah tiga.

Tainia banyak hidup di pegunungan yang dingin dan lem-bap. Namanya

berasal dan kata Vunani, “tainia” yang berarti fillet, karena daunnya

yang panjang dan sempit dengan tangkai daun yang panjang.

Teh Earl Grey: teh khas Inggris yang menggunakan bergamot sebagai

campuran, sehingga menghasilkan warna seduhan yang lebih muda

dengan rasa yang musky. Konon nama tersebut diambil dan Charles

Grey, yaitu Earl Grey kedua (1764-1845), seorang negarawan dan

mantan perdana men-ten Inggris.

Vitello alla Provenzale: masakan Italia, terbuat dan daging sapi muda

(umumnya berusia 18-20 bulan) yang dimasak (di-stew) dengan tomat

dan bumbu-bumbu lain.

Vuka: sebutan untuk pekerjaan terendah, jika di PN Timah pekerjaan itu

adalah menjahit karung timah yang bersifat musiman dan borongan.

Entok: itik yang dipelihara sebagai pengeram yang baik, terutama untuk

mengerami telur bebek yang tidak dapat dierami induknya sendiri,

berdesis; itik manila; itik surati.

Gangan: nama semacam sayuran dengan bumbu kunir, bisa dimasak

bersama daging (gangan daging) atau ikan (gangan ikan).

Ikan gabus (Ophiocepha/us striatus): ikan air tawar, bentuknya seperti

ikan lele, tetapi tidak berpatil; ikan aruan.

]adam: getah dan semacam pohon yang hanya tumbuh di Arab, dibentuk

seperti kapur, dan berwarna hitam. Bila ada yang menderita sakit,

misalnya memar di tulang rusuk, maka jadam tersebut dikikis, dicampur

Bondol peking (Lonchura punctulata; scaly- breasted Munia; Nutmeg

Mannikin; Spice Finch):

jenis bondol (Munia maja: burung kecil pemakan biji yang berkepala

putih, pipit uban; emprit kaji) yang setelah dewasa akan memiliki ciri:

berparuh pendek, tebal, dan gelap, berpunggung cokelat, berkepala

cokelat gelap, dengan dada berbercak putih dan hitam atau cokelat.

Panjang tubuhnya sekitar 11-12 cm. Burung muda memiliki punggung

yang lebih pucat, kepala lebih terang, dan dada yang berwarna krem

Bubu: alat untuk menangkap ikan yang dibuat dan saga atau bambu

yang dapat dianyam, dipasang dalam air sehingga ikan dapat masuk tapi

tidak bisa keluar lagi.

Burung matahari: burung kecil, berdada kuning, dengan sayap berwarna

hitam, bentuk tubuhnya seperti kolibri, dan ia pemakan sari bunga.

Cinenen kelabu (Orthotomus sep/urn; Ashy Tailorbird; Olive-backed

Tailorbird): burung kicau kecil (sekitar 13 cm) berwarna kelabu, dengan

campuran warna hitam pada sayapnya, merah pada bagian kepala, dan

kuning pada dada. Burung ini memiliki sayap yang pendek dan

membulat, ekor pendek yang tegak, kaki yang kuat, serta paruh yang

panjang dan melengkung. Nama Ia//orb/rd diambil dan cara mereka

membangun sarang menjahit tepian beberapa daun besar menjadi satu

dengan serat tanaman atau sarang laba-laba sehingga menjadi semacam

kantung tempat sarang rumput yang sesungguhnya dibangun.

Gayam (Inocarpus eduls): pohon yang daunnya lebat dan dapat dipakai

sebagai pembungkus, biasanya tumbuh di daerah yang banyak air. Buah

pohon ini enak dimakan biasanya orang Melayu merebusnya dan

menyajikannya bersama kelapa parut, asal jangan digoreng, karena buah

tersebut akan mengeras seperti batu.

Gelatik (Hunla oryzivora): burung pipit, bulunya berwarna abu-abu,

berparuh merah, berbadan agak kecil.

]alak (Sturnupostor jala): burung beo kecil, bulunya hitam, kaki dan

paruhnya berwarna kuning.

Jalak biasa: jalak yang berparuh hitam.

]amur telur: jamur kecil yang tumbuh di sembarang tempat, beracun.

Kertas kajang: kertas minyak berwarna merah, biru, kuning, biasa dibuat

rvladu sepah: burung kecil dengan punggung berwarna merah dan paruh

rvlarkacite: berbentuk batangan-batangan kecil kisut berwarna abu-abu.

Juga mengandung plum bum dan sulfur, namun kadarnya berbeda

Ornitologi: ilmu pengetahuan tentang burung, termasuk deskripsi dan

klasifikasi, penyebaran, dan kehidupannya.

Parkit (Psitacula passer/na; parakeet): burung bayan kecil, berbulu

cerah (biasanya bertubuh hijau, berkepala kuning, dan bermuka oranye),

berekor panjang dan lancip, berukuran sekitar 30

cm. Burung jenis ini sekarang sudah semakin langka, dulunya

mereka ditembaki karena dianggap sebagai hama di perkebunan buah.

Peneng sepeda: pajak sepeda berupa semacam perangko yang

ditempelkan di sepeda.

Phyrite: Mineral yang berbentuk seperti kristal, mengandung unsur

sulfur (S) dan plumbum (Pb). Dapat memengaruhi keasaman air.

Trapeze: artinya tongkat horizontal yang terikat pada dua lajur tali yang

tergantung secara paralel, digunakan untuk sebuah nomor dalam senam

indah atau dalam permainan akrobat di sirkus.

Un g kut - u n g kut (Coppersmith barbe t; Megalaema haema): burung

yg agak ke hijau—hijauan pada punggungnya, dada berwarna putih.

Vessel board: adalah alat sambung komunikasi model lama yang

ditunggui seorang operator. Jika ada panggilan telepon maka operator ini

akan menyambungkan kawat-kawat pada sebuah papan yang penuh

lubang saluran telekomunikasi.

Wasserij: (baca: wasray), bhs. belanda, tempat pencucian. Timah

wasserj adalah timah yang telah dicuci.

Andromeda: nama untuk konstilasi terbesar di belahan bumi utara yang

terletak persis di selatan dan konstilasi Cassiopeia dan di utara konstilasi

Perseus. Tidak ada bintang di Andromeda melainkan tempat beradanya

Galaksi Andromeda, yaitu salah satu anggota dan kelompok yang sama

dengan Galaksi Bimasakti (Ini/ky Way) kita.

]awi (Ficus rhododendrifofia): pohon sejenis beringin tapi kecil yang

banyak sekali akar tunjangnya dan biasanya tumbuh di tepi telaga atau

Kumpai (Panicum stagninum): rumput (gelagah), tumbuh di paya-paya,

hijau, mengambang di atas air.

friusim selatan: sebutan orang Melayu untuk sekitar bulan April-Mei, di

saat tiupan angin lebih tenang. Berlawanan dengan musim barat yang

dingin dan berangin (di saat nama bulan berakhiran dengan suku kata “-

Triangulum: konstilasi kecil di belahan bumi selatan yang berada di

dekat Aries dan Perseus.

Zaman Cretaceous: istilah geologi untuk menyebutkan masa setelah

zaman Mesozoic berakhir, yaitu sekitar 65 sampai 144 juta tahun

yang lalu. Bumi mulai menghangat pada masa ini, beberapa genus

reptilia besar mulai punah pada akhir zaman ini, sementara jenis flora

yang masih ada sampai sekarang mulai tumbuh (seperti pohon eik dan

Auriga: konstelasi berbentuk layangan di langit sebelah utara. Bintang

yang terbesar dalam konstelasi ini adalah Capella. Bintang-bintang di

dalam Auriga kebanyakan merupakan bintang biner, yaitu sepasang

bintang yang berputar mengelilingi pusat massa. Auriga mencapai titik

tertingginya pada bulan Juni dan dapat terlihat dan belahan bumi utara

dan sebelah utara belahan bumi selatan.

Gurindam: sajak dua bans yang mengandung petuah atau nasihat

(misalnya: baik-baik memilih kawan, salah-salah bisa jadi lawan).

Andante: tempo musik yang agak lambat, lebih pelan daripada moderato

tapi lebih cepat daripada adagio. Berasal dan bahasa Italia yang berarti

“berjalan”. Jika ditambah dengan “maestoso” maka berarti tempo

tersebut harus dimainkan dengan berwibawa,

Linaria (toad/lax; butter-and-eggs): nama genus untuk tanaman liar

yang memiliki bunga bergerombol (ada yang tegak, ada yang merayap

di atas tanah) yang umumnya berwarna menyala kuning pucatoranye

(spesies lain ada yang berwarna ungu, biru, merah, putih) dan daun-daun

yang kecil. Bunganya berbentuk tabung sempit yang terbelah di

ujungnya sehingga membentuk bibir atas (disebut hood atau

kerudung/topi) dan bibir bawah yang kecil dan berwarna lain. Tanaman

ini disebut toad/lax karena jika bunganya ditekan sisinya, ia akan

berbentuk seperti katak (toad) yang sedang membuka mulut.

Perenjak sayap garis (Pr/nla familiaris; Barwinged Pr/nla): burung kecil

pemakan serangga, berwarna kelabu, memiliki sayap pendek bergarisgaris dan ekor yang panjang lentik seperti murai batu. Paruhnya tipis dan

agak melengkung. Habitat burung ini adalah di tempat terbuka seperti

Thistle crescent (Vanessa cardui; painted lady; thist/e butterfly;

cosmopolte): jenis kupu-kupu yang mungkin pa-ling luas persebarannya

dan paling banyak dijumpai di seluruh dunia. Kupu-kupu ini hidup di

daerah yang terbuka dan terkena cahaya matahari terutama taman,

lapangan, dan tanah kosong. Sayapnya berwarna oranye atau merah

kecokelatan dengan bercak dan tepian hitam, sementara permukaan

bawahnya biasanya berwarna merah muda dengan corak putih dan

Sayap belakangnya biasa-nya memiliki corak seperti mata yang

berwarna biru. Kupu-kupu ini hidup dan nektar bunga thist/e (tanaman

dengan batang dan daun berduri, dengan braktea bunga yang

lanciplancip seperti dun, biasanya berwarna ungu), aster, dan red c/over

Cymbal: alat musik berupa dua piring kuningan yang diadu.

Eureka: istilah yang digunakan untuk mengekspresikan keberhasilan

dalam menemukan sesuatu atau memecahkan suatu masalah. Dan kata

Vunani “heurçka” yang secara harfiah berarti “aku telah

menemukan(nya)”, konon diucapkan oleh Archimedes saat ia berhasil

menemukan hukum berat jenis air.

Paleontologi: ilmu tentang fosil (binatang dan tumbuhan).

Sekstan: alat untuk mengukur sudut astronomis yang meliputi

seperenam lingkaran (600) untuk menentukan posisi kapal di laut).

Colias crocea (Pure clouded yellow): kupu-kupu dengan warna dasar

kuning-jingga, dengan tepian luar sayap berwarna gelap bersetrip kuning

di atas pembuluh darahnya. Habitat kupu-kupu ini adalah di stepa,

lembah, dan lereng yang kering.

Colias myrmidone (Danube clouded yellow): mirip dengan C. Crocea,

juga memiliki tepian berwarna gelap, namun tanpa pembuluh-pembuluh

kuning. Habitatnya di daerah stepa dan hutan-stepa dengan pepohonan

yang renggang, biasanya pinus.

Papilio blumei: kupu-kupu dan jenis swallowtail (dicirikan dengan

“ekor’ di ujung bawah sayapnya) yang berukuran cukup besar (sekitar

12 cm lebar dan 10 cm panjang). Sayapnya yang berwarna hitam begitu

kontras dengan strip biru hijau sehingga memberinya tampilan yang

sangat eksotis. Konon ditemukan di Taman Nasional Bantimurung di

Maros, Sulawesi Selatan, dan diberi nama berdasarkan nama

panggilannya, Belu, dan bulan penemuannya, Mei.

Pohon santigi: pohon Iangka yang biasanya tumbuh di daerah pantai.

Pohon ini bisa dibonsai seperti beringin dan harganya mencapai jutaan

rupiah. Konon termasuk pohon keramat dan kayunya banyak dicari

karena diyakini dapat menolak santet atau bisa menjadi gagang keris

atau tombak yang baik.

Shaman: pemimpin spiritual, seseorang yang bertindak sebagai

perantara antara wilayah fisik dan wilayah spiritual, dan yang dipercaya

memiliki kekuatan tertentu seperti kemampuan meramal dan

Pinang (Areca catechu): tumbuhan berumpun, berbatang lurus seperti

hIm, tangkai daun yang melekat pada batangnya berbentuk seperti

lembaran kuhit, buah yang tua berwarna kuning kemerah-merahan untuk

Po hon ke pang (Aquilarie malaccensis):

yang kuhitnya bisa dijadikan tahi.

Antip kuku: istilah orang Melayu untuk menyebut alat pemotong

Burung ayam-ayam (Gallierex cinerea): unggas yang serupa ayam,

berkaki panjang, tidak kuat terbang, biasa hidup di tambak atau di rawarawa.

Petunia: tanaman terna (tumbuhan dengan batang lunak tidak berkayu

atau hanya mengandung jaringan kayu sedikit sekahi sehingga pada

masa tumbuhnya mati sampai ke pangkalnya tanpa ada batang yang

tertinggal di atas tanah) dan famihi Scianaceal, tingginya antara 16-30

cm, batangnya lengket, bunganya berbentuk kerucut seperti corong, ada

yang bermahkota tunggal dan ada pula yang bermahkota ganda dengan

warna yang bervariasi (merah, putih, kuning pucat, biru, dan ungu tua).

Pohon angsana (Pterocarpus md/ca): pohon yang bunganya berwarna

kuning dan berbau jeruk, kuhitnya dapat dimanfaatkan sebagai obat,

kayunya digunakan untuk pembuatan alat-alat rumah tangga, bahan

bangunan, kerajinan tangan, dan lain-lain.

Pohon medang (Cinnamomum porrectum); pohon gadis; kayu lada;

madang loso; medang sahang; kisereh; kipedes; selasihan; marawahi;

merang; parari; pelarah; peluwari; pahio): salah satu jenis suku

Lauraceae, yang kuhit dan kayunya berbau harum. Pohon ini berukuran

sedang hingga besar dengan ketinggian bisa mencapai 35-45 meter.

Batang pohonnya bundar, lurus, dan umumnya tidak berbanir (banir:

akaryang menganjur ke luar menyerupai dinding penopang pohon,

seperti pada beringin). Permukaan kuhit batang berwarna kelabu atau

kelabu cokelat sampai krem, serta beralur dangkal merapat dan

mengelupas kecil-kecil. Bagian kuhit dalam pohon ini cokelat

kemerahan, dan makin ke dalam menjadi merah muda atau putih. Pohon

termasuk beruntung karena banyak dilestarikan oleh pen-duduk yang

memanfaatkan kulitnya sebagai sumber nafkah (meskipun seperti juga

banyak jenis pohon lain, kayu pohon medang sebenarnya bisa digunakan

untuk bahan bangunan, kayu lapis, mebel, lantai, dinding, kerangka

pintu dan jendela, dan sebagainya). Kulit kayu medang merupakan

bahan baku racun nyamuk bakar dan gaharu (hio). Sementara getah yang

menempel di kulitnya bisa digunakan untuk bahan baku lem. Pohon itu

tidak akan mati meskipun berkali-kali diambil kulitnya, melainkan akan

semakin besar sehingga semakin banyak kulitnya yang bisa diambil oleh

Pohon meranti: termasuk jenis Shorea, kayunya keras, digunakan untuk

bahan bangunan, landasan rel kereta api, tiang listrik, dan lain

Tanjung (Mimusops elengi): pohon yang bunganya berwarna putih

kekuning-kuningan dan berbau harum, biasa dipakai untuk hiasan

Abutilon (Mallow, Indian Mallow, Flowering Maple):

genus besar yang terdiri dan sekitar 150 spesies tanaman berdaun lebar

yang tergolong dalam familia mallow (Malvaceae). Tanaman ini sangat

populer di daerah subtropis. Daun-daun abutilon ada yang

tidak berkelompok, ada yang tanpa kelopak, ada

juga yang menjari dengan 3-7 kelopak.

Bunga-bunganya sangat mencolok dengan lima petal, kebanyakan

berwarna merah, merah muda, jingga, kuning, atau putih.

Amarilis (Amaryllis; naked lady): genus yang terdiri dan hanya satu

spesies, yaitu Belladona Lily (Amaryllis belladonna), yang berasal dan

Afrika Selatan, Amarilis merupa-kan tanaman berumbi yang memiliki

beberapa helai daun dengan panjang 30-SO cm dan lebar 2-3 cm, yang

tertata dalam dua bans. Di musim gugur daun-daun amarilis akan

tumbuh dan kemudian gugur di akhir musim semi. Di akhir musim

panas umbinya memproduksi satu atau dua batang setinggi 30-60 cm, di

ujungnya akan muncul 2 sampai 12 buah bunga berbentuk corong.

Bunga ini berdiameter sekitar 6-10 cm dan terdiri dan 6 tepal (3 sepal

luar dan 3 petal dalam yang hampir mirip), dan berwarna putih, merah

mu-da, merah, atau ungu. Nama amarilis juga sering digunakan untuk

menyebut familia Amaryllidaceae yang terdiri dan beragam genus

seperti Hiopeastrum, Narcissus, Galan-thus, dan Clivia.

Ardisia: kelompok besar beberapa jenis pohon dan semak

hijau.Tanaman kecil akan tampak cantik di dalam pot jika sedang

tertutup oleh buah-buah bern kecilnya yang berwarna merah sampai

hitam. Daunnya kecil-kecil, berwarna hijauy gelap, dengan bunga putihmerah muda.

Aster (Aster corvifollus): nama yang umum digunakan untuk sebuah

genus yang memiliki lebih dan 250 spesies tanaman berbunga majemuk

yang harum, termasuk familia Compositae (Composite Flowers) atau

Asteraceae. Bunga aster berwarna merah, putih, kuning, ungu, atau

merah muda. Aster memiliki floret tengah (disk floret) yang bundar dan

berwarna kuning sementara floret pinggir (ray florets, terdiri dan banyak

petal) yang mengelilinginya memiliki warna bervariasi dan ungu sampai

biru, serta dan merah muda sampai putih.

Azalea: nama spesies dan genus Rhododendron. Berasal dan kata

Vunani ‘azaleas” yang berarti “kering”, meski sebenarnya ini tidak

cocok dengan azalea zaman sekarang yang tidak tumbuh di daerah

kering seperti varietas aslinya. Tanaman ini merupakan sesemakan

dengan kelompok-kelompok besar bunga berwarna merah muda, merah,

jingga, ungu, kuning, atau putih.

Banar (Smilax helferi): pohon yang merambat seperti rotan, akarnya bisa

digunakan sebagai pengikat, juga sebagai obat.

Begonia: nama umum untuk familia tanaman berbunga yang terdiri lebih

dan 1.000 spesies, memiliki karakteristik berupa daun-daun yang

asimetris serta bunga-bunga jantan dan betina yang terpisah dalam

tanaman yang sama. Bungabunga ini berwarna kuning, oranye, merah

atau putih. Batangnya kebanyakan berair, namun ada yang tegak,

merambat, atau tumbuh di bawah tanah, Begonia ada yang sengaja

dibudidayakan karena keindahan daunnya (oainted-leaf begonia) yang

berbentuk hati (bisa mencapai panjang 30 cm) dan berpola mencolok

dengan kombinasi warna merah, hitam, perak, dan hijau dengan tepian

Calathea: tanaman tropis yang unik, daunnya hijau gelap (pada Calathea

amabilis [kadang juga disebut Stromanthe amabilis atau Ctenante]

daunnya disertai pola garis-garis putih-hijau) dan berimpel, berbentuk

oval dan melancip di ujung, sementara bagian bawah daunnya berwarna

maroon. Bentuk braktea (daun gagang; daun pelindung) bunganya

bervariasi, dan bentuk kerucut sarang lebah yang berkilau sampai bentuk

ekor ular derik dan berwarna biru, merah, putih, dan lain sebagainya

Calathea crocata bunganya berbentuk seperti nyala api dan berwarna

oranye atau kuning). Di Afrika Selatan, orang menggunakan Calathea

sebagai makanan, obat, anyaman keranjang, dan atap. Menariknya,

tanaman ini akan menutup daunnya di kala malam tiba.

Damar: getah keras yang berasal dan bermacammacam pohon dan

Daun picisan (sisik naga): merupakan tumbuhan epifit, terna, tumbuh di

batang dan dahan pohon,

memiliki akar rimpang panjang, kecil, merayap, bersisik, panjang 5-

22 cm, dengan akar melekat kuat. Daun yang satu dengan yang Iainnya

tumbuh dengan jarak yang pendek, tebal berdaging, berbentuk jorong

(bulat panjang), dengan ujung tumpul atau membundar, pangkal

runcing, tepi rata, permukaan daun tua gundul dan berambut jarang pada

permukaan bawah, warnanya berkisar dan hijau sampai kecokelatan.

Ukuran daun yang berbentuk bulat sampai jorong hampir sama dengan

uang logam picisan sehingga tanaman ini dinamakan picisan. Tanaman

ini memiliki berbagal khasiat, salah satunya adalah bisa digunakan

sebagai penghilang rasa nyeri dan obat batuk.

Delima (Puniëa granatum): tumbuhan perdu dengan cabang yang

rendah dan berduri jarang. Daunnya kecil-kecil agak kaku dan berwarna

hijau berkilap. Buahnya dapat dimakan, berkulit kekuningkuningan

sampai merah tua, kalau masak merekah. Juga disebut cempaka tanjung.

Dendrobium: merupakan jenis anggrek epifit (menumpang di pohon tapi

tidak mengambil makanan darinya seperti anggrek parasit). Namanya

diambil dan katavunani, “dendron” yang berarti pohon dan “bios” yang

berarti hidup. Spesies dan anggrek ini memiliki bunga warna merah

muda, putih, kuning, atau kombinasi.

pohon tengkaras (Aquilaria malaccensis).

]ambu air mawar (Eugenia jambos): jambu air yang berbentuk bulat

kecil, berwarna kuning pucat atau kehijauan, berkulit licin dan agak

jurassic: periode geologi di saat dinosaurus berkembang pesat, burungburung dan mamalia pertama kali muncul, berlangsung sekitar 210-140

juta tahun yang lalu. Jurassic merupakan periode pertengahan dan zaman

Keladi (Co!ocasia esculenta): tumbuhan jenis terna; berdaun lebar dan

berumbi dan ada yang dapat dimakan ada yang tidak.

Keranjang pempang: keranjang yang bercabang agar bisa diletakkan di

bagian belakang sepeda.

rvlammillaria: nama genus yang termasuk familia Cactaceae (cacti) atau

kaktus. Nama Mammillaria datang dan bahasa Latin “mamma” karena

tonjolantonjolan (tubercules) yang menutupi seluruh tubuh tanaman

tersebut, dan yang, pada beberapa spesies, mengandung cairan tubuh

yang kental seperti susu (lateks). Tubuh kaktus ini bulat dan pendek,

tumbuh soliter atau berkelompok. Dun-dun kaktusnya tumbuh di puncak

tonjolan tadi dan dibedakan menjadi dun sentral dan dun radial.

Bunganya berwarna merah, merah muda, putih, kuning, atau benvaniasi,

biasanya mekar di siang

Gaharu: kayu yang harum baunya, biasanya dan

frionstera (Monstera delicioca; Swiss cheese

plant): tumbuhan berdaun besar berwarna hijau, berkilap, dan bundar

atau berbentuk hati ketika masih muda. Ciri khasnya adalah tepian yang

robek serta berlubang, yang baru tampak ketika tanaman ini dewasa.

Dengan perawatan yang tepat tanaman ini bisa tumbuh sampai mencapai

lebar 60 cm dan tinggi 2.4 m. Monstera menyukai posisi yang terang

tapi teduh. Di alam liar tanaman ini tumbuh di batang pohon dan se-panjang cabang pohon, bergantung dengan akar aenialnya yang menyerupai

ekor berwarna cokelat.

Nolina (Beaucarnea recurvata; ponytail plant; ponytail palm; elephants

foot): sebuah genus dan familia agave (Agavaceae). Nolina memiliki

daun yang panjang, langsing, dan lancip, yang keluar dan menjuntai dan

puncak sebuah batang keras yang panjang dengan dasar yang

menggelembung mirip kaki gajah. Beberapa spesiesnya dibudidayakan

sebagai tanaman hias. Jenis yang paling sering ditemui adalah Nolina

recurvata, yang biasa ditanam di dalam rumah.

Peperomia: genus dengan lebih dan 1.500 spesies di seluruh dunia dan

sekitar 20 di antaranya sudah populer sebagai tanaman pot. Semuanya

memiliki vanietas dengan dedaunan berwarna unik yang tepiannya tidak

rata. Batangnya berdaging, ada

yang tumbuh ke atas, ada yang menggantung atau merambat.

Warnanya bervaniasi antara hijau muda, merah, kuning, dan kombinasi.

Kebanyakan adalah tumbuhan epifit. Namanya diambil dan kata Vunani

“pepri” (lada) dan “homoios” (mirip), yang berarti “tampak seperti

Stromanthe: genus dan familia yang sama dengan Calathea yang terdiri

dan dua spesies tanaman dalam ruang, yaitu S. amabilis dan S.

sanguinea. S. amabilis memiliki daun-daun yang berukuran panjang 15-

25 cm dan lebar 5 cm, sementara S. sanguinea memiliki daun yang lebih

besar (mencapai panjang 30-50 cm dan lebar sekitar 10 cm) dan berkilat.

Keduanya memiliki daun-daun yang berbentuk seperti kipas.

Tabla: sepasang drum asli India, satu berbentuk sihinder, satunya lagi

berbentuk seperti mangkuk.

Trombon: alat musik tiup berbentuk trompet panjang dan cara

memainkannya ditiup sambil menyonong dan menanik alat pada pipa

Klarinet: alat musik tiup dengan lidah-lidah tunggal (single reeds)

yang dapat bergetar, dibuat dan kayu atau logam yang diberi lubanglubang dan gamitan, menghasilkan suara kecil melengking.

Saksofon: alat musik tiup yang dibuat dan logam, berbentuk lengkung

seperti pipa cangklong, dilengkapi dengan lubang dan tombol Jan.

Saksofon ada berbagai macamnya: saksofon tenor, saksofon alto, dan

Snare drum (side drum): sejenis drum yang dilengkapi dengan

bentangan kawat di bagian bawahnya agar menghasilkan suara yang

bergetar atau berderik.

Bugenvil (bunga kertas; Bougainvillea): nama umum genus tanaman

bunga merambat yang memiliki sulur berduri. Genus ini terdiri dan

sekitar 13 spesies. Tanaman ini memiliki bunga yang kecil, sederhana,

dan terpisah, yang biasanya dikelilingi oleh braktea yang mencolok.

Braktea ini bisa berwarna merah, merah muda, ungu, kuning, oranye,

atau putih. Namanya diambil dan Louis Antoine de Bougainville, pria

Prancis pemimpin ekspedisi saat tanaman ini ditemukan.

kelompok bangau, begitu anggun, tinggi, berkaki panjang, dan

berjalan melenggak lenggok, berasal dan Afrika.

Daffodil (Narcissus): dinamai dan tokoh pemuda dalam mitologi

Vunani yang terpesona oleh keindahannya sendiri sampai ajal

menjemputnya dan ia pun berubah menjadi sekuntum bunga. Genus

Narcissus merupakan keluarga amarilis. Tanaman ini berumbi, memiliki

bunga tunggal atau ganda dengan enam petal, mahkota bunga yang

memiliki enam petal yang bersatu, enam benang sari, dan sebuah putik

yang soliter. Sebuah mahkota berbentuk seperti piala disebut korona

mencuat dan permukaan dalam bunganya. Daffodil biasanya berwarna

putih atau kuning, atau kombinasi dan keduanya. Spesies yang paling

umum ditemui adalah yellow daffodil (Narcissus pseudonarcissus) yang

memiliki ciri khas mahkota bunga berwarna kuning yang dalam dan

menyerupai trompet. Umbi Narcissus mengandung alkaloid yang

beracun jika dimakan karena bisa menyebabkan gangguan pencernaan

akut seperti muntah, diare, disertai dengan gemetar dan kejang.

Dracaena: genus besar tanaman tropis yang memiliki daun runcing

seperti pedang atau oval dan lancip di ujungnya, sering kali dengan

corak warna yang bergradasi, yang berkelompok di ujung batangnya.

Tanaman ini jarang sekali memproduksi bunganya yang kecil dan

berwarna putih kehijauan.

Burung sekretaris (secretary bird): burung dan

Spesiesnya yang paling umum ditemui adalah fragrant dracaena

(Dracaena fragrans; cornplant), dengan ciri khas berupa daun yang

lemas dan melengkung, dengan setrip warna daun yang lebih muda di

tengahnya. Ada juga spesies go/ddust dracaena (Dracaena surcu/osa)

yang memiliki daun berbintik keemasan.

Katebelece: surat pendek untuk memberitakan hal seperlunya saja; surat

pengantar dan pejabat untuk urusan tertentu

Pittosporum: nama genus besar untuk semak hijau dengan daun kecil

yang kasar. Bunganya berkelompok, berwarna putih, ungu, atau kuning

kehijauan dan berbau harum. Biasa diqunakan sebagai pagar tanaman.

Bombu toli (Gigantoc/-i/oa apus): bambu yang batangnya (setelah

dibelah-belah) dapat dijadikan tali,

Collistemon loevis atau bunga jarum merah

(Bottlebrush): adalah sebuah genus yang memiliki 34 spesies dan

familia Myrtaceae. Disebut

bctt/ebrush karena bunganya yang silindris dan seperti sikat botol. Daundaunnya berbentuk linier dan lancip.

Hipokondria: ketakutan yang berlebihan dan terus-menerus (bersifat

jangka panjang) terhadap gangguan kesehatan tubuh. Penderita

hipokondria biasanya yakin bahwa ia memiliki penyakit serius tanpa ada

Vitex trifolia: tumbuhan dengan daun-daun yang bagian permukaan

atasnya berwarna hijau keabuabuan dengan corak putih yang menawan,

sementara permukaan bawahnya berwarna perak. Daun-daun yang

sangat dekoratif ini cocok untuk daerah tropis dan dapat tumbuh dengan

mudah, selain itu juga tanaman ini tak membutuhkan banyak air.

Camellia (Came/la japonica; japonica): tumbuhan sesemakan dan

keluarga teh dengan bunga yang bentuknya menyerupai mawar.

Daunnya berwarna hijau dan berkilat. Berasal dan bahasa Latin modern

untuk nama Joseph Kamel (1661-1706), seorang misionaris dan ahli

botani yang pertama kali mendeskripsikan tanaman ini.

Hipotermia: keadaan suhu tubuh yang turun sampai di bawah 350 C,

biasanya karena terpaan dingin dalam waktu lama.

Buntat: semacam batu hitam yang terdapat di perut kelabang, dipercaya

ampuh sebagai jimat pengasih.

Incubus: berasal dan cerita rakyat Eropa, yaitu seorang setan laki-laki

yang dipercaya suka mencari wanita untuk disetubuhi saat mereka tidur.

Macan akar: sebutan untuk macan kecil yang selalu berada di dekat akar

Paleolitikum: zaman batu tua; purba yang berlangsung dan 750.000

sampai 15.000 tahun yang lalu, ditandai dengan pemakaian alat-alat

Svah bandar: pejabat pemerintah yang bertugas mengatur pelabuhan.

Metafisika: ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan hal-hal yang

nonfisik atau tidak kelihatan.

Parapsikoloçji: cabang ilmu jiwa tentang hal-hal yang gaib atau di luar

jangkauan pancaindra.

Trade-off: sebuah situasi saat seseorang harus

berkompromi dengan menyerahkan seluruh atau sebagian dan suatu

hal untuk menukarnya dengan hal lainnya.

Cassiopeia: konstelasi bintang berbentuk seperti huruf “w” di belahan

bumi utara, berada di dekat Polaris.

Agnostik: orang yang berpandangan bahwa kebenaran tertinggi (Tuhan)

tidak dapat diketahui dan mungkin tidak akan dapat diketahui. Orang

seperti ini percaya bahwa Tuhan ada tapi tak mau memeluk agama apa

pun. Agnotisisme tumbuh subur di Belanda.

Pungguk (Ninox sentulata malaccensis): burung elang malam (burung

hantu) yang suka memandang bulan.

Anakronistis(a): tidak cocok tertentu. Anakronisme(n): hal dengan

dengan zaman ketidakcocokan

penempatan tokoh, peristiwa, percakapan, dan unsur latar yang tidak

sesuai menurut waktu dalam karya sastra.

Open pit mining: pertambangan sumur terbuka, istilah untuk bagian dan

lubang sumur yang digunakan untuk menahan guguran yang bisa

menutupi sumurjika ada ledakkan dan dalam.

Gotik: dalam fesyen berarti gaya busana dan rias wajah yang serbagelap,

biasanya dengan lipstik dan rias mata hitam dengan wajah yang

dipucatkan, dilengkapi dengan perhiasan perak yang berat. Gaya ini

populer di tahun 8Oan.

Pisau antip: sebutan untuk semacam alat pemotong dengan sistem per

seperti pemotong kuku.

-----------------------------------------------

Tentang Tetralogi Laskar Pelangi Andrea Hirata: Out of the Blue

Di negeri ini, tidak mudah menulis novel-novel yang kesemuanya best

seller, apalagi merupakan karyakarya pertama, ditulis seseorang yang

tak berasal dan lingkungan sastra, dan lebih gawat lagi, novel- novel itu

sama sekali tak sejalan dengan trend pasar. Tapi hal itu dapat dilakukan

Andrea Hirata. Melalui Laskar Plangi, Andrea Hirata langsung

menempatkan dirinya sebagai salah satu penulis muda Indonesia yang

amat menjanjikan. Laskar Plangi telah beredar di luar negeri, bahkan

mampu mencapai best seller di Malaysia.

Andrea Hirata, out of the blue, tak dikenal sebelumnya, tak pernah

menulis sepotong pun cerpen, tiba-tiba muncul, langsung menulis

tetralogi sesuatu yang juga cukup ajaib bagi penulis pemula dengan gaya

rea/is bertabur metafora yang disebut Prof. Sapardi Djoko Damono, guru

besar sastra Universitas Indonesia, sebagai metafora yang berani, tak

biasa, tak terduga, kadang kala ngewur, namun amat memikat.

Bagaimana karya-karya Andrea dapat menjadi best seller tanpa harus

Tentu tak terlepas dan muatan intelektualitas dan spiritualitas bukubuku itu. Sastrawan Ahmad Tohari mengatakan, “Andrea adalah

jaminan bagi sebuah karya sastra bergaya saintifik dengan penyampaian

yang cerdas dan menyentuh.” Prof. Dr. Syafii Maarif, mantan ketua

umum Muhammadiyah berkomentar,, “Andrea langsung membidik

Meski masih terlalu hipotetik, karya Andrea diterima secara luas

mungkin juga karena pembaca kita jenuh akan sajian metropop bertema

urban superringan, pornografi, hedonistik, dan mulai mendamba tulisan

yang lebih berkapasitas. “Andrea mengobati kehausan para pencinta

buku akan buku-buku Indonesia bermutu” (Kompas, 11 November

Daya tank yang menonjol dan karya-karya Andrea juga terletak pada

kemungkinan yang amat luas dan eksplorasinya terhadap karakter dan

peristiwa, sehingga paragrafnya selalu mengandung kekayaan. Setiap

paragraf seakan dapat berkembang menjadi sebuah cerpen, dan setiap

bab mengandung letupan intelejensia, kisah, dan

romantika untuk dapat tumbuh menjadi buku tersendiri. Andrea tak

pernah kekeringan ide dan tak pernah kehilangan tempat untuk melihat

suatu fenomena dan satu sudut yang tak pernah dilihat orang lain. Setiap

kalimatnya potensial. Ironi diolahnya menjadi jenaka, cinta pertama

absurd menjadi demikian memesona, tragedi diparodikan, ia

menyastrakan fisika, kimia, biologi, dan

astronomi. “Andrea adalah seorang seniman katakata,” ujar Nicola

Homer. Majalah Tempo menyebutnya, “Andrea berhasil menyajikan

kenangannya menjadi cerita yang menarik, deskripsinya kuat, filmis.”

Santi Indra Astuti, Msi., seorang dosen komunikasi, di Koran Tempo

berpendapat, “Laskar Pelangi ageless, timeless, borderless.” Garin

Nugroho, “Inspiratif.”

Dan, Pin Piza, “A must read.”

Novel pertama Andrea Hirata, Laskar Pelangi, telah berkembang bukan

hanya sebagai bacaan sastra, namun sebagai referensi ilmiah. Novel ini

banyak dirujuk untuk penulisan skripsi, tesis, dan telah diseminarkan

oleh birokrat untuk menyusun rekomendasi kebijakan pendidikan.

Adapun dalam novel keduanya., Sang Pemimpi, Andrea menarikan

imajinasi dan melantunkan stambul mimpi-mimpi dua anak Melayu

Novel Edensor adalah novel ketiga dan tetralogi Laskar Pelangi. Novel

ini bercerita tentang keberanian bermimpi, kekuatan cinta, pencarian diri

sendiri, dan penaklukan-pe-naklukan yang gagah berani.

Novel keempat, atau terakhir dalam rangkaian empat karya tetralogi

Laskar Pelangi, adalah Maryamah Karpov. Dalam Maryamab Karpov,

dengan satirenya yang khas, ironi yang menggelitik, dan intelegensia

yang meluap-luap namun membumi, Andrea berkisah tentang

perempuan dan satu sudut yang amat jarang diekspos penulis Indonesia

Membaca keempat novel tetralogi Laskar Peangi, kita tak hanya

menikmati epik yang bermutu. Kita juga akan menyaksikan bagaimana

seorang penulis berbakat berevolusi dan satu karya ke karya lainnya

untuk menuju master piecenya.

Buku ini kupersembahkan untuk

Guruku Ibu Muslimah Hafsari dan Bapak Harfan Effendi Noor.

Sepuluh sahabat masa kecilku anggota Laskar Pelangi

Ucapan terima kasih kusampaikan kepada Ally, Katja Kochling, Saskia de Rooij, Basuni

Hamin, Cindy Riza Stella, Heldy Suliswan Hirata, Yan Sancin, Zaharudin, Roxane,

Resval, Gatot Indra, Olan, Hazuan Seman Said, K.A. Arizal Artan, Okin di Telkom

Jember, dan terutama untuk Mas Gangsar Sukrisno serta Mbak Suhindrati a. Shinta di

Bab 1 Sepuluh Murid baru

Bab 4 Perempuan-Perempuan Perkasa

Bab 5 The Tower of Babel

Bab 8 Center of Excellence

Bab 9 Penyakit Gila No. 5

Bab 11 Langit Ketujuh

Bab 13 Jam Tangan Plastik Murahan

Bab 14 Laskar Pelangi dan Orang-Orang Sawang

Bab 15 Euforia Musim Hujan

Bab 16 Puisi Surga dan Kawanan Burung Pelintang Pulau

Bab 17 Ada Cinta di Toko Kelontong Bobrok Itu

Bab 19 Sebuah Kejahatan Terencana

Bab 22 Early Morning blue

Bab 26 Be There or Be Damned!

Bab 27 Detik-Detik Kebenaran

Bab 28 Societeit de Limpai

Bab 30 Elvis Has Left the Building

Dua belas tahun kemudian

“… and to every action there is always an equal

and opposite or contrary, reaction …”

Isaac newton, 1643-172

PAGI itu, waktu aku masih kecil, aku duduk di bangku panjang di depan sebuah kelas.

Sebatang pohon filicium tua yang riang meneduhiku. Ayahku duduk di sampingku,

memeluk pundakku dengan kedua lengannya dan tersenyum mengangguk-angguk pada

setiap orangtua dan anak-anaknya yang duduk berderet-deret di bangku panjang lain di

depan kami. Hari itu adalah hari yang agak penting: hari pertama masuk SD.

Di ujung bangku-bangku panjang tadi ada sebuah pintu terbuka. Kosen pintu itu

miring karena seluruh bangunan sekolah sudah doyong seolah akan roboh. Di mulut pintu

berdiri dua orang guru seperti para penyambut tamu dalam perhelatan. Mereka adalah

seorang bapak tua berwajah sabar, Bapak K.A. Harfan Efendy Noor, sang kepala sekolah

dan seorang wanita muda berjilbab, Ibu N.A. Muslimah Hafsari atau Bu Mus. Seperti

ayahku, mereka berdua juga tersenyum.

Namun, senyum Bu Mus adalah senyum getir yang dipaksakan karena tampak

jelas beliau sedang cemas. Wajahnya tegang dan gerak-geriknya gelisah. Ia berulang kali

menghitung jumlah anak-anak yang duduk di bangku panjang. Ia demikian khawatir

sehingga tak peduli pada peluh yang mengalir masuk ke pelupuk matanya. Titik-titik

keringat yang bertimbulan di seputar hidungnya menghapus bedak tepung beras yang

dikenakannya, membuat wajahnya coreng moreng seperti pameran emban bagi

permaisuri dalam Dul Muluk, sandiwara kuno kampung kami.

“Sembilan orang … baru sembilan orang Pamanda Guru, masih kurang satu…,”

katanya gusar pada bapak kepala sekolah. Pak Harfan menatapnya kosong.

Aku juga merasa cemas. Aku cemas karena melihat Bu Mus yang resah dan

karena beban perasaan ayahku menjalar ke sekujur tubuhku. Meskipun beliau begitu

ramah pagi ini tapi lengan kasarnya yang melingkari leherku mengalirkan degup jantung

yang cepat. Aku tahu beliau sedang gugup dan aku maklum bahwa tak mudah bagi

seorang pria beruisa empat puluh tujuh tahun, seorang buruh tambang yang beranak

banyak dan bergaji kecil, utnuk menyerahkan anak laki-lakinya ke sekolah. Lebih mudah

menyerahkannya pada tauke pasar pagi untuk jadi tukang parut atau pada juragan pantai

untuk menjadi kuli kopra agar dapat membantu ekonomi keluarga. Menyekolahkan anak

berarti mengikatkan diri pada biaya selama belasan tahun dan hal itu bukan perkara

gampang bagi keluarga kami.

Maka aku tak sampai hati memandang wajahnya.

“Barangkali sebaiknya aku pulang saja, melupakan keinginan sekolah, dan

mengikuti jejak beberapa abang dan sepupu-sepupuku, menjadi kuli ….”

Tapi agaknya bukan hanya ayahku yang gentar. Setiap wajah orangtua di depanku

mengesankan bahwa mereka tidak sedang duduk di bangku panjang itu, karena pikiran

mereka, seperti pikiran ayahku, melayang-layang ke pasar pagi atau ke keramba di tepian

laut membayangkan anak lelakinya lebih baik menjadi pesuruh disana.Paraorangtua ini

sama sekali tak yakin bahwa pendidikan anaknya yang hanya mampu mereka biayai

paling tinggi sampai SMP akan dapat mempercerah masa depan keluarga. Pagi ini

mereka terpaksa berada di sekolah ini untuk menghindarkan diri dari celaan aparat desa

karena tak menyekolahkan anak atau sebagai orang yang terjebak tuntutan zaman baru,

tuntutan memerdekakan anak dari buta huruf.

Aku mengenal para orangtua dan anak-anaknya yang duduk di depanku. Kecuali

seorang anak lelaki kecil kotor berambut keriting merah yang meronta-ronta dari

pegangan ayahnya. Ayahnya itu tak beralas kaki dan bercelana kain belacu. Aku tak

mengenal anak beranak itu.

Selebihnya adalah teman baikku.Trapanimisalnya, yang duduk di pangkuan

ibunya, atau Kucai yang duduk di samping ayahnya, atau Syahdan yang tak diantar siapa-siapa.

Kami bertetangga dan kami adalah orang-orang Melayu belitong dari sebuah

komunitas yang paling miskin di pulau itu. Adapun sekolah ini, SD Muhammadiyah, juga

sekolah kampung yang paling miskin di Belitong.Adatiga alasan mengapa para orangtua

mendaftarkan anaknya di sini. Pertama, karena sekolah Muhammadiyah tidak

menetapkan iuran dalam bentuk apa pun, para orangtua hanya menyumbang sukarela

semampu mereka. Kedua, karena firasat, anak-anak mereka dianggap memiliki karakter

yang mudah disesatkan iblis sehingga sejak usia muda harus mendapatkan pendadaran

Islam yang tangguh. Ketiga, karena anaknya memang tak diterima di sekolah mana pun.

Bu Mus yang semakin khawatir memancang pandangannya ke jalan raya di

seberang lapangan sekolah berharap kalau-kalau masih ada pendaftar baru. Kami prihatin

melihat harapan hampa itu. Maka tidk seperti suasana di SD lain yang penuh

kegembiraan ketika menerima murid angkatan baru, suasana hari pertama di SD

Muhammadiyah penuh dengan kerisauan, dan yang paling risau adalah Bu Mus dan Pak

Guru-guru yang sederhana ini berada dalam situasi genting karena Pengawas

Sekolah dari Depdikbud Sumsel telah memperingatkan bahwa jika SD Muhammadiyah

hanya mendapat murid baru kurang dari sepuluh orang maka sekolah paling tua di

Belitong ini harus ditutup. Karena itu sekarang Bu Mus dan Pak Harfan cemas sebab

sekolah mereka akan tamat riwayatnya, sedangkan para orangtua cemas karena biaya,

dan kami, sembilan anak-anak kecil ini yang terperangkap di tengah cemas kalau-kalau kami tak

Tahun lalu SD Muhammadiyah hanya mendapatkan sebelas siswa, dan tahun ini

Pak Harfan pesimis dapat memenuhi target sepuluh. Maka diam-diam beliau telah

mempersiapkan sebuah pidato pembubaran sekolah di depan para orangtua murid pada

kesempatan pagi ini. Kenyataan bahwa beliau hanya memerlukan satu siswa lagi untuk

memnuhi target itu menyebabkan pidato ini akan menjadi sesuatu yang menyakitkan hati.

“Kita tunggu sampai pukul sebelas,” kata Pak Harfan pada Bu Mus dan seluruh

orangtua yang telah pasrah. Suasana hening.

Paraorangtua mungkin menganggap kekurangan satu murid sebagai pertanda

bagi anak-anaknya bahwa mereka memang sebaiknya didaftarkan pada para juragan saja.

Sedangkan aku dan agaknya juga anak-anak yang lain merasa amat pedih: pedih pada

orangtua kami yang tak mampu, pedih menyaksikan detik-detik terakhir sebuah sekolah

tua yang tutup justru pada hari pertama kami ingin sekolah, dan pedih pada niat kuat

kami untuk belajar tapi tinggal selangkah lagi harus terhenti hanya karena kekurangan

satu murid. Kami menunduk dalam-dalam.

Saat itu sudah pukkul sebelas kuranglimadan Bu Mus semakin gundah.Lima

tahun pengabdiannya di sekolah melarat yang amat ia cintai dan tiga puluh dua tahun

pengabdian tanpa pamrih pada Pak Harfan, pamannya, akan berakhir di pagi yang sendu

“Baru sembilan orang Pamanda Guru …,” ucap Bu Mus bergetar sekali lagi. Ia

sudah tak bisa berpikir jernih. Ia berulang kali mengucapkan hal yang sama yang telah

diketahui semua orang. Suaranya berat selayaknya orang yang tertekan batinnya.

Akhirnya, waktu habis karena telah pukul sebelas lewatlimadan jumlah murid

tak juga genap sepuluh. Semangat besarku untuk sekolah perlahan-lahan runtuh. Aku

melepaskan lengan ayahku dari pundakku.Saharamenangis terisak-isak mendekap

ibunya karena ia benar-benar ingin sekolah di SD Muhammadiyah. Ia memakai sepatu,

kaus kaki, jilbab, dan baju, serta telah punya buku-buku, botol air minum, dan tas

punggung yang semuanya baru.

Pak Harfan menghampiri orangtua murid dan menyalami mereka satu per satu.

Sebuah pemandangan yang pilu.Paraorangtua menepuk-nepuk bahunya untuk

membesarkan hatinya. Mata Bu Mus berkilauan karena air mata yang menggenang. Pak

Harfan berdiri di depan para orangtua, wajahnya muram. Beliau bersiap-siap memberikan

pidato terakhir. Wajahnya tampak putus asa. Namun ketika beliau akan mengucapkan

kata pertama Assalamu’alaikum seluruh hadirin terperanjat karena Tripani berteriak

sambil menunjuk ke pinggir lapangan rumput luas halaman sekolah itu.

Kami serentak menoleh dan di kejauhan tampak seorang pria kurus tinggi berjalan

terseok-seok. Pakaian dan sisiran rambutnya sangat rapi. Ia berkemeja lengan panjang

putih yang dimasukkan ke dalam. Kaki dan langkahnya membentuk huruf x sehingga jika berjalan

seluruh tubuhnya bergoyang-goyang hebat. Seorang wanita gemuk setengah

baya yang berseri-seri susah payah memeganginya. Pria itu adalah Harun, pria jenaka

sahabat kami semua, yang sudah berusialimabelas tahun dan agak terbelakang

mentalnya. Ia sangat gembira dan berjalan cepat setengah berlari tak sabar menghampiri

kami. Ia tak menghiraukan ibunya yang tercepuk-cepuk kewalahan menggandengnya.

Mereka berdua hampir kehabisan napas ketika tiba di depan Pak Harfan.

“Bapak Guru …,” kata ibunya terengah-engah.

“Terimalah Harun, Pak, karena SLB hanya ada di PulauBangka, dan kami tak

punya biaya untuk menyekolahkannya kesana. Lagi pula lebih baik kutitipkan dia di

sekolah ini daripada di rumah ia hanya mengejar-ngejar anak-anak ayamku ….”

Harun tersenyum lebar memamerkan gigi-giginya yang kuning panjang-panjang.

Pak Harfan juga terseyum, beliau melirik Bu Mus sambil mengangkat bahunya.

“Genap sepuluh orang …,” katanya.

Harun telah menyelamatkan kami dan kami pun bersorak.Saharaberdiri tegak

merapikan lipatan jilbabnya dan menyandang tasnya dengan gagah, ia tak mau duduk

lagi. Bu Mus tersipu. Air mata guru muda ini surut dan ia menyeka keringat di wajahnya

yang belepotan karena bercampur dengan bedak tepung beras.

IBU Muslimah yang beberapa menit lalu sembap, gelisah, dan coreng-moreng kini

menjelma menjadi sekuntum Crinum giganteum. Sebab tiba-tiba ia mekar sumringah dan

posturnya yang jangkung persis tangkai bunga itu. Kerudungnya juga berwarna bunga

crinum demikian pula bau bajunya, persis crinum yang mirip bau vanili. Sekarang dengan

ceria beliau mengatur tempat duduk kami.

Bu Mus mendekati setiap orangtua murid di bangku panjang tadi, berdialog

sebentar dengan ramah, dan mengabsen kami. Semua telah masuk ke dalam kelas, telah

mendapatkan teman sebangkunya masing-masing, kecuali aku dan anak laki-laki kecil

kotor berambut keriting merah yang tak kukenal tadi. Ia tak bisa tenang. Anak ini berbau

hangus seperti karet terbakar.

“Anak Pak Cik akan sebangku dengan Lintang,” kata Bu Mus pada ayahku.

Oh, itulah rupanya namanya, Lintang, sebuah nama yang aneh.

Mendengar keputusan itu Lintang meronta-ronta ingin segera masuk kelas.

Ayahnya berusaha keras menenangkannya, tapi ia memberontak, menepis pegangan

ayahnya, melonjak, dan menghambur ke dalam kelas mencari bangku kosongnya sendiri.

Di bangku itu ia seumpama balita yang dinaikkan ke atas tank, girang tak alang kepalang,

tak mau turun lagi. Ayahnya telah melepaskan belut yang licin itu, dan anaknya baru saja

meloncati nasib, merebut pendidikan.

Bu Mus menghampiri ayah Lintang. Pria itu berpotongan seperti pohon cemara

angin yang mati karena disambar petir: hitam, meranggas, kurus, dan kaku. Beliau adalah

seorang nelayan, namun pembukaan wajahnya yang mirip orang Bushman adalah raut

wajah yang lembut, baik hati, dan menyimpan harap. Beliau pasti termasuk dalam

sebagian besar warga negaraIndonesiayang menganggap bahwa pendidikan bukan hak

Tidak seperti kebanyakan nelayan, nada bicaranya pelan. Lalu beliau bercerita

pada Bu Mus bahwa kemarin sore kawanan burung pelintang pulau mengunjungi pesisir.

Burung-burung keramat itu hinggap sebentar di puncak pohon ketapang demi menebar

pertanda bahwa laut akan diaduk badai. Cuaca cenderung semakin memburuk akhir-akhir

ini maka hasil melaut tak pernah memadai. Apalagi ia hanya semacam petani penggarap,

bukan karena ia tak punya laut, tapi karena ia tak punya perahu.

Agaknya selama turun temurun keluarga laki-laki cemara angin itu tak mampu

terangkat dari endemik kemiskinan komunitas Melayu yang menjadi nelayan. Tahun ini

beliau menginginkan perubahan dan ia memutuskan anak laki-laki tertuanya, Lintang, tak

akan menjadi seperti dirinya. Lintang akan duduk di samping pria kecil berambut ikal

yaitu aku, dan ia akan sekolah di sini lalu pulang pergi setiap hari naik sepeda. Jika

panggilan nasibnya memang harus menjadi nelayan maka biarkan jalan kerikil batu

merah empat puluh kilometer mematahkan semangatnya. Bau hangus yang kucium tadi

ternyata adalah bau sandal cunghai, yakni sandal yang dibuat dari ban mobil, yang aus

karena Lintang terlalu jauh mengayuh sepeda.

Keluarga Lintang berasal dari Tanjong Kelumpang, desa nun jauh di pinggir laut.

Menuju kesanaharus melewati empat kawasan pohon nipah, temapt berawa-rawa yang

dianggap seram di kampung kami. Selain itu disanajuga tak jarang buaya sebesar

pangkal pohon sagu melintasi jalan. Kampung pesisir itu secara geografis dapat dikatakan

sebagai wilayah paling timur diSumatra, daerah minus nun jauh masuk ke pedalaman

Pulau Belitong. Bagi Lintang,kotakecamatan, tempat sekolah kami ini, adalah

metropolitan yang harus ditempuh dengan sepeda sejak subuh. Ah! Anak sekecil itu ….

Ketika aku menyusul Lintang ke dalam kelas ia menyalamiku dengan kuat seperti

pegangan tangan calon mertua yang menerima pinangan. Energi yang berlebihan di

tubuhnya serta-merta menjalar padaku laksana tersengat listrik. Ia berbicara tak henti henti penuh

minat dengan dialek Belitong yang lucu, tipikal orang Belitong pelosok. Bola

matanya bergerak-gerak cepat dan menyala-nyala. Ia seperti pilea, bunga meriam itu,

yang jika butiran air jatuh di atas daunnya, ia melontarkan tepung sari, semarak, spontan,

mekar, dan penuh daya hidup. Di dekatnya, aku merasa seperti ditantang mengambil

ancang-ancang untuk sprint seratus meter. Sekencang apa engkau berlari? Begitulah

Aku sendiri masih bingung. Terlalu banyak perasaan untuk ditanggung seorang

anak kecil dalam waktu demikian singkat. Cemas, senang, gugup, malu, teman baru, guru

baru … semuanya bercampur aduk. Ditambah lagi satu perasaan ngilu karena sepasang

sepatu baru yang dibelikan ibuku. Sepatu ini selalu kusembunyikan ke belakang. Aku

selalu menekuk lututku karena warna sepatu itu hitam bergaris-garis putih maka ia

tampak seperti sepatu sepak bola, jelek sekali. Bahannya pun dari plastik yang keras.

Abang-abangku sakit perut menahan tawa melihat sepatu itu waktu kami sarapan pagi

tadi. Tapi pandangan ayahku menyuruh mereka bungkam, membuat perut mereka kaku.

Kakiku sakit dan hatiku malu dibuat sepatu ini.

Sementara itu, kepala Lintang terus berputar-putar seperti burung hantu. Baginya,

penggaris kayu satu meter, vas bunga tanah liat hasil prakarya anak kelas enam di atas

meja Bu Mus, papan tulis lusuh, dan kapur tumpul yang berserakan di atas lantai kelas

yang sebagian telah menjadi tanah, adalah benda-benda yang menakjubkan.

Kemudian kulihat lagi pria cemara angin itu. Melihat anaknya demikian bergairah

ia tersenyum getir. Aku mengerti bahwa pira yang tak tahu tanggal dan bulan

kelahirannya itu gamang membayangkan kehancuran hati anaknya jika sampai drop out

saat kelas dua atau tiga SMP nanti karena alasan klasik: biaya atau tuntutan nafkah. Bagi

beliau pendidikan adalah enigma, sebuah misteri. Dari empat garis generasi yang

diingatnya, baru Lintang yang sekolah. Generasi kelima sebelumnya adalah masa

antediluvium, suatu masa yang amat lampau ketika orang-orang Melayu masih berkelana

sebagai nomad. Mereka berpakaian kulit kayu dan menyembah bulan.

UMUMNYA Bu Mus mengelompokkan tempat duduk kami berdasarkan

kemiripan. Aku dan Lintang sebangku karena kami sama-sama berambut ikal.Trapani

duduk dengan Mahar karena mereka berdua paling tampan. Penampilan mereka seperti

para penaltun irama semenanjung idola orang Melayu pedalaman.Trapanitak tertarik

dengan kelas, ia mencuri-curi pandang ke jendela, melirik kepala ibunya yang muncul

sekali-sekali di antara kepala orangtua lainnya.

Tapi Borek (bacanya Bore’, “e”-nya itu seperti membaca elang, bukan seperti

menyebut “e” pada kata edan, dan “k”-nya itu bukan “k” penuh, Anda tentu paham

maksud saya) dan Kucai didudukkan berdua bukan karena mereka mirip tapi karena

sama-sama susah diatur. Baru beberapa saat di kelas Borek sudah mencoreng muka

Kucai dengan penghapus papan tulis. Tingkah ini diikutiSaharayang sengaja

menumpahkan air minum A Kiong sehingga anak Hokian itu menangis sejadi-jadinya

seperti orang ketakutan dipeluk setan. N.A. Sahara Aulia Fadillah binti K.A. Muslim

Ramdhani Fadillah, gadis kecil berkerudung itu, memang keras kepala luar biasa.

Kejadian itu menandai perseteruan mereka yang akan berlangsung akut bertahun-tahun.

Tangisan A Kiong nyaris merusak acara perkenalan yang menyenangkan pagi itu.

Sebaliknya, bagiku pagi itu adalah pagi yang tak terlupakan sampai puluhan tahun

mendatang karena pagi itu aku melihat Lintang dengan canggung menggenggam sebuah

pensil besar yang belum diserut seperti memegang sebilah belati. Ayahnya pasti telah

keliru membeli pensil karena pensil itu memiliki warna yang berbeda di kedua ujungnya.

Salah satu ujungnya berwarna merah dan ujung lainnya biru. Bukankah pensil semacam

itu dipakai para tukang jahit untuk menggaris kain? Atau para tukang sol sepatu untuk

membuat garis pola pada permukaan kulit? Sama sekali bukan untuk menulis.

Buku yang dibeli juga keliru. Buku bersampul biru tua itu bergaris tiga. Bukankah

buku semacam itu baru akan kami pakai nanti saat kelas dua untuk pelajaran menulis

rangkai indah? Hal yang tak akan pernah kulupakan adalah bahwa pagi itu aku

menyaksikan seorang anak pesisir melarat—teman sebangku—untuk pertama kalinya

memegang pensil dan buku, dan kemudian pada tahun-tahun berikutnya, setiap apa pun

yang ditulisnya merupakan buah pikiran yang gilang gemilang, karena nanti ia—seorang

anak miskin pesisir—akan menerangi nebula yang melingkupi sekolah miskin ini sebab

ia akan berkembang menjadi manusia paling genius yang pernah kujumpai seumur

TAK susah melukiskan sekolah kami, karena sekolah kami adalah salah satu dari ratusan

atau mungkin ribuan sekolah miskin di seantero negeri ini yang jika disenggol sedikit

saja oleh kambing yang senewen ingin kawin, bisa rubuh berantakan.

Kami memiliki enam kelas kecil-kecil, pagi untuk SD Muhammadiyah dan sore

untuk SMP Muhammadiyah. Maka kami, sepuluh siswa baru ini bercokol selama

sembilan tahun di sekolah yang sama dan kelas-kelas yang sama, bahkan susunan kawan

sebangku pun tak berubah selama sembilan tahun SD dan SMP itu.

Kami kekurangan guru dan sebagian besar siswa SD Muhammadiyah ke sekolah

memakai sandal. Kami bahkan tak punya seragam. Kami juga tak punya kotak P3K. Jika

kami sakit, sakit apa pun: diare, bengkak, batuk, flu, atau gatal-gatal maka guru kami

akan memberikan sebuah pil berwarna putih, berukuran besar bulat seperti kancing jas

hujan, yang rasanya sangat pahit. Jika diminum kita bisa merasa kenyang. Pada pil itu

ada tulisan besar APC. Itulah pil APC yang legendaris di kalangan rakyat pinggiran

Belitong. Obat ajaib yang bisa menyembuhkan segala rupa penyakit.

Sekolah Muhammadiyah tak pernah dikunjungi pejabat, penjual kaligrafi,

pengawas sekolah, apalagi anggota dewan. Yang rutin berkunjung hanyalah seorang pria

yang berpakaian seperti ninja. Di punggungnya tergantung sebuah tabung aluminium

besar dengan slang yang menjalar kesanakemari. Ia seperti akan berangkat ke bulan.

Pria ini adalah utusan dari dinas kesehatan yang menyemprot sarang nyamuk dengan

DDT. Ketika asap putih tebal mengepul seperti kebakaran hebat, kami pun bersoraksorak

Sekolah kami tidak dijaga karena tidak ada benda berharga yang layak dicuri.

Satu-satunya benda yang menandakan bangunan itu sekolah adalah sebatang tiang

bendera dari bambu kuning dan sebuah papan tulis hijau yang tergantung miring di dekat

lonceng. Lonceng kami adalah besi bulat berlubang-lubang bekas tungku. Di papan tulis

itu terpampang gambar matahari dengan garis-garis sinar berwarna putih. Di tengahnya

Sekolah Dasar Muhammadiyah

Lalu persis di bawah mathari tadi tertera huruf-huruf arab gundul yang nanti

setelah kelas dua, setelah aku pandai membaca huruf arab, aku tahu bahwa tulisan itu

berbunyi amar makruf nahi mungkar artinya :menyuruh kepada yang makruf dan

mencegah dari yang mungkar”. Itulah pedoman utama warga Muhammadiyah. Kata-kata

itu melekat dalam kalbu kami sampai dewasa nanti. Kata-kata yang begitu kami kenal

seperti kami mengenal bau alami ibu-ibu kami.

Jika dilihat dari jauh sekolah kami seolah akan tumpah karena tiang-tiang kayu

yang tua sudah tak tegak menahan atap sirap yang berat. Maka sekolah kami sangat mirip

gudang kopra. Konstruksi bangunan yang menyalahi prinsip arsitektur ini menyebabkan

tak ada daun pintu dan jendela yang bisa dikunci karena sudah tidak simetris dengan

rangka kusennya. Tapi buat apa pula dikunci?

Di dalam kelas kami tidak terdapat tempelan poster operasi kali-kalian seperti

umumnya terdapat di kelas-kelas sekolah dasar. Kami juga tidak memiliki kalender dan

tak ada gambar presiden dan wakilnya, atau gambar seekor burung aneh berekor delapan

helai yang selalu menoleh ke kanan itu. Satu-satunya tempelan disanaadalah sebuah

poster, persis di belakang meja Bu Mus untuk menutupi lubang besar di dinding papan.

Poster itu memperlihatkan gambar seorang pria berjenggot lebat, memakai jubah, dan ia

memegang sebuah gitar penuhgaya. Matanya sayu tapi meradang, seperti telah

mengalami cobaan hidup yang mahadahsyat. Dan agaknya ia memang telah bertekad

bulat melawan segala bentuk kemaksiatan di muka bumi. Di dalam gambar tersebut sang

pria tadi melongok ke langit dan banyak sekali uang-uang kertas serta logam berjatuhan

menimpa wajahnya. Di bagian bawah poster itu terdapat dua baris kalimat yang tak

kupahami. Tapi nanti setelah naik ke kelas dua dan sudah pintar membaca, aku mengerti

bunyi kedua kalimat itu adalah: RHOMA IRAMA, HUJAN DUIT!

Maka pada intinya tak ada yang baru dalam pembicaraan tentang sekolah yang

atapnya bocor, berdinding papan, berlantai tanah, atau yang kalau malam dipakai untuk

menyimpan ternak, semua itu telah dialami oleh sekolah kami. Lebih menarik

membicarakan tentang orang-orang seperti apa yang rela menghabiskan hidupnya

bertahan di sekolah semacam ini. Orang-orang itu tentu saja kepala sekolah kami Pak

K.A. Harfan Efendy Noor bin K.A. Fadillah Zein Noor dan Ibu N.A. Muslimah Hafsari

Hamid binti K.A. Abdul Hamid.

Pak Harfan, seperti halnya sekolah ini, tak susah digambarkan. Kumisnya tebal,

cabangnya tersambung pada jenggot lebat berwarna kecokelatan yang kusam dan

beruban. Hemat kata, wajahnya mirip Tom Hanks, tapi hanya Tom Hanks di dalam film

di mana ia terdampar di sebuah pulau sepi, tujuh belas bulan tidak pernah bertemu

manusia dan mulai berbicara dengan sebuah bola voli. Jika kita bertanya tentang

jenggotnya yang awut-awtuan, beliau tidak akan repot-repot berdalih tapi segera

menyodorkan sebuah buku karya Maulana Muhammad Zakariyya Al Kandhallawi Rah,

R.A. yang berjudul Keutamaan Memelihara Jenggot. Cukup membaca pengantarnya saja

Anda akan merasa malu sudah bertanya.

K.A. pada nama depan Pak Harfan berarti Ki Agus. Gelar K.A. mengalir dalam

garis laki-laki silsilah Kerajaan Belitong. Selama puluhan tahun keluarga besar yang amat

bersahaja ini berdiri pada garda depan pendidikan disana. Pak Harfan telah puluhan

tahun mengabdi di sekolah Muhammadiyah nyaris tanpa imbalan apa pun demi motif

syiar Islam. Beliau menghidupi keluarga dari sebidang kebun palawija di pekarangan

Hari ini Pak Harfan mengenakan baju takwa yang dulu pasti berwarna hijau tapi

kini warnanya pudar menjadi putih. Bekas-bekas warna hijau masih kelihatan di baju itu.

Kaus dalamnya berlubang di beberapa bagian dan beliau mengenakan celana panjang

yang lusuh karena terlalu sering dicuci. Seutas ikat pinggang plastik murahan bermotif

ketupat melilit tubuhnya. Lubang ikat pinggang itu banyak berderet-deret, mungkin telah

dipakai sejak beliau berusia belasan.

Karena penampilan Pak Harfan agak seperti beruang madu maka ketika pertama

kali melihatnya kami merasa takut. Anak kecil yang tak kuat mental bisa-bisa langsung

terkena sawan. Namun, ketika beliau angkat bicara, tak dinyana, meluncurlah mutiara-

mutiara nan puitis sebagai prolog penerimaan selamat datang penuh atmosfer sukacita di

sekolahnya yang sederhana. Kemudian dalam waktu yang amat singkat beliau telah

merebut hati kami. Bapak yang jahitan kerah kemejanya telah lepas itu bercerita tentang

perahu Nabi Nuh serta pasangan-pasangan binatang yang selamat dari banjir bandang.

“Mereka yang ingkar telah diingatkan bahwa air bah akan datang …,” demikian

ceritanya dengan wajah penuh penghayatan.

“Namun, kesombongan membutakan mata dan menulikan telinga mereka, hingga

mereka musnah dilamun ombak ….”

Sebuah kisah yang sangat mengesankan. Pelajaran moral pertama bagiku: jika tak

rajin sahalat maka pandai-pandailah berenang.

Cerita selanjutnya sangat memukau. Sebuah cerita peperangan besar zaman

Rasulullah di mana kekuatan dibentuk oleh iman bukan oleh jumlah tentara: perang

Badar! Tiga ratus tiga belas tentara Islam mengalahkan ribuan tentara Quraisy yang kalap

dan bersenjata lengkap.

“Ketahuilah wahai keluarga Ghudar, berangkatlah kalian ke tempat-tempat

kematian kalian dalam masa tiga hari!” Demikian Pak Harfan berteriak lantang sambil

menatap langit melalui jendela kelas kami. Beliau memekikkan firasat mimpi seorang

penduduk Mekkah, firasat kehancuran Quraisy dalam kehebatan perang Badar.

Mendengar teriakan itu rasanya aku ingin melonjak dari tempat duduk. Kami

ternganga karena suara Pak Harfan yang berat menggetarkan benang-benang halus dalam

kalbu kami. Kami menanti liku demi liku cerita dalam detik-detik menegangkan dengan

dada berkobar-kobar ingin membela perjuangan para penegak Islam. Lalu Pak Harfan

mendinginkan suasana yang berkisah tentang penderitaan dan tekanan yang dialami

seorang pria bernama Zubair bin Awam. Dulu nun di tahun 1929 tokoh ini bersusah

payah, seperti kesulitan Rasulullah ketika pertama tiba di Madinah, mendirikan sekolah

dari jerjak kayu bulat seperti kandang. Itulah sekolah pertama di Belitong. Kemudian

muncul para tokoh seperti K.A. Abdul Hamid dan Ibrahim bin Zaidin yang berkorban

habis-habisan melanjutkan sekolah kandang itu menjadi sekolah Muhammadiyah.

Sekolah ini adalah sekolah Islam pertama di Belitong, bahkan mungkin di Sumatra

Pak Harfan menceritakan semua itu dengan semangat perang badar sekaligus

setenang embusan angin pagi. Kami terpesona pada setiap pilihan kata dan gerak lakunya

yang memikat.Adasemacam pengaruh yang lembut dan baik terpancar darinya. Ia

mengesankan sebagai pria yang kenyang akan pahit getir perjuangan dan kesusahan

hidup, berpengetahuan seluas samudra, bijak, berani mengambil risiko, dan menikmati

daya tarik dalam mencari-cari bagaimana cara menjelaskan sesuatu agar setiap orang

Pak Harfan tampak amat bahagia menghadapi murid, tipikal “guru” yang

sesungguhnya, seperti dalam lingua asalnya,India, yaitu orang yang tak hanya

mentransfer sebuah pelajaran, tapi juga yang secara pribadi menjadi sahabat dan

pembimbing spiritual bagi muridnya. Beliau sering menaikturunkan intonasi, menekan

kedua ujung meja sambil mempertegas kata-kata tertentu, dan mengangkat kedua

tangannya laksana orang berdoa minta hujan.

Ketika mengajukan pertanyaan beliau berlari-lari kecil mendekati kami, menatap

kami penuh arti dengan pandangan matanya yang teduh seolah kami adalah anak-anak

Melayu yang paling berharga. Lalu membisikkan sesuatu di telinga kami, menyitir

dengan lancar ayat-ayat suci, menantang pengetahuan kami, berpantun, membelai hati

kami dengan wawasan ilmu, lalu diam, diam berpikir seperti kekasih merindu, indah

Beliau menorehkan benang merah kebenaran hidup yang sederhana melalui katakatanya

yang ringan namun bertenaga seumpama titik-titik air hujan. Beliau

mengobarkan semangat kami utnuk belajar dan membuat kami tercengang dengan

petuahnya tentang keberanian pantang menyerah melawan kesulitan apa pun. Pak Harfan

memberi kami pelajaran pertama tentang keteguhan pendirian, tentang ketekunan,

tentang keinginan kuat untuk mencapai cita-cita. Beliau meyakinkan kami bahwa hidup

bisa demikian bahagia dalam keterbatasan jika dimaknai dengan keikhlasan berkorban

untuk sesama. Lalu beliau menyampaikan sebuah prinsip yang diam-diam menyelinap

jauh ke dalam dadaku serta memberi arah bagiku hingga dewasa, yaitu bahwa hiduplah

untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya.

Kami tak berkedip menatap sang juru kisah yang ulung ini. Pria ini buruk rupa

dan buruk pula setiap apa yang disandangnya, tapi pemikirannya jernih dan kata-katanya

bercahaya. Jika ia mengucapkan sesuatu kami pun terpaku menyimaknya dan tak sabar

menunggu untaian kata berikutnya. Tiba-tiba aku merasa sangat beruntung didaftarkan

orangtuaku di sekolah miskin Muhammadiyah. Aku merasa telah terselamatkan karena

orangtuaku memilih sebuah sekolah Islam sebagai pendidikan paling dasar bagiku. Aku

merasa amat beruntung berada di sini, di tengah orang-orang yang luar biasa ini. Ada

keindahan di sekolah Islam melarat ini. Keindahan yang tak ‘kan kutukar dengan seribu

kemewahan sekolah lain.

Setiap kali Pak Harfan ingin menguji apa yang telah diceritakannya kami

berebutan mengangkat tangan, bahkan kami mengacung meskipun beliau tak bertanya,

dan kami mengacung walaupun kami tak pasti akan jawaban. Sayangnya bapak yang

penuh daya tarik ini harus mohon diri. Satu jam dengannya terasa hanya satu menit. Kami

mengikuti setiap inci langkahnya ketika meninggalkan kelas. Pandangan kami melekat

tak lepas-lepas darinya karena kami telah jatuh cinta padanya. Beliau telah membuat

kami menyayangi sekolah tua ini. Kuliah umum dari Pak Harfan di hari pertama kami

masuk SD Muhammadiyah langsung menancapkan tekad dalam hati kami untuk

membela sekolah yang hampir rubuh ini, apa pun yang terjadi.

Kelas diambil alih oleh Bu Mus. Acaranya adalah perkenalan dan akhirnya tibalah

giliran A Kiong. Tangisnya sudah reda tapi ia masih terisak. Ketika diminta ke depan

kelas ia senang bukan main. Sekarang di sela-sela isaknya ia tersenyum. Ia menggoyanggoyangkan

tubuhnya. Tangan kirinya memegang botol air yang kosong—karena isinya

tadi ditumpahkanSahara—dan tangan kanannya menggenggam kuat tutup botol itu.

“Silahkan ananda perkenalkan nama dan alamat rumah …,” pinta Bu Mus lembut

pada anak Hokian itu.

A Kiong menatap Bu Mus dengan ragu kemudian ia kembali tersenyum.

Bapaknya menyeruak di antara kerumunan orangtua lainnya, ingin menyaksikan anaknya

beraksi. Namun, meskipun berulang kali ditanya A Kiong tidak menjawab sepatah kata

pun. Ia terus tersenyum dan hanya tersenyum saja.

“Silakan ananda …,” Bu Mus meminta sekali lagi dengan sabar.

Namun sayang A Kiong hanya menjawabnya dengan kembali tersenyum. Ia

berkali-kali melirik bapaknya yang kelihatan tak sabar. Aku dapat membaca pikiran

ayahnya, “Ayolah anakku, kuatkan hatimu, sebutkan namamu! Paling tidak sebutkan

nama bapakmu ini, sekali saja! Jangan bikin malu orang Hokian!” Bapak Tionghoa

berwajah ramah ini dikenal sebagai seorang Tionghoa kebun, strata ekonomi terendah

dalam kelas sosial orang-orang Tionghoa di Belitong.

Namun, sampai waktu akan berakhir A Kiong masih tetap saja tersenyum. Bu

Mus membujuknya lagi.

“Baiklah ini kesempatan terakhir untukmu mengenalkan diri, jika belum bersedia

maka harus kembali ke tempat duduk.”

A Kiong malah semakin senang. Ia masih sama sekali tak menjawab. Ia

tersenyum lebar, matanya yang sipit menghilang. Pelajaran moral nomor dua: jangan

tanyakan nama dan alamat pada orang yang tinggal di kebun. Maka berakhirlah

perkenalan di bulan Februari yang mengesankan itu.

PEREMPUAN-PERMPUAN PERKASA

AKU pernah membaca kisah tentang wanita yang membelah batu karang untuk

mengalirkan air, wanita yang menenggelamkan diri belasan tahun sendirian di tengah

rimba untuk menyelamatkan beberapa keluarga orang utan, atau wanita yang berani

mengambil risiko tertular virus ganas demi menyembuhkan penyakit seorang anak yang

sama sekali tak dikenalnya nun jauh diSomalia. Di sekolah Muhammadiyah setiap hari

aku membaca keberanian berkorban semacam itu di wajah wanita muda ini.

N.A. Muslimah Hafsari Hamid binti K.A. Abdul Hamid, atau kami

memanggilnya Bu Mus, hanya memiliki selembar ijazah SKP (Sekolah Kepandaian

Putri), namun beliau bertekad melanjutkan cita-cita ayahnya—K.A. Abdul Hamid,

pelopor sekolah Muhammadiyah di Belitong—untuk terus mengobarkan pendidikan

Islam. Tekad itu memberinya kesulitan hidup yang tak terkira, karena kami kekurangan

guru—lagi pula siapa yang rela diupah beras 15 kilo setiap bulan? Maka selama enam

tahun di SD Muhammadiyah, beliau sendiri yang mengajar semua mata pelajaran—mulai

dari Menulis Indah, Bahasa Indonesia, Kewarganegaraan, Ilmu Bumi, sampai

Matematika, Geografi, Prakarya, dan Praktik Olahraga. Setelah seharian mengajar, beliau

melanjutkan bekerja menerima jahitan sampai jauh malam untuk mencari nafkah,

menopang hidup dirinya dan adik-adinya.

BU MUS adalah seroang guru yang pandai, karismatik, dan memiliki pandangan

jauh ke depan. Beliau menyusun sendiri silabus pelajaran Budi Pekerti dan mengajarkan

kepada kami sejak dini pandangan-pandangan dasar moral, demokrasi, hukum, keadilan,

dan hak-hak asasi—jauh hari sebelum orang-orang sekarang meributkan soal

materialisme versus pembangunan spiritual dalam pendidikan. Dasar-dasar moral itu

menuntun kami membuat konstruksi imajiner nilai-nilai integritas pribadi dalam konteks

Islam. Kami diajarkan menggali nilai luhur di dalam diri sendiri agar berperilaku baik

karena kesadaran pribadi. Materi pelajaran Budi Pekerti yang hanya diajarkan di sekolah

Muhammadiyah sama sekali tidak seperti kode perilaku formal yang ada dalam konteks

legalitas institusional seperti sapta prasetya atau pedoman-pedoman pengalaman lainnya.

“Shalatlah tepat waktu, biar dapat pahala lebih banyak,” demikian Bu Mus selalu

Bukankah ini kata-kata yang diilhami surah An-Nisa dan telah diucapkan ratusan

kali oleh puluhan khatib? Sering kali dianggap sambil lalu saja oleh umat. Tapi jika yang

mengucapkannya Bu Mus kata-kata itu demikian berbeda, begitu sakti, berdengungdengung

di dalam kalbu. Yang terasa kemudian adalah penyesalan mengapa telah

Pada kesempatan lain, karena masih kecil tentu saja, kami sering mengeluh

mengapa sekolah kami tak seperti sekolah-sekolah lain. Terutama atap sekolah yang

bocor dan sangat menyusahkan saat musim hujan. Beliau tak menanggapi keluhan itu tapi

mengeluarkan sebuah buku berbahasa Belanda dan memerplihatkan sebuah gambar.

Gambar itu adalah sebuah ruangan yang sempit, dikelilingi tembok tebal yang

suram, tinggi, gelap, dan berjeruji. Kesan di dalamnya begitu pengap, angker, penuh

kekerasan dan kesedihan.

“inilah sel Pak Karno di sebuah penjara diBandung, di sini beliau menjalani

hukuman dan setiap hari belajar, setiap waktu membaca buku. Beliau adalah salah satu

orang tercerdas yang pernah dimiliki bangsa ini.”

Beliau tak melanjutkan ceritanya.

Kami tersihir dalam senyap. Mulai saat itu kami tak pernah lagi memprotes

keadaan sekolah kami. Pernah suatu ketika hujan turun amat lebat, petir sambar

menyambar.Trapanidan Mahar memakai terindak, topi kerucut dari daun lais khas

tentara Vietkong, untuk melindungi jambul mereka. Kucai, Borek, danSaharamemakai

jas hujan kuning bergambar gerigi metal besar di punggungnya dengan tulisan “UPT Bel”

(Unit Penambangan Timah Belitong)—jas hujan jatah PN Timah milik bapaknya. Kami

sisanya hampir basah kuyup. Tapi sehari pun kami tak pernah bolos, dan kami tak pernah

mengeluh, tidak, sedikit pun kami tak pernah mengeluh.

Bagi kami Pak Harfan dan Bu Mus adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang

sesungguhnya. Merekalah mentor, penjaga, sahabat, pengajar, dan guru spiritual. Mereka

yang pertama menjelaskan secara gamblang implikasi amar makruf nahi mungkar

sebagai pegangan moral kami sepanjang hayat. Mereka mengajari kami membuat rumahrumahan

dari perdu apit-apit, mengusap luka-luka di kaki kami, membimbing kami cara

mengambil wudu, melongok ke dalam sarung kami ketika kami disunat, mengajari kami

doa sebelum tidur, memompa ban sepeda kami, dan kadang-kadang membuatkan kami

Mereka adalah ksatriatampapamrih, pangeran keikhlasan, dan sumur jernih ilmu

pengetahuan di ladang yang ditinggalkan. Sumbangan mereka laksana manfaat yang

diberikan pohon filicium yang menaungi atap kelas kami. Pohon ini meneduhi kami dan

dialah saksi seluruh drama ini. Seperti guru-guru kami, filicium memberi napas

kehidupan bagi ribuan organisme dan menjadi tonggak penting mata rantai ekosistem.

JUMLAH orang Tionghoa di kampung kami sekitar sepertiga dari total populasi.Ada

orang Kek, ada orang Hokian, ada orang Tongsan, dan ada yang tak tahu asal usulnya.

Bisa saja mereka yang lebih dulu mendiami pulau ini daripada siapa pun. Aichang, phok,

kiaw, dan khaknai, seluruhnya adalah perangkat penambangan timah primitf yang

sekarang dianggap temuan arkeologi, bukti bahwa nenek moyang mereka telah lama

sekali berada di Pulau Belitong. Komunitas ini selalu tipikal: rendah hati ddan pekerja

keras. Meskipun jauh terpisah dari akar budayanya namun mereka senantiasa memelihara

adat istiadatnya, dan di Belitong mereka beruntung karena mereka tak perlu jauh-jauh

datang ke Jinchanying kalau hanya ingin melihat Tembok Besar Cina.

Persis bersebelahan dengan toko-toko kelontong milik warga Tionghoa ini berdiri

tembok tinggi yang panjang dan disanasini tergantung papan peringatan “DILARANG

MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK”. Di atas tembok ini tidak hanya

ditancapi pecahan-pecahan kaca yang mengancam tapi juga dililitkan empat jalur kawat

berduri seperti di kampAuschwitz. Namun, tidak seperti Tembok Besar Cina yang

melindungi berbagai dinasti dari sebuan suku-suku Mongol di utara, di Belitong tembok

yang angkuh dan berkelak-kelok sepanjang kiloan meter ini adalah pengukuhan sebuah

dominasi dan perbedaan status sosial.

Di balik tembok itu terlindung sebuah kawasan yang disebut Gedong, yaitu negeri

asing yang jika berada di dalamnya orang akan merasa tak sedang berada di Belitong.

Dan di dalamsanaberdiri sekolah-sekolah PN. Sekolah PN adalah sebutan untuk sekolah

milik PN (Perusahaan Negara) Timah, sebuah perusahaan yang paling berpengaruh di

Belitong, bahkan sebuah hegemoni lebih tepatnya, karena timah adalah denyut nadi pulau

Suatu sore seorang gentleman keluar dari balik tembok itu untuk berkeliling

kampung dengan sebuah Chevrolet Corvette, lalu esoknya di depan sebuah majelis ia

“Tak satu pun kulihat ada anak muda memegang pacul! Tak pernah kulihat orangorang

muda demikian malas seperti di sini.”

Ha? Apa dia kira kami bangsa petani? Kami adalah buruh-buruh tambang yang

bangga, padi tak tumbuh di atas tanah-tanah kami yang kaya material tambang!

LAKSANA theTowerofBabel—yakni Menara Babel, metafora tangga menuju

surga yang ditegakkan bangsa babylonia sebagai perlambang kemakmuran 5.600 tahun

lalu, yang berdiri arogan di antara Sungai Tigris dan Eufrat di tanah yang sekarang

disebut Irak—timah di Belitong adalah menara gading kemakmuran berkah Tuhan yang

menjalar sepanjang Semenanjung Malaka, tak putus-putus seperti jalian urat di punggung

Orang Melayu yang merogohkan tangannya ke dalam lapisan dangkal aluvium,

hampir di sembarang tempat, akan mendapati lengannya berkilauan karena dilumuri

ilmenit atau timah kosong. Bermil-mil dari pesisir, Belitong tampak sebagai garis pantai

kuning berkilauan karena bijih-bijih timah dan kuarsa yang disirami cahaya matahari.

Pantulan cahaya itu adalah citra yang lebih kemilau dari riak-riak gelombang laut dan

membentuk semacam fatamorgana pelangi sebagai mercusuar yang menuntun para

Tuhan memberkahi Belitong dengan timah bukan agar kapal yang berlayar ke

pulau itu tidak menyimpang ke Laut Cina Selatan, tetapi timah dialirkan-Nya kesana

untuk menjadi mercusuar bagi penduduk pulau itu sendiri. Adakah mereka telah semena mena pada

rezeki Tuhan sehingga nanti terlunta-lunta seperti di kala Tuhan menguji

Kilau itu terus menyala sampai jauh malam. Eksploitasi timah besar-besaran

secara nonstop diterangi ribuan lampu dengan energi jutaan kilo watt. Jika disaksikan

dari udara di malam hari Pulau Belitong tampak seperti familia besar Ctenopore, yakni

ubur-ubur yang memancarkan cahaya terang berwarna biru dalam kegelapan latu: sendiri,

kecil, bersinar, indah, dan kaya raya. Belitong melayang-layang di antara Selat Gaspar

dan Karimata bak mutiara dalma tangkupan kerang.

Dan terberkatilah tanah yang dialiri timah karena ia seperti knautia yang dirubung

beragam jenis lebah madu. Timah selalu mengikat material ikutan, yakni harta karun tak

ternilai yang melimpah ruah: granit, zirkonium, silika, senotim, monazite, ilmenit, siderit,

hematit, clay, emas, galena, tembaga, kaolin, kuarsa, dan topas …. Semuanya berlapislapis,

meluap-luap, beribu-ribu ton di bawah rumah-rumah panggung kami. Kekayaan ini

adalah … bahan dasar kaca berkualitas paling tinggi, bijih besi dan titanium yang bernas,

… material terbaik untuk superkonduktor, timah kosong ilmenit yang digunakan

laboratorium roket NASA sebagai materi antipanas ekstrem, zirkonium sebagai bahan

dasar produk-produk tahan api, emas murni dan timah hitam yang amat mahal, bahkan

kami memiliki sumber tenaga nuklir: uranium yang kaya raya. Semua ini sangat

kontradiktif dengan kemiskinan turun temurun penduduk asli Melayu Belitong yang

hidup berserakan di atasnya. Kami seperti sekawanan tikus yang paceklik di lumbung

Belitong dalam batas kuasa eksklusif PN Timah adalahkotapraja Konstantinopel

yang makmur. PN adalah penguasa tunggal Pulau Belitungyang termasyhur di seluruh

negeri sebagai Pulau Timah. Nama itu tercetak di setiap buku geografi atau buku

Himpunan Pengetahuan Umum pustaka wajib sekolah dasar. PN amat kaya. Ia punya

jalan raya, jembatan, pelabuhan, real estate, bendungan, dok kapal, sarana

telekomunikasi, air, listrik, rumah-rumah sakit, sarana olahraga—termasuk beberapa

padanggolf, kelengkapan sarana hiburan, dan sekolah-sekolah. PN menjadikan

Belitong—sebuah pulau kecil—seumpama desa perusahaan dengan aset triliunan rupiah.

PN merupakan penghasil timah nasional terbesar yang mempekerjakan tak kurang

dari 14.000 orang. Ia menyerap hampir seluruh angkatan kerja di Belitong dan

menghasilkan devisa jutaan dolar. Lahan eksploiotasinya tak terbatas. Lahan itu disebut

kuasa penambangan dan secara ketat dimonopoli. Legitimasi ini diperoleh melalui

pembayaran royalti—lebih pas disebut upeti—miliaran rupiah kepada pemerintah. PN

mengoperasikan 16 unit emmer bager atau kapal keruk yang bergerak lamban, mengorek

isi bumi dengan 150 buah mangkuk-mangkuk baja raksasa, siang malam merambah laut,

sungai, dan rawa-rawa, bersuara mengerikan laksana kawanan dinosaurus.

Di titik tertinggi siklus komidi putar, di masa keemasan itu, penumpangnya

mabuk ketinggian dan tertidur nyenyak, melanjutkan mimpi gelap yang ditiup-tiupkan

kolonialis. Sejak zaman penjajahan, sebagai platform infrastruktur ekonomi, PN tidak

hanya memonopoli faktor produksi terpenting tapi juga mewarisi mental bobrok

feodalistis ala Belanda. Sementara seperti sering dialami oleh warga pribumi di mana pun

yang sumber daya alamnya dieksploitasi habis-habisan, sebagaian komunitas di Belitong

juga termarginalkan dalam ketidakadilan kompensasi tanah ulayah, persamaan

kesempatan, dan trickle down effects.

PULAU Belitong yang makmur seperti mengasingkan diri dari tanahSumatrayang

membujur dan disanamengalir kebudayaan Melayu yang tua. Pada abad ke-19, ketika

korporasi secara sistematis mengeksploitasi timah, kebudayaan bersahaja itu mulai hidup

dalam karakteristik sosiologi tertentu yang atribut-atributnya mencerminkan perbedaan

sangat mencolok seolah berdasarkan status berkasta-kasta. Kasta majemuk itu tersusun

rapi mulai dari para petinggi PN Timah yang disebut “orang staf” atau urang setap dalam

dialek lokal sampai pada para tukang pikul pipa di instalasi penambangan serta warga

suku Sawang yang menjadi buruh-buruh yuka penjahit karung timah. Salah satu atribut

diskriminasi itu adalah sekolah-sekolah PN.

Maka lahirlah kaum menak, implikasi dari institusi yang ingin memelihara citra

aristokrat. PN melimpahi orang staf dengan penghasilan dan fasilitas kesehatan,

pendidikan, promosi, transportasi, hiburan, dan logistik yang sangat diskriminatif

dibanding kompensasi yang diberikan kepada mereka yang bukan orang staf. Mereka,

kaum borjuis ini, bersemayam di kawasan eksklusif yang disebut Gedong. Mereka seperti

orang-orang kulit putih di wilayah selatan Amerika pada tahun 70-an. Feodalisme di

Belitong adalah sesuatu yang unik, karena ia merupakan konsekuensi dari adanya budaya

korporasi, bukan karena tradisi paternalistik dari silsilah, subkultur, atau privilese yang

dianugerahkan oleh penguasa seperti biasa terjadi di berbagai tempat lain.

Sepadan dengan kebun gantung yang memesona di pelataran menaraBabylonia,

sebuah taman kesayangan Tiran Nebuchadnezzar III untuk memuja Dewa Marduk,

Gedong adalah land markBelitong. Ia terisolasi tembok tinggi berkeliling dengan satu

akses keluar masuk seperti konsep cul de sacdalam konsep pemukiman modern.

Arsitektur dan desain lanskapnya bergaya sangat kolonial. Orang-orang yang tinggal di

dalamnya memiliki nama-nama yang aneh, misalnya Susilo, Cokro, Ivonne, Setiawan,

atau Kuntoro, tak ada Muas, Jamali, Sa’indun, Ramli, atau Mahader seperti nama orangorang

Melayu, dan mereka tidak pernah menggunakan bin atau binti.

Gedong lebih seperti sebuahkotasatelit yang dijaga ketat oleh para Polsus (Polisi

Khusus) Timah. Jika ada yang lancang masuk maka koboi-koboi tengik itu akan

menyergap, mengintergoasi, lalu interogasi akan ditutup dengan mengingatkan sang

tangkapan pada tulisan “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK”

yang bertaburan secara mencolok pada berbagai akses dan fasilitas disana, sebuah power

statementtipikal kompeni.

Kawasan warisan Belanda ini menjunjung tinggi kesan menjaga jarak, dan kesan

itu diperkuat oleh jajaran pohon-pohon saga tua yang menjatuhkan butir-butir buah

semerah darah di atas kap mobil-mobil mahal yang berjejal-jejal sampai keluar garasi. Di

sana, rumah-rumah mewah besar bergayaVictoriamemiliki jendela-jendela kaca lebar

dan tinggi dengan tirai yang berlapis-lapis laksana layar bioskop. Rumah-rumah itu

ditempatkan pada kontur yang agak tinggi sehingga kelihatan seperti kastil-kastil kaum

bangsawan dengan halaman terpelihara rapi dan danau-danau buatan. Di dalamnya hidup

tenteram sebuah keluarga kecil dengan dua atau tiga anak yang selalu tampak damai,

Setiap rumah memiliki empat bangunan terpisah yang disambungkan oleh selasarselasar

panjang. Itulah rumah utama sang majikan, rumah bagi para pembantu, garasi,

dan gudang-gudang. Selasar-selasar itu mengelilingi kolam kecil yang ditumbuhi

Nymphaea caereuleaatau the blue water lilyyang sangat menawan dan di tengahnya

terdapat patung anak-anak gendut semacam Manequin Piss legenda negeri Belgia yang

menyemprotkan air mancur sepanjang waktu dari kemaluan kecilnya yang lucu.

Pot-pot kayu anggrek mahal Tainia shimadaidan Chysisdigantungkan berderetderet

di bibir atap selasar dan di bawahnya tersusun rapi bejana keramik antik bertanggatangga

berisi kaktus Chaemasereasdan Parodia scopa. Untuk urusan bunga ini ada

petugas khusus yang merawatnya. Di luar lingkar kolam didirikan sebuah kandang

berlubang kotak-kotak kecil persegi berbentuk piramida yang berseni dan ditopang oelh

sebuah pilar bergaya Romawi, itulah rumah burung merpati Inggris.

Di dalam rumah utama sang majikan terdapat ruang tamu dengan lampu-lampu

yang teduh dan perabot utama disanaadalah sebuah sofa Victorian rosewoodberwarna

merah. Jika duduk di atasnya seseorang dapat merasa dirinya seperti seorang paduka raja.

Di samping ruang tamu adalah ruang makan tempat para penghuni rumah makan malam

mengenakan busana senja yang terbaik dan bersepatu. Di meja makan mewah dengan

kayu cinnamon glaze, mereka duduk mengelilingi makanan yang namanya bahkan belum

ada terjemahannya. Pertama-tama perangsang lapar pumpkin and Gorgonzola soup, lalu

hadir caesar saladmenu utama, chicken cordon bleu, vitello alla Provenzale, atau ….

Pada bagian akhir sebagai makanan penutup adalah creamy cheesecake topped with

stawberry puree, buah-buah persik dan prem.

Mereka makan dengan tenang sembari mendengarkan musik klasik yang elegan:

Mozart: Haffner No. 35 in D Major. Mereka mematuhi table manner. Setelah

melampirkan serbet di atas pangkuannya makan malam dimulai nyaris tanpa suara dan

tak ada seorang pun yang menekan bibir meja dengan sikunya.

Sarapan pagi disajikan di ruangan yang berbeda. Ruangan ini terbuka, menghadap

ke kebun anggrek dan kolam renang dangkal yang biru. Mejanya juga berbeda yakni

terracotta tile top ovalyang lucu namun berkelas. Di pagi hari mereka senang mencicipi

omelet dan menyeruput the Earl Greyatau cappuccino, lalu mereka melemparkan remahremah

roti pada burung-burung merpati Inggris yang berebutan, rakus tapi jinak.

Halaman setiap rumah sangat luas dan tak dipagar. Kebanyakan didekorasi

dengan karya seni instalasi dari konstruksi logam yang maknanya tak mudah dicerna

orang awam. Hamparan rumput manila di halaman menyentuh lembut bibir jalan raya

dengan tinggi permukaan yang sama.Adadaya tarik tersendiri di situ. Tak ada parit,

karena semua sistem pembuangan diatur di bawah tanah. Pekarangan ditumbuhi pinang

raja, bambu Jepang, pisang kipas, dan berjenis-jenis palem yang berselang-seling di

antara taman-taman bunga umum, ornamen, galeri, angsa-angsa besar yang berkeliaran,

kafe members only, patung-patung, snooker bar, sudut-sudut tempat bermain anak-anak

berisi ayam-ayam kalkun yang dibiarkan bebas, trotoar untuk membawa anjing jalanjalan,

kolam-kolam renang, dan lapangan-lapangan golf. Tenang dan tidak berisik,

kecuali sedikit bunyi, rupanya anjing pudel sedang mengejar beberapa ekor kucing

Namun, selain suara hewan-hewan lucu itu sore ini terdengar lamat-lamat denting

piano dari salah satu kastilVictoriayang terututp rapat berpilar-pilar itu. Floriana atau

Flo yang tomboi, salah seorang siswa sekolah PN, sedang les piano. Guru privatnya

sangat bersemangat tapi Flo sendiri terkantuk-kantuk tanpa minat. Kedua tangannya

menopang wajah murungnya sambil menguap berulang-ulang di samping sebuah

instrumen megah: grand pianomerk Steinway and sonsyang hitam, dingin, dan

berkilauan. Wajah Flo seperti kucing kebanyakan tidur dan bangun magrib-magrib.

Bapaknya—seorang Mollen Bas, kepala semua kapal keruk—duduk di sebuah

kursi besar semacam singgasana sehingga tubuh kecilnya tenggelam. Kakinya dibungkus

sepatu mahal De Carlocokelat yang elegan, tergantung berayun-ayun lucu. Ia geram

pada tingkah si tomboi dan malu pada sang guru, seorang wanita berkacamata, setengah

baya, berwajah cerdas dan hanya bisa tersenyum-senyum. Beliau tak henti-henti

memohon maaf pada wanita Jawa yang sangat santun itu atas kelakuan anaknya.

Bapak Flo adalah orang hebat, seseorang yang amat terpelajar. Ia adalah insinyur

lulusan terbaik dari Technische Universiteit Delfdi Holland dari Fakultas

Werktuiqbouwkunde, Maritieme techniek & technische materiaalwetenschappen, yang

artinya kurang lebih: jago teknik.

Ia adalah salah satu dari segelintir orang Melayu asli Belitong yang berhak tinggal

di Gedong dan orang kampung yang mampu mencapai karier tinggi di jajaran elite orang

staf karena kepintarannya. Sebagai Mollen Basbeliau sanggup mengendalikan shift

ribuan karyawan, memperbaiki kerusakan kapal keruk yang tenaga-tenaga ahli asing

sendiri sudah menyerah, dan mengendalikan aset produksi miliaran dolar. Tapi

menghadapi anak perempuan kecilnya, si tomboi gasing yang tak bisa diatur ini, beliau

hampir menyerah. Semakin keras suara bapaknya menghardik semakin lebar Flo

Pokok perkaranya sederhana, yakni beliau telah memiliki beberapa anak laki-laki

dan Flo si bungsu, adalah anak perempuan satu-satunya. Namun anak perempuannya ini

bersikeras ingin menjadi laki-laki. Setiap hari beliau berusaha memerempuankanFlo

antara lain dengan memaksanya kursus piano. Grand pianoitu didatangkan dengan kapal

khusus dariJakarta. Guru privat yang merupakan seorang instruktur musik profesional,

juga khusus dijemput dari Tanjong Pandan. Lebih dari itu, di sela kesibukannya,

bapaknya rela menunggui Flo kursus, namun yang beliau dapat tak lebih dari uapanuapan

itu. Flo bahkan tak berminat menyentuh tuts-tuts hitam putih yang berkilat-kilat

karena pikirannya melayang ke sasana tempat ia latihan kick boxingdan angkat barbel.

Flo tak suka menerima dirinya sebagai seorang perempuan. Mungkin karena

pengharuh dari saudara-saudara kandungnya yang seluruhnya laki-laki atau karena suatu

ketidakseimbangan dalam kimia tubuhnya. Maka ia memotong rambut dengan model

lurus pendek dan ia belajar mengubah ekspresi wajah cantiknya agar merefleksikan

seringai laki-laki. Ia bercelana jeans, kaos oblong, dan membuang anting-anting yang

dibelikan ibunya. Guru privat itu memperkenalkan dengan lembut notasi do, mi, sol, si

dalam lintasan empat oktaf dan memperlihatkan posisi jari-jemari pada setiap notasi itu

sebagai dasar bagi Flo untuk berlatih fingering. Flo menguap lagi.

TAK disangsikan, jika di- zoom out, kampung kami adalah kampung terkaya diIndonesia.

Inilah kampung tambang yang menghasilkan timah dengan harga segenggam lebih mahal

puluhan kali lipat dibanding segantang padi. Triliunan rupiah aset tertanam disana,

miliaran rupiah uang berputar sangat cepat seperti putaran mesin parut, dan miliaran

dolar devisa mengalir deras seperti kawanan tikus terpanggil pemain seruling ajaib Der

Rattenfanger von Hameln. Namun jika di- zoom in, kekayaan itu terperangkap di satu

tempat, ia tertimbun di dalam batas tembok-tembok tinggi Gedong.

Hanya beberapa jengkal di luar lingkaran tembok tersaji pemandangan kontras

seperti langit dan bumi. Berlebihan jika disebut daerah kumuh tapi tak keliru jika

diumpamakankotayang dilanda gerhana berkepanjangan sejak era pencerahan revolusi

industri. Disana, di luar lingkar tembok Gedong hidup komunitas Melayu Belitong yang

jika belum punya enam anak belum berhenti beranak pinak. Mereka menyalahkan

pemerintah karena tidak menyediakan hiburan yang memadai sehingga jika malam tiba

mereka tak punya kegiatan lain selain membuat anak-anak itu.

Di luar tembok feodal tadi berdirilah rumah-rumah kami, beberapa sekolah

negeri, dan satu sekolah kampung Muhammadiyah. Tak ada orang kaya disana, yang ada

hanya kerumunan toko miskin di pasar tradisional dan rumah-rumah panggung yang

renta dalam berbagai ukuran. Rumah-rumah asli Melayu ini sudah ditinggalkan zaman

keemasannya. Pemiliknya tak ingin merubuhkannya karena tak ingin berpisah dengan

kenangan masa jaya, atau karena tak punya uang.

Di antara rumah panggung itu berdesak-desakan kantor polisi, gudang-gudang

logistik PN, kantor telepon, toapekong, kantor camat, gardu listrik, KUA, masjid, kantor

pos, bangunan pemerintah—yang dibuat tanpa perencanaan yang masuk akal sehingga

menjadi bangunan kosong telantar, tandon air, warung kopi, rumah gadai yang selalu

dipenuhi pengunjung, dan rumah panjang suku Sawang.

Komunitas Tionghoa tinggal di bangunan permanen yang juga digunakan sebagai

toko. Mereka tidak memiliki pekarangan. Adapun pekarangan rumah orang Melayu

ditumbuhi jarak pagar, beluntas, beledu, kembang sepatu, dan semak belukar yang

membosankan. Pagar kayu saling-silang di parit bersemak di mana tergenang air mati

berwarna cokelat—juga sangat membosankan. Entok dan ayam kampung berkeliaran

seenaknya. Kambing yang tak dijaga melalap tanaman bunga kesayangan sehingga sering

menimbulkan keributan kecil.

Jalan raya di kampung ini panas menggelegak dan ingar-bingar oleh suara logam

yang saling beradu ketika truk-truk reyot lalu-lalang membawa berbagai peralatan teknik

eksplorasi timah. Kawasan kampung ini dapat disebut sebagai urban atau perkotaan.

Umumnya tujuh macam profesi tumpang tindih di sini: kuli PN sebagai mayoritas,

penjaga toko, pegawai negeri, pengangguran, pegawai kanotr desa, pedagang, dan

pensiunan. Sepanjang waktu mereka hilir mudik dengan sepeda. Semuanya, para

penduduk, kambing, entok, ayam, dan seluruh bangunan itu tampak berdebu, tak teratur,

tak berseni, dan kusam.

Keseharian orang pinggiran ini amat monoton. Pagi yang sunyi senyap mendadak

sontak berantakan ketika kantor pusat PN Timah membunyikan sirine, pukul 7 kurang 10.

Sirine itu memekakkan telinga dalam radius puluhan kilometer seperti peringatan

serangan Jepang dalam pengeboman Pearl Harbour.

Demi mendengar sirine itu, dari rumah-rumah panggung, jalan-jalan kecil, sudutsudut

kampung, rumah-rumah dinas permanen berdinding papan, dan gang-gang sempit

bermunculanlah para kuli PN bertopi kuning membanjiri jalan raya. Mereka berdesakan,

terburu-buru mengayuh sepeda dalam rombongan besar atau berjalan kaki, karena

sepuluh menit lagi jam kerja dimulai. Jumlah mereka ribuan.

Mereka menyerbu tempat kerja masing-masing: bengkel bubut, kilang minyak,

gudang beras, dok kapal, dan unit-unit pencucian timah. Para kuli yang bekerja shiftdi

kapal keruk melompat berjejal-jejal ke dalam bak truk terbuka seperti sapi yang akan

digiring ke penjagalan. Tepat pukul 7 kembali dibunyikan sirene kedua tanda jam resmi

masuk kerja. Lalu tiba-tiba jalan-jalan raya, kampung-kampung, dan pasar kembali

lengang, sunyi senyap. Setelah pukul 7 pagi, rumah orang Melayu Belitong hanya dihuni

kaum wanita, para pensiunan, dan anak-anak kecil yang belum sekolah. Kampung

kembali hidup pada pukul 10, yaitu ketika wanita-wanita itu memainkan orkestra

menumbuk bumbu. Suara alu yang dilantakkan ke dalam lumpang kayu bertalu-talu,

sahut-menyahut dari rumah ke rumah.

Pukul 12 sirine kembali berbunyi, kali ini adalah sebagai tanda istirahat. Dalam

sekejap jalan raya dipenuhi para kuli yang pulang sebentar. Lapar membuat mereka

tampak seperti semut-semut hitam yang sarangnya terbakar, lebih tergesa dibanding

waktu mereka berangkat pagi tadi. Pukul 2 siang sirine berdengung lagi memanggil

mereka bekerja.Parakuli ini akan kembali pulang ke peraduan setelah terdengar sirine

yang sangat panjang tepat pukul 5 sore. Demikianlah yang berlangsung selama puluhan

TIDAK seperti di Gedong, jika makan orang urban ini tidak mengenal appetizer

sebagai perangsang selera, tak mengenal main course, ataupun dessert. Bagi mereka

semuanya adalah menu utama. Pada musim barat ketika nelayan enggan melaut, menu

utama itu adalah ikan gabus.Parakuli yang bernafsu makan besar sesuai dengan

pembakaran kalorinya itu jika makan seluruh tubuhnya seakan tumpah ke atas meja. Agar

lebih praktis tak jarang baskom kecil nasi langsung digunakan sebagai piring. Di situlah

diguyur semangkuk gangan, yaitu masakna tradisional dengan bumbu kunir. Ketika

makan emreka tak diiringi karya Mozart Haffner No. 35 in D Majortapi diiringi

rengekan anak-anaknya yang minta dibelikan baju pramuka.

Setiap subuh para istri meniup siong(potongan bambu) untuk menghidupkan

tumpukan kayu bakar. Asap mengepul masuk ke dalam rumah, menyembul keluar

melalui celah dinding papan, dan membangunkan entok yang dipelihara di bawah rumah

panggung. Asap itu membuat penghuni rumah terbatuk-batuk, namun ia amat diperlukan

guna menyalakan gemuk sapi yang dibeli bulan sebelumnya dan digantungkan berjuntaijuntai

seperti cucian di atas perapian. Gemuk sapi itulah sarapan mereka setiap pagi.

Sebelum berangkat para kuli itu tidak minum teh Earlgreyatau cappuccino, melainkan

minum air gula aren dicampur jadamuntuk menimbulkan efek tenaga kerbau yang akan

digunakan sepanjang hari.

Apabila persediaan gemuk sapi menipis dan angin barat semakin kencang, maka

menu yang disajikan sangatlah istimewa, yaitu lauk yang diasap untuk sarapan, lauk yang

diasin untuk makan siang, dan lauk yang dipepes untuk makan malam, seluruhnya terbuat

DI luar lingkungan urban, berpencar menuju dua arah besar adalah wilayah rural

atau pedesaan. Daerha ini memanjang dalam jarak puluhan kilometer menuju ke barat ibu

kotaKabupaten: Tanjong Pandan. Sebaliknya, ke arah selatan akan menelusuri jalur ke

pedalaman. Jalur ini berangsur-angsur berubah dari aspal menjadi jalan batu merah dan

lama-kelamaan menjadi jalan tanah setapak yang berakhir di laut.

Di sepanjang jalur pedesaan rumah penduduk berserakan, berhadap-hadapan

dipisahkan oleh jalan raya. Dulu nenek moyang mereka berladang di hutan. Belanda

menggiring mereka ke pinggir jalan raya, agar mudah dikendalikan tentu saja. Orangorang

pedesaan ini hidup bersahaja, umumnya berkebun, mengambil hasil hutan, dan

mendapat bonus musiman dari siklus buah-buahan, lebah madu, dan ikan air tawar.

Mereka mendiami tanah ulayat dan di belakang rumah mereka terhampar ribuan hektar

tanah tak bertuan, padang sabana, rawa-rawa layaknya laboratorium alam yang lengkap,

dan aliran air bening yang belum tercemar.

Kekuatan ekonomi Belitong dipimpin oleh orang staf PN dan para cukong swasta

yang mengerjakan setiap konsesi eksploitasi timah. Mereka menempati strata tertinggi

dalam lapisan yang sangat tipis. Kelas menengah tak ada, oh atau mungkin juga ada,

yaitu para camat, para kepala dinas dan pejabat-pejabat publik yang korupsi kecilkecilan,

dan aparat penegak hukum yang mendapat uang dari menggertaki cukongcukong

Sisanya berada di lapisan terendah, jumlahnya banyak dan perbedaannya amat

mencolok dibanding kelas di atasnya. Mereka adalah para pegawai kantor desa, karyawan

rendahan PN, pencari madu dan nira, para pemain organ tunggal, semua orang Sawang,

semua orang Tionghoa kebun, semua orang Melayu yang hidup di pesisir, para tenaga

honorer Pemda, dan semua guru dan kepala sekolah—baik sekolah negeri maupun

sekolah kampung—kecuali guru dan kepala sekolah PN.

SEKOLAH-SEKOLAH PN Timah, yaituTK,SD, dan SMP PN berada dalam kawasan

Gedong. Sekolah-sekolah ini berdiri megah di bawah naungan Aghatis berusia ratusan

tahun dan dikelilingi pagar besi tinggi berulir melambangkan kedisiplinan dan mutu

tinggi pendidikan. Sekolah PN merupakan center of excellenceatau tempat bagi semua

hal yang terbaik. Sekolah ini demikian kaya raya karena didukung sepenuhnya oleh PN

Timah, sebuah korporasi yang kelebihan duit. Institusi pendidikan yang sangat modern

ini lebih tepat disebut percontohan bagaimana seharusnya generasi muda dibina.

Gedung-gedung sekolah PN didesain dengan arsitektur yang tak kalah indahnya

dengan rumah bergayaVictoriadi sekitarnya. Ruangan kelasnya dicat warna-warni

dengan tempelan gambar kartun yang edukatif, poster operasi dasar matematika, tabel

pemetaan unsur kimia, peta dunia, jam dinding, termometer, foto para ilmuwan dan

penjelajah yang memberi inspirasi, dan ada kapstok topi. Di setiap kelas ada patung

anatomi tubuh yang lengkap, globe yang besar, white board, dan alat peraga konstelasi

Di dalam kelas-kelas itu puluhan siswa brilian bersaing ketat dalam standar mutu

yang sanggat tinggi. Sekolah-sekolah ini memiliki perpustakaan, kantin, guru BP,

laboratorium, perlengkapan kesenian, kegiatan ekstrakurikuler yang bermutu, fasilitas

hiburan, dan sarana olahraga—termasuk sebuah kolam renang yang masih disebut dalam

bahasa Belanda: zwembad. Di depan pintu masuk kolam renang ini tentu saja terpampang

peringatan tegas “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK”. Di

setiap kelas ada kotak P3K berisi obat-obat pertolongan pertama. Kalau ada siswanya

yang sakit maka ia akan langsung mendapatkan pertolongan cepat secara profesional atau

segera dijemput oleh mobil ambulans yang meraung-raung.

Mereka memiliki petugas-petugas kebersihan khusus, guru-guru yang bergaji

mahal, dan para penjaga sekolah yang berseragam seperti polisi lalu lintas dan selalu

meniup-niup peluit. Tali merah bergulung-gulung keren sekali di bahu seragamnya itu.

“Jumlah gurunya banyak.”

Demikian ujar Bang Amran Isnaini bin Muntazis Ilham—yang pernah sekolah di

sana—persis pada malam sebelum esoknya aku masuk pertama kali di SD

“Setiap pelajaran ada gurunya masing-masing, walaupun kau baru kelas satu.”

Maka pada malam itu aku tak bsia tidur akibat pusing menghitung berapa banyak

jumlah guru di sekolah PN, tentu saja juga selain karena rasa senang akan masuk sekolah

Murid PN umumnya anak-anak orang luar Belitong yang bapaknya menjadi

petinggi di PN. Sekolah ini juga menerima anak kampung seperti Bang Amran, tapi tentu

saja yang orangtuanya sudah menjadi orang staf. Mereka semua bersih-bersih, rapi, kaya,

necis, dan pintar-pintar luar biasa. Mereka selalu mengharumkan nama Belitong dalam

lomba-lomba kecerdasan, bahkan sampai tingkat nasional. Sekolah PN sering dikunjungi

para pejabat, pengawas sekolah, atau sekolah lain untuk melakukan semacam

benchmarking, melihat bagaimana seharusnya ilmu pengetahuan ditransfer dan

bagaimana anak-anak kecil dididik secara ilmiah.

Pendaftaran hari pertama di sekolah PN adalah sebuah perayaan penuh sukacita.

Puluhan mobil mewah berderet di depan sekolah dan ratusan anak orang kaya mendaftar.

Adabazar dan pertunjukan seni para siswa. Setiap kelas bisa menampung hampir

sebanyak 40 siswa dan paling tidak ada 4 kelas untuk setiap tingkat. SD PN tidak akan

membagi satu pun siswanya kepada sekolah-sekolah lain yang kekurangan murid karena

sekolah itu memiliki sumber daya yang melimpah ruah untuk mengakomodasi berapa

pun jumlah siswa baru. Lebih dari itu, bersekolah di PN adalah sebuah kehormatan,

hingga tak seorang pun yang berhak sekolah di situ sudi dilungsurkan ke sekolah lain.

Ketika mendaftar badan mereka langsung diukur untuk tiga macam seragam

harian dan dua macam pakaian olah raga. Mereka juga langsung mendapat kartu

perpustakaan dan bertumpuk-tumpuk buku acuan wajib. Seragamnya untuk hari Senin

adalah baju biru bermotif bunga rambat yang indah. Sepatu yang dikenakan berhak dan

berwarna hitam mengilat. Sangat gagah ketika ber- marching bandmelintasi kampung.

Melihat mereka aku segera teringat pada sekawanan anak kecil yang lucu, putih, dan

bersayap, yang turun dari awan—seperti yang biasa kita lihat pada gambar-gambar buku

komik. Setiap pagi para murid PN dijemput oleh bus-bus sekolah berwarna biru.

Kepala sekolahnya adalah seorang pejabat penting, Ibu Frischa namanya. Caranya

ber- make upjelas memperlihatkan dirinya sedang bertempur mati-matian melawan usia

dan tampak jelas pula, dalam pertempuran itu, beliau telah kalah. Ia seorang wanita keras

yang terpelajar, progresif, ambisius, dan sering habis-habisan menghina sekolah

kampung. Gerak geriknya diatur sedemikian rupa sebagai penegasan kelas sosialnya. Di

dekatnya siapa pun akan merasa terintimidasi.

Kalau sempat berbicara dengan beliau, maka ia sama seperti orang Melayu yang

baru belajar memasak, bumbunya cukup tiga macam: pembicaraan tentang fasilitasfasilitas

sekolah PN, anggaran ekstrakurikuler jutaan rupiah, dan tentang murid-muridnya

yang telah menajdi dokter, insinyur, ahli ekonomi, pengusaha, dan orang-orang sukses di

kotaatau bahkan di luar negeri. Bagi kami yang waktu itu masih kecil, masih

berpandangan hitam putih, beliau adalah seorang tokoh antagonis.

Yang dimaksud dengan sekolah kampung tentu saja adalah perguruan

Muhammadiyah dan beberapa sekolah swasta miskin lainnya di Belitong. Selain sekolah

miskin itu memang terdapat pula beberapa sekolah negeri di kampung kami. Namun

kondisi sekolah negeri tentu lebih baik karena mereka disokong oleh negara. Sementara

sekolah kampung adalah sekolah swadaya yang kelelahan menyokong dirinya sendiri.

FILICIUM decipiensbiasa ditanam botanikus untuk mengundang burung. Daunnya lebat

tak kenal musim. Bentuk daunnya cekung sehingga dapat menampung embun untuk

burung-burung kecil minum. Dahannya pun mungil, menarik hati burung segala ukuran.

Lebih dari itu, dalam jarak 50 meter dari pohon ini, di belakang sekolah kami, berdiri

kekar menjulang awan sebatang pohon tua ganitri ( Elaeocarpus sphaericus schum).

Tingginya hampir 20 meter, dua kali lebih tinggi dari filicium. Konfigurasi ini

menguntungkan bagi burung-burung kecil cantik nan aduhai yang diciptakan untuk selalu

menjaga jarak dengan manusia (sepertinya setiap makhluk yang merasa dirinya cantik

memang cenderung menjaga jarak), yaitu red breasted hanging parrotsatau tak lain

Sebelum menyerbu filicium, serindit Melayu terlebih dulu melakukan pengawasan

dari dahan-dahan tinggi ganitri sambil jungkir balik seperti pemain trapeze. Melongok-longok ke

sana kemari apakah ada saingan atau musuh. Buah ganitri yang biru mampu

menyamarkan kehadiran mereka. Kemampuan burung ini berakrobat menyebabkan ahli

ornitologi Inggris menambahkan nama hangingpada nama gaulnya itu. Jika keadaan

sudah aman kawanan ini akan menukik tajam menuju dahan-dahan filiciumdan tanpa

ampun, dengan paruhnya yang mampu memutuskan kawat, secepat kilat, unggas mungil

rakus ini menjarah buah-buah kecil filiciumdengan kepala waspada menoleh ke kiri dan

kanan. Pelajaran moral nomor tiga: jika Anda cantik, hidup Anda tak tenang.

Seumpama suku-suku Badui di Jazirah Arab yang menggantungkan hidup pada

oasis maka filiciumtua yang menaungi atap kelas kami ini adalah mata air bagi kami.

Hari-hari kami terorientasi pada pohon itu. Ia saksi bagi drama masa kecil kami. Di

dahannya kami membuat rumah-rumahan. Di balik daunnya kami bersembunyi jika bolos

pelajaran kewarganegaraan. Di batang pohonnya kami menuliskan janji setia

persahabatan dan mengukir nama-nama kecil kami dengan pisau lipat. Di akarnya yang

menonjol kami duduk berkeliling mendengar kisah Bu Mus tentang petualangan Hang

Jebat, dan di bawah keteduhan daunnya yang rindang kami bermain lompat kodok,

berlatih sandiwara Romeo dan Juliet, tertawa, menangis, bernyanyi, belajar, dan

Setelah serindit Melayu terbang melesat pergi seperti anak panah Winetou

menembus langit maka hadirlah beberapa keluarga jalak kerbau. Penampilan burung ini

sangat tak istimewa. Karena tak istimewa maka tak ada yang memerhatikannya. Mereka

santai saja bertamu ke haribaan dedaunan filicium, menikmati setiap gigitan buah

kecilnya, buang hajat sesuka hatinya .... Bahkan ketika mulutnya penuh, mereka pun akan

membersihkan paruhnya dengan menggosok-gosokkannya pada kulit filiciumyang

seperti handuk kering. Mereka kemudian akan turun ke tanah, buncit, penuh daging, bulat

beringsut-ingsut laksana seorang MC. Tak peduli pada dunia. Sebaliknya, kami pun tak

tertarik menggodanya. Interaksi kami dengan jalak kerbau adalah dingin dan

Demikian pula hubungan kami dengan burung ungkut-ungkut yang mematuki ulat

di kulit filicium. Menurutku ungkut-ungkut mendapat nama lokal yang tidak adil.

Bayangkan, nama bukunya adalah coppersmith barbet. Nyatanya ia tak lebih dari burung

biru pucat membosankan dengan bunyi yang lebih membosankan kut...kut...kut... namun

kehadirannya sangat kami tunggu karena ia selalu mengunjungi pohon filiciumsekitar

pukul 10 pagi. Pada jam ini kami mendapat pelajaran kewarganegaraan yang jauh lebih

membosankan. Suara kut-kut-kut persis di luar jendela kelas kami jelas lebih menghibur

dibanding materi pelajaran bergaya indoktrinasi itu.

Setelah ungkut-ungkut berlalu hinggaplah kawanan cinenen kelabu yang mencari

serangga sisa garapan ungkut-ungkut. Tak pernah kulihat mereka hadir bersamaan karena

peringai coppersmithyang tak pernah mau kalah. Lalu silih berganti sampai menjelang

sore berkunjung burung-burung madu sepah, pipit, jalak biasa, gelatik batu, dan burung

matahari yang berjingkat-jingkat riang dari dahan ke dahan.

Demikian harmonisnya ekosistem yang terpusat pada sebatang pohon filicium

anggota familia Acaciaini. Seperti para guru yang mengabdi di bawahnya, pohon ini tak

henti-hentinya menyokong kehidupan sekian banyak spesies. Padam usim hujan ia

semakin semarak. Puluhan jenis kupu-kupu, belalang sembah, bunglon, lintah, jamur

telur beracun, kumbang, capung, ulat bulu, dan ular daun saling berebutan tempat.

Drama, opera, dan orkestra yang manggung di dahan-dahan filiciumsepanjang

hari tak kalah seru dengan panggung sandiwara yang dilakoni sepuluh homo sapiens di

sebuah kelas di bawahnya. Seperti episode pagi ini misalnya.

“Aku mau ikut ke pasar, Cai,” Syahdan memohon kepada Kucai, ketika kami

dibagi kelompok dalam pelajaran pekerjaan tangan dan harus membli kertas kajang di

“Tapi sandal dan bajuku buruk begini”, katanya lagi dengan polos dan tahu diri

sambil melipat karung kecampang yang dipakainya sebagai tas sekolah.

“Jangan kau bikin malu aku, Dan, apa kata anak-anak SD PN nanti?” jawab Kucai

sok gengsi padahal satu pun ia tak kenal anak-anak kaya itu. Mengesankan dirinya kenal

dengan anak-anak sekolah PN dikiranya mampu menaikkan martabatnya di mata kami.

Maka sepatuku yang seperti sepatu bola itu kupinjamkan padanya. Borek rela

menukar dulu bajunya dengan baju Syahdan. Lalu Syahdan pun, yang memang

berpembawaan ceria, kali ini terlihat sangat gembira. Ia tak peduli kalau baju Borek

kebesaran dan sebenarnya tak lebih bagus dari bajunya. Ada pula kemungkinan Borek

kurapan, aku pernah melihat kurap itu ketika kami ramai-ramai mandi di dam tempo hari.

Seperti Lintang, Syahdan yang miskin juga anak seorang nelayan. Tapi bukan

maksudku mencela dia, karena kenyataannya secara ekonomi kami, sepuluh kawan

sekelas ini, memang semuanya orang susah. Ayahku, contohnya, hanya pegawai

rendahan di PN Timah. Beliau bekerja selama 25 tahun mencedok tailing, yaitu material

buangan dalam instalasi pencucian timah yang disebut wasserij. Selain bergaji rendah,

beliau juga rentan pada risiko kontaminasi radio aktif dari monazite dan senotim.

Penghasilan ayahku lebih rendah dibandingkan penghasilan ayah Syahdan yang bekerja

di bagan dan gudang kopra, penghasilan sampingan Syahdan sendiri sebagai tukang

dempul perahu, serta ibunya yang menggerus pohon karet jika digabungkan sekaligus.

Masalahnya di mata Syahdan, gedung sekolah, bagan ikan, dan gudang kopra tempat

kelapa-kelapa busuk itu bersemedi adalah sama saja. Ia tidak punya sense of fashionsama

sekali dan di lingkungannya tidak ada yang mengingatkannya bahwa sekolah berbeda

Sebangku dengan Syahdan adalah A Kiong, sebuah anomali. Tak tahu apa yang

merasuki kepala bapaknya, yaitu A Liong, seorang Kong Hu Cu sejati, waktu

mendaftarkan anak laki-laki satu-satunya itu ke sekolah Islam puritan dan miskin ini.

Mungkin karena keluarga Hokian itu, yang menghidupi keluarga dari sebidang kebun

sawi, juga amat miskin.

Tapi jika melihat A Kiong, siapa pun akan maklum kenapa nasibnya berakhir di

SD kampung ini. Ia memang memiliki penampilan akan ditolak di mana-mana. Wajahnya

seperti baru keluar dari bengkel ketok magic, alias menyerupai Frankenstein. Mukanya

lbar dan berbentuk kotak, rambutnya serupa landak, matanya tertarik ke atas seperti

sebilah pedang dan ia hampir tidak punya alis. Seluruh giginya tonggos dan hanya tinggal

setengah akibat digerogoti phyritedan markacitedari air minum. Guru mana pun yang

melihat wajahnya akan tertekan jiwanya, membayangkan betapa susahnya menjejalkan

ilmu ke dalam kepala aluminiumnya itu.

Dia sangat naif dan tak peduli seperti jalak kerbau. Jika kitam engatakan bahwa

dunia akan kiamat besok maka ia pasti akan bergegas pulang untuk menjual satu-satunya

ayam yang ia miliki, bahkan meskipun sang ayam sedang mengeram. Dunia baginya

hitam putih dan hidup adalah sekeping jembatan papan lurus yang harus dititi. Namun,

meskipun wajahnya horor, hatinya baik luar biasa. Ia penolong dan ramah, kecuali pada

Tapi tak dinyana, sekian lama waktu berlalu, rupanya kepala kalengnya cepat juga

menangkap ilmu. Justru pria beraut manis manja yang duduk di depannya dan

berpenampilan layaknya orangpintar serta selalu mengangguk-angguk kalau menerima

pelajaran, ternyata lemotbukan main, namanya Kucai.

Kucai sedikit tak beruntung. Kekurangan gizi yang parah ketika kecil mungkin

menyebabkan ia menderita miopia alias rabun jauh. Selian itu pandangan matanya tidak

fokus, melenceng sekitar 20 derajat. Maka jika ia memandang lurus ke depan artinya

yang ia lihat adalah benda di samping benda yang ada persis di depannya dan demikian

sebaliknya, sehingga saat berbicara dengan seseorang ia tidak memandang lawan

bicaranya tapi ia menoleh ke samping. Namun, Kucai adalah orang paling optimis yang

pernah aku jumpai. Kekurangannya secara fisik tak sedikit pun membuatnya minder.

Sebaliknya, ia memiliki kepribadian populis, oportunis, bermulut besar, banyak teori, dan

Kucai memiliki networkyang luas. Ia pintar bermain kata-kata. Kalau hanya

perkara perselisihan peneng sepeda dengan aparat desa, informasi di mana bisa menjual

beras jatah PN, atau bagaimana cara mendapatkan karcis pasar malam separuh harga,

serahkan saja padanya, ia bisa memberi solusi total. Kelemahannya adalah nilai-nilai

ulangannya tidak pernah melampaui angka enam karena ia termasuk murid yang agak

kurang pintar, bodoh yang diperhalus.

Maka jika digabungkan sifat populis, sok tahu, dan oportunis dengan otaknya

yang lemot—Kucai memiliki semua kualitas untuk menjadi seorang politisi.

Kenyataannya memang begitu. Seperti kebanyakan politisi jika ia bicara tatapan matanya

dan gayanya sangat meyakinkan walaupun dungunya minta ampun. Kualitas

kepolitisiannya itu mungkin menurun dari bapaknya. Beliau adalah seorang pensiunan

tukang bagi beras di PN Timah dan telah bertahun-tahun menjabat sebagai ketua Badan

Kucai juga bertahun-tahun menjadi ketua kelas kami namun bagi kami ketua

kelas adalah jabatan yang paling tidak menyenangkan. Jabatan itu menyebalkan antara

lain karena harus mengingatkan anggota kelas agar jangan berisik padahal diri sendiri tak

bisa diam. Ini menyebabkan tak ada dari kami yang ingin menjadi ketua kelas, apalagi

kelas kami ini sudah terkenal susah dikendalikan. Berulang kali Kucai menolak diangkat

kembali menduduki jabatan itu, namun setiap kali Bu Mus mengingatkan betapa

mulianya menjadi seorang pemimpin, Kucai pun luluh dan dengan terpaksa bersedia

Suatu hari dalam pelajaran bdui pekerti kemuhamadiyahan, Bu Mus menjelaskan

tentang karakter yang dituntut Islam dari seorang amir. Amir dapat berarti seorang

pemimpin. Beliau menyitir perkataan Khalifah Umar bin Khatab.

“Barangsiapa yang kami tunjuk sebagai amir dan telah kami tetapkan gajinya

untuk itu, maka apa pun yang ia terima selain gajinya itu adalah penipuan!”

Rupanya Bu Mus geram dengan korupsi yang merajalela di negeri ini dan beliau

menyambung dengan lantang.

“Kata-kata itu mengajarkan arti penting memegang amanah sebagai pemimpin

dan Al-Qur’an mengingatkan bahwa kepemimpinan seseorang akan

dipertanggungjawabkan nanti di akhirat ....”

Kami terpesona mendengarnya, namun Kucai gemetar. Mendapati dirinya sebagai

seorang pemimpin kelas ia gamang pada pertanggungjawaban setelah mati nanti, apalagi

sebagai seorang politisi ia menganggap bahwa menjadi ketua kelas itu tidak ada

keuntungannya sama sekali. Tidak adil! Lagi pula ia sudah muak mengurusi kami. Kami

terkejut karena serta-merta ia berdiri dan berdalih secara diplomatis.

“Ibunda Guru, Ibunda mesti tahu bahwa anak-anak kuli ini kelakuannya seperti

setan. Sama sekali tak bisa disuruh diam, terutama Borek, kalau tak ada guru ulahnya

ibarat pasien rumah sakit jiwa yang buas. Aku sudah tak tahan, Ibunda, aku menuntut

pemungutan suara yang demokratis untuk memilih ketua kelas baru. Aku juga tak

sanggup mempertanggungjawabkan kepemimpinanku dipadangMasyar nanti, anak-anak

kumal ini yang tak bisa diatur ini hanya akan memberatkan hisabku!”

Kucai tampak sangat emosional. Tangannya menunjuk-nunjuk ke atas dan

napasnya tersengal setelah menghamburkan unek-unek yang mungkin telah dipendamnya

bertahun-tahun. Ia menatap Bu Mus dengan mata nanar tapi pandangannya ke arah

gambar R.H. Oma Irama Hujan Duit.

Kami semua menahan tawa melihat pemandangan itu tapi Kucai sedang sangat

serius, kami tak ingin melukai hatinya.

Bu Mus juga terkejut. Tak pernah sebelumnya beliau menerima tanggapan

selugas itu dari muridnya, tapi beliau meklum pada beban yang dipikul Kucai. Beliau

ingin bersikap seimbang maka beliau segera menyuruh kami menuliskan nama ketua

kelas baru yang kami inginkan di selembar kertas, melipatnya, dan menyerahkannya

kepada beliau. Kami menulis pilihan kami dengan bersungguh-sungguh dan saling

berahasiakan pilihan itu dengan sangat ketat.

Kucai senang sekali. Wajahnya berseri-seri. Ia merasa telah mendapatkan

keadilan dan menganggap bahwa bebannya sebagai ketua kelas akan segera berakhir.

Suasana menjadi tegang menunggu detik-detik penghitungan suara. Kami gugup

mengantisipasi siapa yang akan menjadi ketua kelas baru.

Sembilan gulungan kertas telah berada dalam genggaman Bu Mus. Beliau sendiri

kelihatan gugup. Beliau membuka gulungan pertama.

“Borek!” teriak Bu Mus.

Borek pucat dan Kucai melonjak girang. Terang-terangan ia menunjukkan bahwa

ia sendiri yang telah memilih Borek, kawan sebangkunya yang ia anggap pasien rumah

sakit jiwa yang buas. Bu Mus melanjutkan.

Kali ini Borek yang melonjak dan Kucai terdiam. Kertas ketiga.

Kucai tersenyum pahit. Kertas keempat.

Kucai pucat pasi. Demikian seterusnya sampai kertas kesembilan. Kucai terpuruk.

Ia jengkel sekali kepada Borek yang tubuhnya menggigil menahan tawa. Ia memandang

Borek dengan tajam tapi matanya mengawasi Trapani.

Karena Harun tak bisa menulis maka jumlah kertas hanya sembilan tapi Bu Mus

tetap menghargai hak asasi politiknya. Ketika Bu Mus mengalihkan pandangan kepada

Harun, Harun mengeluarkan senyum khas dengan gigi-gigi panjgannya dan berteriak

Kucai terkulai lemas. Hari ini kami mendapat pelajaran penting tentang

demokrasi, yaitu bahwa ternyata prinsip-prinsipnya tidak efektif untuk suksesi jabatan

kering. Bu Mus menghampirinya dengan lembut sambil tersenyum jenaka.

“Memegang amanah sebagai pemimpin memang berat tapi jangan khawatir orang

yang akan mendoakan. Tidakkah Ananda sering mendengar di berbagai upacara petugas

sering mengucap doa: Ya, Allah lindungilah para pemimpin kami? Jarang sekali kita

mendengar doa: Ya Allah lindungilah anak-anak buah kami ....”

DUDUK di pojok sana adalah Trapani. Namanya diambil dari nama sebuah kota

pantai di Sisilia. Nyatanya ia memang seelok kota pantai itu. Ia memesona seumpama

bondol peking. Si rapi jali ini adalah maskot kelas kami. Seorang perfeksionis berwajah

seindah rembulan. Ia tipe pria yang langsung disukai wanita melalui sekali pandang.

Jambul, baju, celana, ikat pinggang, kaus kaki, dan sepatunya selalu bersih, serasi

warnanya, dan licin. Ia tak bicara jika tak perlu dan jika angkat bicara ia akan

menggunakan kata-kata yang dipilih dengan baik. Baunya pun harum. Ia seorang pemuda

santun harapan bangsa yang memenuhi semua syarat Dasa Dharma Pramuka. Citacitanya

ingin jadi guru yang mengajar di daerah terpencil untuk memajukan pendidikan

orang Melayu pedalaman, sungguh mulia. Seluruh kehidupannya seolah terinspirasi lagu

Wajib Belajarkarya R.N. Sutarmas.

Ia sangat berbakti kepada orangtua, khususnya ibunya. Sebaliknya, ia juga

diperhatikan ibunya layaknya anak emas. Mungkin karena ia satu-satunya laki-laki di

antaralimasaudara perempuan lainnya. Ayahnya adalah seorang operator vessel boarddi

kantor telepon PN sekaligus tukang sirine. Meskipun rumahnya dekat dengan sekolah

tapi sampai kelas tiga ia masih diantar jemput ibunya. Ibu adlaah pusat gravitasi

Trapaniagak pendiam, otaknya lumayan, dan selalu menduduki peringkat ketiga.

Aku sering cemburu karena aku kebajiran salam dari sepupu-sepupuku untuk

disampaikan pada laki-laki muda flamboyan ini. Dia tak pernah menanggapi salam-salam

itu. Di sisi lain kami juga sering jengkel padaTrapanikarena setiap kali kami punya

“acara”, misalnya menyangkutkan sepeda Pak Fahimi—guru kelas empat yang tak

bermutu dan selalu menggertak murid—di dahan pohon gayam,Trapaniharus minta izin

Lalu adaSahara, satu-satunya hawa di kelas kami. Dia secantik grey cheeked

green, atau burung punai lenguak. Ia ramping, berjilbab, dan sedikit lebih beruntung.

Bapaknya seorang Taikong, yaitu atasan para Kepala Parit, orang-orang lapangan di PN.

Sifatnya yang utama: penuh perhatian dan kepala batu. Maka tak ada yang berani bikin

gara-gara dengannya karena ia tak pernah segan mencakar. Jika marah ia akan mengaum

dan kedua alisnya bertemu.Saharasangat temperamental, tapi ia pintar. Peringkatnya

bersaing ketat denganTrapani. Kebalikan dair A Kiong,Saharasangat skeptis, susah

diyakinkan, dan tak mudah dibaut terkesan. Sifat lainSaharayang amat menonjol adalah

kejujurannya yang luar biasa dan benar-benar menghargai kebenaran. Ia pantang

berbohong. Walaupun diancam akan dicampakkan ke dalam lautan api yang berkobarkobar,

tak satu pun dusta akan keluar dari mulutnya.

Musuh abadiSaharaadalah A Kiong. Mereka bertengkar hebat, berbaikan, lalu

bertengkar lagi. Sepertinya mereka sengaja dipertemukan nasib untuk selalu berselisih.

Mereka saling memprotes dan berbeda pendapat untuk hal-hal sepele.Sahara

menganggap apa pun yang dilakukan A Kiong selalu salha, dan demikian pula

sebaliknya. Kadang-kadang perseteruan mereka itu lucu dan membuka wawasan.

Milsanya ketika kami berkumpul danTrapanibercerita tentang bagusnya buku

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, karya legendaris Buya Hamka.

“Aku juga sudah pernah membaca buku itu, maaf aku tak suka, terlalu banyak

nama dan tempat, susah aku mengingatnya.” Demikian komentar A Kiong mencari

Saharayang sangat menghargai buku tertusuk hatinya dan menyalak tanpa

ampun, “Masya Allah! Dengar anak muda, mana bisa kauhargai karya sastra bermutu,

nanti jika Buya menulis lagi buku berjudul Si Kancil Anak Nakal Suka Mencuri Timun

barulah buku seperti itu cocok buatmu ….”

Kami semua tertawa sampai berguling-guling.

A Kiong tersinggung, tapi ia kehabisan kata, maka ditelannya saja ejekan itu

mentah-mentah, pahit memang. Apa boleh buat, ia tak bisa mengonter cemoohan

Sebaliknya,Saharasangat lembut jika berhadapan dengan Harun. Harun adalah

seorang pria santun, pendiam, dan murah senyum. Ia juga merupakan teman yang

menyenangkan. Model rambutnya seperti Chairil Anwar dan pakaiannya selalu rapi.

Masalah pakaian itu benar-benar diperhatikan oleh ibunya. Ia lebih kelihatan seperti

pejabat kantoran di PN daripada anak sekolahan. Bagian belakang bajunya, yang

disetrika dengan lipatan berpola kotak-kotak—lagi mode ketika itu—tampak serasi di

Harun memiliki hobi mengunyah permen asam jawa dan sama sekali tidak bisa

menangkap pelajaran membaca atau menulis. Jika Bu Mus menjelaskan pelajaran, ia

duduk tenang dan terus-menerus tersenyum. Pada setiap mata pelajaran, pelajaran apa

pun, ia akan mengacung sekali dan menanyakan pertanyaan yang sama, setiap hari,

sepanjang tahun, “Ibunda Guru, kapan kita akan libur lebaran?”

“Sebentar lagi Anakku, sebentar lagi …,” jawab Bu Mus sabar, berulang-ulang,

puluhan kali, sepanjang tahun, lalu Harun pun bertepuk tangan.

Jika istirahat siangSaharadan Harun duduk berdua di bawah pohon filicium.

Mereka memiliki kaitan emosi yang unik, seperti persahabatan Tupai dan Kura-Kura.

Harun dengan bersemangat menceritakan kucingnya yang berbelang tiga baru saja

melahirkan tiga ekor anak yang semuanya berbelang tiga pada tanggal tiga kemarin.

Saharaselalu sabar mendengarkan cerita itu walaupun Harun menceritakannya setiap

hari, berulang-ulang, puluhan kali, sepanjang tahun, dari kelas satu SD sampai kelas tiga

SMP.Saharatetap setia mendengarkan.

Jika kami naik kelas harun juga ikut naik kelas meskipun ia tak punya rapor.

Pengecualian dari sistem, demikian orang-orang pintar diJakartamenyebut kasus seperti

ini. Aku sering memandangi wajahnya lama-lama untuk menebak apa yang ada di dalam

pikirannya. Dia hanya tersenyum menanggapi tingkahku. Harun adalah anak kecil yang

terperangkap dalam tubuh orang dewasa.

Pria kedelapan adalah Borek. Pada awalnya dia adalah murid biasa, kelakuan dan

prestasi sekolahnya sangat biasa, rata-rata air. Tapi pertemuan tak sengajanya dengan

sebuah kaleng bekas minyak penumbuh bulu yang kiranya berasal dari sebuah negeri nun

jauh di Jazirah Arabsanatelah mengubah total arah hidupnya. Gambar di kaleng itu

memperlihatkan seorang pria bercelana dalam merah, berbadang tinggi besar, berotot

kawat tulang besi, dan berbulu laksana seekor gorila jantan. Ia menemukan kaleng itu di

dapur seorang pedagang kaki lima spesialis penumbuh segala jenis rambut.

Sejak itu Borek tidak tertarik lagi dengan hal lain dalam hidup ini selain sesuatu

yang berhubungan dengan upaya membesarkan ototnya. Karena latihan keras, ia berhasil,

dan mendapat julukan Samson. Sebuah gelar ningrat yang disandangnya dengan penuh

rasa bangga. Agak aneh memang, tapi paling tidak sejak usia muda Borek sudah menjadi

dirinya sendiri dan sudah tau pasti ingin menjadi apa dia nanti, l.alu secara konsisten ia

berusaha mencapainya. Ia melompati suatu tahap pencarian identitas yang tak jarang

mengombang-ambingkan orang sampai tua. Bahkan sering sekali mereka yang tak

kunjung menemukan identitas menjalani hidup sebagai orang lain. Borek lebih baik dari

Samson demikian terobsesi dengan body buildingdan tergila-gila dengan citra

cowokmacho, dan pada suatu hari aku termakan hasutannya.

AKU tak mengerti dari mana ia mendapat sebuah pengetahuan rahasia untuk

membesarkan otot dada.

“Jangan bilang siapa-siapa …!” katanya berbisik. Ia menoleh ke kiri dan kanan,

seakan takut ada yang memerhatikan dan mencuri idenya. Lalu ia menarik tanganku,

kami pun berlari menuju belakang sekolah, sembunyi di ruangan bekas gardu listrik. Dari

dalam tasnya ia mengeluarkan sebuah bola tenis yang dibelah dua.

“Kalau i9ngin dadamu menonjol seperti dadaku, inilah rahasianya!” Kembali ia

berbisik walaupun ia tahu di sana tak mungkin ada siapa-siapa. Agaknya bola tenis itu

mengandung sebuah keajaiban.

“Pasti sebuah penemuan yang hebat, rupanya bola tenis inilah rahasia keindahan

tubuhnya,” pikirku. Tapi akan diapakan aku ini?

“Buka bajumu!” perintahnya. “Biar kujadikan kau pria sejati pujaan kaum

Wajahnya menunjukkan bahwa ia tak habis pikir mengapa semua laki-laki di luar

sanatidak melakukan metode praktisnya ini, jalan pintas menuju kesempurnaan

penampilan seorang lelaki. Sesungguhnya aku ragu tapi tak punya pilihan lain. Pintu

Namun, belum sempat aku berpikir jauh tiba-tiba ia merangsek maju ke arahku

dan dengan keras menekankan bola tenis itu ke dadaku. Aku terjajar ke belakang sampai

hampir jatuh. Aku tak berdaya. Dengan leluasa dan sekuat tenaga ia membenamkan

benda sialan itu ke kulit dadaku karena sekarang punggungku terhalang oleh tumpukan

balok. Badannya jauh lebih besar, tenaganya seperti kuli, alisnya sampai bertemu karena

ia mengerahkan segenap kekuatannya, emmbuatku meronta-ronta.

Aku paham, belahan bola tenis ini dimaksudkan bekerja seperti sebuah benda

aneh bertangkai kayu dan berujung karet yang dipakai orang untuk menguras lubang WC.

Bola tenis itu adalah alat bekam yang akan menarik otot sehingga menonjol dan bidang.

Itu idenya. Sekarang tekanan tenaga Samson dan daya isap bola tenis itu mulai bereaksi

Yang akurasakan adalah seluruh isi dadaku: jantung, hati, paru-paru, limpa,

berikut isi perut dan darahku seperti terisap oleh bola tenis itu. Bahkan mataku rasanya

akan meloncat. Aku tercekat, tak sanggup mengeluarkan kata-kata. Aku memberi isyarat

agar ia melepaskan pembekam itu.

“Belum waktunya, harus seslesai hitung nama dan orangtua, baru ada

Hitung nama dan orangtua? Aduh! Celaka!

Hitung nama dan orangtua adalah inovasi konyol kami sendiri, yaitu

mebngerjakan sesuatu dalam durasi menyebut nama sekaligus nama orang tua, misalnya

Trapani Ihsan Jamari bin Zainuddin Ilham Jamari atau Harun Ardhli Ramadhan bin

Syamsul Hazana Ramadhan. Aku sudah tak sanggup menanggungkan benda yang

menyedot dadaku ini selama menyebut nama sepuluh teman sekelas apalagi dengan nama

orangtuanya. Nama orang Melayu tak pernah singkat.

Samson tak peduli, ia tetap menekan belahan bola tenis itu tanpa perasaan. Ini

adalah adu kekuatan antara David yang kecil dan Goliath sang raksasa. Aku terperangkap

seperti ikan kepuyu di dalam bubu. Aku mulai sesak napas. Tubuhku rasanya akan

meledak. Isapan bola tenis itu laksana sengatan lebah tanah kuning yang paling berbisa

dan tubuhku mulai terasa menciut. Kakiku mengais-ngais putus asa seperti banteng

bernafsu menanduk matador. Namun, pada detik paling gawat itu rupanya Tuhan

menyelamatkanku karena tanpa diduga salah satu balok di belakangku jatuh sehingga

sekarang aku memiliki ruang utnuk mengambil ancang-ancang. Tanpa menyia-nyiakan

kesempatan, kuambil seluruh tenaga terakhir yang tersisa lalu dengan sekali jurus

kutendang selangkang Samson, tepat di belahan pelirnya, sekuat-kuatnya, persis pegulat

Jepang Antonio Inoki menghantam Muhammad Ali di lokasi tak sopan itu pada

pertarungan absurd tahun ’76.

Samson melolong-lolong seperti kumbang terperangkap dalam stoples. Aku

melompat kabur pontang-panting. Belahan bola tenis inovasi genius dunia body building

itu pun terpental ke udara dan jatuh berguling-guling lesu di atas tumpukan jerami.

Sempat aku menoleh ke belakang dan melihat Samson masih berputar-putar memegangi

selangkangnya, lalu manusia Herucles itu pun tumbang berdebam di atas tanah.

Di dadaku melingkar tnada bulat merah kehitam-hitaman, sebuah jejak

Ketika ibuku bertanya tentang tanda itu aku tak berkutik, karena pelajaran Budi

Pekerti Kemuhammadiyahan setiap Jumat pagi tak membolehkan aku membohongi

orangtua, apalagi ibu. Maka dengan amat sangat terpaksa kutelanjangi kebodohanku

sendiri. Abang-abang dan ayahku tertawa sampai menggigil dan saat itulah untuk

pertama kalinya aku mendengar teori canggih ibuku tentang penyakit gila.

“Gila itu ada 44 macam,” kata ibuku seperti seorang psikiater ahli sambil

mengunyah gambir dan sirih.

“Semakin kecil nomornya semakin parah gilanya,” beliau menggeleng-gelengkan

kepalanya dan menatapku seeperti sedang menghadapi seorang pasien rumah sakit jiwa.

“Maka orang-orang yang sudah tidak berpakaian dan lupa diri di jalan-jalan,

itulah gila no.1, dan gila yang kau buat dengan bola tenis itu sudah bisa masuk no. 5.

Cukup serius! Hati-hati, kalau tak pakai akal sehat dalam setiap kelakuanmu maka angka

itu bisa segera mengecil.”

Bukan bermaksud berpolemik dengan temuan para ahli jiwa. Kami mengerti

bahwa teori ini tentu saja hanya untuk mengingatkan anak-anaknya agar jangan bertindak

keterlaluan. Tapi begitulah teori penyakit gila versi ibuku dan bagiku teori itu efektif.

Aku malu sudah bertindak konyol.

Aku tak yakin apakah Samson benar-benar menerapkan teknik sinting itu untuk

memperbesar otot-ototnya, ataukah ia hanya ingin membodohi aku. Yang kutahu pasti

adalah selama tiga hari berikutnya ia ke sekolah dengan berjalan terkangkang-kangkang

seperti orang pengkor, badannya yangb esar membuat ia tampak seperti kingkong.

PADA sebuah pagi yang lain, pukul sepuluh, seharusnya burung kut-kut sudah

datang. Tapi pagi ini senyap. Aku tersenyum sendiri melamunkan seifat-sifat kawan

sekelasku. Lalu aku memandangi guruku Bu Mus, seseorang yang bersedia menerima

kami apa adanya dengan sepenuh hatinya, segenap jiwanya. Ia paham betul kemiskinan

dan posisi kami yang rentan sehingga tak pernah membuat kebijakan apa pun yang

mengandung implikasi biaya. Ia selalu membesarkan hati kami. Kupandangi juga

sembilan teman sekelasku, orang-orang muda yang luar biasa. Sebagian mereka ke

sekolah hanya memakai sandal, sementara yang bersepatu selalu tampak kebesaran

sepatunya. Orantua kami yang tak mampu memang sengaja membeli sepatu dua nomor

lebih besar agar dapat dipakai dalam dua tahun ajaran.

Ada keindahan yang unik dalam interaksi masing-masing sifat para sahabatku.

Tersembunyi daya tarik pada cara mereka mengartikan sekstan untuk mengukur diri

sendiri, menilai kemampuan orang tua, melihat arah masa depan, dan memersepsi

pandangan lingkungan terhadap mereka. Kadang kala pemikiran mereka kontradiktif

terhadap pendapat umum laksana gurun bertemu pantai atau ibarat hujan ketika matahari

sedang terik. Tak jarang mereka seperti kelelawar yang tersasar masuk ke kamar,

menabrak-nabrak kaca ingin keluar dan frustasi. Mereka juga seperti seekor parkit yang

terkurung di dalam gua, kebingungan dengan gema suaranya sendiri.

Sejak kecil aku tertarik untuk menjadi pengamat kehidupan dan sekarang aku

menemukan kenyataan yang memesona dalam sosiologi lingkungan kami yang ironis. Di

sini ada sekolahku yang sederhana, para sahabatku yang melarat, orang Melayu yang

terabaikan, juga ada orang staf dan sekolah PN mereka yang glamor, serta PN Timah

yang gemah ripah dengan Gedong, tembok feodalistisnya. Semua elemen itu adalah

perpustakaan berjalan yang memberiku pengetahuan baru setiap hari.

Pengetahuan terbesar terutama kudapat dari sekolahku, karena perguruan

Muhammadiyah bukanlah center of excellence, tapi ia merupakan pusat marginalitas

sehingga ia adalah sebuah universitas kehidupan. Di sekolah ini aku memahami arti

keikhlasan, perjuangan, dan integritas. Lebih dari itu, perintis peruguran ini mewariskan

pelajaran yang amat berharga tentang ide-ide besar Islam yang mulia, keberanian untuk

merealisasi ide itu meskipun tak putus-putus dirundung kesulitan, dan konsep menjalani

hidup dengan gagasan memberi manfaat sebesar-besarnya untuk orang lain melalui

pengorbanan tanpa pamrih.

Maka sejak waktu virtual tercipta dalam definisi hipotesis manusia tatkala nebula

mengeras dalam teori lubang hitam, di antara titik-titik kurunnya yang merentang panjang

tak tahu akan berhenti sampai kapan, aku pada titik ini, di tempat ini, merasa bersyukur

menjadi orang Melayu Belitong yang sempat menjadi murid Muhammadiyah. Dan

sembilan teman sekelasku memberiku hari-hari yang lebih dari cukup untuk suatu ketika

di masa depan nanti kuceritakan pada setiap orang bahwa masa kecilku amat bahagia.

Kebahagiaan yang spesifik karena kami hidup dengan persepsi tentang kesenangan

sekolah dan persahabatan yang kami terjemahkan sendiri.

Kami adalah sepuluh umpan nasib dan kami seumpama kerang-kerang halus yang

melekat erat satu sama lain dihantam deburan ombak ilmu. Kami seperti anak-anak

bebek. Tak terpisahkan dalam susah dan senang. Induknya adalah Bu Mus. Sekali lagi

kulihat wajah mereka, Harun yang murah senyum,Trapaniyang rupawan, Syahdan yang

lilipu, Kucai yang sok gengsi,Saharayang ketus, A Kiong yang polos, dan pria

kedelapan—yaitu Samson—yang duduk seperti patung Ganesha.

Lalu siapa pria yang kesembilan dan kesepuluh? Lintang dan Mahar. Pelajaran

apa yang mereka tawarkan? Mereka adalah pria-pria muda yang sangat istimewa.

Memerlukan bab tersendiri untuk menceritakannya. Sampai di sini, aku sudah merasa

menjadi seorang anak kecil yang sangat beruntung.

PAGI ini Lintang terlambat masuk kelas. Kami tercengang mendengar ceritanya.

“Aku tak bisa melintas. Seekor buaya sebesar pohon kelapa tak mau beranjak,

menghalang di tengah jalan. Tak ada siapa-siapa yang bisa kumintai bantuan. Aku hanya

berdiri mematung, berbicara dengan diriku sendiri.”

“Buaya sebesar itu tak ‘kanmampu menyerangku dalam jarak ini, ia lamban, pasti

kalah langkah. Kalau cukup waktu aku dapat menghitung hubungan massa, jarak, dan

tenaga, baik aku maupun buaya itu, sehingga aku dapat memperkirakan kecepatannya

menyambarku dan peluangku untuk lolos. Ilmu menyebabkan aku berani maju beberapa

langkah lagi. Apalagi fisika tidak mempertimbangkan psy war, kalau aku maju ia pasti

akan terintimidasi dan masuk lagi ke dalam air.

“Aku maju sedikit, membunyikan lonceng sepeda, bertepuk tangan, berdeham-deham,

membuat bunyi-bunyian agar dia merayap pergi. Tapi ia bergeming. Ukurannya

dan teritip yang tumbuh di punggungnya memperlihatkan dia penguasa rawa ini. Dan

sekarang saatnya mandi matahari. Secara fisik dan psikologis binatang atau secara apa

pun, buaya ini akan menang. Ilmu tak berlaku di sini.

“Tapi lebih dari setengah perjalanan sudah, aku tak ‘kankembali pulang gara-gara

buaya bodoh ini. Tak ada kata bolos dalam kamusku, dan hari ini ada tarikh Islam, mata

pelajaran yang menarik. Ingin kudebatkan kisah ayat-ayat suci yang memastikan

kemenanganByzantiumtujuh tahun sebelum kejadian. Sudah siang, aku maju sedikit,

aku pasti terlambat tiba di sekolah.”

“Aku hanya sendirian. Jika ada orang lain aku berani lebih frontal. Tahukah

hewan ini pentingnya pendidikan? Aku tak berani lebih dekat. Ia menganga dan bersuara

rendah, suara dari perut yang menggetarkan seperti sendawa seekor singa atau seperti

suara orang menggeser sebuah lemari yang sangat besar. Aku diam menunggu. Tak ada

jalur alternatif dan kekuatan jelas tak berimbang. Aku mulai frustasi. Suasana sunyi

senyap. Yang ada hanya aku, seekor buaya ganas yang egois, dan intaian maut.”

Kami prihatin dan tegang mendengar kisah perjuangan Lintang menuju sekolah.

“Tiba-tiba dari arah samping kudengar riak air. Aku terkejut dan takut.

Menyeruak di antara lumut kumpai, membelah genangan setinggi dada, seorang laki-laki

seram naik dari rawa. Ia berjalan menghampiriku, kakinya bengkok seperti huruf O,”

“Siapa laki-laki itu Lintang?” tanyaSaharatercekat.

“Ooh …,” kami serentak menutup mulut dengan tangan. Menakutkan sekali. Tak

ada yang berani berkomentar. Tegang menunggu kelanjutan cerita Lintang.

“Aku lebih takut padanya daripada buaya mana pun. Pria ini tak mau dikenal

orang tapi sepanjang pesisir Belitong Timur, siapa tak kenal dia?

“Dia melewatiku seperti aku tak ada dan dia melangkah tanpa ragu mendekati

binatang buas itu. Dia menyentuhnya! Menepuk-nepuk lembut kulitnya sambil

menggumamkan sesuatu. Ganjil sekali, buaya itu seperti takluk, mengibas-ngibaskan

ekornya laksana seekor anjing yang ingin mengambil hati tuannya, lalu mendadak sontak,

dengan sebuah lompatan dahsyat seperti terbang reptil zaman Cretaceous itu terjun ke

rawa menimbulkan suara laksana tujuh pohon kelapa tumbang sekaligus.

Lintang menarik napas.

“Aku terkesima dan tadi telah salah hitung. Jika binatang purba itu mengejarku

maka orang-orang hanya akan menemukan sepeda reyot ini. Fisika sialan. Memprediksi

perilaku hewan yang telah bertahan hidup jutaan tahun adalah tindakan bodoh nan

“Dari permukaan air yang bening jelas kulihat binatang itu menggoyangkan ekor

panjangnya untuk mengambil tenaga dorong sehingga badannya yang hidrodinamis

menghujam mengerikan ke dasar air.

“bodenga berbalik ke arahku. Seperti selalu, ekspresinya dingin dan jelas tak

menginginkan ucapan terima kasih. Kenyataannya aku tak berani menatapnya, nyaliku

runtuh. Dengan sekali sentak ia bisa menenggelamkanku sekaligus sepeda ini ke dalam

rawa. Aku mengenal reputasi laki-laki liar ini. Tapi aku merasa beruntung karena aku

telah menjadi segelintir orang yang pernah secara langsung menyaksikan kehebatan ilmu

AKU termenung mendengar cerita Lintang. Aku memang tidak pernah

menyaksikan langsung Bodenga beraksi tapi aku mengenal Bodenga lebih dari Lintang

mengenalnya. Bagiku Bodenga adalah guru firasat dan semua hal yang berhubungan

dengan perasaan gamang, pilu, dan sedih.

Tak seorang pun ingin menjadi sahabat Bodenga. Wajahnya carut-marut, berusia

empat puluhan. Ia menyelimuti dirinya dengan dahan-dahan kelapa dan tidur melingkar

seperti tupai di bawah pohon nifah selama dua hari dua malam. Jika lapar ia terjun ke

sumur tua di kantor polisi lama, menyelam, menangkap belut yang terperangkap di

bawahsanadan langsung memakannya ketika masih di dalam air.

Ia makhluk yang merdeka. Ia seperti angin. Ia bukan Melayu, bukan Tionghoa,

dan bukan pula Sawang, bukan siapa-siapa. Tak ada yang tahu asal usulnya. Ia tak

memiliki agama dan tak bsia bicara. Ia bukan pengemis bukan pula penjahat. Namanya

tak terdaftar di kantor desa. Dan telinganya sudah tak bisa mendengar karena ia pernah

menyelami dasar Sungai Lenggang untuk mengambil bijih-bijih timah, demikian dalam

hingga telinganya mengeluarkan darah, setelah itu menjadi tuli.

Bodenga kini sebatang kara. Satu-satunya ekluarga yang pernah diketahui orang

adalah ayahnya yang buntung kaki kanannya. Orang bilang karena tumbal ilmu buaya.

Ayahnya itu seorang dukun buaya terkenal. Serbuan Islam yang tak terbendung ke

seantero kampung membuat orang menjauhi mereka, karena mereka menolak

meninggalkan penyembahan buaya sebagai Tuhan.

Ayahnya telah mati karena melilit tubuhnya sendiri kuat-kuat dari mata kaki

sampai ke leher dengan akar jawi lalu menerjunkan diri ke Sungai Mirang. Ia sengaja

mengumpankan tubuhnya pada buaya-buaya ganas di sana. Masyarakat hanya

menemukan potongan kaki buntungnya. Kini Bodenga lebih banyak menghabiskan waktu

memandangi aliran Sungai Mirang, sendirian sampai jauh malam.

Pada suatu sore warga kampung berduyun-duyun menuju lapangan basket

Sekolah Nasional. Karena baru saja ditangkap seekor buaya yang diyakini telah

menyambar seorang wanita yang sedang mencuci pakaian di Manggar. Karena aku masih

kecil maka aku tak dapat menembus kerumunan orang yang mengelilingi buaya itu, aku

hanya dapat melihatnya dari sela-sela kaki pengunjung yang rapat berselang-seling.

Mulut buaya besar itu dibuka dan disangga dengan sepotong kayu bakar.

Ketika perutnya dibelah, ditemukan rambut, baju, jam tangan, dan kalung. Saat

itulah aku melihat Bodenga mendesak maju di antara pengunjung. Lalu ia bersimpuh di

samping sang buaya. Wajahnya pucat pasi. Ia memberi isyarat kepada orang-orang,

memohon agar berhenti mencincang binatang itu. Orang-orang mundur dan melepaskan

kayu bakar yang menyangga mulut buaya tersebut. Mereka paham bahwa penganut ilmu

buaya percaya jika mati mereka akan menjadi buaya. Dan mereka maklum bahwa bagi

Bodenga buaya ini adalah ayahnya karena salah satu kaki buaya ini buntung.

Bodenga menagnsi. Suaranya pedih memilukan.

“Baya … Baya … Baya …,” panggilnya lirih. Beberapa orang menangis

sesenggukan. Aku menyaksikan dari sela-sela kaki pengunjung air matanya mengalir

membasahi pipinya yang rusak berbintik-bintik hitam. Air mataku juga mengalir tak

mampu kutahan. Buaya ini satu-satunya cinta dalam hidupnya yang terbuang, dalam

dunianya yang sunyi senyap.

Ia mengucapkan ratapan yang tak jelas dari mulutnya yang gagu. Ia mengikat

sang buaya, membawanya ke sungai, menyeret bangkai ayahnya itu sepanjang pinggiran

sungai menuju ke muara. Bodenga tak pernah kembali lagi.

Bodenga dalam fragmen sore itu menciptakan cetak biru rasa belas kasihan dan

kesedihan di alam bawah sadarku. Mungkin aku masih terlalu kecil utnuk menyaksikan

tragedi sepedih itu. Ia mewakili sesuatu yang gelap di kepalaku. Pada tahun-tahun

mendatang bayangannya sering mengunjungiku. Jika aku dihadapkan pada situasi yang

menyedihkan maka perlahan-lahan ia akan hadir, mewakili semua citra kepedihan di

dalam otakku. Maka sore itu sesungguhnya Bodenga telah mengajariku ilmu firasat. Ia

juga yang pertama kali memeprlihatkan padaku bahwa nasib bisa memperlakukan

manusia dengan sangat buruk, dan cinta bisa menjadi demikian buta.

Lintang memang tak memiliki pengalaman emosional dengan Bodenga seperti

yang aku alami, tapi bukan baru sekali itu ia dihadang buaya dalam perjalanan ke

sekolah. Dapat dikatakan tak jarang Lintang mempertaruhkan nyawa demi menempuh

pendidikan, namun tak sehari pun ia pernah bolos. Delapan puluh kilometer pulang pergi

ditempuhnya dengan sepeda setiap hari. Tak pernah mengeluh. Jika kegiatan sekolah

berlangsung sampai sore, ia akan tiba malam hari di rumahnya. Sering aku merasa ngeri

membayangkan perjalanannya.

Kesulitan itu belum termasuk jalan yang tergenang air, ban sepeda yang bocor,

dan musim hujan berkepanjangan dengan petir yang menyambar-nyambar. Suatu hari

rantai sepedanya putus dan tak bisa disambung lagi karena sudah terlalu pendek sebab

terlalu sering putus, tapi ia tak menyerah. Dituntunnya sepeda itu puluhan kilometer, dan

sampai di sekolah kami sudah bersiap-siap akan pulang. Saat itu adalah pelajaran seni

suara dan dia begitu bahagia karena masih sempat menyanyikan lagu Padamu Negeridi

depan kelas. Kami termenung mendengarkan ia bernyanyi dengan sepenuh jiwa, tak

tampak kelelahan di matanya yang berbinar jenaka. Setelah itu ia pulang dengan

menuntun sepedanya lagi sejauh empat puluh kilometer.

Pada musim hujan lebat yang bisa mengubah jalan menjadi sungai, menggenangi

daratan dengan air setinggi dada, membuat guruh dan halilintar membabat pohon kelapa

hingga tumbang bergelimpangan terbelah dua, pada musim panas yang begitu terik

hingga alam memuai ingin meledak, pada musim badai yang membuat hasil laut nihil

hingga berbulan-bulan semua orang tak punya uang sepeser pun, pada musim buaya

berkembang biak sehingga mereka menjadi semakin ganas, pada musim angin barat

putting beliung, pada musim demam, pada musim sampar—sehari pun Lintang tak

Dulu ayahnya pernah mengira putranya itu akan takluk pada minggu-minggu

pertama sekolah dan prasangka itu terbukti keliru. Hari demi hari semangat Lintang

bukan semakin pudar tapi malah meroket karena ia sangat mencintai sekolah, mencintai

teman-temannya, menyukai persahabatan kami yang mengasyikkan, dan mulai

kecanduan pada daya tarik rahasia-rahasia ilmu. Jika tiba di rumah ia tak langsung

beristirahat melainkan segera bergabung degan anak-anak seusia di kampungnya untuk

bekerja sebagai kuli kopra. Itulah penghasilan sampingan keluarganya dan juga sebagai

kompensasi terbebasnya dia dari pekerjaan di laut serta ganjaran yang ia dapat dari

“kemewahan” bersekolah.

Ayahnya, yang seperti orang Bushmanitu, sekarang menganggap keputusan

menyekolahkan Lintang adalah keputusan yang tepat, paling tidak ia senang melihat

semangat anaknya menggelegak. Ia berharap suatu waktu di masa depan nanti Lintang

mampu menyekolahkan lima orang adik-adiknya yang lahir setahun sekali sehingga

berderet-deret rapat seperti pagar, dan lebih dari itu ia berharap Lintang dapat

mengeluarkan mereka dari lingkaran kemiskinan yang telah lama mengikat mereka

hingga sulit bernapas.

Maka ia sekuat tenaga mendukung pendidikan Lintang dengan cara-caranya

sendiri, sejauh kemampuannya. Ketika kelas satu dulu pernah Lintang menanyakan

kepada ayahnya sebuah persoalan perkerjaan rumah kali-kalian sederhana dalam mata

“Kemarilah Ayahanda … berapa empat kali empat?”

Ayahnya yang buta huruf hilir mudik. Memandang jauh ke laut luas melalui

jendela, lalu ketika Lintang lengah ia diam-diam menyelinap keluar melalui pintu

belakang. Ia meloncat dari rumah panggungnya dan tanpa diketahui Lintang ia berlari

sekencang-kencangnya menerabas ilalang. Laki-laki cemara angin itu berlari pontangpanting

sederas pelanduk untuk minta bantuan orang-orang di kantor desa. Lalu secepat

kilat pula ia menyelinap ke dalam rumah dan tiba-tiba sudah berada di depan Lintang.

“Em … emm… empat belasss … bujangku … tak diragukan lagi empat belasss ..

tak lebih tak kurang …,” jawab beliau sembari tersengal-sengal kehabisan napas tapi juga

tersenyum lebar riang gembira. Lintang menatap mata ayahnya dalam-dalam, rasa ngilu

menyelinap dalam hatinya yang masih belia, rasa ngilu yang mengikrarkan nazar aku

harus jadi manusia pintar, karena Lintang tahu jawaban itu bukan datang dari ayahnya.

Ayahnya bahkan telah salah mengutip jawaban pegawai kantor desa. Enam belas,

itulah seharusnya jwabannya, tapi yang diingat ayahnya selalu hanya angka empat belas,

yaitu jumlah nyawa yang ditanggungnya setiap hari.

Setelah itu Lintang tak pernah lagi minta bantuan ayahnya. Mereka tak pernah

membahas kejadian itu. Ayahnya diam-diam maklum dan mendukung Lintang dengan

cara lain, yakni memberikan padanya sebuah sepeda laki bermerk Rally Robinson, made

in England. Sepeda laki adalah sebutan orang Melayu untuk sepeda yang biasa dipakai

kaum lelaki. Berbeda dengan sepeda bini, sepeda laki lebih tinggi, ukurannya panjang,

sadelnya lebar, keriningannya lebih maskulin, dan di bagian tengahnya terdapat batang

besi besar yang tersambung antara sadel dan setang. Sepeda ini adalah harta warisan

keluarga turun-temurun dan benda satu-satunya yang paoling berharga di rumah mereka.

Lintang menaiki sepeda itu dengan terseok-seok. Kakinya yang pendek menyebabkan ia

tidak bisa duduk di sadel, melainkan di atas batang sepeda, dengan ujung-ujung jari kaki

menjangkau-jangkau pedal. Ia akan beringsut-ingsut dan terlonjak-lonjak hebat di atas

batangan besi itu sambil menggigit bibirnya, mengumpulkan tenaga. Demikian

perjuangannya mengayuh sepeda ke pulang dan pergi ke sekolah, delapan puluh

kilometer setiap hari.

Ibu Lintang, seperti halnya Bu Mus dan Sahara adalah seorang N.A. Itu adalah

singkatan dari Nyi Ayu, yakni sebuah gelar bangsawan kerajaan lama Belitong khusus

bagi wanita dari ayah seorang K.A. atau Ki Agus. Adat istiadat menyarankan agar gelar

itu diputus pada seorang wanita sehingga Lintang dan adik-adik perempuannya tak

menyandang K.A. atau N.A. di depan nama-nama mereka. Meskipun begitu, tak jarang

pria-pria keturunan N.A. menggunakangelar K.A., dan hal itu bukanlah persoalan karena

gelar-gelar itu adalah identitas kebanggaan sebagai orang Melayu Belitong asli.

Jika benar kecerdasan bersifat genetik maka kecerdasan Lintang pasti mengalir

dari keturunan nenek moyang ibunya. Meskipun buta huruf dan kurang beruntung karena

waktu kecil terkena polio sehingga salah satu kakinya tak bertenaga, tapi ibu Lintang

berada dalam garis langsung silsilah K.A. Cakraningrat Depati Muhammad Rahat,

seseorang bangsawan cerdas anggota keluarga Sultan Nangkup. Sultan ini adalah utusan

Kerajaan Mataram yang membangun keningratan di tanah Belitong. Beliau membentuk

pemerintahan dan menciptakan klan K.A. dan N.A. itu. Anak cucunya tidak diwarisi

kekuasaan dan kekayaan tapi kebijakan, syariat Islam, dan kecendekiawanan. Maka

Lintang sesungguhnya adalah pewaris darah orang-orang pintar masa lampau.

Meskipun tak bisa membaca, ibu Lintang senang sekali melihat barisan huruf dan

angka di dalam buku Lintang. Beliau tak peduli, atau tak tahu, jika melihat sebuah buku

secara terbalik. Di beranda rumahnya beliau merasa takjub mengamati rangkaian kata dan

terkagum-kagum bagaimana baca-tulis dapat mengubah masa depan seseorang.

Beranda itu sendiri merupakan bagian dari gubuk panggung dengan tiang-tiang

tinggi untuk berjaga-jaga jika laut pasang hingga meluap jauh ke pesisir. Adapun gubuk

ini merupakan bagian dari pemukiman komunitas orang Melayu Belitong yang hidup di

sepanjang pesisir, mengikuti kebiasaan leluhur mereka para penggawa dan kerabat

kerajaan. Oleh karena itu, dalam lingkungan Lintang banyak bersemayam keluarga-keluarga K.A.

Gubuk itu beratap daun sagu dan berdinding lelakdari kulit pohon meranti. Apa

pun yang dilakukan orang di dalam gubuk itu dapat dilihat dari luar karena dinding kulit

kayu yang telah berusia puluhan tahun merekah pecah seperti lumpur musim kemarau.

Ruangan di dalamnya sempit dan berbentuk memanjang dengan dua pintu di depan dan

belakang. Seluruh pintu dan jendela tidak memiliki kunci, jika malam mereka ditutup

dengan cara diikatkan pada kusennya. Benda di dalma rumah itu ada enam macam:

beberapa helai tikar lais dan bantal, sajadah dan Al-Qur’an, sebuah lemari kaca kecil

yang sudah tidak ada lagi kacanya, tungku dan alat-alat dapur, tumpukan cucian, dan

enam ekor kucing yang dipasangi kelintingan sehinga rumah itu bersuara gemerincing

Di luar bangunan sempit memanjang tadi ada semacam pelataran yang digunakan

oleh empat orang tua untuk menjalin pukat. Bagian ini hanya ditutupi beberapa keping

papan yang disandarkan saja pada dahan-dahan kapuk yang menjulur-julur, bahkan untuk

memaku papan-papan itu pun keluarga ini tak punya uang. Empat orang tua itu adalah

bapak dan ibu dari bapak dan ibu Lintang. Semuanya sudah sepuh dan kulit mereka

keriput sehingga dapat dikumpulkan dan digenggam. Jika tidak sedang menjalin pukat,

keempat orang itu duduk menekuri sebuah tampah memunguti kutu-kutu dan ulat-ulat

lentik di antara bulir-bulir beras kelas tiga yang mampu mereka beli, berjam-jam lamanya

karena demikian banyak kutu dan ulat pada beras buruk itu.

Selain empat orang itu ikut pula dalam keluarga ini dua orang adik laki-laki ayah

Lintang, yaitu seorang pria muday ang kerjanya hanya melamun saja sepanjang hari

karena agak terganggu jiwanya dan seorang bujang lapuk yang tak dapat bekerja keras

karena menderita burut akibat persoalan kandung kemih. Maka ditambahlimaadik

perempuan Lintang, Lintang sendiri, dan kedua orangtuanya, seluruhnya berjumlah

empat belas orang. Mereka hidup bersama, berdesak-desakan di dalam rumah sempit

Empat orangtua yang sudah sepuh, dua adik laki-laki yang tak dapat diharapkan,

semua ini membuat keempat belas itu kelangsungan hidupnya dipanggul sendiri oleh

ayah Lintang. Setiap hari beliau menunggu tetangganya yang memiliki perahu atau

juragan pukat harimau memintanya untuk membantu mereka di laut. Beliau tidak

mendapatkan persentasi dari berapa pun hasil tangkapan, tapi memperoleh upah atas

kekuatan fisiknya. Beliau adalah orang yang mencari nafkah dengan menjual tenaga.

Tambahan penghasilan sesekali beliau dapat dari Lintang yang sudah bisa menjadi kuli

kopra dan anak-anak perempuannya yang mengumpulkan kerang saat angin teduh musim

Lintang hanya dapat belajar setelah agak larut karena rumahnya gaduh, sulit

menemukan tempat kosong, dan karena harus berebut lampu minyak. Namun sekali ia

memegang buku, terbanglah ia meninggalkan gubuk doyong berdinding kulit itu. Belajar

adalah hiburan yang membuatnya lupa pada seluruh penat dan kesulitan hidup. Buku

baginya adalah obat dan sumur kehidupan yang airnya selalu memberi kekuatan baru

agar ia mampu mengayuh sepeda menantang angin setiap hari. Jika berhdapan dengan

buku ia akan terisap oleh setiap kalimat ilmu yang dibacanya, ia tergoda oleh sayap-sayap

kata yang diucapkan oleh para cerdik cendekia, ia melirik maksud tersembunyi dari

sebuah rumus, sesuatu yang mungkin tak kasat mata bagi orang lain.

Lalu pada suatu ketika, saat hari sudah jauh malam, di bawah temaram sinar

lampu minyak, ditemani deburan ombak pasang, dengan wajah mungil dan matanya yang

berbinar-biran, jari-jari kurus Lintang membentang lembar demi lembar buku lusuh

stensilan berjudul Astronomi dan Ilmu Ukur. Dalam sekejap ia tenggelam dilamun katakata

ajaib pembangkangan Galileo Galilei terhadap kosmologi Aristoteles, ia dimabuk

rasa takjub pada gagasan gila para astronom zaman kuno yang terobsesi ingin mengukurb

erapa jarak bumi ke Andromeda dan nebula-nebula Triangulum. Lintang menahan napas

ketika membaca bahwa gravitasi dapat membelokkan cahaya saat mempelajari tentang

analisis spektral yang dikembangkan untuk studi bintang gemintang, dan juga saat tahu

mengenai teori Edwin Hubble yang menyatakan bahwa alam hidup mengembang

semakin membesar. Lintang terkesima pada bintang yang mati jutaan tahun silam dan ia

terkagum-kagum pada pengembaraan benda-benda langit di sudut-sudut gelap kosmos

yang mungkin hanya pernah dikunjungi oleh pemikiran-pemikiran Nicolaus Copernicus

Ketika sampai pada Bab Ilmu Ukur ia tersenyum riang karena nalarnya demikian

ringan mengikuti logika matematis pada simulasi ruang berbagai dimensi. Ia dengan

cepat segera menguasai dekomposisi tetrahedral yang rumit luar biasa, aksioma arah, dan

teorema Phytagorean. Semua materi ini sangat jauh melampaui tingkat usia dan

pendidikannya. Ia merenungkan ilmu yang amat menarik ini. Ia melamun dalam lingkar

temaram lampu minyak. Dan tepat ketika itu, dalam kesepian malam yang mencekam,

lamunannya sirna karena ia terkejut menyaksikan keanehan di atas lembar-lembar buram

yang dibacanya. Ia terheran-heran menyaksikan angka-angka tua yang samar di lembaran

itu seakan bergerak-gerak hidup, menggeliat, berkelap-kelip, lalu menjelma menjadi

kunang-kunang yang ramai beterbangan memasuki pori-pori kepalanya. Ia tak sadar

bahwa saat itu arwah para pendiri geometri sedang tersenyum padanya dan Copernicus

serta Lucretius sedang duduk di sisi kiri dan kanannya. Di sebuah rumah panggung

sempiot, di sebuah keluarga Melayu pedalaman yang sangat miskin, nun jauh di pinggir

laut, seorang genius alami telah lahir.

Esoknya di sekolah Lintang heran melihat kami yang kebingungan dengan

persoalan jurusan tiga angka.

“Apa, sih yang dipusingkan orang-orang kampung ini dengan arah angin itu?”

Demikian suara dari dalam hatinya.

Seperti juga kebodohan yang sering tak disadari, beberapa orang juga tak

menyadari bahwa dirinya telah terpilih, telah ditakdirkan Tuhan untuk ditunangkan

KEBODOHAN berbentuk seperti asap, uap air, kabut. Dan ia beracun. Ia berasal dari

sebuah tempat yang namanya tak pernah dikenal manusia. Jika ingin menemui

kebodohan makab erangkatlah dari tempat di mana saja di planet biru ini dengan

menggunakan tabung roket atau semacamnya, meluncur ke atas secara vertikal, jangan

eprnah sekali pun berhenti.

Gapailah gumpalan awan dalam lapisan troposfer, lalu naiklah terus menuju

stratosfer, menembus lapisan ozon, ionosfer, dan bulan-bulan di planet yang asing.

Meluncurlah terus sampai ketinggian di mana gravitasi bumi sudah tak peduli. Arungi

samudra bintang gemintang dalam suhu dingin yang mampu meledakkan benda padat.

Lintasi hujan meteor sampai tiba di eksosfer—lapisan paling luar atmosfer dengan

bentangan selebar 1.200 kilometer, dan teruslah melaju menaklukkan langit ketujuh.

Kita hanya dapat menyebutnya langit ketujuh sebagai gambaran imajiner tempat

tertinggi dari yang paling tinggi. Di tempat asing itu, tempat yang tak ‘kanpernah

memiliki nama, di atas langit ke tujuh, di situlah kebodohan bersemanyam. Rupanya

seperti kabut tipis, seperti asap cangklong, melayang-layang pelan, memabukkan .maka

apabila kita tanyakan sesuatu kepada orang-orang bodoh, mereka akan menjawab dengan

merancau, menyembunyikan ketidaktahuannya dalam omongan cepat, mencari beragam

alasan, atau membelokkan arah pertanyaan. Sebagaian yang lain diam terpaku, mulutnya

ternganga, ia diselubungi kabut dengan tatapan mata yang kosong dan jauh. Kedua jenis

reaksi ini adalah akibat keracunan asap tebal kebodohan yang mengepul di kepala

Kita tak perlu menempuh ekspedisi gila-gilaan itu. Karena seluruh lapisan langit

dan gugusan planit itu sesungguhnya terkonstelasi di dalam kepala kita sendiri. Apa yang

ada pada pikiran kita, dalam gumpalan otak seukuran genggam, dapat menjangkau ruang

seluas jagat raya.Parapemimpi seperti Nicolaus Copernicus, Battista Della Porta, dan

Lippershey malah menciptakan jagat rayanya sendiri, di dalam imajinasinya, dengan

sistem tata suryanya sendiri, dan Lucretius, juga seoerang pemimpi, menuliskan ilmu

Tempat di atas langit ketujuh, tempat kebodohan bersemanyam, adalah metafor

dari suatu tempat di mana manusia tak bisa mempertanyakan zat-zat Allah. Setiap usaha

mempertanyakannya hanya akan berujung dengan kesimpulan yang mempertontonkan

kemahatololan sang penanya sendiri. Maka semua jangkauan akal telah berakhir di langit

ketujuh tadi. Di tempat asing tersebut, barangkali Arasy, di sana kembali metafor

kagungan Tuhan bertakhta. Di bawah takhta-Nya tergelar Lauhul Mahfuzh, muara dari

segala cabang anak-anak sungai ilmu dan kebijakan, kitab yang telah mencatat setiap

lembar daun yang akan jatuh. Ia juga menyimpan rahasia ke mana nasib akan membawa

sepuluh siswa baru perguruan Muhammadiyah tahun ini. Karena takdir dan nasib

termasuk dalam zat-Nya.

Tuhan menakdirkan orang-orang tertentu untuk memiliki hati yang terang agar

dapat memberi pencerahan pada sekelilingnya. Dan di malam yang tua dulu ketika

Copernicus dan Lucretius duduk di samping Lintang, ketika angka-angka dan huruf

menjelma menjadi kunang-kunang yang berkelap-kelip, saat itu Tuhan menyemaikan biji

zarah klecerdasan, zarah yang jatuh dari langit dan menghantam kening Lintang.

Sejak hari perkenalan dulu aku sudah terkagum-kagum pada Lintang. Anak

pengumpul kerang ini pintar sekali. Matanya menyala-nyala memancarkan inteligensi,

keingintahuan menguasai dirinya seperti orang kesurupan. Jarinya tak pernah berhenti

mengacung tanda ia bisa menjawab. Kalau melipat dia paling cepat, kalau membaca dia

paling hebat. Ketika kami masih gagap menjumlahkan angka-angka genap ia sudah

terampil mengalikan angka-angka ganjil. Kami baru saja bisa mencongak, dia sudah

pintar membagi angka desimal, menghitung akar dan menemukan pangkat, lalu, tidak

hanya menggunakan, tapi juga mampu menjelaskan hubungan keduanya dalam tabel

logaritma. Kelemahannya, aku tak yakin apakah hal ini bisa disebut kelemahan, adalah

tulisannya yang cakar ayam tak keruan, tentu karena mekanisme motorik jemarinya tak

mampu mengejar pikirannya yang berlari sederas kijang.

“13 kali 6 kali 7 tambah 83 kurang 39!” tantang Bu Mus di depan kelas.

Lalu kami tergopoh-gopoh membuka karet yang mengikat segenggam lidi, untuk

mengambil tiga belas lidi, mengelompokkannya menjadi enam tumpukan, susah payah

menjumlahkan semua tumpukan itu, hasilnya kembali disusun menjadi tujuh kelompok,

dihitung satu per satu sebagai total dua tahap perkalian, ditambah lagi 83 lidi lalu diambil

39. Otak terlalu penuh untuk mengorganisasi sinyal-sinyal agar mengambil tindakan

praktis mengurangkan dulu 39 dari 83. Menyimpang sedikit dari urutan cara berpikir

orang kebanyakan adalah kesalahan fatal yang akan mengacaukan ilmu hitung aljabar.

Rata-rata dari kami menghabiskan waktu hampir selama 7 menit. Efektif memang, tapi

tidak efisien, repot sekali.

Sementara Lintang, tidak memegang sebatang lidi pun, tidak berpikir dengan cara

orang kebanyakan, hanya memjamkan matanya sebentar, tak lebih dari 5 detik ia

Tak sebiji pun meleset, meruntuhkan semangat kami yang sedang belepotan

memegangi potongan lidi, bahan belum selesai dengan operasi perkalian tahap pertama.

Aku jengkel tapi kagum. Waktu itu kami baru masuk hari pertama di kelas dua SD!

“ Superb! Anak pesisir, superb!” puji Bu Mus. Beliau pun tergoda untuk

menjangkau batas daya pikir Lintang.

“18 kali 14 kali 23 tambah 11 tambah 14 kali 16 kali 7!”

Kami berkecil hati, temangu-mangu menggenggami lidi, lalu kurang dari tujuh

detik, tanpa membuat catatan apa pun, tanpa keraguan, tanpa ketergesa-gesaan, bahkan

tanpa berkedip, Lintang berkumandang.

“Purnama! Lintang, bulan purnama di atas Dermaga Olivir, indah sekali! Itulah

jawabanmu, ke mana kau bersembunyi selama ini …?”

Ibu Mus bersusah payah menahan tawanya. Ia menatap Lintang seolah telah

seumur hidup mencari murid seperti ini. Ia tak mungkin tertawa lepas, agama melarang

itu. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Kami terpesona dan bertanya-tanya bagaimana

cara Lintang melakukan semua itu. Dan inilah resepnya ….

“Hafalkan luar kepala semua perkalian sesama angka ganjil, itulah yang sering

menyusahkan. Hilangkan angka satuan dari perkalian dua angka puluhan karena lebih

mudah mengalikan dengan angka berujung nol, kerjakan sisanya kemudian, dan jangan

kekenyangan kalau makan malam, itu akan membuat telingamu tuli dan otakmu tumpul!”

Polos, tapi ia telah menunjukkan kualifikasi highly cognitive complexdengan

mengembangkan sendiri teknik-teknik melokalisasi kesulitan, menganalisis, dan

memecahkannya. Ingat dia baru kelas dua SD dan ini adalah hari pertamanya. Selain itu

ia juga telah mendemonstrasikan kualitas nalar kuantitatif level tinggi. Sekarang aku

mengerti, aku sering melihatnya berkonsentrasi memandangi angka-angka. Saat itu dari

keningnya seolah terpancar seberkas sinar, mungkin itulah cahaya ilmu. Anak semuda itu

telah mampu mengontemplasikan bagaimana angka-angka saling bereaksi dalam suatu

operasi matematika. Kontemplasi-kontemplasi ini rupanya melahirkan resep ajaib tadi.

Lintang adalah pribadi yang unik. Banyak orang merasa dirinya pintar lalu

bersikap seenaknya, congkak, tidak disiplin, dan tak punya integritas. Tapi Lintang

sebaliknya. Ia tak pernah tinggi hati, karena ia merasa ilmu demikian luas untuk

disombongkan dan menggali ilmu tak akan ada habis-habisnya.

Meskipun rumahnya paling jauh tapi kalau datang ia paling pagi. Wajah manisnya

senantiasa bersinar walaupun baju, celana, dan sandal cunghai-nya buruknya minta

ampun. Namun sungguh kuasa Allah, di dalam tempurung kepalanya yang ditumbuhi

rambut gimbal awut-awutan itu tersimpan cairan otak yang encer sekali. Pada setiap

rangkaian kata yang ditulisnya secara acak-acakan tersirat kecemerlangan pemikiran

yang gilang gemilang. Di balik tubuhnya yang tak terawat, kotor, miskin, serta berbau

hangus, dia memiliki an absolutely beautiful mind. Ia adalah buah akal yang jernih, bibit

genius asli, yang lahir di sebuah tempat nun jauh di pinggir laut, dari sebuah keluarga

yang tak satu pun bisa membaca.

Lebih dari itu, seperti dulu kesan pertama yang kutangkap darinya, ia laksana

bunga meriam yang melontarkan tepung sari. Ia lucu, semarak, dan penuh vitalitas. Ia

memperlihatkan bagaimana ilmu bisa menjadi begitu menarik dan ia menebarkan hawa

positif sehingga kami ingin belajar keras dan berusaha menunjukkan yang terbaik.

Jika kami kesulitan, ia mengajari kami dengan sabar dan selalu membesarkan hati

kami. Keunggulannya tidak menimbulkan perasaan terancam bagi sekitarnya,

kecemerlangannya tidak menerbitkan iri dengki, dan kehebatannya tidak sedikit pun

mengisyaratkan sifat-sifat angkuh. Kami bangga dan jatuh hati padanya sebagai seorang

sahabat dan sebagai seorang murid yang cerdas luar biasa. Lintang yang miskin duafa

adalah mutiara, galena, kuarsa, dan topas yang paling berharga bagi kelas kami.

Lintang selalu terobsesi dengan hal-hal baru, setiap informasi adalaha sumbu ilmu

yang dapat meledakkan rasa ingin tahunya kapan saja. Kejadian ini terjadi ketika kami

kelas lima, pada hari ketika ia diselamatkan oleh Bodenga.

“Al-Qur’an kadangkala menyebut nama tempat yang harus diterjemahkan dengan

teliti ….” Demikian penjelasan Bu Mus dalam tarikh Islam, pelajaran wajib perguruan

Muhammadiyah. Jangan harap naik kelas kalau mendapat angka merah untuk ajaran ini.

“Misalnya negeri yang terdekat yang ditaklukkan tentara Persia pada tahun ….”

“620 Masehi! Persia merebut kekaisaran Heraklius yang juga berada dalam

ancaman pemberontakan Mesopotamia, Sisilia, dan Palestina. Ia juga diserbu bangsa

Avar, Slavia, danArmenia….”

Lintang memotong penuh minat, kami ternganga-nganga, Bu Mus tersenyum

senang. Beliau menyampingkan ego. Tak keberatan kuliahnya dipotong. Beliau memang

menciptakan atmosfer kelas seperti ini sejak awal. Memfasilitasi kecerdasan muridnya

adalah yang paling penting bagi beliau. Tidak semua guru memiliki kualitas seperti ini.

Bu Mus menyambung, “Negeri yang terdekat itu ….”

“Byzantium! Nama kuno untuk Konstantinopel, mendapat nama belakangan itu

dari The Great Constantine. Tujuh tahun kemudian negeri itu merebut lagi

kemerdekaannya, kemerdekaan yang diingatkan dalam kitab suci dan diingkari kaum

musyrik Arab, mengapa ia disebut negeri yang terdekat Ibunda Guru? Dan mengapa kitab

“Sabarlah anakku, pertanyaanmu menyangkut pernjelasan tafsir surah Ar-Ruum

dan itu adalah ilmu yang telah berusia paling tidak seribu empat ratus tahun. Tafsir baru

akan ktia diskusikan nanti kalau kelas dua SMP….”

“Tak mau Ibunda, pagi ini ketika berangkat sekolah aku hampir diterkam buaya,

maka aku tak punya waktu menunggu, jelaskan di sini, sekarang juga!”

Kami bersorak dan untuk pertama kalinya kami mengerti makna adnal ardli, yaitu

tempat yang dekat atau negeri yang terdekat dalam arti harfiah dan tempat paling rendah

di bumi dalam konteks tafsir, tak lain dari Byzantium di kekaisaran Roma sebelah timur.

Kami bersorak tentu bukan karena adnal ardli, apalagi Byzantium yang merdeka, tapi

karena kagum dengan sikap Lintang menantang intelektualitasnya sendiri. Kami merasa

beruntung menjadi saksi bagaimana seseorang tumbuh dalam evolusi inteligensi. Dan

ternyata jika hati kita tulus berada di dekat orang berilmu, kita akan disinari pancaran

pencerahan, karena seperti halnya kebodohan, kepintaran pun sesungguhnya demikian

ORANG cerdas memahami konsekuensi setiap jawaban dan menemukan bahwa

di balik sebuah jawaban tersembunyi beberapa pertanyaan baru. Pertanyaan baru tersebut

memiliki pasangan sejumlah jawaban yang kembali akan membawa pertanyaan baru

dalam deretan eksponensial. Sehingga mereka yang benar-benar cerdas kebanyakan

rendah hati, sebab mereka gamang pada akibat dari sebuah jawaban. Konsekuensikonsekuensi

itu mereka temui dalam jalur-jalur seperti labirin, jalur yang jauh menjalarjalar,

jalur yang tak dikenal di lokus-lokus antah berantah, tiada berujung. Mereka

mengarungi jalur pemikiran ini, tersesat di jauh di dalamnya, sendirian.

Godaan-godaan besar bersemayam di dalam kepala orang-orang cerdas. Di

dalamnya gaduh karena penuh dengan skeptisisme. Selesai menyerahkan tugas kepada

dosen, mereka selalu merasa tidak puas, selalu merasa bisa berbuat lebih baik dari apa

yang telah mereka presentasikan. Bahkan ketika mendapat nilai A plus tertinggi, mereka

masih saja mengutuki dirinya sepanjang malam.

Orang cerdas berdiri di dalam gelap, sehingga mereka bisa melihat sesuatu yang

tak bisa dilihat orang lian. Mereka yang tak dipahami oleh lingkungannya, terperangkap

dalam kegelapan itu. Semakin cerdas, semakin terkucil, semakin aneh mereka. Kita

menyebut mereka: orang-orang yang sulit. Orang-orang sulit ini tak berteman, dan

mereka berteriak putus asa memohon pengertyian. Ditambah sedikit saja dengan sikap

introver, maka orang-orang cerdas semacam ini tak jarang berakhir di sebuah kamar

dengan perabot berwarna teduh dan musik klasik yang terdengar lamat-lamat, itulah

ruang terapi kejiwaan. Sebagian dari mereka amat menderita.

Sebaliknya, orang-orang yang tidak cerdas hidupnya lebih bahagia. Jiwanya sehat

walafiat. Isi kepalanya damai, tenteram, sekaligus sepi, karena tak ada apa-apa di situ,

kosong. Jika ada suara memasuki telinga mereka, maka suara itu akan terpantul-pantul

sendirian di dalam sebuah ruangan yang sempit, berdengung-dengung sebentar, lalu

segera keluar kembali melalui mulut mereka.

Jika menyerahkan tugas, mereka puas sekali karena telah berhasil memenuhi

batas akhir, dan ketika mendapat nilai C, mereka tak henti-hentinya bersyukur karena

Mereka hidup di dalam terang. Sebuah senter menyiramkan sinar tepat di atas

kepala mereka dan pemikiran mereka hanya sampai pada batas lingkaran cahaya senter

itu. Di luar itu adalah gelap. Mereka selalu berbicara keras-keras karena takut akan

kegelapan yang mengepung mereka. Bagi sebagian orang, ketidaktahuan adalah berkah

Aku pernah mengenal berbagai jenis orang cerdas.Adaorang genius yang jika

menerangkan sesuatu lebih bodoh dari orang yang paling bodoh. Semakin keras ia

berusaha menjelaskan, semakin bingung kita dibuatnya. Hal ini biasanya dilakukan oleh

mereka yang sangat cerdas. Ada pula yang kurang cerdas, bahkan bodoh sebenarnya, tapi

kalau bicara ia terlihat paling pintar. Ada orang yang memiliki kecerdasan sesaat,

kekuatan menghafal yang fotografis, namun tanpa kemampuan analisis. Ada juga yang

cerdas tapi berpura-pura bodoh, dan elbih banyak lagi yang bodoh tapi berpura-pura

Namun, sahabatku Lintang memiliki hampir semua dimensi kecerdasan. Dia

seperti toko serba ada kepandaian. Yang paling menonjol adalah kecerdasan spasialnya,

sehingga ia sangat unggul dalam geometri multidimensional. Ia dengan cepat dapat

membayangkan wajah sebuah konstruksi suatu fungsi jika digerak-gerakkan dalam

variabel derajat. Ia mampu memecahkan kasus-kasus dekomposisi modern yang runyam

dan mengajari kami teknik menghitung luas poligon dengan cara membongkar sisisisinya

sesuai Dalil Geometri Euclidian. Ingin kukatakan bahwa ini sama sekali bukan

Ia sering membuat permainan dan mendesain visualisasi guna menerjemahkan

rumusan geometris pada tingkat kesulitan yang sangat tinggi. Tujuannya agar gampang

disimulasikan sehingga kami sekelas dapat dengan mudah memahami kerumitan

Teorema Kupu-Kupu atau Teorema Morley yang menyatakan bahwa pertemuan segitiga

yang ditarik dari trisektor segitiga bentuk apa pun akan membentuk segitiga inti yang

sama sisi. Semua itu dilengkapinya dengan bukti-bukti matematis dalam jangkauan

analisis yang melibatkan kemampuan logika yang sangat tinggi. Ini juga sama sekali

bukan urusan mudah, terutama untuk tingkat pendidikan serendah kami serta. Dan

mengingat kopra maka kuanggap apa yang dilakukan Lintang sangat luar biasa.

Lintang juga cerdas secara experientialyang membuyatnya piawai

menghubungkan setiap informasi dengan konteks yang lebih luas. Dalam kaitan ini, ia

memiliki kapasitas metadiscourseselayaknya orang-orang yang memang dilharikan

sebagai seorang genius. Artinya adalah jika dalam pelajaran biologi kami baru

mempelajari fungsi-fungsi otot sebagai subkomponen yang membentuk sistem mekanik

parsial sepotong kaki maka Liontang telah memahami sistem mekanika seluruh tubuh

dan ia mampu menjelaskan peran sepotong kaki itu dalam keseluruhan mekanika

persendian dan otot-otot yang terintegrasi.

Kecerdasannya yang lain adalah kecerdasan linguistik. Ia mudah memahami

bahasa, efektif dalam berkomunikasi, memiliki nalar verbal dan logika kualitatif. Ia juga

mempunyai descriptive power, yakni suatu kemampuan menggambarkan sesuatu dan

mengambil contoh yang tepat. Pengalamanku dengan pelajaran bahasa Inggris di harihari

pertama kelas 2 SMP nanti membuktikan hal itu.

Saat itu aku mendapat kritikan tajam dari ayahku karena nilai bahasa Inggris yang

tak kunjung membaik. Aku pun akhirnya menghadap pemegang kunci pintu ilmu filsafat

untuk mendapat satu dua resep ajaib. Aku keluhkan kesulitanku memahami tense.

“Kalau tak salah jumlahnya sampai enam belas, dan jika ia sudah berada dalam

sebuah narasi aku ekhliangan jejak dalam konteks tenseapa aku berada? Pun ketika ingin

membentuk sebuah kalimat, bingung aku menentukan tense-nya. Bahasa Inggrisku tak

“Begini,” kata Lintang sabar menghadapi ketololanku. Ketika itu ia sedang

memaku sandal cunghai-nya yang menganga seperti buaya lapar. Kupikir ia pasti

mengira bahwa aku mengalami disorientasi waktu dan akan menjelaskan makna tense

secara membosankan. Tapi petuahnya sungguh tak kuduga.

“Memikirkan struktur dan dimensi waktu dalam sebuah bahasa asing yang baru

saja kita kenal tidak lebih dari hanya akan merepotkan diri sendiri. Sadarkah kau bahasa

apa pun di dunia ini, di mana pun, mulai dari bahasa Navajo yang dipakai sebagai sandi

tak terpecahkan di perang dunia kedua, bahsa Gaelic yang amat langka, bahasa Melayu

pesisir yang berayun-ayun, sampai bahasa Mohican yang telah punah, semuanya adalah

kumpulan kalimat, dan kalimat tak lain adalah kumpulan kata=kata, paham kau sampai di

Aku mengangguk, semua oarng tahu itu.

Lalu ia melanjutkan, “Nah, kata apa pun, pada dasarnya adalah kata benda, kata

kerja, kata sifat, dan kata keterangan, paham? Ini bukan masalah bahasa yang sulit tapi

masalah cara berpikir.”

Sekarang mulai menarik.

“Berangkatlah dari sana, pelajari bagaimana menggunakan kata benda, kata kerja,

kata sifat, dan kata keterangan dalam sebuah kalimat Inggris, itu saja, Kal. Tak lebih dari

Belajar kata terlebih dulu, bukan belajar bahasa, itulah inti paradigma belajar

bahsa Inggris versi Lintang. Sebuah ide cemerlang yang hanya terpikirkan oleh orang-orang yang

memahami prinsip-prinsip belajar behasa. Dengan paradigma ini aku

mengalami kemajuan pesat, bukan hanya karena aku dapat mempelajari bahsa Inggris

dengan bantuan analogi bahasaIndonesia, tapi petuahnya mampu melenyapkan sugesti

kesulitan belajar bahasa asing yang umum melanda siswa-siswa daerah. Bahwa bahasa,

baik lokal maupun asing, adalah permainan kata-kata, tak lebih dari itu!

Setelah aku mampu membangun konstruksiku sendiri dalam memahami kalimat-kalimat

Inggris, kemudain Lintang menunjukkan cara meningkatkan kualitas tata

bahasaku dengan mengenalkan teori strktur dan aturan-aturan tense. Pendekatan ini diam-diam

kami sebarkan pada seluruh teman sekelas. Dan ternyata hal ini sukses besar,

sehingga dapat dikatakan Lintanglah yang telah mengakhiri masa kejahiliahan bahasa

Inggris di kelas kami.

Mungkin kami telah belajar bahasa Inggris dengan pendekatan yang keliru, tapi

cara ini efektif. Dan cara ini diajarkan oleh seseorang yang percaya bahwa setiap orang

memiliki jalan yang berbeda untuk memahami bahasa. Aku kagum dengan daya pikir

Lintang, dalam usia semuda itu ia mampu melihat elemen-elemen filosofis sebuah ilmu

lalu jmenerjemahkannya menjadi taktik-taktik praktsi untuk menguasainya. Yang lebih

istimewa, orang yang mengajariku ini bahkan tak mampu membeli buku teks wajib

Lintang memasuki suatu tahap kreatif yang melibatkan intuisi dan pengembangan

pemikiran divergen yang orisinal. Ia menggali rasai ngin tahunya dan tak henti mencoba-coba.

Indikasi kegeniusannya dapat dilihat dari kefasihannya dalam berbahasa numerik,

yaitu ia terampil memproses sebuah pernyataan matematis mulai dari hipotesis sampai

pada kesimpulan. Ia membuat penyangkalan berdasarkan teorema, bukan hanya

berdasarkan pembuktian kesalahan, apalagi simulasi. Dalam usia muda dia telah

memasuki area yang amat teoretis, cara berpikirnya mendobrak, mengambil risiko, tak

biasa, dan menerobos. Setiap hari kami merubungnya untuk menemukan kejutan-kejutan

Baru naik ke kelas satu SMP, ketika kami masih pusing tujuh keliling memetakan

absis dan ordinat pada produk cartesius dalam topik relasi himpunan sebagai dasar fungsi

linear, Lintang telah mengutak-atik materi-materi untuk kelas yangj auh lebih tinggi di

tingkat lanjutan atas bahkan di tingkat awal perguruan tinggi seperti implikasi,

biimplikasi, filosofi Pascal, binomialNewton, limit, diferensial, integral, teori-teori

peluang, dan vektor. Ketika kami baru saja mengenal dasar-dasar binomial ia telah

beranjak ke pengetahuan tentang aturan multinomial dan teknik eksploitasi polinomial, ia

mengobrak-abrik pertidaksamaan eksponensial, mengilustrasikan grafik-grafik sinus, dan

membuat pembuktian sifat matematis menggunakan fungsi-gunsgi trigonometri dan

aturan ruang tiga dimensi.

Suatu waktu kami belajar sistem persamaa nlinier dan tertatih-tatih menguraiuraikan

kasusnya dengan substitusi agar dapat menemukan nilai sebuah variabel, ia bosan

dan menghambur ke depan kelas, memenuhi papan tulis dengan alternatif-alternatif solusi

linier, di antaranya dengan metode eliminasi Gaus-Jordan, metode Crammer, metode

determinan, bahkan dengan nilai Eigen. Setelah itu Lintang mulai menggarap dan tampak

sangat menguasai prinsip-prinsip penyelesaian kasus nonlinier. Ia dengan amat lancar

menejlaskan persamaan multivariabel, mengeksploitasi rumus kuadrat, bahkan

menyelesaikan operasi persamaan menggunakan metode matriks! Padahal dasar-dasar

matriks paling tidak baru dikhotbahkan para guru pada kelas dua SMA. Yang lebih

menakjubkan adalah semua pengetahuan itu ia pelajari sendiri dengan membaca

bermacam-macam buku milik kepala sekolah kami jika ia mendapat giliran tugas

menyapu di ruangan beliau. Ia bersimpuh di balik pintu ayun, semacam pintu koboi,

menekuni angka-angka yang bicara, bahkan dalam buku-buku berbahasa Belanda.

Ia memperlihatkan bakat kalkulus yang amat besar dan keahliannya tidak hanya

sebatas menghitung guna menemukan solusi, tapi ia memahami filosofi operasi-operasi

matematika dalam hubungannya dengan aplikasi seperti yang dipelajari para mahasiswa

tingkat lanjut dalam subjek metodologi riset. Ia membuat hitungan yang iseng namun

cerdas mengenai berapa waktu yang dapat dihemat atau berapa tambahansuratyang

dapat diantar per hari oleh Tuan Pos jika mengubah rute antarnya. Ia membuat perkiraan

ketahanan benang gelas dalam adu layangan untuk berbagai ukuran nilon berdasarkan

perkiraan kekuatan angin, ukuran layangan, dan panjang benang. Rekomendasinya

menyebabkan kami tak pernah terkalahkan.

Prediksinya tak pernah meleset dalam menghitung waktu kuncup, bersemi, dan

mati untuk bunga red hot cat taildengan meneliti kadar pupuk, suplai air, dan sinar

matahari. Ia mengompilasi dengan cermat tabel pengamatan distribusi durasi, frekuensi

dan waktu curah hujan lalu menghitung rata-rata, variansi, dan koefisien korelasi dalam

rangka memperkirakan berapa kali Pak Harfan bolos karena bengek itu menunjukkan

pola yang konsisten terhadap fungsi hujan dan lebih ajaib lagi Lintang mampu membuat

persentase bias dugaannya.

Lintang bereksperimen merumuskan metode jembatan keledainya sendiri untuk

pelajaran-pelajaran hafalan. Biologi misalnya. Ia menciptyakan sebuah konfigurasi

belajar metabolisme dengan merancang kelompok sistem biologis mulai dari sistem alat

tubuh, pernapasan, pencernaan, gerak, sampai sistem saraf dan indra, baik untuk manusia,

vertebrata, maupun avertebrata, sehingga mudah dipahami.

Maka jika kita tanyakan padanya bagaiaman seekor cacing melakukan hajat

kecilnya, siap-siap saja menerima penjelasan yang rapi, kronologis, terperinci, dan

sangat cerdas mengenai cara kerja rambut getar di dalam sel-sel api, lalu dengan santai

saja, seumpama seekor monyet sedang mencari kutu di punggung pacarnya, ia akan

membuat analogi buang hajat cacing itu pada sistem ekskresi protozoa dengan anatomi

vakuola kontraktil yang rumit itu, bahkan jika tidak distop, ia akan dengan senang hati

menjelaskan fungsi-fungsi korteks, simpai bowman, medulla, lapisan malpigi, dan dermis

dalam sistem ekskresi manusia. Karena bagi Lintang, melalui desain jembatan keledainya

tadi, benda-benda hafalan ini dengan mudah dapat ia kuasai, satu malam saja, sekali

Masih dalam pelajaran biologi, terjadi perdebatan sengit di antara kami tentang

teori yang memaksakan pendapat bahwa manusia berasal dari nenek moyang semacam

lutung, kami terperangah oleh argumentasi lintang:

“Persoalannya adalah apakah Anda seorang religius, seorang darwinian, atau

sekadar seorang oportunis? Pilihan sesungguhnya hanya antara religius dan darwinian,

sebab yang tidak memilih adalah oportunis! Yaitu mereka yang berubah-ubah sikapnya

sesuai situasi mana yang akan lebih menguntungkan mereka. Lalu pilihan itu seharusnya

menentukan perilaku dalam menghargai hidup ini. Jika Anda seorang darwinian, silakan

berperilaku seolah tak ada tuntutan akhirat, karena bagi Anda kitab suci yang memaktub

bahwa manusia berasal dari Nabi Adam adalah dusta. Tapi jika Anda seorang religius

maka Anda tahu bahwa teori evolusi itu palsu, dan ketika Anda tak kunjung

mempersiapkan diri untuk dihisab nanti dalam hidup setelah mati, maka dalam hal ini

anda tak lebih dari seorang sekuler oportunis yang akan dibakar di dasar neraka!”

Itulah Lintang dengan pandangannya. Pikirannya memang telah sangat jauh

meninggalkan kami. Dan dengarlah itu, bicaranya lebih pintar dari bicara seluruh menteri

penerangan yang pernah dimiliki republik ini.

“Ayo yang lain, jangan hanya anak Tanjong keriting ini saja yang terus

menjawab,” perintah Bu Mus.

Biasanya setelah itu aku tergoda utnuk menjawab, agak ragu-ragu, canggung, dan

kurang yakin, sehingga sering sekali salah, lalu Lintang membetulkan jawabanku, dengan

semangat konstruktif penuh rasa akrab persahabatan. Lintang adalah seorang cerdas yang

rendah hati dan tak pernah segan membagi ilmu.

Aku belajar keras sepanjang malam, tapi tak pernah sedikit pun, sedetik pun bisa

melampaui Lintang. Nilaiku sedikit lebih baik dari rata-rata kelas namun jauh tertinggal

dari nilainya. Aku berada di bawah bayang-bayangnya sekian lama, sudah terlalu lama

malah. Rangking duaku abadi, tak berubah sejak caturwulan pertama kelas satu SD.

Abadi seperti lukisan ibu menggendong anak di bulan. Rival terberatku, musuh

bebuyutanku adalah temanku sebangku, yang aku sayangi.

Dapat dikatakan bahwa Bu Mus sering kewalahan menghadapi Lintang, terutama

untuk pelajaran matematika, sehingga ia sering diminta membantu. Ketika Lintang

menerangkan sebuah persoalan rumit dan membaut simbol-simbol rahasia matematika

menjadi sinar yang memberi terang bagi kami, Bu Mus memerhatikan dengan seksama

bukan hanya apa yang diucapkan Lintang tapi juga pendekatannya dalam menjelaskan.

Lalu beliau menggeleng-gelengkan kepalanya, komat-kamit, berbicara sendiri tak jelas

seperti orang menggerendeng. Belakangan aku tahu apa yang dikomat-kamitkan beliau.;

Bu Mus mengucapkan pelan-pelan kata-kata penuh kagum,

“Subhanallah….Subhanallah….”

“Yang paling membuatku terpesona,” cerita Bu Mus pada ibuku. “Adalah

kemampuannya menemukan jawaban dengan cara lain, cara yang tak pernah terpikirkan

olehku,” sambungnya sambil membetulkan jilbab.

“Lintang mampu menjawab sebuah pertanyaan matematika melalui paling tidak

tiga cara, padahal aku hanya mengajarkan satu cara. Dan ia menunjukkan padaku

bagaimaan menemukan jawaban tersebut melalui tiga cara lainnya yang tak pernah

sedikit pun aku ajarkan! Logikanya luar biasa, daya pikirnya meluap-luap. Aku sudah tak

bisa lagi mengatasi anak pesisir ini Ibunda Guru.”

Bu Mus tampak bingung sekaligus bangga memiliki murid sepandai itu.

Sebaliknya, ibuku, seperti biasa, sangat tertarik pada hal-hal yang aneh.

“Ceritakan lagi padaku kehebatannya yang lain,” pancing beliau memanasi Bu

Mus sambil memajukan posisi duduknya, mendekatkan keminangan tempat cupu-cupu

gambir dan kapur, lalu meludahkan sirih melalui jendela rumah panggung kami.

Dan tak ada yang lebih membahagiakan seorang guru selain mendapatkan seorang

murid yang pintar. Kecemerlangan Lintang membawa gairah segar di sekolah tua kami

yang mulai kehabisan napas, megap-megap melawan paradigma materialisme sistem

pendidikan zaman baru. Sekarang suasana belajar mengajar di sekolah kami menjadi

berbeda karena kehadiran Lintang, hanya tinggal menunggu kesempatqan saja baginya

untuk mengharumkan nama perguruan Muhammadiyah. Lintang dengan segala daya tarik

kecerdasannya daalah gemerincing tamborin yang nakal, bernada miring, dalam alunan

stambulgayalama. Dialah mantar dalam rima-rima gurindam yang itu-itu saja. Dia ikan

lele yang menggeliat dalam timbunan lumpur berku kemarau sekolah kami yang telah

bosan dihina. Tubuhnya yang kurus menjadi siku-siku yang mengeakkan kembali tiang

utama perguruan Muhammadiyah yang bahkan belum tentu tahun depan mendapatkan

Dewan guru tak henti-hentinya membicarakan nilai rapor Lintang. Angka

sembilan berjejer mulai dari pelajaran aqaid(akidah), Al-Qur’an, fikih, tarikh Islam, budi

pekerti, kemuhammadiyahan, pendidikan kewarganegaraan, ilmu bumi, dan bahasa

Untuk biologi, matematika dan semua variannya: ilmu ukur, aritmatika, aljabar,

dan ilmu pengetahuan alam bahkan Bu Mus berani bertanggung jawab untuk memberi

nilai sempurna: sepuluh. Kehebatan Lintang tak terbendung, kepiawaiannya mulai

kondang ke seantero kampung. Dan yang lebih mendebarkan, karena reputasinya itu,

kami dipertimbangkan untuk diundang mengikuti lomba kecerdasan antarsekolah yang

daat menaikkan gengsi sekolah setinggi rasi bintang Auriga. Sudah demikian lama kami

tak diundang dalam acara bergengsi ini karena prestasi sekolah selalu di bawah rata-rata.

Nilai terendah di rapor Lintang, yaitu delapan, hanya pada mata pelajaran

kesenian. Walaupun sudah berusaha sekuat tenaga dan mengerahkan segenap daya pikir

dia tak mampu mencapai angka sembilan karena tak memapu bersaing dengan seorang

pria muda berpenampilan eksentrik, bertubuh ceking, dan berwajah tampan yang duduk

di pojoksanasebangku denganTrapani. Nilai sembilan untuk pelajaran kesenian selalu

milik pria itu, namanya Mahar.

BAKAT laksana Area 51 di GurunNevada, tempat di mana mayat-mayat alien

disembunyikan: misterius! Jika setiap orang tahu dengan pasti apa bakatnya maka itu

adalah utopia. Sayangnya utopia tak ada dalam dunia nyata. Bakat tidak seperti alergi,

dan ia tidak otomatis timbul seperti jerawat, tapi dalam banyak kejadian ia harus

Banyak orang yang berusaha mati-matian menemukan bakatnya dan banyak pula

yang menunggu seumur hidup agar bakatnya atau dirinya ditemukan, tapi lebih banyak

lagi yang merasa dirinya berbakat padahal tidak. Bakat menghinggapi orang tanpa

diundang. Bakat main bola seperti Van Basten mungkin diam-diam dimiliki sorang

tukang taksir di kantor pegadaian di Tanjong Pandan. Seorang Karl Marx yang lain bisa

saja sekarang sedang duduk menjaga wartel di sebuah kampus diBandung. Seorang

kondektur ternyata adalah John Denver, seorang salesmanternyata berpotensi menjadi

penembak jitu, atau salah seorang tukang nasi bebek diSurabayaternyata berbakat

menjadi komposer besar seperti Zuybin Mehta.

Namun, mereka sendiri tak pernah mengetahui hal itu. Si tukang taksir terlalu

sibuk melayani orang Belitong yang kehabisan uang sehingga tak punya waktu main

bola, sang penjaga wartel sepanjang hari hanya duduk memandangi struk yang menjulur-julur dari

printer Epson yang bunyinya merisaukan seperti lidah wanita dalam film

Perempuan Berambut Api, kondektur dan salesmansetiap hari mengukur jalan, dan

lingkungan si tukang nasi bebek sama sekali jauh dari sesuatu yang berhubungan dengan

musik klasik. Ia hanya tahu bahwa jika mendengarkan orkestra telinganya mampu

melacak nada demi nada yang berdenting dari setiap instrumen dan hatinya bergetar

hebat. Sayangnya sepanjang hidupnya ia tak pernah mendapat kesempatan sekali pun

memegang alat musik, dan tak juga pernah ada seorang pun yang menemukannya. Maka

ketika ia mati, bakat besar gilang gemilang pun ikut terkubur bersamanya. Seperti

mutiara yang tertelan kerang, tak pernah seorang pun melihat kilaunya.

Karena bakat sering kali harus ditemukan, maka ada orang yang berprofesi

sebagai pemandu bakat. Di Amerika orang-orang seperti ini khusus berkeliling dari satu

negara bagian ke negara baigan lain untuk mencari pemain baseballpotensial. Jika—satu

di antara sejuta kemungkinan—orang ini tak pernah menghampiri seseorang yang

sesungguhnya berbakat, maka hanya nasib yang menentukan apakah bakat seseorang

tersebut pernah ditemukan atau tidak, pelajaran moral nomor empat: Ternyata nasib yang

juga sangat misterius itu adalah seorang pemandu bakat! Hal ini paling tidak dibuktikan

oelh Forest Gump, jika ia tidak mendaftar menjadi tentara dan jika ia tidak mengikuti

kegiatan ekstrakurikuler di barak pada suatu sore maka mungkin ia tak pernah tahu kalau

ia sangat berbakat bermain tenis meja. Ritchie Blackmore juga begitu, kalau orang tuanya

membelikan papan catur untuk hadiah ulang tahun mungkin ia tak pernah tahu kalau dia

berbakat menjadi seorang gitaris classic rock.

Dan di siang yang panas menggelegak ini, ketika pelajaran seni suara, di salah

satu sudut kumuh perguran miskin Muhammadiyah, kami menjadi saksi bagaimana nasib

menemukan bakat Mahar. Mulanya Bu Mus meminta A Kiong maju ke depan kelas

untuk menyanyikan sebuah lagu, dan seperti diduga—hal ini sudah delapan belas kali

terjadi—ia akan membawakan lagu yang sama yaitu Berkibarlah Benderaku karya Ibu

“…berkiballah bendelaku….”

“…lambang suci gagah pelwila ….”

“… bergelak-bergelak! Selentak … selentak …!”

A Kiong membawakan lagu itu dengangayamars tanpa rasa sama sekali. Ia

memandang keluar jendela dan pikirannya tertuju pada labu siam yang merambati dahan-dahan

rendah filiciumserta buah-buahnya yang gendut-gendut bergelantungan. Ia bahkan

tidak sedikit pun memandang ke arah kami. Ia mengkhianati penonton.

Telinganya tak mendengarkan suaranya sendiri karena ia agaknya mendengarkan

suara ribut burung-burung kecil prenjak saya pgaris yang berteriak-teriak beradu kencang

dengan suara kumbang-kumbang betina pantat kuning. Ia tak mengindahkan jangkauan

suaranya serta atk ambil pusing dengan notasi. Kali ini ia mengkhianati harmoni.

Kami juga tak memerhatikannya bernyanyi. Lintang sibuk dengan rumus

phytagoras, Harun tertidur pulas sambil mendengkur, Samson menggambar seorang pria

yang sedang mengangkat sebuah rumah dengan satu tangan kiri.Saharaasyik menyulam

kruistik kaligrafi tulisan Arab Kulil Haqqu Walau Kana Murronartinya: Katakan

kebenaran walaupun pahitdanTrapanimelipat-lipat sapu tangan ibunya. Sementara itu

Syahdan, aku dan Kucai sibuk mendiskusikan rencana kami menyembunyikan sandal Pak

Fahimi (guru kelas empat yang galak itu) di Masjid Al-Hikmah. Mahar adalah orang

satu-satunya yang menyimaknya. Sedangkan Bu Mus menutup wajahnya dengan kedua

tangan, beliau berusaha keras menahan kantuk dan tawa mendengar lolongan A Kiong.

Lalu giliran aku. Tak kalah membosankan, lebih membosankan malah. Setelah

dimarahi karena selalu menyanyikan lagu Potong Bebek Angsa, kini aku membuat sedikit

kemajuan dengan lagu baru Indonesia Tetap Merdekakarya C. Simanjuntak yang

diaransemen Damoro IS. Ketika aku mulai menyanyi Sahar mengangkat sebentar

wajahnya dari kruistiknya dan terang-terangan memandangku dengan jijik karena aku

menyanyikan lagu cepat-tegap itu dengan nada yang berlari-lari liar sesuka hati, kesana

kemari tanpa harmonisasi. Aku tak peduli dengan pelecehan itu dan tetap bersemangat.

“…Sorak-sorai bergembira…bergembira semua….”

“…telah bebas negeri kita…Indonesia merdeka ….”

Namun, aku menyanyi melompati beberapa oktaf secara drastis tanpa dapat

kukendalikan sehingga tak ada keselarasan nada dan tempo. Aku telah mengkhianati

Kali ini Bu Mus sudah tak bisal agi menahan tawanya, beliau terpingkal-pingkal

sampai berair matanya. Aku berusaha keras memperbaiki harmonisasi lagu itu tapi

semakin keras aku berusaha semakin aneh kedengarannya. Inilah yang dimaksud dengan

tidak punya bakat. Aku susah payah menyelesaikan lagu itu dan teman-temanku sama

sekali tak mengindahkan penderitaanku karena mereka juga menderita menahan kantuk,

lapar, dan haus di tengah hari yang panas ini, dan batin mereka semakin tertekan karena

Bu Mus menyelamatkan aku dengan buru-buru menyuruhku berhenti bernyanyi

sebelum lagu merdu itu selesai, dan sekarang beliau menunjuk Samson. Kenyataannya

semakin parah, Samson menyanyikan lagu yang berjudul Teguh Kukuh Berlapis Baja

juga karya C. Simanjuntak sesuai dengan citra tubuh raksasanya. Ia menyanyikan lagu itu

dengan sangat nyaring sambil menunduk dalam dan menghentak-hentakkan kakinya

“…Teguh kukuh berlapis baja!”

“…rantai smangat mengikat padu!”

“…tegak bentengIndonesia!”

Tapi ia juga sama sekali tidak tahu konsep harmonisasi sehingga ia menjadikan

lagu itu seperti sebuah lagu lain yang belum pernah kami kenal. Ia mengkhianati C.

Simanjuntak. Maka sebelum bait pertama selesai, Bu Mus segera menyuruhnya kembali

ke tempat duduk. Samson membatu, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya,

“mengapa aku dihentikan, Ibunda Guru …?”

Inilah yang dimaksud dengan tak punya bakat dan tak tahu diri.

Maka seni suara adalah mata pelajaran yang paling tidak prospektif di kelas kami.

Oleh karena itu, ia ditempatkan di bagian akhir paling siang. Fungsinya hanya untuk

menunggu waktu Zuhur, yaitu saatnya kami pulang, atua untuk sekadar hiburan bagi Bu

Mus karena dengan menyuruh kami bernyanyi beliau bisa menertawakan kami. Pada

umumnya kami memang tak bisa menyanyi. Bahkan Lintang hanya bisa menampilkan

dua buah lagu, yaitu Padamu Negeridan Topi Saya Bundar. Lagu tentang topi ini adlaah

lagu superringkas dengan bait yang dibalik-balik. Lintang menyanyikannya dengan

tergesa-gesa sehingga seperti rapalan agar tugas itu cepat selesai.

Adapun Trapani, sejak kelas satu SD tak pernah menyanyikan lagu lain selain

lagu Kasih Ibu Sepanjang Jalan. Sahar menyanyikan lagu Rayuan Pulau Kelapadengan

gaya seperti seriosa yang menurut dia sangat bagus padahal sumbangnya minta ampun.

Sedangkan Kucai—juga dari kelas satu SD—hanya menampilkan dua buah lagu yang

sama, kalau tidak lagu Rukun Islamia akan menyanyikan lagu Rukun Iman.

“Masih ada lima menit sebelum azan zuhur. Ah, masih bisa satu lagu lagi,” kata

Bu Mus sambil tersenyum simpul. Kami memandang beliau dengan benci.

“Ibunda, kenapa tak pulang saja!”

Kami sudah mengantuk, lelah, lapar, dan haus. Siang ini panas sekali. Burungburung

prenjak sayap garis semakin banyak dan tak mau kalah dengan kumbangkumbang

betina pantat kuning. Kadang-kadang mereka hinggap di jendela kelas sambil

menjerit sejadi-jadinya, menimbulkan suara bising yang memusingkan bagi perut-perut

“Nah, sekarang giliran ….” Bu Mus memandangi kami satu per satu untuk

menjatuhkan pilihan secara acak … dan kali ini pandangannya berhenti pada Mahar.

“Ya, Mahar, silakan ke depan anakku, nyanyikan sebuah lagu sambil kita

menunggu azan zuhur.”

Bu Mus terus tersenyum mengantisipasi kekonyolan apa lagi yang akan

ditampilkan muridnya. Sebelumnya kami tak pernah mendengar Mahar bernyanyi, karena

setiap kali tiba gilirannya, azan zuhur telanjur berkumandang sehingga ia tak pernah

mendapat kesempatan tampil.

Kami tidak peduli ketika Mahar beranjak. Ia menyandang tasnya, sebuah karung

kecampang, karena ia juga sudah bersiap-siap akan pulang. Kami sibuk sendiri-sendiri.

Sahara sama sekali tak memalingkan wajah dari kruistiknya, Lintang terus menghitung,

Samson masih menggambar, dan yang lain asyik berdiskusi. Mahar melangkah ke depan

dengan tenang, anggun, tak tergesa-gesa.

Di depan kelas ia tak langsung menyanyikan lagu pilihannya, tapi menatap kami

satu per satu. Kami terheran-heran melihat tingkahnya yang ganjil, namun tatapannya

penuh arti, seperti sebuah tatapan kerinduan dari seorang penyanyi pop gaek yang

melakukan konser khusus untuk para ibu-ibu single parent, dan kaum ibu ini adalah para

penggemar setia yang sudah amat lama tak bersua dengan sang artis nostalgia.

Setelah memandangi kami cukup lama, ia memalingkan wajahnya ke arah Bu Mus

sambil tersenyum kecil dan menunduk, layaknya peserta lomba bintang radio yang

memberi hormat kepada dewan juri. Mahar merapatkan kedua tangannya di dadanya

seperti seniman India, seperti orang memohon doa. Tampak jelas jari-jari kurusnya yang

berminyak seperti lilin dan ujung-ujung kukunya yang bertaburan bekas-bekas luka kecil

sehingga seluruh kukunya hampir cacat. Sejak kelas dua SD Mahar bekerja sampingan

sebagai pesuruh tukang parut kelapa di sebuah toko sayur milik seorang Tionghoa

miskin. Tangannya berminyak karena berjam-jam meremas ampas kelapa sehingga

tampak licin, sedangkan jemari dan kukunya cacat karena disayat gigi-gigi mesin parut

yang tajam dan berputar kencang. Mesin itu mengepulkan asap hitam dan harus

dihidupkan dengan tenaga orang dewasa dengan cara menarik sebuah tuas berulangulang.

Bunyi mesin itu juga merisaukan, suatu bunyi kemelaratan, kerja keras, dan hidup

tanpa pilihan. la membantu menghidupi keluarga dengan menjadi pesuruh tukang parut

karena ayahnya telah lama sakit-sakitan.

Bu Mus membalas hormat takzimnya yang santun dengan tersenyum ganjil. “Anak

muda ini pasti tak pandai melantun tapi jelas ia menghargai seni,\" mungkin demikian

yang ada dalam hati Bu Mus. Tapi tetap saja beliau menahan tawa. Lalu Mahar

mengucapkan semacam prolog.

“Aku akan membawakan sebuah lagu tentang cinta Ibunda Guru, cinta yang

teraniaya lebih tepatnya ....\"

Tuhanku! Kami terperangah dan Bu Mus terkejut. Prolog semacam ini tak pernah

kami lakukan, dan tema lagu pilihan Mahar sangat tak biasa. Lagu kami hanya tiga macam

yaitu: lagu nasional, lagu kasidah, dan lagu anak-anak. Lagu apakah gerangan yang

akan dibawakan anak muda berwajah manis ini? Kini kami semua memandanginya dengan heran,

Sahara melepaskan kruistiknya. Belum sempat kami mencerna ia

menyambung kalem dengangayaseperti seorang bijak berpetuah.

\"Lagu ini bercerita tentang seseorang yang patah hati karena kekasih yang sangat ia

cintai direbut oleh teman baiknya sendiri ....\"

Mahar tercenung syahdu, tatapan matanya kosong jauh melintasi jendela, jauh

melintasi awan-awan berarakan, hidup memang kejam ....

Bu Mus termenung ragu-ragu. Beliau menatap Mahar sambil tersenyum penuh

tanda tanya. Hati kami juga penasaran. Lalu Bu Mus mengambil sebuah keputusan

\"Jalan ke ladang berliku-liku, jangan lewat hutan cemara, segera nyanyikan

lagumu, biar kutahu engkau merana ....\"

Mahar tersenyum dalam duka.

\"Terima kasih Ibunda Guru.\"

Mahar bersiap-siap, kami menunggu penuh keingintahuan, dan kami semakin

takjub ketika ia membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah alat musik: ukulele!

Suasana jadi hening dan kemudian perlahan-lahan Mahar memulai intro lagunya

dengan memainkan melodi ukulele yang mendayu-dayu, ukulele itu dipeluknya dengan

sendu, matanya terpejam, dan wajahnya syahdu penuh kesedihan yang mengharu biru,

pias menahankan rasa. Jiwanya seolah terbang tak berada di tempat itu. Lalu dengan

interludeyang halus meluncurlah syair-syair lagu menakjubkan dalam tempo pelan

penuh nuansa duka yang dinyanyikan dengan keindahan andante maestosoyang tak

terlukiskan kata-kata

\"...I was dancing with my darling to the Tennesse waltz...\"

\"... when an old friend I happened to see...\"

\"... intoduced her to my love one and while they were dancing...

\"... my friend stole my sweetheart from me...\"

Seketika kami tersentak dalam pesona, itulah lagu Tennesse Waltzyang sangat

terkenal karya Anne Muray, dan lagu itu dibawakan Mahar dengan teknik menyanyi

seindah Patti Page yang melambungkan lagu lama itu. Ritme ukulele mengiringi vibrasi

sempurna suaranya disertai sebuah penghayatan yang luar biasa sehingga ia tampak

demikian menderita karena kehilangan seorang kekasih.

Syair demi syair lagu itu merambati dinding-dinding papan tua kelas kami,

hinggap di daun-daun kecil linariaseperti kupu-kupu cantik thistle crescent, lalu

terbang hanyut dibawa awan-awan tipis menuju ke utara. Suara Mahar terdengar pilu

merasuki relung hati setiap orang yang ada di ruangan. Intonasinya lembut membelaibelai

kalbu dan Mahar memaku hati kami dalam rasa pukau menyaksikannya menyanyi

sambil menitikkan air mata. Apa pun yang sedang kami kerjakan terhenti karena kami

telah terkesima. Kami tersihir oleh aura seni yang terpancar dari sosok anak muda

tampan yang menyanyi dari jiwanya, bukan hanya dari mulutnya, sehingga lagu itu

menjadi sebuah simfoni yang agung. Kami terbawa suasana melankolis karena Mahar

benar-benar mengembuskan napas lagu itu. Rasa kantuk, lapar, dan dahaga menjadi tak

terasa. Bahkan kumbang-kumbarrg dan kawanan burung prenjak sayap garis menjadi

senyap, berhenti menjerit-jerit demi mendengar lantunannya. Suhu udara yang panas

perlahan-lahan menjadi sejuk menghanyutkan.

Ketika Mahar bernyanyi seluruh alam diam menyimak. Kami merasakan sesuatu

tergerak di dalam hati bukan karena Mahar bernyanyi dengan tempo yang tepat, teknik

vokal yang baik, nada yang pas, interpretasi yang benar, atau chordukulele yang

sesuai, tapi karena ketika ia menyanyikan Tennesse Waltzkami ikut merasakan

kepedihan yang mendalam seperti kami sendiri telah kehilangan kekasih yang paling

dicintai. Kemampuan menggerakkan inilah barangkali yang dimaksud dengan bakat.

Siang itu, ketika sedang menunggu azan zuhur, ternyata seorang seniman besar telah

lahir di sekolah gudang kopra perguruan Muhammadiyah. Mahar mengakhiri lagunya

secara fade outdisertai linangan air mata.

“... I lost my litle darling the night they were playing the beautiful Tennesse

Dan kami serentak berdiri memberi standing applauseyang sangat panjang

untuknya,limamenit! Bu Mus berusaha keras menyembunyikan air mata yang

menggenang berkilauan di pelupuk mata sabarnya.

Tak dinyana, beberapa menit yang lalu, ketika Bu Mus menunjuk Mahar secara

acak untuk menyanyi, saat itulah nasib menyapanya. Itulah momen nasib yang sedang

bertindak selaku pemandu bakat. Siang ini, komidi putar Mahar mulai menggelinding

dalam velositas yang bereskalasi.

JAM TANGAN PLASTIK MURAHAN

SETELAH tampil dengan lagu memukau Tennesse Waltzkami menemukan Mahar

sebagai lawan virtual rasionalitas Lintang. Ia adalah penyeimbang perahu kelas kami

yang cenderung oleng ke kiri karena tarikan otak kiri Lintang. Sebaliknya, otak sebelah

kanan Mahar meluap-luap melimpah ruah. Mereka berdua membangun tonggak artistik

daya tarik kelas kami sehingga tak pernah membosankan.

Jika Lintang memiliki level intelektualitas yang demikian tinggi maka Mahar

memperlihatkan bakat seni selevel dengan tingginya inteligensia Lintang. Mahar

memiliki harnpir setiap aspek kecerdasan seni yang tersimpan seperti persediaan

amunisi kreativitas dalam lokus-lokus di kepalanya. Kapasitas estetika yang tinggi

melahirkannya sebagai seniman serba bisa, ia seorang pelantun gurindam, sutradara

teater, penulis yang berbakat, pelukis natural, koreografer, penyanyi, pendongeng yang

ulung, dan pemain sitar yang fenomenal.

Lintang dan Mahar seperti Faraday kecil dan Warhol mungil dalam satu kelas, atau

laksana Thomas Alva Edison muda dan Rabindranath Tagore junior yang berkumpul.

Keduanya penuh inovasi dan kejutan-kejutan kreativitas dalam bidangnya masing-masing.

Tanpa mereka, kelas kami tak lebih dari sekumpulan kuli tambang melarat yang

mencoba belajar tulis rangkai indah di atas kertas bergaris tiga.

Dan di antara mereka berdua kami terjebak di tengah-tengah seperti orang-orang

dungu yang ditantangColumbusmendirikan telur. Karena Lintang dan Mahar duduk

berseberangan maka kami sering menoleh ke kiri dan ke kanan dengan cepat, persis

penonton pertandingan pingpong, terkagum-kagum pada kegeniusan mereka.

Jika tak ada guru, Lintang tampil ke depan, menggambar rangkaian teknik

bagaimana membuat perahu dari pelepah sagu. Perahu ini digerakkan baling-baling yang

disambungkan dengan motor yang diambil dari tape recorderdan ditenagai dua buah

batu baterai. Ia membuat perhitungan matematis yang canggih untuk memanipulasi gerak

mekanik motor tapedan menjelaskan kepada kami hukum-hukum pokok hidrolik.

Perhitungan matematikanya itu dapat memperkirakan dengan sangat akurat laju

kecepatan perahu berdasarkan massanya. Aku terpesona melihat perahu kecil itu

berputar-putar sendiri di dalam baskom.

Setelah itu Mahar maju, menundukkan kepala dengan takzim di depan kami seperti

seniman istana yang ingin bersenandung atas perkenan tuan raja, lalu dengan manis ia

membawakan lagu Leaving on a Jet Planedengan gitarnya dengan ketukan-ketukan

bernuansa hadrah. Di tangan orang yang tepat musik ternyata bisa menjadi demikian

indah. Mahar juga membaca beberapa bait puisi parodi tentang orang-orang Melayu yang

mendadak kaya atau tentang burung-burung putih di Pantai Tanjong Kelayang. Mahar

dengan aksesori-aksesori etniknya ibarat orang yang dititipi Engelbert Humperdink suara

emas dan diwarisi Salvador Dali sikap-sikap nyentrik. Persahabatannya dengan para

seniman lokal dan seorang penyiar radio AM yang memiliki beragam koleksi musik

memperkaya wawasan seni dan perbendaharaan lagu Mahar.

Pada kesempatan lain Lintang mempresentasikan percobaan memunculkan arus

listrik dengan mengerak-gerakkan magnet secara mekanik dan menjelaskan prinsip-prinsip kerja

dinamo. Mahar memperagakan cara membuat sketsa-sketsa kartun dan cara

menyusun alur cerita bergambar. Lintang menjelaskan aplikasi geometri dan aerodinamika dalam

mendesain layangan, Mahar menceritakan kisah yang memukau tentang bangsa-bangsa yang punah.

Pernah juga Lintang menyusun potongan-potongan kaca yang dibentuk cekung seperti parabola dan

menghadapkannya ke arah matahari agar

mendapatkan suhu yang sangat tinggi, rancangan energi matahari katanya. Sebaliknya

Mahar tak mau kalah, ia menggotong sebuah meja putar dan mendemonstrasikan seni

membuat gerabah yang indah, teknik-teknik melukis gerabah itu dan mewarnainya.

Lintang memperagakan cara kerja sekstan dan menjelaskan beberapa perhitungan

matematika geometris dengan alat itu, Mahar membaca puisi yang ditulisnya sendiri

dengan judul Doadan dibawakan secara memukau dengangayatilawatil Qur'an, belum

pernah aku melihat orang membaca puisi seperti itu.

Kadang kala mereka berkolaborasi, misalnya Mahar menginginkan sebuah gitar

elektrik yang gampang dibawa seperti tas biasa, sehingga tak merepotkan jika naik

sepeda, maka Lintang datang dengan sebuah desain produk yang belum pernah ada dalam

industri instrumen musik, yaitu desain stang gitar yang dipotong lalu dipasangi semacam

engsel sehingga terciptalah gitar yang bisa dilipat. Sungguh istimewa. Sudah banyak aku

melihat keanehan di dunia pentas—misalnya pemain biola yang ketiduran ketika sedang

manggung, panggung yang roboh, musisi yang menghancurkan alat-alat musik, pemain

gitar yang kesetrum, seorang pria midlandyang makan kelelawar, atau orang-orang

kampung yang meniru-niru Mick Jagger—tapi gitar dilipat sehingga menjadi seperti

papan catur, baru kali ini aku saksikan. Dan jika Mahar dan Lintang beraksi, kami

berkumpul di tengah-tengah kelas, bertumpuk-tumpuk kegirangan, terbuai keindahan,

dan menggumamkan subhanallah berulang-ulang, atas dua macam kepintaran mengasyikkan yang

dianugerahkan Ilahi kepada mereka.

Mahar sangat imajinatif dan tak logis—seseorang dengan bakat seni yang sangat

besar. Sesuatu yang berasal dari Mahar selalu menerbitkan inspirasi, aneh, lucu, janggal,

ganjil, dan menggoda keyakinan. Namun, mungkin karena otak sebelah kanannya benar-benar aktif

maka ia menjadi pengkhayal luar biasa. Di sisi lain ia adalah magnet, simply

Ia penggemar berat dongeng-dongeng yang tidak masuk akal dan segala sesuatu

yang berbau paranormal. Tanyalah padanya hikayat lama dan mitologi setempat, ia hafal

luar kepala, mulai dari dongeng naga-naga raksasa Laut Cina Selatan sampai cerita raja

berekor yang diyakininya pernah menjajah Belitong.

Ia sangat percaya bahwa alienitu benar-benar ada dan suatu ketika nanti akan turun

ke Belitong menyamar sebagai mantri suntik di klinik PN Timah, penjaga sekolah,

muazin di Masjid Al-Hikmah, atau wasit sepak bola. Dalam keadaan tertentu ia sangat

konyol misalnya ia menganggap dirinya ketua persatuan paranormal internasional yang

akan memimpin perjuangan umat manusia mengusir serbuan alien dengan kibasan daun-daun

Aku ingat kejadian ini, suatu ketika untuk nilai rapor akhir kelas enam, Bu Mus

yang berpendirian progresif dan terbuka terhadap ide-ide baru, membebaskan kami berekspresi.

Kami diminta menyetor sebuah master piece, karya yang berhak mendapat

tempat terhormat, dipajang di ruang kepala sekolah. Maka esoknya kami membawa celengan bebek

dari tanah liat dan asbak dari cetakan lilin. Sebagian lainnya membawa

replika rumah panggung Melayu dari bahan perdu apit-apit dan simpai dari jalinan rotan

untuk mengikat sapu lidi.Trapanimenyetorkan peta Pulau Belitong yang dibuat dari

serbuk kayu. Syahdan membuat karya yang persis sama tapi bahannya bubur koran, jelek

sekali dan busuk baunya.

Harun menyetorkan tiga buah botol bekas kecap, itu saja, botol kecap! Tak lebih

tak kurang. Aku sendiri hanya mampu membuat tirai dari biji-biji buah berang yang

dikombinasikan dengan tali rapiah yang digulung kecil-kecil. Setiap tiga buah biji berang

berarti satu ketupat kecil tali rapiah berwarna-warni. Sebuah karya norak yang sangat

Tapi masih mending. A Kiong membuat lampion tanpa perhitungan akal sehat.

Ketika dinyalakan lampion itu terbakar berkobar-kobar sehingga dengan terpaksa, demi

keamanan, Samson melemparkan benda itu keluar jendela. Padahal A Kiong tak tidur

barang sepicing pun membuatnya. Karena karya kami sangat tidak memuaskan, kami

semua mendapat nilai tak lebih dari angka 6,5. Sungguh tak sebanding dengan jerih

payah yang dikeluarkan.

Amat berbeda dengan Mahar. Ia datang membawa sebuah bingkai besar yang

ditutupi selembar kain hitam. Kami sangka ia membuat sebuah lukisan. Tapi setelah kain

itu pelan-pelan dilucuti, sangat mengejutkan! Di baliknya muncul semacam cetakan

tenggelam di atas batu apung. Cetakan kerangka seekor makhluk purbakala yang sangat

janggal dan mengesankan sangat buas.

Makhluk ini bukan acanthopholis, sauropodomorphas, kera anthropoid, dinosaurus

atau saurus-saurus semacamnya, dan bukan pula makhluk-makhluk prasejarah seperti

yang telah kita kenal. Sebaliknya, Mahar membuat sebuah cetakan fosil kelelawar

raksasa semacam Palaeochiropterxy tupaiodontapi dengan bentuk yang dimodifikasi

sehingga tampak ganjil dan mengerikan. Anatomi makhluk itu tentu tak pernah

teridentifikasi oleh para ahli karena ia hanya ada di kepala Mahar, di dalam imajinasi

Fosil di atas batu apung tipis itu dibuat begitu orisinal sehingga mengesankan

seperti temuan paleontologi yang autentik. Ia menggunakan semacam lapisan karbon

untuk memperkuat kesan purba pada setiap detail fosil itu. Lalu karyanya dibingkai

dengan potongan-potongan balak lapuk yang sudut-sudutnya diikat tali pohon jawi agar

kesan purbanya benar-benar terasa.

\"Inilah seni, Bung!\" khotbahnya di hadapan kami yang terkesima. Gayanya seperti

pesulap sehabis membuka genggaman tangan untuk memperlihatkan burung merpati.

Dan ia mendapat angka sembilan, tak ada lawannya. Angka itu adalah nilai

kesenian tertinggi yang pernah dianugerahkan Bu Mus sepanjang karier mengajarnya.

Bahkan Lintang sekalipun tak berkutik.

Imajinasi Mahar meloncat-loncat liar amat mengesankan. Sesungguhnya, seperti

Lintang, ia juga sangat cerdas, dan aku belum pernah menjumpai seseorang dengan

kecerdasan dalam genre seperti ini. Ia tak pernah kehabisan ide. Kreativitasnya tak

terduga, unik, tak biasa, memberontak, segar, dan menerobos. Misalnya, ia melatih kera

peliharaannya sedemikian rupa sehingga mampu berperilaku layaknya seorang instruktur.

Maka dalam sebuah penampilan, keranya itu memerintahkannya untuk melakukan

sesuatu yang dalam pertunjukan biasa hal itu seharusnya dilakukan sang kera. Sang kera

dengangayaseorang instruktur menyuruh Mahar bernyanyi, menari-nari, dan berakrobat.

Mahar telah menjungkirbalikkan paradigma seni sirkus, yang menurutku merupakan

sebuah terobosan yang sangat genius.

Pada kesempatan lain Mahar bergabung dengan grup rebana Masjid Al-Hikmah

dan mengolaborasikan permainan sitar di dalamnya. Jika grup ini mendapat tawaran

mengisi acara di sebuah hajatan perkawinan, para undangan lebih senang menonton

mereka daripada menyalami kedua mempelai.

Mahar pula yang membentuk sekaligus menyutradarai grup teater kecil SD

Muhammadiyah. Penampilan favorit kami adalah cerita perang Uhud dalam episode Siti

Hindun. Dikisahkan bahwa wanita pemarah ini mengupah seorang budak untuk

membunuh Hamzah sebagai balas dendam atas kematian suaminya. Setelah Hamzah mati

wanita itu membelah dadanya dan memakan hati panglima besar itu. A Kiong

memerankan Hamzah, danSaharasangat menikmati perannya sebagai Siti Hindun. Juga

karena inisiatif Mahar, akhirnya kami membentuk sebuah grup band. Alat-alat musik

kami adalah electoneyang dimainkanSahara, standing bassyang dibetot tanpa ampun

oleh Samson, sebuah drum, tiga buah tabla, serta dua buah rebana yang dipinjam dari

badan amil Masjid Al-Hikmah.

Pemain rebana adalah aku dan A Kiong. Mahar menambahkan kendang dan

seruling yang dimainkan secara sekaligus olehTrapanimelalui bantuan sebuah kawat

agar seruling tersebut dapat dijangkau mulutnya tanpa meninggalkan kendang itu. Maka

pada aransemen tertentuTrapanileluasa menggunakan tangan kanannya untuk menabuh

kendang sementara jemari tangan kirinya menutup-nutup enam lubang seruling. Sebuah

pemandangan spektakuler seperti sirkus musik. Setiap wanita muda dipastikan bertekuk

lutut, terbius seperti orang mabuk sehabis kebanyakan makan jengkol jika melihat

Trapaniyang tampan berimprovisasi.Trapaniadalah salah satu daya tarik terbesar band

kami. Hanya ada sedikit masalah, yaitu ia mogok tampil jika ibunya tidak ikut menonton.

Insiden sempat terjadi pada awal pembentukan bandini karena Harun bersikeras

menjadi drumer padahal ia sama sekali buta nada dan tak paham konsep tempo.

. \"Dengarkan musiknya, Bang, ikuti iramanya,\" kata Mahar sabar.

\"Drum itu tak bisa kauperlakukan semena-mena.\"

Setelah dimarahi seperti itu biasanya Harun tersenyum kecil dan memperhalus

tabuhannya. Tapi itu tak berlangsung lama. Beberapa saat kemudian, meskipun kami

sedang membawakan irama bertempo pelan nan syahdu, misalnya lagu Semenanjung Tak

Seindah Wajahyang syairnya bercerita tentang seorang pria Melayu duafa meratapratap

karena ditipu kekasihnya, Harun kembali menghantam drum itu sekuat tenaganya seperti

memainkan lagu rockDeep Purple yang berjudul Burn. Dan ia sendiri tak pernah tahu

kapan harus berhenti. la hanya tertawa riang dan menghantam drum itu sejadi-jadinya.

Mahar tetap sabar menghadapi Harun dan berusaha menuntunnya pelan-pelan,

namun akhirnya kesabaran Mahar habis ketika kami membawakan lagu Light My Fire

milik The Doors. Di sepanjang lagu yang inspiratif itu Harun menghajar hithat, tenor

drum, simbal, serta menginjak-injak pedal bass drumsejadi-jadinya. Dengan stik drum ia

menghajar apa saja dalam jangkauannya, persis drumer Tarantula melakukan end fill

untuk menutup lagu rockdangdut Wakuncar.

\"Dengar kata adikmu ini, Abangda Harun, kalau Abang bermain drum seperti itu

bisa-bisa Jim Morrison melompat dari liang kuburnya!\"

Diperlukan waktu berhari-hari dan permen asam jawa hampir setengah kilo untuk

membujuk Harun agar mau melepaskan jabatan sebagai drumer dan menerima promosi

jabatan baru sebagai tukang pikul drum itu ke mana pun kami tampil.

Mahar adalah penata musik setiap lagu yang kami bawakan dan racun pada setiap

aransemennya menyengat ketika ia memainkan melodi dengan sitarnya. Ia

berimprovisasi, berdiri di tengah pertunjukan, dan dengan wajah demikian syahdu ia

mengekspresikan setiap denting senar sitar yang bercerita tentang daun-daun pohon

bintang yang melayang jatuh di permukaan Sungai Lenggang yang tenang lalu hanyut

sampai jauh ke muara, tentang angin selatan yang meniup punggung Gunung Selumar,

berbelok dalam kesenyapan Hutan Jangkang, lalu menyelinap diam-diam ke

perkampungan. Ah, indahnya, pria muda ini memiliki konsep yang jelas bagaimana

seharusnya sebuah sitar berbunyi.

Mahar adalah arrangerberbakat dengan musikalitas yang nakal. Ia piawai memilih

lagu dan mengadaptasikan karakter lagu tersebut ke dalam instrumen-instrumen kami

yang sederhana. Misalnya pada lagu Owner of a Lonely Heartkarya group rock Yess.

Mahar mengawali komposisinya dengan intro permainan solo tablayang menghentak

bertalu-talu dalam tempo tinggi. Ia mengajari Syahdan menyelipkan-nyelipkan wana

tabuhan Afrika danpadangpasir pada fondasi tabuhangayasuku Sawang. Sangat eksotis.

Gebrakan solo Syahdan seumpama garam bagi mereka yang darah tinggi:

berbahaya, beracun, dan memicu adrenalin. Syahdan mengudara sendirian dengan

letupan-letupan yang menggairahkan sampai beberapa bar. Lalu Syahdan menurunkan

sedikit tempo bahana tabla-nya dan pada momen itu, kami—para pemain rebana dan dua

pemain tablalainnya-pelan-pelan masuk secara elegan mendampingi suara tabla

Syahdan yang surut, namun tak lama kemudian kembali bereskalasi menjadi tempo yang

semakin cepat, semakin garang, semakin ganas memuncak. Kami menghantam tabuh-tabuhan ini

sekuat tenaga dengan tempo secepat-cepatnya beserta semangat Spartan,

para penonton menahan napas karena berada dalam tekanan puncak ekstase, lalu tepat

pada puncak kehebohan, suara alat-alat perkusi ini secara mendadak kami hentikan, tiga

detik yang diam, lengang, sunyi, dan senyap. Ketika penonton mulai melepaskan

kembali napas panjangnya dengan penuh kenyamanan perlahan-lahan hadirlah

dentingan sitar Mahar menyambut perasaan damai itu. Mahar melantunkan dawai sitar

sendirian dalam nada-nada minor nan syahdu bergelombang seperti buluh perindu.

Pilihan nada ini demikian indah hingga terdengar laksana aliran sungai-sungai di bawah

taman surga. Dada terasa lapang seperti memandang laut lepas landai tak bertepi di

sebuah sore yang jingga.

Pada bagian ini biasanya penonton menghambur ke bibir panggung. Lalu Mahar

meningkahi sitar dengan intonasi naik turun dalam jangkauan hampir empat oktaf.

DengangayaIndiaklasik, Mahar berimprovisasi. Ia memainkan sitar dengan sepenuh

jiwa seolah esok ia telah punya janji pasti dengan malaikat maut. Matanya terpejam

mengikuti alur skala minor yang menyentuh langsung bagian terindah dari alam bawah

sadar manusia yang mampu menikmati sari pati manisnya musik. Jemarinya yang kurus

panjang mengaduk-aduk senar sitar dengan teknik yang memukau. Ia menyerahkan

segenap jiwa raganya, terbang dalam daya bius melodi musik.

Suara sitar itu menyayat-nyayat, berderai-derai seperti hati yang sepi, meraungraung

seperti jiwa yang tersesat karena khianat cinta, merintih seperti arwah yang tak

diterima bumi. Rendah, tinggi, pelan, kencang, berbisik laksana awan, marah laksana

topan, memekakkan laksana ledakan gunung berapi, lalu diam tenang laksana danau di

tengah rimba raya. Semakin lama semakin keras dan semakin cepat, kembali

memuncak, semakin lama semakin tinggi dan pada titik nadirnyaTrapaniserta-merta

menyambut dengan sorak melengking melalui tiupan seruling, panjang, satu not,

menjerit-jerit nyaring pada tingkat nada tertinggi yang dapat dicapai seruling bambu

Mereka berdua bertanding, berlomba-lomba meninggikan nada dan mengeraskan

suara instrumen masing-masing. Mereka seperti seteru lama yang menanggungkan

dendam membara, seruling clan sitar saling menggertak, menghardik, dan membentak

galak ... namun dengan harmoni yang terpelihara rapi. Tiba-tiba, amat mengejutkan,

sama sekali tak terduga, secara mendadak mereka break!Tiga detik diam. Setelah itu

serta-merta datang menyerbu, menyalak galak, menghambur masuk bertalu-talu seluruh

suara alat musik: drum, standing bass, seluruh tabla, sitar, seruling, seluruh rebana,

dan electonesekeras-kerasnya. Tepat pada puncak bahana seluruh alat musik secara

mendadak kami breaklagi, satu detik diam, napas penonton tertahan, lalu pada detik

kedua Mahar meloncat seperti tupai, merebut mikrofon dan langsung menjerit-jerit

menyanyikan lagu Owner of a Lonely Heartdalam nada tinggi yang terkendali.Para

penonton histeris dalam sensasi, kemudian tubuh mereka terpatah-patah mengikuti

hentakan-hentakan staccatoyang dinamis sepanjang lagu itu.

Inilah musik, kawan. Musik yang dibawakan dengan sepenuh kalbu. Mahar

menekankan konsep akustik dalam komposisi ini, misalnya dengan mengambilgaya

piano grandpada electonedengan tambahan sedikit efek sustain. Keseluruhan komposisi

dan konsep ini ternyata menghasilkan interpretasi yang unik terhadap lagu Owner of a

Lonely Heart. Kami yakin sedikit banyak kami telah berhasil menangkap semangat lagu

itu, termasuk esensi pesannya, yaitu hati yang sepi lebih baik dari hati yang patah, seperti

dimaksudkan orang-orang hebat dalam grup Yess.

Maka tak ayal lagu rockmodern tersebut adalah master piecepenampilan kami

selain sebuah lagu Melayu berjudul Patah Kemudikarya Ibu Hajah Dahlia Kasim.

Mahar juga adalah seorang seniman idealis. Pernah sebuah parpol ingin

memanfaatkan grup kami yang mulai kondang untuk menarikmassamelalui iming-iming

uang dan berbagai mainan anak-anak, Mahar menolak mentah-mentah.

\"Orang-orang itu sudah terkenal dengan tabiatnya menghamburkan janji yang

tak'kan ditepatinya,\" demikian Mahar berorasi di tengah-tengah kami yang duduk melingkar di

bawah filicium. Jarinya menunjuk-nunjuk langit seperti seorang koordinator

\"Kita tidak akan pernah menjadi bagian dari segerombolan penipu! Sekolah kita

adalah sekolah Islam bermartabat, kita tidak akan menjual kehormatan kita demi sebuah

jam tangan plastik murahan!\"

Mahar demikian berapi-api dan kami bersorak-sorai mendukung pendiriannya. Dan

mungkin karena kecewa kepada para pemimpin bangsa maka Mahar memberi sebuah

nama yang sangat memberi inspirasi untuk band kami, yaitu: Republik Dangdut.

Mahar adalah Jules Verne kami. la penuh ide gila yang tak terpikirkan orang lain,

walaupun tak jarang idenya itu absurd dan lucu. Salah satu contohnya adalah ketika ketua

RT punya masalah dengan televisinya. TV hitam putih satu-satunya hanya ada di rumah

beliau dan tidak bisa dikeluarkan dari kamarnya yang sempit karena kabel antenanya

sangat pendek dan ia kesulitan mendapatkan kabel untuk memperpanjangnya. Kabel itu

tersambung pada antena di puncak pohon randu. Keadaan mendesak sebab malam itu ada

pertandingan final badminton All England antara Svend Pri melawan Iie Sumirat. Begitu

banyak penonton akan hadir, tapi ruangan TV sangat sempit. Sejak sore Pak Ketua RT

tak enak hati karena banyak handai taulan yang akan bertamu tapi tak 'kansemua

mendapat kesempatan menonton pertandingan seru itu.

Ketika beliau berkeluh kesah pada kepala sekolah kami, maka Mahar yang sudah

kondang akal dan taktiknya segera dipanggil dan ia muncul dengan ide ajaib ini:

\"Gambar TV itu bisa dipantul-pantulkan melalui kaca, Ayahanda Guru,\" kata

Mahar berbinar-binar dengan ekspresi lugunya.

Pak Harfan melonjak girang seperti akan meneriakkan \"eureka!\" Maka digotonglah

dua buah lemari pakaian berkaca besar ke rumah ketua. Lemari pertama diletakkan di

ruang tamu dengan posisi frontal terhadap layar TV dan ruangan itu paling tidak

menampung 17 orang. Sedangkan lemari kedua ditempatkan di beranda. Lemari kaca

kedua diposisikan sedemikian rupa sehingga :dapat menangkap gambar TV dari lemari

kaca pertama.Adasekitar 20 orang menonton TV melalui lemari kaca di beranda.

Tak ada satu pun penonton yang tak kebagian melihat aksi Iie Sumirat. Penonton

merasa puas dan benar-benar menonton dari layar kaca dalam arti sesungguhnya.

Meskipun Svend Pri yang kidal di layar TV menjadi normal di kaca yang pertama dan

kembali menjadi kidal pada layar lemari kaca kedua. Menurutku inilah ide paling

revolusioner, paling lucu, dan paling hebat yang pernah terjadi pada dunia penyiaran.

Aku rasa yang dapat menandingi ide kreatif ini hanya penemuan remote control

beberapa waktu kemudian.

Kepada majelis penonton TV yang terhormat Pak Harfan berulang kali

menyampaikan bahwa semua itu adalah ide Mahar, dan bahwa Mahar itu adalah

muridnya. Murid yang dibanggakannya habis-habisan.

Sayangnya, seperti banyak dialami seniman hebat lainnya, mereka jarang sekali

mendapat perhatian dan penghargaan yang memadai.Gayahidup dan pemikiran mereka

yang mengawang-awang sering kali disalahartikan. Misalnya Mahar, kami sering

menganggapnya manusia aneh, pembual, dan tukang khayal yang tidak dapat

membedakan antara realitas dan lamunan.

Keadaan ini diperparah lagi dengan ketidakmampuan kami mengapresiasi karyakarya

seninya. Sehingga beberapa karya hebatnya malah mendapat cemoohan. Kenyataannya

adalah kami tidak mampu menjangkau daya imajinasi dan pesan-pesan abstrak

yang ia sampaikan melalui karya-karya tersebut. Kami selalu membesar-besarkan kekurangannya,

ketika sebuah pertunjukan gagal total, tapi jika berhasil kami jarang ingin memujinya. Mungkin

karena masih kecil, maka kami sering tidak adil padanya.

LASKAR PELANGI DAN ORANG-ORANG SAWANG

PAPILIO blumei, kupu-kupu tropis yang menawan berwarna hitam bergaris biru-hijau itu

mengunjungi pucuk filicium. Kehadiran mereka semakin cantik karena kehadiran kupu-kupu

kuning berbintik metalik yang disebut pure clouded yellow. Mereka dan lidah atap

sirap cokelat yang rapuh menyajikan komposisi warna kontras di atas sekolah

Muhammadiyah. Dua jenis bidadari taman itu melayanglayang tanpa bobot bersukacita.

Tak lama kemudian, seperti tumpah dari langit, ikut bergabung kupu-kupu lain, danube

Hanya para ahli yang dapat membedakan pure clouded yellowdengan danube

clouded yellow, berturut-turut nama latin mereka adalah Colias croceadan Colias

myrmidone. Di mata awam kecantikan mereka sama: absolut, dan hanya dapat

dibayangkan melalui keindahan namanya. Keduanya adalah si kuning berawan yang

memesona laksana DanauDanubeyang melintasi Eropa: sejuk, elegan, dan misterius.

Berbeda dengan tabiat unggas yang cenderung agresif dan eksibisionis, makhlukmakhluk

bisu berumur pendek ini bahkan tak tahu kalau dirinya cantik. Meskipun

jumlahnya ratusan, tapi kepak sayapnya senyap dan mulut mungil indahnya diam dalam

kerupawanan yang melebihi taman lotus. Melihat mereka rasanya aku ingin menulis

Saat ratusan pasang danube clouded yellowberpatroli melingkari lingkaran daundaun

filicium, maka mereka menjelma menjadi pasir kuning di Dermaga Olivir. Sayapsayap

yang menyala itu adalah fatamorgana pantulan cahaya matahari, berkilauan di

atas.butiran-butiran ilmenit yang terangkat abrasi. Sebuah daya tarik Belitong yang lain,

pesona pantai dan kekayaan material tambang yang menggoda.

Kupu-kupu clouded yellowdan Papilio blumeisaling bercengkrama dengan

harmonis seperti sebuah reuni besar bidadari penghuni berbagai surga dari agama yang

berbeda-beda. Jika diperhatikan dengan saksama, setiap gerakan mereka, sekecil apa pun,

seolah digerakkan oleh semacam mesin,keserasian. Mereka adalah orkestra warna

dengan insting sebagai konduktornya. Dan agaknya dulu memang telah diatur jauh-jauh

hari sebelum mereka bermetamorfosis, telah tercatat di Lauhul Mahfuzh saat mereka

masih meringkuk berbedak-bedak tebal dalam gulungan-gulungan daun pisang, bahwa

sore ini mereka akan menari-nari di pucuk-pucuk filicium, bersenda gurau, untuk

memberiku pelajaran tentang keagungan Tuhan.

Kupu-kupu ini sering melakukan reuni setelah hujan lebat. Sayangnya sore ini,

pemandangan seperti butiranbutiran cat berwarna-warni yang dihamburkan dari langit itu

serentak bubar dan harmoni ekosistem hancur berantakan karena serbuan sepuluh sosok

Homo sapiens. Makhluk brutal ini memanjati dahan-dahan filicium, bersoraksorai, dan

bergelantungan mengklaim dahannya masingmasing. Kawanan itu dipimpin oleh setan

kecil bernama Kucai. Berada pada posisi puncak rantai makanan seolah melegitimasi

kecenderungan Homo sapiensuntuk merusak tatanan alam.

Kucai mengangkangi dahan tertinggi, sedangkanSahara, satu-satunya betina dalam

kawanan itu, bersilang kaki di atas dahan terendah. Pengaturan semacam itu tentu bukan

karena budaya patriarki begitu kental dalam komunitas Melayu, tapi semata-mata karena

pakaianSaharatidak memungkinkan ia berada di atas kami. Ia adalah muslimah yang

menjaga aurat rapat-rapat.

Kepentingan kami tak kalah mendesak dibanding keperluan kaum unggas, fungi,

dan makhluk lainnya terhadap filiciumkarena dari dahan-dahannya kami dapat dengan

leluasa memandang pelangi.

Kami sangat menyukai pelangi. Bagi kami pelangi adalah lukisan alam, sketsa

Tuhan yang mengandung daya tarik mencengangkan. Tak tahu siapa di antara kami

yang pertama kali memulai hobi ini, tapi jika musim hujan tiba kami tak sabar

menunggu kehadiran lukisan langit menakjubkan itu. Karena kegemaran kolektif

terhadap pelangi maka Bu Mus menamai kelompok kami Laskar Pelangi.

Sore ini, setelah hujan lebat sepanjang hari, terbentang pelangi sempurna,

setengah lingkaran penuh, terang benderang dengan enam lapis warna. Ujung kanannya

berangkat dari Muara Genting seperti pantulan permadani cermin sedangkan ujung

kirinya tertanam di kerimbunan hutan pinus di lereng Gunung Selumar. Pelangi yang

menghunjam di daratan ini melengkung laksana jutaan bidadari berkebaya warna-warni

terjun menukik ke sebuah danau terpencil, bersembunyi malu karena kecantikannya.

Kini filiciummenjadi gaduh karena kami bertengkar bertentangan pendapat

tentang panorama ajaib yang terbentang melingkupi Belitong Timur. Berbagai versi

cerita mengenai pelangi menjadi debat kusir. Dongeng yang paling seru tentu saja

dikisahkan oleh Mahar. Ketika kami mendesaknya ia sempat ragu-ragu. Pandangan

matanya mengisyaratkan bahwa: kalian tidak akan bisa menjaga informasi yang sangat

Dia diam demi membuat pertimbangan serius, namun akhirnya ia menyerah,

bukan kepada kami yang memohon tapi kepada hasratnya sendiri yang tak terkekang

\"Tahukah kalian ...,\" katanya sambil memandang jauh.

\"Pelangi sebenarnya adalah sebuah lorong waktu!\" Kami terdiam, suasana jadi

bisu, terlena khayalan Mahar. -

\"Jika kita berhasil melintasi pelangi maka kita akan bertemu dengan orang-orang

Belitong tempo dulu dan nenek moyang orang-orang Sawang.\"

Wajahnya tampak menyesal seperti baru saja membongkar sebuah rahasia

keluarga yang terdalam dan telah disimpan tujuh turunan. Lalu dengan nada terpaksa ia

melanjutkan, \"Tapi jangan sampai kalian bertemu dengan orang Belitong primitif dan

leluhur Sawang itu, karena mereka itu adalah kaum kanibal ...!!\"

Sekarang wajahnya pasrah. A Kiong menutup mulutnya dengan tangan dan

hampir saja tertungging dari dahan karena melepaskan pegangan. Sejak kelas satu SD,

A Kiong adalah pengikut setia Mahar. Ia percaya-dengan sepenuh jiwa-apa pun yang

dikatakan Mahar. Ia memposisikan Mahar sebagai seorang suhu dan penasihat

spriritual. Mereka berdua telah menasbihkan diri sendiri dalam sebuah sekte ketololan

Demi mendengar kisah Mahar, Syahdan yang bertengger persis di belakang

pendongeng itu dengan gerakan sangat takzim, tanpa diketahui Mahar, menyilangkan

jari di atas keningnya dan mengesek-gesekkannya beberapa kali. Mahar tidak mengerti

apa yang sedang terjadi di belakangnya. Sakit perut kami menahan tawa melihat

kelakuan Syahdan. Baginya Mahar sudah tak waras.

Lintang menepuk-nepuk punggung Mahar, menghargai ceritanya yang

menakjubkan, tapi ia tersenyum simpul dan pura-pura batuk untuk menyamarkan

tawanya. Kami terus memandangi keindahan pelangi tapi kali ini kami tak lagi berdebat.

Kami diam sampai matahari membenamkan diri. Azan magrib menggema dipantulkan

tiang-tiang tinggi rumah panggung orang Melayu, sahut-menyahut dari masjid ke masjid.

Sang lorong waktu perlahan hilang ditelan malam. Kami diajari tak bicara jika azan

\"Diam dan simaklah panggilan menuju kemenangan itu ...,\" pesan orangtua kami.

KAMI orang-orang Melayu adalah pribadi-pribadi sederhana yang memperoleh

kebijakan hidup dari para guru mengaji dan orang-orang tua di surau-surau sehabis salat

magrib. Kebijakan itu disarikan dari hikayat para nabi, kisah Hang Tuah, dan rima-rima

gurindam. Ras kami adalah ras yang tua. Malayatau Melayu telah dikenal Albert Buffon

sejak lampau ketika ia mengidentifikasi ras-ras besar Kaukasia, Negroid, dan Mongoloid.

Meskipun banyak antropolog berpendapat bahwa ras Melayu Belitong tidak sama dengan

ras Malay versi Buffon-dengan kata lain kami sebenarnya bukan orang Melayu—tapi

kami tak membesarbesarkan pendapat itu. Pertama karena orang-orang Belitong tak

paham akan hal itu dan kedua karena kami tak memiliki semangat primordialisme. Bagi

kami, orang-orang sepanjang pesisir selat Malaka sampai keMalaysiaadalah Melayuatas

dasar ketergila-gilaan mereka pada irama semenanjung, dentaman rebana, dan

pantun yang sambut: menyambut-bukan atas dasar bahasa, warna kulit, kepercayaan, atau

struktur bangun tulang-belulang. Kami adalah ras egalitarian.

Aku melamun merenungkan cerita Mahar. Aku tak tertarik dengan lorong waktu,

tapi terpancang pada ceritanya tentang orang-orang Belitong tempo dulu. Minggu lalu

ketika sedang memperbaiki sound systemdi masjid, demi melihat kabel centang perenang

yang dianggapnya benda ajaib zaman baru, muazin kami yang telah berusia 70 tahun

menceritakan sesuatu yang membuatku terkesiap.

Cerita itu adalah tentang kakek beliau yang sempat bercerita kepadanya bahwa

orangtua kakeknya itu, berarti mbah buyut atau datuk muazin kami, hidup berkelompok

mengembara di sepanjang pesisir Belitong. Mereka berpakaian kulit kayu dan mencari

makan dengan cara menombak binatang atau menjeratnya dengan akar-akar pohon.

Mereka tidur di dahan-dahan pohon santigi untuk menghindari terkaman binatang buas.

Kala bulan purnama mereka menyalakan api dan memuja bulan serta bintang gemintang.

Aku merinding memikirkan betapa masih dekatnya komunitas kami dengan kebudayaan

\"Kita telah lama bersekutu dengan orang-orang Sawang. Mereka adalah pelaut

ulung yang hidup di perahu. Suku itu berkelana dari pulau ke pulau. Di Teluk Balok

leluhur kita menukar pelanduk, rotan, buah pinang, dan damar dengan garam buatan

wanita-wanita Sawang ...,\" cerita muazin itu.

Seperti ikan yang hidup dalam akuarium, senantiasa lupa akan air, begitulah

kami. Sekian lama hidup berdampingan dengan orang Sawang kami tak menyadari

bahwa mereka sesungguhnya sebuah fenomena antropologi. Dibanding orang

Melayu penampilan mereka amat berbeda. Mereka seperti orang-orang Aborigin.

Kulit gelap, rahang tegas, mata dalam, pandangan tajam, bidang kening yang

sempit, struktur tengkorak seperti suku Teuton, dan berambut kasat lurus seperti

PN Timah mempekerjakan suku maskulin ini sebagai buruh yuka, yaitu

penjahit karung timah, pekerjaan strata terendah di gudang beras. Dan mereka

bahagia dengan sistem pembayaran setiap hari Senin. Sulit dikatakan uang itu akan

bertahan sampai Rabu. Tak ada kepelitan mengalir dalam pembuluh darah arang

Sawang. Mereka membelanjakan uang seperti tak ada lagi hari esok dan berutang

seperti akan hidup selamanya.

Karena kekacauan persoalan manajemen keuangan ini, orang Sawang tak

jarang menjadi korban stereotip di kalangan mayoritas Melayu. Setiap perilaku

minus tak ayal langsung diasosiasikan dengan mereka. Diskredit ini adalah refleksi

sikap diskriminatif sebagian orang Melayu yang takut direbut pekerjaannya karena

malas bekerja kasar. Sejarah menunjukkan bahwa orang-orang Sawang memiliki

integritas, mereka hidup eksklusif dalam komunitasnya sendiri, tak usil dengan

urusan orang lain, memiliki etos kerja tinggi, jujur, dan tak pernah berurusan dengan

hukum. Lebih dari itu, mereka tak pernah lari dari utang-utangnya.

Orang Sawang senang sekali memarginalkan diri sendiri. Itulah sifat alamiah

mereka. Bagi mereka hidup ini hanya terdiri atas mandor yang mau membayar

mereka setiap minggu dan pekerjaan kasar yang tak sanggup dikerjakan suku lain.

Mereka tak memahami konsep aristokrasi karena kultur mereka tak mengenal power

distance. Orang yang tak memaklumi hal ini akan menganggap mereka tak tahu tata

krama. Satu-satunya manusia terhormat di antara mereka adalah sang kepala suku,

seorang shamansekaligus dukun, dan jabatan itu sama sekali bukan hereditas.

PN memukimkan orang Sawang di Sebuah rumah panjang yang bersekatsekat.

Di situ hidup 30 kepala keluarga.Tak ada catatan pasti dari mana mereka

berasal. Mungkinkah mereka belum terpetakan oleh para antropolog? Tahukah para

pembuat kebijakan bahwa tingkat kelahiran mereka amat rendah sedangkan

mortalitasnya begitu tinggi sehingga di rumah panjang hanya tertinggal beberapa

keluarga yang berdarah murni Sawang? Akankah bahasa mereka yang indah hilang

TAMBANG hitam terbentang cekung di atas permukaan air berwarna cokelat yang

bergelora. Ujung tambang yang diikat dengan sepotong kayu bercabang tersangkut ke

sebuah dahan karet tua yang rapuh di tengah aliran sungai. Tadi Samson yang telah

melemparkannya dengan gugup. Hampir tujuh belas meter jarak antara tepian sungai

dan dahan karet tempat kayu satu meter itu tersangkut. Berarti lebar sungai ini paling

tidak tiga puluh meter dan dalamnya hanya Tuhan yang tahu. Alirannya meluncur deras

tergesa-gesa, tipikal sungai di Belitong yang berawal dan berakhir di laut. Bagian

membujur permukaan sungai tampak berkilat-kilat disinari cahaya matahari.

Sekarang ujung tambang satunya dipegangi A Kiong yang pucat pasi pada posisi

melintang. Ia memanjat pohon kepang rindang yang berseberangan dengan pohon karet

tadi dan menambatkan tali pada salah satu cabangnya. Badanku gemetar ketika aku

melintas menuju pohon karet dengan cara menggeser-geserkan genggaman tanganku

yang mencekik tambang erat-erat. Aku bergelantungan seperti tentara latihan perang.

Kadang-kadang kakiku terlepas dari tambang dan menyentuh permukaan air yang

meliuk-liuk, membuat darahku dingin berdesir. Kulihat samar bayanganku di atas air

yang keruh. Kalau aku terjatuh maka aku akan ditemukan tersangkut di akar-akar pohon

bakau dekat jembatan Lenggang,limapuluh kilometer dari sini.

SEMUA susah payah melawan larangan orangtua itu hanyalah untuk memetik

buah-buah karet dan demi sedikit taruhan harga diri dalam arena tarak. Atau barangkali

perbuatan bodoh itu justru digerakkan oleh keinginan untuk membongkar rahasia buah

karet yang misterius. Kekuatan kulit buah karet tak bisa diramalkan dari bentuk dan

warnanya. Pada rahasia itulah tersimpan daya tarik permainan mengadu kekuatan

kulitnya. Permainan kuno nan legendaris itu disebut tarak. Cuma ada satu hal yang agak

berlaku umum, yaitu pohon-pohon karet yang buahnya sekeras batu selalu berada di

tempat-tempat yang jauh di dalam hutan dan memerlukan nyali lebih, atau sikap nekat

yang tolol, untuk mengambilnya.

Di dalam tarak, dua buah karet ditumpuk kemudian dipukul dengan telapak

tangan. Buah yang tak pecah adalah pemenangnya. Inilah permainan pembukaan musim

hujan di kampung kami, semacam pemanasan untuk menghadapi permainan-permainan

lainnya yang jauh lebih seru pada saat air bah tumpah dari langit.

SEIRING dengan semakin gencarnya hujan mengguyur kampung-kampung orang

Melayu Belitong, aura tarakperlahan-lahan redup. Jika taraksudah tak dimainkan maka

` itulah akhir bulan September, begitulah tanda alam yang dibaca secara primitif. Wilayahwilayah

tropis di muka bumi akan mengalami mendung seharian dan hujan

berkepajangan. Sementara di Baratsana, orang-orang menjalani hari-hari yang kelabu

menjelang musim salju. Pada sepanjang bulan berakhiran \"-ber\", seisi dunia tampak lebih

murung, maka tidak mengherankan di beberapa bagian barat angka statistik bunuh diri

Aku melongok keluar jendela, RRI mengumandangkan sebuah lagu lama sebelum

siaran berita, Rayuan Pulau Kelapa. Alunan nada Hawaian yang tak lekang dimakan

waktu mendayu-dayu membuat mata mengantuk. Sebuah siang yang syahdu, sesyahdu

Howling Wolfsaat menyanyikan lagu blues How Long Baby, How Long.

Tapi suasana agak berbeda bagi kami. Acara sedih di bulan-bulan penghujung

tahun ini adalah urusan orang dewasa. Bagi kami hujan yang pertama adalah berkah dari

langit yang disambut dengan sukacita tak terkira-kira. Dan tak pernah kulihat di wilayah

lain, hujan turun sedemikian lebat seperti di Belitong.

Tujuh puluh persen daratan di Belitong adalah rain forestalias hutan hujan. Pulau

kecil itu berada pada titik pertemuan Laut Cina Selatan di sisi barat dan Laut Jawa di sisi

timur. Adapun di sisi utara dan selatan ia diapit oleh Selat Karimata dan Selat Gaspar.

Letaknya yang terlindung daratan luas Pulau Jawa danKalimantanmelindungi pantainya

dari gelombang ekstrem musim barat, namun uapan jutaan kubik air selama musim

kemarau dari samudra berkeliling itu akan tumpah seharian selama berbulan-bulan pada

musim hujan. Maka hujan di Belitong tak pernah sebentar dan tak pernah kecil.

Hujan di Belitong selalu lama dan sejadi-jadinya seperti air bah tumpah ruah dari

langit, dan semakin lebat hujan itu, semakin gempar guruh menggelegar, semakin

kencang angin mengaduk-aduk kampung, semakin dahsyat petir sambar-menyambar,

semakin giranglah hati kami. Kami biarkan hujan yang deras mengguyur tubuh kami

yang kumal. Ancaman dibabat rotan oleh orangtua kami anggap sepi. Ancaman tersebut

tak sebanding dengan daya tarik luar biasa air hujan, binatang-binatang aneh yang

muncul dari dasar parit, mobil-mobil proyek timah yang terbenam, dan bau air hujan

yang menyejukkan rongga dada.

Kami akan berhenti sendiri setelah bibir membiru dan jemari tak terasa karena

kedinginan. Seluruh dunia tak bisa mencegah kami. Kami adalah para duta besar yang

berkuasa penuh saat musim hujan. Para orangtua hanya menggerutu, frustrasi merasa

dirinya tak dianggap. Kami berlarian, bermain sepak bola, membuat candi dari pasir, berpura-pura

menjadi biawak, berenang di lumpur, memanggil-manggil pesawat terbang

yang melintas, dan berteriak keras-keras tak keruan kepada hujan, langit, dan halilintar

seperti orang lupa diri.

Tapi lebih dari itu, yang paling seru adalah permainan tanpa nama yang melibatkan

pelepah-pelepah pohon pinang hantu. Satu atau dua orang duduk di atas pelepah selebar

sajadah, kemudian dua atau tiga orang lainnya menarik pelepah itu dengan kencang.

Maka terjadilah pemandangan seperti orang main ski es, tapi secara manual karena

ditarik tenaga manusia.

Penumpang yang duduk di depan memegangi pelepah seperti penunggang unta

sedangkan penumpang di belakang memeluknya erat-erat agar tidak tergelincir. Mereka

yang bertubuh paling besar, yaitu Samson, Trapani, dan A Kiong menduduki jabatan

penarik pelepah dan mereka amat bangga dengan jabatan itu.

Puncak permainan ini adalah momen ketika para penarik pelepah yang bertenaga

sekuat kuda beban berbelok mendadak serta dengan sengaja menambah kekuatannya di

belokan itu. Maka penumpangnya akan melaju sangat kencang, terseret sejajar ke arah

samping, meluncur mulus tapi deras sekali di atas permukaan lumpur yang licin, lalu

menikung tajam dalam kecepatan tinggi.

Aku rasakan tingkungan itu membanting tubuhku tanpa dapat kukendalikan dan

sempat kulihat cipratan air bercampur lumpur yang besar menghempas dari sisi kanan

pelepah mengotori para penonton: Sahara, Harun, Kucai, Mahar, dan Lintang. Mereka

gembira luar biasa menerima cipratan air kotor itu, semakin kotor airnya semakin senang

mereka. Mereka bertepuk tangan girang menyemangati kami. Sementara Syahdan yang

duduk di belakangku memegang tubuhku kuat-kuat sambil bersorak-sorai.

Syahdan bertindak selaku co-pilot, dan aku pilotnya. Kami meluncur menyamping

dengan tubuh rebah persis seperti gerakan laki-laki gondrong pengendara sepeda motor

tong setan di sirkus atau lebih keren lagi seperti gerakan speed raceryang merendahkan

tubuhnya untuk mengambil belokan maut. Sebuah gaya rebah yang penuh aksi. Pada saat

menikung itu aku merasakan sensasi tertinggi dari permainan tradisional yang asyik ini.

Namun, cerita tidak selesai sampai di situ. Karena sudut belokan tersebut tidak

masuk akal maka tikungan tersebut tak `kan pernah bisa diselesaikan. Para penarik

bertabrakan sesama dirinya sendiri, terjatuh-jatuh jumpalitan, terbanting-banting tak tentu

arah, sementara aku dan Syahdan terpental dari pelepah, terhempas, terguling-guling, lalu

kami berdua terkapar di dalam parit.

Kepalaku terasa berat, kuraba-raba dan benjolan kecilkecil bermunculan. Air

masuk melalui hidungku, suaraku jadi aneh, seperti robot, dan ada rasa pening di bagian

kepala sebelah kanan yang menjalar ke mata. Rasa itu hanya sebentar, biasa kita alami

kalau air memasuki hidung. Aku tersedak-sedak kecil seperti kambing batuk. Lalu aku

mencari-cari Syahdan. Ia terbanting agak jauh dariku. Tubuhnya telentang, tergeletak tak

berdaya, air menggenangi setengah tubuhnya di dalam parit. Ia tak bergerak.

Kami menghambur ke arah Syahdan. Aduh! Gawat, apakah ia pingsan? Atau gegar

otak? Atau malah mati? Karena ia tak bernapas sama sekali dan tadi ia terpelanting

seperti tong jatuh dari truk. Di sudut bibirnya dan dari lubang hidungnya kulihat darah

mengalir, pelan dan pekat. Kami merubung tubuhnya yang diam seperti mayat. Sahara

mulai terisak-isak, wajahnya pias. Aku memandangi wajah temanku yang lain, semuanya

pucat pasi. A Kiong gemetar hebat, Trapani memanggil-manggil ibunya, aku sangat

Aku menampar-nampar pipinya.

\"Dan! Dan ...!\" Aku pegang urat di lehernya, seperti pernah kulihat dalam film

Little House on The Prairie. Namun sayang sebenarnya aku sendiri tak mengerti apa

yang kupegang, karena itu aku tak merasakan apa-apa. Samson, Kucai, dan Trapani turut

menggoyang-goyang tubuh Syahdan, berusaha menyadarkannya. Tapi Syahdan diam

kaku tak bereaksi. Bibirnya pucat dan tubuhnya dingin seperti es. Sahara menangis keras,

diikuti oleh A Kiong.

\"Syahdan ... Syahdan .., bangun Dan ...,\" ratap Sahara pedih dan ketakutan.

Kami semakin panik, tak tahu harus berbuat apa. Aku terus-menerus memanggilmanggil

nama Syahdan, tapi ia diam saja, kaku, tak bernyawa, Syahdan telah mati.

Kasihan sekali Syahdan, anak nelayan melarat yang mungil ini harus mengalami nasib

Kami menggigil ketakutan dad Samson memberi isyarat agar mengangkat Syahdan.

Ketika kami angkat tubuhnya telah keras seperti sepotong balok es. Aku memegang

bagian kepalanya. Kami gotong tubuh kecilnya sambil berlari. Sahara dan A Kiong

meraung-raung. Kami benar-benar panik, namun dalam kegentingan yang memuncak

tiba-tiba di gumpalan bulat kepala keriting yang kupeluk kulihat deretan gigi-gigi hitam

keropos dan runcing-runcing seperti dimakan kutu meringis ke arahku, kemudian kudengar pelan

suara tertawa terkekeh-kekeh.

Ha! Rupanya co-pilot-ku ini hanya berpura-pura tewas! Sekian lama ia

membekukan tubuhnya dan berusaha menahan napas agar kami menyangka ia mati.

Kurang ajar betul, lalu kami membalas penipuannya dengan melemparkannya kembali ke

dalam parit kotor tadi. Dia senang bukan main. Ia terpingkal-pingkal melihat kami

kebingungan. Kami pun ikut tertawa. Sahara menghapus tangisnya dengan lengannya

yang kotor. Makin lama tawa kami makin keras. Kulirik lagi Syahdan, ia meringis

kesakitan tapi tawanya keras sekali sampai-sampai keluar air matanya. Air matanya itu

bercampur dengan air hujan.

Anehnya, justru peristiwa terjatuh, terhempas, dan terguling-guling yang

menciderai, lalu disusul dengan tertawa keras saling mengejek itulah yang kami anggap

sebagai daya tarik terbesar permainan pelepah pinang. Tak jarang kami mengulanginya

berkali-kali dan peristiwa jatuh seperti itu bukan lagi karena sudut tikungan, kecepatan,

dan massa yang melanggar hukum fisika, tapi memang karena ketololan yang disengaja

yang secara tidak sadar digerakkan oleh spirit euforia musim hujan. Pesta musim hujan

adalah sebuah perhelatan meriah yang diselenggarakan oleh alam bagi kami anak-anak

PUISI SURGA DAN KAWANA BURUNG PELINTANG PULAU

NAH, seluruh kejadian ini terjadi pada bulan Agustus saat aku berada di kelas dua

SMP. Kemarau masih belum mau pergi. Pohon-pohon angsana menjadi gundul, bambu-bambu

kuning meranggas. Jalan berbatu-batu kecil merah, setiap dihempas kendaraan,

mengembuskan debu yang melekat pada sirip-sirip daun jendela kayu. Kota kecilku

kering dan bau karat.

Warga Tionghoa semakin rajin menekuni kebiasaannya: mandi saat tengah hari,

menyisir rambutnya yang masih basah ke belakang, lalu memotongi ujung-ujung

kukunya dengan antip. Hanya mereka yang tampak sedikit bersih pada bulan-bulan

seperti ini. Adapun warga suku Sawang termangu-mangu memeluk tiang-tiang rumah

panjang mereka, terlalu panas untuk tidur di bawah atap seng tak berplafon dan terlalu

lelah untuk kembali bekerja, dilematis.

Orang-orang Melayu semakin kumal. Sesekali anak-anaknya melewati jalan

raya membawa balok-balok es dan botol sirop Capilano. Hawa pengap tak ‘kan

menguap sampai malam. Sebaliknya, menjelang dini hari suhu akan turun drastis,

dingin tak terkira, menguji iman umat Nabi Muhammad untuk beranjak dari tempat

tidur dan shalat subuh di masjid.

Perubahan ekstrem suhu adalah konsekuensi geografis pulau kecil yang

dikelilingi samudra. Karena itu kemarau di kampung kami menjadi sangat tidak

menyenangkan. Kepekatan oksigen menyebabkan tubuh cepat lelah dan mata mudah

mengantuk. Namun, ada suka di mana-mana. Anda tentu paham maksud saya. Bulan ini

amat semarak karena banyak perayaan berkenaan dengan hari besar negeri ini. Agustus,

semuanya serba menggairahkan!

Begitu banyak kegiatan yang kami rencanakan setiap bulan Agustus, antara lain

berkemah! Ketika anak-anak SMP PN dengan bus birunya berekreasi ke Tanjong

Pendam, mengunjungi kebun binatang atau museum di Tanjong Pandan, bahkan

verloop* bersama orangtuanya ke Jakarta. Kami, SMP Muhammadiyah, pergi ke Pantai

Pangkalan Punai. Jauhnya kira-kira 60 km, ditempuh naik sepeda. Semacam liburan

murah yang asyik luar biasa.

Meskipun setiap tahun kami mengunjungi Pangkalan Punai, aku tak pernah

bosan dengan tempat ini. Setiap kali berdiri di bibir pantai aku selalu merasa terkejut,

persis seperti pasukan Alexander Agung pertama kali menemukan India. Jika laut

berakhir di puluhan hektar daratan landai yang dipenuhi bebatuan sebesar rumah dan

pohon-pohon rimba yang rindang merapat ke tepi paling akhir ombak pasang

mengempas, maka kita akan menemukan keindahan pantai dengan cita rasa yang

berbeda. Itulah kesan utama yang dapat kukatakan mengenai Pangkalan Punai.

Tak jauh dari pantai mengalirlah anak-anak sungai berair payau dan di sanalah

para penduduk lokal tinggal di dalam rumah panggung tinggi-tinggi dengan formasi

berkeliling. Mereka juga orang-orang Melayu, orang Melayu yang menjadi nelayan.

Berarti rumah-rumah ini tepatnya terkurung oleh hutan lalu di tengahnya mengalir

anak-anak sungai dan posisinya cenderung menjorok ke pinggir laut. Sebuah komposisi

lanskap hasil karaya tangan Tuhan. Keindahan seperti digambarkan dalam buku-buku

komik Hans Christian andersen.

Namun, pemandangan semakin cantik jika kita mendaki bukit kecil di sisi barat

daya Pangkalan. Saat sore menjelang, aku senang berlama-lama duduk sendiri di

punggung bukit ini. Mendengar sayup-sayup suara anak-anak nelayan—laki-laki dan

perempuan—menendang-nendang pelampung, bermain bola tanpa tiang gawang nun di

bawah sana. Teriakan mereka terasa damai. Sekitar pukul empat sore, sinar matahari

akan mengguyur barisan pohon cemara angin yang tumbuh lebat di undakan bukit yang

lebih tinggi di sisi timur laut. Sinar yang terhalang pepohonan cemara angin itu

membentuk segitiga gelap raksasa, persis di tempat aku duduk. Sebaliknya, di sisi lain,

sinarnya ayang kontras menghunjam ke atas permukaan pantai yang dangkal, sehingga

dari kejauhan dapat kulihat pasir putih dasar laut.

Jika aku menoleh ke belakang, maka aku dapat menyaksikan pemandangan

padang sabana. Ribuan burung pipit menggelayuti rumput-rumput tinggi, menjerit-jerit

tak karuan, berebutan tempat tidur. Di sebelah sabana itu adalah ratusan pohon kelapa

bersaling-silang dan di antara celah-celahnya aku melihat batu-batu raksasa khas

Pangkalan Punai. Batu-batu raksasa yang membatasi tepian Laut Cina Selatan yang biru

berkilauan dan luas tak terbatas. Seluruh bagian ini disirami sinar matahari dan aliran

sungai payau tampak sampai jauh berkelok-kelok seperti cucuran perak yang dicairkan.

Sebaliknya, jika aku melemparkan pandangan lurus ke bawah, ke arah formasi

rumah panggung yang berkeliling tadi, maka sinar matahari yang mulai jingga jatuh

persis di atas atap-atap daun nanga’ yang menyembul-nyembul di antara rindangnya

dedaunan pohon santigi. Asap mengepul dari tungku-tungku yang membakar serabut

kelapa untuk mengusir serangga magrib. Asap itu, diiringi suara azan magrib, merayap

menembus celah-celah atap daun, hanyut pelan-pelan menaungi kampung seperti hantu,

lamat-lamat merambati dahan-dahan pohon bintang yang berbuah manis, lalu hilang

tersapu semilir angin, ditelan samudra luas. Dari balik jendela-jendela kecil rumah

panggung yang berserakan di bawah sana sinar lampu minyak yang lembut dan

kuntum-kuntum api pelita menari-nari sepi.

Pesona hakiki Pangkalan Punai membayangiku menit demi menit sampai

terbawa-bawa mimpi. Mimpi ini kemudian kutulis menjadi sebuah puisi karena, sebagai

bagian dari program berkemah, kami harus menyerahkan tugas untuk pelajaran

kesenian berupa karangan, lukisan, atau pekerjaan tangan dari bahan-bahan yang

didapat di pinggir pantai. Inilah puisiku.

Aku Bermimpi Melihat Surga

Sungguh, malam ketiga di Pangkalan Punai aku mimpi melihat surga

Ternyata surga tidak megah, hanya sebuah istana kecil di tengah hutan

Tidak ada bidadari seperti disebut di kitab-kitab suci

Aku meniti jembatan kecil

Seorang wanita berwajah jernih menyambutku

“Inilah surga” katanya.

Ia tersenyum, kerling matanya mengajakku menengadah

Seketika aku terkesiap oleh pantulan sinar matahari senja

Menyirami kubah-kubah istana

Mengapa sinar matahari berwarna perak, jingga, dan biru?

Sebuah keindahan yang asing

Dahan-dahan pohon ara menjalar ke dalam kamar-kamar sunyi yang bertingkattingkat

Gelas-gelas kristal berdenting dialiri air zamzam

Menebarkan rasa kesejukan

Bunga petunia ditanam di dalam pot-pot kayu

Pot-pot itu digantungkan pada kosen-kosen jendela tua berwarna biru

Di beranda, lampu-lampu kecil disembunyikan di balik tilam, indah sekali

Sinarnya memancarkan kedamaian

Tembus membelah perdu-perdu di halaman

Tapi aku ingin tetap di sini

Karena kuingat janjimu Tuhan

Kalau aku datang dengan berjalan

ENGKAU akan menjemputku dengan berlari-lari

Dengan puisi ini, untuk pertama kalinya aku mendapat nilai kesenian yang

sedikit lebih baik dari nilai Mahar, tapi hal itu hanya terjadi sekali itu saja. Puisiku ini

membuktikan bahwa karya seni yang baik, setidaknya baik bagi Bu Mus, adalah karya

seni yang jujur. Namun, aku punya cerita yang panjang dan kurasa cukup penting

mengapa kali ini Mahar tidak mendapatkan nilai kesenian tertinggi seperti baisanya.

Semua itu gara-gara sekawanan burung hebat nan misterius yang dinamai orang-orang

Belitong sebagai burung pelintang pulau.

Nama burung pelintang pulau selalu menarik perhatian siapa saja, di mana saja,

terutama di pesisir. Sebagian orang malah menganggap burung ini semacam makhluk

gaib. Nama burung ini mampu menggetarkan nurani orang-orang pesisir sehubungan

dengan nilai-nilai mitos dan pesan yang dibawanya.

Burung pelintang pulau amat asing. Para pencinta burung lokal dan orang-orang

pesisir hanya memiliki pengetahuan yang amat minim mengenai burung ini. Di mana

habitatnya, bagaimana rupa dan ukuran aslinya, dan apa makanannya, selalu jadi

polemik. Hanya segelintir orang yang sedang beruntung saja pernah melihatnya

langsung. Burung ini tak pernah tertangkap hidup-hidup. Kerahasiaan bruung ini adalah

konsekuensi dari kebiasaannya.

Nama pelintang pulau adalah cerminan kebiasaan burung ini terbang sangat

kencang dan jauh tinggi melintang (melintasi) pulau demi pulau. Mereka hanya singgah

sebentar dan selalu hinggap di puncak tertinggi dari pohon-pohon yang tingginya

puluhan meter seperti pohon medang dan tanjung. Singgahnya pun tak pernah lama,

tidak untuk makan apa pun. Mereka sangat liar, tidak mungkin bisa didekati.

Setelah hinggap sebentar dengan kawanan lima atau enam ekor mereka terburuburu

terbang dengan kencang ke arah yang sama sekali tak dapat diduga. Banyak

orangy ang percaya bahwa mereka hidup di pulau-pulau kecil yang tak dihuni manusia.

Sementara mitos lain mengatakan bahwa burung-burung ini hanya hinggap sekali saja

pada sebuah kanopi di setiap pulau. Merekam enghabiskan sebagian besar hidupnya

terbang tinggi di angkasa, melintas dari satu pulau ke pulau lain yang berjumlah

puluhan di perairan Belitong.

Orang-orang Melayu pesisir percaya bahwa jika burung ini singgah di kampung

maka pertanda di laut sedang terjadi badai hebat atau angin puting beliung. Sering

sekali kehadirannya membatalkan niat nelayan yang akan melaut. Tapi ada penjelasan

logis untuk pesan ini, yaitu jika mereka memang tinggal di pulau terpencil maka badai

laut akan menyapu pulau tersebut dan saat itulah mereka menghindar menuju pesisir

Burung yangkonon sangat cantik dengan dominasi warna biru dan kuning ini

berukuran seperti burung bayan. Tapi aku agak kurang setuju dengan pendapat itu. Aku

setuju dengan warnanya, tapi ukurannya pasti jauh lebih besar, karena saksi mata

melihatnya bertengger puluhan meter darinya sehingga akan tampak lebih kecil.

Perkiraanku burung itu paling tidak berpenampilan seperti burung rawe yang beringas

atau peregam segagah rajawali. Demikianlah burugn pelintang pulau, semakin misterius

keberadaannya, semakin legendaris ceritanya. Mungkinkah burung ini belum terpetakan

oleh para ahli ornitologi?

Namun, burung apa pun itu, ketika melakukan semacam penelitian untuk

membuat tugas kesenian yang ia putuskan berupa lukisan, Mahar mengaku melihat

burung pelintang pulau nun jauh tinggi berayun-ayun di pucuk-pucuk meranti. Ia

pontang-panting menuju tenda untuk memberitahukan apa yang baru saja dilihatnya,

dan kami pun menghambur masuk ke hutan untuk menyaksikan salah satu spesies

paling langka kekayaan fauna pulau Belitong itu. Sayangnya yang kami saksikan hanya

dahan-dahan yang kosong, beberapa ekor anak lutung yang masih berwarna kuning, dan

langit hampa yang luas menyilaukan. Mahar menjebak dirinya sendiri. Maka, seperti

biasa, mengalirlah ejekan untuk Mahar.

“Kalau makan buah bintang kebanyakan, manisnya memang dapat membaut

orang mabuk, Har, pandangan kabur, dan mulut melantur,” Samson menarik pelatuk

dan penghujatan pun dimulai.

“Sungguh Son, yang kulihat tadi burung pelintang pulau kawanan lima ekor.”

“Dalam laut dapat kukira, dalamnya dusta siapa sangka,” dengan rima pantun

yang sederhana Kucai menohok Mahar tanpa perasaan.

Keputusasaan terpancar di wajah Mahar yang tanpa dosa, matanya mencari-cari

dari dahan ke dahan. Aku iba melihatnya, dengan cara apa aku dapat membelanya?

Tanpa saksi yang menguatkan, posisinya tak berdaya.

Kulihat dalam-dalam mata Mahar dan aku yakin yang baru saja dilihatnya

memang burung-burung keramat itu. Ah! Beruntung sekali. Sayangnya upaya Mahar

meyakinkan kami sia-sia karena reputasinya sendiri yang senang membual. Itulah

susahnya jadi pembual, sekali mengajukan kebenaran hakiki di antara seribu macam

dusta, orang hanya akan menganggap kebenaran itu sebagai salah satu dari buah

“Mungkin yang kau lihat tadi burung ayam-ayam yang sengaja hinggap di dahan

tepat di atasmu utnuk mengencingi jambulmu itu,” cela Kucai.

Tawa kami meledak menusuk perasaan Mahar. Burung ayam-ayaman tidak

eksklusif, terdapat di mana-mana, dan senang bercanda di sepanjang saluran

pembuangan pasar ikan. Perut-perut ikan adalah caviar bagi mereka. Burung itu selalu

digunakan orang Melayu sebagai perlambang untuk menghina. Belum reda tawa kami

Sahara berusaha menyadarkan kesesatan Mahar

“Jangan kaucampuradukkan imajinasi dan dusta, kawan. Tak tahukah engkau,

kebohongan adalah pantangan kita, larangan itu bertalu-talu disebutkan dalam buku

Budi Pekerti Muhammadiyah.”

Trapani mencoba sedikit berlogika, “Barangkali kau salah lihat Har, keluarga

Lintang saja yang sudah empat turunan tinggal di pesisir tak pernah sekalipun melihat

burung itu apa lagi kita yangb aru berkemah dua hari.”

Masuk akal juga, tapi nasib orang siapa tahu?

Situasi makin kacau ketika sore itu berita kunjungan burung pelintang pulau

menyebar ke kampung dan beberapa nelayan batal melaut. Ibu Mus tak enak hati tapi

tak mengerti bagaimana menetralisasi suasana. Mahar semakin terpojok dan merasa

bersalah. Namun percaya atau tidak, malamnya angin bertiup sangat kencang

mengobrak-abrik tenda kami. Beberapa batang pohon cemara tumbang. Di laut kami

melihat petir menyambar-nyambar dengan dahsyat dan awan hitam di atasnya

berugulung-gulung mengerikan. Kami lari terbirit-birit mencari perlindungan ke rumah

“Mungkin yang kau lihat tadi sore benar-bear burung pelintang pulau, Har,”

kata Syahdan gemetar.

Mahar diam saja. Aku tahu kata “mungkin” itu tidak tepat. Bagaimanapun juga

badai ini sedikit banyak memihak ceritanya, mengurangi rasa bersalahnya, dan dapat

menghindarkannya dari cap pembual, apalagi esoknya para nelayan berterima kasih

padanya. Namun, ternyata temannya masih meragukannya dengan menggunakan kata

“mungkin”, padahal tenda kami sudah hancur lebur diaduk-aduk badai. Rasa

tersinggungnya tidak berkurang sedikit pun. Pada tingkat ini dia sudah merasa dirinya

seorang persona non grata, orang yang tak disukai.

Demikianlah dari waktu ke waktu kami selalu memperlakukan Mahar tanpa

perasaan. Kami lebih melihatnya sebagai seorang bohemian yang aneh. Kami dibutakan

tabiat orang pada umumnya, yaitu menganggap diri paling baik, tidak mau mengakui

keunggulan orang, dan mencari-cari kekurangan orang lain untuk menutupi

ketidakbecusan diri sendiri.

Kami jarang sekali ingin secarao bjektif membuka mata melihat bakat seni hebat

yang dimiliki Mahar dan bagaimaan bakat itu berkembang secara alami dengan

menakjubkan. Namun, tak mengapa, lihatlah sebentar lagi, seluruh ketidakadilan

selama beberapa tahun ini akan segara dibalas tuntas olehnya dengan setimpal. Cerita

Besoknya Mahar membuat lukisan berjudul “Kawanan Burung Pelintang

Pulau”. Sebuah tema yang menarik. Lukisan itu berupa lima ekor burung yang tak jelas

bentuknya melaju secepat kilat menembus celah-celah pucuk pohon meranti. Latar

belakangnya adalah gumpalana awan kelam yang memancing badai hebat. Hamparan

laut dilukis biru gelap dan permukaannya berkilat-kilat memantulkan cahaya halilintar

Kelima ekor burung itu hanya ditampakkan berupa serpihan-serpihan warna

hijau dan kuning dengan ilustrasi tak jelas, seperti sesuatu yang berkelebat sangat cepat.

Jika dilihat sepintas, memang masih terlihat samar-samar seperti lima kawanan burung

tapi kesan seluruhnya adalah seperti sambaran petir berwarna-warni. Sebuah lukisan

penuh daya mitos yang menggettarkan.

Dengan kekuatan imajinasinya Mahar berusaha mengabadikan sifat-sifat

misterius burung ini. Yang ada dalam pemikiran di balik lukisannya bukanlah bentuk

anatomis burung pelintang pulau tapi representasi sebuah legenda magis, sifat-sifat

alami burung pelintang pulau yang fenomenal, keterbatasan pengetahuan kita tentang

mereka, karakternya yang suka menjauhi manusia, dan mitos-mitos ganjil yang

menggerayangi setiap kepala orang pesisir.

Lukisan Mahar sesungguhnya merupakan swebuah karya hebat yang memiliki

nyawa, mengandung ribuan kisah, menentang keyakinan, dan mampu menggugah

perasaan. Namun, Mahar tetaplah anak kecil dengan keterbatasan kosa kata untuk

menjelaskan maksudnya. Ia kesulitan menemukan orang yang dapat memahaminya, dan

lebih dari itu, ia juga seniman yang bekerja berdasarkan suasana hati. Maka ketika

Samson, Syahdan, dan Sahara berpendapat bahwa bentuk burung yang tak jelas karena

Mahar sebenarnya tak pernah melihatnya, Mahar kembali tenggelam dalam sarkasme,

mood-nya rusak berantakan.

Inilah kenyataan pahit dunia nyata. Begitu banyak seniman bagus yang hidup di

antara orang-orang buta seni. Lingkungan umumnya tak memahami mereka dan lebih

parah lagi, tanpa beban berani memberi komentar seenak udelnya. Ketika Mahar sudah

berpikir dalam tataran imajinasi, simbol, dan substansi, Samson, Syahdan, dan Sahara

masih berpikir harfiah. Kasihan Mahar, seniman besar kami yang sering dilecehkan.

Karena kecewa sebab karyanya dianggap tak jujur, Mahar setengah hati

menyerahkan karyanya kepada Bu Mus sehingga terlambat. Inilah yang menyebabkan

nilai Mahar agak berkurang sedikit. Yaitu karena melanggar tata tertib batas

penyerahan tugas, bukan karena pertimbangan artistik. Ironis memang.

“Kali ini Ibunda tidak memberimu nilai terbaik untuk mendidikmu sendiri,” kata

Bu Mus dengan bijak pada Mahar yang cuek saja.

“Bukan karena karyamu tidak bermutu, tapi dalam bekerja apa pun kita harus

Aku rasa pandangan ini cukup adil. Sebaliknya, aku dan kami sekelas tidak

menganggap keunggulanku dalam nilai kesenian sebagai momentum lahirnya seniman

baru di kelas kami. Seniman besar kami tetap Mahar, the one and only.

Adapun Mahar yang nyentrik sama sekali tidak peduli. Ia tak ambil pusing

mengenai bagaimana karya-karya seninya dinilai dalam skala angka-angka, apalagi

sekarang ia sedang sibuk. Ia sedang berusaha keras memikirkan konsep seni untuk

ADA CINTA DI TOKO KELONTONG BOBROK ITU

MEMANG menyenangkan menginjak remaja. Di sekolah, mata pelajaran mulai terasa

bermanfaat. Misalnya pelajaran membuat telur asin, menyemai biji sawi, membedah

perut kodok, keterampilan menyulam, menata janur, membuat pupuk dari kotoran

hewan, dan praktek memasak. Konon di Jepang pada tingkat ini para siswa telah belajar

semikonduktor, sudah bisa menjelaskan perbedaan antara istilah analog dan digital,

sudah belajar membuat animasi, belajar software development, serta praktik merakit

Tak mengapa, lebih dari itu kami mulai terbata-bata berbahasa Inggris: good

this, good that, excuse me, I beg your pardon, dan I am fine thank you. Tugas yang

paling menyenangkan adalah belajar menerjemahkan lagu. Lagu lama Have I Told You

Lately That I Love Youternyata mengandung arti yang aduhai. Dengarlah lagu penuh

pesona cinta ini. Bermacam-macam vokalis kelas satu telah membawakannya termasuk

pria midlandbersuara serak: Mr. Rod Stewart. Tapi sedapat mungkin dengarlah versi

Kenny Rogers dalam album Vote For Love Volume 1. Lagu cantik itu ada di trek

Syair lagu itu kira-kira bercerita tentang seorang anak muda yang benci sekali

jika disuruh gurunya membeli kapur tulis, sampai pada suatu hari ketika ia berangkat

dengan jengkel untuk membeli kapur tersebut, tanpa disadarinya, nasib telah

menunggunya di pasar ikan dan menyergapnya tanpa ampun.

Membeli kapur adalah salah satu tugas kelas yang paling tidak menyenangkan.

Pekerjaan lain yang amat kami benci adalah menyiram bunga. Beragam familia pakis

mulai dari kembang tanduk rusa sampai puluhan pot suplir kesayangan Bu Mus serta

rupa-rupa kaktus topi uskup, Parodia, dan Mammillariaharus diperlakukan dengan

sopan seperti porselen mahal dari Tiongkok. Belum lagi deretan panjang pot amarilis,

kalimatis, azalea, nanas sabrang, Calathea, Stromanthe, Abutilon, kalmus, damar

kamar, dan anggrek Dendrobiumdengan berbagai variannya. Berlaku semena-mena

terhadap bunga-bunga ini merupakan pelanggaran serius.

“Ini adalah bagian dari pendidikan!” pesan Bu Mus serius.

Masalahnya adalah mengambil air dari dalam sumur di belakang sekolah

merupakan pekerjaan kuli kasar. Selain harus mengisi penuh dua buah kaleng cat 15

kilogram dan pontang-panting memikulnya, sumur tua yang angker itu sangat

mengerikan. Sumur itu hitam, berlumut, gelap, dan menakutkan. Diameternya kecil,

dasarnya tak kelihatan saking dalamnya, seolah tersambung ke dunia lain, ke sarang

makhluk jadi-jadian. Beban hidup terasa berat sekali jika pagi-pagi sekali harus

menimba air dan menunduk ke dalam sumur itu.

Hanya ketika menyirami bunga stripped canna beautyaku merasa sedikit

terhibur. Ah, indahnya bunga yang semula tumbuh liar di bukit-bukit lembap di Brazil

ini. Masih dalam familia Apocynaceae maka agak sedikit mirip dengan alamanda tapi

strip-strip putih pada bunganya yang berwarna kuning adalah daya tarik tersendiri yang

tak dimiliki jenis cannalain. Daun hijaunya yang menjulur gemuk-gemuk kontras

dengan gradasi warna kuntum bunga sepanjang musim, menghadirkan pesona

keindahan purba. Orang Parsi menyebutnya bunga surga. Jika ia merekah maka dunia

tersenyum. Ia adalah bunga yang emosional, maka menyiramnya harus berhati-hati.

Tidak semua orang dapat menumbuhkannya. Konon hanya mereka yang bertangan

dingin, berhati lembut putih bersih yang mampu membiakkannya, ialah Bu Muslimah,

Kami memiliki beberapa pot stripped canna beautydan sepakat

menempatkannya pada posisi yang terhormat di antara tanaman-tanaman kerdil nan

cantik Peperomia, daun picisan, sekulen, dan Ardisia. Ketika tiba musim bersemi

bersamaan, maka tersaji sebuah pemandangan seperti kue lapis di dalam nampan.

Aku selalu tergesa-gesa menyirami bunga biar tugas itu cepat selesai, namun

jika tiba pada bagian cannaitu dan para tetangganya tadi, aku berusaha setenangtenangnya.

Aku menikmati suatu lamunan, menduga-duga apa yang dibayangkan orang

jika berada di tengah-tengah surga kecil ini. Apakah mereka merasa sedang berada di

Aku melihat sekeliling kebun bunga kecil kami. Letaknya persis di depan kantor

kepala sekolah. Ada jalan kecil dari batu-batu persegi empat menuju kebun ini. Di sisi

kiri kanan jalan itu melimpah ruah Monstera, Nolina, Violces, kacang polong, cemara

udang, keladi, begonia, dan aster yang tumbuh tinggi-tinggi serta tak perlu disiram.

Bunga-bunga ini tak teratur, kaya raya akan nektar, berdesak-desakan dengan bunga

berwarna menyala yang tak dikenal, bermacam-macam rumput liar, kerasak, dan semak

Secara umum kebun bunga kami mengensankan taman yang dirawat sekaligus

kebun yang tak terpelihara, dan hal ini justru secara tak sengaja menghadirkan paduan

yang menarik hati. Latar belakang kebun itu adalah sekolah kami yang doyong, seperti

bangunan kosong tak dihuni yang dilupakan zaman. Semuanya memperkuat kesan

sebuah paradiso liar, keeksotisan tropika.

Lalu erambat pada tiang lonceng adalah dahan jalar labu air. Seperti tangan

raksasa ia menggerayangi dinding papan pelepak sekolah kami, tak terbendung

menujangkau-jangkau atap sirap yang terlepas dari pakunya. Sebagian dahannya

merambati pohon jambu mawar dan dlima yang meneduhi atap kantor itu. Cabangcabang

buah muda labu air terkulai di depan jendela kantor sehingga dapat dijangkau

tangan. Burung-burugn gelatik rajin bergelantungan di situ. Sepanjang pagi tempat itu

riuh rendah oleh suara kumbang dan lebah madu. Jika aku memusatkan pendengaran

pada dengungan ribuan lebah madu itu, lama-kelamaan tubuhku seakan kehilangan

daya berat, mengapung di udara. Itulah kebun sekolah muhammadiyah, indah dalam

ketidakteraturan, seperti lukisan Kandinsky. Kalau bukan gara-gara sumur sarang jin

yang horor itu, pekerjaan menyiram bunga seharusnya bisa menjadi tugas yang

Namun, tugas memebli kapur adalah pekerjaan yang jauh lebih horor. Toko

Sinar Harapan, pemasok kapur satu-satunya di Belitong Timur, amat jauh letaknya.

Sesampainya di sana—di sebuah toko yang sesak di kawasan kumuh pasar ikan yang

becek—jika perut tidak kuat, siapa pun akan muntah karena bau lobak asin, tauco,

kanji, kerupuk udang, ikan teri, asam jawa, air tahu, terasi, kembang kol, pedak cumi,

jengkol, dan kacang merah yang ditelantarkan di dalam baskom-baskom karatan di

Jika berani masuk ke dalam toko, bau itu akan bercampur dengan bau plastik

bungkus mainan anak-anak, aroma kapur barus yang membuat mata berair, bau cat

minyak, bau gaharu, bau sabun colek, bau obat nyamuk, bau ban dalam sepeda yang

bergelantungan di sembarang tempat di seantero toko, dan bau tembakau lapuk di atas

rak-rak besi yang telah bertahun-tahun tak laku dijual.

Dagangan yang tak laku ini tidak dibuang karena pemiliknya menderita suatu

gejala psikologis yang disebut hoarding, sakit gila no. 28, yaitu hobi aneh

mengumpulkan barang-barang rongsokan tak berguna tapi sayang dibuang. Seluruh

akumulasi bau tengik itu masih ditambah lagi dengan aroma keringat kuli-kuli panggul

yang petantang-petenteng membawa gancu, ingar-bingar dengan bahasanya sendiri, dan

lalu-lalang seenaknya memanggul karung tepung terigu.

Belum seberapa, pusat bau busuk yang sesungguhnya berada di los pasar ikan

yang bersebelahan langsung dengan Toko Sinar Harapan. Di sini ikan hiu dan pari

dsangkutkan pada cantolan paku dengan cara menusukkan banar mulai dari insang

sampai ke mulut binatang malang itu, sebuah pemandangan yang mengerikan. Bau amis

darah menyebar ke seluruh sudut pasar. Perut-perut ikan dibiarkan bertumpuk-tumpuk

di sepanjang meja, berjejal tumpah berserakan di lantai yang tak pernah dibersihkan.

Dan bau yang paling parah berasal dari makhluk-makhluk laut hampir busuk yang

disimpan dalam peti-peti terbuka dengan es seadanya.

Pagi itu giliran aku dan Syahdan berangkat ke toko bobrok itu. Kami naik

sepeda dan membuat perjanjian yang bersungguh-sungguh, bahwa saat berangkat ia

akan memboncengku. Ia akan mengayuh sepeda setengah jalan sampai ke sebuh

kuburan Tionghoa. Lalu aku akan menggantikannya mengayuh sampai ke pasar. Nanti

pulangnya berlaku atruan yagn sama. Suatu pengaturan tidak masuk akal yang dibuat

oleh orang-orang frustrasi. Ditambah lagi satu syarat cerewt lainnya, yaitu setiap jalan

menanjak kami harus turun dari sepeda lalu sepeda dituntun bergantian dengan umlah

langkah yang diperhitungkan secara teliti.

Tubuh Syahdan yang kecil terlonjak-lonjak di atas batang sepeda laki punya Pak

Harfan saat ia bersusah payah mengayuh pedal. Sepeda itu terlalu besar untuknya

sehingga tampak seperti kendaraana yang tak bisa ia kuasai, apalagi dibebani tubuhku

di tempat duduk belakang. Namun, ia bertekad terus mengayuh sekuat tenaga. Siapa

pun yang melihat pemandangan itu pasti prihatin sekaligus tertawa. Tapi suasana hatiku

sedang tidak peka untuk segala bentuk komedi. Aku duduk di belakang, tak acuh pada

“Turun dulu, tuan raja ...,” Syahdan menggodaku ketika sepeda kami menanjak.

Ia ngos-ngosan, tapi tersenyum lebar dan membungkuk laksana seorangp enjilat.

Syahdan selalu riang menerima tugas apa pun, termasuk menyiram bunga, asalkan

dirinya dapat menghindarkan diri dari pelajaran di kelas. Baginya acara pembelian

kapur ini adalah vakansi kecil-kecilan sambil melihat beragam kegiatan di pasar dan

kesempatan mengobrol dengan beberapa wanita muda pujaannya. Aku turun dengan

malas, dingin, tak tertarik dengan kelakarnya, dan tak punya waktu untuk bertoleransi

pada penderitaan pria kecil ini.

Kami sampai di sebuah Toapekong. Di depannya ada bangunan rendah

berbentuk seperti kue bulan dan di tengah bangunan itu tertempel foto hitam putih

wajah serius seorang nyonya yang disimpan dalam bidang yang ditutupi kaca. Lelehan

lilin merah berserakan di sekitarnya. Itulah kuburan yang kumaksud taid dalam

perjanjian kami, maka tibalah giliranku mengayuh sepeda.

Aku naiki sepeda itu tanpa selera, setengah hati, dan sejak gelindingan roda

yang pertama aku sudah memarahi diriku sendiri, menyesali tugas ini, toko busuk itu,

dan pengaturan bodoh yang kami baut. Aku menggerutu karena rantai sepeda reyot itu

terlalu kencang sehingga berat untuk aku mengayuhnya. Aku juga mengeluh karena

hukum yang tak pernah memihak orang kecil: sadel yang terlalu tinggi, parak oruptor

yang bebas berkeliaran seperti ayam hutan, Syahdan yang berat meskipun badannya

kecil, dunia yang tak pernah adil, dan baut dinamo sepeda yangl onggar sehingga girnya

menempel di ban akibatnya semakin berat mengayuhnya dan menyalakan lampu

sepeda di siang bolong ini persis kendaraan pembawa jenazah.

Syahdan duduk dengan penuh nikmat di tempat duduk belakang sambil

menyiul-nyiulkan lagu Semalam di Malaysia. Ia tak ambil pusing mendegar ocehanku,

peluh hampir masuk ke dalam kelopak matanya tapi wajahnya riang gembira tak alang

Lalu kami memasuki wilayah bangunan permanen yang berderet-deret,

berhadapan satu sama lain hampir beradu atap. Inilah jejeran toko kelontong dengan

konsep menjual semua jenis barang. Sepeda kami meliuk-liuk di antara truk-truk

raksasa yang diparkir seenaknya di depan warung-warung kopi. Di sana hiruk pikuk

para karyawan rendahan PN Timah, pengangguran, bromocorah, pensiunan, pemulung

besi, polisi pamong praja, kuli panggul, sopir mobil omprengan, para penjaga malam,

dan pegawai negeri. Pembicaraan mereka selalu seru, tapi selalu tentang satu topik,

yaitu memaki-maki pemerintah.

Setelah deretan warung kopi lalu berdiri hitam berminyak-minyak beberapa

bengkel sepeda dan tenda-tenda pedagang kaki lima. Kelompok ini berada di sela-sela

mobil omprengan dan para pedagang dadakan dari kampung yang menjual berbagai

hasil bumi dalam keranjang-keranjang pempang. Pedagang kampung ini menjual

beragam jenis rebung, umbi-umbian, pinang, sirih, kayu bakar, madu pahit, jeruk nipis,

gaharu, dan pelanduk yang telah diasap. Bagian akhirp asar ini adalah meja-meja tua

panjang, parit-parit kecil yang mampet, dan tong-tong besar untuk menampung jeroan

ikan, sapi, dan ayam. Baunya membuat perut mual. Inilah pasar ikan.

Pasar ini sengaja ditempatkan di tepi seungai dengan maksud seluruh

limbahnya, termasuk limbah pasar ikan, dapat dengan mudah dilungsurkan ke sungai.

Tapi pasar ini berada di dataran rendah. Akibatnya jika laut pasang tinggi sungai akan

menghanyutkan kembali gunungan sampah organik itu menuju lorong-lorong sempit

pasar. Lalu ketika air surut sampah itu tersangkut pada kaki-kaki meja, tumpukan

kaleng, pagar-pagar yang telah patah, pangkal-pangkal pohon seri, dan tiang-tiang kayu

yang centang perenang. Demikianlah pasar kami, hasil karya perencanaan kota yang

canggih dari para arsitek Melayu yang paling kampungan. Tidak dekaden tapi kacau

Toko Sinar Harapan terletak sangat strategis di tengah pusaran bau busuk. Ia

berada di antara para pedagang kaki lima, bengkel sepeda, mobil-mobil omprengan, dan

Pembelian sekotak kapur adalah transaksi yang tak penting sehingga pembelinya

harus menunggu sampai juragan toko selesai melayani sekelompok pria dan wanita

yang menutup kepalanya dengan sarung dan berpakaian dengan dominasi warna

kuning, hijau, dan merah. Di sekujur tubuh wanita-wanita ini bertaburan perhiasan

emas—asli maupun imitasi, perak, dan kuningan yang sangat mencolok.

Mereka tidak tertarik untuk berbasa-basi dengan orang-orang Melayu di

sekelilingnya. Mereka hanya berbicara sesama mereka sendiri atau sedikit bicara

dengan Bang Sad atau “bangsat”. Itulah panggilan untuk Bang Arsyad, orang Melayu,

tangan kanan A Miauw sang juragan Toko Sinar Harapan, karena kadang-kadang tabiat

Bang Sad tak jauh dari namanya. Pria-pria bersarung ini berbicara sangat cepat dengan

nada yang beresklasi harmonis naik turun dalam bandyang lebar, maka akan terdengar

persis pola akumulatif suara ombak menghempas pantai, suatu lingua yang sangat

A Miauw sendiri adalah sesosok teror. Pira yang sok mendapat hoki ini sangat

berlagak bagai bos. Tubuhnya gendut dan ia selalu memakai kaus kutang, celana

pendek, dan sandal jepit. Di tangannya tak pernah lepas sebuah buku kecil panjang

bersampul otif batik, buku utang. Pensil terselip di daun telinganya yang berdaging

seperti bakso dan di atas mejanya ada sempoa besar yang jika dimainkan bunyinya

mampu merisaukan pikiran.

Tokoknya lebih cocok jika disebut gudang rabat. Ratusan jenis barang

bertumpuk-tumpuk mencapai plafon di dalam ruangan kecil yang sesak. Selain berbagai

jenis sayur, buah, dan makanan di dalma baskom-baskom karatan tadi, toko ini juga

menjual sajadah, asinan kedondong dalma stopelas-stoples tua, pita mesin tik, dan cat

besi dengan bonus kalender wanita berpakaian seadanya.Di dalam sebuah bufet kaca

panjang dipajang bedak kerang pemutih wajah murahan, tawas, mercon, peluru senapan

angin, racun tikus, kembang api, dan antena TV. Jika kita terburu-buru membeli obat

diare cap kupu-kupu, maka jangan harap A Miauw dapat segera menemukannya.

Kadang-kadang ia sendiri tak tahu di mana puyer itu disimpan. Ia seperti tertimbun

dagangan dan tenggelam di tengah pusaran barang-barang kelontong.

A Miauw memanggil tak sabar, dan Bang Sad tergopoh-gopoh menghampirinya.

“ Magai di Manggara masempo linna?”

Orang-orang bersarung keberatan ketika mengamati harga kaus lampu

petromaks. Di Manggar lebih murah kata mereka.

“ Kito lui, ba? Ngape de Manggar harge e lebe mura?”

Bang Sad menyampaikan keluhan itu pada juragannya dalam bahasa Kek

Aku sudah muak di dalam toko bau ini tapi sedikit terhibur dengan percakapan

tersebut. Aku baru saja menyaksikan bagaimana kompleksitas perbedaan budaya dalam

komunitas kami didemonstrasikan. Tiga orang pria dari akar etnik yang sama sekali

berbeda berkomunikasi dengan tiga macam bahasa ibu masing-masing, campur aduk.

Orang-orang yang berjiwa penuh prasangka akan menduga A Miauw sengaja

merekayasa konfigurasi komunikasi seperti itu untuk keuntungannya sendiri, namun

mari kugambarkan sedikit kepribadian A Miauw. Ia memang pria congkak dengan

intonasi bicara tak enak didengar, wajahnya juga seperti orang yang selalu ingin

memerintah, kata-katanya tidak bersahabat, dan badannya bau tengik bawang putih,

tapi ia adalah seorang Kong Hu Cu yang taat dan dalam hal berniaga ia jujur tak ada

Maka dalam harmoni masyarakat kami, warga Tionghoa adalah pedagang yang

efisien. Adapun para produsen berada di negeri antah berantah, mereka hanya kami

kenal melalui tulisan made in... yang tertera di buntut-buntut panci. Orang-orang

Melayu adalah kaum konsumen yang semakin miskin justru semakin konsumtif.

Sedangkan orang-orang pulau berkerudung tadi adalah para pembuka lapangan kerja

musiman bagi warga suku Sawang yang memanggil belanjaan mereka.

“ Segere! Siun! Siun!” hardik tiga orang Sawang, kuli panggul, yang numpang

lewat, membyuarkan lamunanku. Mereka adalah kawan yang telah lama kukenal.

Dolen, Baset, dan Kunyit, begitulah nama mereka. Agaknya urusan A Miauw dengan

orang-orang berkerudung itu telah selesai dan sekarang masuklah ia ke transaksi kapur.

“Aya...ya..., Muhammadiyah! Kapur tulis!” keluh A Miauw menarik napas

panjang, seolah kami hanya akan merusak hokinya.

Acara pembelian kapur adalah rutin dan sama. Setelah menunggu sekian lama

sampai hampir pingsan di dalam toko bau itu, A Miauw akan berteriak nyaring

memerintahkan seseorang mengambil sekotak kapur. Lalu dari ruang belakang akan

terdengar teriakan jawaban dari seseorang—yang selalu kuduga seorang gadis kecil—

yang juga berbicara nyaring, lantang, dan cepat seperti kicauan burung murai batu.

Kotak kapur dikeluarkan melalui sebuah lubang kecil persegi empat seperti

kandang burung merpati. Yang terlihat hanya sebuah tangan halus, sebelah kanan, yang

sangat putih bersih, menjulurkan kotak kapur melalui lubang itu. Wajah pemilik tangan

ini adlaah misterius, sang burung murai batu tadi, tersembunyi di balik dinding papan

yang membatasi ruangan tengah toko dengan gudang barang dagangan di belakang.

Sang misteri ini tidak pernah bicara sepatah kata pun padaku. Ia menjulurkan kotak

kapur dengan tergesa-gesa dan menarik tangannya cepat-cepat seperti orang

mengumpankan daging ke kandang macan. Demikianlah berlangsung bertahun-tahun,

prosedurnya tetap, itu-itu saja, tak berubah.

Jika tangannya menjulur tak kulihat ada cincin di jari-jemarinya yang lentik,

halus, panjang-panjang, dan ramping, namun siuk a, gelang giok indah berwarna hijau

tampak berkarakter dan melingkar garang pada pergelangan tangannya yang ditumbuhi

bulu-bulu halus. Dalam hatiku, jika kau berani macam-macam pastilah jemarinya

secepat patukan bangau menusuk kedua bola mataku dengan gerakan kuntau yang tak

terlihat. Mungkin pula gelang giok yang selalu membuatku segan itu diwarisinya dari

kakeknya, seorang suhu sakti, yang mendapatkan gelang itu dari mulut seekor naga

setelah naga itu dibinasaan dalam pertarunagan dahsyat untuk merebut hati neneknya.

Ah! Kiranya aku terlalu banyak nonton film shaolin.

Namun, tahukah Anda? Di balik kesan yang garang itu, di ujung jari-jemari

lentik si misterius ini tertanam paras-paras kuku nan indah luar biasa, terawat amat

baik, dan sangat memesona, jauh lebih memesona dibanding gelang giok tadi. Tak

pernah kulihat kuku orang Melayu seindah itu, apalagi kuku orang Sawang. Ia tak

pernah memakai kuteks. Aliran urat-urat halus berwarna merah tersembunyi samarsamar

di dalam kukunya yang saking halus dan putihnya sampai tampak transparan.

Ujung-ujung kuku itu dipotong dengan presisi yang mengagumkan dalam bentuk

seperti bulan sabit sehingga membentuk harmoni pada kelima jarinya.

Permukaan kulit di seputar kukunya sangat rapi, menandakan perawtan intensif

dengan merendamnya lama-lama di dalam bejana yang berisi air hangat dan pucukpucuk

daun kenanga. Ketika memanjang, kuku-kuku itu bergerak maju ke depan

dengan bentuk menunduk dan menguncup, semakin indah seperti batu-batu kecubung

dari Martapura, atau lebih tepatnya seperti batu kinyang air muda kebiru-biruan yang

tersembunyi di kedalaman dasar Sungai Mirang. Amat berbeda dengan kuku Sahar

yang jika memanjang ia akan melebar dan makin lama semakin menganga, persis

Dan yang tercantik dari yang paling cantik adalah kuku jari manisnya. Ia

memperlihatkan seni perawatan kuku tingkat itnggi melalui potongan pendek natural

dengan tepian kuku berwarna kulit yang klasik. Tak berlebihan jika kukatakan bahwa

paras kuku jari manis nona misterius ini laksana batu merah delima yang terindah di

antara tumpukan harta karun raja brana yang tak ternilai harganya.

Aku sudah terlalu sering mendapatkan tugas membeli kapur yang

menjengkelkan ini, sudah puluhan kali. Satu-satunya penghiburan dari tugas horor ini

adalah kesempatan menyaksikan sekilas kuku-kuku itu lalu menertawakan bagaimana

kontrasnya kuku-kuku zamrud khatulistiwa tersebut dibanding potongan-potongan kecil

terasi busuk di seantero toko bobrok ini. Karena terlalu sering, aku jadi hafal jadwal si

nona misterius memotong kukunya setiap hari Jumat, lima minggu sekali.

Demikianlah berlangsung selama beberapa tahun. Aku tak pernah seklai pun

melihat wajah non aini dan ia pun sama sekali tak berminat melihat bagaimana rupaku.

Bahkan setiap kuucapkan kamsia setelah kuterima kotak kapurnya, ia juga tidak

menjawab. Diam seribu bahasa. Non penuh rahasia ini seperti pengejawantahan

makhluk asing dari negeri antah berantah, dan ia dengan sangat konsisten menjaga

jarak denganku. Tidak ada basa basi, tak ada ngobrol-ngobrol, tak ada buang-buang

waktu untuk soal remeh-temeh, yang ada hanya bisnis!

Kadangkala aku penasaran ingin melihat bagaimana wajah pemilik kuku-kuku

nirwana itu. Apakah wajahnya seindah kuku-kukunya? Apakah jari-jari tangan kirinya

seindah jari-jari tangan kanannya? Atau ... apakah dia Cuma punya satu tangan?

Jangan-jangan dia tidak punya wajah! Tapi semua pikiran itu hanya di dalam hatiku

saja. Tak ada niat sedikit pun untuk mengintip wajahnya. Mendapat kesempatan

memandangi kuku-kukunya saja pun cukuplah untuk membuatku bahagia. Kawan, aku

tidak termasuk dalam golongan pria-pria yang kurang ajar.

Biasanya setelah mengambil kapur, ikami langsung pulang, A Miauw akan

mencatat di buku utang dan nanti akan dilunasi Pak Harfan setiap akhir bulan. Kami tak

berurusan dengan masalah keuangan, dan ketika kami berlalu, si juragan itu tak sedikit

pun melirik kami. Ia menjentikkan dengan keras biji-biji sempoe seolah mengingatkan

“Utang kalian sudah menumpuk!”

Bagi A Miauw kami adalah pelanggan yang tidak menguntungkan, alias hanya

merepotkan saja. Kalau sekali-kali Syahdan mendekatinya untuk meminjam pompa

sepeda, ia akan meminjamkan pompa itu sambil mengomel meledak-ledak. Aku benci

sekali melihat kaus kutangnya itu.

Sekarang sudah hampir tengah hari, udara s emakin panas. Berada di tengah

toko ini serasa direbus dalam panci sayur lodeh yang mendidih. Cuaca mendung tapi

gerahnya tak terkira. Aku sudah tak tahan dan mau muntah. Untungnya A Miauw,

seperti biasa, menjerit memerintahkan nona misterius agar menjulurkan kapur di kotak

merpati. Dengan pandangan matanya yang sok kuasa A Miauw memberiku isyarat

untuk mengambil kapur itu.

Aku berjalan cepat melintas iakrung-karung bawang putih tengik sambil

menutup hidung. Aku bergegas agar tugas penuh siksaan ini segera selesai. Namun,

tinggal beberapa langkah mencapai kotak merpati sekejap angin semilir yang sejuk

berembus meniup telingaku—hanya sekejap saja. Saat itu tak kusadari bahwa sang

nasib yang gaib menyelinap ke dalam toko bobrok itu, mengepungku, dan menyergapku

tanpa ampun, karena tepat pada momen itu kudengar si nona berteriak keras

Bersamaan dengan teriakan itu terdengar suara puluhan batangan kapur jatuh di

Rupanya si kuku cantik sembrono sehingga ia menjatuhkan kotak kapur

sebelum aku sempat mengambilnya. Maka kapur-kapur itu sekarang berserakan di

Agaknya aku harus merangkak-rangkak, memunguti kapur-kapur itu di sela-sela

karung buah kemiri, meskipun kulitnya telah dikelupas, tapi buahnya masih basah

sehingga berbau memusingkan kepala. Kuperlukan bantuan Syahdan, namun kulihat ia

sedang berbicara dengan putri tukang hok lo panatau martabak terang bulan seperti

orang menceritakan dirinya sedang banyak uang karena baru saja selesai menjual 15

ekor sapi. Aku tak mau mengganggu saat-saat gombalnya itu.

Maka apa boleh buat, kupunguti susah payah kapur-kapur itu. Sebagian kapur

itu jatuh di bawah daun pintu terbuka yang dibatasi oleh tirai yang amat rapat, terbuat

dari rangkaian keong-keong kecil. Aku tahu di balik tirai itu, sang nona itu juga

memunguti kapur karena kudengar gerutuannya.

“Haiyaaa ... haiyaaa ....”

Ketika aku sampai pada kapur-kapur yang berserakan persis di bawah tirai itu,

hatiku berkata pasti nona ini akan segera menutup pintu agar aku tidak punya

kesempatan sedikit pun untuk melihat dia lebih dari melihat kukunya, namun yang

terjadi kemudian sungguh di luar dugaan. Kejadiannya sangat mengejutkan, karena

amat cepat, tanpa disangka sama sekali, si nona misterius justru tiba-tiba membuka tirai

dan tindakan cerobohnya itu membuat wajah kami sama-sama terperanjat hampir

bersentuhan!!! Kami beradu pandang dekat sekali ... dan suasana seketika menjadi

hening .... Mata kami bertatapan dengan perasaan yang tak dapat kulukiskan dengan

kata-kata. Kapur-kapur yang telah ia kumpulkan terlepas dari genggamannya, jatuh

berserakan, sedangkan kapur-kapur yang ada di genggamanku terasa dingin membeku

seperti aku sedang mencengkeram batangan-batangan es lilin.

Saat itu kau merasa jarum detik seluruh jam yang ada dunia ini berhenti

berdetak. Semua gerakan alam tersentak diam dipotret Tuhan dengan kamera raksasa

dari langit, blitz-nya membutakan, flash!!! Menyilaukan dan membekukan. Aku terpana

dan merasa seperti melayang, mati suri, dan mau pingsan dalam ekstase. Aku tahu A

Miauw pasti sedang berteriak-teriak tapi aku tak mendengar sepatah kata pun dan aku

tahu persis bau busuk toko itu semkin menjadi-jadi dalam udara pengap di bawah atap

seng, tapi pancaindraku telah mati. Aliran darah di sekujur tubuhku menjadi dingin,

jantungku berhenti berdetak sebentar kemudian berdegup kencang sekali dengan ritme

yang kacau seperti kode morse yang meletup-letupkan pesan SOS. Lebih dari itu aku

menduga bahwa dia, si misterius berkuku seindah pelangi, yang tertegun seperti patung

persis di depan hidungku ini, agaknya juga dilanda perasaan yang sama.

“ Siun! Siun! Segere...!” teriak kuli-kuli Sawang, terdengar samar, menggema

jauh berulang-ulang seperti didengungkan di dalma gua yang panjang dan dalam,

mereka memintaku minggir.

Tapi kami berdua masih terpaku pandang tanpa mampu berkata apa pun, lidahku

terasa kelu, mulutku terkunci rapat—lebih tepatnya ternganga. Tak ada satu kata pun

yang dapat terlaksana. Aku tak sanggup beranjak. Wanita ini memiliki aura yang

melumpuhkan. Tatapan matanya itu mencengkeram hatiku.

Ia memiliki struktur wajah lonjong dengan air muka yang sangat menawan.

Hidungnya kecil dan bangir. Garis wajahnya tirus dengan tatapan mata kharismatik

menyejukkan seklaigus menguatkan hati, seperti tatapan wanita-wanita yang telah

menjadi ibu suri. Jika menerima nasihat dari wanita bermata semacam ini, semangat

pria mana pun akan berkobar.

Bajunya ketat dan bagus seperti akan berangkat kondangan, dengan dasar biru

dan motif kembang portlandicakecil-kecil berwarna hijau muda menyala. Kerah baju

itu memiliki kancing sebesar jari kelingking, tinggi sampai ke leher, merefleksikan

keanggunan seorang wanita yang menjaga integritasnya dengan keras. Alisnya indah

alami dan jarak antara alis dengan batas rambut di keningnya membentuk proporsi yang

cantik memesona. Ia adalah lukisan Monalisa yang ditenggelamkan dalam danau yang

dangkal dan dipandangi melalui terang cahaya bulan.

Seperti kebanyakan ras Mongoloid, tulang pipinya tidak menonjol, tapi bidang

wajahnya, bangun bahunya, jenjang lehernya, potongan rambutnya, dan jatuh dagunya

yang elegan menciptakan keseluruhan kesan dirinya benar-benar mirip Michelle Yeoh,

bintang film Malaysia yang cantik itu. Maka terkuaklah rahasia yang tertutup rapi

selama bertahun-tahun. Sang pemilik kuku-kuku indah itu ternyata seorang wanita

muda cantik jelita dengan aura yang tak dapat dilukiskan dengan cara apa pun.

Kejadian ini membaut pipinya yang putih bersih tiba-tiba memerah dan matanya

yang sipit bening seperti ingin menghamburkan air mata. Aku tahu bahwa selain sejuta

perasaan tadi yang mungkin sama-sama melanda kami, ia juga merasakan malu tak

terkira. Ia bangkit dengan cepat dan membanting pintu tanpa ampun. Ia tak peduli

dengan kapur-kapur itu dan tak peduli padaku yang masih hilang dalam tempat dan

Suara keras bantingan pintu itu membuatku siuman dari sebuah pesona yang

memabukkan dan menyadarkan aku bahwa aku telah jatuh cinta. Aku limbung,

kepalaku pening dan pandangan mataku berkunang-kunang karena syok berat.

Beberapa waktu berlalu aku masih terduduk terbengong-bengong bertumpu di atas

lututku yang gemetar. Aku mencoba mengatur napas dan darahku berdesir menyelusuri

seluruh tubuhku yang berkeringat dingin. Aku baru saja dihantam secara dahsyat oleh

cinta pertama pada pandangan yang paling pertama. Sebuah perasaan hebat luar biasa

yang mungkin dirasakan manusia.

Aku berupaya keras bangun dan ketika aku menoleh ke belakang, orang-orang

di sekelilingku, Syahdan yang menghampiriku, A Miauw yang menunjuk-nunjuk,

orang-orang bersarung yang pergi beriringan, dan kuli-kuli Sawang yang terhuyunghuyung

karena beban pikulannya, mereka semuanya, seolah bergerak seperti dalam

slow motion, demikian indah, demikian anggun. Bahkan para uli panggul yang

memilikul karung jengkol tiba-tiba bergerak penuh wibawa, santun, lembut, dan

berseni, seolah mereka sedang memperagakan busana Armani yang sangat mahal di

Aku tak peduli lagi dengan kotak kapur yang isinya tinggal setengah. Aku

berbalik meninggalkan toko dan merasa kehilangan seluruh bobot tubuh dan beban

hidupku. Langkahku ringan laksana orang suci yang mampu berjalan di atas air. A ku

menghampiri sepeda reyot Pak Harfan yang sekarang terlihat seperti sepeda keranjang

baru. Aku dihinggapi semacam perasasaan bahagia yang aneh, sebuah rasa bahagia

bentuk lain yang belum pernah kualami sebelumnya. Rasa bahagia ini melebihi ketika

aku mendapat hadiah radio transistor 2- banddari ibuku sebagai upah mau disunat

Ketika mempersiapkan sepeda untuk pulang, aku mencuri pandang ke dalam

toko. Kulihat dengan jelas Michele Yeoh mengintipku dari balik tirai keong itu. Ia

berlindung, tapi sama sekali tak menyembunyikan persaaannya. Aku kembali melayang

menembus bintang gemerlapan, menari-nari di atas awan, menyanyikan lagu nostalgia

Have I Told You Lately That I Love You. Aku menoleh lagi ke belakang, di situ, di

antara tumpukan kemiri basah yang tengik, kaleng-kaleng minyak tanah, dan karungkarung

pedak cumi aku telah menemukan cinta.

Kutatap Syahdan dengan senyum terbaik yang aku memiliki—ia membalas

dengan pandangan aneh—lalu kuangkat tubuhnya yang ekcil untuk mendudukkannya di

atas sepeda. Aku ingin, degnan gemira, mengayuh sepeda itu, membonceng Syahdan,

mengantarnya ke tempat-tempat di mana saja di jagad raya ini yang ia inginkan. Oh,

inilah rupanya yang disebut mabuk kepayang!

Dalam perjalanan pulang aku dengan sengaja melanggar perjanjian. Setelah

kuburan Tionghoa aku tak meminta Syahdan menggantikanku. Karena aku sedang

bersukacita. Seluruh energi positif kosmis telah memberiku kekuatan ajaib. Semua

terasa adil kalau sedang jatuh cinta. Cinta memang sering membuat perhitungan

menjadi kacau. Sepanjang perjalanan aku bersiul dengan lagu yang tak jelas. Lagu

tanpa harmoni; lagu yang belum pernah tercipta, karena yang menyanyi bukan mulutku,

tapi hatiku. Jika sedang tak bersiul di telingaku tak henti-henti berkumandang lagu All I

Seusai pelajarn aku dan Syahdan dipanggil Bu Mus untuk

mempertanggungjawabkan kapur yang kurang. Aku diam meatung, tak mau berdusta,

tak mau menjawab apa pun yang ditanyakan, dan tak mau membantah apa pun yang

dituduhkan. Aku siap menerima hukuman seberat apa pun—termasuk jikalau harus

mengambil ember yang kemarin dijatuhkan Trapani di sumur horor itu. Saat itu yang

ada di pikiranku hanyalah Michele Yeoh, Michele Yeoh, dan Michele Yeoh, serta

detik-detik ketika cinta menyergapku tadi. Hukuman yang kejam hanya akan

menambah sentimentil suasana romantis di mana aku rela masuk sumur maut dunia lain

sebagai pahlawan cinta pertama .... Ah! Cinta ...

Benar saja hukumannya seperti kuduga. Sebelum turun ke dalam sumur sempat

kulihat Bu Mus menginterogasi Syahdan yang mengangkat-angkat bahunya yang kecil,

menggeleng-gelengkan kepalanya, dan menyilangkan jarinya di kening.

“Hari! Ia menuduhku sudah sinting ...?”

BARU kali ini Mahar menjadi penata artistik karnaval, dan karnaval ini tidak main-main,

inilah peristiwa besar yang sangat penting, karnaval 17 Agustus. Sebenarnya guru-guru

kami agak pesimis karena alasan klasik, yaitu biaya. Kami demikian miskin sehingga tak

pernah punya cukup dana untuik membuat karnaval yang representatif. Para guru juga

merasa malu karena parade kami kumuh dan itu-itu saja. Namun, ada sedikit harapan

tahun ini. Harapan itu adalah Mahar.

Karnaval 17 Agustus sangat potensial untuk meningkatkan gengsi sekolah, sebab

ada penilaian serius di sana. Ada kategori busana terbaik, parade paling megah, peserta

paling serasi, dan yang paling bergengsi: penampil seni terbaik. Gengsi ini juga tak

terlepas dari integritas para juri yang dipimpin oleh seorang seniman senior yang sudah

kondang, Mbah Suro namanya. Mbah Suro adalah orang Jawa, ia seniman Yogyakarta

yang hijrah ke Belitong karena idealisme berkeseniannya. Karena sangat idelais maka

tentu saja Mbah Suro juga sangat melarat.

Seperti telah diduga siapa pun, seluruh kategori—mulai dari juara pertama sampai

juara harapan ketiga—selalu diborong sekolah PN. Kadang-kadang sekolah negeri

mendapat satu dua sisa juara harapan. Sekolah kampung tak pernah mendapat

penghargaan apa pun karena memang tampil sangat apa adanya. Tak lebih dari

Sekolah-sekolah negeri mampu menyewa pakaian adat lengkap sehingga tampil

memesona. Sekolah-sekolah PN lebih keren lagi. Parade mereka berlapis-lapis, paling

panjang, dan selalu berada di posisi paling strategis. Barisan terdepan adalah puluhan

sepeda keranjang baru yang dihias berwarna-warni. Bukan hanya sepedanya,

pengendaranya pun dihias dengan pakaian lucu. Lonceng sepeda dibunyikan dengan

keras bersama-sama, sungguh semarak.

Pada lapisan kedua berjejer mobil-mobil hias yang dindandani berbentuk perahu,

pesawat terbang, helikopter, pesawat ulang alik Apollo, taman bunga, rumah adat

Melayu, bahkan kapal keruk. Di atas mobil-mobil ini berkeliaran putri-putri kecil

berpakaian putih bersih, bermahkota, dengan rok lebar seperti Cinderella. Putri-putri peri

ini membawa tongkat berujung bintang, melambai-lambaikan tangan pada para penonton

yang bersukacita dan melempar-lemparkan permen.

Setelah parade mobil hias muncullah barisan para profesional, yaitu para murid

yang berdandan sesuai dengan cita-cita mereka. Banyak di antara mereka yang berjubah

putih, berkacamata tebal, dan mengalungkan stetoskop. Tentulah anak-anak ini nanti jika

sudah besar ingin jadi dokter.

Ada juga para insinyur dengan pakaian overalldan berbagai alat, seperti test pen,

obeng ,dan berbagai jenis kunci. Beberapa siswa membawa buku-buku tebal, mikroskop,

dan teropong bintang karena ingin menjadi dosen, ilmuwan, dan astronom. Selebihnya

berseragam pilot, pramugari, tentara, kapten kapal, dan polisi, gagah sekali. Gurugurunya

—di bawah komando Ibu Frischa—tampak sangat bangga, mengawal di depan,

belakang, dan samping barisan, masing-masing membawa handy talky.

Setelah lapisan profesi tadi muncul lapisan penghibur yang menarik. Inilah

kelompok badut-badut, para pahlawan super seperti Superman, Batman, dan Captain

America. Balon-balon gas menyembul-nyembul dibawa oleh kurcaci dengan tali-tali

setinggi tiang telepon. Dalam barisan ini juga banyak peserta yang memakai baju

binatang, mereka menjadi kuda, laba-laba, ayam jago, atau ular-ular naga. Mereka

menari-nari raing dengan koreografi yang menarik. Mereka juga bernyanyi-nyanyi

sepanjang jalan, mendendangkan lagu anak-anak yang riang. Yang paling menponjol dari

penampilan kelompok ini adalah serombongan anak-anak yang berjalan-jalan memakai

engrang. Di antara mereka ada seorang anak perempuan dengan egrang paling tinggi

melintas dengan tangkas tanpa terlihat takut akan jatuh. Dialah Flo, dan dia melangkah ke

sana kemari sesuka hatinya tanpa aturan. Penata rombongan ini susah payah

menertibkannya tapi ia tak peduli. Ayah ibunya tergopoh-gopoh mengikutinya, berteriak-teriak

menyuruhnya berhati-hati, Flo berlari-lari kecil di atas egrang itu membuat kacau

Penutup barisan karnaval sekolah PN adalah barisan marching band. Bagian yang

paling aku sukai. Tiupan puluhan trambon laksana sangkakala hari kiamat dan dentuman

timpani menggetarkan dadaku. Marching bandsekolah PN memang bukan sembarangan.

Mereka disponsori sepenuhnya oleh PN Timah. Koreografer, penata busana, dan penata

musiknya didatangkan khusus dari Jakarta. Tidak kurang dari seratus lima puluh siswa

terlibat dalam marching bandini, termasuk para colour guardyang atraktif. Tanpa

marching bandsekolah PN, karnaval 17 Agustus akan kehilangan jiwanya.

Puncak penampilan parade karnaval sekolah PN adalah saat barisan panjang

marching bandmembentuk fomrasi dua kali putaran jajaran genjang sambil memberi

penghormatan di depan podium kehormatan. Dengan penataan musik, koregrafi, dan

busana yang demikian luar biasa, marching bandPN selalu menyabet juara pertama

untuk kategori yang paling bergengsi tadi, yaitu Penampil Seni Terbaik. Kategori ini

sangat menekankan konsep performing artdalam trofinya adalah idaman seluruh peserta.

Sudah belasan tahun terakhir, tak tergoyahkan, trofi tersebut terpajang abadi di lemari

prestisius lambang supremasi sekolah PN.

Podium kehormatan merupakan tempat terhormat yang ditempati makhlukmakhluk

terhormat, yaitu Kepala Wilayah Operasi PN Timah, sekretarisnya, seseorang

yang selalu membawa walky talky, beberapa pejabat tinggi PN Timah, Pak Camat, Pak

Lurah, Kapolsek, Komandan Kodim, para Kepala Desa, para tauke, Kepala Puskesmas,

para Kepala Dinas, Tuan Pos, Kepala Cabang Bank BRI, Kepala Suku Sawang, dan

kepala-kepala lainnya, beserta ibu. Podium ini berada di tengah-tengah pasar dan di

sanalah pusat penonton yang paling ramai. Masyarakat lebih suka menonton di dekat

podium daripada di pinggir-pinggir jalan, karena di podium para peserta diwajibkan

beraksi, menunjukkan kelebihan, dan mempertontonkan atraksi andalannya sambil

memberi penghormatan. Di sudut podium itulah bercokol Mbah Suro dan para juri yang

akan memberi penilaian.

Bagi sebagian warga Muhammadiyah, karnaval justru pengalaman yang kurang

menyenangkan, kalau tidak bisa dibilang traumatis. Karnaval kami hanya terdiri atas

serombongan anak kecil berbaris banjar tiga, dipimpin oleh dua orang siswa yang

membawa spanduk lambang Muhammadiyah yang terbuat dari kain belacu yang sudah

lusuh. Spanduk itu tergantung menyedihkan di antara dua buah bambu kuning seadanya.

Di belakangnya berbaris para siswa yang memakai sarung, kopiah, dan baju takwa.

Mereka melambangkan tokoh-tokoh Sarekat Islam dan pelopor Muhammadiyah tempo

Samson selalu berpakaian seperti penjaga pintu air. Tentu bukan karena setelah

besar ia ingin jadi penjaga pintu air seperti ayahnya, tapi hanya itulah kostum karnaval

yang ia punya. Sedangkan pakaian tetap Syahdan adalah pakaian nelayan, juga sesuai

dengan profesi ayahnya. Adapun A Kiong selalu mengenakan baju seperti juri kunci

penunggu gong sebuah perguruan shaolin.

Sebagian besar siswa memakai sepatu bot tinggi, baju kerja terusan, dan helm

pengaman. Pakaian ini juga milik orangtuanya. Mereka memperagakan diri sebagai buruh

kasar PN Timah. Beberapa orang yang tidak memiliki sepatu bot atau helm tetap nekat

berparade memakai baju terusan. Jika ditanya, mereka mengatakan bahwa mereka adalah

buruh timah yang sedang cuti.

Selebihnya memanggul setandan pisang, jagung, dan semanggar kelapa. Ada pula

yang membawa cangkul, pancing, beberapa jerat tradisional, radio, ubi kayu, tempat

sampah, dan gitar. Agar lebih dramatis Syahdan membawa sekarung pukat, Lintang

meniup-niup peluit karena ia wasit sepak bola, sementara aku dan Trapani berlari ke sana

kemari mengibas-ngibaskan bendera merah karena kami adalah hakim garis.

Beberapa siswa memikul kerangka besar tulang belulang ikan paus, membawa

tanduk rusa, membalut dirinya dengan kulit buaya, dan menuntun beruk peliharaan—tak

jelas apa maksudnya. Seorang siswa tampak berpakaian rapi, memakai sepatu hitam,

celana panjang warna gelap, ikat pinggang besar, baju putih lengan panjang dan

menenteng sebuah tas koper besar. Siswa ajaib ini adalah Harun. Tak jelas profesi apa

yang diwakilinya. Di mataku dia tampak seperti orang yang diusir mertua.

Demikianlah karnaval kami seetiap tahun. Tak melambangkan cita-cita. Mungkin

karena kami tak berani bercita-cita. Setiap siswa disarankan memakai pakaian profesi

orangtua karena kami tak punya biaya untuk membuat atau menyewa baju karnaval.

Semuanya adalah wakil profesi kaum marginal. Maka dalam hal ini Kucai juga

berpakaian rapi seperti Harun dan ia melambai-lambaikan sepucuk kartu pensiun kepada

para penonton sebab ayahnya adalah pensiunan. Sedangkan beberapa adik kelasku

terpaksa tidak bisa mengikuti karnaval karena ayahnya pengangguran.

Satu-satunya daya tarik karnaval kami adalah Mujis. Meskipun bukan murid

Muhammadiyah namun tukang semprot nyamuk ini selalu ingin ikut. Dengan dua buah

tabung seperti penyelam di punggungnya dan topeng yang berfungsi sebagai kacamata

dan penutup mulut seperti moncong babi, ia menyemprotkan asap tebal dan anak-anak

kecil yang menonton di pinggir jalan berduyun-duyun mengikutinya.

Jika melewati podium kehormatan, biasanya kami berjalan cepat-cepat dan berdoa

agar parade itu cepat selesai. Nyaris tak ada kesenangan karena minder. Hanya Harun,

dengan koper zaman The Beatles-nya tadi yang melenggang pelan penuh percaya diri dan

melemparkan senyum penuh arti kepada para petinggi di podium kehormatan.

Mungkin dalam hati para tamu terhormat itu bertanya-tanya, “Apa yang dilakukan

anak-anak bebek ini?”

Kenyataan inilah yang memicu pro dan kontra di antara murid dan guru

Muhammadiyah setiap kali akan karnaval. Beberapa guru menyarankan agar jangan ikut

saja daripada tampil seadanya dan bikin malu. Mereka yang gengsian dan tak kuat mental

seperti Sahara jauh-jauh hari sudah menolak berpartisipasi. Maka sore ini, Pak Harfan,

yang berjiwa demokratis, mengadakan rapat terbuka di bawah pohon fillicium. Rapat ini

melibatkan seluruh guru dan murid dan Mujis.

Beliau diserang bertubi-tubi oleh para guru yang tak setuju ikut karnaval, tapi

beliau dan Bu Mus berpendirian sebaliknya. Suasana memanas. Kami terjebak di tengah.

“Karnaval ini adalah satu-satunya cara untuk menunjukkan kepada dunia bahwa

sekolah kita ini masih eksis di muka bumi ini. Sekolah kita ini adalah sekolah Islam yang

mengedepankan pengajaran nilai-nilai religi, kita harus bangga dengan hal itu!”

Suara Pak Harfan bergemuruh. Sebuah pidato yang menggetarkan. Kami bersorak

sorai mendukung beliau. Tapi tak berhenti sampai di situ.

“Kita harus karnaval! Apa pun yang terjadi! Dan biarlah tahun ini para guru tidak

ikut campur, mari kita beri kesempatan kepada orang-orang muda berbakat seperti Mahar

untuk menunjukkan kreativitasnya, tahukah kalian ... dia adalah seniman yang genius!”

Kali ini tepuk tangan kami yang bergemuruh, gegap gempita sambil berteriakteriak

seperti suku Mohawk berperang. Pak Harfan telah membakar semangat kami

sehingga kami siap tempur. Kami sangat mendukung keputusan Pak Harfan dan sangat

senang karena akan digarap oleh Mahar, teman kami sekelas. Kami mengelu-elukannya,

tapi ia tak tampak. Ooh, rupanya dia sedang bertengger di salah satu dahan filicium. Dia

Sebagai kelanjutan keputusan rapat akbar, Mahar serta-merta mengangkat A

Kiong sebagai General Affair Assistant, yaitu pembantu segala macam urusan. A Kiong

mengatakan padaku tiga malam dia tak bisa tidur saking bangganya dengan penunjukan

itu. Dan telah tiga malam pula Mahar bersemadi mencari inspirasi. Tak bisa diganggu.

Kalau masuk kelas Mahar diam seribu bahasa. Belum pernah aku melihatnya

seserius ini. Ia menyadari bahwa semua orang berharap padanya. Setiap hari kami dan

para guru menunggu dengan was was konsep seni kejutan seperti apa yang akan ia

tawarkan. Kami menunggu seperti orang menunggu buku baru Agatha Christie. Jika kami

ingin berbicara dengannya dia buru-buru melintangkan jari di bibirnya menyuruh kami

diam. Menyebalkan! Tapi begitulah seniman bekerja. Dia melakukan semacam riset,

mengkhayal, dan berkontemplasi.

Dia duduk sendirian menabuh tabla, mencari-cari musik, sampai sore di bawah

filicium. Tak boleh didekati. Ia duduk melamun menatap langit lalu tiba-tiba berdiri,

mereka-reka koreografi, berjingkrak-jingkrak sendiri, meloncat, duduk, berlari

berkeliling, diam, berteriak-teriak seperti orang gila, menjatuhkan tubuhnya, berguling-guling di

tanah, lalu dia duduk lagi, melamun berlama-lama, bernyanyi tak jelas, tiba-tiba

berdiri kembali, berlari ke sana kemari. Tak ada ombak tak ada angin ia menyeruduk-nyeruduk

seperti hewan kena sampar.

Apakah ia sedang menciptakan sebuah master piece? Apakah ia akan berhasil

membuktikan sesuatu pada event yang mempertaruhkan reputasi ini? Apakah ia akan

berhasil membalikkan kenyataan sekolah kami yang telah dipandang sebelah mata dalam

karnaval selama dua puluh tahun? Apakah ia benar-benar seorang penerobos, seorang

pendobrak yang akan menciptakan sebuah prestasi fenomenal? Haruskan ia menanggung

beban seberat ini? Bagaimanapun ia masih tetap seorang anak kecil.

Kuamati ia dari jauh. Kasihan sahabatku seniman yang kesepian itu, yang tak

mendapatkan cukup apresiasi, yang selalu kami ejek. Wajahnya tampak kusut semrawut.

Sudah seminggu berlalu, ia belum juga muncul dengan konsep apa pun.

Lalu pada suatu Sabtu pagi yang cerah ia datang ke sekolah dengan bersiul-siul.

Kami paham ia telah mendapat pencerahan. Jin-jin telah meraupi wajah kucel kurang

tidurnya dengan ilham, dan Dionisos, sang dewa misteri dan teater, telah meniup ubun-ubunnya

subuh tadi. Ia akan muncul dengan ide seni yang seksi. Kami sekelas dan

banyak siswa dari kelas lain serta para guru merubungnya. Ia maju ke depan siap

mempresentasikan rencananya. Wajahnya optimis.

Semua diam siap mendengarkan. Ia sengaja mengulur waktu, menikmati

ketidaksabaran kami. Kami memang sudah sangat penasaran. Ia menatap kami satu per

satu seperti akan memperlihatkan sebuah bola ajaib bercahaya pada sekumpulan anak

“Tak ada petani, buruh timah, guru ngaji, atau penjaga pintu air lagi utnuk

karnaval tahun ini!” teriaknya lantang, kami terkejut.

Dan ia berteriak lagi.

“Semua kekuatan sekolah Muhammadiyah akan kita satukan untuk satu hal!!!”

Kami hanya terperangah, belum mengerti apa maksudnya, tapi Mahar optimis

“Apa itu Har? Ayolah, bagaimana nanti kami akan tampil, jangan bertele-tele!”

tanya kami penasaran hampir bersamaan. Lalu inilah ledakan ide gemilangnya.

“Kalian akan tampil dalam koreografi massal suku Masai dari Afrika!”

Kami saling berpandangan, serasa tak percaya dengan pendengaran sendiri. Ide

itu begitu menyengat seperti belut listrik melilit lingkaran pinggang kami. Kami masih

kaget dengan ide luar biasa itu ketika Mahar kembali berteriak menggelegar

melambungkan gairah kami.

“Lima puluh penari! Tiga puluh penabuh tabla! Berputar-putar seperti gasing, kita

ledakkan podium kehormatan!”

Oh, Tuhan, aku mau pingsan. Serta-merta kami melonjak girang seperti

kesurupan, bertepuk tangan, bersorak sorai senang membayangkan kehebohan

penampilan kami nanti. Mahar memang sama sekali tak bisa diduga. Imajinasinya liar

meloncat-loncat, mendobrak, baru, dan segar.

“Dengan rumbai-rumbai!” kata suara keras di belakang. Suara Pak Harfan sok

tahu. Kami semakin gegap gempita. Wajah beliau sumringah penuh minat.

“Dengan bulu-bulu ayam!” sambung Bu Mus. Kami semakin riuh rendah.

“Dengan surai-surai!”

“Dengan lukisan tubuh!”

Demikian guru-guru lain sambung-menyambung.

“Belum pernah ada ide seperti ini!” kata Pak Harfan lagi.

Para guru mengangguk-angguk salut dengan ide Mahar. Mereka salut karena

selain karena menampilkan sesuatu yang berbeda, menampilkan suku terasing di Afrika

adalah ide yang cerdas. Suku itu tentu berpakaian seadanya. Semakin sedikit

pakaiannya—atau dengan kata lain semakin tidak berpakaian suku itu—maka anggaran

biaya untuk pakaian semakin sedikit. Ide Mahar bukan saja baru dan yahud dari segi nilai

seni tapi juga aspiratif terhadap kondisi kas sekolah. Ide yang sangat istimewa.

Seluruh kalangan di perguruan Muhammadiyah sekarang menjadi satu hati dan

mendukung penuh konsep Mahar. Semangat kami berkobar, kepercayaan diri kami

meroket. Kami saling berpelukan dan meneriakkan nama Mahar. Ia laksana pahlawan.

Kami akan menampilkan sebuah tarian spektakuler yang belum pernah ditampilkan

sebelumnya. Dengan suara tabla bergemuruh, dengan kostum suku Masai yang eksotis,

dengan koreografi yang memukau, maka semua itu akan seperti festival Rio. Kami sudah

membayangkan penonton yang terpesona. Kali ini, untuk pertama kalinya, kami berani

Setelah itu, setiap sore, di bawah pohon filicium, kami bekerja keras berhari-hari

melatih tarian aneh dari negeri yang jauh. Sesuai dengan arahan Mahar tarian ini harus

dilakukan dengan gerakan cepat penuh tenaga. Kaki dihentakkan-hentakkan ke bumi,

tangan dibuang ke langit, berputar-putar bersama membentuk formasi lingkaran,

kemudian cepat-cepat menunduk seperti sapi akan menanduk, lalu melompat berbalik,

lari semburat tanpa arah dan mundur kembali ke formasi semula dengan gerakan seperti

banteng mundur. Kaki harus mengais tanah dengan garang. Demikian berulang-ulang.

Tak ada gerakan santai atau lembut, semuanya cepat, ganas, rancak, dan patah-patah.

Mahar menciptakan koreografi yang keras tapi penuh nilai seni. Asyik ditarikan dan

merupakan olah raga yang menyehatkan.

Tahukah Anda apa yang dimaksud dengan bahagia? Ialah apa yang aku rasakan

sekarang. Aku memiliki minat besar pada seni, akan membuat sebuah performing art

bersama para sahabat karib—dan kemungkinan ditonton oleh cinta pertama? Aku

mengalami kebahagiaan paling besar yang mungkin dicapai seorang laki-laki muda.

Kami sangat menyukai gerakan-gerakan nerjik rekaan Mahar dan kuat dugaanku

bahwa kami sedang menarikan kegembiraan suku Masai karena sapi-sapi peliharaannya

baru saja beranak. Selain itu selama menari kami harus meneriakkan kata-kata yang tak

kami pahami artinya seperti, “Habuna! Habuna! Habuna! Baraba...

baraba...baraba..habba...habba..homm!”

Ketika kami tanyakan makna kata-kata itu, dengan gaya seperti orang memiliki

pengetahuan yang amat luas sampai melampaui benua Mahar menjawab bahwa itulah

pantun orang Afrika. Aku baru tahu ternyata orang Afrika juga memiliki kebiasaan

seperti orang Melayu, gemar berpantun. Aku simpan baik-baik pengetahuan ini.

Namun mengenai maksud, ternyata aku salah duga. Semula aku menyangka

bahwa kami berdelapan—karena Sahara tak ikut dan Mahar sendiri menjadi pemain

tabla—adlaah anggota suku Masai yang gembira karena sapi-sapinya beranak. Tapi

ternyata kami adalha sapi-sapi itu sendiri. Karena setelah kami menari demikian riang

gembira, kemudian kami diserbu oleh dua puluh ekor cheetah. Mereka mengepung,

mencabik-cabik harmonisasi formasi tarian kami, meneror, menerkam, mengelilingi

kami, dan mengaum-aum dengan garang. Lalu situasi menjadi kritis dan kacau balau bagi

paras api dan pada saat itulah menyerbu dua puluh orang Moran atau prajurit Masai yang

sangat terkenal itu. Prajurit-prajurit ini menyelamatkan para sapi dan berkelahi dengan

cheetah yang menyerang kami. Gerakan cheetah itu direka-reka Mahar dengan sangat

genius sehingga mereka benar-benar tampak seperti binatang yang telah tiga hari tidak

makan. Sedangkan para Moran dilatih lebih khusus sebab menyangkut keterampilan

memainkan properti-properti seperti tombak, cambuk, dan parang.

Demikianlah cerita koreografi Mahar. Keseluruhan fragmen itu diiringi oleh

tabuhan tiga puluh tabla yang lantang bertalu-talu memecah langit. Para penabuh tabla

juga menari-nari dengan gerakan dinamis memesona. Hasil akhirnya adalah sebuah

drama seru pertarungan massal antara manusia melawan binatang dalam alam Afrika

yang liar, sebuah karya yang memukau, master piece Mahar.

Nuansa karnaval semakin tebal menggantung di awan Belitong Timur. Hari H

semakin dekat. Seluruh sekolah sibuk dengna berbagai latihan. Marching band sekolah

PN sepanjang sore melakukan geladi sepanjang jalan kampung. Baru latihannya saja

penonton sudah membludak. Meneror semangat peserta lain.

Tapi kami tak gentar. Situasi moril kami sedang tinggi. Melihat kepemimpinan,

kepiawaian, dan gaya Mahar kepercayaan diri kami meletup-letup. Ia tampil laksana para

event organizer atau para seniman, atau mereka yang menyangka dirinya seniman.

Pakaiannya serba hitam dengan tas pinggang berisi walkman, pulpen, kacamata hitam,

batu baterai, kaset, dan deodoran. Kami mengerahkan seluruh sumber daya civitas

akademika Muhammadiyah. Latihan kami semakin serius dan yang palihng sering

membaut kesalahan adalah Kucai. Meskipun dia ketua kelas tapi di panggung sandiwara

ini Maharlah yang berkuasa.

Mahar mencoba menjelaskan maksudnya dengan berbagai cara. Kadang-kadang

ia demikian terperinci seperti buku resep masakan, dan lebih sering ia merasa frustrasi.

Namun, kami sangat patuh pada setiap perintahnya walaupun kadang-kadang tidak

masuk akal. Tapi ini seni, Bung, tak ada hubungannya dengan logika.

“Dalam tarian ini kalian harus mengeluarkan seluruh energi dan harus tampak

gembira! Bersukacita seperti karyawan PN baru terima jatah kain, seprti orang Saqwang

dapat utangan, seperti para pelaut terdampar di sekolah perawat!”

Aku sungguh kagum dari mana Mahar menemukan kata-kata seperti itu. Ketika

istirahat A Kiong berbisik pada Samson, “Son, aku baru tahu kalau di Belitong ada

sekolah perawat di pinggir laut?”

Rupanya bisikan polos itu terdengar oleh Sahara yang kemduian, seperti biasa,

merepet panjang mencela keluguan A Kiong, “Apa kau tak paham kalau itu

perumpamaan! Banyak-banyaklah membaca buku sastra!”

Sebuah Kejahatan Terencana

DAN tibalah hari karnaval. Hari yang sangat mendebarkan. Mahar merancang pakaian

untuk cheetah dengan bahan semacam terpal yang dicat kuning bertutul-tutul sehingga

dua puluh orang adik kelasku benar-benar mirip hewan itu. Wajah mereka dilukis seperti

kucing dan rambut mereka dicat kuning menyala-nyala dengan bahan wantek.

Tiga puluh pemain tabla seluruh tubuhnya dicat hitam berkilat tapi wajahnya dicat

putih mencolok sehingga menimbulkan pemandangan yang sangat aneh. Sedangkan dua

puluh Moran atau prajurit Masai sekujur tubuhnya dicat merah, mereka menggunakan

penutup kepala berupa jalinan besar ilalang, membawa tombak panjang, dan mengenakan

jubah berwarna merah yang sangat besar. Tampak sangat garang dan megah.

Tampaknya Mahar memberi perhatian istimewa pada delapan ekor sapi. Pakaian

kami paling artistik. Kami memakai celana merah tua yang menutup pusar sampai ke

bawah lutut. Seluruh tubuh kami dicat cokelat muda seperti sapi Afrika. Wajah dilukis

berbelang-belang. Pergelangan kaki dipasangi rumbai-rumbai seperti kuda terbang

dengan lonceng-lonceng kecil sehingga ketika melangkah terdengar suara gemerincing

semarak. Di pinggang dililitkan selendang lebar dari bahan bulu ayam. Kami juga

memakai beragam jenis aksesoris yang indah, yaitu anting-anting besar yang dijepit dan

gelang-gelang yang dibuat dari akar-akar kayu.

Yang paling istimewa adalah penutup kepala. Tak cocok jika disebut topi, tapi

lebih sesuai jika disebut mahkota seribu rupa. Mahkota ini sangat besar, dibuat dari lilitan

kain semacam stagen yang sangat panjang. Lalu berbagai jenis benda diselipkan, dijepit,

atau dijahit pada stagen itu. Puluhan bulu angsa dan belibis, berbagai jenis perdu

sepanjang hampir satu meter, dahan sapu-sapu, berbagai bunga liar, berbagai jenis daun,

dan bendera-bendera kecil. Empat hari Sahara membuat mahkota hebat ini. Lalu

punggung kami dipasangi sesuatu seperti surai kuda, bahannya—seperti tertulis pada

sketsa—adalah tali rafia. Kami adalah sapi yang anggun dan megah.

Inilah rancangan adiguna karya Mahar. Secara umum kami tidak tampak seperti

sapi. Dilihat dari belakang kami lebih mirip manusia keledai, dari samping seperti ayam

kalkun, dari atas seperti sarang burung bangau. Jika dilihat dari wajah, kami seperti

Aksesori yang tampaknya biasa saja adlaah untaian kalung. Juga sesuai dengan

sketsa rancangan Mahar, kami akan memakai kalung besar yang terbuat dari benda-benda

bulat sebesar bola pingpong berwarna hijau. Tak ada yang istimewa dengan kalung ini

dan tak seorang pun mau membicarakannya. Kami sibuk membahas mahkota kami. Kami

yakin mahkota ini akan membuat orang kampung ternga-nga mulutnya dan wanita-wanita

muda di kawasan pasar ikan berebutan kirim salam.

Tak disangka ternyata kalung yang tak menarik perhatian itulah sesungguhnya

sentral ide seluruh koreografi ini. Tak ada seorang yang menduga bahwa pada untaian

anak-anak kalung itu Mahar menyimpan rahasia terdalam daya magis penampilan kami,

yang membuatnya tidak tidur tiga hari tiga malam. Sesungguhnya kalung itulah puncak

tertinggi kreativitas Mahar.

Setelah seluruh pakaian siap, Mahar mengeluarkan aksesori terakhir dari dalam

karung, yaitu kalung tadi. Jumlahnya delapan sejumlah sapi. Kami semakin girang. Tentu

Mahar telah bersusah payah sendirian membuatnya. Kalung itu dibuat dari buah pohon

aren yang masih hijau sebesar bola pingpong yang ditusuk seperti sate dengan tali rotan

kecil. Kami berebutan memakainya. Tak banyak pengetahuan kami mengenai buah hutan

ini. Sebelum parade kami berkumpul berpegangan tangan, menundukkan kepala untuk

Seperti telah kami duga, sambutan penonton di sepanajng jalan sangat luar biasa.

Mereka bertepuk tangan dan berlarian mengikuti dari belakang untuk melihat penampilan

kami di depan podium kehormatan.

Menjelang podium kami mendengar gelegar suara sepuluh unit trimpani, yaitu

drum terbesar. Suaranya menggetarkan dada dan ditimpali oleh suara membahana

puluhan instrumen brass mulai dari tuba, horn, trombon, klarinet, trompet, saksopon tenor

dan bariton yang dimainkan puluhan siswa. Marching band sekolah PN sedang beraksi!

Pakaian pemain marching band dibedakan berdasarkan instrumen yang

dimainkan. Yang paling gagah adalah barisan bass drum yang tampil menggunakan

pakaian prajurit Romawi. Mereka membuat helm bertanduk runcing dan benar-benar

mencetak aluminium menjadi rompi lalu mengecatnya dengan warna kuningan. Pemain

simbal memakai rompi berwarna-warni dan bawahan celana panjang biru yang

dimasukkan dalam sepatu bot Pendragon yang mahal setinggi lutut. Mereka seperti

sekawanan ksatria yang baru turun dari punggung kuda-kuda putih. Marching band PN

tampil semakin baik setiap tahun. Mereka selalu menunjukkan bahwa mereka yang

Sebagai entry podium kehormatan mereka melantunkan Glenn Miller’s In the

Mood dengan interpretasi yang pas. Penonton melenggak-lenggok diayun irama swing

yang asyik. Para colour guard serta-merta menyesuaikan koreografinya dengan gaya

kabaret khas tahun 60-an. Panggung kasino Las Vegas segera berpindah ke sudut pasar

ikan Belitong yang kumuh. Setiap siswa yang terlibat dalam marching band ini belum-belum sudah

mengumbar senyum kemenangan seolah seperti tahun-tahun lalu: Penampil

Seni Terbaik tahun ini pasti mereka sabet. Tapi jika menyaksikan mereka beraksi

agaknya keyakinan itu memang sangat beralasan.

Sebagai puncak atraksi di depan podium mereka membawakan Concerto for

Trumpet dan Orchestra yang biasa dilantunkan Wynton Marsalis. Dalam nomor ini

penampilan mereka amat mengagumkan. Agaknya mereka sudah bisa dikompetisikan di

luar negeri. Komposisi ini sesungguhnya adalah musik klasik karya Johann Hummel tapi

oleh Marching Band PN dibawakan kembali dalam aransemen big band dengan kekuatan

brass section yang memukau.

Bagian intro Concerto indah itu diisi atraksi lima belas pemain blira dengan

pecahan suara satu, dua, dan tiga. Lalu ikut bergabung hentakan-hentakan sepuluh pasang

simbal, bass drum, dan timpani. Tempo dan bahana mereka pelankan ketika puluhan

snare drum mengambil alih. Jiwa siapa pun yang mendengarnya akan tergetar. Belum

tuntas sensasi penonton dengan buaian snare drum yang cantik rancak tiba-tiba para

colour guard memasuki medan, membentuk formasi dan menampilkan tarian

kontemporer yang memikat. Bayangkan indahnya: sebuah big band dengan kekuatan

brasss, kostum yang gemerlapan, dan koreografi kontemporer.

Ribuan penonton bertepuk tangan kagum. Kemudian mereka bersorak-sorai

ketika tiga orang mayoret—ratu segala pesona—dengan sangat terampil melempar-lemparkan

tongkatnya tanpa membuat kesalahan sedikit pun. Para mayoret cantik,

bertubuh ramping tinggi, dengan senyum khas yang dijaga keanggunannya, meliuk-liuk

laksana burung merak sedang memamerkan ekornya.

Wanita-wanita muda yang meloncat dari gambar-gambar di almanak ini

mengenakan rok mini degnan stocking berwarna hitam dan sepatu bot Cortez metalik

tinggi sampai ke lutut. Sarung tangannya putih sampai ke lengan atas dan mereka

bergerak demikian lincah tanpa sedikit pun terhalangi hak sepatunya yang tinggi.

Topinya adalah baret putih yang diselipi selembar bulu angsa putih bersih seperti topi

Robin Hood. Mereka tidak sekadar mayoret, mereka adalah pergawati. Langkahnya cepat

panjang-panjang dan sering kali memekik memberi perintah. Pandangannya menyapu

seluruh penonton seperti tipuna sihir yang membius.

Wajahnya mencerminkan suatu kebiasaan bergaul dengan barang-barang impor

dan tidak mau menghabiskan waktu untuk soal remeh-temeh. Jika sore mereka berjalan-jalan

dengan beberapa ekor anjing chihuahua dan malam hari makan di bawah temaram

cahaya lilin. Tak pernah kekenyangan dan tak pernah berserdawa. Garis matanya

memperlihatkan kemanjaan, kesejahteraan dan masa depan yang gilang gemilang.

Mereka seperti orang-orang yang tak’kan pernah kami kenal namanya, seperti orang yang

berasal dari tempat yang sangat jauh dan hanya mampir sebentar untuk membuat kami

ternganga. Mereka seperti orang-orangy ang hanya memakan bunga-bunga putih melati

dan emngisap embun utnuk hidup. Jubahnya dari bahan sutera berkilat, berkibar-kibar

tertiup angin, menebarkan bau harum memabukkan.

Sementara di sini, di sudut ini, kami terpojok di pinggir, seperti segerombolan

spesies primata aneh yang menyembul-nyembul dari sela-sela akar pohon beringin.

Hitam, kumal, dan coreng-moreng, terheran-heran melihat gemerlap dunia. Tapi kami

segera membentuk barisan, tak surut semangat, tak sabar menunggu giliran.

Segera setelah ujung Marching Band PN meninggalkan arena podium dan

perlahan-lahan menghilang bersama lagu syahdu penutup sensasi: Georgia on My Mind,

diiringi tepuk tangan dan suitan panjang penonton, seketika itu juga, tanpa membuang

tempo, dengan amat ejli mencuri momen, secara sangat mendadak Mahar bersama tiga

puluh pemain tabla menghambur tak beraturan menguasai arena depan podium. Gerakan

mereka mengagetkan. Dengan dentuman tabla bertalu-talu serta tingkah tarian yang

sangat dinamis, penonton pun terperanjat. Mahar menyajikan pemandangan natural, asli,

yang sama sekali kontras dengan marching band modern. Melalui lantakan tabla sekuat

tenaga dan gerak tari seperti ratusan monyet sedang berebutan dengan tupai menjarah

buah kuini, Mahar menyeret fantasi penonton ke alam liar Afrika.

Penonton terbelalak menerima sajian musik etnik menghentak yang tak didugaduga.

Mereka berdesak-desakan maju merepotkan para pengaman. Para penonton terbius

oleh irama yang belum pernah mereka dengar dan pakaian serta tarian yang belum pernah

mereka lihat. Demi mendengar lengkingan tabla yang memecah langit, barisan Marching

Band PN terpecah konsentrasinya dan berbalik arah ke podium. Mereka membubarkan

diri tanpa komando lalu bergabung dengan para penonton yang terpaku. Mereka

keheranan melihat tarian liar yang tak seperti Campak Darat, yaitu tarian Belitong paling

kuno dengan gerakan tetap maju mundur, dan irama yang tak seperti Betiong yakni irama

asli Belitong yang biasa mereka dengar. Sebaliknya yang mereka saksikan adalah

gerakan rancak tanpa pola dan ekspresi bebas spontan dari tubuh-tubuh muda yang lentik

meliuk-liuk seperti gelombang samudra, garang seperti luak, dan menyengat laksana

lebah tanah. Koreografi Mahar berkarakter dance drumming dari suku-suku sub Sahara

yang mengandung fragmen survival ribuan tahun dari spesies yang hidup saling

memangsa. Inilah adzohu, sebuah manifestasi perjuangan eksistensi dalam metafora

gesture tubuh manusia yang memaknai ketukan tabla laksana tiupan mantra-mantra nan

magis. Koreografi ini mengandung tenaga gaib yang emnyihir. Mahar memvisualisasikan

alam ganas di mana hukum rimba berkuasa. Maka musik tari ini tak hanya mendetak

degup jantung karena tabla yang berdentum-dentum tapi membran vibrasinya juga

menggetarkan jiwa karena tenaga mistik sebuah ritual suci siklus hidup.

Penonton semakin merangsek ke depan dan mulai terpukau pada tarian etnik

Afrika yang eksotis. Mereka mengamati satu per satu wajah kami yang tersamar dalam

coreng moreng, ingin tahu siapa penampil tak biasa ini. Namun tanpa disadari tubuh

mereka bergerak-gerak patah-patah mengikuti potongan-potongan irama yang

dilantakkan dan tanpa diminta tepuk tangan, siulan, dan sorak-sorai ribuan penonton

membahana menyambut kejutan aksi seksi tabla. Penonton riuh rendah berdecak kagum.

Pada detik itu aku tahu bahwa penampilan kami telah berhasil. Mahar telah melakukan

entry dengan sukses. Semua seniman panggung mengerti jika entry telah sukses biasanya

seluruh pertunjukan akan selamat. Para hadirin telah terbeli tunai!

Kesuksesan entry pemain tabla mengangkat kepercayaan diri kami sampai level

tertinggi. Kami, delapan ekor sapi, yang akan tampil pada plot kedua, gemetar menunggu

aba-aba dari Mahar untuk menerjang arena. Kami tak sabar dan rasanya kaki sudah gatal

ingin mendemonstrasikan kehebatan mamalia menari. Kami adalah remaja-remaja

kelebihan energi dan lapar akan perhatian. Lima belas meter dari tempat kami berdiri

adalah arena utama dan kami mengambil ancang-ancang laksana peluru-peluru meriam

yang siap diledakkan. Sangat mendebarkan, apalagi penonton semakin menggila tak

terkendali mengikuti ketukan tabla. Mereka membentuk lingkaran yang rapat, ikut

menari, bertepuk tangan, bersuit-suit panjang, dan berteriak-teriak histeris.

“Tabahkan hati kalian, keluarkan seluruh kemampuan!” ledak Bu Mus memberi

semangat kepada kami, para mamalia. Pak Harfan sudah tidak bisa bicara apa-apa.

Tangannya membekap dada seperti orang berdoa.

Tapi di tengah penantian menegangkan itu aku merasakan sedikit keanehan di

lingkaran leherku. Seperti ada kawat panas menggantung. Aku juga merasa heran melihat

warna telinga teman-temanku yang berubah menjadi merah, demikian pula kalung kami,

membentuk lingkaran berwarna kelam di kulit. Aku merasakan panas pada bagian dada,

wajah, dan telinga, lalu rasa panas itu berubah menjadi gatal.

Dalam waktu singkat rasa gatla meningkat dan aku mulai menggaruk-garuk di

seputar leher. Sekarang kami sadar bahwa rasa gatal itu berasal dari getah buah aren yang

menjadi mata kalung kami. Hasil rancangan adibusana Mahar. Buah aren yang ditusuk

dengan tali rotan itu mengeluarkan getah yang pelan-pelan melelh di lingkaran leher.

Rasa gatal itu semakin menjadi-jadi tapi kami takb isa berbuat apa-apa karena untuk

melepaskan kalung itu berarti harus melepaskan mahkota. Dan melepaskan mahkota

besar yang beratnya hampir satu setengah kilogram ini bukan persoalan mudah. Mahkota

raksasa ini sengaja dirancang Mahar untuk dikenakan dengan lilitan tiga kali melalui

dagu sehingga tanpa bantuan seseorang tak mungkin membukanya sendiri. Tak mungkin

melakukan itu apalagi Mahar sekarang telah melakukan gerakan seperti menyembah-nyembah ke

arah kami. Itulah isyarat kami harus masuk dan beraksi.

Maka semua usaha untuk berbuat sesuatu pada kalung itu terlambat dan yang

terjadi berikutnya tak ‘kan pernah kulupakan seumur hidupku. Kami menyerbu arena

dengan semangat spartan. Tepuk tangan penonton bergemuruh. Pada awalnya kami

menari bersukacita sesuai dengan skenario. Lalu kami, para sapi ini, mulai bergerakgerak

aneh dan sedikit melenceng dari gerakan seharusnya karena kami diserang oleh

rasa gatal yang luar biasa.

Rasa gatal ini begitu dahsyat. Aku tak pernah merasakan gatal demikian hebat dan

jelas berasal getah buah aren muda yang menjadi mata kalung kami. Pertama-tama

rasanya panas, perih, lalu geli dan gatal sekali. Jika digaruk bukannya sembuh tapi akan

semakin menjadi-jadi, bertambah gatal dua kali lipat. Karena gerakan kami rancak

dengan tangan mengibas-ngibas ke sana kemari maka getah aren itu menyebar ke seluruh

tubuh. Sekarang seluruh tubuh kami dilanda gatal tak tertahankan.

Kami berusaha tidak menggaruk-garuk karena hal itu akan merusak koreografi,

kami bertekad mengalahkan Marching Band PN. Selain itu menggaruk hanya akan

memperparah keadaan, maka kami bertahan dalam penderitaan. Satu-satunya cara

mengalihkan siksaan gatal adalah dengan terus-menerus bergerak jumpalitan seperti

orang lupa diri. Maka sekarang kami bergerak sendiri-sendiri tak terkendali seperti orang

kesetanan. Kami berteriak-teriak, meraung, saling menanduk, saling menerkam, saling

mencakar, merayap, berguling-guling di tanah, menggelepar-gelepar. Semua itu tak

terdapat dalam skenario. Lintang komat-kamit tak jelas dan matanya memerah seperti

buah saga. Trapani sama sekali menguap ketampanannya, wajah manisnya berubah

menjadi wajah algojo yang sedang kalap. Sedangkan A Kiong menampar-nampar dirinya

sendiri dengan keras seperti orang kesurupan. Telinganya seolah mengeluarkan asap dan

wajahnya seperti kaleng biskuit Roma. Wajah kami memerah seperti terbakar api dan

urat-urat lengan bertimbulan menahankan gatal.

Kami bergerak demikian beringas, berjingkrak-jingkrak seperti sekaleng cacing

yang dicurahkan di atas aspal yang panas mendidih. Sebaliknya, melihat kami sangat

menjiwai, para pemain tabla pun terbakar semangatnya. Mereka mempercepat tempo

untuk mengikuti gerakan-gerakan liar kami. Kami menari dengan tenaga dua kali lipat

dari latihan dan gerakan dua kali lebih cepat dari seharusnya. Kami seolah berkejaran

dengan tabuhan tabla. Menimbulkan pemandangan yang menakjubkan. Bahkan orang

Afrika sendiri tak pernah menari sehebat ini.

Sesungguhnya maksud kami bukan itu. Tapi kami senewen menanggungkan

gatal. Penonton yang tidak memahami situasi mengira suara tabla itu mengandung sihir

dan telah membuat kami, delapan ekor sapi ini, kesurupan, maka mereka bertepuk tangan

gegap gempita karena kagum dengan daya magis tarian Afrika. Mereka berteriak-teriak

histeris memberi semangat dan salut kepada kami yang mampu mencapai penghayatan

setinggi itu. Penonton semakin merapat dan petinggi di podium kehormatan menghambur

ke depan meninggalkan tempat-tempat duduknya yang teduh dan nyaman. Mereka

berebutan menyaksikan kami dari dekat. Mereka takjub dengan sebuah pemandangan

aneh. Bagi mereka ini adalah ekspresi seni yang luar biasa. Sementara kami semakin

tunggang-langgang, berputar-putar seperti gasing. Kami sudah tak peduli dengan pantun

Afrika yang harusnya kami lantunkan. Teriakan kami sekarang menjadi:

“Hushhhhhhh ...hushh...hushhhh! Habbaa...habbbaaa... habbaaaa...!!!”

Penonton malah mengira itu mantra-mantra gaib. Aku melirik Mahar. Aneh

sekali, wajahnya tapak senang tak alang kepalang, gembira bukan main. Ia tampak sangat

setuju dengan seluruh gerakan gila kami walaupun tidak seperti yang dilatihkannya dulu.

“Terus Kawan, hebat sekali, ayo berguling-guling, inilah maksudnya,” bisiknya di

antara kami sambil berlari-lari memikul tabla. Aku mulai curiga. Tapi aku tak sempat

berpikir jauh karena kami sekarang sedang diserang oleh dua puluh ekor cheetah.

Suasana semakin seru. Kami semakin sinting karena gatal dan panas. Kami merasa sangat

haus, menderita dehidrasi. Ketika cheetah menyerang, kami berbalik menyerang. Kami

sudah lupa diri. Seharusnya hal ini tak terjadi. Skenarionya tidak begitu.

Skenarionya adalah kami seharusnya menguik-nguik ketakutan sampai prajurit

Masai, Moran yang gagah berani itu, datang sebagai pahlawan untuk menyelamatkan

kami. Tapi sebaliknya sekarang kami dengan beringas membalas serangan cheetah

karena kami tak mungkin diam, jika diam rasa gatal rasanya akan memecahkan pembuluh

Para cheetah kebingungan. Ketika mereka menerjang kami membalas, cheetah

berlari kocar-kacir dan kembali menyerang, demikian terjadi berulang-ulang. Namun

anehnya skenario yang kacau balau tak direncanakan ini justru memunculkan karakter

asli binatang yang pada suatu ketika bisa demikian ganas tanpa ampun dan pada keadaan

yang lain terbirit-birit ketakutan jika kekuatannya tak berimbang. Sebaliknya sekali lagi

kulirik Mahar. Ia senang sekali dengan improvisasi spontan ini, tabuhan tablanya

semakin ganas. Senyumnya mengembang. Tak pernah aku melihatnya sebahagia itu.

Surai kuda, selendang yang melilit pinggang, dan mahkota kami melambai-lambai

eksotis karena kami melonjak-lonjak tak terkendali. Kami menari seperti orang dirasuki

iblis yang paling jahat, seperti ditiup Lucifer sang raja hantu. Arena semakin membara

dan gairah tarian mendidih ketika dua puluh prajurit Masai menyerbu masuk untuk

menyelamatkan kami, yang terjadi adalah pertarungan dahsyat antara sapi dan prajurit

Masai melawan dua puluh ekor cheetah. Ada enam puluh penari termasuk pemain tabla

yang sekarang saling menyerang dalam hentakan musik Masai. Penonton riuh rendah

dalam kekaguman. Para fotografer sampai kehabisan film.

Pasir-pasir halus yang bertaburan di atas arena membubung menjadi debu tebal

yang mengaburkan pandangan. Debu itu mengelilingi kami yang berputar seperti pusaran

angin. Di tengah pusaran itu kami bertempur habis-habisan dalam sebuah ritual liar alam

Afrika yang kami tarikan seperit binatang buas yang terluka. Dalam kekacaubalauan

terdengar teriakan-teriakan hsiteris, auman binatang, dan suara tabla berdentum-dentum.

Keseluruhan koreografi yang menampilkan fragmen pertempuran manusia melawan

binatang dengan gerakan spontan di depan podium kehormatan itu ternyata menghasilkan

karya seni yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Sebuah formasi gerakan chaos orisinal

yang tercipta secara tidak sengaja. Para penonton tersihir melihat kami trance secara

kolektif, mereka tersentak dalam histeria menyaksikan pemandangan magis yang

menkjubkan. Sebuah pemandangan eksotis dari totalitas tarian yang menciptakan efek

seni yang luar biasa. Sebuah efek seni yang memang diharapkan Mahar, efek seni yang

akan membawa kami menjadi Penampil Seni Terbaik tahun ini, tak diragukan, tak ada

Pak Harfan, Bu Mus, dan guru-guru kami sangat bangga dan seolah tak percaya

melihat murid-muridnya memiliki kemampuan seperti itu. Mereka tak sadar bahwa kami

menderita berat karena gatal dan gerakan kami tak ada hubungannya dengan Moran,

cheetah, dan bunyi-bunyian tabla yang memecah gendang telinga.

Tiga puluh menit kami tampil serasa tiga puluh jam. Kami, para sapi, memang

dirancang untuk meninggalkan arena pertama kali. Pemain tabla, cheetah, dan prajurit

Masai masih harus melanjutkan fragmen. Segera setelah meninggalkan arena kami berlari

pontang panting mencari air. Sayangnya air terdekat adalah sebuah kolam kangkung

butek di belakang sebuah toko kelontong. Kolam itu adalah tempat pembuangan akhir

ikan-ikan busuk yang tak laku dijual. Apa boleh buat, kami ramai-ramai menceburkan

Kami tak melihat ketika penonton memberikan standing applause selama tujuh

menit. Kami tak menyaksikan guru-guru kami menangis karena bangga. Aku kagum

kepada Mahar, ia berhasil memompa kepercayaan diri kami dan dengan kepercayaan diri

ternyata siapa pun dapat membuat prestasi yang mencengangkan. Hal itu dibuktikan oleh

sekolah Muhammadiyah yang mampu mematahkan mitos bahwa sekolah kampung tidak

mungkin menang melawan sekolah PN dalam karnaval. Sayangnya saat itu kami tak

dapat bergembira seperti warga Muhammadiyah di podium dan kami juga tak mendengar

ketika ketua dewan juri, Mbah Suro, naik mimbar. Beliau mengucapkan pidato panjang

puji-pujian untuk kami:

“Sekolah Muhammadiyah telah menciptakan daripada suatu arwah baru dalam

karnaval ini. Maka dari itu mereka telah mencanangkan suatu daripada standar baru yang

semakin kompetitif dari pada mutu festival seni ini. Mereka mendobrak dengan ide

kreatif, tampil all out, dan berhasil menginterpretasikan dengan sempurna daripada

sebuah tarian dan musik dari negeri yang jauh. Para penarinya tampil penuh penghayatan,

dengan spontanitas dan totalitas yang mengagumkan sebagai suatu manifestasi daripada

penghargaan daripada mereka terhadap seni pertunjukan itu sendiri. Penampilan

Muhammadiyah tahun ini adalah daripada suatu puncak pencapaian seni yang gilang

gemilang dan oleh karena itu dewan juri tak punya daripada pilihan lain selian daripada

menganugerahkan penghargaan daripada penampila seni terbaik tahun ini kepada sekolah

Wahai dewan juri yang terhormat, mari kuberitahukan pada bapak-bapak sekalian,

tahu apa bapak-bapak soal seni, interpretasi seni kami adalah interpretasi getah buah aren

yang gatalnya membakar lingkaran leher kami sampai ke pangkal-pangkal paha dengan

perasaan seperti memakan api. Itulah yang membuat kami menari seperti orang yang

tidak waras, dan itulah interpretasi seni kami.

Mendengar pidato itu para penonton kembali bergemuruh dan seluruh warga

Muhammadiyah bersorak-sorai senang karena sebuah kemenangan yang fenomenal.

Sebaliknya kami, delapan ekor ternak dalam koreografi hebat itu, tetap tak tahu

semua kejadian yang menggemparkan itu, dan kami juga masih tak tahu ketika Mahar

diarak warga Muhammadiyah setelah sekolah menerima trofi bergengsi Penampil Seni

Terbaik tahun ini. Trofi yang telah dua puluh tahun kami idamakan dan selama itu pula

bercokol di sekolah PN. Baru pertama kali ini trofi itu dibawa pulang oleh sekolah

kampung. Trofi yang tak ‘kan membuat sekolah kami dihina lagi.

Kami tak tahu semua itu karena ketika itu kami sedang berkubang di dalam

lumpur kolam kangkung, menggosok-gosok leher dengan daun genjer. Yang kami tahu

hanyalah bahwa Mahar telah membalas kami dengan setimpal karena pelecehan kami

padanya selama ini. Buah-buah aren itu sungguh merupakan sebuah rancangan kalung

etnik properti adi busana koreografi yang bernilai seni, hasil perenungan Mahar berjam-jam sambil

memandangi langit di bawah pohon filicium. Itulah sebuah perenungan

tingkat tinggi yang membuat hatinya bergejolak sepanjang malam karena girang akan

memberi kami pelajaran, sebuah perenungan pembalasan dendam yang telah ia

rencanakan dengan rapi selama bertahun-tahun.

Wajah manisnya pasti sedang tersenyum sekarang dan senyumnya tak berhenti

mengembang jika ia ingat penderitaan kami. Di kolam busuk luar biasa sehingga

merontokkan bulu hidung ini kami membayangkan Mahar melonjak-lonjak girang

disirami sinar agung prestasi dan kata-kata pujian setinggi langit. Sedangkan kami

agaknya memang patut dihukum di kolam perut ikan ini. Mahar membalas kami

sekaligus merebut penghargaan terbaik—sekali tepuk dua nyamuk tumbang. Pria muda

yang nyeni itu memang genius luar baisa, dan baginya pembalasan ini maniiiiis sekali,

semanis buah bintang.

AWAN-AWAN kapas berwarna biru lembut turun. Mengapung rendah ingin menyentuh

permukaan laut yang surut jauh, beratus-ratus hektare luasnya, hanya setinggi lutut,

meninggalkan pohon-pohon kelapa yang membujur di sepanjang Pantai Tanjong

Kelayang. Aku tahu bahwa awan-awan kapas biru muda itu dapat menjadi penghibur

bagi mataku, tapi dia takkanpernah menjadi sahabat bagi jiwaku, karena sejak minggu

lalu aku telah menjadi sekuntum daffodilyang gelisah, sejak kukenal sebuah kosakata

baru dalam hidupku: rindu.

Kini setiap hari aku dilanda rindu pada nona kuku cantik itu. Aku rindu pada

wajahnya, rindu pada paras kuku-kukunya, dan rindu pada senyumnya ketika

memandangku. Aku juga rindu pada sandal kayunya, rindu pada rambut-rambut liar di

dahinya, rindu pada caranya mengucapkan huruf “r”, serta rindu pada caranya merapikan

lipatan-lipatan lengan bajunya.

Kadang-kadang aku bersembunyi di bawah pohon filicium, melamun sendiri,

dadku sesak sepanjang waktu. Aku segera mengerti bahwa aku adalah tipe laki-laki yang

tak kuat menahankan rindu. Lalu aku berpikir keras mencari jalan untuk meringankan

beban itu. Setelah melalui pengkajian berbagai taktik, akhirnya aku sampai pada

kesimpulan bahwa rinduku hanya bisa diobati dengan cara sering-sering membeli kapur

dan untuk itu Bu Mus adalah satu-satunya peluangku.

Maka aku mengerahkan segala daya upaya, memohon sepenuh hati, agar tugas

membeli kapur tulis diserahkan padaku, kalau perlu kapur tulis untuk seluruh kelas SD

dan SMP Muhammadiyah, sepanjang tahun ini.

“Bukankah kau paling benci tugas itu Ikal?”

Aku tersipu. Ironis, aku telah menemukan definisi ironi yang sebenarnya.

Penyebabnya tentu bukan karena Toko Sinar Harapan telah menjadi wangi, tapi semata-mata

karena ada putri Gurun Gobi menungguku disana. Maka ironi bukanlah persoalan

substansi, ia tak lain hanyalah soal kompensasi. Itulah definisi ironi, tak kurang tak lebih.

Bu Mus tak berminat mendebatku dan kulihat perubahan wajahnya. Pastilah

instingnya selama bertahun-tahun menjadi guru secara naluriah telah membunyikan

lonceng di kepalanya bahwa hal ini sedikit banyak berhubungan dengan urusan cinta

monyet. Dengan jiwa penuh pengertian dan sebuah senyum jengkel beliau mengiyakan

sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Asal jangan kau hilangkan lagi kapur-kapur itu, perlu kau tahu, kapur itu dibeli

dari uang sumbangan umat!”

Kemudian aku dan Syahdan menjadi tim yang solid dalam pengadaan kapur. Aku

menjadi semacam manajer pembelian, Syahdan tak perlu mengayuh sepeda, cukup duduk

di belakang, memegang kotak-kotak kapur kuat-kuat dan menjaga mulutnya rapat-rapat,

karena hubungan antar-rasadalah isu yang sensitif ketika itu. Kami menikmati

ketegangan perjanjian rahasia ini dan selama beberapa bulan setelah itu aku telah menjadi

tukang kapur yang berdedikasi tinggi. Sebaliknya Syahdan, tentu saja melalui

rekomendasiku pada Bu Mus, selalu ikut denganku. Ia gembira karena semakin lama

meninggalkan kelas sekligus leluasa mendekati putri tukang hok lo pan.

Sesampainya di toko biasanya aku langsung cepat-cepat masuk dan berdiri tegak

dengan saksama di tengah-tengah lautan barang kelontong. Minyak kayu putih kukipas-kipaskan di

bawah hidung untuk melawan bau tengik. Aku menyeka keringat dan tak

sabar menunggu menit-menit ajaib, yaitu ketika A Miauw memberi perintah kepada

burung murai batu di balik tirai yang terbuat dari keong-keong kecil itu.

Aku menghampiri kotak merpati saat ia menjulurkan kapur. Setiap kali ini terjadi

jantungku berdebar. Ia masih tetap tak berkata apa pun, diam seribu bahasa, demikian

juga aku. Tapi aku tahu ia sekarang tak lagi cepat-cepat menarik tangannya. Ia

memberiku kesempatan lebih lama memandangi kuku-kukunya. Hal itu cukup

membuatku demikian bahagia sampai seminggu berikutnya.

Demikianlah berlangsung selama beberapa bulan. Setiap Senin pagi aku dapat

menjumpai belahan jiwaku, walaupun hanya kuku-kukunya saja. Hanya sampai di situ

saja kemajuan hubungan kami, tak ada sapa, tak ada kata, hanya hati yang bicara melalui

kuku-kuku yang cantik. Tak ada perkenalan, tak ada tatap muka, tak ada rayuan, dan tak

ada pertemuan. Cinta kami adalah cinta yang bisu, cinta yang sederhana, dan cinta yang

sangat malu, tapi indah, indah sekali tak terperikan.

Kadang-kadang ia menjentikkan jarinya atau menggodaku sambil terus

memegang kotak kapur ketika akan kuambil sehingga kami saling tarik. Kadang kala ia

mengepalkan tinjunya, mungkin maksudnya: kenapa kamu terlambat? Sering telah

kusiapkan diri berminggu-minggu untuk sedikit saja memegang tangannya atau untuk

mengatakan betapa aku rindu padanya. Tapi setiap kali aku melihat kuku-kukunya,

semua kata yang telah ditulis rapi pun sirna, menguap bersama aroma keringat orang

Sawang dan seluruh keberanian lenyap tertimbun tumpukan lobak asin. Tirai yang terbuat

dari keong-keong kecil itu demikian kukuh untuk ditembus oleh mental laki-laki sekecil

Sudah dua musim berlalu, sudah dua kali orang-orang bersarung turun dari

perahu, aku merasa sudah saatnya untuk tahu siapa namanya. Namun sekali lagi,

walaupun sudah berhari-hari mengumpulkan keberanian untuk bertanya langsung ketika

tangannya menjuilur, aku menjadi bisu dan tuli. Aku begitu kerdil di depannya. Maka

kutugaskan Syahdan mencari informasi. Ia sangat girang mendapat tugas itu. Lagaknya

seperti intel Melayu, mengendap-endap, berjingkat-jingkat penuh rahasia.

“Namanya A Ling ...!” bisiknya ketika kami sedang khatam Al-Qur’an di Masjid

Al Hikmah. Jantungku berdetak kencang.

“Seangkatan dengan ktia, di sekolah nasional!” Dan pyarrr!! Kopiah resaman

Taikong Razak menghantam rihalan Syahdan.

“Jaga adatmu di muka kitab Allah anak muda!!”

Syahdan meringis dan kembali menekuri Khatamul Qur’an. Sekolah nasional

adalah sekolah khusus anak-anak Tionghoa. Aku menatap Syahdan dengan serius.

Sekolah nasional ...?

“Jangan sampai tahu ibuku,” kataku cemas, “Bisa-bisa kau kena rajam.”

Syahdan tak mau menanggapi peringatkanku yang tidak kontekstual dengan

infonya yang berharga tadi. Wajahnya mengisyaratkan bahwa ia punya kejutan lain.

“A Ling adalah sepupu A Kiong ...!”

Aku terkejut, rasanya seperti tertelan biji rambutan yang macet di tenggorokanku.

A Kiong, pria kaleng kerupuk itu! Mana mungkin dia punya sepupu bidadari?

Syahdan membaca pikiranku, ia mengangguk-angguk yakin memastikan, “Iya,

betul sekali, Kawan, A Kiong kita itu, tapi aku tak pasti, apakah A Kiong seperti itu

karena tumbal ilmu sesat, titisan yang keliru, atau anomali genetika?”

Syahdan vulgar dan sok tahu. Aku segera teringat pada A Kiong. Beberapa hari

ini ia belajar di kelas sambil berdiri karenalimabiji bisul padi bermunculan di pantatnya

sehingga ia tak bisa duduk. Tapi ia berkeras ingin tetap sekolah.

Aku tak dapat menggamabrkan perasaanku atas semua info ini. Kenyataan bahwa

A Ling adalah sepupu a Kiong membuatku bersemangat sekaligus waswas. Aku dan

Syahdan berunding serius membahas perkembangan ini dan kami putuskan untuk

menceritakan situasinya pada A Kiong. Kami menganggap dialah satu-satunya peluang

untuk menembus tirai keong itu.

Kami giring A Kiong menuju kebun bunga sekolah dan kami dudukkan di abngku

kecil dekat kelompok perdu kamar Beloperone, Pittosporum, dan kembang sepatu yang

saat itu sedang bersemi, tempat yang sempurna untuk bermusyawarah soal cinta.

“Mudahnya begini saja, Kiong,” kataku tak sabar. “Aku akan menitipkan padamu

suratdan puisi untuk A Ling, maukah kau memberikan padanya? Serahkan padanya

kalau kalian sembahyang di kelenteng, pahamkah engkau?”

Ia mengernyitkan dahinya, rambut landaknya berdiri tegak, wajahnya yang bulat

gemuk tampak semakin jenaka. Ketika ia melepaskan kembali kernyitannya itu pipinya

yang tembem jatuh berayun-ayun lucu. Dia adalah pria berwajah mengerikan tapi lucu.

“Mengapa tak kauberikan langsung padahal setiap Senin pagi kau bertemu

dengannya? Tidak masuk akal!” A Kiong tak mengucapkan kata-kata itu tapi inilah arti

kernyitannya itu. Aku juga menjawabnya dari dalam hati, semacam telepati. “Hei, anak

Hokian, sejak kapan cinta masuk akal?”

Aku menarik napas panjang, membalikkan badanku, memandang jauh ke

lapangan hijau pekarangan sekolah kami. Seperti sedang berakting dalam sebuah teater

aku merenggut daun-daun Dracaena, meremas-remasnya lalu melemparkannya ke udara.

“Aku malu, A Kiong, nyaliku lumpuh kalau berada satu meter darinya, aku adalah

seorang pria yang kompulsif, jika ceroboh aku takut ketahuan bapaknya, kalau itu terjadi,

tak terbayangkan akibatnya!”

Kudapat kata-kata itu dari majalah Aktuillangganan abangku, barangkali agak

kurang tepat, tapi apa peduliku. Demi mendengar kata-kata seperti naskah sandiwara

radio itu Syahdan memeluk erat-erat pohon petai cina di sampingnya. Aku kehabisan kata

untuk menjelaskan pada A Kiong bahwa titip-menitip dalam dunia percintaan

mengandung nilai romansa yang tinggi karena ada unsur-unsur kejutan disana.

Rupanya A Kiong menangkap keputusasaan dalam nada suaraku. Ia adalah siswa

yang tidak terlalu pintar tapi ia setia kawan. Sepanjang masih bisa diusahakan ia tak ‘kan

pernah membiarkan sahabatnya patah harapan. Luluh hatinya melihat aktingku. Sekarang

ia tersenyum dan aku menyembahnya seperti murid shaolin berpamitan pada suhunya

untuk memberantas kejahatan. Namun karena turunan darah wiraswasta leluhurnya, A

Kiong tentu menuntut kompensasi yang rasional. Aku tak keberatan menggarap PR tata

buku hitung dagangnya.

Lalu, tak terbendung, melalui A Kiong, puisi-puisi cintaku mengalir deras

menyerbu pasar ikan. Baginya itu hanyalah tugas mduha. Sebaliknya, ia mulai merasakan

kenikmatan eskalasi gengsi akibat nilai-nilai tata buku hitung dagang yang membaik.

Hubungan A Kiong, aku dan Syahdan adalah simbiosis mutualisme, seperti burung cako

dengan kerbau. Ia sama sekali tak menyadari bahwa persoalan titip menitip ini dapat

membawa risiko ia pecah kongsi dengan pamannya A Miauw.

Aku selalu mendesak A Kiong untuk menceritakan bagaimana wajah A Ling

ketika menerima puisi dariku.

“Seperti bebek ketemu kolam,” kata A Kiong penuh godaan persahabatan.

Dan pada suatu sore yang indah, di bulan Juli yang juga indah, di tempat duduk

bulat, sendirian di kebun bunga kami, aku menulis puisi ini untuk A Ling:

A Ling, lihatlah ke langit

Jauh tinggi di angkasa

Awan-awan putih yang berarak itu

Aku mengirim bunga-bunga krisan untukmu

Ketika kumasukkan puisi ke dalam sampul surat, aku tersenyum, tak percaya aku

bisa menulis puisi seperti itu. Cinta barangkali dapat memunculkan sesuatu, kemampuan

atau sifat-sifat rahasia, yang tak kita sadari sedang bersembunyi di dalam tubuh kita.

Namun ketika itu aku selalu merasa heran mengapa A Ling selalu mengembalikan

puisiku? Barangkali di tokonya yang sesak tak ada lagi tempat untuk menyimpan kertas.

Demikianlah pikiranku, bukankah anak kecil selalu berpikir positif. Aku tak ambil pusing

soal itu lagi pula saat ini pikiranku sedang tak keruan karena pada kotak kapur yang

kuambil pagi ini ada tulisan:

Jumpai aku di acara sembahyang rebut

Tulisan tangan A Ling! Ini adalah lompatan raksasa dalam hubungan kami.

Bagiku catatan kecil ini sangat penting seperti katebelecepresiden untuk menaikkan gaji

seluruh pegawai negeri. Keinginanku melihat kembali wajah Michele Yeoh-ku setelah

insiden tirai dulu adlaah tabungan rindu dalam celengan tanah liat yang setiap saat

hampir meledak. Dan dalam waktu 92 jam, 15 menit, 10 detik dari sekarang aku akan

menjumpainya langsung. Di halaman kelenteng.

Hari-hari menjelang pertyemuan adalah hari-hari tak bisa tidur. Klasik sekali

memang, tapi apa boleh buiat karena memang itu kenyataannya maka harus kuceritakan.

Berkali-kali kubaca pesan di atas kotak kapur itu tapi masih tetap isinya tentang janji

ketemu. Dibaca dari arah mana pun, dari belakang seperti membaca huruf Arab, dari

depan, dari atas, dari jauh, dari dekat, dipantulkan di cermin, digerus dengan lilin, dibaca

dengan kaca pembesar, dibaca di balik api, ditaburi tepung terigu, diawasi lama-lama

seperti melihat gamabr tiga dimensi yang tersamar, isinya tetap sama yaitu “jumpai aku

di acara sembahyang rebut”. Itu adalah kalimat bahasa Indonesia yang jelas, bukan

idiom, bukan isyarat atau simbol. Aku seolah tak percaya dengan pesan itu tapi aku, si

Ikal ini, akan segera berjumpa dengan cinta pertamanya! Tak diragukan lagi, dunia boleh

Kotak kapur yang ada tulisan pesan A Ling itu kusimpan di kamarku seperti

benda koleksi yang bernilai tinggi. Syahdan dan A Kiong sampai bosan terus-menerus

mendengar kisahku tentang pesan itu. Mereka muak. Satu pelajaran berharga, orang yang

sedang jatuh cinta adalah orang yang egois. Aku seolah tak percaya pada apa yang akan

terjadi, mimpikah ini?

“Bukan, Kawan, bukan mimpi, mandilah bersih-bersih dan tunggu dia pukul

emapt sore di halaman kelenteng, saat persiapan sembahyang rebut. Dia wanita yang

baik, dia akan datang untuk janjinya,” nasihat A Kiong, event organizerpertemuan

penting ini, yang tiba-tiba menjadi amat bijaksana.

Chiong Si Ku atau sembahyang rebut diadakan setiap tahun. Sebuah acara

semarak di mana seluruh warga Tionghoa berkumpul. Tak jarang anak-anaknya yang

merantau pulang kampung untuk acara ini. Banyak hiburan lain ditempelkan pada ritual

keagamaan ini, misalnya panjat pinang, komidi putar, dan orkes Melayu, sehingga

menarik minat setiap orang untuk berkunjung. Dengan demikian ajang ini dapat disebut

sebagai media tempat empat komponen utama kelompok subetnik di kampung kami:

orang Tionghoa, orang Melayu, orang pulau bersarung, dan orang Sawang berkumpul.

Orang Sawang tak terlalu tertarik dengan hiburan-hiburan tadi tapi mata mereka

tak lepas dari tiga buah meja berukuran besar dengan panjang kira-kira 12 meter, lebar

dan tingginya kira-kira 2 meter. Di atas meja itu ditimbun berlimpah ruah barang-barang

keperluan rumah tangga, mainan, dan berjenis-jenis makanan. Barang-barang ini adalah

sumbangan dari setiap warga Tionghoa. Tak kurang dari 150 jenis barang mulai dari

wajan, radio transistor, bahkan televisi, berbagai jenis kue, biskuit, gula, kopi, beras,

rokok, bahan tekstil, berbagai botol dan kaleng minuman ringan, gayung, pasta gigi,

sirop, ban sepeda, tikar, tas, sabun, payung, jaket, ubi jalar, baju, ember, celana, buah

mangga, kursi plastik, batu baterai, sampai beragam produk kecantikan disusun

bertumpuk-tumpuk laksana gunung di atas meja-meja besar tadi. Daya tarik terkuat dari

sembahyang rebut adalah sebuah benda kecil yang disebut fung pu, yakni secarik kain

merah yang disembunyikan di sela-sela barang-barang tadi. Benda ini merupakan incaran

setiap orang karena ia perlambang hoki dan yang mendapatkannya dapat menjualnya

kembali pada warga Tionghoa dengan harga jutaan rupiah.

Meja itu diletakkan di depan sebuah Thai Tse Ya, yaitu patung raja hantu yang

dibuat dari bambu dan kertas-kertas berwarna-warni. Tinggi Thai Tse Ya mencapai 5

meter dengan diameter perut 2 meter. Ia adalah sesosok hantu raksasa yang

menyeramkan. Matanya sebesar semangka dan lidahnya panjang menjuntai seperti ingin

menjilati jejeran babi berminyak-minyak yang dipanggang berayun di bawahnya. Thai

Tse Ya tak lain adalah representasi sifat-sifat buruk dan kesialan manusia. Sepanjang sore

dan malam hari, warga Tionghoa yang Kong Hu Cu tentu saja melakukan sembahyang di

depan Thai Tse Ya ini.

Tepat tengah malam salah seorang paderi akan memukul sebuah tempayan besar

pertanda seluruh hadirin dapat mengambil—lebih tepatnya merebut—semua barang yang

ada di tiga meja besar tadi. Oleh karena itu Chiong Si Ku disebut juga acara sembahyang

Ketika tempayan itu dipukul bertalu-talu tanda mulai berebut aku menyaksikan

salah satu peristiwa paling dahsyat yang pernah dilakukan manusia. Gunungan beratus-ratus jenis

barang tersebut lenyap dalam waktu tak lebih dari satu menit—25 detik lebih

tepatnya, dan tempat itu berubah menjadi kekacaubalauan yang tak tertuliskan kata-kata.

Debu tebal mengepul ketika ratusan orang dengan garang menyerbu meja-meja tinggi itu

dengan semangat seperti orang kesetanan. Tak jarang meja-meja itu hancur berantakan

dan para perebut cidera berat.

Mereka yang berhasil naik ke atas meja dengan gerakan secepat kilat

melemparkan barang-barang secara sistematis kepada rekan-rekannya yang menunggu di

bawah. Mereka yang bertindak sendiri naik ke atas meja dan memasukkan apa saja yang

ada di dekatnya ke dalam sebuah karung—juga dengan kecepatan kilat—sampai kadang

kala tak bisa menurunkan karungnya itu karena sudah di luar batas tenaganya.

Kadang kala belasan orang berebut sebuah barang sehingga terjadi semacam

perkelahian di tengah tumpukan barang dan beberapa di antaranya terjengkang, jatuh

menabrak barang-barang rebutan, lalu terjembab ke tanah. Para penonton tak sempat

bertepuk tangan tapi hanya terpana menyaksikan pemandangan sekilas yang mahadahsyat

sekaligus ngeri membayangkan bagaimana manusia bisa begitu serakah dan beringas.

Mereka yang tidak membawa karung memasukkan apa saja ke dalam seluruh

saku baju dan celana bahkan ke dalma bajunya sehingga tampak seperti badut. Dalam

situasi berebutan yang sangat cepat otak sudah tidak bisa menalar, kadang kala butir-butir

beras dan gula juga dimasukkan ke dalam saku celana. Mereka yang saku baju dan

celananya—bahkan bagian dalam bajunya—telah penuh memasukkan apa saja ke dalma

mulutnya, mereka makan apa saja, sebanyak mungkin, ketika masih berada di atas meja,

jika perlu mereka akan menyimpan barang di dalam lubang-lubang hidung dan telinga,

Jika berhasil merebut radio transistor jangan harap akan membawanya pulang

dengan utuh karena ketika masih di atas meja radio itu akan direbut oleh lima belas orang

sekaligus sehingga yang tersisa hanya tombol-tombol atau antenanya saja. Prinsipnya tak

mengapa mendapatkan tombolnya saja asalkan orang lain juga tak mendapatkan radio

seutuhnya. Perkara radio itu menjadi hancur tak bisa dipakai adalah urusan lain yang tak

penting. Inilah manifestasi dasar keserakahan manusia. Chiong Si Ku adalah bukti nyata

tak terbantah terhadap teori yang dipercaya para antropolog tentang kecenderungan egois,

tamak, merusak, dan agresif sebagai sifat-sifat dasar homo sapiens.

Superstardalam Chiong Si Ku tentu saja orang-orang Sawang. Tanpa mereka

bisa-bisa acara ini kehlilangan sensasinya. Mereka sukses setiap tahun karena

pengorganisasian yang solid. Sejak sore mereka telah melakukan riset di mana posisi

barang-barang berharga, dari sudut mana harus menyerbu, berapa tenaga yang

diperlukan, dan mengkalkulasi perkiraan perolehan. Berhari-hari sebelum sembahyang

rebut mereka telah menyusun strategi. Pembagian tugasnya jelas, yaitu mereka yang

berbadan besar bertugas menjegal kelompok perebut lain, yang kecil menyerbu naik ke

atas meja seperti gerakan monyet: cepat, jeli, dan tangkas, dan sisanya menunggu di

bawah, siaga menangkap apa saja yang dilemparkan dari atas meja. Kelompok ini

beranggotakan sampai dua puluh orang. Seorang pria Sawang kurus bermata liar

ditugaskan khusus selama bertahun-tahun untuk menjarah fung pu. Ketika ia beraksi

ekspresinya datar seolah ia tak punya urusan dengan perebut-perebut serakah lainnya.

Tingkah lakunya persis budak yang dijanjikan merdeka oleh Siti Hindun jika berhasil

membunuh Hamzah sang panglima pada perang Uhud. Sang budak tak ada urusan

dengan perang Uhud, perang itu bukan perangnya, setelah menombak dada Hamzah ia

bergegas pulang. Demikian pula pria bermata liar ini. Ketika paderi memukul tempayan

pertama kali ia langsung memanjat meja seperti manusia laba-laba, lalu dengan cekatan

ia berjingkat-jingkat di antara lautan barang-barang. Matanya yang tajam nanar jelalatan

melacak ke sana kemari dan dalam waktu singkat ia mampu menemukan fung pu. Ia

selalu sukses meskipun paderi telah menyembunyikan benda kecil keramat itu dengan

amat rapi di antara tumpukan terdalam lipatan daster, di dalam salah satu dari puluhan

kaleng biskuit Khong Guan yang paling sulit dijangkau, di dalam karung ekmiri, di sela-sela

dedaunan tebu, bahkan di dalam buah jeruk kelapa. Setelah mendapatkan fung puia

menyelipkan carikan merah itu di pinggangnya dan melompat turun seperti pemilik ilmu

peringan tubuh. Ia tak sedikit pun peduli dengan barang-barang berharga lainnya serta

kecamuk ratusan pria kasar yang berebut dengan brutal. Sang legenda hidup Chiong Si

Ku itu mendarat ke bumi tanpa menimbulkan suara lalu sedetik kemudian ia menghilang

di tengah kerumunan massa membawa lari lambang supremasi Chiong Si Ku. Ia lenyap

di telan gelap, asap gaharu, dan aroma dupa.

Orang-orang Melayu, sebagaimana baisa, susah berorganisasi. Bukannya fokus

pada ikhtar untuk mencapai tujuan dan memenangkan persaingan tapi sebaliknya mereka

gemar sekali berpolitik sesama mereka sendiri. Tak terima jika dikoreksi dan jarang ada

yang mau berintrospeksi. Di antara mereka selalu saja berbeda pendapat dan mereka

senang bukan main dengan pertengkaran yang tak konstruktif. Tak mengapa tujuan tak

tercapai asal tak jatuh nama dalam debat kusir. Dan selalu terjadi suatu gejala yang paling

umum yaitu: yang paling bodoh dan paling tak berpendidikan adalah paling lantang dan

paling pintar kalau bicara. Jika orang Melayu membentuk sebuah tim maka setiap orang

ingin menjadi pemimpin. Akhirnya tim yang solid tak pernah terbentuk. Akibatnya dalam

sembahyang rebut mereka beroperasi secara individu dan berjuang secara soliter maka

yang berhasil dibawa pulang hanya tubuh yang remuk redam, sebatang tebu, beberapa

bungkus sagon, sebelah kaos kaki Mundo, beberapa butir kepala boneka, bibit kelapa

yang tak dipedulikan orang Sawang, dan pompa air—itu pun hanya sumbatnya saja.

Chiong Si Ku diakhiri dengan membakar Thai Tse Ya dengan harapan tak ada

sifat-sifat buruk dan kesialan melanda sepanjang tahun ini. Sebuah acara keagamaan tua

yang syarat makna, berseni, dan sangat memesona.

Pukul 3.30 selesai shalat Ashar.

Pesan di kotak kapur! Seperti message in a botle. Aku berdiri tegak di bawah

pohon seri di halaman kelenteng sambil memegangi sepedaku, menunggu. Anak-anak

muda Tionghoa hilir mudik. Mereka sibuk mendirikan Thai Tse Ya setinggi lima meter.

Ada A Kiong diantara mereka, ia berulang kali mengacungkan jempolnya

“Tabahlah, Kawan, ambil semua risiko, begitulah hidup,” demikian barangkali

Aku membalas dengan senyum kecut karena aku gelisah. Aku gelisah

membayangkan apa yang ada di pikiran seorang wanita muda Tionghoa tentang laki-laki

Melayu kampung seperti aku. Dan berada di tengah lingkungan mereka membuat aku

semakin ragu. Apa aku pulang saja? Tapi aku rindu. Dan rinduku telanjur berdarah-darah.

Seperti terjadi setiap hari, pukul 3.30 sore matahari masih terasa sangat panas dan

dengan berdiri di sini sebagian tubuhku tersiram cahayanya. Aku dapat merasakan

keringatku mengalir pelan di leher baju takwa putih berlengan panjang, baju terbaik yang

aku miliki, hadiah hiburan lomba azan. Jantungku berdetak kacau, aku gugup luar biasa.

Burung matahari akwanan tujuh ekor yang berkicau-kicau di dahan-dahan rendah seri

jelas-jelas menggodaku. Mereka berjingkat-jingkat dan ribut sekali. Kumbang juga

menerorku, seperti suara ambulans mereka sibuk melubangi kayu-kayu besar bercat

merah mencolok yang menyangga atap kelenteng. Suaranya merisaukanku. Aku tak sabar

Sudah 25 menit aku mematung di sini, tak ada tanda-tanda kehadiran A Ling.

Wajah A Kiong menaruh belas kasihan padaku. Barangkali tadi aku tiba terlalu awal,

harusnya aku datang terlambat saja, atau tak datang sama sekali. Berbagai pikiran aneh

mulai merasukiku. Aku merasa lelah karena tegang. Kakiku kesemutan.

Mataku tak lepas-lepas memandang ke arah satu-satunya jalan yang

menghubungkan kelenteng dengan pasar ikan. Di sepanjang kiri kanan jalan ini tumbuh

berderet-deret pohon saga. Cabang-cabang atasnya bertemu meneduhi jalan di bawahnya

sehingga jalan ini tampak seperti gua. Setelah deretan pohon-pohon saga, jalan ini

berbelok ke kanan. Pinggir jalan ini dipagari bekas-bekas tulang bangunan yang terlantar.

Tulang-tulang bangunan itu dirambati dengan lebat tak beraturan ke sana kemari

oleh Bougainvillea spectabilisliar atau kembang kertas dan berakhir pada ujung sebuah

jalan buntu. Di ujung jalan ini berdiri toko Sinar Harapan, rumah A Ling. Maka berdiri

dua puluh meter persis di depan Thak Si Ya adalah posisi yang telah kuperhitungkan

dengan matang. Jika ia muncul di belokan itu, maka dari posisi ini aku dapat melihatnya

langsung berjalan anggun seperti burung sekretaris menuju ke arahku. Pasti ia akan

menunduk tersenyum-senyum, atau, seperti film India, ia akan berlari kecil membawa

seikat bunga, lalu merentangkan tangannya untuk memelukku. Ah, aku bermimpi.

Tapi ia tak muncul-muncul dan aku berulang kali mengusap mataku yang

kelelahan memelototi belokan itu. Kakiku penat dan aku mulai merasa pusing karena

ketegangan berkepanjangan. Sekarang Thak Si Ya telah berdiri, para pemuda Tionghoa

bertepuk tangan, sementara aku semakin gelisah. Aku melirik Thak Si Ya yang berdiri

tinggi tegak, matanya seram sekali mengawasi gerak gerikku.

Sekarang sudah pukul 3.57, tiga menit menjelang tenggat waktu.

Aku menghitung dengan jariku, jika sampai hitungan keenam puluh ia tak muncul

maka aku akan pergi saja. Aku kepanasan dan merasa mual. Karena tegang, perutku naik

membaut ngilu ulu hatiku. Kalau tadi pikiran yang bukan-bukan merasukiku, kini

pikiranku dilanda keraguan.

Apakah ia benar-benar seperti persepsiku selama ini? Apakah yang kuabyangkan

tentang dirinya akan sama sekali berbeda kenyataannya? Mungkinkah sekarang ia sedang

menyiangi tauge, lupa akan janjinya? Tahukah ia betapa berarti pesannya itu untukku?

Dan sekarang ia tak datang, betapa hancur hatiku. Ingin segera kukayuh sepeda ini, lari

sekencang-kencangnya menceburkan diri ke Sungai Lenggang.

Pukul 4.02, lewat sudah batas janji.

Tik! Tok! Tik! Tok! Tik! Tok!

Sudah 60! Hitunganku sampai. Ia ingkar!

Aku berada di puncak kegelisahan. Tanganku dingin, jantungku berdetak makin

cepat. Suara kumbang-kumbang semakin riuh merubung aku, menerorku tanpa ampun.

Ngiung! Ngiung! Ngiung ...

Dadaku sesak karena rindu dan marah, aku naiki sadel sepeda, sudah tak tahan

ingin berlalu dari neraka ini. Namun ketika aku akan mengayuh sepeda, aku mendengar

persis di belakangku suara itu. Suara yang lembut seperti tofu. Suara yang membuat

kumbang-kumbang terdiam bungkam. Inilah suara yang sejuk seperti angin selatan, suara

terindah yang pernah kudengar seumur hidupku, laksana denting harpa dari surga.

Aku berbalik cepat dan terkejut.

Aku tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Karena di situ, persis di situ, tiga

meter di depanku, berdirilah ia, the distinguished Miss A Ling herself!Michele Yeoh-ku.

Ia datang dari arah yang sama sekali tak kuduga karena sebenarnya dari tadi ia sudah

berada di dalam kelenteng memerhatikanku, dan pada detik-detik terakhir aku akan

kecewa, ia hadir, memberiku kejutan listrik voltase tinggi, menghancurkan setiap butiran-butiran

darah merah di tubuhku. Setelah lima tahun mengenalnya, baru tujuh bulan yang

lalu pertama melihat wajahnya, setelah puluhan puisi yang kutulis untuknya, setelah

berton-ton rindu untuknya, baru sore ini dia akan tahu namaku.

Aku tergagap-gagap seeprti orang Melayu belajar mengaji.

Ia mengulum senyum, manis sekali tak terperikan. Hadir dalam balutan chong

kiun, baju acara penting yang memesona, di suatu bulan Juli yang meriah, ia turun ke

bumi bagai venus dari Laut Cina Selatan. Baju itu mengikuti lekuk tubuhnya dari atas

mata kaki sampai ke leher dan dikunci dengan kancing tinggi berbentuk seperti paku.

Tubuhnya yang ramping bertumpu di atas sepasang sandal kayu berwarna biru. Cantik

rupawan melebihi mayoret mana pun. Tingginya tak kurang dari 175 cm, jelas lebih

Serasi dengan rumpun genayun yang tumbuh kurus menjulang di sampingnya ia

mengikat rambutnya menjadi satu ikatan besar dan ikatan itu ditegakkan tinggi-tinggi.

Beberapa helai rambut yang disatukan jatuh di atas pundak chong kiun berwarna lam set,

biru muda, dengan motif bunga ros besar-besar. Beberapa helai rambut lainnya dibiarkan

jatuh melintasi wajahnya yang teduh jelita. Kuku-kukunya yang cantik memegang hio

Ada sedikit kilasan kedewasaan pada pancaran matanya dibanding terakhir kami

bertemu. Teori yang memaksakan pendapat bahwa wanita bermata besar kelihatan lebih

cantik akan runtuh berantakan jika melihat A Ling. Matanya yang sipit sedikti tertarik ke

atas, senada dengan bentuk alis yang dibiarkan alami. Dalam lukisan wajah yang tirus

bentuk mata seperti itu menciptakan rasa kecantikan dengan karakter yang kaut. Inilah

pusat gravitasi pesona wajah A Ling.

Sejujurnya aku tak sanggup mengatasi keanggunan pada level seperti ini. Ini

bukan untukku. Aku merasa tak pantas. Bagiku ia seperti seseorang yang akan selalu

menjadi milik orang lain. Dan aku, tak lebih dari pengisi data nama dan alamat pada buku

simfoninya yang akan terlupakan sebulan setelah ini. Aku tak mungkin berada di dalam

liga ini. Aku rasanya ingin pulang saja. Ia membaca itu. Lalu memegang mata kiang lian,

seuntai kalung yang menggantung panjang di lehernya. Mata kalung itu batu giok dan

bertulisan Tionghoa. Aku tak paham makna tulisan itu.

“ Miang sui,” kata A Ling. Nasib, itulah artinya.

Dan lilin besar merah pun dinyalakan, cahayanya berkibar-kibar, ratusan

jumlahnya. Mata Thai Tse Ya berkilat-kilat karena lilin menyinari wajahnya dari bawah.

Ia tampak makin seram tapi aura A Ling membuatnya tak lebih dari boneka kertas yang

jenaka dan kumbang-kumbang yang nakal tadi tak berani muncul lagi.

A Ling menarik tanganku, kami berlari meninggalkan halaman kelenteng, terus

berlari melintasi kebun kosong tak terurus, menyibak-nyibakkan rumput apit-apit setinggi

dada, tertawa kecil menuju lapangan rumput halaman sekolah nasional. Kami

merebahkan diri kelelahan, memandangi awan senja berarakan.

“Aku membaca puisimu, Bunga Krisan, di depan kelas!” katanya serius. “Puisi

Wajah A Ling yang cantik berair karena keringat, seperti embun di permukaan

kaca. Ia bangkit, lalu berjalan hilir mudik di depanku yang memandanginya seperti bayi

melihat kelereng. Lalu dengan gaya seperti dosen ia menggenggam jemarinya, bercerita

penuh semangat tentang minatnya pada sketsa dan cita-citanya menjadi perancang

busana. Sebaliknya, aku menceritakan minatku pada seni. Di dekatnya aku merasa

berarti, merasa menjadi seseorang, di dekatnya aku merasa ingin menjadi seorang pria

yang lebih baik. Di dekatnya aku merasa seperti sedang berada dalam sebuah adegan

Dari lapangan itu kami kemudian berlari-lari menuju komidip utar. Bukankah

komidi putar adalah sebuah benda yang menakjubkan? Setelah seorang pria kumal

mengangkat sebuah tuas lalu benda itu secara mekanik memutar insan-insan yang

dimabuk cinta yang duduk berimpitan di dalam sebuah tempat seperti mentudung. Lalu

tiba-tiuba semuanya menjadi mudah karena semua hal disaksikan dari suatu jarak. Bagiku

mentudung-mentudung itu seumpama pelaminan di mana orang berusaha menikmati

keindahan cinta dalam kesederhanaan sensasi yang ditawarkan sebuah komidi putar.

Keindahan yang sederhana ini membuatku belajar menghargai cinta yang sekarang duduk

di sampingku. Inilah sore terindah dalam hidupku. Aku bertanya-tanya pada diri sendiri:

ke manakah nasib akan membawaku setelah ini? Dari putaran tertinggi komidi aku dapat

melihat lapangan tempat tadi kami memandangi awan.

DI sebuah buku aku melihatnya mengen-darai kuda dengan cara memeluk erat perut

hewan itu seperti prajurit Kubilai Khan. Matanya berkilat-kilat karena dewa mata tombak

telah melukai hatinya. Darahku menggelegak ketika ia mengendap-endap mendekati

seekor moose jantan. Dan aku tak kuasa membalik satu lembar terakhir saat ia

mengatakan bahwa ia akan mencampak-kan cinta wanita-wanita berdarah campuran

Tututni dan Chimakuan. Semua itu karena ia tak mau mencemari darah Indian Pequot

yang mengalir deras di tubuhnya, dan yang paling memilukan, karena ia adalah pria

terakhir dalam sukunya.

Maka air kelaki-lakiannya bersimbah di punggung-punggung kuda tak berpelana dan ia

mengembara sendirian di lautan padang rumput Vellowstone yang tak bertepi. Ia menjerit

sepanjang hari dan menari menantang matahari sehingga pandangan matanya gelap

gulita. Ia merangkak-rangkak, berdoa agar salah satu wanita dari sukunya akan muncul di

antara kawanan coyote seperti para dewa telah menghadirkan wanita-wanita Sguamish.

Tapi waktu yang mengutus angin juga telah tega mengkhianatinya, sehingga ia menjadi

tua, dan saat maut menagih janjinya, ia mati masih perjaka. Pagi itu langit melapangkan

kedua tangan, menyambut darah asli Pequot.

Chinookcuk, yang terakhir dari kaumnya itu adalah prajurit yang memutuskan untuk

mengucilkan diri karena ingin menjaga kesucian darah Pequot. Sama seperti suatu suku

terasing di Sepahua Amazon. Mereka melarikan diri jauh ke rimba yang dalam karena

ingin menghindarkan diri dari wabah kolera. Sejak tahun 1500 tak seorang pun pernah

melihat mereka. Isolated by choice, demikian para ahli menyebutnya, yaitu sikap sengaja

mengasingkan diri. Sedangkan yang mengumbar keberadaan dirinya seperti suku-suku

Osage, Huron, Lakmiut, Cherokee, Sawang, atau Melayu Belitong umumnya mengalami

hambatan-hambatan geografis sehingga terisolasi. Meskipun dalam kasus tertentu isolasi

sengaja itu juga terjadi karena pertimbangan komersial, misalnya Sheffield yang tiga

tahun lalu memutuskan untuk mengucilkan diri dengan menutup bandaranya karena tidak

menghasilkan keuntungan. Adapun suku-suku Perupian itu memang terasing karena

rimba belantara yang sulit ditembus, sungai-sungai yang liar, dan gunung gemunung

Pada suatu ketika Melayu Belitong sempat terisolasi karena mereka tinggal di sebuah

pulau kecil yang dikelilingi samudra, sementara tidak semua peta memuat pulau ini.

Waktu itu di sana belum berdiri BTS-BTS atau antena gelombang mikro untuk telekomunikasi.

Satu-satunya akses suku ini kepada dunia luar adalah melalui sebuah pintu baja setebal 30

sentimeter. Bagi orang Belitong, pintu baja itu adalah tabir pemisah kehidupan jahiliah dan dunia

modern, sekaligus laksana teropong kapal selam yang timbul untuk melongok-longok dunia luar.

Pintu baja tulen itu menutup sebuah ruangan sempit rahasia yang menyimpan benda-benda keramat

berwarna-warni. Ruangan ini disebut ktuis dan merupakan bagian utama

dari sebuah kantor peninggalan Belanda. Jika pintu ini ditutup maka orang Melayu

Belitong merasa bahwa di dunia ini Tuhan hanya menciptakan mereka dan bumi berbentuk

lonjong. Kluis adalah jendela alam semesta bagi suku Melayu Belitong.

Oleh karena itu, kluis sangat penting dan kuncennya bukan orang sembarangan. Di dunia

ini hanya ia dan Tuhan yang tahu kombinasi sebelas digit nomor benteng pertama kluis.

Setelah memutar kombinasi itu ia harus melalui tiga tahap lagi untuk membukanya.

Pertama, ia harus memasukkan dua buah anak kunci tembaga kurus panjang ke dalam

dua lubang kunci dan memutarnya setengah lingkaran secara bersamaan. Kedua, ia

kembali memasukkan sebuah anak kunci besar yang harus diputar dengan kedua tangan

karena harus cukup tenaga untuk membalik enam buah batangan baja murni sebesar

lengan manusia dewasa dari penyekatnya inilah tuas kunci utama kluis. Dan

ketiga, setelah pintu besi 30 sentimeter itu terbuka ternyata masih ada lagi pintu besi

jeruji yang dikunci dengan gembok tembaga selebar telapak tangan.

Ruangan kluis ini tahan api dan jika diledakkan dengan dinamit 100 kilogram ia masih

tak akan bergerak. Di dalamnya gelap pekat tak ada udara, apabila terperangkap di sana

dipastikan akan mati lemas dalam waktu singkat. Jika pintu itu rusak, hanya seorang pria

tua bernama Hans Ritsema Van Horn dari Uttrech yang bisa membetulkannya.

Pengamanan dibuat demikian ketat berlapis-lapis karena dalam kluis itu terdapat benda-benda

keramat berwarna-warni, benda inilah sang penguasa waktu. Ia bukan sema-cam

lorong waktu yang dapat membalik tempo tapi ia lebih seperti time slider pada DVD

player,dan ia disimpan dalam portepel-portepel. Dengan Rp200, perangko kilat, tujuh

hari insya Allah sampai kepada alamat penerima, menuju tujuan kota mana pun di Pulau

Jawa, dan Rp75 adalah perangko biasa, jika ingin sampai saat Hari Raya Idul Adha maka

kirimlah sebelum Hari Raya Idul Fitri.Pria pemegang kunci kluis itu merupakan o-rang

terpilih dan Tuhan diam-diam telah menciptakan untuknya sebuah pekerjaan yang bukan

hanya bergaji rendah tapi juga unik dan bisa memacu otak sekaligus jantungnya. Dan

kepada pemangku pekerjaan inilah seharusnya kita, khusus nya kami, orang-orang

Melayu Belitong, menghaturkan terima kasih yang tak terperikan.Meskipun The Beatles

telah menunjukkan sedikit respek kepadanya dengan menulis lagu Mr. Postman, tapi

masih jarang sekali pujangga-pujangga Melayu yang tersohor merangkai gurindam,

mengarang puisi, atau sekadar menulis cerpen tentang kiprahnya.pekerjaan kuncen kluis

yang memacu otak dan jantung kumaksud di atas adalah pekerjaan Pak Pos yang

sekaligus menjadi kepala kantor pos di kecamatan-kecamatan. Dalam susunan organisasi,

mereka menamainya Pengurus Kantor Pos Pembantu, tapi di kampung kami beliau

disebut Tuan Pos. Beliaulah yang memungkinkan kami berkomunikasi dengan budaya

luar melalui benda keramat berwarna-warni, yaitu perangko-perangko itu, dan beliau pula

yang menyampaikan koran-koran terlambat sebulan dari Jakarta sehingga kami tahu rupa

kepala suku republik ini. Pada suatu kurun waktu pernah angin barat berkepan-jangan

berembus demikian kencang, akibatnya kapal-kapal harus memilih muatan secara selektif

dan orang-orang Belitong juga terpaksa memilih: mau makan beras atau makan kertas?

Karena di kampung kami tidak ada sawah maka kapal-kapal itu memutuskan untuk

membawa barang-barang penting saja, dan koran dianggap kurang penting. Maka Koran-koran itu

terlambat selama tiga puluh dua tahun. Kami tak tahu apa yang terjadi di

Jakarta. Tapi setelah koran-koran itu tiba kami tak kecewa meskipun telah terlambat

selama itu karena ternyata sang kepala suku masih orang yang sama.

Tuan Pos memacu otak karena ia menguras pikirannya untuk membuat perencanaan cash

flowdan benda pos guna keperluan bulan depan. Ia harus memperkirakan berapa orang

yang akan menarik tabanas, menguangkan wesel, menerima pensiun, dan mengirim surat,

kartu, dan paket. Lalu setelah sepanjang hari melayani pelanggan di loket, menjelang sore

Tuan Pos mengeluarkan sepeda untuk berkeliling kampung mengantar surat, ia pun

Tuan Pos kami adalah tuan sekaligus anak buah bagi dirinya sendiri karena semua

pekerjaan ia kerjakan sendiri. Beliau bekerja sejak subuh: memasak sagu untuk lem,

mengangkat karung paket, menjual perangko, menerima dan membayar tabanas dan

wesel, mencap surat. Kadang-kadang beliau membantu pelanggan menulis dan malah

membacakan surat cinta untuk para kekasih yang buta huruf. Ketika BUMN yang sok

progresif sekarang ribut soal Good Corporate Citizenship, Tuan Pos kami telah jauh-jauh

hari mempraktik-kannya. Beliau menyortir surat sejak su-buh dan mengantarnya di

bawah hujan dan panas. Sudah begitu tak jarang pula beliau menerima keluhan yang

pedas dari pelanggan. Sekilas dalam hati aku berdoa:

\"Ya, Allah, cita-citaku adalah menjadi seorang penulis atau pemain bulu tangkis, tapi jika

gagal jadikan aku apa saja kalau besar nanti, asal jangan jadikan aku pegawai pos. Dan

jangan beri aku pekerjaan sejak subuh.\"

\"APA anak-anak muda di kelas ini sudah boleh menerima surat cinta, Ibunda Guru?\"

Itulah kata-kata dari sepotong kepala yang melongok dari balik daun pintu kelas kami. Bu

Mus tersenyum ramah pada Tuan Pos yang tiba-tiba muncul. Beliau biasa menerima

kiriman majalah syiar Islam Panji Masyarakat dari sebuah kantor Muhammadiyah di

Jawa Tengah. Tapi kali ini Tuan Pos membawa surat untukku.

Istimewa sekali! Inilah surat pertama yang kuterima dari Perum Pos. Dulu aku sering

mengantar nenekku ke kantor pos untuk mengambil pensiun. Tapi secara pribadi, baru

kali ini aku menerima layanan dari perusahaan umum yang sangat bersahaja ini, sahabat

orang kecil, pos giro. Aku bangga dan sekilas merasa menjadi orang yang agak sedikit

Apakah surat ini dari redaksi majalah Kawanku atau majalah Hai untuk puisi-puisi yang

tak pernah kukirimkan? Tentu saja tak mungkin. Surat ini dialamatkan ke sekolah, tak

ada nama dan alamat pengirimnya, sampulnya biru muda, indah, dan harum pula baunya.

Apakah salah alamat? Mungkin untuk Samson atau Sahara dari sahabat pena mereka di

Kuala Tungkai, Sungai Penuh, Lubuk Sikaping, atau Gunung Sitoli. Mengapa para

sahabat pena selalu berasal dari tempat-tempat yang namanya aneh? Atau mungkin untuk

Trapani yang tampan dari seorang pengagum rahasia?

Pak Pos tersenyum menggoda. Beliau mengeluarkan form xl3. Tanda terima kiriman penting.

\"Surat ini untukmu, rambut ikal, cepat tanda tangan di sini, tak 'kan kuhabiskan waktuku

di sekolahmu ini, masih banyak kerjaan, sekarang musim bayar pajak, masih ratusan SPT

pajak harus diantar, cepatlah ....\"

Pak Pos belum puas dengan godaannya.

\"Ada gadis kecil datang ke kantor pos pagi-pagi. Mengirimimu kilat khusus dalam kota!

Mungkin asap hio membuatnya sedikit linglung, pakai perangko biasa pun pasti kuantar

hari ini. Ia berkeras dengan kilat khusus, begitu pentingkah urusanmu belakangan ini, ikal

mayang?\" Aha, asap hio! Sekarang aku paham, kurampas surat itu. Dadaku berdebar-debar.

Menunggu waktu pulang untuk membuka isi surat itu rasanya seperti menunggu rakaat

terakhir shalat tarawih hari ketiga puluh. Saat itu imam membaca hampir setengah Surah

AlBaqarah sementara ketupat sudah menari-nari di depan mata.

Aku duduk sendiri di bawah filicium ketika seluruh siswa sudah pulang. Surat bersampul

biru itu berisi puisi.

Cinta benar-benar telah menyusahkanku

Ketika kita saling memandang saat sembahyang

Malamnya aku tak bisa tidur karena wajahmu tak

mau pergi dari kamarku

Kepalaku pusing sejak itu...

Yang berani merusak tidur dan selera makanku ?

Yang membuatku melamun sepanjang waktu?

Kamu tak lebih dari seorang anak muda

Namun ingin kukatakan padamu

Setiap malam aku bersyukur kita telah bertemu

Karena hanya padamu, aku akan merasa rindu....

Aku terpaku memandangi kertas itu. Tanganku gemetar. Aku membaca puisi itu dengan

menanggung firasat sepi tak tertahankan yang diam-diam menyelinap. Aku bahagia tapi

dilanda kesedihan yang gelap, ada rasa kehilangan yang mengharu biru. Tak lama

kemudian aku melihat pagar-pagar sekolahku perlahan-lahan berubah menjadi kaki-kaki

manusia yang rapat berselang-seling. Ada seseorang duduk bersimpuh di tengah lapangan

dikelilingi kaki-kaki itu. Dan ada bangkai seekor buaya terbujur kaku disampingnya

Ia tampak samara-samar dan terlihat sangat putus asa. Lalu wajah samara laki-laki itu tampak

mendekat, ia menoleh ke arahku, air mata mengalir di pipinya yang carut marut berbintik-bintik

hitam. Hari itu aku paham bahwa kepedihan Bodenga yang kusaksikan bertahun-tahun lampau di

lapangan basket sekolah nasional telah melekat dalam benakku sebagai sebuah trauma, dan hari itu,

setelah sekian tahun berlalu, untuk pertama kalinya Bodenga mengunjungiku

TEKANANdarahku terlalu rendah. Penderita hipo-tensi tidak bisa bangun tidur dengan

tergesa-gesa. Jika langsung berdiri maka pandangan mata akan berkunang-kunang lalu

bisa-bisa ambruk dan kembali tidur dalam bentuk yang lain. Sebuah konsekuensi yang

Namun, Samson sungguh tak punya perasaan. Ia membabat kakiku tanpa ampun dengan

gulungan tikar lais saat aku se-dang tertidur lelap.

\"Bangun!\" hardiknya. \"Wak Haji sudah datang, sebentar lagi azan, disiramnya kau

nanti!\" Dan aku terbangkit mendadak, meracau tak keruan antara tidur dan terjaga,

tergagap-gagap. Kurasakan dunia berputar-putar, pandanganku gelap. Aku merangkak

berlindung di balik pilar agar tak ketahuan Wak Haji yang sedang membuka jendelajendela

masjid. Sempat kulihat Lintang, Trapani, Mahar, Syahdan, dan Harun terbiritbirit

menyerbu tempat wudu.

Tidur di ruang utama masjid adalah pelanggaran. Kami seharusnya tidur di belakang, di

ruangan beduk dan usungan jenazah. Aku tersandar tanpa daya pada pilar yang beku,

berusaha meregang-regangkan mataku, jantungku terengah-engah, aku bersusah payah

mengumpul-ngumpulkan nyawa.

Angin dingin menyerbu lewat jendela. Mataku terpicing mengintip keluar jendela. Sisa

cahaya bulan yang telah pudar jatuh di halaman rumput, sepi dan murung. Inilah early

morning blue,semacam hipokondria, perasaan malas, sakit, pesimis, dan kelabu tanpa

alasan jelas yang selalu melandaku jika bangun terlalu dini. Teringat puisi A Ling

untukku, aku ingin tidur lagi dan baru bangun minggu depan.

Setelah Wak Haji selesai mengumandangkan azan baru kurasakan jiwa dan ragaku

bersatu. Kucai yang telah mengambil wudu dengan sengaja melewatiku, jaraknya dekat

sekali, bahkan hampir melangkahiku. Ia menjentikjentikkan air ke wajahku. Kibasan

sarung panjangnya menampar mukaku.

\"Pemalas!\" katanya.

Malam minggu ini kami menginap di Masjid Al Hikmah karena setelah shalat subuh

nanti kami punya acara seru, yaitu naik gunung!

Gunung Selumar tidak terlalu tinggi tapi puncaknya merupakan tempat tertinggi di

Belitong Timur. Jika memasuki kampung kami dari arah utara maka harus melewati bahu

kiri gunung ini. Dari kejauhan, gunung ini tampak seperti perahu yang terbalik, kukuh,

biru, dan samar-samar. Di sepanjang tanjakan dan turunan menyusuri bahu kiri Gunung

Selumar berderet-deret rumah-rumah penduduk Selinsing dan Selumar. Mereka

memagari pekarangannya dengan bambu tali yang ditanam rapat-rapat dan dipangkas

rendah-rendah. Kampung kembar ini dipisahkan oleh sebuah lembah yang digenangi air

yang tenang. Danau Merantik, demikian namanya.

Jika mengendarai sepeda maka stamina tubuh akan diuji oleh sebuah tanjakan pendek

namun curam menjelang Desa Selinsing. Pemuda-pemuda Melayu yang berusaha

membuat kekasihnya terkesan tak 'kan membiarkannya turun dari sepeda. Mereka nekat

mengayuh sampai ke puncak, mengerahkan segenap tenaga, tertatih-tatih sehingga

sepeda tak lurus lagi jalannya. Setelah tanjakan Selinsing ini ditaklukkan maka sepeda

akan menukik turun. Sang pemuda akan tersenyum puas, meminta kekasihnya memeluk

pinggangnya erat-erat dan meyakinkannya bahwa ia kurang lebih tidak akan terlalu

memalukan nanti kalau dijadikan suami.

Pada tukikan ini sepeda akan meluncur turun dengan deras, menikung sedikit, sebanyak

dua kali, menelusuri lembah Danau Merantik, lalu disambut lagi oleh tanjakan kampung

Selumar. Kekasih mana pun akan maklum kalau diminta turun, karena tanjakan Selumar

meskipun tak securam tanjakan Selinsing namun jarak tanjaknya sangat panjang.

Baru seperempat saja menempuh tanjakan Selumar maka sepeda yang dituntun akan

terasa berat. Pagar bambu tali yang dibentuk laksana anak-anak tangga tampak

berbayang-bayang karena mata berkunang-kunang akibat kelelahan. Semakin ke puncak

langkah semakin berat seperti dibebani batu. Keringat bercucuran mengalir deras melalui

celah-celah leher baju, daun telinga, dan mata, sampai membasahi celana. Tapi saat

mencapai puncaknya, yaitu puncak bahu kiri Gunung Selumar, semua kelelahan itu akan

terbayar. Di hadapan mata terhampar luas Belitong Timur yang indah, dibatasi pesisir

pantai yang panjang membiru, dinaungi awan-awan putih yang mengapung rendah, dan

barisan rapi pohon-pohon cemara angin.

Dari puncak bahu ini tampak rumah-rumah penduduk terurai-urai mengikuti pola anak-anak Sungai

Langkang yang berkelak-kelok seperti ular. Kelompok rumah ini tak lagi

dipagari oleh bambu tali namun berselang-seling di antara padang ilalang liar tak bertuan.

Semakin jauh, jalur pemukiman penduduk semakin menyebar membentuk dua arah.

Pemukiman yang berbelok ke arah barat daya terlihat sayup-sayup mengikuti alur jalan

raya satu-satunya menuju Tanjong Pandan. Dan yang terdesak terus ke utara terputus

oleh aliran sebuah sungai lebar bergelombang yang tersambung ke laut lepas Sungai

Lenggang yang melegenda. Di seberang Sungai Lenggang rumah-rumah penduduk

semakin rapat mengitari pasar tua kami yang kusam.

Jangan terburu-buru menuruni lembah. Berhentilah untuk beristirahat. Sandarkan tubuh

berlama-lama di salah satu pokok pohon angsana tempat anak-anak tupai ekor kuning

rajin bermain. Dengarkan orkestra daun-daun pohon jarum dan jeritan histeris burung-burung kecil

matahari yang berebut sari bunga jambu mawar dengan kumbang hitam.

Nikmati komposisi lanskap yang manis antara gu-nung, lembah, sungai, dan laut.

Longgarkan kancing baju dan hirup sejuk angin selatan yang membawa aroma daun

Anthurium andraeanum,yaitu bunga hati yang tumbuh semakin subur beranak pinak

mengikuti ketinggian. Dinamakan bunga hati karena daunnya berbentuk hati.

Aku sendiri tak pasti, apakah aroma harum a-lami yang melapangkan dada itu berasal

andraeanumsendiri atau dari simbiosisnya, sebangsa fungi Clitocybe gibba yaitu jamur

daun tak bertangkai yang rajin merambati akar-akar familia keladi itu. Jamur ini bersemi

dalam suhu yang semakin lembap saat memasuki musim angin barat pada bulan-bulan

yang berakhiran ber. Bentuknya tegap, rendah, dan gemuk-gemuk.

Kami sudah sangat sering piknik ke Gunung Selumar dan agak sedikit bosan dengan

sensasinya. Biasanya kami tidak sampai ke puncak, sudah cukup puas dengan

pemandangan dari 75% ketinggiannya. Lagi pula komposisi batu granit di atas lereng

gunung ini membuat jalur pendakian ke puncak menjadi licin. Namun, kali ini aku amat

bergairah dan bertekad untuk mendaki sampai ke puncak. Laskar Pelangi menyambut

baik semangatku. Belum apa-apa mereka telah sibuk bercerita tentang pemandangan

hebat yang akan kami saksikan nanti dari puncak, yaitu seluruh jembatan di kampung

kami, kapal-kapal ikan, dan tongkang pasir gelas yang bersandar di dermaga.

Tapi aku tak peduli dengan semua pemandangan itu karena aku punya misi rahasia.

Rahasia ini menyangkut sebuah pemandangan menakjubkan yang hanya bisa disaksikan

dari puncak tertinggi Gunung Selumar. Rahasia ini juga berhubungan dengan bunga-bunga kecil

nan rupawan yang hanya tumbuh di puncak tertinggi. Mereka adalah bunga

liar Callistemon laevis atau bunga jarum merah, atau kalau beruntung, bunga kecil kuning

kelopak empat semacam Diplotaxis muralis.

Aku menyebutnya bunga rumput gunung, istilahku sendiri, karena ia senang menyelinap,

enam atau tujuh tangkai seperanakan, di antara rerumputan zebra liar di puncak-puncak

gunung dekat laut. Kelopaknya selebar ibu jari, berwarna kuning redup dan tangkai yang

menopangnya berwarna hijau muda dengan ukuran tak sepadan, natural, spontan, lucu,

dan cantik. Daun-daunnya tak dapat dikatakan indah karena bentuk dan warnanya, bukan

ukurannya, lebih seperti daun Vitex trifolia biasa. Namun jika kita siangi daunnya dan

berhasil mengumpulkan paling tidak 15 kuntum lalu disatukan dengan jumlah yang lebih

sedikit dari kuntum bunga jarum merah maka satu kata untuk mereka: fantastik!

Bunga jarum merah berbentuk jarum yang lebat dengan ujung bulat kecil-kecil berwarna

kuning. Ketika bunga jarum digabungkan dengan bunga rumput gunung tanpa diatur

maka mereka seolah berebutan tampil. Ikatlah mereka dengan pita rambut berwarna biru

muda dan tulislah sebuah puisi, maka Anda akan mampu mendinginkan hati wanita mana

Setelah tiga jam mendaki kami tiba di puncak. Lelah, haus, dan berkeringat, tapi tampak

jelas rasa puas pada setiap orang, sebuah ekspresi \"telah mampu menaklukkan\". Aku

yakin perasaan inilah yang memicu sikap obsesif setiap pendaki gunung profesional

untuk menaklukkan atap-atap dunia. Kiranya daya tarik mendaki gunung berkaitan

langsung dengan fitrah manusia. Lalu dengan hiruk pikuk sahut-menyahut teman-temanku, para

Laskar Pelangi, berkomentar tentang pemandangan yang terhampar luas di

\"Lihatlah sekolah kita,\" pekik Sahara. Bangunan itu tampak menyedihkan dari jauh.

Rupanya dilihat dari sudut dan jarak bagaimanapun, sekolah kami tetap seperti gudang

Lalu Kucai menunjuk sebuah bangunan,\"Hai! Tengoklah! Itu masjid kita.

Seluruh khalayak meneriakinya, tak terima.

\"Itu kelenteng, bodoh!\" Dan mereka pun terbelah dalam dua kelompok debat kusir.

Sebagaimana biasa Mahar mulai berdongeng, menurutnya Gunung Selumar adalah

seekor ular naga yang sedang menggulung diri dan telah tidur panjang selama berabad-abad.

\"Ular ini akan bangun nanti kalau hari kiamat. Kepalanya ada di puncak gunung ini.

Berarti tepat berada di bawah kaki-kaki kita sekarang! Dan ekornya melingkar di muara

Sungai Lenggang,\" katanya absurd.

\"Maka jangan terlalu ribut di sini, nanti kalian kualat,\" tambahnya lagi belum puas

membodohi diri sendiri. Teman-temanku riuh rendah mendengar cerita itu dalam pro dan

Tapi seperti biasa pula, A Kiong-lah yang selalu termakan dongeng Mahar, ia tampak

serius dan percaya seratus persen. Mungkin sebagai ungkapan rasa kagum atas cerita

yang sangat bermanfaat itu, dengan takzim ia memberikan bekal pisang rebusnya kepada

Mahar. Sikapnya seperti seorang anggota suku primitif menyerahkan upeti kepada dukun

yang telah menyembuhkannya dari penyakit kudis. Mahar menyambar upeti itu dan

secara kilat memasukkannya ke dalam sistem pencernaannya tanpa peduli bahwa dia

sedang dianggap sangat berwibawa oleh A Kiong. Meledaklah tawa Laskar Pelangi

melihat pemandangan itu. Namun A Kiong tetap serius, ia sama sekali tidak tertawa,

baginya kejadian itu tidak lucu.

Demikian pula aku. Aku juga tidak tertawa. Karena aku sedang merasa sepi di keramaian.

Mataku tak lepas me-mandang sebuah kotak persegi empat berwarna merah nun jauh di

bawah sana, atap sebuah rumah. Rumah A Ling.

Aku menyingkir dari kegirangan teman-temanku, sendirian menelusuri padang ilalang

rendah di puncak gunung, memetik bunga-bunga liar. Kupandangi lagi atap rumah A

Ling dan segenggam bunga liar nan cantik di dalam genggaman. Untuk inikah

aku mendaki gunung setinggi ini?

Panorama dari puncak ini seperti musik. In-tronya adalah gumpalan awan putih yang

mengapung rendah seolah aku dapat menjangkaunya. Lalu mengalir vokal dari suitansuitan

panjang burung-burung prigantil yang kadang-kadang begitu dekat dan nyaring,

sampai terdengar jauh samar-samar bersahut-sahutan dengan lengkingan-lengkingan

kecil kawanan murai batu. Reffrainnya adalah ribuan burung punai yang menyerbu

hamparan buah bakung yang masak menghitam seperti permadani raksasa. Musik

diakhiri secara fade out oleh jajaran panjang hutan bakau tang-kapan hujan yang

memagari anak-anak Sungai Lenggang, berkelok-kelok sampai tak tampak oleh

pandangan mata, ditelan muara-muara di sepanjang Pantai Manggar sampai ke Tanjong

Angin sejuk yang bertiup dari lembah menampar-nampar wajahku. Aku merasa tenang

dan akan kutulis puisi demi seseorang di balik tirai keong itu. Puisi inilah misi rahasiaku.

A Ling, hari ini aku mendaki Gunung Seiumar Tinggi, tinggi sekaii, sampai ke puncaknya

Hanya untuk melihat atap rumahmu Hatiku damai rasanya

SENIN pagi yang cerah. Sepucuk puisi dibungkus kertas ungu bermotif kembang api.

Bunga-bunga kuning kelopak empat dan kembang jarum merah primadona puncak

gunung diikat pita rambut biru muda. Tak juga hilang kesegarannya karena semalam

telah kurendam di dalam vas keramik. Tak sabar rasanya ingin segera kuberikan pada A

Benda-benda ajaib ini adalah properti sekuel cinta pagi ini, dan skenarionya ada-lah:

ketika A Ling menyodorkan kotak kapur, aku serta-merta meletakkan bunga dan puisiku

ini ke tangannya yang terbuka. Tak perlu ada kata-kata. Biarlah ia menghapus air

matanya karena keindahan bunga-bunga liar dari puncak gunung. Biarlah ia membaca

puisiku dan merasakan kue keranjang tahun ini lebih enak dari tahun-tahun lalu.

Aku gugup dan bergegas menghampiri lubang kotak kapur segera setelah A Miauw

memberi perintah. Namun ketika tinggal dua langkah sampai ke kotak itu aku terkejut tak

alang kepalang. Aku terjajar mundur ke belakang dan nyaris terantuk pada kaleng-kaleng

minyak sayur. Aku terperanjat hebat karena melihat tangan yang menjulurkan kotak

kapur adalah sepotong tangan yang sangat kasar. Tangan itu bukan tangan A Ling!

Tangan itu sangat ganjil, seperti sebilah tembaga yang jahat. Bentuknya benar-benar

kebalikan dari tangan Michele Yeohku. Tangan itu berotot, dekil, hitam legam, dan

berminyak-minyak. Dari otot lengan atasnya menjalar urat-urat besar berwarna biru,

timbul dan berkejaran.

Sebuah gelang akar bahar, tidak tanggung-tanggung, melingkar tiga kali pada lengan

tembaga sepuhan tembaga itu. Ujung gelang diukir berbentuk kepala ular beracun kuat

pinang barik yang menganga lapar siap menyambar. Sedangkan pada pergelangan siku,

seperti dikenakan raksasa jahat dalam pewayangan, melekat gelang alumunium ketat

dengan kedua ujung berbentuk gerigi kunci, biasa dipakai untuk tujuan-tujuan melanggar

hukum. Memang tidak terdapat tato pantangan bagi orang Melayu yang tahu agama, tapi

pada tiga jari jemarinya terdapat tiga mata cincin yang mengancam.

Jari telunjuknya dibalut cincin batu satam terbesar yang pernah kulihat. Batu satam

adalah material meteorit yang unik karena di muka bumi ini hanya ada di Belitong.

Warnanya hitam pekat karena komposisi carbon acid dan mangaan, dan kepadatannya

lebih dari baja sehingga tidak mungkin bisa dibentuk. Batu-batu ini biasa bersembunyi di

lubang bekas tambang timah dan tak 'kan dapat ditemukan jika sengaja dicari. Hanya

nasib baik yang dapat mengeluarkan satam dari perut bumi. Tahun 1922 kompeni

menyebut batu ini billitonite dan dari sinilah Pulau Belitong mendapatkan namanya.

Tanpa sama sekali mempertimbangkan estetika, pemilik tangan itu mengikat benda

keramat dari tata surya itu apa adanya dengan kuningan murahan. Namun, ia

memakainya dengan bangga seolah dirinya penguasa langit.

Pada jari manisnya terpajang cincin bermata batu akik yang mengesankan seperti sebuah

batu kecubung asli Kalimantan yang amat berharga. Tapi aku tak bisa dibohongi. Batu itu

tak lebih dari sintetis hasil masakan plastik yang dipadatkan dengan kristal pada suhu

yang sangat tinggi. Pemakainya adalah seorang penipu. Yang ditipunya tak lain dirinya

Yang terakhir, di jari tengahnya, tampak pemimpin dari seluruh cincin yang

mengintimidasi dan pernyataan kecenderungan licik pemiliknya. Di situ menyeringai

angker sebuah mata cincin besar tengkorak manusia dengan mata berlubang. Cincin ini

dibuat dari bahan mur baja putih yang didapat secara kongkalikong dengan orang bengkel

alat berat PN Timah. Cara mengubah baja ini menjadi cincin membuat siapa pun

bergidik. Setelah dibentuk secara kasar dengan mesin bubut kemudian mur besar baja

putih mentah yang sangat keras itu dikikir secara manual selama berminggu-minggu.

Kebiasaan membuat cincin seperti ini sering dipraktikkan oleh karyawan PN Timah

dalam tingkatan kuli. Kerja keras rahasia berminggu-minggu itu hanya akan

menghasilkan sebuah cincin putih berkilauan yang jelek sekali. Sebuah kebiasaan yang

tak masuk akalku sampai sekarang.

Lalu kuku-kuku pemilik tangan ini, aduh! Minta ampun, bentuknya seperti paras kukukuku

yang terkena kutukan. Berbeda seperti langit dan bumi dibanding kuku-kuku A

Ling yang bertahun-tahun menyihir pandanganku. Kuku-kuku ini sangat tebal, kotor,

panjang tak beraturan, dan ujungnya pecah-pecah. Secara umum kuku-kuku ini mirip

sekali dengan sisik buaya.

Belum hilang rasa terkejutku, aku mendengar suara ketukan keras kuku-kuku besi itu di

permukaan papan dekat kotak kapur tanda tak sabar, maksudnya biar aku segera

mengambil kapur itu. Dari dalam terdengar suara gerutuan tak bersahabat. Karena kukukuku

itu sangat kasar maka ketukan itu terdengar demikian keras, membuatku semakin

gelisah. Tapi yang paling merisaukanku adalah karena aku tak menemukan A Ling. Ke

manakah gerangan Michele Yeohku?

\"Apa yang terjadi?\" Syahdan mendekatiku. \"I-kal, tangan siapa seperti pentungan satpam

Aku tak menjawab, tenggorokanku tercekik. Tangan itu tak asing bagiku. Itu adalah

tangan Bang Sad. Aku ingat ketika ia mengukir kepala ular pinang barik pada akar bahar

pemberian pria-pria berkerudung tempo hari. Pernah diceritakannya padaku bahwa

dibutuhkan waktu tiga minggu untuk membentuk akar panjang dari dasar laut itu menjadi

gelang >tiga lingkar. Akar yang tadinya lurus kencang ditaklukkan dengan cara

melumurinya dengan minyak rem dan mengasapinya dengan sabar di atas suhu tungku

Ketukan-ketukan itu terus menerorku. Bang Sad sungguh tak punya perasaan. Ia tak tahu

aku sedang panik, gugup, dan risau karena tak menjumpai A Ling seperti kebiasaan yang

telah berlangsung selama tujuh tahun. Baru kali ini terjadi hal di luar kebiasaan itu.

Situasi ini sangat membingungkan buatku. Otakku tak bisa berpikir.

Hanya Syahdan yang kiranya segera dapat mencerna keadaan, mengurai kebuntuan,

memecah kebekuan. Ia berinisiatif mengambil kotak kapur itu. Bang Sad menarik

tangannya seperti seekor binatang melata yang masuk kem-bali ke dalam sarangnya.

Syahdan mendekatiku yang ber-diri terpaku, wajahnya sendu. Ia ingin menunjukkan

simpati tapi aku juga tahu bahwa ia sendiri merasa gentar. A Miauw yang dari tadi

memerhatikan menghampiriku dengan tenang. Berdiri persis di sampingku ia menarik

napas pan-jang dan mengatur dengan hati-hati apa yang ingin diucap-kannya.

\"A Ling sudah pigi Jakarta .... Nanti dia terbang naik pesawat pukul 9. Ia harus

menemani bibinya yang sekarang hidup sendiri, ia juga bisa mendapat sekolah yang

Aku tertegun putus asa. Rasanya tak percaya dengan apa yang kudengar. Terjawab sudah

firasatku ketika Bodenga mengunjungiku. Semangatku terkulai lumpuh.

\"Kalau ada nasib, lain hari kalian bisa bertemu lagi.\" A Miauw menepuk-nepuk

Aku terdiam dan menunduk seperti orang sedang mengheningkan cipta. Tanganku

mencengkeram kuat ikatan bunga-bunga liar dan selembar puisi.

\"Ia titip salam buatmu dan ia ingin kamu menyimpan ini ....\"

A Miauw menyerahkan sebuah kado yang dibungkus kertas berwarna ungu bermotif

kembang api, persis sama dengan kertas sampul puisiku. Sebuah kebetulan yang hampir

mustahil. Aku tahu, sejak awal Tuhan telah mengamati baik-baik cinta yang luar biasa

Aku merasa seluruh barang dagangan yang ada di toko itu rubuh menimpaku. Dadaku

sesak. Aku melihat sekeliling dan terpikir akan sesuatu. Aku menarik tangan Syahdan

dan mengajaknya pulang.

Persis pukul 8.50 kami sampai di halaman sekolah, lalu berlari melintasi lapangan

menuju pokok pohon gayam tempat kami sering duduk bersama-sama mengamati

pesawat terbang yang datang dan pergi meninggalkan Tanjong Pandan. Kami mengambil

posisi terbaik sambil bersandar di pokok pohon itu. Kami diam dan terus menengadahkan

kepala, memicingkan mata, ke arah langit yang cerah biru menyilaukan.

Perlahan-lahan muncul sebuah pesawat Foker 28 melintas pelan di atas lapangan sekolah

kami. Aku tahu di dalam pesawat itu ada A Ling dan ia juga pasti sedang sedih

meninggalkan aku sendiri.

Aku mengamati pesawat yang per-gi membawa cinta pertamaku menembus awan-awan

putih nun jauh tinggi di angkasa tak terjangkau. Pesawat itu semakin lama semakin kecil

dan pandanganku semakin kabur, bukan karena pesawat itu semakin jauh tapi karena air

mata tergenang pelupuk mataku. Selamat tinggal belahan jiwaku, cinta pertamaku.

Setelah pesawat itu sama sekali menghilang Syahdan meninggalkanku sendirian. Tibatiba

aku disergap oleh perasaan sunyi yang tak tertahankan. Rasanya di dunia ini hanya

aku satu-satunya makhluk hidup. Daun-daun gayam yang rontok berbunyi seperti bilahbilah

seng yang berjatuhan di kesunyian malam.

Pohon gayam ini adalah satu-satunya pohon di tengah lapangan sekolahku yang sangat

luas dan aku duduk sendiri di bawahnya, kesepian. Aku baru saja ditinggalkan oleh

seseorang yang telah memenuhi hatiku sampai meluap-luap selama lima tahun terakhir

ini. Lalu dengan tiba-tiba pagi ini, ia begitu saja tercabut dari kehidupanku.

Aku membuka kado yang dititipkan A Ling. Di dalamnya terdapat sebuah buku berjudul

Seandainya Mereka Bisa Bicarakarya Herriot dan sebuah diary yang memuat berbagai

catatan harian dan lirik-lirik lagu. Aku membalik lembar demi lembar diary itu. Tak ada

yang istimewa dan tak ada yang khusus ditujukan untukku. Namun pada suatu halaman

aku membaca judul sebuah puisi yang rasanya aku kenal, judulnya Bunga Krisan. Pada

lembar-lembar berikutnya aku melihat seluruh puisi yang dulu pernah kukirimkan

kepadanya dan selalu ia kembalikan. A Ling menylin kembali seluruh puisiku dalam

ANGIN selatan, angin paling jinak, biasa berembus dengan kecepatan maksimum 10

mph. Angin lembut ini tiba-tiba mengamuk menjadi monster puting beliung dengan

kecepatan seribu kali lipat, 10.000 mph. Pohon dan mobil-mobil beterbangan seperti

bulu, aspal jalan terkelupas. Seluruh bangunan runtuh, bahkan fondasi rumah tercabut,

yang tersisa hanya lubang-lubang WC. Tepung sari Camellia dan Buxus yang tumbuh di

kebun liar peliharaan alam di puncak Gunung Samak terhambur ke udara, menimbulkan

pemandangan menyedihkan seperti nyawa-nyawa muda yang dicabut paksa oleh malaikat

maut dari jasad yang segar bugar. Semua itu gara-gara pembakaran minyak solar

berlebihan selama ratusan tahun dalam eksploitasi timah sehingga menimbulkan gas

rumah kaca. Gas itu tertumpuk di atas atmosfer Belitong dan segera menimbulkan efek

rumah kaca, menunggu hari untuk menjadi mara bahaya. Lalu senyawa gas rumah kaca

itu karbondioksida dan radiasi matahari memicu reaksi kimia yang mengubah tepung sari

yang bergentayangan di udara menjadi semacam bubuk mesiu dengan daya ledak sangat

tinggi seperti TNT. Karena kuantitasnya telah beraku mulasi demikian lama maka pada

suatu tengah hari saat orang-orang Melayu sedang mendengarkan musik pelepas lelah di

RRI, tanpa firasat apa pun, terjadilah katastropi itu. Sebuah ledakan yang sangat dahsyat

seperti ledakan nuklir menghantam Belitong. Orang-orang Belitong mengira kiamat telah

datang maka tak perlu menyelamatkan diri. Mereka terduduk pasrah di tangga-tangga

rumahnya, melongo melihat ekor ledakan yang kemudian membentuk cendawan raksasa

yang menutupi tanah kuno pulau itu sehingga gelap gulita. Dalam waktu singkat ajal

yang sebenarnya pun pelan-pelan menjemput, yakni ketika cendawan yang mengandung

radio aktif, merkuri, dan amoniak hanyut turun mengejar orang-orang Belitong yang

kocar-kacir mencari perlindungan. Mereka menyelinap ke gorong-gorong, menyelam di

sungai, sembunyi di dalam karung goni, terjun ke sumur-sumur, dan tiarap di got-got.

Tapi semua usaha itu sia-sia karena gas-gas kimia tadi larut dalam udara dan air.

Sebagian orang Belitong tewas di tempat, tertungging seperti ekstremis dibedil kompeni,

dan mereka yang selamat berubah menjadi makhluk-makhluk cebol berbau busuk.

Melihat penampilan orang Belitong seperti itu pemerintah pusat di Jakarta merasa malu

kepada dunia internasional dan tak sudi mengakui orang Belitong sebagai warga negara

republik. Karena itu Kabupaten Belitong dipaksa rela melakukan referendum. Walaupun

hanya sedikit orang Melayu Belitong yang ingin memisahkan diri dari NKRI tapi

pemerintah menganggap keputusan manusia-manusia cebol itu sebagai aklamasi sehingga

Belitong menjadi negara yang merdeka. Bisa dipastikan bahwa Belitong tidak mampu

menghidupi dirinya sendiri. Di sisi lain, efek rumah kaca yang demikian tinggi

mengakibatkan ekologi di sana tidak seimbang, permukaan air laut naik, dan suhu

menjadi terlalu panas. Dan saat itulah kebenaran yang hakiki datang. Bodenga yang telah

lama menghilang tiba-tiba muncul mengambil alih pemerintahan kabupaten, ia menindas

tandas orang-orang cebol yang telah memper-lakukan ia dan ayahnya dengan tidak adil.

Orang-orang cebol itu digiring olehnya dan digelontor ke muara Sungai Mirang agar

dimangsa buaya. Orang-orang cebol itu meregang nyawa dan dalam waktu singkat

mereka tewas ter-apung-apung seperti ikan kena tuba.

Itulah kira-kira isi kepala seorang pemimpi yang hampir gila karena frustrasi putus cinta

Aku tak bisa berpikir jernih, bermimpi buruk, berhalusinasi, dan dihantui khayalankhayalan

aneh. Jika aku melihat ke luar jendela dan ada pelangi melingkar maka pelangi

iu menjadi monokrom. Jika aku mendengar kicauan prenjak maka ia berbunyi seperti

burung mistik pengabar kematian. Aku merasa setiap orang: para penjaga toko, Tuan Pos,

tukang parut kelapa, polisi pamong praja, dan para kuli panggul telah berkonspirasi

Meskipun selama lima tahun aku hanya dua kali berjumpa dengan Michele Yeohku tapi

perasaanku padanya melebihi segalanya. A Ling adalah sosok yang dapat menimbulkan

perasaan sayang demikian kuat bagi orang-orang yang secara emosional terhubung

dengannya. Ia cantik, pintar, dan baik. Cintanya penuh imajinasi dan kejutan-kejutan

kecil yang menyenangkan, mungkin itulah yang membuatku amat terkesan. Tapi rupanya

ketika ia melepaskan genggaman tangannya minggu lalu, saat itu pula nasib memisahkan

kami. Kini dirinya menjadi semakin berarti ketika ia sudah tak ada dan aku merasa getir.

Kepergian A Ling meninggalkan sebuah ruangan kosong, rongga hampa yang luas, dan

duka lara di dalam hatiku. Dadaku sesak karena rindu dan demi menyadari bahwa rindu

itu tak 'kan pernah terobati, aku rasanya ingin meledak. Aku selalu ingin menghambur ke

toko kelontong Sinar Harapan, tapi aku tahu tindakan dramatis seperti film India itu akan

percuma saja karena di sana aku hanya akan disambut oleh botol-botol tauco dan

tumpukan terasi busuk. Aku merana, merana sekali.

Aku merasa tak percaya, amat terkejut, dan tak sanggup menerima kenyataan bahwa

sekarang aku sendiri. Sendiri di dunia yang tak peduli. Jiwaku lumpuh karena ditinggal

kekasih tercinta, atau dalam bahasa puisi: aku mengharu biru tatkala kesepian melayap

mencekam dermaga jiwa, atau: batinku nelangsa berdarah-darah tiada daya mana kala ia

sirna terbang mencampak asmara.

Dan juga, laksana film India, perpisahan itu membuatku sakit. Seperti pertemuan pertama

dalam insiden jatuhnya kapur di hari yang bersejarah tempo hari, saat itu kebahagiaanku

tak terlukiskan kata-kata. Maka kini, saat perpisahan, kepedihanku juga tak tergambarkan

kalimat. Beberapa waktu lalu aku pernah menertawakan Bang Jumari yang menderita

diare hebat dan menggigil di siang bolong karena cintanya diputuskan oleh Kak Shita,

kakak sepupuku. Ketika itu aku tak habis pikir bagaimana kekonyolan seperti itu bisa

terjadi. Namun, kini hal serupa aku alami. Hukum karma pasti berlaku!

Selama dua hari aku sudah tidak masuk sekolah. Maunya hanya tergeletak saja di tempat

tidur. Kepalaku berat, napasku cepat, dan mukaku memerah. Ibuku memberiku Naspro

dan obat cacing Askomin. Tapi aku tak sembuh. Aku menderita panas tinggi.

Setelah Syahdan, Mahar dan pengikut setianya A Kionglah yang datang menjengukku.

Mahar memakai jas panjang sampai ke lutut seperti seorang dokter hewan dari Eropa dan

A Kiong tergopoh-gopoh di belakangnya menenteng sebuah tas koper laksana siswa

perawat yang sedang magang. Koper ini sangat istimewa karena di sana sini ditempeli

bekas peneng sepeda dan berbagai lambang pemerintahan sehingga mengesankan Mahar

seperti seorang pejabat penting kabupaten.

Syahdan sedang duduk di samping tempat tidurku ketika Mahar masuk ke kamar. A

Kiong dan Mahar tak mengucapkan sepatah kata pun, ekspresi mereka datar. Dengan

gerakan isyarat Mahar menyuruh Syahdan minggir.

Mahar berdiri persis di sampingku, memandangiku dengan cermat dari ujung kaki sampai

ujung rambut. Ia masih tetap tak bicara. Wajahnya serius seperti seorang dokter

profesional dan seolah dalam waktu singkat telah menyelesaikan diagnosisnya. Ia

menggeleng-gelengkankan kepalanya pertanda kasus yang dihadapi tidak sepele. Ia

menarik napas prihatin dan menoleh ke arah A Kiong.

\"Pisau!\" pekiknya singkat.

A Kiong cepat-cepat memutar nomor kombinasi koper lalu mengeluarkan sebilah pisau

dapur karatan. Aku dan Syahdan memerhatikan dengan khawatir. Pisau itu diberikan

dengan takzim pada Mahar yang menerimanya seperti seorang ahli bedah.

\"Kunir!\" perintah Mahar lagi, tegas dan keras.

A Kiong kembali merogoh sesuatu dari dalam koper dan segera menyerahkan kunir

seukuran ibu jari. Tanpa banyak cingcong Mahar memotong kunir dan dengan gerakan

sangat cepat tak sempat kuhindari ia menggerus kunir itu di keningku, melukis tanda

silang yang besar. Maka terpampanglah di keningku huruf X berwarna kuning. Lalu,

seperti telah sama-sama paham prosedur berikutnya, tanpa dikomando, A Kiong

mengambil dahan-dahan beluntas dari dalam koper, melemparkannya kepada Mahar yang

menyambutnya dengan tangkas dan langsung menampar-namparkan daun-daun itu ke

sekujur tubuhku tanpa ampun sambil komat-kamit.

Bukan hanya itu, sementara Mahar mengibas-ngibaskan daun-daun beluntas dengan

beringas, A Kiong serta-merta menyembur-nyemburkan air ke seluruh tubuhku termasuk

wajah melalui alat penyemprot bunga, sehingga yang terjadi adalah sebuah kekacauan.

Aku jadi berantakan dan basah seperti kucing kehujanan, namun aku tak berkutik karena

mereka sangat kompak, cepat, terencana, dan sistematis.

Tak lama kemudian mereka berhenti. Mahar menarik napas lega dan A Kiong dengan

wajah bloonnya ikut-ikutan bernapas lega sok tahu. Sebuah sikap gabungan antara

kebodohan dan fanatisme. Aku dan Syahdan hanya melongo, terpana, pasrah total.

\"Tiga anak jin tersinggung karena kau kencing sembarangan di kerajaan mereka dekat

sumur sekolah ...,\" Mahar menjelaskan dengan gaya seolah-olah kalau dia tidak segera

datang nyawaku tak tertolong. Tak ada rasa bersalah dan niat menipu tecermin dari

wajahnya. Mahar dan A Kiong tampil penuh kordinasi dengan ketenangan mutlak tanpa

dosa. Mereka tak sedikit pun ragu atas keyakinanya pada metode penyembuhan dukun

yang konyol tak tanggung-tanggung.

\"Merekalah yang membuatmu demam panas,\" sambungnya lagi sambil memasukkan

alat-alat kedokterannya tadi ke dalam koper, lalu dengan elegan menyerahkan koper itu

pada A Kiong. A Kiong menyambut tas itu seperti anggota Paskibraka menerima bendera

\"Tapi jangan cemas, Kawan, barusan mereka sudah ku-usir, besok sudah bisa masuk

Lalu tanpa basa-basi, tanpa pamit, mereka berdua langsung pulang. Hanya itu saja katakatanya.

Bahkan A Kiong tak mengucapkan sepatah kata pun. Aku terengah-engah.

Syahdan menutup wajahnya dengan tangannya.

Mahar memang sudah edan. Ia semakin tak peduli dengan buku-buku dan pelajaran

sekolah. Nilai-nilai ulangannya merosot tajam, bisa-bisa ia tidak lulus ujian nanti.

Sebenarnya ia murid yang pandai, belum lagi menghitung bakat seninya, tapi nafsu ingin

tahu yang terkekang terhadap dunia gaib membuatnya lebih senang memperdalam hal-hal

yang subtil. Belakangan ini keanehannya semakin menjadi-jadi, dan semua itu gara-gara

anak Gedong yang tomboi itu Flo atau mungkin gara-gara seorang dukun siluman

bernama Tuk Bayan Tula.

Sebulan yang lalu seluruh kampung heboh karena Flo hilang. Anak bengal penduduk

Gedong itu memisahkan diri rombongan teman-teman sekelasnya ketika hiking di

Gunung Selumar. Polisi, tim SAR, anjing pelacak, anjing kampung, kelompok pencinta

alam, para pendaki profesional dan amatir, para petualang, para penduduk yang

berpengalaman di hutan, para pengangguran yang bosan tak melakukan apa-apa, dan

ratusan orang kampung tumpah ruah mencarinya di tengah hutan lebat ribuan hektare

yang melingkupi lereng gunung itu. Kami sekelas termasuk di dalamnya.

Sampai senja turun Flo masih belum ditemukan. Bapak, Ibu, dan saudara-saudaranya

berulang kali pingsan. Guru-guru dan teman-teman sekelasnya menangis cemas. Segenap

daya upaya dikerahkan tapi belum ada tanda-tanda di mana ia berada. Susah memang,

hutan di gunung ini sangat lebat, sebagian belum terjamah, dan hutan itu ber-ujung di

lembah-lembah liar yang dialiri anak-anak sungai berbahaya.

Salak anjing, teriakan orang memanggil-manggil, dan suara belasan megafone bertalutalu

di lereng gunung. Para dukun tak mampu memberi petunjuk apa pun, ada saja

alasannya, tapi umumnya adalah bahwa para jin penunggu Gunung Selumar lebih sakti,

sebuah alasan klasik. Dari lengkingan megafone itu kami tahu nama anak perempuan

yang sedang hilang: Flo Menjelang sore sebuah lampu sorot besar yang biasa dipakai di

kapal keruk dibawa ke lereng gunung untuk memudahkan tim penyelamat. Orang-orang

dari kampung tetangga turut bergabung. Sekarang jumlah pencari mencapai ribuan. Hari

beranjak gelap dan keadaan semakin meng-khawatirkan. Kabut tebal yang menyelimuti

gunung sangat menyulitkan usaha pencarian. Wajah setiap orang mulai kelihatan cemas

dan putus asa. Tahun lalu dua orang anak laki-laki juga tersesat,setelah tiga hari mereka

ditemukan berpelukan di bawah sebatang pohon Medang, meninggal dunia karena

kelaparan dan hipotermia. Sinar merah lampu sirine mobil ambulans yang berputar-putar

menjilati sisi pohon-pohon besar, menciptakan suasana mencekam, seperti ada kematian

Sudah delapan jam berlalu tapi Flo masih tak diketahui keberadaanya di tengah hutan

rimba gunung ini. Orang tua Flo dan para pencari mulai panik. Malam pun turun.

Kami merasa kasihan pada Flo. Kini ia seorang diri dalam gelap gulita rimba. Ia bisa saja

terjatuh, mengalami patah kaki atau pingsan. Atau mungkin saat ini ia sedang terisakisak,

ketakutan, lapar dan kedinginan di bawah sebatang pohon besar, dan suaranya telah

parau memanggil-manggil minta tolong. Anak perempuan yang seperti anak laki-laki itu

tentu tadi pagi tak menyadari konsekuensi keisengannya. Mungkin awalnya ia hanya

ingin menggoda teman-temannya. Tapi sekarang, keadaan bisa fatal.

Kontur gunung ini sangat unik. Jika berada di dalam hutannya banyak sekali komposisi

pohon dan permukaan tanah yang tampak sama. Maka jika melewati jalur itu seolah

seseorang merasa berada di tempat yang telah ia kenal, padahal tanpa disadari

langkahnya semakin menjauh tersasar ke dalam rimba. Jika Flo mengalami ini ia akan

tersasar jauh ke selatan menuju aliran anak-anak Sungai Lenggang yang sangat deras

berjeram-jeram menuju ke muara. Tak sedikit orang yang telah menjadi korban di sana.

Pada beberapa bagian di wilayah selatan ini juga terhampar dataran tanah luas yang

mengandung jebakan mematikan, yaitu kiumi, semacam pasir hidup yang kelihatan solid

tapi jika diinjak langsung menelan tubuh.

Namun, ia akan sial sekali jika tersasar ke utara. Di sana jauh lebih berbahaya. Ia

memasuki semacam pintu mati. Ia tak 'kan bisa kembali, sebuah point ofno return, karena

lereng gunung di bagian itu terhalang oleh ujung aliran sungai jahat yang disebut Sungai

Buta. Sungai Buta adalah anak Sungai Lenggang tapi alirannya putus hanya sampai di

lereng utara Gunung Selumar. Sungai itu seperti sebuah gang sempit yang buntu atau

seperti jalan yang berakhir di jurang. Orang kampung menamainya Sungai Buta sebagai

representasi keangkerannya. Buta lebih berarti gelap, tak ada petunjuk, terperangkap

tanpa jalan keluar, dan mati.

Sungai Buta demikian ditakuti karena permukaannya sangat tenang seperti danau, seperti

kaca yang diam. Tapi tersembunyi di bawah air yang tenang itu adalah maut yang

sesungguhnya, yaitu buaya-buaya besar dan ular-ular dasar air yang aneh-aneh. Buaya

sungai ini berperangai lain dan amat agresif, mereka mengincar kera-kera yang

bergelantungan di dahan rendah, bahkan menyambar orang di atas perahu. Pohon-pohon

tua ru1yang tinggi tumbuh dengan akar tertanam di dasar sungai ini, sebagian telah mati

menghitam, membentuk pemandangan yang sangat menyeramkan seperti sosok-sosok

hantu raksasa yang merenungi per mukaan sungai dan menunggu mangsa melintas.

Sungai Buta berbentuk melingkar, mengurung sisi utara Gunung Selumar. Jika Flo

tersesat ke sini ia tak mung-kin dapat kembali mundur karena tenaganya pasti tak akan

cukup untuk kembali mendaki punggung granit yang curam. Jika ia memaksa, sangat

mungkin ia akan terpeleset jatuh dan terhempas di atas batu-batu karang. Pilihan satusatunya

hanya berenang melintasi Sungai Buta yang horor dengan kelebaran hampir

seratus meter. Untuk menyeberangi sungai itu ia terlebih dahulu harus menyibaknyibakkan

hamparan bakung setinggi dada dan hampir dapat dipastikan pada langkahlangkah

pertama di area bakung itu riwayatnya akan tamat. Di sanalah habitat terbesar

buaya-buaya ganas di Belitong.

Di tengah kepanikan tersiar kabar bahwa ada seorang sakti mandraguna yang mampu

menerawang, tapi beliau tinggal jauh di sebuah Pulau Lanun yang terpencil. Ialah seorang

dukun yang telah menjadi legenda, Tuk Bayan Tula, demikian namanya. Tokoh ini

dianggap raja ilmu gaib dan orang paling sakti di atas yang tersakti, biang semua

keganjilan, muara semua ilmu aneh.

Banyak orang beranggapan Tuk Bayan Tula tak lebih dari sekadar dongeng, bahwa ia

sebenarnya tak pernah ada, dan tak lebih dari mitos untuk menakuti anak kecil agar

cepat-cepat tidur. Tapi banyak juga yang berani bersaksi bahwa ia benar-benar ada.

Bahkan diyakini beliau dulu pernah tinggal di kampung dan sempat menjadi penjaga

hutan larangan suruhan Belanda, pernah menjadi carik, dan pernah menjadi nakhoda

kapal yang berulang kali memimpin armada melanglang Selat Malaka. Menjadi

Konon beliau memang memiliki bakat khusus di bidang ilmu antah berantah, karena

dalam usia muda beliau sudah menguasai budi suci. Ilmu ini sangat potensial membuat

penganutnya senang memanjat tiang bendera di tengah malam sebab menderita sakit

saraf. Jika tak kuat menahankan ilmu gaib budi suci, dalam waktu singkat seseorang bisa

menjadi gila. Tapi jika sukses, pemegangnya bisa membunuh orang bahkan tanpa

menyentuhnya. Tuk sudah khatam budi suci sejak usia belasan. Dalam usia itu beliau

juga sudah bisa mempraktikkan ilmu sekuntak, maka beliau mampu memadamkan

bohlam hanya dengan memandangnya sepintas. Namun, seiring tinggi ilmunya ia

semakin menjauhkan diri dari masyarakat dan telah berpantang kata untuk menjaga

kesaktiannya. Maka Tuk Bayan Tula tak 'kan pernah berucap lagi.

Kini Tuk menyepi di pulau tak berpenghuni. Nama Tuk Bayan Tula sendiri adalah nama

yang menciutkan nyali. Tuk adalah nama julukan lama, dari kata datuk untuk menyebut

orang sakti di Belitong. Bayan juga panggilan bagi orang berilmu hebat yang selalu

memakai nama binatang, dalam hal ini burung bayan. Tula, bahasa Belitong asli, artinya

kualat, mungkin jika kurang ajar dengan beliau orang bisa langsung kualat. Sedangkan

nama Pulau Lanun tempat tinggal Tuk sekarang juga tak kalah angker. Lanun berarti

perompak. Pulau itu tak berani didekati para nelayan karena di sanalah para perompak

yang kejam sering merapat. Namun, kabarnya para perompak itu kabur tunggang

langgang ketika Tuk Bayan Tula menguasai pulau itu. Banyak yang mengatakan para

perompak itu dipenggal Tuk dengan sadis. Kini Tuk tinggal sendirian di sana.

Berbagai cerita yang mendirikan bulu kuduk selalu dikait-kaitkan dengan tokoh siluman

ini. Ada yang mengatakan beliau sengaja mengasingkan diri di pulau kecil sebelah barat

sebagai tameng yang melindungi Pulau Belitong dari amukan badai. Ada yang percaya ia

bisa melayang-layang ringan seperti kabut dan bersembunyi di balik sehelai ilalang. Dan

yang paling menyeramkan adalah bahwa dikatakan Tuk telah menjadi manusia separuh

Anehnya, di balik keangkeran cerita yang berbau mistis itu semua orang menganggap

Tuk Bayan Tula adalah wakil dari alam bawah tanah dunia putih. Di beberapa wilayah di

Belitong beliau dianggap sebagai pahlawan yang telah membasmi para dukun hitam

nekromansi yang mengambil keuntungan melalui komunikasi dengan orang-orang yang

telah mati. Beliau dianggap ahli menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh praktik

klenik jahat untuk mencelakakan orang. Maka Tuk tak ubahnya Robin Hood, pahlawan

yang mencuri untuk menolong kaum papa, atau orang yang berbuat baik dengan cara

yang salah. Ada pula sebagian orang Belitong yang menganggap beliau bukan dukun,

tapi sekadar seorang eksentrik yang dianu-gerahi indra keenam.

Apakah Tuk Bayan Tula seseorang yang mengkhianati ajaran tauhid? Mungkinkah ia

sekadar seorang pahlawan pemusnah santet yang ingin mati sebagai martir? Ataukah ia

hanya seorang tua yang memutuskan hidup sendiri ka-rena bermasalah dengan perangkat

syahwat? Tak ada yang tahu pasti. Kisah kesaktian, gaya hidup, biografi, dan paradoks

kepahlawanan Tuk ketika dikonfrontasikan dengan keyakinan orang awam akan menjadi

sebuah misteri. Misteri ini mengandung daya tarik dunia bawah tanah, metafisika,

paranormal, fenomena-fenomena janggal, dan ilmu pengetahuan yang membakar rasa

ingin tahu sebagian orang. Sebagian dari orang itu adalah Mahar.

Dalam kasus Flo, keadaan paniklah yang menyebabkan orang-orang sudah tidak lagi

mengandalkan akal sehat sehingga berunding untuk minta bantuan Tuk Bayan Tula.

Kekalutan memuncak karena saat itu sudah tengah malam dan Flo tak juga diketahui

nasibnya. Maka diutuslah beberapa orang untuk menemui Tuk Bayan Tula. Utusan ini

bukan sembarangan, paling tidak terdiri atas orang-orang yang telah cukup

berpengalaman dalam urusan mistik sehingga cukup teguh hatinya jika digertak Tuk.

Mereka adalah seorang pawang hujan, seorang dukun angin, kepala suku Sawang, dan

seorang polisi senior. Utusan ini berangkat menggunakan speedboat milik PN Timah

yang berkecepatan sangat tinggi. Kami waswas menunggu mereka kembali, terutama

cemas kalau-kalau keempat orang utusan itu disembelih oleh sang manusia siluman

Ketika matahari pagi mulai merekah, utusan tadi kembali. Kami senang menyambut

mereka dengan mengharapkan keajaiban yang tak masuk akal, tapi itu lebih baik dari

pada patah harapan sama sekali. Namun utusan ini tak membawa kabar apa-apa kecuali

sepucuk kertas dari Tuk Bayan Tula. Puluhan orang mengerumuni cerita mereka yang

mencengangkan. Mahar duduk paling depan.

\"Ketika perahu merapat, anjing-anjing hutan melolong-lolong seolah melihat iblis

beterbangan,\" kata ketua utusan, seorang pawang hujan. Ia termasuk orang berilmu dan

dunia bawah tanah bukan hal baru baginya, tapi terlihat jelas ia takut dan merasa Tuk

tidak ada di liganya. Sama sekali bukan tandingannya.

\"Tuk Bayan Tula tinggal di sebuah gua yang gelap, di jantung Pulau Lanun. Pulau itu

berbelok menyimpang dari jalur nelayan, jadi tak seorang pun akan ke sana. Perahuperahu

perompak yang telah beliau bakar berserakan di tepi pantai. Tak ada siapa-siapa di

pulau itu kecuali beliau sendiri dan tak terlihat ada tanaman kebun atau sumur air tawar,

tak tahulah Datuk itu makan minum apa.\"

Kemudian para anggota utusan yang lain sambung-menyambung, \"Melihat wajahnya

dada rasanya berdetak, sungguh seseorang yang tampak sangat sakti dan berilmu ting-gi.

Ketika beliau keluar ke mulut gua seakan seluruh alam menunduk. Di sana kami

merasakan udara yang pe-nuh daya magis.\"

Cerita ini dikonfirmasikan oleh hampir seluruh anggota utusan, bahwa ketika Tuk Bayan

Tula berdiri kira-kira lima meter di depan mereka, mereka melihat kaki-kaki datuk itu tak

menyentuh bumi. Ia seperti kabut yang melayang.

\"Tubuhnya tinggi besar, rambut, kumis, dan jenggot-nya lebat dan panjang, matanya

berkilat-kilat seperti burung bayan. Pakaiannya hanya selembar kain panjang yang dililitlilitkan.

Ia bertelanjang dada, dan sebilah parang yang sangat panjang terselip di

pinggangnya. Aku ketakutan melihatnya.\"

Kami mendengarkan dengan saksama, terutama Mahar yang tampak terpesona bukan

main. Mulutnya ternganga dan raut wajahnya memperlihatkan kekaguman yang amat

sangat pada Tuk Bayan Tula. Ia tampak begitu terpengaruh dan siap mengabdi pada

superstardunia gaib itu. Inilah fanatisme buta. Dalam imajinasinya mungkin Tuk Bayan

Tula sedang duduk di atas singgasana yang dibuat dari tulang belulang musuh-musuhnya.

Lalu beberapa ekor dedemit yang telah ditaklukkannya patuh melayaninya dengan

limpahan anggur-anggur putih. Ketika itu tak sedikit pun terlintas dalam pikirannya kalau

nanti Tuk Bayan Tula akan memutar jalan hidupnya dan jalan hidup perempuan kecil

yang sedang tersesat di rimba ini dengan sebuah kisah antiklimaks.

\"Di depan mulut gua kami melihat empat lembar pelepah pinang raja tempat duduk telah

tergelar, seolah beliau telah tahu jauh sebelumnya kalau kami akan datang. Beliau

menemui kami, sedikit pun tidak tersenyum, sepatah pun tidak berkata.\"

Sang ketua utusan mengusap wajahnya yang masih kelihatan terkesiap karena pertemuan

langsungnya dengan tokoh sakti mandraguna Tuk Bayan Tula. Meskipun sudah beberapa

jam yang lalu ia masih belum bisa menghilangkan perasaan terkejutnya.

\"Kami menceritakan maksud kedatangan kami. Beliau mendengarkan dengan

memalingkan muka. Belum selesai kami berkisah beliau langsung memberi isyarat

meminta sepucuk kertas dan pena, lalu beliau menuliskan sesuatu. Juga diisyaratkan agar

kami segera pulang dan hanya membuka tulisan beliau setelah tiba di sini. Di kertas

inilah beliau menulis.\"

Ketua utusan memperlihatkan gulungan kertas, semua orang merubungnya. Mahar

melihat gulungan itu dengan tatapan seperti melihat benda ajaib peninggalan makhluk

angkasa luar. Dengan gemetar sang ketua utusan membuka gulungan kertas itu dan di

INILAH PESAN TUK BAYAN TULA: JIKA INGIN MENEMUKAN ANAK

PEREMPUAN ITU MAKA CARILAH DIA DI DEKAT GUBUK LADANG YANG

DITINGGALKAN. TEMUKAN SEGERA ATAU

DIA AKAN TENGGELAM DI BAWAH AKAR BAKAU

Sebuah pesan yang mendirikan bulu tengkuk, lugas, dan mengancam atau lebih tepatnya

menakut-nakuti. Tapi harus diakui bahwa pesan ini mengandung sebuah tenaga. Pilihan

katanya teliti dan menunjukkan sebuah kualitas keparanormalan tingkat tinggi. Jika Tuk

Bayan Tula seorang penipu maka ia pasti penipu ulung, tapi jika ia memang dukun maka

ia pasti bukan dukun palsu yang oportunistik. Bagaimanapun pesan ini mengandung

pertaruhan reputasi yang pasti. Tidak ada kata tersembunyi, tak ada kata bersayap.

Intinya jelas: jika Flo tidak ditemukan di dekat gubuk ladang yang telah ditinggalkan

pemiliknya atau jika ia tidak ditemukan tewas hari ini di sela-sela akar bakau, maka sang

legenda Tuk Bayan Tula tak lebih dari seorang tukang dadu cangkir di pinggir jalan.

Semua makhluk yang senang memain-mainkan dadu adalah kaum penipu. Kalau itu

sampai terjadi rasanya aku ingin berangkat sendiri ke Pulau Lanun untuk menyita satusatunya

kain yang melilit tubuh Tuk. Tapi selain semua kemungkinan itu pesan tadi juga

harus diakui telah memberi harapan dan batas waktu, apa yang akan terjadi jika

Kebiasaan berladang berpindah-pindah masih berlangsung hingga saat ini. Namun

potensi kesulitan sangat mungkin muncul. Tak mudah menentukan yang mana yang

merupakan gubuk ladang. Gubuk telantar banyak terdapat di lereng gunung, yaitu gubuk

rahasia para pencuri timah. Para pendulang liar menggali timah nun jauh di lereng

gunung secara ilegal dan menjualnya pada para penyelundup yang menyamar sebagai

nelayan di perairan Bangka Belitong. Pencuri dan penyelundup timah adalah profesi yang

sangat tua. Aktivitas kriminal ini kriminal dari kaca mata PN Timah tentu saja telah ada

sejak orang-orang Kek datang dari daratan Tiongkok untuk menggali timah secara resmi

di Belitong dalam rangka mengerjakan konsesi dari kompeni, hari-hari itu adalah abad

PN Timah memperlakukan pelaku eksploitasi timah ilegal dan penyelundup dengan

sangat keras, tanpa perikemanusiaan. Pelakunya diperlakukan seolah pelaku tindak

pidana subversif. Di gunung-gunung yang sepi tempat para pendulang timah dianggap

pencuri dan di laut tempat penyelundup dianggap perompak, hukum seolah tak berlaku.

Jika tertangkap tak jarang kepala mereka diledakkan di tempat dengan AKA 47 oleh

manusia-manusia tengik bernama Polsus Timah.

Tim kami berangkat sejak pagi benar di bawah pimpinan Mahar. Kami bergerak ke utara,

ke arah jalur maut Sungai Buta. Belasan ladang terutama yang dekat sungai telah kami

kunjungi dan gubuknya telah kami obrak-abrik, kami juga mencari-cari di sela-sela akar

bakau, tapi hasilnya nihil. Flo raib seperti ditelan bumi. Suara kami sampai parau

memanggil-manggil namanya dan satu-satunya megafone yang dibekali posko telah habis

Dan pagi pun tiba, pencarian berlangsung terus. Dari walky talky kami pantau bahwa Flo

masih tetap misteri. Sekarang baterai walky talky mulai lemah dan hanya dapat

memonitor saja. Tidak hanya batu-batu baterai itu, sema-ngat kami pun melemah. Kami

mulai dihinggapi perasaan putus asa.

Dari setiap gubuk yang kami kunjungi dan tidak ditemukan Flo di dalamnya maka satu

kredit minus mengurangi reputasi Tuk. Sesudah hampir dua puluh gubuk yang nihil, saat

itu menjelang tangah hari, reputasi beliau pun makin pudar kalau bukan disebut hancur.

Kami mulai meragukan kesaktian dukun siluman itu. Mahar tampak agak tersinggung

setiap kali kami mengeluh jika menemukan gubuk yang kosong, apa lagi ada celetukan

yang melecehkan Tuk Bayan Tula.

\"Kalau dia bisa berubah menjadi burung bayan, tak perlu susah-susah kita mencari-cari

seperti ini,\" desah Kucai sambil terengah-engah.

Berbagai pikiran buruk menghantui kepala yang penat dan tubuh yang lelah.

Ke manakah engkau gadis kecil? Mungkinkah anak gedongan itu telah tewas?

Parameter pencarian demikian luas. Flo bisa saja tidak menuruni lereng menuju ke

lembah melainkan naik terus ke puncak, atau berjalan berputar-putar mengelilingi lereng,

tersesat dalam fatamorgana sampai habis tenaganya. Mungkin juga ia telah tembus di sisi

barat daya dan memasuki perkampungan Tionghoa kebun di sana. Atau ia sedang dililit

ular untuk dibusukkan dan ditelan besok malam.

Mungkinkah ia telah berenang melintasi Sungai Buta? Bukankah ia anak tomboi yang

terkenal nekat tak kenal takut? Selamat atau sudah tamatkah riwayatnya? Perbekal-an air

dan makanan kami yang seadanya telah habis. Harun, Trapani, dan Samson sudah ingin

menyerah dan menyarankan kami kembali ke posko, tapi Mahar tak setuju, ia yakin

sekali pada kebenaran pesan Tuk Bayan Tula. Sebaliknya, bagi kami hanya bayangan

penderitaan Flo yang masih menguatkan hati untuk terus mencari. Jika ingat betapa ia

ketakutan, kelaparan, dan kedinginan, kelelahan kami rasanya dapat ditahankan.

Menjelang pukul 10 pagi, berarti telah 27 jam Flo lenyap. Kami sudah tak memedulikan

pesan Tuk. Bagi kami kecuali Mahar datuk itu tak lebih dari semua dukun-dukun lainnya,

palsu dan oportunistik. Kami memperlebar parameter pencarian sampai agak naik ke atas

ladang. Di setiap gubuk kami menemukan pemandangan yang sama, yaitu babi-babi

hutan yang kawin berpesta pora atau tikus-tikus pengerat bercengkrama di antara

dengungan kumbang yang bersarang di tiang-tiang gubuk yang lapuk.

Pukul 11, siang sudah, kami tiba di sebuah batu cadas besar yang menjorok. Kami

berkumpul di sana untuk mengistirahatkan sisa-sisa tenaga terakhir. Inilah ujung akhir

lereng utara karena setelah ini, nun setengah kilometer di bawah kami adalah wilayah

bahaya maut Sungai Buta. Kami tak 'kan turun ke wilayah yang dihindari setiap orang

itu, bahkan penjelajah profesional tak berani ke sana. Kami sudah putus asa dan setelah

beristirahat ini kami akan segera kembali ke posko. Kami telah gagal, Flo tetap nihil, dan

paling tidak di lereng utara Tuk Bayan Tula telah berdusta. Dari walky talky kami

memonitor bahwa di barat, timur, dan selatan Flo juga tak ditemukan, berati Tuk Bayan

Tula telah berdusta di empat penjuru angin.

Kami diam terpaku menerima berita itu. Wajah Mahar sembap seperti ingin menangis. Ia

seumpama kekasih yang dikhianati orang tersayang. Tuk telah melukai hatinya meskipun

ia sedikit pun tak kenal tokoh pujaannya itu. Ini risiko keyakinan yang rabun. Dan aku

sedih, bukan karena membayangkan kehancuran integritas Tuk atau perasaan Mahar yang

kecewa, tapi karena memikirkan nasib buruk yang menimpa Flo. Bisa saja ia tak 'kan

pernah ditemukan, hilang, raib. Bisa juga ia ditemukan tapi cuma tinggal berupa

kerangka yang dipatuki burung gagak. Ia juga mungkin ditemukan dalam keadaan

menyedihkan telah tercabik-cabik hewan buas. Dan yang paling tak tertahankan adalah

jika ia mati sia-sia secara memilukan karena pertolongan terlambat beberapa jam saja.

Sulit untuk bertahan hidup dalam suhu sedingin malam tadi tanpa makanan sama sekali.

Dan saat-saat sekarang ini sudah memasuki keadaan yang mulai terlambat itu. Mengapa

anak cantik kaya raya yang hidup di rumah seperti istana, dari keluarga terhormat,tanpa

trauma masa kecil, dan yang memiliki limpahan kasih sayang semua orang, serta

lingkungan seperti taman eden, ha-rus berakhir di tempat ganas ini? Aku tak sanggup

mem-bayangkan lebih jauh perasaan orangtuanya.

Aku terbaring kelelahan memandangi keseluruhan Gunung Selumar yang biru, agung,

dan samar-samar. Aku per-nah menulis puisi cinta di puncaknya dan gunung ini pernah

memberiku inspirasi keindahan yang lembut. Bahkan di sabana di atas sana tumbuh

bunga-bunga liar kuning kecil yang dapat membuat siapa pun jatuh cinta, bukan hanya

kepada bunganya, tapi juga kepada orang yang mempersembahkannya. Namun

kelembutan gunung ini, seperti kelembutan unsur-unsur alam lainnya, air, angin, api, dan

bumi, ternyata menyembunyikan kekejaman tak kenal ampun. Betapa teganya, toh

bagaimanapun nakalnya, Flo hanyalah seorang gadis kecil, permata hati keluarganya.

Kucai menepuk-nepuk bahu Mahar dan menghiburnya. Mahar memalingkan muka. Ia

menunduk diam. Matanya jauh menyapu pandangan ke Sungai Buta dan rawa-rawa

bakung di bawah sana. Kami bangkit, membereskan perlengkapan, dan mempersiapkan

diri untuk pulang. Sebelum kami melangkah pergi Syahdan yang mengalungkan teropong

kecil di lehernya mencoba-coba benda plastik mainan itu. Ia meneropong tepian Sungai

Buta. Saat kami ingin menuruni batu cadas itu tiba-tiba Syahdan berteriak, sebuah

\"Lihatlah itu, ada pohon kuini di pinggir Sungai

Kami membalikkan badan terkejut dan Mahar serta-merta merampas teropong Syahdan.

Ia berlari ke bibir cadas dan meneropong ke bawah dengan saksama, \"Dan ada gubuk!\"

katanya penuh semangat.

\"Kita harus turun ke sana!\" katanya lagi tanpa berpikir panjang.

Kami semua terperanjat dengan usul sinting itu. Kucai yang dari tadi membisu

menganggap kekonyolan Mahar telahmelampaui batas. Sebagai ketua kelas ia merasa

\"Apa kau sudah gila!\" Ia menyalak dengan galak. Sorot matanya tajam, merah, dan

marah, walaupun yang ditatapnya adalah Harun yang berdiri melongo di samping Mahar.

\"Mari aku jelaskan ke kepalamu yang dikaburkan asap kemenyan sehingga tak bisa

berpikir waras. Pertama-tama di bawah sana tak mungkin sebuah ladang. Tak ada orang

sinting yang mau berladang di pinggir Sungai Buta kecuali ia ingin mati konyol. Tak

tahukah kau cerita pengalaman orang lain, di situ buaya tidak menunggu tapi mengejar.

Dan ular-ular sebesar pohon kelapa melingkar-lingkar di sembarang tempat. Kalaupun itu

memang gubuk, itu gubuk pencuri timah. Berdasarkan pesan datuk setengah iblis anak

gedongan itu hanya ada di gubuk ladang yang ditinggalkan!\"

Mahar menatap Kucai dengan dingin, Kucai semakin geram.

\"Kalau kita turun ke sana, aku pastikan kita bisa menjadi Flo-Flo baru yang malah akan

dicari orang, menambah persoalan, merepotkan semuanya nanti. Tempat itu sangat

berbahaya, Har, pakai otakmu! Ayo pulang!!\"

Mahar tetap sedingin es, ekspresinya datar. \"Lagi pula mana mungkin anak perempuan

kecil itu dapat mencapai tempat ini. Batu ini adalah dinding utara terakhir. Kita telah

mendatangi puluhan gubuk ladang yang ditinggalkan, hasilnya nol, mendatangi satu

gubuk pencuri timah hasilnya akan tetap sama, ayolah pulang, Kawan, terimalah

kenyataan bahwa Tuk telah menipu kita, ayolah pulang, Kawan ..,,\" Kucai merendahkan

suaranya, mungkin ia sadar membujuk orang setengah gila tidak bisa dengan marah-

marah. Tapi Mahar tetap membatu, ia seperti menhir, masih belum bisa diyakinkan. Ia

tak 'kan menyerah semudah ini. Syahdan ikut menasihati dengan kata-kata pesimis.

\"Sudah hampir tiga puluh jam Flo hilang, kita harus belajar realistis, mungkin ia memang

ditakdirkan menemui ajal di gunung ini. Tuhan telah memanggilnya dan gunung ini pun

Mahar tak bergerak. Kami beranjak meninggalkan tempat itu. Lalu dengan dingin Mahar

mengatakan ini, \"Kalian boleh pulang, aku akan turun sendiri....\"

Maka turunlah kami semua walaupun kami tahu tak 'kan menemukan Flo di pinggir

Sungai Buta. Hal itu sangat muskil, sangat mustahil. Semuanya menggerutu dan kami

mengutuki Syahdan yang tadi iseng-iseng meneropong dengan teropong plastik jelek

mainan anak-anak itu. Dia menyesal. Tapi semuanya telah telanjur, sekarang kami

pontang panting menuruni punggung lereng yang curam, berkelak-kelok di antara batubatu

besar dan menerabas kerimbunan gulma yang sering menusuk mata.

Kami menuju ke sebuah gubuk pencuri timah di wi-layah maut pinggiran Sungai Buta

hanya untuk menemani Mahar, menemani ia memuaskan egonya, membuktikan padanya

bahwa insting tidak harus selalu benar, dan melindunginya dari ketololannya sendiri.

Walaupun kami benci pada kefanatikannya tapi ia tetap teman kami, anggota Laskar

Pelangi, kami tak ingin kehilangan dia. Kadang-kadang persahabatan sangat menuntut

dan menyebalkan. Pelajaran moral nomor lima: jangan bersahabat dengan orang yang

Kira-kira satu jam kemudian, tepat tengah hari, kami telah berada di lembah Sungai Buta.

Wilayah ini merupakan blank spot untuk frekuensi walky talky sehingga suara kemerosok

yang sedikit menghibur dari alat itu sekarang mati dan tempat ini segera jadi mencekam.

Untuk pertama kalinya aku ke sini dan rasa angkernya memang tidak dibesar-besarkan

orang. Kenyataannya malah terasa lebih ngeri dari bayanganku sebelumnya. Kami

memasuki wilayah yang jelas-jelas menunjukkan permusuhan pada pendatang. Wilayah

ini seperti dikuasai oleh suatu makhluk teritorial yang buas, asing, dan sangat jahat.

Kerasak-kerasakgelap di pokok pohon nipah yang digenangi air seperti kerajaan jin dan

tempat sarang berkembang biaknya semua jenis bangsa-bangsa hantu. Biawak berbagai

ukuran melingkar-lingkar di situ, sama sekali tak takut pada kehadiran kami, beberepa

ekor di antaranya malah bersikap ingin menyerang.

Hanya sedikit orang pernah ke sini dan di antara yang sedikit itu dan yang paling tolol

adalah kami. Kami berjalan dalam langkah senyap berhati-hati. Semuanya mengeluarkan

parang dari sarungnya dan terus-menerus menoleh ke kiri dan kanan serta membentuk

formasi untuk melindungi punggung orang terdekat. Kami mendengar suara sesuatu

ditangkupkan dengan sangat keras dan mengerikan disertai suara kibasan air yang besar.

Kami diam tak membahas itu, kami tahu suara itu tangkupan mulut buaya yang besarnya

tak terkira. Ada juga suara bayi-bayi buaya yang berkeciak dan pemandangan beberapa

ekor ular bergelantungan di dahan-dahan pohon. Kami terus merangsek maju seperti

sedang mengintai musuh.

Pondok itu kira-kira seratus meter di depan kami. Semakin dekat, semakin jelas dan

mencengangkan karena tempat itu agaknya memang bekas sebuah ladang yang

ditinggalkan. Kami menemukan kawat-kawat bekas pagar dan dari kejauhan melihat

pohon-pohon kuini, jambu bol, dan sawo. Siapa orang luar biasa yang berani berladang di

Jarak ladang ini dekat sekali dengan pinggiran Sungai Buta, bisa dipastikan sangat

berbahaya. Pemiliknya pasti ingin mendekati air tanpa mempertimbangkan keselamatan.

Sebuah tindakan bodoh. Atau mungkinkah karena ketololannya itulah maka riwayat sang

pemilik telah berakhir di tepi sungai ini sehingga ladangnya sekarang tak bertuan? Tapi

ada hal lain, yaitu siapa pun pemilik tersebut terutama jika ia masih hidup maka ia pasti

tak sanggup memelihara ladang ini karena hama perompak tanaman juga luar biasa di

sini. Kawanan kera sampai mencapai lima kelompok, saling berebutan lahan dengan

serakah. Belum lagi tupai, lutung, babi hutan, musang, luak, dan tikus pengerat, hewanhewan

ini sudah keterlaluan.

Kami berjingkat-jingkat tangkas di atas akar-akar bakau yang cembung berselang-seling.

Akar-akar ini seperti menopang pohonnya yang rendah. Tak kami temukan Flo

tersangkut di bawah akar-akar itu, satu lagi konfirmasi penipuan Tuk Bayan Tula. Setelah

yakin Flo tak ada di bawah akar bakau, kami pelan-pelan mendekati ladang.

Semakin dekat ke lokasi ladang kami dapat melihat dengan jelas sebuah gubuk beratap

daun nipah. Lalu ada suatu pemandangan yang agak menarik, yaitu salah satu dahan

pohon jambu mawar yang berdaun amat lebat bergoyang-goyang hebat seperti ingin

dirubuhkan. Jambu mawar itu tumbuh persis di samping gubuk. Pastilah itu ulah lutung

besar yang sepanjang waktu selalu lapar.

Kami mendekati pohon jambu mawar itu dengan waspada. Kami menyusun semacam

strategi penyergapan untuk memberi pelajaran pada lutung rakus itu. Kami mengendapendap

seperti pasukan katak baru keluar dari rawa untuk merebut sebuah gudang senjata.

Di ladang telantar ini tumbuh subur ilalang setinggi dada dan pohon-pohon singkong

yang sudah centang perenang dirampok hewan-hewan liar. Buah-buah sawo yang masih

muda, putik-putik jambu bol, dan buah kuini muda juga berserakan di tanah karena

dijarah secara sembrono oleh hama hewan-hewan itu. Bahkan buah-buahan ini tak

sempat masak. Binatang-binatang tak tahu diri!

Lutung besar yang sedang berpesta pora di dahan jambu mawar itu tak menyadari

kehadiran kami. Ia semakin menjadi-jadi, mengguncang-guncang dahan jambu itu hingga

daun dan bakal buahnya berjatuhan, kurang ajar sekali. Kami semakin dekat dan berjinjitjinjit

tak menimbulkan suara. Kami ingin menangkapnya basah sehingga ia semaput

ketakutan, inilah hiburan kecil di tengah ketegangan menyelamatkan nyawa manusia.

Setelah tiba saatnya kami bersama-sama menghitung hingga tiga dan melompat serentak,

menghambur ke bawah dahan itu sambil bertepuk tangan dan berteriak sekeras-kerasnya

untuk mengejutkan sang lutung. Tapi tak sedikit pun diduga situasi berbalik seratus

delapan puluh derajat, karena sebaliknya, ketika kami menyerbu justru kami yang

terkejut setengah mati tak alang kepalang, rasanya ingin terkencing-kencing. Kami tak

percaya dengan penglihatan kami dan terkaget-kaget hebat karena persis di atas kami, di

sela-sela dedaunan yang sangat rimbun, bertengger santai seekor kera besar putih yang

tampak riang gembira menunggangi sebatang dahan seperti anak kecil kegirangan main

kuda-kudaan, wajahnya seperti baru saja bangun tidur dan belum sempat cuci muka. Ia

tertawa terbahak-bahak sampai keluar air matanya melihat wajah kami yang terbengongbengong

pucat pasi. Flo yang berandal telah ditemukan!

AKU terengah-engah basah kuyup. Syahdan memandangi aku dengan prihatin. Kami saling

berpandangan lalu tertawa. Tawaku semakin keras seiring tangis di dalam hati tentu saja. Tangis

karena mendapati diri sampai sakit karena dera putus cinta. Mahar telah habis-habisan menjadikanku kelinci percobaan. \"Anak-anak jin yang ter-singgung?\" Ke mana perginya akal sehatnya? Dia

patut mendapat nomor 7 dalam teori gila versi ibuku. Tapi aku tahu dia sesungguhnya bermaksud

Setelah Mahar, A Kiong dan daun-daun beluntasnya pergi tanpa pamit lalu datang Bu Mus dan

teman-teman sekolahku yang lain. Syahdan mengadukan kelakuan Mahar, tapi Bu Mus menunjukkan wajah tak peduli. Beliau sudah cukup lama dibuat pusing oleh Mahar dan tak berminat

menam-bah beban berat hidupnya dengan memikirkan dukun palsu itu.

Beliau mengeluarkan pil ajaib APC. Besoknya aku sudah bisa berangkat ke sekolah dan aku tahu

persis yang menyembuhkanku adalah pil APC. Begitu melihatku memasuki kelas A Kiong

langsung menya-lami Mahar. Mahar menaikkan alisnya, mengangkat bahunya, dan menganggukangguk seperti burung penguin selesai kawin. Itulah gerakan khas Mahar yang sangat menyebalkan.

\"Apa kubilang!\" barangkali itulah maknanya.

Mahar mengelus-elus koper bututnya dan A Kiong semakin fanatik padanya. Mereka berdua

tenggelam dalam kesesatan memersepsikan diri sendiri.

Rupanya fisikku memang telah sembuh tapi hatiku tidak. Pulang dari sekolah aku kembali disergap

perasaan sedih. Tak mudah melupakan A Ling. Dadaku kosong karena kehilangan sekaligus sesak

karena rindu. Aku terbaring kuyu di atas dipan memandangi diary dan buku Herriot kenangkenangan darinya. Untuk mengalihkan kesedihan aku mengambil buku Seandainya Mereka Bis a

Bicara itu dan dengan malas aku berusaha membacanya.

Sudah kuniatkan dalam hati bahwa jika buku itu membosankan maka setelah halaman pertama ia

akan langsung kutangkupkan di wajahku karena aku ingin tidur. Lalu kata demi kata berlalu.

Setelah itu kalimat demi kalimat dan dilanjutkan dengan paragraf demi paragraf. Aku tak berhenti

membaca dan beberapa kali membaca paragraf yang sama berulang-ulang. Tanpa kusadari dalam

waktu singkat aku telah berada di halaman 10 tanpa sedikit pun sanggup menggeser posisi tidurku.

Seluruh perasaan gundah, putus asa, dan air mata rindu yang tadi sudah menggenang di pelupuk

mataku diisap habis oleh lembar demi lembar buku itu.

Buku ajaib itu bercerita tentang perjuangan seorang dokter hewan muda di zaman susah tahun

30an. Dokter muda itu, Herriot sendiri, bekerja nun jauh di sebuah desa terpencil di bagian antah

berantah di Inggrissana. Desa kecil itu bernama Edensor.

Mulutku ternganga dan aku menahan napas ketika Herriot menggambarkan keindahan Edensor:

\"Lereng-lereng bukit yang tak teratur tampak seperti berjatuhan, puncaknya seperti bergulingguling tertelan oleh langit sebelah barat, yang bentuknya seperti pita kuning dan merah tua ....

Pegunungan tinggi yang tak berbentuk itu mulai terurai menjadi bukit-bukit hijau dan lembahlembah luas. Di dasar lembah tampak sungai yang berliku-liku di antara pepohonan. Rumah-rumah

petani yang terbuat dari batu-batu yang kukuh dan berwarna kelabu tampak seperti pulau di tengah

ladang yang diusahakan. Ladang itu terbentang ke atas seperti tanjung yang hijau cerah di atas

lereng bukit .... Aku sampai di taman bunga mawar, kemudian ke taman asparagus, yang tumbuh

jadi pohon yang tinggi. Lebih jauh ada pohon arbei dan tumbuhan frambos. Pohon buah terdapat di

mana-mana. Buah persik, buah pir, buah ceri, buah prem, bergantung-an di atas tembok selatan,

berebut tempat dengan bunga-bunga mawar yang tumbuh liar.\"

Aku terkesima pada desa kecil Edensor. Aku segera menyadari bahwa ada keindahan lain yang

memukau di dunia ini selain cinta. Herriot rneng-gambarkan Edensor dengan begitu indah dan

memengaruhiku sehingga ketika ia bercerita tentang jalan-jalan kecil beralaskan batu-batu bulat di

luar rumah praktiknya rasanya aku dapat mencium harum bunga daffodil dan astuaria yang

menjalar di sepanjang pagar peternakan di jalan itu. Ketika ia bercerita tentangpadangsabana yang

terhampar di Bukit Derbyshire yang mengelilingi Edensor rasanya aku terbaring mengistirahatkan

hatiku yang lelah dan wajahku menjadi dingin ditiup angin dari desa tenang dan cantik itu. Aku

telah jatuh hati dengan Edensor dan menemukannya sebagai sebuah tempat dalam khayalanku

setiap kali aku ingin lari dari kesedihan.

Sebaliknya aku semakin mencintai A Ling. Ia dengan bijak telah mengganti kehadirannya dengan

kehadiran Edensor yang mampu melipur laraku. A Ling meninggalkan buku Herriot untukku tentu

karena sebuah alasan yang jelas. Selanjutnya, aku membaca buku Herriot berulang-ulang sehingga

hampir hafal. Ke mana pun aku pergi buku itu selalu kubawa dalam tas sandang bututku. Buku itu

adalah representasi A Ling dan pengobat jiwaku. Jika aku merasa risau dan sedih maka aku segera

mengalihkan pikiranku dengan membayangkan aku sedang duduk di bangku rendah di tengah

taman anggur di Edensor. Kumbang-kumbang berdengung huh rendah, mataku menatap lembut

Pegunungan Pennines yang biru di Derbyshire dan angin lembah

yang sejuk mengembus wajahku, menguapkan semua kepedihan, resah, dan kesulitan hidupku

di sudut kampung kumuh panas di Belitong ini. Aneh memang, jikaTrapaniseluruh hidupnya seolah

dipengaruhi oleh lagu Wajib Be/ajar maka kini seluruh hidupku terinspirasi oleh buku Seandainya

Mereka Bisa Bicara, terutama oleh Desa Edensor yang ada di buku itu. Jika beban hidup demikian

memuncak rasanya aku ingin sekali berada di Edensor. Punguk merindukan bulan tentu saja. Mana

mungkin anak Melayu miskin nun di Pulau Belitongsanamengangankan berada di sebuah tempat di

Inggris. Bermimpi pun tak pantas.

Sebaliknya, karena Edensor aku segera merasa pulih jiwa dan raga. Edensor memberiku alternatif

guna memecah penghalang mental agar tak stres berkepanjangan karena terus-terusan terpaku pada

perasaan patah hati. A Ling telah memberi racun cinta sekaligus penawarnya. Aku mulai tegar

meskipun tak 'kanada lagi Michele Yeoh. Aku siap menyesuaikan diri dengan kenyataan baru. Aku

sudah ikhlas meninggalkan cetak biru kehidupan indahasmarapertamaku yang bertaburan wangi

bunga dalam ritual rutin pembelian kapur tulis.

Inilah asyiknya menjadi anak kecil. Patah hati karena cinta yang telah berlangsung sekian

tahunlimatahun! bisa pulih dalam waktu tiga hari dan disembuhkan oleh sebuah desa bernama

Edensor di tempat antah berantah di Inggrissanadan hanya diceritakan melalui sebuah buku, ajaib.

Sedangkan orang dewasa bisa-bisa memerlu-kan waktu tiga tahun untuk mengobati frustrasi

karena hancurnya cinta platonik tiga minggu. Apakah semakin dewasa manusia cenderung menjadi

semakin tidak positif? Aku belajar berjiwa besar, berusaha memahami esensi konsep virtual dan

fisik dalam hubungan emosional. Bukankah jika mencintai seseorang kita harus membiarkan ia

bebas? Apabila hal semacam ini dialami oleh seorang dewasa mungkin ia tak mau lagi melihat

kapur tulis seumur hidupnya.

Kini aku akan mengenang A Ling sebagai bagi-an terindah dalam hidupku. Aku tetap rajin, dengan

naluri cinta yang sama, dengan semangat yang sama, berangkat dengan Syahdan setiap Senin pagi

untuk membeli kapur, meskipun sekarang aku disambut oleh sebilah tangan beruang dan kuku-k

uku burung nazar pemakan bangkai. Setiap membeli kapur aku tetap mengikuti prosedur yang sama

dan menikmati kronologi perasaanku di tengah kepe-ngapan Toko Sinar Harapan. Aku

menyimulasikan urutan-urutan sensasi keindahan cinta pertama seolah A Ling masih menungguku

di balik tirai-tirai rapat yang terbuat dari keong-keong kecil itu.

Sering kali sekarang aku bertanya pada diri sendiri: berapakah jumlah pasangan yang telah

mengalami cinta pertama, lalu hanya memiliki satu cinta itu dalam hidupnya, menikah, dan

kemudian hanya terpisahkan karena Tuhan memanggil salah satu dari mereka? Sedikit sekali! Atau

malah mungkin tidak ada! Sepertinya kedua jawaban tersebut bisa menjadi hipotesis yang

meyakinkan untuk pertanyaan dangkal semacam itu. Karena itulah yang umumnya terjadi dalam

Maka aku memiliki pandangan sendiri mengenai perkara cinta pertama ini, yaitu cinta pertama

memang tak 'kanpernah mati, tapi ia juga tak 'kanpernah survive. Selain itu aku telah menarik

pelajaran moral nomor enam dari pengalaman cinta pertamaku yaitu: jika Anda memiliki

kesempatan mendapatkan cinta pertama di sebuah toko kelontong, meskipun toko itu bobrok dan

bau tengik, maka rebutlah cepat-cepat kesempatan itu, karena cinta pertama semacam itu bisa

menjadi demikian indah tak terperikan!

Aku melihat ke belakang, membuat evaluasi kemajuan hidupku, dan bersyukur telah mengenal A

Ling. Jika berpikir positif, ternyata mengenal sese-orang secara emosional memberikan akses pada

sebuah bank data kepribadian tempat kita dapat belajar banyak hal baru. Hal-hal baru itu bagiku

pada intinya satu: wanita adalah makhluk yang tak mudah diduga. Maka banyak orang berpikir

keras mengurai sifat-sifat rahasia wanita, Paul I. Wellman misalnya dengan tesis Dewi

Aphroditenya. Ia menggambarkan wanita sebagai makhluk yang di dalam dirinya berkecamuk

pertentangan-perten-tangan, mengandung pergolakan abadi, sopan tapi berlagak, sentimental

sekaligus bengis, beradab namun ganas.

Bagiku, aku masih tak mengerti wanita, namun sepertinya ada semacam komposisi kimiawi

tertentu di dalam tubuh mereka yang menyebabkan lelaki

dengan komposisi kimiawi tertentu pula merasa betah di dekatnya. Maka cinta adalah reaksi

kimia sehingga keanehan dapat terjadi, se-orang pangeran tampan kaya raya bisa saja ditolak oleh

se-orang gadis penjaga pintu tol, dan seorang wanita public relation officer di sebuah BUMN yang

sangat luas pergaulannya bisa saja tergila-gila setengah mati dengan seorang laki-laki penyendiri

yang eksentrik. Itulah wanita, maka siapa pun ia, seorang dewi agung dalam mitologi Yunani atau

sekadar seorang penjaga toko kelontong bobrok di Belitong, masing-masing menyimpan rahasia

untuk dirinya sendiri, rahasia yang tak 'kanpernah diketahui siapa pun.

Wanita seperti apakah A Ling? Inilah yang pa-ling menarik dari kisah cinta monyet ini. Setelah

berpisah dengannya, aku baru mengerti tipe semacam ini. Ia bukanlah pribadi mekanis yang

mengungkapkan perasaan secara eksplisit. Ia memiliki pendirian yang kuat dan amat percaya diri.

Ia model wanita yang memegang pertanggung jawaban pada setiap gabungan huruf-huruf yang

meluncur dari mulutnya. Dan ini menimbulkan respek karena aku tahu banyak orang harus

berulang-ulang meyakinkan dirinya sendiri dan pasangannya dengan kata-kata basi berbusa-busa,

bahwa mereka masih saling mencintai, sungguh mengibakan! A Ling tak ingin menghabiskan

waktu berurusan dengan pola respons aksi reaksi cinta picisan yang klise, retoris, dan

Aku belajar berjiwa besar atas seluruh kejadi-an dengan A Ling. Sekarang aku memiliki cinta yang

baru dalam tas bututku: Edensor. Sudah selama 115 jam, 37 menit, 12 detik aku kehilangan A Ling

dan saat ini kuputuskan untuk berhenti mengiba-iba mengenang cinta pertama itu.

Akhirnya, aku mampu melangkah menyeberangi garis ujian tabiat mengasihani diri dan sekarang

aku berada di wilayah positif dalam menilai pengala-manku. Aku mulai bangkit untuk menata diri.

Aku mempelajari metode-metode ilmiah modern agar dapat bangkit dari keterpurukan. Aku rajin

membaca berbagai buku kiat-kiat sukses, pergaulan yang efektif, cara cepat menjadi kaya, langkahlangkah menjadi pribadi magnetik, dan bunga rampai manajemen pengembangan pribadi.

Aku berhenti membuat rencana-rencana yang tidak realistis. Filosofi just do it, itulah prinsipku

sekarang, lagi pula bukankah John Lennon mengatakan life is what happens to us while we are busy

making plans1. Sesuai saran buku-buku psikologi praktis yang mutakhir itu aku mulai

menginventarisasi bidang minat, bakat, dan kemampuanku. Dan aku tak pernah ragu akan

jawabannya yaitu: aku paling piawai bermain bulu tangkis dan aku punya minat sangat besar dalam

bidang tulis-menulis.

Kesimpulan itu kuperoleh karena aku selalu menjadi juara pertama pertandingan bulu tangkis

kelurahan U 19 dan pialanya berderet-deret di rumahku. Piala itu demikian banyak sampai ada yang

dipakai ibuku untuk pemberat tumpukan cucian, ganjal pintu, dan penahan dinding kandang

ayam.Adajuga piala yang dipakai menjadi sema-cam palu untuk memecahkan buah kemiri, dan

sebuah piala berbentuk panjang bergerigi dari pertandingan terakhir sering dimanfaatkan ayahku

untuk menggaruk punggungnya yang gatal.

Lawan-lawanku selalu kukalahkan dengan skor di bawah setengah. Kasihan mereka, meskipun

telah berlatih mati-matian berbulan-bulan dan setiap pagi makan telur setengah masak dicampur

jadam dan madu pahit, tapi mereka selalu tak berkutik di depanku. Kadang-kadang aku beraksi

dengan mela-kukan drop shot sambil salto dua kali atau menangkis sebuah smash sambil koprol.

Jika aku sedang ingin, aku juga biasa melakukan semacam pukulan straight dari celah-celah kedua

selang-kangku dengan posisi membelakangi lawan, tak jarang aku melakukan itu dengan tangan

Lawan yang tak kuat mentalnya melihat ulah-ku akan emosi dan jika ia terpancing marah maka

pada detik itulah ia telah kalah.Parapenonton bergemuruh melihat hiburan di lapangan bulu tangkis.

Jika aku bertanding maka pasar menjadi sepi, warung-warung kopi tutup, sekolah-sekolah

memulangkan murid-muridnya lebih awal, dan kuli-kuli PN membolos. \"Si kancil keriting\",

demikianlah mereka menjulukiku. Lapangan bulu tangkis di samping kantor desa membludak.

Mereka yang tak kebagian tempat berdiri di pinggir lapangan sampai naik ke pohon-pohon kelapa

Kukira semua fakta itu lebih dari cukup bagiku untuk menyebut bulu tangkis sebagai potensi

seperti dinyatakan dalam buku-buku pengembangan diri itu. Dan minat besar lainnya adalah

menulis. Tapi memang tak banyak bukti yang mengonfirmasi potensiku di bidang ini, kecuali

komentar A Kiong bahwasuratdan puisiku untuk A Ling sering membuatnya tertawa geli. Tak tahu

apa artinya, bagus atau sebaliknya.

Maka aku mulai mengonsentrasikan diri untuk mengasah kemampuan kedua bidang ini. Seperti

juga disarankan oleh buku-buku ilmiah itu maka aku membuat program yang jelas, terfokus, dan

memantau dengan teliti kemajuanku. Buku itu juga menyarankan agar setiap individu membuat

semacam rencana A dan rencana B.

Rencana A adalah mengerahkan segenap sum-ber daya untuk mengembangkan minat dan

kemampuan pada kemampuan utama atau dalam bahasa bukunya core competency, dalam kasusku

berarti bulu tangkis dan menulis. Setelah tahap pengembangan itu selesai lalu bergerak pelan tapi

pasti menuju tahap profesionalisme dan tahap aktualisasi diri, yaitu muncul menggebrak secara

memesona di hadapan publik sebagai yang terbaik. Kemudian akhir dari semua usaha sistematis

ilmiah dan terencana itu adalah mendapat pengakuan kejayaan prestasi, menjadi orang tenar atau

sele-briti, hidup tenang, sehat walafiat, bahagia, dan kaya raya. Sebuah rencana yang sangat indah.

Setiap kali membaca rencana Aku aku mengalami kesulitan untuk tidur.

Demikianlah, rencana A sesungguhnya adalah apa yang orang sebut sebagai kata-kata ajaib

mandraguna: cita-cita. Dan aku senang sekali memiliki cita-cita atau arah masa depan yang sangat

jelas, yaitu: menjadi pemain bulu tangkis yang berprestasi dan menjadi penulis berbobot. Jika

mungkin sekaligus kedua-duanya, jika tidak mungkin salah satunya saja, dan jika tidak tercapai

kedua-duanya, jadi apa saja asal jangan jadi pegawai pos.

Cita-cita ini adalah kutub magnet yang menggerakkan jarum kompas di dalam kepalaku dan

membimbing hidupku secara meyakinkan. Setelah selesai merumuskan masa depanku itu sejenak

aku merasa menjadi manusia yang agak berguna.

Jika aku menengok sahabat sekelasku mereka juga ternyata memiliki cita-cita yang

istimewa.Saharamisalnya, ia ingin mejadi pejuang hak-hak asasi wanita. Dia mendapat inspirasi

cita-citanya itu dari penindasan luar biasa terhadap wanita yang dilihatnya di film-filmIndia. A

Kiong ingin menjadi kapten kapal, mungkin karena ia senang berpergian atau mungkin topi kapten

kapal yang besar dapat menutupi sebagian kepala kalengnya itu. Kucai menyadari bahwa dirinya

memiliki sedikit banyak kualitas sebagai seorang politisi yaitu bermulut besar, berotak tumpul,

pendebat yang kompulsif, populis, sedikit licik, dan tak tahu malu, maka cita-citanya sangat

jelas: ia ingin jadi seorang wakil rakyat, anggota dewan.

Tak ada angin tak ada hujan, tanpa ragu dan malu-malu, Syahdan ingin menjadi aktor. Ia sedikit

pun tidak menunjukkan kapasitas atau bakat akting, bahkan dalam pertunjukan teater kelas kami

Syahdan tidak bisa memba-wakan peran apa pun yang mengandung dialog karena ia selalu

membuat kesalahan. Karena itu Mahar memberinya peran sederhana sebagai tukang kipas putri raja

yang selama pertunjukan tidak mengucapkan sepatah kata pun. Tugasnya hanya mengipas-ngipasi

sang putri dengan benda semacam ekor burung merak, itu pun masih sering tak becus ia lakukan.

Semua orang menyarankan agar Syahdan meninjau kembali cita-citanya tapi ia bergeming. Ia tak

peduli dengan segala cemoohan, ia ingin menjadi aktor, tak bisa diganggu gugat.

\"Cita-cita adalah doa, Dan,\" begitulah nasihat bijak dariSahara. \"Kalau Tuhan mengabulkan

doamu, dapatkah kaubayangkan apa jadinya dunia perfilmanIndonesia?\"

Sedangkan Mahar sendiri mengaku bahwa ia mampu menerawang masa depannya. Dan dalam

terawangannya itu ia dengan yakin mengatakan bahwa setelah dewasa ia akan menjadi seorang

sutradara sekaligus seorang penasihat spiritual dan hypno therapis 1 1 e rn a m a.

Cita-cita yang paling sederhana adalah milik Samson. Ia memang sangat pesimis dan hanya ingin

menjadi tukang sobek karcis sekaligus sekuriti di Bioskop Kicong karena ia bisa dengan gratis

menonton film. Ia memang hobi menonton film. Selain itu profesi tersebut dapat memelihara citra

machonya. Adapun Trapani yang baik dan tampan ingin menjadi guru. Ketika kami tanyakan

kepada Harun apa cita-citanya ia menjawab kalau besar nanti ia ingin menjadiTrapani.

Semua ini gara-gara Lintang. Kalau tak ada Lintang mungkin kami tak 'kanberani bercita-cita.

Vang ada di kepala kami, dan di kepala setiap anak kampung di Belitong adalah jika selesai sekolah

lanjutan pertama atau menengah atas kami akan mendaftar menjadi tenaga langkong (calon karyawan rendahan di PN Timah) dan akan bekerja bertahun-tahun sebagai buruh tambang lalu pensiun

sebagai kuli. Namun, Lintang memperlihatkan sebuah kemampuan luar biasa yang menyihir

kepercayaan diri kami. Ia membuka wawasan kami untuk melihat kemungkinan menjadi orang lain

meskipun kami dipenuhi keterbatasan. Lintang sendiri bercita-cita menjadi seorang matematikawan. Jika ini tercapai ia akan menjadi orang Melayu pertama yang menjadi matematikawan,

Pribadi yang positif, menurut buku, tidak boleh hanya memiliki satu rencana, tapi harus memiliki

rencana alternatif yang disebut dengan istilah yang sangat susah diucapkan, yaitu contingency

plan1. Rencana alternatif itu disebut juga rencana B. Rencana B tentu saja dibuat jika rencana A

gagal. Prosedurnya sederhana yakni: lupakan, tinggalkan, dan buang jauh-jauh rencana A dan

mulailah mencari minat dan kemampuan baru, setelah ditemukan maka ikuti lagi prosedur seperti

rencana A. Inilah buku resep kehidupan yang bukan main hebatnya hasil karya para pakar psikologi

praktis yang bersekongkol dengan para praktisi sumber daya manusia dan penerbit buku tentu saja.

Seorang pribadi yang efektif dan efisien harus sudah memiliki rencana A dan rencana B sebelum ia

keluar dari pekarangan rumahnya. Tapi aku tak tahan membayangkan rencana B dalam hidupku

karena selain bulu tangkis dan menulis aku tak punya kemampuan lain. Sebenarnya ada tapi

sungguh tak bisa dipertanggungjawabkan, yaitu kemampuan mengkhayal dan bermimpi, aku agak

malu mengakui ini. Aku tak punya kecerdasan seperti Lintang dan tak punya bakat seni seperti

Mahar. Aku berpikir keras untuk memformulasikan rencana B. Namun sangat berun-tung, setelah

berminggu-minggu melakukan perenungan akhir-nya tanpa disengaja aku mendapat inspirasi untuk

me-rumuskan sebuah rencana B yang hebat luar biasa.

Rencana B ku ini sangat istimewa karena aku tidak perlu meninggalkan rencana A. Para pakar

sendiri mungkin belum pernah berpikir sejauh ini. Rencana B-ku sifatnya menggabungkan minat

dan kemampuan yang ada pada rencana A. Intinya jika aku gagal meniti karier di bidang bulu

tangkis dan tak berhasil sebagai penulis sehingga semua penerbit hanya sudi menerima tulisanku

untuk dijual menjadi kertas kiloan, maka aku akan menempuh rencana B yaitu: aku akan menulis

tentang bulu tangkis!

Aku menghabiskan sekian banyak waktu untuk membuat rencana B ini agar sebaik rencana A,

yaitu sampai tahap-tahap yang paling teknis dan operasional. Oleh karena itu, aku telah punya

ancang-ancang judul bukuku, seluruhnya ada tiga yaituTATA CARA BERMAIIM BULU

TANGKIS, FAEDAH BULU TANGKIS, atauBULU TANGKIS UNTUK PERGAULAN.

Rencana B ini kuanggap sangat rasional karena aku telah melihat bagaimana pengaruh bulu tangkis

pada orang-orang Melayu pedalaman. Jika musim Thomas Cup atau All England maka di kampung

kami bulu tangkis bukan hanya sekadar olahraga tapi ia menjadi semacam budaya, semacam jalan

hidup, seperti sepak bola bagi rakyat Brasil. Pada musim itu ilalang tanah-tanah kosong dibabat,

pohon-pohon pinang ditumbangkan untuk dibelah dan dijadikan garis lapangan bulu tangkis, dan

gengsi kampung dipertaruhkan habis-habisan dalam pertandingan antardusun. Jika malam tiba

kampung menjelma menjadi semarak karena lampu petromaks menerangi arena-arena bulu tangkis

dan teriakan para penonton yang gegap gempita. Di sisi lain aku percaya bahwa ratusan kaum pria

yang tergila-gila pada bulu tangkis lalu pulang ke rumah kelelahan akan mengalihkan mereka dari

rutinas malam sehingga dapat menekan angka kelahiran anak-anak Melayu. Sungguh besar manfaat

bulu tangkis bagi kampung kami yang minim hiburan. Fenomena ini meyakinkanku bahwa

tulisanku tentang bulu tangkis akan mencapai suatu kedalaman dan kategori yang disebut para

sastrawan pintar zaman sekarang sebagai buku dalam genre humaniora!

Buku itu akan ditulis setelah melalui riset yang serius dan melibatkan studi literatur serta

wawancara yang luas. Jika beruntung aku akan mengusahakan agar mendapat semacam kata

pengantar sekapur sirih dari Ferry Sonneville dan dengan sedikit kerja sama dengan penerbit aku

sudah mengkhayalkan akan mendapat banyak komentar berisi pujian dari para pakar di sampul

Misalnya Liem Swie King, ia akan berkomentar, \"Ini adalah sebuah buku yang sangat bermanfaat

untuk meningkatkan kepercayaan diri, membangun network, dan menambah kawan.\"

Komentar Lius Pongoh agak lebih singkat: \"Sebuah buku yang memberi pencerahan.\"

Seorang birokrat dari komite olah raga me-nyumbangkan pujian yang filosofis: \"Belum pernah ada

buku olahraga ditulis seperti ini, penulisnya sangat memahami makna men sana incorpore sano.\"

Demikian pula pujian seorang seksolog yang gemar bermain bulu tangkis: \"Buku wajib bagi Anda

yang memiliki kelebihan berat badan dan kesulitan membina hubungan.\"

Rudy Hartono memuji habis-habisan: \"Sebuah buku yang menggetarkan!\"

Sedangkan komentar dari Ivana Lie adalah:

Be There or Be Damned !

\"APAKAH Ananda sudah memiliki rencana A dan rencana B?\"

Itulah pertanyaan pertama Bu Mus kepada Mahar sekaligus awal pidato panjang untuk menasihati

tindakannya yang sudah keterlaluan. la sudah berbelok ke jalan gelap dunia hitam, ia harus segera

disadarkan. Pelajaran praktik olahraga yang sangat kami sukai dibatalkan. Semuanya harus masuk

kelas dalam rangka menghakimi Mahar dan mengembali- kannya ke jalan yang lurus. Layar pun

turun, rol-rol film drama diputar.

Mahar menunduk. Ia pemuda yang tampan, pintar, berseni, tapi keras pendiriannya.

\"Ibunda, masa depan milik Tuhan .,„¦\" Aku melihat cobaan yang dihadapi seorang guru. Wajah Bu

Mus redup. Seorang sahabat pernah mengatakan bahwa guru yang pertama kali membuka mata kita

akan huruf dan angka-angka sehingga kita pandai membaca dan menghitung tak 'kanputus-putus

pahalanya hingga akhir hayatnya. Aku setuju dengan pendapat itu. Dan tak hanya itu yang

dilakukan seorang guru. Ia juga membuka hati kita yang gelap gulita.

\"Artinya Ananda tidak punya sebuah rencana yang positif, tak pernah lagi mau membaca buku dan

mengerjakan PR karena menghabiskan waktu untuk kegiatan perdukunan yang membelakangi ayatayat Allah.\"

Bu Mus mulai terdengar seperti warta berita RRI pukul 7. Lintasan berita: \"Nilai-nilai ulanganmu

merosot tajam. Kita akan segera menghadapi ulangan caturwulan ke tiga, setelah itu caturwulan

terakhir menghadapi Ebtanas. Nilaimu bahkan tak memenuhi syarat untuk melalui caturwulan tiga

ini. Jika nanti ujian antaramu masih seperti ini, Ibunda tidak akan mengizinkanmu ikut kelas

caturwulan terakhir. Itu artinya kamu tidak boleh ikut Ebtanas.\"

Ini mulai serius, Mahar tertunduk makin dalam. Kami diam mendengarkan dan khotbah berlanjut.

Berita utama: \"Hiduplah hanya dari ajaran AlQur'an, hadist, dan sunatullah, itulah pokok-pokok

tuntunan Muhammadiyah. Insya Allah nanti setelah besar engkau akan dilimpahi rezeki yang halal

dan pendamping hidup yang sakinah.\"

Disambung berita penting: \"Klenik, ilmu gaib, takhayul, paranormal, semuanya sangat dekat

dengan pemberhalaan. Syirik adalah larangan tertinggi dalam Islam. Ke mana semua kebajikan dari

pelajaran aqidah setiap Selasa? Ke mana semua hikmah dari pengalaman jahiliah masa lam-pau

dalam pelajaran tarikh Islam? Ke mana etika kemuhammadiyahan?\"

Suasana kelas menjadi tegang. Kami harap

Mahar segera minta maaf dan menyatakan pertobatan tapi sungguh sial, ia malah menjawa

b dengan nada bantahan.

\"Aku mencari hikmah dari dunia gelap Ibunda dan penasaran karena keingintahuan. Tuhan akan

memberiku pendamping dengan cara yang misterius ii

Kurang ajar betul, Bu Mus bersusah payah menahan emosinya. Aku tahu beliau sebenarnya ingin

langsung me-labrak Mahar. Air mukanya yang sabar menjadi merah. Beliau segera keluar ruangan

Kami serentak menatap Mahar dengan tajam. Alis Sahara bertemu, tatapan matanya kejam sekali.

\"Minta maafsana! Tak tahu diuntung!\" hardikSahara.

Kucai selaku ketua kelas ambil bagian, suara-nya menggelegar, \"Melawan guru sama hukumnya

dengan melawan orangtua, durhaka! Siksa dunia yang segera kauterima adalah burut! Pangkal

pahamu akan membesar seperti timun suri hingga langkahmu ngangkang!\" Keras sekali Kucai

menghardik Mahar tapi yang dipelototinya Harun.

Wajah Mahar aneh. Ia seperti sangat menye-sal dan merasa bersalah tapi di sisi lain tampak yakin

bahwa ia sedang mempertahankan sebuah argumen yang benar, menurut versinya sendiri tentu saja.

Persis ketika kami ingin memprotes Mahar secara besar-besaran tiba-tiba Bu Mus masuk lagi ke

dalam ruangan dan menyemprotkan pokok berita, \"Camkan ini anak muda, tidak ada

hikmah apa pun dari kemusyrikan, yang akan kau dapat dari praktikpraktik klenik itu adalah kesesatan yang semakin lama semakin dalam karena

sifat syirik yang berlapis-lapis. Iblis mengipasngipasimu setiap kali kau kipasi bara api

kemenyan-kemenyan itu.\"

Mahar mengerut. la tampak sangat bersalah telah membuat ibunda gurunya muntab. Bu Mus

ternyata bisa juga emosi dan tak berhenti sampai di

situ, \"Sekarang kau harus mengambil sikap karena ini

Belum selesai ultimatum itu tiba-tiba terde-ngar assalamu'alaikum . Bu Mus menjawab dan

mempersilakan masuk kepala sekolah kami, seorang bapak berwajah penting, dan seorang anak

perempuan tapi seperti laki-laki. Anak perempuan ini berpostur tinggi, dadanya rata, pantatnya juga

rata. la seperti sekeping papan Sepatunya bot Wrangler navigator yang mahal dan itu adalah sepatu

laki-laki. Kaus kakinya lucu, berwarna-warni meriah berlapis-lapis seperti sarang lebah dan

menutupi tempurung lutut. la jelas bukan orang Muhammadiyah karena semua wanita Muhammadiyah berjilbab. la memakai rok besar dari bahan wol bermotif kotak-kotak besar merah seperti kilt

orang-orang Skotlandia. Kilt itu menutupi ujung atas kaus kakinya tadi sehingga tak ada sedikit pun

celah kulit kakinya yang terbuka. Rambutnya pendek, kulitnya putih bersih sangat halus, dan

wajahnya cantik. Secara umum ia tampak seperti seorang pemuda Skotlandia yang imut.

Bapak berwajah orang penting tadi berusaha tersenyum ramah.

\"Ini anak saya, Flo,\" katanya pelan-pelan.

\"Dia sudah tidak ingin lagi sekolah di sekolah PN dan sudah membolos dua minggu. Dia bersikeras

hanya ingin sekolah di sini.\"

Orang penting ini menggaruk-garuk kepalanya. Setiap kata-katanya adalah batu berat puluhan kilo

yang ia seret satu per satu. Nada bicaranya jelas sekali seperti orang yang sudah kehabisan akal

mengatasi anaknya itu. Kami semua termasuk kepala sekolah tersipu menahan tawa. Bu Mus yang

baru saja marah juga tersenyum. Sebuah senyum terpaksa karena kami semua sudah tahu reputasi

Flo. Beliau sudah pusing tujuh keliling menghadapi Mahar dan sekarang harus ditambah lagi satu

anak setengah laki-laki setengah perempuan yang sudah pasti tak bisa diatur! Hari ini adalah hari

yang sial dalam hidup Bu Mus.

Flo sendiri acuh tak acuh, ia tak tersenyum dan hanya menatap bapaknya. Anak cantik ini

berkarakter tegas, pasti, tahu persis apa yang ia inginkan, dan tak pernah ragu-ragu, sebuah

gambaran sikap yang mengesankan. Bapak-nya juga menatap anaknya, suatu tatapan penuh

kekalahan yang pedih. Lalu bapaknya melihat sekeliling ruangan kelas kami yang seperti ruang

interogasi tentara Jepang, tatapannya semakin pedih. Dengan pasrah ia menyampaikan ini.

\"Maka saya serahkan anak saya pada Ibu, jika ia menyulitkan, Bapak Kepala Sekolah sudah tahu di

mana harus menemui saya. Menyesal harus saya sampaikan bahwa ia pasti akan menyulitkan.\"

Kami tertawa dan bapaknya tersenyum pahit. Flo masih cuek seolah semua kata-kata itu tak ada

maknanya, laksana angin lewat saja. Kepala Sekolah dan orang penting itu mohon diri. Kepala

Sekolah kami tersenyum simpul sambil memandang Bu Mus penuh arti.

Bu Mus memandangi Flo dari samping Mahar yang baru saja dimarahinya habis-habisan dan Flo

yang berandal berdiri tegak di depan kelas seperti orang mengambil pose untuk peragaan kaus kaki

Italia model terbaru. Meskipun seperti laki-laki tapi ia sesungguhnya gadis remaja yang menawan,

dan kulitnya indah luar biasa. Di kelas ini ia laksana Winona Ryder yang diutus UNICEF untuk

membesarkan hati para penderita lepra di sebuah kampung kumuh diSudan.

Flo menyilangkan kakinya, bahunya yang ku-rus bidang mekar seperti memiliki bantalan di

pundak-pundaknya. Ia sangat memesona. Semua mata menghunjam ke arahnya. Sebuah pemandangan yang tak biasa. Jika diamati dengan saksama, di balik kedua bola matanya yang gelap coklat

seperti buah hamlam tersembunyi kebaikan yang sangat besar.

Semuanya diam, Flo juga diam. Kami berharap Flo akan memecah kekakuan dengan memperkenalkan dirinya. Tapi ia tak melakukan itu dan Bu Mus juga tak memintanya mengenalkan diri

karena dua alasan: Flo jelas tak senang dengan formalitas,

kedua: siapa yang tak kenal Flo? Namanya melambung gara-gara hilang di Gunung Selumar tempo

hari dan reputasinya semakin top karena baru-baru ini menjuarai pertarungan kick boxing. Ia

mengKO hampir seluruh lawannya padahal ia satu-satunya petarung wanita. Maka Bu Mus

mengambil inisiatif sambil tersenyum bersahabat.

\"Baiklah, selamat datang di kelas kami, setelah ini pelajaran kemuhammadiyahan, silakan Ananda

duduk disanadenganSahara\"

Saharasenang bukan main karena selama sembilan tahun hanya ia satu-satunya wanita di kelas

kami. Selama ini ia duduk sendirian dan sekarang ia akan punya teman sesama jenis. Ia mengusapusap kursi kosong di sampingnya dan menampilkan bahasa tubuh selamat datang. Tapi di luar

dugaan ternyata Flo tak beranjak Wajahnya tak menunjukkan minat sama sekali. Dia membatu dan

meman-dang jauh ke luar jendela. Kami bingung, lalu Flo kembali meman-dang kami dan kami

terkejut ketika dengan pasti ia menun-juk Tarapani sambil bersabda:

\"Aku hanya ingin duduk di samping Mahar!\" Luar biasa! Kalimat pertama yang meluncur dari

mulut kecil makmurnya itu setelah baru saja beberapa menit menginjakkan kaki di sekolah

Muhammadiyah adalah sebuah pembangkangan! Pembangkangan bukanlah hal yang biasa di

perguruan kami. Kami tak pernah sekali pun dengan sengaja menyatakan pembangkangan, kami

bahkan memanggil guru kami ibunda guru.

Kami terperanjat, demikian pula Bu Mus. Air muka sabarnya menjadi keruh. Baru saja beliau

memikir-kan kemungkinan kerusakan etika Muhammadiyah yang akan dibuat Mahar dan murid

baru separuh pria ini, tiba-tiba sekarang dua ekor angin tornado ini ingin bersekutu. Berat sekali

cobaan hidup Bu Mus. Wajah Bu Mus sembap. Flo menunjukkan wajah tak mau berkompromi dan

Bu Mus sudah tahu bahwa percuma melawan dia. Lagi pula bagi Flo dirinya bukanlah wanita, maka

ia tak mau duduk denganSahara. Di sisi lain ia menganggapTrapaniharus mengalah karena ia adalah

seorang wanita. Transeksual memang sering membingungkan.

Trapanikebingungan karena dia sudah sembilan tahun terbiasa duduk sebangku dengan Mahar dan

Bu Mus harus mengambil keputusan yang sulit. Beliau memberi isyarat padaTrapaniagar lungsur.

Flo menghambur ke kursi bekasTrapanidi samping Mahar. Mahar serta-merta mengeluarkan tiga

ma-cam sikap khasnya yang menyebalkan: menaikkan alis, mengangkat bahu, dan menganggukangguk. Kami muak melihatnya tapi ia tampak senang bukan main. Seperti dugaannya, Tuhan telah

memberinya pendamping secara misterius. Sebuah doa yang langsung dikabulkan di tempat.

Bajingan kecil itu memang selalu beruntung. Sebaliknya,Trapanikehilangan teman sebangku dan ia

sekarang harus duduk denganSaharayang temperamental.Saharasendiri sangat tidak suka

menerimaTrapani. Ia mengaum, alisnya bertemu.

Flo tampak kaku duduk di kelas kami dan seluruh ruangan itu sama sekali tidak merepre-sentasikan

setiap jenis sandang yang dikena-kannya. Kelas rombeng ini juga tak cocok dengan kulit putih dan

raut mukanya yang penuh sinar kekayaan. Apa yang dicari anak kaya ini di sekolah miskin yang tak

punya apa-apa? Mengapa ia ingin menukar gemerlap sekolah PN dengan sekolah gudang kopra?

Buah khuldi di pekarangan siapa yang telah dimakannya sehingga dia terusir dari

Tidak, ia tidak dicampakkan oleh sekolah PN tapi ia sengaja ingin pindah ke sekolah

Muham-madiyah atas kemauan sendiri, tanpa tekanan dari pihak mana pun dan dalam keadaan

sehat walafiat jasmani dan rohani, hanya pikirannya saja yang sedikit kacau.

Pada hari-hari pertama kami terkagum-kagum dengan berbagai perlengkapan sekolahnya yang

menurut ia biasa saja. Ia memiliki enam macam tas yang dipakai berbeda-beda setiap hari. Tas hari

Jumat paling menarik karena ber-umbai-rumbai seperti tas Indian. Ia juga memiliki banyak kotak.

Kotak khusus untuk beragam penggaris: ada penggaris busur, penggaris segitiga, penggaris siku,

dan beragam ukuran penggaris segi empat. Kotak lainnya berisi jangka-jangka kecil, berbagai jenis

pensil, pulpen, dan penghapus seperti kue lapis yang dapat menimbulkan rasa lapar. Lalu ada

serutan yang lucu serta sapu tangan handuk kecil di dalam tas rajutan ibunya.

Di dalam tas rajutan kecil itu ada berjejal-jejal uang kertas yang dimasukkan dengan sembrono

oleh Flo. Jika ia membuka tas itu sering kali uang tadi berjatuhan ke lantai. Jumlah uang itu

semakin hari semakin banyak dan membuat tasnya menjadi gendut. Flo tidak bisa membelanjakan

uang itu di sekolah Muhammadiyah karena tak ada yang bisa dibeli. Uang itu memiliki nama yang

sangat asing bagi kami: uang saku. Sesuatu yang seumur-umur tak pernah kami dapat-kan dari

Sebagian besar benda-benda itu belum pernah kami lihat. Ia amat berbeda dengan kami dalam

semua hal. Ia seumpama bangau Hokaido yang anggun tersasar ke kandang itik. Setiap pagi ia

diantar sopirnya dengan sebuah mobil mewah tentu saja setelah ia sarapan dari semacam benda

yang dapat membuat roti meloncat.

Sejak kami menjadi pahlawan kesiangan yang menemukan Flo ketika ia hilang di Gunung Selumar

tempo hari ia memang telah mengenal kami, terutama Mahar dan reputasinya. Flo hengkang dari

sekolah PN karena didorong oleh kepribadiannya yang pembosan, cenderung antikemapanan,

tergila-gila dengan pemberontakan, dan keinginannya menjadi anggota Laskar Pelangi yang unik.

Tapi ada alasan lain yang tak banyak orang tahu, dan ini agak berbahaya, yaitu ia tergila-gila pada

Mahar. Ia mengagumi Mahar bukan sebagai pribadi tapi sebagai seorang profesional muda

Karena orangnya memang ekstrovert dan ber-pikiran terbuka maka kami segera akrab dengan Flo.

Pada sebuah sore yang dingin setelah hujan lebat Flo kami inisiasi di dahan tertinggi filicium dan

sejak sore itu ia resmi kami bai'at sebagai anggota Laskar Pelangi. Saat pelangi melingkar dan

guruh bersahut-sahutan membahana di atas langitBelitong Timur,iamengucapkan janji setia

Ternyata Flo adalah pribadi yang sangat menyenangkan. Ia memiliki kemampuan beradaptasi yang

luar biasa. Ia cantik dan sangat rendah hati, sehingga kami betah di dekatnya. Ia tak pernah segan

menolong dan selalu rela berkorban. Terbukti bahwa di balik sifatnya keras kepala tersimpan

kebaikan hati yang besar.

Aneh, di sekolah Muhammadiyah yang tak punya fasilitas apa pun Flo sangat

bersemangat.Adasesuatu yang menggerakkannya. Ia tak pernah sehari pun bolos dan bersikap

sangat santun kepada para pengajar. Konon bapaknya sampai mengucapkan terima kasih kepada

kepala sekolah kami dan Bu Mus. Ia datang lebih pagi dari siapa pun, menyapu seluruh sekolah,

menimba berember-ember air dan menyiram bunga tanpa diminta. Sekolah ini adalah jembatan jiwa

Flo sangat dekat dengan Mahar. Mereka saling tergantung dan saling melindungi. Hubungan

mereka sangat unik. Dengan bersama Mahar dan berada di sekolah Muhammadiyah Flo seperti

berada di dunia yang memang diidamkannya selama ini. Ia seperti orang yang telah menemukan

identitas setelah bersusah payah mencarinya melalui pemberontak-an-pemberontakan sinting.

Demikian pula Mahar, ia merasa menemukan satu-satunya orang yang memahaminya, tak pernah

melecehkannya, dan menghargai setiap kelakuan anehnya. Maka mereka seperti Star sky and Hutch

atau Harley Davidson and The Marlboro Man, gandeng renteng kesanakemari persisTrapanidan

Mahar benar-benar telah mendapatkan pen-damping. Mereka sering tampak berduaan, berbicara,

bertukar pikiran sampai berjam-jam. Orang yang melihatnya akan menyangka mereka berpacaran.

Seorang pemuda tampan dan seorang anak gadis cantik yang tomboi, siang malam tak terpisahkan.

Saling tergila-gila, serasi sekali. Tapi kenyataannya mereka sama sekali tidak punya hubungan

emosional semacam itu. Mereka memang tergila-gila tapi kekasih hati mereka adalah dunia gelap

Dunia gelap itulah yang memicu adrenalin Flo dan itu jugalah salah satu tujuannya mendekati

Mahar. Berbeda dengan A Kiong yang juga mengabdi kepada Mahar tapi memosisikan diri sebagai

murid, Flo sebaliknya memosisikan diri sebagai rekan. Persekutuan mereka membawa kemajuan

yang pesat dalam elaborasi dunia metafisik karena ditunjang oleh sumber daya yang dimiliki Flo.

Mereka mempelajari dengan saksama fenomena-fenomena aneh melalui majalah-majalah luar

negeri dan buku-buku ilmiah karangan psychist ternama. Kalau dulu Mahar berurusan dengan

primbon atau prasasti dan istilah-istilah kuntilanak, jenglot, Dalbho anak genderuwo, dan pocong,

sekarang referensinya meningkat menjadi paranormal-phernalia, UFO codes, science fictions news,

dan The Anomaiist, dan bicaranya juga menjadi lebih maju dan keren, kalau dulu kemenyan, tuyul,

kerasukan setan, dan santet, sekarang menjadi istilah-istilah paranormal asing seperti exorcism,

clairevoyance, sightings, dan poltergeist.

Mahar tertarik pada mitologi, hubungan supranatural dengan antropologi, sejarah, cerita rakyat,

arkeologi, kekuatan penyembuhan, ilmu-ilmu purba, ritual, dan kepercayaan berhala. Maka sedikit

banyak ia menganggap dirinya seorang ilmuwan supranatural. Sebaliknya, Flo adalah petualang

sejati. Ia kurang tertarik dengan aspek ilmu dan keyakinan dalam kejadian-kejadian mistik tapi ia

ingin mengalami manifestasi berbagai teori dan fenomena magis dalam praktik. Karena tujuan

utama pendalaman mistik Flo adalah untuk menguji dirinya sendiri, sampai sejauh mana ia bisa

menoleransi rasa takutnya. Ia kecanduan getar-getar mara bahaya dunia lain. Flo sedikit lebih parah

sintingnya dibanding Mahar.

Maka untuk merealisasikan semua tujuan itu dan untuk menikmati hobinya, mereka berdua

menyusun sebuah rencana sistematis. Langkah awal mereka adalah membentuk sebuah organisasi

rahasia para penggemar paranormal. Setelah kasakkusuk sekian lama, tak dinyana ternyata mereka mampu menemukan anggota-anggota se-paham

yang sangat antusias. Mereka membentuk sebuah perkumpulan yang disebut Societeit de Limpai

dan melakukan pertemuan rutin serta aktivitas perklenikan secara diam-diam.

Semakin lama aktivitas itu semakin tinggi dan tak jarang melibatkan perjalanan yang jauh. Tak

terbayangkan ke mana keingintahuan dapat membawa manusia: ke gunung tertinggi, ke gua yang

gelap, melintasipadang, menuruni ngarai, me-nyeberangi lumpur, sungai, dan laut. Sing-kat-nya,

organisasi bawah tanah ini sangat sibuk dan menuntut pengadministrasian jadwal, dana, dan

properti sehingga mereka membutuhkan bantuan seorang sekretaris merangkap bendahara!

Ketika aku ditawari posisi itu, aku segera menyambarnya. Meskipun tidak ada honornya sepeser

pun tapi aku merasa terhormat menjadi seorang sekretaris dari sebuah gerombolan orang-orang

yang bersahabat dengan hantu. Aku juga bangga karena jabatan itu menunjukkan bahwa aku punya

cukup integritas untuk memegang uang, artinya paling tidak aku bisa dipercaya walaupun hanya

dipercaya oleh orang-orang yang sudah tidak lurus pikirannya.

Tugasku sederhana dan cukup diatur melalui sebuah buku register. Tugas tersebut adalah mencatat

iuran anggota, menyimpan uangnya, dan mencatat barang-barang pribadi milik anggota yang akan

dijual atau digadaikan guna membeli peralatan dan membiayai ekspedisi. Tugas lainnya adalah

mengatur pertemuan rahasia. Biasanya undangan dibuat oleh bosku, Mahar atau Flo, dan aku harus

mengedarkannya pada seluruh anggota. Seperti sore ini misalnya, Flo menyerahkan undangan

Rapat mendesak, Los V/B pasar ikan, Pk. 7

Be thereor be damned!

Detik-Detik Kebenaran

DAL AM sebuah bangunan berarsitektur art deco, di ruangan oval yang ingar-bingar, kami

terpojok: aku,Sahara, dan Lintang.

Kembali kami berada dalam sebuah situasi yang mempertaruhkan reputasi. Lom-ba kecerdasan.

Dan kami berkecil hati melihat murid-murid negeri dan sekolah PN membawa buku-buku teks yang

belum pernah kami lihat. Tebal berkilat-kilat dengan sampul berwarna-warni, pasti buku-buku

mahal. Sebagian peserta berteriak-teriak keras menghafal-kan nama-nama kantor berita.

Risikonya tentu jauh lebih besar dari karnaval dulu. Lomba kecerdasan adalah arena terbuka untuk

mempertontonkan kecerdasan, atau jika sedang bernasib sial, mempertontonkan ketololan yang tak

terkira. Dan semua nasib sial itu akan ditanggung langsung oleh aku,Sahara, dan Lintang. Kami

adalah regu F pada lomba memencet tombol ini. Bagaimana kalau kami tak mampu menjawab dan

hanya membawa pulang angka nol?

Persoalan klasiknya adalah kepercayaan diri. Inilah problem utama jika berasal dari lingkungan

marginal dan mencoba bersaing. Kami telah dipersiapkan dengan baik oleh Bu Mus. Beliau

memang menaruh harapan besar pada lomba ini lebih dari beliau berharap waktu kami karnaval

dulu. Bu Mus pontang-panting mengumpulkan contoh-contoh soal dan bekerja sangat keras melatih

kami dari pagi sampai sore. Bu Mus melihat lomba ini sebagai media yang sempurna untuk

menaikkan martabat sekolah Muhammadiyah yang bertahun-tahun selalu diremehkan. Bu Mus

sudah bosan dihina. Sayangnya sekeras apa pun beliau membuat kami pintar dan menguatkan

mental kami, mendorong-dorong, membujuk, dan mengajari kami agar tegar, kami tetap gugup.

Semua yang telah dihafalkan berminggu-minggu lenyap seketika, jalan pikiran menjadi buntu. Aku

berusaha menenangkan diri dengan membayangkan duduk bersemadi di ataspadangrumput hijau di

tempat yang paling tenang dalam imajinasiku: Edensor, tapi upaya ini juga gagal.

\"Persetan kepercayaan diri, pokoknya dengar pertanyaannya baik-baik, pencet tombolnya cepatcepat, dan jawab dengan benar,\" demikian kataku.Saharamengangguk, Lintang tak peduli.

Kami duduk menghadapi sebuah meja mahoni yang besar, panjang, indah, dan dingin. Seluruh

teman sekelasku dan guru-guru hadir untuk menyemangati kami. Ruangan penuh sesak oleh para

pendukung setiap sekolah. Aku, Lintang, danSaharamengerut di balik meja itu. Kami berpakaian

amat sederhana dan sepatu cunghai Lintang masih menebarkan bau hangus.

Pendukung yang paling dominan tentu saja pendukung sekolah PN. Jumlahnya ratusan dan

menggunakan seragam khusus dengan tulisan mencolok di punggungnya: VINI, VIDI, VICI,

artinya AKU DATANG, AKU LIHAT, AKU MENANG. Benar-benar menjatuhkan mental lawan.

Sekolah PN mengirim tiga regu, masing-masing regu A, B, dan C. Anggota regu itu adalah yang

terbaik dari yang terbaik. Mereka diseleksi secara khusus dengan amat ketat dan standar yang

sangat tinggi. Beberapa peserta itu pernah menjuarai lomba cerdas cermat tingkat provinsi bahkan

ada yang telah dikirim untuk tingkat nasional. Pakaian anggota regu juga sangat berbeda. Mereka

mengenakan jas warna biru gelap yang indah, sepatu yang seragam dengan celana panjang

berwarna serasi, dan mereka berdasi.

Tahun ini mereka dipersiapkan lebih matang, sistematis, dan secara amat ilmiah oleh seorang guru

muda yang terkenal karena kepandaiannya. Guru ini membuat simulasi situasi lomba sesungguhnya dengan bel, dewan juri, stop watch, dan antisipasi variasi-variasi soal. Guru yang cemerlang ini

baru saja mengajar di PN, dulu ia bekerja di sebuah perusahaan asing di unit riset dan

pengembangan kemudian ditawari mengajar di PN dengan gaji berlipat-lipat dan janji beasiswa S2

dan S3. Ia lulus cum laude dari Fakultas MIPA sebuah universitas negeri ternama. Tahun ini ia

terpilih sebagai guru teladan provinsi. Ia mengajar fisika, Drs. Zulfikar, itulah namanya.

Pendukung kami dipimpin oleh Mahar dan Flo. Meskipun hanya berjumlah sedikit tapi semangat

mereka menggebu. Mereka membawa dua buah bendera besar Muhammadiyah yang telah lapuk

dan berbagai macam tabuh-tabuhannya seperti para suporter sepak bola.Parapelajar PN yang

menganggap Flo pengkhianat melirik kejam pada-nya, tapi seperti Lintang, Flo juga tak peduli.

Walaupun besar sekali kemungkinan tim kami dipermalukan oleh kecerdasan tim PN dalam lomba

ini, tapi Flo tak ragu sedikit pun membela habis-habisan sekolahnya, sekolah kampung

Di antara pendukung kami adaTrapanidan ibunya, kedua anak beranak ini saling bergandengan

tangan. Aku melihat pelajar-pelajar wanita berbisik-bisik, tertawa cekikikan, dan terus-menerus

melirik-nya karena semakin remajaTrapanisemakin tampan. la ramping, berkulit putih bersih,

tinggi, berambut hitam lebat, di wajahnya mulai tumbuh kumis-kumis tipis, dan matanya seperti

buah kenari muda: teduh, dingin, dan dalam.

Sesungguhnya dalam seleksi tim yang akan mewakili sekolah kamiTrapanitelah terpilih. Skornya

lebih tinggi dibanding skorSaharanamun nilai geografinya lebih rendah. Kekuatan tim kami adalah

matematika, hitungan-hitungan IPA, biologi, dan bahasa Inggris yang semuanya tak diragukan ada

di tangan Lintang. Aku agak baik pada bidangbidang kewarganegaraan, tarikh Islam, fikih, budipekerti, dan sedikit bahasaIndonesia. Yang

paling lemah dalam tim kami adalah geografi dan ahli geografi kami adalahSahara. Maka demi

kekuatan timTrapanidengan lapang dada memberi kesem-patan padaSaharauntuk

tampil.Trapaniadalah pria muda yang amat tampan dan berjiwa besar.

\"Tabahkan hatimu, Ikal ...,\" itulah nasihatTra-panipelan padaku.

Sementara di meja mahoni yang megah itu Lintang diam seribu bahasa, kelelahan, selayaknya

orang yang memikul seluruh beban pertaruhan nama baik. Aku tak henti-henti berkipas, bukan

kepanasan, tapi hatiku mendidih karena gentar. Tak pernah sekali pun sekolah kampung menang

dalam lomba ini, bahkan untuk diundang saja sudah merupakan kehormatan besar.

Lintang sudah membatu sejak subuh tadi. Di atas truk terbuka yang membawa kami ke

ibukotakabupaten ini,Tanjong Pandan,iamembisu seperti orang sakit gigi parah. Ia memandang

jauh. Tak mampu kuartikan apa yang berkecamuk di dadanya. Ayah, Ibu, dan adik-adiknya juga

ikut. Mereka, termasuk Lintang, baru pertama kali ini pergi ke Tanjong Pandan.

Saharaduduk di tengah. Aku dan Lintang di samping kiri dan kanannya. Ekspresi Lintang datar, ia

tersandar lesu tanpa minat. Agaknya ia demikian minder, berkecil hati, dan malu berada di

lingkungan yang sama sekali asing baginya. Ia hanya menatap Ayah, Ibu, dan adik-adiknya yang

berpakaian amat sederhana, duduk saling merapatkan diri di pojok, tampak bingung dalam suasana

yang hiruk pikuk. Aku mencoba berkonsentrasi tapi gagal. Lintang danSaharasudah tak bisa

Kulihat tangan para peserta lain mulai meraba tombol di depan mereka, siap

menyalak.Saharakelihatan pucat, seperti orang bingung. la yang telah ditugasi dan dilatih khusus

memencet tombol sedikit pun tak mampu mendekatkan jarinya ke benda bulat itu. la sudah pasrah

atas kemungkinan kalah mutlak.Saharamengalami demam panggung tingkat gawat. Sementara

otakku tak bisa lagi dipakai untuk berpikir. Keributan yang terjadi ketika peserta lain mencoba-coba

tombol dan mikrofon terdengar bagaikan teror bagi kami. Kami tak sedikit pun mencoba bendabenda itu. Kami sudah kalah sebelum bertanding.Parapendukung Muhamma-diyah membaca

kegentaran kami. Mereka tampak prihatin.

Suasana semakin tegang ketika ketua dewan juri bangkit dari tempat duduknya, memperkenalkan

diri, dan menyatakan lomba dimulai. Jantungku berdegup kencang,Saharapucat pasi, dan Lintang

tetap diam misterius, ia bahkan memalingkan wajah keluar melalui jendela.

Dan inilah detik-detik kebenaran itu. Pertanya-an ditujukan kepada semua peserta yang harus

berlomba cepat memencet tombol agar dapat menjawab dan jika keliru akan kena denda. Aku tak

berani melihat para penonton. Dan Bu Mus tak berani melihat wajah kami. Wajahnya dipalingkan

ke lampu besar di tengah ruangan yang berjuntai-juntai laksana raja gurita. Baginya ini adalah

peristiwa terpenting selamalimabelas tahun karier mengajarnya. Beliau benar-benar menginginkan

kami menang dalam lomba ini, karena beliau tahu lomba ini sangat penting artinya bagi sekolah

kampung seperti Muhammadiyah. Wajahnya kusut menang-gung beban, mungkin beliau juga telah

bosan bertahun-tahun selalu diremehkan.

Tak lama kemudian seorang wanita anggun yang bergaun jas cantik berwarna merah muda berdiri.

Beliau meminta penonton agar tenang karena beliau akan mengajukan pertanyaan. Suaranya indah,

bertimbre berat, dan tegas seperti penyiar RRI.

Wanita itu mendekatkan wajahnya pada mi-krofon dan menegakkan lembaran kertas di depannya

seperti orang akan membaca Pancasila. Detik-detik kebenaran yang hakiki dan men-cemaskan

tergelar di depan kami. Seluruh peserta memasang telinga baik-baik, siap menyambar tombol, dan

siaga mendengar berondongan perta-nyaan. Suasana mencekam ....

Pertanyaan pertama bergema.

\"Ia seorang wanita Prancis, antara mitos dan realita ....\"

Kring! Kriiiiiiiingggg! Kriiiiiiiiiiiiinnnggggg!

Wanita anggun itu tersentak kaget karena pertanya-annya secara mendadak dipotong oleh suara

sebuah tombol meraung-raung tak sabar. Aku danSaharajuga terperanjat tak alang kepalang

karena baru saja sepotong lengan kasar dengan kecepatan kilat menyambar tombol di depan kami,

\"Regu F!\" kata seorang pria anggota dewan juri lainnya. Wajahnya seperti almarhum Benyamin S.

la memakai jas dan dasi kupu-kupu.

\"Joan D'Arch,Loire Valley,France!\" jawab Lin-tang membahana, tanpa berkedip, tanpa keraguan

sedikit pun, dengan logat Prancis yang sengau-sengau aduhai.

\"Seratusss!\" Benyamin S. tadi membalas disam-but tepuk tangan gemuruh para penonton. Kulihat

bendera Muhammadiyah berkibar-kibar.

\"Pertanyaan kedua: Terjemahkan dalam kalimat integral dan hitung luas wilayah yang dibatasai

oleh y = 2x dan x = 5.\"

Lintang kembali menyambar tombol secepat ki-lat dan jawabannya serta-merta memecah ruangan.

\"Integral batas 5 dan 0, 2x minus x kali dx, hasilnya: dua belas komalima!\"

Luar biasa! tanpa ada kesangsian, tanpa membuat catatan apa pun, kurang dari 5 detik, tanpa

membuat kesalahan sedikit pun, dan nyaris tanpa berkedip.

\"Seratussssss!\" lengking Benyamin S. Mendengar lengkingan Benyamin S. pendukung kami

melonjak-lonjak seperti orang kesurupan. Suara mereka huh rendah laksana kawanan kum-bang

kawin. Flo melompat-lompat sambil menge-luarkan jurus-jurus kick boxing.

\"Pertanyaan ketiga: Hitunglah luas dalam jarak integral 3 dan 0 untuk sebuah fungsi 6 plus Sx

minus x pangkat 2 minus 4 x.\"

Lintang memejamkan matanya sebentar, ia tak membuat catatan apa pun, semua orang

memandangnya dengan tegang, lalu kurang dari 7 detik kembali ia melolong.

\"Tiga belas setengah!\"

Tak sebiji pun meleset, tak ada ketergesa-gesaan, tak ada keraguan sedikit pun.

\"Seratusssss!\" balas Benyamin S. sambil menggeleng-gelengkan kepalanya karena takjub melihat

kecepatan daya pikir Lintang. Pendukung kami bersorak sorai histeris gegap gempita. Mereka

mendesak maju karena perlombaan semakin seru. Ayah, Ibu, dan adik-adik Lintang berusaha

berdiri dan bergabung dengan pendukung kami yang lain. Mereka tersenyum lebar dan kulihat ayah

Lintang, pria cemara angin itu, wajahnya berseri-seri penuh kebanggaan pada anaknya, matanya

yang kuning keruh berkaca-kaca.

Sementara para peserta lain terpana dan berkecil hati. Lintang menjawab kontan, bahkan ketika

mereka belum selesai menulis soal itu dalam kertas catatan yang disedia-kan panitia. Beberapa di

antaranya membanting pensil tanpa ampun.Trapaniyang kalem mengangguk-angguk pelan. Pak

Harfan bertepuk tangan girang sekali seperti anak kecil, wajahnya menoleh kesanakemari. \"Lihatlah

murid-muridku, ini baru murid-muridku ...,\" itu mungkin makna ekspresi wajahnya. Bu Mus

bergerak maju ke depan, wajah kusutnya telah sirna menjadi cerah. Sekarang beliau berani

mengangkat wajahnya, matanya juga berkaca-kaca dan bibirnya bergumam, \"Subhanallah,

Ibu jas merah muda berupaya keras mene-nangkan penonton yang riuh dan berdecak-decak kagum,

terutama menenangkan pendukung kami yang tak bisa menguasai diri. Beliau melanjutkan

\"Selain menggunakan teknik radiocarbon untuk

menentukan usia sebuah temuan arkeologi, para ahli juga .,…\"

Kring! Khiiiiiiingggg!

Kembali Lintang mengamuk, dan ia menjawab lantang.

\"Thermoiuminescent dating1.Penentuan usia melalui pelepasan energi sinar dalam suhu panas!\"

Berikutnya hanyalah kejadian yang persis sa-ma dengan pertanyaan itu. Wanita cantik berjas merah

muda itu tak pernah sempat menyelesaikan pertanyaannya. Lintang menyambar setiap soal tanpa

memberikan kesempatan sekali pun pada peserta lain.

Ratusan penonton terkagum-kagum. Warga Muhammadiyah di ruangan itu berjingkrak-jingkrak

sambil saling memeluk pundak. Vang paling bahagia adalah Harun. Dia memang senang dengan

keramaian. Aku melihatnya bertepuk-tangan tak henti-henti, berteriak-teriak memberi semangat,

tapi wajahnya tak melihat ke arah kami, ia menoleh keluar jendela. Kiranya ia sedang memberi

semangat kepada sekelompok anak perempuan yang sedang bermain kasti di halaman.

Di tengah hiruk pikuk para penonton aku sem-pat mendengar jawaban-jawaban tangkas Lintang:

\"Vincent Van Gogh, menyasszonytanc , The Hunch back of Notredame, paradoks air, Edgar Alan

Poe, medula spinalis, Dian Fossey, artropoda, 300 ribu kilometer per detik. Basedow, dacty/orhiza

mocu-iata, ancyostoma duodenaie, Stone Henge, Platy-helminthes, endoskeleton, Serebrum,

Langerhans, fiuoxetine hydrochioride, 8,5 menit cahaya, extremely low frequency, molekul chirai

Ia tak terbendung, aku merinding melihat kecerdasan sahabatku ini. Peserta lain terpesona

dibuatnya. Mereka seperti terbius sebuah kharisma kuat kecerdasan murni dari seorang anak

Melayu pedalaman miskin, murid sekolah kampung Muhammadiyah yang berambut keriting merah

tak terawat dan tinggal di rumah kayu doyong beratap daun nun jauh terpencil di pesisir.

Parapeserta sekolah PN merasa geram karena tak kebagian satu pun jawaban. Maka mereka

mencoba berspekulasi. Tujuannya bukan untuk menjawab tapi untuk menjegal Lintang. Mereka

berusaha secara tidak rasional memencet tombol secepat mungkin. Sebuah tindakan tolol yang

berakibat denda karena tak mampu menginter-pretasikan seluruh konteks pertanyaan. Sedangkan

Lintang, seperti dulu pernah kuceritakan, anak ajaib kuli kopra ini, memiliki kemampuan yang

menga-gumkan untuk menebak isi kepala orang.

Dominasi Lintang membuat beberapa penonton terusik egonya dan penasaran ingin menguji

Einstein kecil ini maka insiden pun terjadi. Ketika itu juri menanyakan:

\"Terobosan pemahaman ilmiah terhadap konsep warna pada awal abad ke-16 memulai penelitian

yang intens di bidang optik. Ketika itu banyak ilmuwan yang percaya bahwa campuran cahaya dan

kegelapanlah yang menciptakan warna, sebuah pendapat yang rupanya keliru. Kekeliruan itu

dibuktikan dengan memantulkan cahaya pada sekeping lensa cekung .,„¦\"

Khiiiiing! Kriiiiing! Kring! Lintang menyalak-nyalak.

Sekali lagi suporter kami bergemuruh jumpali-tan, tapi tiba-tiba seseorang di antara penonton

menyela, \"Saudara ketua! Saudara ketua! Saudara ketua dewan juri! Saya kira pertanyaan dan

jawaban itu keliru besar!\"

Seluruh hadirin sontak diam dan melihat ke a-rah seorang pemuda yang kecewa ini. Oh, Drs.

Zulfikar, guru fisika teladan dari sekolah PN itu. Gawat! Urusan ini bisa runyam. Sekarang pandangan seluruh hadirin menghunjam ke arah guru muda yang otak cemerlangnya sudah kondang ke

mana- mana. Untuk diajar privat olehnya bahkan harus antre. la harapan yang akan melanjutkan

tradisi lama sekolah PN sebagai pemenang pertama lomba kecerdasan ini dan ia sudah

mempersiapkan timnya demikian sempurna. Ia tak ingin dipermalukan dan ia tak

pernah berurusan dengan sesuatu yang tidak terbaik. Sekarang apa yang akan ia perbuat? Aku

danSaharawaswas tapi Lintang tenang-tenang saja. Drs. itu angkat bicara dengangayaakademisi

\"Percobaan dengan lensa cekung tidak ada kaitannya dengan bantahan terhadap teori awal yang

meyakini bahwa warna dihasilkan oleh campuran cahaya dan kegelapan. Dan sebaliknya,

pemahaman terhadap penciptaaan warna bukanlah persoalan optik, kecuali dewan juri ingin

membantah Descartes atau Aristoteles. Soal optik dan spektrum warna adalah dua macam hal yang

berbeda. Situasi ini ambigu, di sini kita menghadapi tiga kemungkin-an, pertanyaan yang salah,

jawaban yang keliru, atau kedua-duanya tak berdasar dalam arti tidak kontekstual!\"

Aduh...! Komentar ini sudah di luar daya jang-kau akalku, asing, tinggi, dan jauh. Ini sudah

semacam debat mempertahankan tesis S2 di depan tiga orang profesor. Tapi tidakkah sedikit

banyak kata-kata sang Drs. itu berbentuk U, kritis namun berputar-putar? Dan ia pintar sekali

membimbang-kan dewan juri dengan menyintir pendapat Rene Descartes, siapa yang berani

membantah sinuhun ilmu zaman lawas itu? Mudah-mudahan Lintang punya argumentasi. Kalau

tidak kami akan habis di sini. Aku membatin dengan cemas tapi tak tahu akan berbuat apa. Pak

Harfan bertelekan pinggang lalu menunduk dan Bu Mus merapatkan kedua tangannya di

atas dadanya seperti orang berdoa,

wajahnya prihatin ingin membela kami tapi beliau tak berdaya karena serangan Drs. Zulfikar

memang sudah ter-lalu canggih. Bu Mus tampak tak tega melihat kami. Aku memandangSaharadan

ia cepat-cepat memalingkan muka, ia menoleh keluar jendela seolah tak mengenal kami. Wajahnya

menunjukkan ekspresi bahwa saat itu ia sedang tidak duduk di situ.

Parapenonton dan dewan juri terlihat bingung atas bantahan yang supercerdas itu. Jangankan

menjawab bahkan sebagian tak mengerti apa yang dipersoalkan. Tapi seseorang memang harus me-

nyelamatkan situasi ini, maka ketua dewan juri bangkit dari tempat duduknya. Lintang masih

tenang-tenang saja, ia tersenyum sedikit, santai sekali.

\"Terima kasih atas bantahan yang hebat ini, apa yang harus saya katakan, bidang saya adalah

pendidikan moral Pancasila ...,\" kata ketua dewan juri.

Si Drs. bersungut-sungut, ia merasa di atas angin. Ekor matanya seolah mengumumkan kalau ia

sudah khatam membaca buku Principia karya Isaac Newton, bahwa ia juga pelanggan jurnal-jurnal

fisika internasional, bahwa ia kutu laboratorium yang kenyang pengalaman eksperimen, bahkan

seolah fisikawan Christiaan Huygens itu uwaknya. Pria ini adalah seorang fresh graduate yang

sombong, ia memperlihatkan karakter manusia sok pintar yang baru tahu dunia. Bicaranya di

awang-awang dengangayaseperti Pak Habibie. Ia mengutip buku asing disanasini tak keruan,

menggunakan istilah-istilah aneh karena ingin mengesankan dirinya luar biasa. Tapi kali ini, aku

jamin dia akan menelan APC, pil pahit segala penyakit andalan orang kampung Belitong yang amat

Karena merasa sudah menang dengan kritiknya guru muda itu meningkatkan sifat buruk dari

sombong menjadi tak tahan pada godaan untuk meremehkan.

\"Atau barangkali anak-anak SMP Muhammadi-yah ini atau dewan juri bisa menguraikan

pendekatan optik Descartes untuk menjelaskan fenomena warna?\"

Keterlaluan! Seluruh hadirin tentu mengerti bahwa kalimat bernada menguji itu sesungguhnya tak

perlu. Pak Zulfikar hanya ingin menghina sekaligus melumpuhkan mental kami dan dewan juri

karena ia yakin bahwa kami tak mengerti apa pun mengenai Descartes. Dengan demikian ia dapat

menganulir pertanyaan awal tadi sekaligus menja-tuhkan martabat majelis ini. Yang menyakitkan

adalah ia dengan jelas menekankan kata SMP Muhammadiyah untuk megingatkan semua orang

bahwa kami hanyalah sebuah sekolah kampung yang tak penting.

Aku memang tak mengerti pendekatan optik tapi aku tahu sedikit sejarah penemuan fenomena

warna. Aku tahu bahwa Descartes bekerja dengan prisma dan lembaran-lembaran kertas untuk

menguji warna, bukan murni dengan manipulasi optik.

Newton-lah sesungguhnya sang guru besar optik. Pak Zulfikar jelas sok tahu dan dengan mulut

besarnya ia mencoba menggertak semua orang melalui kesan seolah ia sangat memahami teori

warna. Aku geram dan ingin membantah Drs. congkak ini tapi pengetahuanku terbatas. Tabiat Pak

Zulfikar adalah persoalan klasik di negeri ini, orang-orang pintar sering bicara meracau dengan

istilah yang tak membumi dan teori-teori tingkat tinggi bukan untuk menemukan sebuah karya

ilmiah tapi untuk membodohi orang-orang miskin. Sementara orang miskin diam terpuruk, tak

menemukan kata-kata untuk membantah.

Aku menatap Lintang, memohon bantuannya jika nanti aku angkat bicara melawan kezaliman Drs.

itu. Aku sangat perlu dukungannya. Tapi bagaimana nanti kalau ternyata aku yang keliru?

Bagaimana kalau aku diserang balik bertubi-tubi? Ah, risikonya terlalu tinggi, bisa-bisa aku

dipermalukan. Ini juga persoalan klasik bagi orang yang memiliki penge-tahuan setengah-setengah

sepertiku. Maka dadaku berkecamuk antara ingin melawan dan ragu-ragu. Tapi aku sangat marah

karena sekolahku dihina dan aku jengkel karena aku tahu bahwa Drs. itu membawa-bawa nama

Descartes secara keliru dan tidak adil guna keuntungannya sendiri.

Melihatku demikian gusar Lintang tersenyum kecil padaku. Sebuah senyum damai. Aku tahu,

seperti biasa, ia dapat membaca pikiranku dengan benderang. Ia membalas tatapanku dengan

lembut seakan mengatakan, \"Sabar Dik, biar Abang bereskan persoalan ini ....\" Wajahnya

tenang sekali. Aku dan Sahara ciut. Kami mengerut di ketiak kiri kanan pendekar ilmu pengetahuan

yang sakti mandraguna andalan kami ini.

Mendengar tantangan Pak Zulfikar yang tak bersahabat tadi bapak ketua dewan juri yang baik

menarik napas panjang. Beliau menoleh ke arah para koleganya, anggota dewan juri. Semuanya

menggeleng-gelengkan kepala. Lalu beliau mencoba menengahi dengan diplomatis dan sangat

merendah. \"Maafkan Bapak Guru Muda, atas nama dewan juri saya terpaksa mengatakan bahwa

pengetahuan kami agaknya belum sampai ke sana.\"

Kata-katanya demikian bersahaja. Kasihan ba-pak tua itu. Ia seorang guru senior yang rendah hati

dan sangat disegani karena dedikasinya selama puluhan tahun di dunia pendidikan Belitong. Beliau

tampak malu dan putus asa. Lalu beliau mengalihkan pandangan ke arah regu F, regu kami, Lintang

tersenyum dan mengangguk kecil padanya. Tanpa diduga ketua dewan juri mengatakan, \"Tapi

mungkin anak Muhammadiyah yang cemerlang ini bisa membantu.\"

Suasana sunyi senyap dalam nuansa yang sangat tidak mengenakkan, dan semakin tidak enak

karena sang Drs. kembali mengudara dengan komentar sengak tanpa perasaan.

\"Saya harap argumentasi mereka bisa setepat jawabannya tadi!\"

Semakin keterlaluan! Ia sengaja memprovokasi Lintang dan kali ini Lintang terpancing, ia angkat

\"Jika bantahan Bapak mengenai pertanyaan yang tidak kontekstual dengan jawaban, mungkin saja

bantahan semacam itu bisa diterima. Dewan juri menanyakan sesuatu yang jawabannya sudah

tertera di kertas yang dibacakan ibu pembaca soal. Saya yakin di sana tertulis cincin Newton dan

kami menjawab cincin Newton, berarti kami berhak atas angka seratus. Maka kalaupun itu memang

tidak kontekstual, itu hanya berarti dewan juri menanyakan sesuatu yang benar dengan cara yang

Pak Zulfikar tak terima.

\"Dengan kata lain pertanyaan nomor itu gugur karena bisa saja peserta lain menduga arah

jawaban yang keliru!\" Lintang tak sabar.

\"Tidak ada yang keliru! Kecuali Bapak tidak memedulikan substansi dan ingin menggugurkan nilai

kami karena persoalan remeh-temeh.\"

Pak Zulfikar tersinggung, ia menjadi marah, dan suasana berubah tegang.

\"Kalau begitu jelaskan pada saya substansinya! Karena bisa saja kalian mendapat nilai melalui

kemampuan menebak-nebak jawaban secara untung-untungan tanpa memahami persoalan

Wah, ini sudah kurang ajar. Sahara menyeringai, setelah sekian lama menghilang ke alam lain

kini ia kembali dalam penjelmaan seekor leopard,

alisnya bertemu. Para penonton dan dewan juri tercengang, terlongong-longong dalam adu

argumentasi ilmiah tingkat tinggi yang memanas. Mereka bahkan tak mampu memberi satu

komentar pun, persoalan ini gelap bagi mereka. Tapi aku tersenyum senang karena aku tahu kali ini

guru muda yang sok tahu ini akan kena batunya.

Bantahannya yang terakhir itu adalah pelecehan. Lintang tersengat harga dirinya, wajahnya merah

padam, sorot matanya tak lagi jenaka. Lintang, yang baru sekali ini menginjak Tanjong Pandan,

berdiri dengan gagah berani menghadapi guru PN yang arogan jebolan perguruan tinggi terkemuka

itu. Sembilan tahun sangat dekat dengan Lintang, baru kali ini aku melihatnya benar-benar muntah,

maka inilah cara orang genius mengamuk:

\"Substansinya adalah bahwa Newton terang-terangan berhasil membuktikan kesalahan teori-teori

warna yang dikemukakan Descartes dan Aristoteles! Bahkan yang pa-ling mutakhir ketika itu,

Robert Hooke. Perlu dicatat bahwa Robert Hooke mengadopsi teori cahaya berdasarkan filosofi

mekanis Descartes dan mereka semua, ketiga orang itu, menganggap warna memiliki spektrum

yang terpisah. Melalui optik cekung yang kemudian melahirkan dalil cincin, Newton membuktikan

bahwa warna memiliki spektrum yang kontinu dan spektrum warna sama sekali tidak dihasilkan

oleh sifat-sifat kaca, ia semata-mata produk dari sifat-sifat hakiki cahaya!\"

Drs. Zulfikar terperangah, penonton tersesat dalam teori fisika optik, sekadar mengangguk sedikit

saja sudah tak sanggup. Dan aku girang tak alang kepalang, dugaanku terbukti! Rasanya aku ingin

meloncat dari tempat duduk dan berdiri di atas meja mahoni mahal berusia ratusan tahun itu sambil

berteriak kencang kepada seluruh hadirin: \"Kalian tahu, ini Lintang Samudra Basara bin Syahbani

Maulana Basara, orang pintar kawanku sebangku! Rasakan kalian semua!\" Sekarang ekspresi

Sahara seperti leopard yang sedang mencabik-cabik predator pesaing, ia mengaum, alisnya bertemu

seperti sayap elang, dan Lintang masih belum puas.

\"Newton mengatakan, kecuali Bapak ingin nyangkal manuskrip ilmiah yang tak terbantahkan

selama 500 tahun hasil karya ilmuwan yang disebut Michael Hart sebagai manusia paling hebat

setelah Nabi Muhammad, bahwa tebal tipisnya partikel transparan menentukan warna yang ia

pantulkan. Itulah persamaan ketebalan lapisan udara antara optik sebagai dasar dalil warna cincin.

Semua itu hanya bisa diobservasi melalui optik, bagaimana Bapak bisa mengatakan perkara-perkara

ini tidak saling berhubungan?\"

Sang Drs. terkulai lemas, wajahnya pucat pasi. Ia membenamkan pantatnya yang tepos di bantalan

kursi seperti tulang belulangnya telah dipresto. Ia kehabisan kata-kata pintar, kacamata minusnya

merosot layu di batang hidungnya yang bengkok. Ia paham bahwa berpolemik secara membabi buta

dan berkomentar lebih jauh tentang sesuatu yang tak terlalu ia kuasai hanya akan

memperlihatkan ketololannya sendiri di mata orang genius seperti Lintang. Maka ia mengibarkan

saputangan putih, Lintang telah menghantamnya knock out. Ia dipaksa Lintang menelan pil APC

yang pahit tanpa air minum dan pil manjur itu kini tersangkut di tenggorokannya. Sekali lagi para

pendukung kami berjingkrak-jingkrak histeris seperti doger monyet. Pak Harfan mengacungkan dua

jempolnya tinggi-tinggi pada Lintang. \"Bravo! Bravo!\" teriaknya girang. Bu Mus yang berpakaian

paling sederhana dibanding guru-guru lain mengangguk-angguk takzim. Ia terlihat sangat bangga

pada murid-murid miskinnya, matanya berkaca-kaca dan dengan haru beliau berucap lirih,

\"Subhanallah ... Subhanallah ....\"

Selanjutnya, mekanisme lomba menjadi monoton, yaitu ibu cantik membacakan pertanyaan yang

tak selesai, suara kriiiiiing, teriakan jawaban Lintang, dan pekikan seratussss dari Benyamin S. Aku

terpaku memandang Lintang, betapa aku menyayangi dan kagum setengah mati pada sahabatku ini.

Dialah idolaku. Pikiranku melayang ke suatu hari bertahun-tahun yang lalu ketika sang bunga pilea

ini membawa pensil dan buku yang keliru, ketika ia beringsut-ingsut naik sepeda besar 80 kilometer

setiap hari untuk sekolah, ketika suatu hari ia menempuh jarak sejauh itu hanya untuk menyanyikan

lagu Padamu Negeri. Dan ha-ri ini ia meraja di sini di majelis kecerdasan yang amat terhormat ini.

Seperti Mahar, Lintang berhasil mengharumkan

nama per-guruan Muhammadiyah. Kami adalah sekolah kampung pertama yang menjuarai perlom-

baan ini, dan dengan sebuah kemenangan mutlak. Air yang menggenang seperti kaca di mata Bu

Mus dan laki-laki cemara angin itu kini menjadi butir-butiran yang berlinang, air mata kemenangan

yang mengobati harapan, pengorbanan, dan jerih payah.

Hari ini aku belajar bahwa setiap orang, bagai-mana pun terbatas keadaannya, berhak memiliki

cita-cita, dan keinginan yang kuat untuk mencapai cita-cita itu mampu menimbulkan prestasiprestasi lain sebelum cita-cita sesungguhnya tercapai. Keinginan kuat itu juga memunculkan

kemampuan-kemampuan besar yang tersembunyi dan keajaiban-keajaiban di luar perkiraan. Siapa

pun tak pernah membayangkan sekolah kampung Muhammadiyah yang melarat dapat mengalahkan

raksasa-raksasa di meja mahoni itu, tap/ keinginan yang kuat, yang kami pelajah dari petuah Pak

Harfan sembilan tahun yang lalu di hari pertama kami masuk SD, agaknya terbukti. Keinginan kuat

itu telah mem-belokkan perkiraan siapa pun sebab kami tampil sebagai juara pertama tanpa

banding. Maka barangkali keinginan kuat tak kalah penting dibanding cita-cita itu sendiri.

Ketika Lintang mengangkat tinggi-tinggi trofi besar kemenangan, Harun bersuit-suit panjang

seperti koboi memanggil pulang sapi-sapinya, dan di sana, di sebuah tempat duduk yang besar, ibu

Frischa berkipas-kipas kegerahan, wajahnya menunjukkan sebuah ekspresi seolah saat itu dia

MEREKA menyebut diri mereka Societeit de Limpai, sederhananya: Kelompok Limpai. Limpai

adalah binatang legendaris jadi-jadian yang menakutkan dalam mitologi Belitong. Sebuah karakter

fabel yang menarik karena beberapa cerita rakyat memberikan definisi yang berbeda bagi makhluk

mitos ini. Orang-orang pesisir menganggapnya sebagai semacam peri yang hidup di gununggunung. Di Belitong bagian tengah ia dipercaya berbentuk binatang besar berwarna putih seperti

gajah atau mammoth, Sebaliknya di utara ia adalah angin yang jika marah akan menumbangkan

pohon-pohon dan merebahkan batang-batang padi.

Ada pula beberapa wilayah yang mengartikan-nya sebagai bogey yakni hantu hitam dan besar.

Orang-orang muda semakin salah mengerti. Bagi mereka Limpai adalah urban legend maka ia bisa

saja incubus yaitu setan yang menyaru sebagai pria tampan atau death omen yang dapat menyamar

menjadi apa saja. Disebut salah mengerti karena sebenarnya akar cerita Limpai terkait dengan

ajaran kuno turun-temurun di Belitong agar masyarakat tidak semena-mena memperlakukan

hutan dan sumber- sumber air. Ajaran itu mengandung tenaga sugestif ketakutan terhadap kualat

karena hutan dan sumber-sumber air dijaga oleh hantu Limpai. Namun, dewasa ini sebagian besar

orang melihat wujud Limpai tak lebih dari kabut yang melayang-layang di dalam kepala yang

bodoh, tipis iman, senang bergunjing, dan kurang kerjaan, itulah Limpai.

Societeit de Limpai merupakan organisasi rahasia bentukan orang-orang aneh dan aku adalah

sekretaris organisasi yang unik ini. Societeit beroperasi diam-diam. la semacam organisasi tanpa

bentuk. Tak diketahui kapan, di mana mereka biasa berkumpul, dan apa yang mereka bicarakan.

Jika secara tak sengaja ada yang memergoki mereka, mereka segera mengalihkan pembicaraan,

bahkan menganggap saling tak kenal satu sama lain. Tindak tanduknya demikian disamarkan bukan

karena me-reka mengusung sebuah misi yang amat berbahaya, anarkis, komunis, atau melawan

hukum, tapi lebih karena mereka menghindarkan diri dari ejekan khalayak karena kekonyolannya.

Sebab Societeit adalah kumpulan manusia tak berguna yang memiliki kecintaan berlebihan pada

dunia klenik dan mistik. Para peminat klenik dalam masyarakat kami selalu jadi bahan tertawaan.

Mereka tidak populer karena barangkali tidak seperti pada budaya lain di tanah air, orang-orang

Melayu khususnya di Belitong me-mang tidak terlalu meminati dunia perdukunan.

Maka Societeit de Limpai pada dasarnya tidakmendapat tempat di kampung kami.

Namun bagi para anggota Societeit, organisasi mereka adalah organisasi yang sangat serius.

Anggotanya hanya sembilan orang dan untuk menjadi anggota syaratnya berat bukan main.

Anggota paling senior saat ini berusia 57 tahun, pensiunan syah bandar, dan yang termuda adalah

dua orang remaja berusia 16 tahun. Enam orang lainnya adalah seorang petugas teller di BRI

cabang pembantu, seorang Tionghoa tukang sepuh emas, seorang pengangguran, seorang pemain

organ tunggal, seorang mahasiswa teknik elektro drop out yang membuka sebuah bengkel sepeda,

dan Mujis, si tukang semprot nyamuk. Anehnya ketua kelompok ini justru yang termuda itu. Ialah

bapak pendiri organisasi yang disegani anggotanya karena pengetahuannya yang luas tentang dunia

gelap, pevalienan, serta koleksinya yang lengkap tentang cerita kabar angin atau cerita konon

kabarnya. la tak lain tak bukan adalah Mahar yang fenomenal. Sedangkan anak remaja satunya

tentu saja Flo. Adapun aku hanya seorang sekretaris dan pembantu umum, maka tidak dihitung

sebagai anggota kehormatan.

Aktivitas Societeit sangat padat. Mereka melakukan ekspedisi ke daerah-daerah angker, menyelidiki kejadian-kejadian mistik, berdiskusi dengan para spiritual di seantero Belitong, dan

memetakan mitologi lokal, baik Folklor maupun urban legend dalam suatu mitografi yang menarik.

Dalam banyak sisi dapat dianggap bahwa para anggota Societeit

sesungguhnya adalah orang-orang pemberani yang sangat penasaran ingin membongkar rahasia

feno-mena ganjil dan memiliki skeptisisme yang tak mau dikompromikan. Jika belum melihat dan

merasakan sendiri, mereka tak 'kan percaya. Societeit dengan brilian telah mengadopsi sosok

Limpai yang mistis sebagai metafora sehingga mereka bisa disebut orang-orang antusias, ilmuwan,

orang gila, atau musyrikin tergantung sudut pandang setiap orang menilainya. Sama seperti

perbedaan perspektif setiap orang dalam memaknai Limpai.

Dalam pembuktiannya terhadap fenomena pa-ranormal mereka sering menggunakan metode ilmiah

sehingga mereka dapat juga disebut sebagai ilmuwan tentu saja ilmuwan dalam definisi mereka

sendiri. Ke arah inilah Mahar telah berkembang, bukan ke arah pencapaian-pencapaian seni yang

seharusnya menjadi rencana A baginya, dan dengan kehadiran Flo, kesia-siaan bakat itu semakin

Dalam menjalankan tugas sintingnya mereka melengkapi diri dengan perangkat elektronik, misalnya beragam alat perekam audio video, perangkat-perangkat sensor, dan berbagai jenis teropong. Di

bawah supervisi mahasiswa elektro yang drop out itu mereka merakit sendiri detektor medan

elektro magnet yang dapat membaca gelombang area observasi dalam kisaran 2 sampai 7 miligauss

karena mereka yakin aktivitas kaum lelembut berada dalam kisaran tersebut. Mereka juga

menciptakan sensor frekuensi yang dapat mengenali frekuensi sangat

rendah sampai di bawah 60 hertz karena menurut akal sesat mereka dalam frekuensi itulah kaum

setan alas sering berbicara. Selain semua elek-tronik yang canggih itu pada setiap ekspedisi mereka

juga membekali diri dengan kemenyan, gaharu, jimat telur biawak, buntat, dan penangkal bala, serta

seekor ayam kate kampung karena seekor ayam dianggap paling cepat tanggap kalau iblis

Mereka secara rutin berkelana. Suatu ketika mereka memasuki Hutan Genting Apit, tempat paling

angker di Belitong. Hutan ini menyimpan ribuan cerita seram dan yang paling menonjol adalah

fenomena ectoplasmic mist yakni kabut yang bercengkerama sendiri dan secara alamiah atau

mungkin setaniah membentuk wujud-wujud tertentu seperti manusia, hewan, atau raksasa. Tak

jarang bentuk-bentuk ini tertangkap kamera film biasa. Para pengendara yang melalui kawasan ini

sangat disarankan untuk tidak melirik kaca spion karena hantu-hantu penghuni lembah ini biasa

menumpang sebentar di jok belakang.

Di lembah ini mereka memasang alat-alat elektronik tadi di cabang-cabang pohon untuk

mendeteksi gerakan, suara, dan bentuk-bentuk tak biasa lalu menganalisisnya. Kemudian Genting

Apit menjadi semacam laboratorium alam bagi Societeit. Tempat yang selalu dihindari orang

mereka kunjungi seumpama orang piknik ke pantai saja.

Tak ayal Societeit juga mendatangi kuburan-kuburan keramat, bermalam di lokasi-lokasi yang

terkenal keseramannya, mengumpulkan cerita-cerita takhayul, dan mencari benda-benda magis

pusaka warisan antah berantah. Mereka diam di tempat yang ditinggalkan orang karena takut,

mereka justru menunggu makhluk-makhluk halus yang membuat orang lain terbirit-birit. Semakin

lama Societeit semakin bergairah dengan aktivitas-nya meskipun di sisi lain masyarakat juga

semakin mencemooh mereka. Mereka dianggap orang-orang aneh yang menghambur-hamburkan

waktu untuk hal-hal tak bermanfaat.

Tak semua kegiatan Societeit tak berguna. Adakalanya pendekatan ilmiah mereka malah mampu

mematahkan mitos. Misalnya dalam kasus api anggun di atas sebatang pohon jemang besar. Telah

puluhan tahun berlangsung para pengendara sering ketakutan ketika melintasi sebuah tikungan

menuju Manggar karena pada puncak sebuah pohon jemang besar persis di seberang tikungan itu

sering tampak api berkobar-kobar. Jemang Hantu, demikian juluk-an tempat angker itu. Kejadian

itu selalu tengah malam setelah turun hujan dan sudah menjadi cerita seram yang melegenda.

Sulit untuk mengatakan bahwa para pengen-dara telah salah lihat apalagi berbohong karena di

antara mereka yang telah menyaksikan peman-dangan horor itu adalah Zaharudin bin Abu Bakar,

ustad muda kampung kami yang pantang berdusta.

Maka Societeit turun tangan melakukan sema-cam riset. Setelah sepanjang sore turun hujan

malamnya mereka mengendap-endap di sekitar jemang angker tadi untuk melakukan

pengamatan. Tak lama setelah lewat tengah malam mereka memang menyaksikan api berkobarkobar di puncak pohon itu namun pada saat itu pula mengerti jawabannya. Mereka berhasil

menghancurkan mitos angker pohon jemang yang telah puluhan tahun menciutkan nyali orang

Letupan api itu sesungguhnya berasal dari ka-bel listrik tegangan tinggi yang korslet karena air

hujan. Tiang kabel itu berjarak kira-kira 120 meter dari puncak pohon dan ketinggian keduanya

sepadan sehingga jika dilihat dari jauh sebelum memasuki tikungan seolah-olah letupan korslet

yang menimbulkan bunga-bunga api itu berkobar-kobar dari puncak pohon jemang.

Jika tiba dari pengembaraan mistiknya, Mahar dan Flo selalu membawa cerita-cerita seru ke

sekolah. Misalnya suatu hari mereka berkisah bahwa di tengah sebuah hutan yang gelap mereka

menemukan kuburan dengan ukuran tambak hampir tiga kali enam meter dan jarak antara kedua

misannya hampir lima meter. Karena orang Melayu selalu memasang misan di sekitar kepala dan

ujung kaki maka dapat diperkirakan ukuran jasad yang terkubur di bawahnya adalah ukuran

manusia yang luar biasa besar.

Flo memulai kisah bahwa ia menemukan piring-piring dari tanah liat di sekitar kuburan

dengan ukuran seperti dulang dan kondisinya masih utuh. la juga menemukan berbagai jenis kendi

yang tidak rusak dan terkubur dangkal. Flo dengan dingin saja memberi tahu kami bahwa ia tidur

paling dekat dengan misan-misan itu dan tak sedikit pun merasa takut. Ia menceritakan sebuah

pengalaman yang menderikan bulu kuduk seolah sebuah cerita lucu tentang baru saja meminumkan

susu pada anak-anak kucing persia di rumahnya. Ingin kukatakan padanya bahwa gerabah-gerabah

arkeologi itu memang tidak rusak tapi yang rusak adalah otaknya.

Sebaliknya versi Mahar jauh lebih menarik. Ia memberi penjelasan pengetahuan tentang hubu-ngan

beberapa kuburan purba bertambak super besar di Belitong dengan teori-teori para arkeolog

terkenal seperti Barry Chamis atau Harold T. Wilkins yang percaya bahwa pada suatu masa yang

lampau manusia-manusia raksasa pernah menjelajahi bumi. Ia membuat analogi yang menarik,

logis, dan lengkap dengan analisis waktu tentang kuburan itu dengan hal ikhwal tengkorak manusia

raksasa Pasnuta yang ditemukan di Omaha atau kerangka tak utuh manusia yang digali dari situssitus kubur-an purba di Dataran Tinggi Golan. Jika direkonstruksi kerangka-kerangka itu

membentuk manusia setinggi hampir enam meter.

Maka cerita Mahar selalu mengandung ilmu. Dia memang seorang eksentrik yang berdiri di area

abu-abu antara imajinasi dan kenyataan, tapi tak

diragukan bahwa ia cerdas, pemikirannya terstruk-tur dengan baik, dan pengetahuan dunia gaibnya

amat luas. Mahar dan Flo duduk santai pada cabang rendah filicium seperti para paderi tukang cerita

dari sebuah kuil Sikh dan kami, para Laskar Pelangi, bersimpuh membentuk lingkaran, terce-ngang

dengan mata berbinar-binar mendengar keajaiban-keajaiban petilasan mereka dalam dunia magis.

Adapun orang lain dari kejauhan hanya akan melihat ikatan persahabatan Laskar Pelangi yang

Pada kesempatan lain mereka bercerita ten-tang petualangan mencari sebuah gua purba

tersembunyi yang belum pernah dijamah siapa pun. Gua itu konon berada di tengah rimba dan

eksistensinya hanya berdasarkan mitos samar turun-temurun dari sebuah komunitas kecil terasing

yang hidup seperti suku primitif di barat daya Belitong. Mereka menyebutnya gua gambar. Tak

tahu apa maksud nama itu dan bagi mereka gua itu adalah gua gaib yang tak 'kan pernah ditemukan.

Mendengar kisah itu Societeit berdiri telinga-nya dan merasa tertantang.

Ketika Societeit mendatangi komunitas yang hanya terdiri dari sebelas kepala keluarga dan

mencari informasi tentang gua gambar, pawang suku di sana menertawakan mereka.

\"Ananda tak 'kan menemukan gua itu, karena gua itu adalah gua siluman. Gua itu hanya akan

menampakkan diri di malam hari yang paling gelap, itu pun hanya bisa dilihat oleh orang-orang

gunung terpilih yang tak kita kenal.\"

Orang-orang gunung adalah cerita konon yang

lain. Kami menyebutnya orang Tungkup. Mereka tinggal di gunung dan juga tak pernah dilihat

\"Selama tiga hari tiga malam kami berjalan kaki menembus rimba belantara liar untuk mencari gua

itu. Pohon-pohon di sana sebesar pelukan empat orang dewasa dengan kanopi menjulang ke langit,\"

demikian cerita Mahar.

\"Saking lebatnya hutan itu sinar matahari tak mampu menembus permukaan tanah. Pohon-pohon

berlumut, gelap dan lembap, penuh lintah, kelelawar, kadal, macan akar, luak, dan ular-ular besar,\"

sambung Flo meyakinkan.

\"Kami hampir putus asa, tapi beruntung, pe-ngetahuan Mujis yang baik tentang kontur hutan

akhirnya membimbing kami menuruni sebuah lembah curam di antara dua gunung dan di dasar

lembah itu, pas menjelang magrib, kami menemukan sebuah gua!\"

Kami ternganga-nganga, merapatkan lingkaran duduk, mendekati dua petualang sejati yang sangat

hebat ini, tak sabar mendengar kelanjutan cerita.

\"Kami belum yakin apakah itu gua gambar se-perti dimaksud komunitas kuno itu. Wilayah itu

sangat sulit ditempuh. Mulut gua sangat sempit dan ditutupi akar-akar mahoni raksasa, seperti jarijari yang sengaja menyamarkan,\" demikian kata Flo ekspresif. Ah, Flo yang cantik, ramping, atletis,

dan berkulit putih seindah anggrek bulan, dikombinasikan

dengan cerita petualangan mendebarkan penuh getaran marabahaya di tengah hutan rimba dan

sebuah gua misteri, sungguh sebuah perpaduan yang mem-buat dirinya tampak semakin indah.

mentalitas dan prinsip-prinsip hidup Flo yang tak biasa, telah menjadikan dirinya seorang wanita

yang sangat memesona.

\"Ketika kami mendekat, kami terkejut karena beberapa ekor biawak dan musang yang garang

berloncatan keluar dari gua.\" Mahar dan Flo sambung menyambung.

\"Setelah menyiangi akar-akar itu akhirnya kami berhasil masuk ke dalam gua.\"

\"Di dalamnya amat lebar dan memanjang, men-julur ke bawah seperti sumur yang landai, dingin,

gelap, dan ada suara riak-riak air.\"

\"Ternyata di tengah gua itu ada aliran air yang deras!\"

Cerita semakin seru, seperti cerita petualang-an Indian Winnetou, kami duduk terpaku menyimak.

\"Kami mencoba menelusuri gua itu, bau amis kotoran kelelawar menyengat hidung dan membuat

perut mual. Sarang laba-laba hitam besar menutupi celah-celah gua seperti tirai putih berjuntaijuntai. Laba-laba itu demikian besar sehingga cecak dan kelelawar tersangkut di jaringnya dan

mengering karena darahnya telah diisap serangga maut itu. Lintah merayapi dinding gua, mengincar

darah anak-anak kelelawar.\" Mengerikan.

\"Rantai makanan di dalam gua adalah singkat,

tidak se-perti subekosistem lain di luar!\" Flo menambahi.

\"Kami terus merambah masuk sampai beratus-ratus meter tapi tak menemukan tanda-tanda gua itu

\"Gua itu seperti tak berujung ...,\" Mahar berce-rita dengan penuh penghayatan sehingga kami

merasa seperti berada di dalam gua yang sangat mencekam itu. Kami merasakan udara dingin,

kegelapan, ketakutan, dan seakan mendengar pekik keleawar dan percikan air di dalamnya.

\"Tapi suara aliran air tadi semakin lama sema-kin bergemuruh, kami perkirakan di depan kami ada

jurang di bawah tanah yang amat berbahaya, maka kami memutus-kan untuk beristirahat.\"

Wajah Mahar serius, nyali kami ciut ketika menatap-nya, dan dia melanjutkan cerita seperti orang

\"Kami agak merapat ke dinding gua untuk menyiapkan peralatan tidur, ketika aku menaikkan

lampu aki untuk mendapat bentangan cahaya yang lebih besar, aku terkejut melihat bayangan

goresan-goresan berpola yang samar di dinding licin itu ....\"

Menegangkan sekali. Kami semakin merapat, Sahara menggigit jarinya, A Kiong berkali-kali

menarik napas panjang, Samson tak berkedip, Lintang menyimak penuh perhatian, Syahdan

ketakutan, Trapani memeluk Harun.

\"Kami semua saling berpandangan lalu serentak menaikkan lampu, dan

kami tersentak melihat sekeling kami.\"

Aku menahan napas ....

\"Ternyata kami dikelilingi oleh ribuan goresan simbol-simbol purba atau huruf-huruf hieroglif

primitif yang terhampar di dinding gua, menjalar-jalar misterius sampai ke stalagmit dan stalagtit!\"

Rasanya aku mau meloncat dari tempat duduk, dan perut bawahku ngilu menahan kencing karena

perasaan tegang yang meluap-luap. Kami terpana, bahkan tak mampu mengucapkan sepatah kata

pun. Dadaku berdegup kencang.

\"Kemudian di langit-langit gua terdapat bebera-palukisan paleolitikum yang menggambarkan

orang-orang yang tak berpakaian sedang memakan mentah-mentah seekor burung besar yang mirip

\"Sebuah gua antediluvium dengan seni lukis gua yang memukau!\" sambung Flo.

Sekarang kami mengerti mengapa komunitas terasing tadi menyebut gua itu gua gambar.

\"Ada lukisan kucing pohon, tombak kayu, ular tanah, bulan, dan bintang-bintang.\"

\"Kami memutuskan untuk tidur di bagian itu ...,\" kata Mahar pelan. Raut wajahnya

memperlihatkan bahwa ia masih memiliki sebuah kejutan lain yang tak kalah misteriusnya. Maka

dada kami tak reda berdegup.

\"Aku tak bisa tidur sepanjang malam. Ketika semua anggota Societeit terlelap karena kelelahan aku

melamun dan memerhatikan dengan saksama simbol-simbol yang berserakan tak teratur meme-

nuhi dinding dan langit-langit gua.\"

Kami terpaku, pasti akan terjadi sesuatu yang ajaib.

\"Lalu aku merasa simbol-simbol itu seperti diam-diam terangkai sendiri dan membisikkan sesuatu

Oh, jantungku berdebar-debar.

\"Tapi semuanya tak jelas, hingga aku merasa lelah dan memejamkan mata.\"

Kami menunggu kejutan besar itu.

\"Namun tak lama kemudian, antara tidur dan terjaga, aku mendengar suara gemerisik seperti jutaan

semut mendekatiku, dan agaknya ribuan simbol-simbol samar itu menjadi hidup lalu memberiku

semacam mimpi, semacam wangsit, semacam gambaran masa depan ... semua ini tak pernah

kuceritakan pada siapa pun!\"

Kami semakin merapat, sangat penasaran.

\"Apakah wangsit itu saudaraku Mahar??!!\" A Kiong berteriak tak sabar menunggu terkuaknya

sebuah misteri besar. la sedikit merayu. Suaranya tercekat dan bergetar. Bahkan Flo tampak tegang.

Rupanya ia sendiri belum pernah mendengar wangsit ini.

Mahar menarik napas panjang sekali, agaknya ia merasa berat membocorkan kisah ini. \"Begini ...,\"

\"Mimpi itu memperlihatkan bahwa sebuah ke-kuatan besar di Pulau Belitong akan segera runtuh.

Orang-orang Melayu Belitong akan jatuh melarat dan kembali berperikehidupan seperti

dulu, yaitu bernafkah secara bersahaja dari hasil-hasil laut dan hutan. Sebaliknya, du-nia luar akan

maju demikian pesat. Penggunaan kompu-ter akan merasuki seluruh segi kehidupan. Penggunaan

komputer yang merajalela itu menyebabkan praktik-praktik akuntansi tak lama lagi akan punah ....\"

SEPERTI layaknya sesuatu yang sederhana, maka tragedi atau drama semacam opera sabun tak

pernah terjadi di sekolah Muhammadiyah. Sekolah itu demikian teduh dalam kiprahnya, tenang

dalam kesahajaannya, bermartabat dalam kesederhanaan-nya, dan tenteram dalam kemiskinannya.

Namun kali ini berbeda, mendung tebal ber-gelayut rendah siap menumpahkan murka di atap

sekolah itu karena dua warganya semakin lama semakin tidak waras sehingga kelangsungan

pendidikan keduanya terancam. Lebih dari itu tingkah laku keduanya merongrong reputasi sekolah

Muhammadiyah yang ketat menjaga nilai-nilai moral Islami. Dan tak tanggung-tanggung,

rongrongan itu berupa pelanggaran paling berat dalam konteks moral itu sendiri yakni:

kemusyrikan! Kedua makhluk dramatis itu tentu saja sudah sangat dikenal: Mahar dan Flo.

Seiring dengan euforia organisasi rahasia So-cieteit yang mereka inisiasi, nilai-nilai ulangan Mahar

dan Flo persis penerjun yang terjun dengan parasut cadangan yang tak mengembang terjun

bebas. Rapor terakhir mereka memperlihatkan deretan angka merah seperti punggung dikerok.

Umumnya angka-angka biru hanya untuk mata pelajaran pembinaan kecakapan khusus, yaitu

kejuruan agraria, kejuruan teknik, ketatalaksanaan, dan bahasa Indonesia, itu pun hanya untuk

bidang bercakap-cakap dan mengarang. Nilai Flo adalah yang paling parah. Matematika, bahasa

Inggris, dan IPA hanya mendapat angka 2. Meskipun bapaknya telah menyumbang papan tulis baru,

lonceng, jam dinding, dan pompa air untuk Muhammadiyah namun Bu Mus tak peduli, beliau tak

sedikit pun sungkan menganugerahkan angka-angka bebek berenang itu di rapor Flo karena

memang itulah nilai anak Gedong itu.

Mahar dan Flo berada dalam situasi kritis dan sangat mungkin dilungsurkan ke kelas bawah karena

tidak bisa mengikuti Ebtanas. Surat peringatan telah mereka terima tiga kali. Menanggapi masalah

gawat ini diam-diam Bapak Flo melakukan konspirasi dengan Bu Frischa untuk menghasut Flo agar

kembali ke sekolah PN. Lagi pula di sekolah PN Bu Frischa telah menjamin nilai yang tak

memalukan di rapor Flo. Untuk keperluan penghasutan itu Bu Frischa mengutus seorang guru pria

muda yang flamboyan di se-kolah PN agar dapat mendekati Flo.

Sore itu kami sekelas baru saja pulang menon-ton pertandingan sepak bola dan melewati pasar. Bu

Frischa dan guru flamboyan tadi sedang berbelanja. Flo yang mengenakan celana dan jaket jin belel

mendekati Bu Frischa seperti gaya berjalan

koboi yang akan duel tembak.

\"Nama saya Flo, Floriana,\" kata Flo sambil berusaha menyalami Bu Frischa. Pria flamboyan itu

mengangguk santun dan melemparkan senyum termanisnya untuk Flo.

\"Tolong bilang pada pria tengik ini, saya tak 'kan pernah meninggalkan Bu Muslimah dan sekolah

Flo berlalu begitu saja, Bu Frischa dan sang pria flamboyan terpana, dan ide untuk menghasutnya

tak pernah terdengar lagi.

Nilai—nilai rapor Mahar dan Flo hancur karena agaknya mereka sulit berkonsentrasi sebab terikat

pada komitmen-komitmen kegiatan organisasi, dan lebih dari itu, karena mereka semakin tergilagila dengan mistik. Hari demi hari pendidikan mereka semakin memprihatinkan. Tapi bukan Mahar

dan Flo namanya kalau tidak kreatif. Mereka sadar bahwa mereka menghadapi tradeoff, dua sisi

yang harus saling menyisihkan, memilih sekolah atau memilih kegiatan organisasi paranormal.

Sekolah sangat penting namun godaan untuk berkelana menyibak misteri gaib sungguh tak

tertahankan. Mereka tidak ingin meninggalkan keduanya.

Lalu tak tahu siapa yang memulai tiba-tiba mereka muncul dengan satu gagasan yang paling

absurd. Karena tak ingin kehilangan sekolah dan tak ingin meninggalkan hobi klenik maka mereka

berusaha menggabungkan keduanya. Mahar dan Flo akan mencari jalan keluar mengatasi

kemerosotan nilai sekolah melalui cara yang mereka paling mereka kuasai, yaitu melalui jalan

pintas dunia gaib perdukunan. Sebuah oara tidak masuk akal yang unik, lucu, dan mengandung

Mahar dan Flo sangat yakin bahwa kekuatan supranatural dapat memberi mereka solusi gaib atas

nilai—nilai yang anjlok di sekolah. Dan mereka tahu seorang sakti mandraguna yang dapat

membantu mereka dan kesaktiannya telah mereka buktikan sendiri melalui pengalaman pribadi.

Orang sakti ini secara ajaib telah menunjukkan jalan untuk menemukan Flo ketika ia raib ditelan

hutan Gunung Selumar tempo hari. Orang supersakti itu tentu saja Tuk Bayan Tula. Menurut

anggapan mereka masalah sekolah ini hanyalah masalah kecil seujung kuku yang tak ada artinya

bagi raja dukun itu. Mereka percaya manusia setengah peri itu bisa dengan mudah membalikkan

angka enam menjadi sembilan, empat menjadi delapan, dan merah menjadi biru.

Setelah menemukan rencana solusi yang sa-ngat andal itu Mahar dan Flo tertawa girang sekali

sampai meloncat-loncat. Flo menunjukkan keka-gumannya pada kreativitas Mahar dalam

memecah-kan masalah mereka. Mendung yang menghiasi wajah mereka setiap kali dimarahi Bu

Mus kini sirna sudah. Di dalam kelas mereka tampak sumringah walaupun tidak sedikit pun belajar.

Seluruh anggota Societeit menyambut antusi-as ide ketuanya untuk mengunjungi Tuk Bayan Tula.

Para anggota ini sebenarnya telah lama mengidamkan pertemuan dengan Tuk, idola mereka itu,

namun niat itu terpendam karena mereka takut mengungkapkannya, bahkan membayangkannya saja

mereka tak berani. Apalagi tersiar kabar bahwa Tuk tak menerima semua orang. Hanya nasib yang

menentukan apakah Tuk berkenan atau tidak. Dan tragisnya, jika Tuk tak berkenan biasanya yang

mengunjunginya tak pernah kembali pulang. Ketika Mahar berinisiatif ke sana para anggota

menyambut usulan yang memang telah mereka tunggu-tunggu. Mereka siap menerima risiko asal

dapat melihat wajah Tuk walau hanya sekali saja.

Kunjungan ke Pulau Lanun untuk menjumpai Tuk merupakan ekspedisi paling penting dan puncak

seluruh aktivitas paranormal Societeit. Mereka mempersiapkan diri dengan teliti dan mengerahkan

seluruh sumber daya karena perjalanan ke Pulau Lanun tak mudah dan biayanya sangat mahal.

Mereka harus menyewa perahu dengan kemampuan paling tidak 40 PK, jika tidak maka akan

memakan waktu sangat lama dan tak 'kan kuat melawan ombak yang terkenal besar di sana.

Kemudian mereka harus menyewa seorang nakhoda yang berpengalaman dari suku orang-orang

berkerudung. Karena ia berpengalaman dan tak mau mati konyol sebab ia tahu reputasi Tuk maka

harga jasa nakhoda ini juga sangat mahal.

Akibatnya Mahar rela menggadaikan sepeda

warisan kakeknya, Flo menjual kalung, cincin, gelang, dan merelakan tabungan uang saku selama

dua bulan yang ada dalam tas rajutannya. Mujis melego hartanya yang paling berharga, yaitu

sebuah radio transistor dua band merk Philip, si peng-angguran menggaruk-garuk sampah untuk

tambahan ongkos, sang mahasiswa drop out meminjam uang pada bapaknya, dan si pemain organ

tunggal menggadaikan elec-tone Yamaha PSR sumber nafkahnya.

Adapun orang Tionghoa yang menjadi tukang sepuh emas memecahkan celengan ayam jago

disaksikan tangisan anak-anaknya, si petugas teller BRI kerja lembur sampai tengah malam, sang

pensiunan syah bandar menggadaikan lemari kaca yang digotong empat orang dan menimbulkan

keributan besar dengan istrinya, sementara aku sendiri merelakan koleksi uang kunoku dibeli murah

Kami berdebar-debar menunggu hari H dan ketika uang patungan digelar di atas meja gaple,

terkumpul uang sebanyak Rp 1,5 juta! Luar biasa. Uang yang sebagian besar logam itu bergemerincingan bertumpuk-tumpuk. Aku gemetar karena seumur hidupku tak pernah melihat uang sebanyak

itu, apalagi karena sebagai sekretaris Societeit aku harus menyimpannya. Aku genggam uang itu

dan terkesiap pada perasaan menjadi orang kaya. Ternyata jika kita telah menjadi orang miskin

sejak dalam kandungan, perasaan itu sedikit menakutkan. Kami bersorak karena inilah dana

terbesar yang berhasil kami kumpulkan. Aku menyimpan uang itu di dalam saku dan terus-menerus

memegangnya. Tiba-tiba semua orang tampak seperti pencuri. Kadang-kadang uang memang punya

pengaruh yang jahat. Setelah mendapatkan perahu dan bernegosiasi alot dengan nakhoda akhirnya

pas tengah hari kami berangkat.

Pada awalnya perjalanan cukup lancar, ikan lumba-lumba berkejaran dengan haluan perahu, cuaca

cerah, angin bertiup sepoi-sepoi, dan semua penumpang bersukacita. Namun, menjelang sore angin

bertiup sangat kencang. Perahu mulai ter-banting-banting tak tentu arah, meliuk-liuk mengikuti

ombak yang tiba-tiba naik turun dengan kekuatan luar biasa. Dan ombak itu semakin lama semakin

tinggi. Dalam waktu singkat keadaan tenang berubah menjadi horor. Semakin ke tengah laut perahu

semakin tak terkendali. Sama sekali tak diduga sebelumnya ombak mendadak marah dan langit

mulai mendung. Badai besar akan meng-hantam kami. Semua penumpang pucat pasi. Terlambat

untuk kembali pulang, lagi pula perahu sudah tak bisa diarahkan.

Kadang-kadang sebuah gelombang yang dah-syat menghantam lambung perahu hingga terdengar

suara seperti papan patah. Aku menyangka perahu kami pecah dan kami akan karam dan berserakan

di laut lepas ini. Gelombang itu mengangkat perahu setinggi empat meter kemudian

menghempaskannya seolah tanpa beban. Kami terhunjam bersama

ombak besar yang menimbulkan lautan buih putih meluap-luap mengerikan. Ombak sudah

demikian ganas, sedangkan badai yang sesungguhnya belum tiba.

Aku melihat wajah nakhoda yang sudah ber-pengalaman itu dan jelas sekali ia cemas, membuat

kami menjadi semakin gamang. Nakhoda menunjuk jauh ke arah depan, di sana tampak sebuah

pemandangan yang membuat kami merinding hebat, yaitu gumpalan awan gelap bergerak pasti

menuju ke arah kami dengan kilatan-kilatan halilintar sam-bung menyambung di dalamnya. Badai

besar akan segera datang menggulung kami.

Nakhoda mencoba membalikkan arah perahu tapi mesin 40 PK itu tak berdaya dan jika menelusuri

gelombang yang demikian tinggi nakhoda khawatir perahu akan tertelungkup. Maka tak ada pilihan

baginya kecuali menyonsong awan yang gelap kelam itu. Kami tak berdaya seperti diombangambingkan oleh sebuah tangan raksasa dan tangan itu justru mengumpankan kami kepada badai.

Dalam waktu singkat badai sudah tiba di atas kami dan angin puting beliung memboyakkan perahu

tanpa ampun. Hujan sangat lebat dan suasana menjadi gelap. Sambaran-sambaran kilat yang sangat

dekat dengan perahu menimbulkan pemandangan yang menciutkan nyali.

Ketika pusaran angin menusuk permukaan laut, kira-kira dua puluh meter di samping kami, seluruh

tubuhku gemetar melihat semburan air besar tumpah di atas perahu. Perahu berputar-putar di

tempat seperti gasing. Kami terpeleset dan

telentang di sepanjang geladak, berusaha saling memegangi agar tak tumpah dari perahu. Nakhoda

bertindak cepat menurunkan layar yang koyak dihantam angin, menutup palka, menjauhkan bendabenda tajam, dan mematikan mesin. Lalu ia berteriak kencang memerintahkan kami agar mengikat

tubuh masing-masing ke tiang layar. Kami melilit-lilitkan tali beberapa kali seputar lingkar

pinggang dan menyimpulkan ujungnya dengan simpul mati kemudian mengikatkan diri dengan cara

yang sama ke tiang layar. Usaha ini dilakukan agar kami tak terpelanting ke laut.

Kami segera sadar bahwa situasi telah menjadi gawat, nyawa kami berada di ujung tanduk. Begitu

cepat alam berubah dari pelayaran yang damai beberapa waktu lalu hingga menjadi usaha mempertahankan hidup yang mencekam saat ini. Kami dibukakan Allah sebuah lembar kitab yang nyata

bahwa kuasaNya demikian besar tak terbatas. Kami berkumpul membentuk lingkaran kecil

mengelilingi tiang layar. Tangan kami bertumpuk-tumpuk berusaha menggengam tiang itu. Bahu

kami saling bersentuhan satu sama lain. Kami seperti orang yang bersatu padu menjelang ajal.

Hampir satu jam kami masih tak tentu arah. Aku melihat haluan perahu berpendar-pendar dan

kepalaku pusing seolah akan pecah. Ketika kulihat Mujis menghamburkan muntah, perutku serasa

diaduk-aduk dan dalam waktu singkat aku pun muntah. Pemandangan berikutnya adalah setiap

orang di atas perahu menyemburkan seluruh isi

perutnya, termasuk nakhoda kapal yang telah ber-pengalaman puluhan tahun. Aku mencapai

tingkat puncak mabuk laut ketika tak ada lagi yang bisa dimuntahkan dan yang keluar hanya cairan

bening yang pahit. Semua penumpang perahu menga-laminya.

Kami sudah pasrah di atas perahu yang ter-angkat tinggi lalu terhempas dahsyat bak sepotong busa

di atas samudra yang mengamuk. Inilah pengalaman terburuk dalam hidupku. Saat itu aku amat

menyesal telah ikut campur dalam ekspedisi orang-orang gila Societeit untuk menemui seorang

dukun yang bahkan tak peduli dengan hidupnya sendiri. Tak adil mempertaruhkan nyawa untuk

orang yang tidak menghargai nyawa. Aku memandang permukaan laut yang biru gelap dengan

kedalaman tak terbayangkan dan dunia asing di bawah sana. Aku merasa sangat ngeri jika

Wajah nakhoda tak memperlihatkan harapan sedikit pun. la juga telah mengikatkan tubuhnya ke

tiang layar. la terpekur menunduk dalam, tangan-nya yang kuat dan tua berurat-urat memegang kuat

tiang layar, berebutan dengan tangan-tangan kami. Jika kami tenggelam maka di dasar laut mayat

kami akan melayang-layang di ujung simpul-simpul tali yang mengikat tubuh kami seperti suraisurai gurita. Sebagian besar penumpang mengalirkan air mata putus asa. Namun, Flo sama sekali

tak menangis. Sebelah tangannya menggenggam tiang layar, bibirnya membiru, dan wajahnya

menantang langit. Wanita itu tak pernah takluk pada apa pun.

Tak ada tanda-tanda ombak akan reda, bah-kan semakin menjadi-jadi. Tinggal menunggu waktu

kami akan terbenam karam. Dan saat yang menakutkan itu datang ketika dari jauh kami melihat

gelombang yang sangat tinggi, hampir tujuh meter. Inilah gelombang paling besar dalam badai ini.

Kami gemetar dan berteriak histeris. Dalam waktu beberapa detik hentakan gelombang dahsyat itu

menerjang perahu dan mematahkan tiang layar yang sedang kami pegang. Tiang itu patah dua dan

bagian yang patah meluncur deras menuju buritan rnerttbingkas* tiga keping papan di lambung

perahu sehingga kapal bocor dan air masuk berlimpah-limpah. Mujis, Mahar, dan orang Tionghoa

yang berpegangan pada sisi belakang layar tertendang patahan tadi dan terpelanting ke geladak. Jika

tak dihalangi tutup palka mereka sudah jadi santapan samudra. Mereka menjerit-jerit ketakutan,

menim-bulkan kepanikan yang mencekam. Aku berpikir inilah akhir hayatku, akhir hayat kami

semua, laut ini akan segera memerah karena ikan-ikan hiu berpesta pora. Namun pada saat paling

genting itu aku mendengar samar-samar suara orang berteriak. Rupanya syah bandar melepaskan

pegangannya dari tiang layar dan mengumandangkan azan berulang-ulang. Kami masih terlonjaklonjak dengan hebat dan air mulai menggenangi geladak tapi lonjakan perahu tiba-tiba reda.

Anehnya segera setelah azan itu selesai perlahan-lahan gelombang turun.

Gelombang laut yang meluap-luap berbuih me-ngerikan tiba-tiba surut seperti dihisap kembali oleh

awan yang gelap. Kami terkesima pada perubahan yang drastis. Ombak ganas menjadi semakin

Hanya dalam waktu beberapa menit angin ber-henti bertiup seperti kipas angin yang dimatikan.

Badai yang mencekam nyawa lenyap seketika seperti tak pernah terjadi apa-apa. Tak lama

kemudian seberkas sinar menyelinap di antara gumpalan awan hitam, mengintip-intip dari gumpalan-gumpalan kelam yang memudar. Meskipun kami tak tahu sedang berada di perairan mana

namun kami bersyukur kepada Allah berulang-ulang, bahkan menangis haru. Setidaknya harapan

muncul kembali. Lalu kami bergegas menimba air yang memenuhi perahu. Permukaan laut yang

luas tak terbatas menjadi amat tenang seperti permukaan danau.

Kami memandang jauh ke laut dan tak berkata-kata karena masih gentar pada bencana yang baru

saja mengancam. Flo tersenyum puas. la telah membuktikan bahwa ketika maut tercekat di

kerongkongannya ia tetap tak takut. Sebelum menemui Tuk Bayan Tula, ia telah mencapai salah

satu tujuannya. Pengalaman seperti tadilah yang sesungguhnya ia cari.

Awan perlahan-lahan menjadi gelap, bukan karena akan badai tapi karena senja telah turun.

Nakhoda berusaha memperkirakan posisi kami. Ia membaca bulan dan bintang di atas langit yang

cerah karena cahaya purnama hari kedua belas. Ia

menghidupkan mesin dan perahu bergerak pelan menuju arah sesuai hempasan badai. Berarti badai

tadi telah membuang kami jauh tapi ke arah yang memang kami tuju. Tak lama kemudian nakhoda

kembali mematikan mesin.

Beliau berjalan menuju haluan dan menyuruh kami diam. Pantulan sinar bulan berkilau-kilauan di

permukaan laut lepas sejauh mata memandang. Perahu pelan-pelan menembus benteng kabut yang

tebal. Sunyi senyap seperti suasana danau di tengah rimba. Ada perasaan seram diam-diam

Nakhoda mengawasi jauh ke depan dengan mata ta-jamnya yang terlatih. Kami cemas mengantisipasi bahaya lain yang akan datang, mungkin perompak, mungkin binatang yang besar, atau

mungkin badai lagi. Kami melihat bayangan hitam gelap di depan kami tapi sangat tak jelas karena

tertutup halimun yang semakin tebal. Kami ketakutan. Tiba-tiba nakhoda menunjuk lurus ke depan

dan mengatakan sesuatu dengan suaranya yang serak.

Kami serentak berdiri terperangah dan tepat ketika beliau selesai menyebutkan nama pulau itu

terdengarlah lolongan segerombolan anjing meleng-king-lengking mendiriikan bulu kuduk, seperti

me-nyambut tamu tak diundang.

Teronggok sepi seperti sebuah benda asing yang dikelilingi samudra, Pulau Lanun tampak kecil

sekali. Ada puluhan pohon kelapa di sisi timurnya

dan daun-daun kela-pa itu berkilauan laksana lampu-lampu neon yang berkibar-kibar karena

pantulan sinar purnama. Di tengah pulau tumbuh pohon-pohon besar yang rindang di antara ilalang

dan bongkahan-bongkahan batu. Lolongan anjing semakin panjang dan menjadi-jadi ketika perahu

menyelusuri naungan dahan-dahan bakau, men-dekati Pulau Lanun. Pada bagian ini cahaya bulan

tak tembus dan terang hanya kami dapat dari lampu pelita kecil yang berayun-ayun di tiang layar.

Di bawah naungan daun-daun bakau itu kami disergap perasaan takut yang sulit dijelaskan.

Di dalam hati aku mencoba merekonstruksi perasaan yang dialami utusan pawang angin tempo hari

dan sejauh ini semuanya tepat. Mereka mengatakan nuansa magis mulai terasa ketika perahu

mendekati pulau, hal itu benar. Saat perahu merapat rasanya tengkuk ditiup-tiup oleh angin yang

jahat dari mulut ribuan hantu tak kasatmata yang membuntuti kami. Ada sebuah pengaruh mistis

dan udara kuburan. Ada rasa kemurtadan, peng-khianatan, dan pembangkangan pada Tuhan. Ada

jerit kesakitan dari binatang yang dibantai untuk ritual sesat dan tercium bau amis darah, bau mayatmayat lama yang sengaja tak dikubur, bau asap dupa untuk memanggil iblis, dan bau ancaman

Kabut yang beterbangan agaknya makhluk suruhan gentayangan yang mengawasi setiap gerakgerik kami. Bangkai-bangkai perahu perompak yang pemiliknya telah dipenggal Tuk Bayan Tula

berserakan hitam dan hangus. Pakaian-pakaian lengkap manusia memperlihatkan mayat mereka tak

pernah diurus sang datuk. Jika ia ingin menyembelih kami tak ada hukum yang akan membela kami

di sini. Kami seperti menyerahkan leher memasuki sumur sarang makhluk jadi-jadian karena tak

mampu mengekang nafsu ingin tahu.

Anjing-anjing yang melolong dalam kesenyapan malam tak tampak bentuknya. Kadang kala terdengar seperti bayi yang menangis atau nenek tua yang memohon ampun karena jilatan api neraka.

Suara-suara ini mematahkan semangat dan menciutkan nyali. Sungguh besar sugesti Tuk Bayan

Tula dan sungguh hebat pengaruh magis legendanya sehingga menciptakan kesan mencekam

seperti ini. Saat itu kuakui bahwa beliau apa pun bentuknya memang orang yang berilmu sangat

tinggi. Daya bius magis Tuk Bayan Tula menisbikan pengalaman bertaruh dengan maut ketika

badai menghantam perahu kami beberapa waktu yang lalu. Seperti kharisma binatang buas yang

membuat mangsanya tak berkutik sebelum diterkam, demikianlah kharisma Tuk Bayan Tula.

Walaupun sinar purnama kedua belas terang tapi semuanya tampak kelam. Kami berjalan pelan

beriringan menuju kelompok pohon-pohon rindang dan batu-batu tadi. Di situlah Tuk Bayan Tula,

orang tersakti dari yang paling sakti, raja semua dukun, dan manusia setengah peri tinggal. Kami

gemetar namun tampak jelas setiap anggota Societeit telah menunggu momen ini sepanjang

Tiba-tiba, seperti dikomando, suara lolongan anjing berhenti, diganti oleh kesenyapan yang

mengikat. Burung-burung gagak berkaok-kaok nyaring di puncak pohon bakau yang tumbuh subur

sampai naik ke daratan. Suasana semakin seram ketika kami menerabas ilalang dan menjumpai

beberapa punsuk menyembul-nyembul seperti iblis bersembuyi di celah-celah perdu tebal. Punsuk

adalah istilah orang Kek untuk menyebut gundukan tanah seperti makam-makam kuno. Punsuk

selalu identik dengan rumah berbagai makhluk halus, lebih dari itu karena ia kelihatan seperti

kuburan-kuburan Belanda, maka padang kecil ini terkesan sangat angker.

Akhirnya, kami tiba di sebuah rongga yang disebut gua oleh utusan dulu. Gua itu adalah celah

antara dua batu be-sar yang bersanding tidak simetris. Itulah rumah Tuk Bayan Tula. Kengerian

semakin mencekam tapi apa pun yang terjadi semuanya telah terlambat karena kami melihat sebelas pelepah pinang tergelar di mulut rongga batu. Kami menjual dan datuk telah membeli. Kami

telah disambut dan harus siap dengan risiko apa pun.

Kami tak langsung duduk karena dilanda ketakutan apa-lagi di dalam gua terlihat kain tipis

berkelebat lalu pelan-pelan seperti asap yang mengepul dari tumpukan kayu basah yang dibakar

muncul sebuah sosok tinggi besar. Dengan mata kepalaku sendiri aku menyaksikan bahwa sosok itu

tidak menginjak bumi. Ia seperti mengambang di

udara, bergerak maju mundur seumpama benda tak berbobot. Belum pernah seumur hidupku

menyak-sikan pemandangan seajaib itu. Dialah sang orang sakti, manusia setengah peri, Tuk Bayan

Tanpa sempat kami berpikir tiba-tiba sosok itu melesat seperti angin dan telah berdiri tegap kukuh

di depan kami. Kami terperanjat, serentak terjajar mundur, dan nyaris lari pontang-panting. Tapi

kami menguatkan hati. Tuk Bayan Tula berada dua meter dari kami yang takzim mengelilinginya.

Beliau adalah seseorang yang sungguh-sungguh mencitrakan dirinya sebagai orang sakti berilmu

setinggi langit. Kain hitam melilit-lilit tubuhnya, parang panjangnya masih sama dengan cerita

utusan dulu, rambut, kumis, dan jenggotnya lebat tak terurus, berwarna putih bercampur cokelat.

Tulang pipinya sangat keras mengisyaratkan ia mampu melakukan kekejaman yang tak

terbayangkan dan dan alisnya mencerminkan ia tak takut pada apa pun bah-kan pada Tuhan.

Namun, yang paling menonjol adalah matanya yang berkilat-kilat seperti mata burung, seluruhnya

berwarna hitam. Sedikit banyak, apa pun yang akan terjadi, aku merasa beruntung pernah melihat

Tuk diam mematung. Seluruh anggota Societeit memandanginya. Bertarung nyawa ke pulau ini

agaknya terbayar karena telah melihat tokoh panutan mereka. Tak sedikit pun keramahan

ditunjukkan Tuk. Lalu beliau duduk dan kami juga duduk di sebelas pelepah pinang yang secara

misterius telah beliau sediakan. Mahar tampak

sangat terpesona dengan sang datuk, baginya ini mimpi yang menjadi kenyataan. Tapi ia masih tak

berani mendekat karena takut. Maka Flo bangkit menghampiri Mahar, menarik tangannya, dan

wanita muda luar biasa itu tanpa tedeng aling-aling menyeret Mahar menghadap datuk.

Selanjutnya dengan amat berhati-hati Mahar berbisik pada sang datuk. Tuk memandang jauh ke

samudra yang berkilauan tak peduli meskipun Mahar menceritakan bahaya maut yang kami alami

untuk menjumpainya. Suara Mahar terdengar sayup-sayup

\"... ombak setinggi tujuh meter....\"

\"... badai ... angin puting beliung ... tiang la-yar patah ... azan ....\"

Tuk Bayan Tula mendengarkan tanpa minat. Mahar melanjutkan kisahnya hingga sampai kepada

tujuan utama kedatangannya.

\"... saya dan Flo akan diusir dari sekolah ....\"

\"... sudah mendapat surat peringatan karena nilai-ni-lai yang merah ....\"

\"... minta tolong agar kami bisa lulus ujian ........ \"

\"... minta tolong Datuk, tak ada lagi harapan lain ....\"

\"... dimarahi orangtua dan guru setiap hari ....\"

Kami diam seribu basa dan terus-menerus memandangi Tuk dari ujung kaki sampai ujung rambut.

Tiba-tiba tak dinyana, Datuk memalingkan wajahnya pada Mahar dan Flo. Kedua anak nakal itu

pucat pasi. Tuk memegang pundak Mahar sambil mengangguk-angguk. Mahar berseri-seri bukan

main seperti korban longsor dicium presiden. Para anggota Societeit tampak bangga ketuanya

disentuh dukun sakti pujaan hati mereka. Mahar mengerti apa yang harus dilakukan. Ia mengeluarkan sepucuk surat dan sebuah pena lalu me-nyerahkannya dengan penuh hormat pada Tuk.

Datuk itu mengambilnya dan dengan kecepatan yang tak masuk akal beliau kembali masuk ke

Selanjutnya terjadi sesuatu yang sangat aneh. Dari dalam gua terdengar suara keras bantinganbantingan seperti sepuluh orang sedang berkelahi. Kami terlonjak dari tempat duduk, berkumpul

rapat-rapat, mamandang waspada ke dalam gua. Kami mendengar suara auman seekor binatang

buas bersuara menakutkan yang belum pernah kami dengar sebelumnya.

Jelas sekali di dalam sana Tuk Bayan Tula se-dang bertarung habis-habisan dengan makhlukmakhluk besar yang ganas. Rupanya untuk meme-nuhi permintaan Mahar beliau harus

mengalahkan ribuan hantu. Seberkas penyesalan tampak di wajah Mahar. Ia tak sanggup

menanggungkan beban jika tokoh kesayangannya harus tewas karena permohonannya.

Debu mengepul dari pasir lantai gua karena makhluk-makhluk liar bergumul di dalamnya. Kami

bergidik cemas tapi tak berani mendekat. Kami menunduk memejamkan mata membayangkan

risiko maut. Lalu piring kaleng, panci, tulang-tulang ikan,

tempurung kelapa, tungku, cangkir, cambuk,

parang, dan sendok terlempar keluar gua dan ber-serakan di dekat kami. Di antara benda-benda itu

terdapat primbon, penanggalan tradisional Bali, peta laut, dan beberapa kitab lama bertulisan tangan

bahasa Melayu kuno dan Kek.

Pertempuran demikian seru hingga akhirnya terdengar jeritan kekalahan. Lalu kami melihat

puluhan sosok bayangan lelembut berbentuk seperti jasad terbungkus kain kafan hitam beterbangan

melesat cepat keluar dari dalam gua menembus pucuk-pucuk pohon santigi menghilang ke arah

laut. Anjing-anjing hutan kembali melolong agaknya lolongan anjing-anjing itu memaki-maki

gerombolan hantu yang telah dikalahkan Tuk Bayan Tula.

Tuk Bayan Tula kembali hadir di mulut gua da-lam keadaan terengah-engah, compang-camping,

dan berantakan. Aku sangat prihatin melihat orang sakti sampai terseok-seok seperti itu. Demi

memenuhi permintaan Mahar dan Flo agar tak diusir dari sekolah beliau telah mempertaruhkan

Tuk mengangkat gulungan kertas pesannya tinggi-tinggi seakan mengatakan, \"Lihatlah wahai

manusia-manusia cacing tak berguna, siapa pun, kasat atau siluman tak 'kan sanggup melawanku.

Aku telah membinasakan iblis-iblis dari dasar neraka untuk membuat keajaiban yang membalikkan

hukum alam. Nilai-nilai ujianmu akan melingkar sendiri dalam kegelapan untuk menyelamatkanmu

di sekolah tua itu. Terimalah hadiahmu, karena engkau anak muda pemberani yang telah menantang

maut untuk menemuiku ....\"

Tuk menyerahkan gulungan kertas itu yang disambut Mahar dengan kedua tangannya seperti

gelandangan yang hampir mati kelaparan menerima sedekah. Mahar memasukkan gulungan kertas

ke dalam tempat bekas bola badminton dengan amat hati-hati dan menutupnya rapat-rapat seperti

arsitek menyimpan cetak biru bangunan rahasia tempat menyiksa aktivis. Kotak itu dimasukkannya

ke dalam jaketnya. Tuk memberi isyarat agar kertas itu dibuka setelah kami tiba di rumah dan

menunjuk ke perahu agar kami segera angkat kaki. Tak sempat kami mengucapkan terima kasih,

secepat kilat, seperti angin Tuk Bayan Tula lenyap dari pandangan, sirna ditelan gelap dan asap

dupa gua persemayamannya.

Kami lari terbirit-birit menuju perahu. Nakhoda segera menghidupkan mesin. Kami langsung kabur

pulang. Mahar memegangi kotak bola badminton di jaketnya tak lepas-lepas. Wajahnya senang

bukan main. Flo juga tersenyum lega. Kertas itulah sertifikat asuransi pendidikan mereka. Kami

semua sepakat akan membuka surat itu besok se-pulang sekolah di bawah ffficium.

Tengah hari itu banyak orang berkumpul di bawah pohon filicium. Seluruh teman sekelasku,

seluruh anggota Societeit termasuk nakhoda yang juga menyatakan minat mendaftar sebagai

anggota baru, dan para utusan terdahulu yaitu dua orang dukun, kepala suku Sawang, dan seorang

polisi senior. Karena berita kami mengunjungi Tuk Bayan

Tula telah tersebar ke seantero kampung maka dalam waktu singkat reputasi Societeit melejit.

Semua orang tahu betapa besarnya risiko mengunjungi Pulau Lanun, yaitu ombak yang ganas, ikanikan hiu, dan kekejaman Tuk Bayan Tula sendiri. Maka dalam pembukaan pesan Tuk siang ini

banyak sekali yang hadir. Kulihat ada Tuan Pos, para calon anggota baru Societeit yang

bersemangat karena reputasi baru organisasi, beberapa penjaga dan pemilik warung kopi, beberapa

orang tukang gosip, tukang ikan, juragan-juragan perahu, dan beberapa penggemar para normal

Setelah seluruh guru pulang Mahar dan Flo keluar dari kelas dengan wajah berseri-seri.

Langkahnya ringan karena beban hancurnya nilai-nilai ulangan yang telah sekian lama menggelayut

di pundak mereka akan segera sirna. Mereka yakin sekali pesan Tuk akan menyelamatkan masa

depannya. Parapsikologi, metafisika, dan paranormal terbukti bisa memasuki area mana pun,

demikian kesan di wajah keduanya. Lalu kesan lain: kalian boleh membaca buku sampai bola mata

kalian meloncat tapi Tuk Bayan Tula akan membuat kami tampak lebih pintar, atau: bel-ajarlah

kalian sampai muntah-muntah dan kami akan terus mengembara mengejar pesona dunia gaib, tapi

tetap naik kelas sampai tingkat berapa pun.

Mahar dengan cermat mengeluarkan kotak bo-la badminton, ia membuka tutupnya pelan-pelan.

Mengambil gulungan kertas itu dan mengangkatnya tinggitinggi. Baginya itulah dokumen deklarasi

kemerdekaan dirinya dan Flo dari penjajahan dunia pendidikan yang banyak menuntut. Mahar

meme-gangi gulungan itu kuat-kuat dan sebelum membukanya ia memberikan sebuah pidato

\"Nasib baik memihak para pemberani!\" Itulah pembukaan pidatonya, sangat filosofis

seperti Socrates sedang memberikan pelajaran filsafat pada muridmuridnya. Anggota Societeit mengangguk-angguk setuju.

\"Inilah pesan yang kami dapatkan dengan su-sah payah. Kami mengikatkan diri pada tiang layar

karena nyawa kami tinggal sejengkal dan kami memuntahkan cairan terakhir yang rasanya pahit

untuk mendapatkan keajaiban ini!\"

Anggota Societeit bertepuk tangan bangga mendengar pidato hebat ketuanya. Demi menyak-sikan

pembukaan pesan ini sang teller BRI bolos kerja sedangkan bapak Tionghoa tukang sepuh emas

menutup tokonya. Mahar melanjut-kan pidato dengan berapi-api.

\"Kami rela menggadaikan harta benda kesa-yangan dan berani mengambil risiko dimusnahkan dari

muka bumi oleh Tuk Bayan Tula, tapi akhirnya kami bisa membuktikan bahwa Societeit de Limpai

bukan organisasi sembarangan!\"

Mahar berpidato penuh wibawa di hadapan para pengikutnya lalu seperti biasa ia mengeluarkan

bahasa tubuhnya yang khas: menaikkan alis, mengangkat bahu, dan mengangguk-angguk.

\"Kami menyaksikan sendiri bahwa Tuk Bayan Tula bertempur habis-habisan untuk memberi kita

pesan pada kertas ini!! Sebagai ketua Societeit, saya merasa mendapat respek dengan perlakuan

Anggota Societeit kembali bertepuk tangan bergemuruh. Wajah Flo tampak semakin cantik ketika

\"Maka, inilah prestasi tertinggi Societeit de Limpai.\"

Mahar mengangkat lagi gulungan kertas pesan Tuk Bayan Tula tinggi dan akan segera

Semua orang merubung ingin tahu. Beberapa peminat, termasuk aku, sampai naik ke atas dahandahan rendah filicium agar dapat membaca pesan Tuk. Tangan Mahar gemetar memegang gulungan

kertas keramat itu dan wajah Flo memerah menahan girang, ia melonjak-lonjak tak sabar menunggu

kejutan yang menyenangkan. Semua orang merasa tegang dan sangat ingin tahu. Mahar perlahanlahan membuka gulungan kertas itu dan di sana, di kertas itu tertulis dengan jelas:

INILAH PESAN TUK-BAYAN-TULA UNTUK

KALAU INGIN LULUS UJIAN:

Elvis Has Left the Building

KAMIsedang benci pada Samson karena sikapnya yang keras kepala. Kami berdebat hebat di

bawah pohon filicium. Sembilan lawan satu. Tapi ia dengan konyol tetap memperjuangkan

pendiriannya, tak mau kalah.

Duduk perkaranya adalah semalam kami baru saja menonton film Puiau Putri yang dibintangi S.

Bagyo. Di film itu S. Bagyo dkk. terdampar di sebuah pulau sepi yang hanya dihuni kaum wanita.

Kerajaan atau berarti lebih tepatnya keratuan di pulau itu sedang diteror seorang ne-nek sihir

berwajah seram. Jika ia tertawa, ingin rasanya kami terkencing-kencing.

Kami menonton film yang diputar sehabis ma-grib itu di bioskop MPB (Markas Pertemuan Buruh)

yang khusus disediakan oleh PN Timah bagi anak-anak bukan orang staf. Sebuah bioskop kualitas

misbar dengan 2 buah pengeras suara lapangan merk TOA. Karena lantainya tidak didesain

selayaknya bioskop maka agar penonton yang paling belakang tidak terhalang pandangannya, di

bagian belakang disediakan bangku tinggi-tinggi.

Dan kami, sepuluh orang termasuk Flo duduk berjejer di bangku paling belakang.

Anak-anak orang staf menonton di tempat yang berbeda, namanya Wisma Ria. Di sana film diputar

dua kali seminggu. Penonton dijemput dengan bus berwarna biru. Tentu saja di bioskop itu juga

terpampang peringatan keras \"DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK\".

Kami tak menduga sama sekali kalau film yang berjudul indah Putau Putri tersebut adalah film

horor. Membaca judulnya kami pikir kami akan melihat beberapa putri cantik melumuri tubuhnya

dengan semacam krim dan lari berlarian sambil tertawa cekikikan di pinggir pantai.

\"Asyik,\" kata Kucai berbinar-binar.

Namun, perkiraan kami meleset. Baru beberapa menit film dimulai nenek sihir itu muncul dengan

tawanya yang mengerikan. Yang cekikikan adalah kaum dedemit. S. Bagyo dan kawan-kawan lari

terbirit-birit. Dari belakang aku dapat menyaksikan seluruh penonton, anak-anak kuli PN Timah,

tiarap setiap nenek jahat itu muncul di layar. Beberapa anak perempuan menangis dan anak-anak

lainnya ambil langkah seribu, kabur dari bioskop rombeng ini dan tak kembali lagi.

Di deretan tempat dudukku kulihat Samson yang duduk di ujung kiri hampir sama sekali tidak

menonton. la bersembunyi di ketiak Syahdan. Sebaliknya, Syahdan bersembunyi di ketiak A Kiong.

A Kiong bersembunyi di ketiak Kucai, Kucai di ketiakku. Aku dan Trapani di ketiak Mahar.

Trapani menjerit-jerit memanggil ibunya jika nenek sihir itu mengobrak-abrik kampung. Dan

Mahar menunduk seperti orang mengheningkan cipta.

Yang berdiri tegak tak bergerak hanya Harun, Sahara, dan Flo. Mereka tertawa terbahak-bahak

melihat S. Bagyo pontang-panting dikejar setan. Jika S. Bagyo berhasil lolos mereka bertepuk

Ketika pulang, kami bergandengan tangan. Ketika melewati kuburan, tangan Trapani sedingin es.

Esoknya, saat istirahat siang Samson berkeras bahwa nenek sihir itulah yang diuber-uber oleh S.

Bagyo. Kami semua protes karena ceritanya sama sekali tidak begitu.

\"Tahukah kau justru Bagyolah yang diuber-uber nenek sihir sepanjang film itu,\" Samson berkeras.

\"Mana mungkin,\" bantah Kucai.

\"Aku melihat sendiri kau menggigil ketakutan di bawah ketiak Syahdan,\" serang A Kiong.

Samson masih berkelit, \"Apa kau sendiri me-nonton? Setahuku hanya Sahara, Harun, dan Flo yang

Sahara melirik kami dengan pandangan jijik, \"Semua pria brengsek!\" katanya ketus.

Harun mengangguk-angguk mendukung mutlak pernyataan itu.

\"Biar kami hanya melirik sekali-sekali bukan ber-arti kami tak tahu jalan ceritanya,\" Mahar

Demi mendengar kata \"melirik sekali-sekali\" itu

Sahara semakin jijik.

\"Semua pria menyedihkan!\"

Samson membalas Mahar, \"Ah! Tahu apa kau soal film, urus saja jambulmu itu!\"

Kami semua tertawa geli, dan memang Mahar segera menyisir jambulnya.

Kami semua terlibat perang mulut, kecuali Trapani, ia diam melamun. Belakangan ini Trapani

semakin pendiam dan sering melamun. Aku paham apa yang terjadi. Samson malu mengakui bahwa

ia bersembunyi di bawah ketiak Syahdan. Ia tak ingin citranya sebagai pria macho hancur hanya

karena ketakutan nonton sebuah film. Perilakunya itu persis kaum oportunis di panggung politik

Perdebatan semakin seru. Diperlukan seorang penengah dengan wawasan dan kata-kata cerdas

pamungkas untuk mengakhiri perseteruan ini. Sayangnya si cerdas itu sudah dua hari tak tampak

batang hidungnya. Tak ada kabar berita.

Ketika esoknya Lintang tak juga hadir, kami mulai khawatir. Sembilan tahun bersama-sama tak

pernah ia bolos. Saat ini sedang musim hujan, bukan saatnya kerja kopra. Bukan pula musim panen

kerang, sementara karet telah digerus bulan lalu. Pasti ada sesuatu yang sangat penting. Rumahnya

terlalu jauh untuk mencari berita.

Sekarang hari Kamis, sudah empat hari Lintang

tak muncul juga. Aku melamun memandangi tempat duduk di sebelahku yang kosong. Aku sedih

melihat dahan filicium tempat ia bertengger jika kami memandangi pelangi. Ia tak ada di sana.

Kami sangat kehilangan dan cemas. Aku rindu pada Lintang.

Kelas tak sama tanpa Lintang. Tanpanya kelas kami hampa kehilangan auranya, tak berdaya.

Suasana kelas menjadi sepi. Kami rindu jawaban-jawaban hebatnya, kami rindu kata-kata

cerdasnya, kami rindu melihat-nya berdebat dengan guru. Kami juga rindu rambut acak-acakannya,

sandal jeleknya, dan tas karungnya.

Bu Mus berusaha ke sana sini mencari kabar dan menitipkan pesan pada orang yang mungkin

melalui kampung pesisir tempat tinggal Lintang. Aku cemas membayangkan kemungkinan buruk.

Tapi biarlah kami tunggu sampai akhir minggu ini.

Senin pagi, kami semua berharap menjumpai Lintang dengan senyum cerianya dan kejutan-kejutan

barunya. Tapi ia tak muncul juga. Ketika kami sedang berunding untuk mengunjunginya, seorang

pria kurus tak beralas kaki masuk ke kelas kami, menyampaikan surat kepada Bu Mus. Begitu

banyak kesedihan kami lalui dengan Bu Mus selama hampir sembilan tahun di SD dan SMP

Muham-madiyah tapi baru pertama kali ini aku melihatnya menangis. Air matanya berjatuhan di

Ayahku telah meninggal, besok aku akan ke sekolah. Salamku, Lintang.

Seorang anak laki-laki tertua keluarga pesisir miskin yang ditinggal mati ayah, harus menanggung

nafkah ibu, banyak adik, kakek-nenek, dan paman-paman yang tak berdaya, Lintang tak punya

peluang sedikit pun untuk melanjutkan sekolah. la sekarang harus mengambil alih menanggung

nafkah paling tidak empat belas orang, karena ayahnya, pria kurus berwajah lembut itu, telah mati,

karena pria cemara angin itu kini telah tumbang. Jasadnya dimakamkan bersama harapan besarnya

terhadap anak lelaki satu-satunya dan justru kematiannya ikut membunuh cita-cita agung anaknya

itu. Maka mereka berdua, orang-orang hebat dari pesisir ini, hari ini terkubur dalam ironi. Di bawah

pohon fiiicium kami akan mengu-capkan perpisahan. Aku hanya diam. Hatiku kosong. Perpisahan

belum dimulai tapi Trapani sudah menangis terisak-isak. Sahara dan Harun duduk bergandengan

tangan sambil tersedu-sedu. Samson, Mahar, Kucai, dan Syahdan berulang kali mengambil wudu,

sebenarnya dengan tujuan menghapus air mata. A Kiong melamun sendirian tak mau diganggu. Flo,

yang baru saja mengenal Lintang dan tak mudah terharu tampak sangat muram. la menunduk diam,

matanya berkaca-kaca.

Baru kali ini aku melihatnya sedih.

Kami melepas seorang sahabat genius asli didikan alam, salah seorang pejuang Laskar Pelangi

lapisan tertinggi. Dialah ningrat di antara kami. Dialah yang telah menorehkan prestasi paling

istimewa dan pahlawan yang mengangkat derajat perguruan miskin ini. Kuingat semua jejak kecerdasannya sejak pertama kali ia memegang pensil yang salah pada hari pertama sekolah, sembilan

tahun yang lalu. Aku ingat semangat persahabatan dan kejernihan buah pikirannya. Dialah Newtonku, Adam Smithku, Andre Ampereku.

Lintang adalah mercu suar. Ia bintang petunjuk bagi pelaut di samudra. Begitu banyak energi

positif, keceriaan, dan daya hidup terpancar dari dirinya. Di dekatnya kami terimbas cahaya yang

masuk ke dalam rongga-rongga otak, memperjelas penglihatan pikiran, memicu keingintahuan, dan

membuka jalan menuju pemahaman. Darinya kami belajar tentang kerendahan hati, tekad, dan

persahabatan. Ketika ia menekan tombol di atas meja mahoni pada lomba kecerdasan dulu, ia telah

menyihir kepercayaan diri kami sampai hari ini, membuat kami berani bermimpi melawan nasib,

berani memiliki cita-cita.

Lintang seumpama bintang dalam rasi Cassio-peia yang meledak dini hari ketika menyentuh

atmosfer. Ketika orang-orang masih lelap tertidur. Cahaya ledakannya menerangi angkasa raya,

memberi terang bagi kecemerlangan pikiran tanpa seorang pun tahu, tanpa ada yang peduli.

Bagai meteor pijar ia berkelana sendirian ke planet-planet pengetahuan, lalu kelipnya meredup

dalam hitungan mundur dan hari ini ia padam, tepat empat bulan sebelum ia menyelesaikan SMP.

Aku merasa amat pedih karena seorang anak supergenius, penduduk asli sebuah pulau terkaya di

Indonesia hari ini harus berhenti sekolah karena kekurangan biaya. Hari ini, seekor tikus kecil mati

di lum-bung padi yang behimpah ruah.

Kami pernah tertawa, menangis, dan menari bersama di dalam lingkaran bayang kobaran api. Kami

tercengang karena terobosan pemikirannya, terhibur oleh ide-ide segarnya yang memberontak, tak

biasa, dan menerobos. Ia belum pergi tapi aku sudah rindu dengan sorot mata lucunya, senyum

polosnya, dan setiap kata-kata cerdas dari mulutnya. Aku rindu pada dunia sendiri di dalam

kepalanya, sebuah dunia kepandaian yang luas tak terbatas dan kerendahan hati yang tak bertepi.

Inilah kisah klasik tentang anak pintar dari keluarga melarat. Hari ini, hari yang membuat gamang

seorang laki-laki kurus cemara angin sembilan tahun yang lalu akhirnya terjadi juga. Lintang, sang

bunga meriam ini tak 'kan lagi melontarkan tepung sari. Hari ini aku kehilangan teman sebangku

selama sembilan tahun. Kehilangan ini terasa lebih menyakitkan melebihi kehilangan A Ling,

karena kehilangan Lintang adalah kesia-siaan yang mahabesar. Ini tidak adil. Aku benci pada

mereka yang berpesta pora di Gedong dan aku benci pada diriku sendiri yang tak berdaya

menolong Lintang karena keluarga kami sendiri melarat dan orangtua-orangtua kami harus berjuang

setiap hari untuk sekadar menyambung hidup.

Ketika datang keesokan harinya, wajah Lintang tampak hampa. Aku tahu hatinya menjerit, meronta-ronta dalam putus asa karena penolakan yang hebat terhadap perpisahan ini. Sekolah, kawankawan, buku, dan pelajaran adalah segala-galanya baginya, itulah dunianya dan seluruh

kecintaannya. Suasana sepi membisu, suara-suara unggas yang biasanya huh rendah di pohon

filicium sore ini lengang. Semua hati terendam air mata melepas sang mutiara ilmu dari lingkaran

pendidikan. Ketika kami satu per satu memeluknya tanda perpisahan, air matanya mengalir pelan,

pelukannya erat seolah tak mau melepaskan, tubuhnya bergetar saat jiwa kecerdasannya yang agung

tercabut paksa mening-galkan sekolah.

Aku tak sanggup menatap wajahnya yang pilu dan kesedihanku yang mengharu biru telah

mencurahkan habis air mataku, tak dapat kutahan-tahan sekeras apa pun aku berusaha. Kini ia

menjadi tangis bisu tanpa air mata, pehh sekali. Aku bahkan tak kuat mengucapkan sepatah pun

kata perpisahan. Kami semua sesenggukan. Bibir Bu Mus bergetar menahan tangis, matanya

semerah saga. Tak setitik pun air matanya jatuh. Beliau ingin kami tegar. Dadaku sesak

menahankan pemandangan itu. Sore itu adalah sore yang paling sendu di seantero Belitong, dari

muara Sungai Lenggang sampai ke pesisir Pangkalan Punai, dari Jembatan Mirang

sampai ke Tanjong Pandan. Itu adalah sore yang paling sendu di seantero jagad alam.

Saat itu aku menyadari bahwa kami se-sungguhnya adalah kumpulan persaudaran cahaya dan api.

Kami berjanji setia di bawah halilintar yang menyambar-nyambar dan angin topan yang menerbangkan gunung-gunung. Janji kami tertulis pada tujuh tingkatan langit, disaksikan naga-naga

siluman yang menguasai Laut Cina Selatan. Kami adalah lapisan-lapisan pelangi terindah yang

pernah diciptakan Tuhan.Duqbelas tahun kemudian.

SEORANGwanita setengah baya berjalan de-ngan seorang pria bernama Dahroji, menghampiriku.

Masalah! Pasti masalah lagi!

\"Kalau Nyonya mau marah, tumpahkan pada laki-laki berantakan ini,\" kata Dahroji. la pergi

Wanita itu mengamatiku baik-baik. Dandanan-nya, huruf \"r\" dan \"g\" yang keluar dari tenggorokannya, tarikan alisnya, serta gayanya memandang, mengesankan ia pernah sekian lama tinggal di

luar negeri dan ia muak dengan semua ketidakefisienan di negeri ini.

Agaknya ia memiliki masalah yang sangat ga-wat. Ya, memang gawat, surat restitusi bea masuk

lukisan dari luar negeri yang dikirim oleh kantor Duane terlambat ia terima karena aku salah sortir.

Seharusnya ia masuk kotak Ciawi tapi aku tak sengaja melemparkannya ke lubang Gunung Sindur.

Telah tiga kali aku keliru minggu ini. Alasanku karena overload. Dahroji, ketua ekspedisi, tak mau

tahu kesulitanku. Volume surat meningkat tajam

dan banyak perluasan wilayah yang membuka wijk baru yang tak kukenal. Aku memandang kuyu

pada tiga karung surat bercap Union Postale Universele ketika nyonya yang masih seksi itu

komplain. Sejenak aku benci pada hidupku yang kacau balau. Salah satu ciri hidup yang tak sukses

adalah menerima semprotan pelanggan sebelum sempat sarapan pagi. Tapi sekian lama bekerja di

sini aku telah terlatih memadamkan sementara fungsi gendang telinga. Maka madam itu hanya

kulihat bergetar-getar seperti Greta Garbo dalam film bisu hitam putih.

\"Hoe vaak moet ik je dat nog zeggenW\" har-diknya sambil melengos pergi. Benar kan kataku?

Kira-kira maksudnya: saya sudah komplain berapa kali masih saja keliru!

Dan kembali aku termangu-mangu menatap ti-ga karung surat tadi. Setelah terpuruk akibat

dikhotbahi nyonya itu aku masih harus bekerja keras menyortir semuanya karena pukul delapan

seluruh pengantar kilat khusus termin pertama akan berangkat dan karena aku adalah pegawai pos,

tukang sortir, bagian kiriman peka waktu, shift pagi, yang bekerja mulai subuh.

Aku sengsara batin karena ironi dalam hidupku. Rencana Aku dua belas tahun yang lalu untuk

menjadi seorang penulis dan pemain bulu tangkis ternama telah lenyap, kandas di dalam kotakkotak sortir surat. Bahkan rencana Bku, yaitu menjadi penulis buku tentang bulu tangkis dan

kehidupan sosial, juga telah gagal meskipun di dalam hati aku

masih menyimpan komentar-komentar manis para mantan kampiun bulu tangkis.

Buku itu sebenarnya telah selesai kutulis, tidak tanggung-tanggung, seluruhnya mencapai 34 bab

dan hampir 100.000 kata. Untuk menulisnya aku telah melakukan riset yang intensif di federasi

bulu tangkis dan komite olahraga nasional serta menga-mati kehidupan sosial beberapa mantan

pemain bulu tangkis terkenal. Aku juga mempelajari budaya pop serta tren terbaru pengembangan

kepribadian. Tapi para penerbit tak sudi menerbitkan bukuku berdasarkan pertimbangan komersial.

Mereka lebih tertarik pada karya-karya sastra cabul, yaitu buku-buku yang penuh tulisan jorok

seperti kondom, masturbasi, dan orgasme karena buku-buku semacam itu lebih mendatangkan

keuntungan. Mereka, para penerbit itu, telah melupakan prinsip-prinsip men sana in corpore sano.

Aku berusaha membesarkan hati dengan berpretensi menyama-nyamakan diriku dengan John

Steinbeck yang tujuh kali ditolak penerbit tapi akhirnya bisa mengantongi Pulitzer. Aku juga tak

keberatan menjadi Mary Shelley yang hanya pernah sekali menulis buku Frankenstein lalu hilang

dalam kejayaan. Aku harap bukuku: Bulu Tangkis dan Pergauian dapat menjadi sebuah karya

fenomenal yang dikenang orang sepanjang masa. Setidaknya itulah sumbanganku untuk

kemanusiaan. Namun bagaimanapun aku berusaha menguatkan diri, kenyataannya aku hampir mati

lemas ditumpuki kegagalan demi kegagalan. Bagaimanapun dulu Pak

Harfan dan Bu Mus mengajariku agar tak gentar pada kesulitan apa pun, namun pada titik ini

dalam hidupku ternyata nasib telah menghantamku dengan technical knock out.

Pada suatu dini hari yang paling frustrasi, di bawah hujan deras, aku menumpuk empat bendel

master tulisanku beserta enam buah disket. Tumpukan itu kusimpul mati dengan tali jalin dan

pemberat setengah kilo berupa segel timah plombir untuk mengikat kantong pos. Aku berlari

menuju Jembatan Sempur lalu buku bulu tangkis rencana B ku itu, buku bergenre humaniora itu

sambil meme-jamkan mata dengan hati yang redam kulemparkan ke dasar Kali Ciliwung. Jika tak

tersangkut di celah batu-batu di dasar kali maka buku itu akan terapung-apung bersama banjir

kiriman ke Jakarta, hanyut terombang-ambing bersama cita-citaku.

Aku ingin melarikan diri ke satu-satunya tern-pat yang paling indah dalam hidupku, yang telah

kukenal sejak belasan tahun yang lalu. Sebuah desa cantik dengan taman bunga, pagar-pagar batu

kelabu yang mengelilinginya, dan jalan setapak yang ditudungi untaian dahan-dahan prem. Itulah

Edensor, eden berarti surga, nirwana pelarian dalam otak kecilku dari buku Herriot yang sangat

kumal karena telah puluhan kali kubaca. Semakin sukar hidupku, semakin sering aku membacanya.

Sayangnya aku tak bisa ke Edensor karena sampai hari ini tempat itu masih tetap hanya ada dalam

Setiap pulang kerja aku sering duduk melamun

di pokok pohon randu, di pinggir Lapangan Sempur, dekat kamar kontrakanku. Menghadap ke Kali

Ciliwung aku memprotes Tuhan:

\"Ya, Allah, bukankah dulu pernah kuminta jika aku gagal menjadi penulis dan pemain bulu tangkis

maka jadi-kan aku apa saja asal bukan pegawai pos! Dan jangan beri aku pekerjaan mulai subuh

Tuhan menjawab doaku dulu persis sama se-perti yang tak kuminta. Begitulah cara Tuhan bekerja.

Jika kita menganggap doa dan pengabulan merupakan variabel-variabel dalam sebuah fungsi linier

maka Tuhan tak lain adalah musim hujan, sedikit banyak kita dapat membuat prediksi. Kuberi tahu

Kawan, cara bertindak Tuhan sangat aneh. Tuhan tidak tunduk pada postulat dan teorema mana

pun. Oleh karena itu, Tuhan sama sekali tak dapat diramalkan.

Maka inilah aku sekarang. Dalam asumsi yang konservatif petugas biro statistik menyebut orang

sepertiku sebagai mereka yang bekerja pada sektor jasa, mengonsumsi di bawah 2.100 kalori setiap

hari, dan berada dekat sekali dengan garis miskin. Miskin, kata itu demikian akrab sepanjang

hidupku, bagaikan sahabat baik, seperti mandi pagi. Sebenarnya sepanjang waktu aku meloncatloncat di antara garis miskin itu, tergantung jam lembur yang diberikan Dahroji. Jika aku banyak

lembur maka bulan itu mereka dapat mempertimbangkanku dalam lapisan berpenghasilan

menengah ke bawah. Toh orang-orang statistik itu tidak membuat

parameter waktu bagi setiap kategori. Tapi

singkatnya begini saja, aku adalah bagian dari 57% rakyat miskin yang ada republik ini.

Hidup membujang, mandiri, terabaikan, bekerja sepuluh jam sehari, kisaran usia 25-30 tahun,

itulah demografi yang aku wakili. Secara psikografi identitasku adalah pria yang kesepian. Orang

marketing melihatku sebagai target market produk-produk minyak rambut, deodoran, peninggi

tubuh, peramping perut buncit, atau apa saja yang berkenaan dengan upaya peningkatan

kepercayaan diri. Dunia tak mau peduli padaku, dan negara hanya mengenalku me-lalui sembilan

digit nomor, 967275337, itulah nomor induk pegawaiku.

Tak ada bahagia pada pekerjaan sortir. Peker-jaan ini tidak termasuk dalam profesi yang

ditampilkan murid-murid SD dalam karnaval. Setiap hari berkubang dalam puluhan kantong pos

dari negeri antah berantah. Masa depan bagiku adalah pensiun dalam keadaan miskin dan rutin

berobat melalui fasilitas Jamsostek, lalu mati merana sebagai orang yang bukan siapa-siapa.

Setelah usai bekerja aku terlalu lelah untuk bersosialisasi. Aku menderita insomnia. Setiap malam

antara tidur dan terjaga aku terhipnotis cerita wayang golek dan suara kemerosok radio AM. Aku

bangun pagi-pagi buta ketika orang-orang Bogor masih meringkuk di tempat tidur mereka yang

nyaman. Aku merangkak-rangkak kedinginan, ter-seok-seok menuju kantor pos melewati bantaran

Kali Ciliwung yang masih diliputi kabut untuk kembali menyortir ribuan surat. Saat orangorang Bogor

bangun dan mengibas-ngibaskan koran pagi di depan teh panas dan tangkupan roti, aku juga

sarapan makian dari madam Belanda tadi. Itulah hidupku sekarang, masa depanku tak jelas dan aku

sudah tak punya konsep lagi tentang masa depan. Semuanya serba tak pasti. Vang kutahu pasti

cuma satu hal: aku telah gagal. Aku mengutuki diri sendiri terutama ketika apel Korpri tanggal 17.

Hanya Eryn Resvaldya Novella satu-satunya hiburan dalam hidupku. la cerdas, agamais, cantik,

dan baik hati. Usianya 21 tahun. Belakangan aku memanggilnya awardee karena ia baru saja

menerima award sebagai mahasiswa paling bermutu di salah satu universitas paling bergengsi di

negeri ini di kawasan Depok. Ia mahasiswa universitas itu, jurusan psikologi. Ayah Eryn, abangku,

terkena PHK dan aku mengambil alih membiayai sekolahnya.

Lelah seharian bekerja lenyap jika melihat Eryn dan semangat belajarnya, jiwa positifnya, dan

intelegensia yang terpancar dari sinar matanya. Aku rela kerja lembur berjam-jam, membantu

menerje-mahkan bahasa Ing-gris, menerima ketikan, dan berkorban apa saja termasuk baru-baru ini

meng-gadaikan sebuah tape deck, hartaku yang paling berharga demi membiayai kuliahnya.

Pengalaman dengan Lintang telah menjadi trauma bagiku. Kadang-kadang aku bekerja begitu keras

demi Eryn untuk menghilangkan perasaan bersalah karena tak mampu membantu Lintang. Eryn

menimbulkan semacam perasaan bahwa semenyedihkan apa pun,

hidupku masih berguna. Tak ada yang dapat

dibanggakan dalam hidupku sekarang, tapi aku ingin mendedikasikannya pada sesuatu yang

penting. Eryn adalah satu-satunya arti dalam hidupku.

Saat ini Eryn sedang panik karena proposal skripsinya berulang kali ditolak. Sudan belasan kali hal

ini terjadi. Sejak kuliahnya selesai semester lalu ia telah menghabiskan waktu lima bulan hanya

untuk mencari topik skripsi yang bermutu. Bersama surat penolakan itu pembimbingnya

melampirkan lima belas lembar kertas berisi judul skripsi yang pernah ditulis. Aku melirik, benar

saja, sudah tiga puluh orang yang menulis tentang personality disorder, puluhan lainnya menulis

topik tentang kepuasan kerja, down syndrome, dan metode konseling anak. Tak terhitung yang telah

menulis skripsi mengenai autisme.

Pembimbingnya menuntut Eryn menulis sesuatu yang baru, berbeda, dan mampu membuat

terobosan ilmiah karena ia adalah mahasiswa cerdas pemenang award. Aku setuju dengan

pandangan itu. Eryn sebenarnya telah memiliki konsep tentang sesuatu yang berbeda itu. Dari

pembicaraannya yang meluap-luap aku menangkap bahwa ia telah mempelajari suatu gejala

psikologi di mana seorang individu demikian tergantung pada individu lain sehingga tak bisa

melakukan apa pun tanpa pasangannya itu. Kemudian ia pun mengajukan tema tersebut,

pembimbingnya setuju.

Masalahnya adalah gejala seperti itu sangat jarang terjadi sehingga Eryn tak kunjung

mendapatkan kasus. Memang terdapat beberapa

kasus dependensi tapi intensitasnya rendah, gejala sehari-hari saja yang tidak memerlukan

perawatan khusus sehingga dianggap kurang memadai untuk analisis mendalam. Eryn mencari

sebuah kasus ketergantungan yang akut.

Ia telah berkorespondensi dengan puluhan psikolog, psikiater, dosen-dosen universitas, lemba-galembaga yang menangani kesehatan mental, dan para dokter di rumah sakit jiwa di seluruh negeri,

tapi hampir empat bulan berlalu kasusnya tak kunjung ditemukan. Eryn mulai frustrasi.

Namun agaknya nasib menyapa Eryn hari ini. Ketika menyortir aku menemukan sepucuk surat

yang ditujukan ke kontrakanku. Surat untuk Eryn dengan sampul resmi yang bagus sekali, dari

sebuah rumah sakit jiwa di Sungai Liat, Bangka.

\"Awardee1.Seseorang dari rumah sakit jiwa agaknya jatuh hati padamu .,„¦\" kataku setiba di rumah

Ia merampas surat dari tanganku, membacanya sekilas, lalu meloncat-locat gembira.

\"Alhamdullilah, finally1. Cicik (paman), kita akan berangkat ke Sungai Liat!\"

Eryn telah menemukan kasusnya. Seorang dok-ter senior profesor tepatnya yang menjadi staf ahli

di rumah sakit jiwa Sungai Liat memberi tahu bahwa kasus langka yang dicari Eryn ditemukan di

sana. Dokter itu juga mengatakan bahwa kasus itu banyak diincar para ilmuwan, termasuk beberapa

kandidat Ph.D. untuk diteliti, tapi Eryn diprioritaskan karena prestasi kuliahnya.

Eryn memintaku cuti untuk mengantarnya ke rumah sakit jiwa itu. Apa dayaku menolak, bukankah

semuanya memang untuk mendukung dirinya. Lagi pula Sungai Liat ada di Pulau Bangka, tetangga

Pulau Belitong. Kami akan sekalian pulang kampung setelah ia riset.

Rumah sakit jiwa Sungai Liat sudah sangat tua. Orang Belitong menyebutnya Zaal Batu.

Barangkali zaman dulu dinding ruang perawatannya adalah batu. Karena di Belitong tidak ada

rumah sakit jiwa bahkan sampai sekarang maka orang Belitong yang mentalnya sakit parah sering

dikirim melintasi laut ke rumah sakit jiwa ini. Karena itu Zaal Batu bagi orang Belitong selalu

memberi kesan sesuatu yang mendirikan bulu kuduk, kelam, sakit, dan putus asa.

Sore itu mendung ketika kami tiba di Zaal Batu. Suara azan ashar bersahut-sahutan lalu sepi pun

mencekam. Kami memasuki gedung tua berwarna serba putih dengan plafon tinggi dan pilar-pilar.

Lalu kami melewati sebuah selasar panjang berlantai ubin tua berwarna cokelat dan bermotif jajaran

Beberapa jambangan bunga model lama gaya Belanda bederet-deret di sepanjang selasar itu.

Pemandangan lainnya tak berbeda dengan rumah sakit jiwa lainnya. Pintu-pintu besi dengan

gembok besar, kamar obat berisi botol-botol pendek, bau karbol, meja beroda, para perawat yang

berpakaian serba putih, dan para pasien yang berbicara sendiri atau memandang aneh. Terdengar

lamat-lamat suara cekikikan dan teriakan beberapa kelompok pasien yang sedang bercanda dengan

para perawat di halaman rumah sakit yang luas.

Setelah melewati selasar kami berhadapan dengan sebuah pintu jeruji yang dikunci dengan lilitan

rantai dan digembok. Kami terhenti di situ. Seorang perawat pria tergopoh-gopoh menghampiri

kami. Ia tahu kami sedang ditunggu, ia membuka pintu. Kami masuk melintasi sebuah ruangan

panjang. Ruangan yang terkunci rapat ini menam-pung beberapa pasien. Mereka mengikuti gerakgerik kami dengan teliti.

Eryn tak berani jauh-jauh dari perawat tadi. Aku tak takut tapi sedih melihat penderitaan jiwa

mereka. Suasana di sini mencekam. Banyak pasien berusia lanjut dan meskipun kelihatan sehat tapi

kita segera tahu bahwa orang-orang ini sangat terganggu kewarasannya. Pandangan matanya penuh

tekanan, kesedihan, dan beban. Beberapa di antaranya bersimpuh di lantai atau mengguncangguncang jerejak besi di jendela.

Aku memerhatikan beberapa wajah para pasien di balik batangan jeruji besi. Perlahan-lahan

batangan jeruji itu bergerak sendiri berselang-seling. Wujudnya menjelma menjadi puluhan pasang

kaki manusia. Di sela-sela kaki itu kulihat wajah yang telah sangat lama kukenal. Kesedihan rumah

sakit jiwa ini membuka ruangan gelap di kepalaku, tempat Bodenga bersembunyi.

Kami kembali terhenti di depan sebuah pintu besi. Kali ini pintu besi dua lapis. Setelah rantai

dibuka kami memasuki ruangan berupa lorong yang panjang. Sisi kiri kanan lorong adalah kamarkamar perawatan. Suasana di lorong ini sunyi senyap. Sebagian besar kamar kosong dengan pintu

terbuka. Kamar yang diisi pasien tertutup rapat. Lamat-lamat terdengar suara orang meratap dari

balik pintu-pintu tertutup itu.

Aku mendengar suara langkah sepatu yang bergema dalam kesepian ruangan. Seorang pria berusia

enam puluhan mendekati kami. Beliau tersenyum. Wajahnya tenang, bersih, dan bening, tipikal

wajah yang sering tersiram air wudu. Jemari tangannya menggulirkan biji-biji tasbih, beliau

mengucapkan asma-asma Allah, beliau membuatku sangat segan, seorang intelektual yang rendah

hati sekaligus yang taat beragama. Profesor ini memiliki dua kualitas agung tersebut. Dengan sangat

santun beliau menyatakan terima kasih atas kedatangan kami. Namanya Profesor Yan.

\"Ini kasus mother complex yang sangat eks-trem ...,\" kata profesor itu dengan suara berat, itu

seakan ikut merasakan penderitaan pasiennya.

\"Tiga puluh delapan tahun di bidang ini baru kali ini aku menjumpai hal semacam ini. Anak muda

ini sedikit pun tak bisa lepas dari ibunya. Jika bangun tidur tidak melihat ibunya ia menjerit-jerit

histeris. Ketergantungan yang kronis ini menyebabkan

ibunya sendiri sekarang hampir terganggu jiwanya. Mereka telah menghuni tempat ini hampir

selama enam tahun ....\"

Aku tersentak miris mendengar penjelasan be-liau. Eryn sendiri terperanjat. Ia berusaha menguatkan diri mendengar kenyataan yang menghan-curkan hati itu. Aku menatap wajah Profesor Yan.

Ia adalah dokter jiwa yang amat berpengalaman tapi jelas ia prihatin dan terpengaruh dengan kasus

ini. Di sisi lain aku kagum pada psikologi dan orang-orang yang mendedikasikan hidupnya pada

Penjelasan Profesor Yan melekat dalam pikiran-ku. Aku merinding karena merasa getir pada nasib

anak beranak itu. Anak muda yang malang. Ibunya yang tadinya sehat terpaksa hidup tidak normal.

Orangtua mana yang mampu menolak kasih sayang anaknya, meskipun rasa sayang itu berlebihan?

Mungkin ia lebih rela gila daripada membiarkan anaknya berteriak-teriak memerlukannya

sepanjang waktu. Mereka berdua pasti amat menderita. Enam tahun terpuruk di sini, betapa

mengerikan. Kadang-kadang nasib bisa demikian kejam pada manusia. Siapakah anak beranak yang

Profesor Yan membimbing kami menyelusuri lorong tadi menuju sebuah pintu paling ujung. Di

sana ada ruangan terpencil dan menyendiri. Beliau membuka pintu pelan-pelanm. Aku gugup

memba-yangkan pemandangan yang akan kulihat. Akankah aku kuat menyaksikan penderitaan

seberat itu? Apa sebaiknya aku menunggu di luar saja? Tapi Profesor Yan telanjur membuka pintu.

Engsel pintu ber-decit panjang, menimbulkan rasa gamang.

Kami berdiri di ambang pintu. Ruangan itu luas, tak berjendela, dan dindingnya polos tinggi

berwarna putih. Tak ada lukisan atau jambangan bunga. Begitu sepi, tak ada suara satu pun.

Penerangan hanya berasal dari sebuah bohlam dengan kap rendah sehingga plafon menjadi gelap.

Ruangan ini suram, penuh nuansa kepedihan dan keputusasaan. Dalam sorot lampu tak tampak

perabot apa pun kecuali sebuah bangku panjang kecil nun jauh di sudut ruangan.

Dan di bangku panjang itu, kira-kira lima belas langkah dari kami, duduk berdua rapat-rapat kedua

makhluk malang itu, seorang ibu dan anaknya. Gerak-gerik mereka gelisah, seperti tempat itu

sangat asing dan mengancam mereka. Mereka seakan memelas, memohon agar diselamatkan.

Dalam cahaya lampu yang samar tampak sang anak berpostur tinggi dan sangat kurus, rambutnya

panjang dan menutupi sebagian wajahnya. Jam-bang, alis, dan kumisnya tebal tak teratur. Kulitnya

putih. Air mukanya menimbulkan perasaan iba yang memilukan. la berpakaian rapi, bajunya adalah

kemeja putih lengan panjang, celananya berwarna gelap, dan sepatu kulitnya bersih mengilap.

Usianya kurang lebih tiga puluhan. la ketakutan. Sorot matanya yang teduh melirik ke kiri dan ke

kanan. la gugup dan sering menarik napas panjang.

Ibunya kelihatan puluhan tahun lebih tua dari usia sesungguhnya. Pancaran matanya menyimpan

kesakitan yang parah dan caranya menatap menjalarkan rasa pedih yang dalam. Lingkaran di

sekeliling matanya berwarna hitam dan ia amatlah kurus. Daya hidup telah padam dalam dirinya. Ia

memakai sandal jepit yang kebesaran dan tampak menyedihkan. Wajahnya jelas memperlihatkan

kerisauan yang amat sangat dan tekanan jiwa yang tak tertahankan.

Mereka berdua melihat kami sepintas-sepintas tapi kebanyakan menunduk. Sang anak mengapit

lengan ibu-nya. Ketika kami masuk, ia semakin merapatkan dirinya pada ibunya. Aku tak sanggup

menanggungkan pemandangan memilukan ini. Tanpa kusadari air mataku mengalir. Eryn pun ingin

menangis tapi ia berupaya keras menjaga sikap profesional sebagai seorang peneliti. Aku tak tahan

me-lihat anak beranak dengan cobaan hidup seberat ini. Mereka seperti dua makhluk yang terjerat,

cidera, dan tak berdaya. Aku minta diri keluar dari ruangan yang menyesakan dada itu.

Hampir selama satu setengah jam Eryn dibantu oleh profesor yang baik itu dalam melakukan

semacam wawancara pendahuluan dengan kedua pasien malang itu. Dari pintu yang terbuka aku

dapat melihat mereka berempat duduk di bangku tersebut. Kedua pasien itu masih terlihat gelisah.

Kemudian wawancara pun selesai dan Eryn memberi isyarat padaku untuk berpamitan pada ibu

dan anak itu. Aku masuk lagi ke ruangan, mencoba tersenyum seramah mungkin walaupun hatiku

hancur membayangkan penderitaan mereka. Aku

menyalami keduanya. Kali ini Eryn tak sanggup menahan air matanya. Lalu pelan-pelan kami

pamit keluar ruangan.

Profesor Yan dan Eryn berjalan di depanku. Mereka terlebih dahulu keluar ruangan, sementara aku

yang keluar terakhir meraih gagang pintu dan menutupnya. Tepat pada saat itu aku terperanjat

karena mendengar seseorang me-mang-gil namaku.

\"Ikal ...,\" suara lirih itu berucap. Eryn dan Profesor Yan kaget. Mereka terhe-ran-heran, apa-lagi

aku. Kami saling berpandangan. Tak ada orang lain di ruangan itu kecuali kami bertiga dan kedua

makhluk malang tadi. Dan jelas suara itu berasal dari ruangan yang ba-ru saja kututup. Kami

berbalik, tapi ragu, maka aku tak segera membuka pintu.

\"Ikal ...,\" panggilnya lagi.

\"Mereka memanggil Cicik!\" teriak Eryn mena-tapku takjub.

Salah seorang dari pasien itu jelas memanggil-ku.

Aku memutar gagang pintu dan menghambur ke dalam. Kuhampiri mereka dengan hati-hati.

Dalam jarak tiga meter aku berhenti. Mereka berdua bangkit. Aku mengamati mereka baik-baik,

berusaha keras mengenali kedua tubuh ringkih yang berdiri saling mencengkeram lengan masingmasing dengan jari-jari yang kurus tak terawat. Rambut sang ibu yang kelabu terjuntai panjang

semrawut menutupi kedua matanya yang cekung dan berwarna abuabu. Pipi anaknya basah karena air mata yang

mengalir pelan. Air matanya itu berjatuhan ke lantai. Bibirnya yang pucat bergetar mengucapkan

namaku berkali-kali, seakan ia telah bertahun-tahun menungguku, tangannya menjangkau-jangkau.

Ibunya terisak-isak dan menutup wajah de-ngan kedua tangannya. Aku tak mampu berkata apa pun

dan masih diliputi tanda tanya. Namun, tepat ketika aku maju selangkah untuk mengamati mereka

lebih dekat si anak menyibakkan rambut panjang yang menutupi wajahnya dan pada saat itu aku

tersentak tak alang kepalang. Aku terkejut luar biasa. Kurasakan seluruh tubuhku menggigil.

Rangka badanku seakan runtuh dan setiap persendian di tubuhku seakan terlepas. Aku tak percaya

dengan pemandangan di depan mataku. Aku merasa kalut dan amat pedih. Aku ingin berteriak dan

meledakkan tangis. Aku mengenal dengan baik kedua anak beranak yang malang ini. Mereka

adalah Trapani dan ibunya.

Satu titik dalam relativitas waktu: Saat inilah masa depan itu

TOKO Sinar Harapan tak banyak berubah, masih amburadul seperti dulu. Ketika bus reyot yang

membawaku pulang kampung melewati toko itu, di sebelahnya aku melihat toko yang bernama

Sinar Perkasa. Di situ ada seorang laki-laki yang menarik perhatianku. Pria itu agaknya seorang kuli

toko. Badannya tinggi besar dan rambutnya panjang sebahu diikat seperti samurai. Lengan bajunya

digulung tinggi-tinggi. la sengaja memperlihatkan otot-ototnya. Tapi wajahnya sangat ramah dan

tapaknya ia senang sekali menunaikan tugasnya. Belanjaan yang dipanggul kuli ini tak tanggungtanggung: dua karung dedak di punggungnya, ban sepeda dikalungkan di lehernya, dan plastikplastik kresek serta tas-tas belanjaan bergelantungan di lengan kiri kanannya. Ia seperti toko

kelontong berjalan. Di belakangnya berjalan terantuk-antuk seorang nyonya gemuk yang

memborong segala macam barang itu.

Setelah memuat belanjaan ke atas bak sebuah mobil pikap, pria bertulang besi tadi menerima

sejumlah uang. la mengucapkan terima kasih dengan menunduk sopan lalu kembali ke tokonya.

Toko berjudul Sinar Perkasa itu, sesuai sekali dengan penampilan kulinya. Pria itu menyerahkan

uang tadi kepada juragan toko yang kemudian mengibas-ngibaskan uang itu ke barang-barang

dagangannya lalu mereka berdua tertawa lepas layaknya dua sahabat baik. Wajah keduanya tak

lekang dimakan waktu.

Aku tersenyum mengenang nostalgia di Toko Sinar Harapan dan teringat bahwa dulu aku pernah

memiliki cinta yang ternyata tak hanya sedalam lubuk kaleng-kaleng cat yang sampai sekarang

masih berjejal-jejal di situ. Aku juga merasa ber-untung telah menjadi orang yang pernah mengungkapkan cinta. Masih terasa indahnya sampai sekarang. Merasa beruntung karena kejadian itu

merupakan tonggak bagaimana secara emosional aku telah berevolusi. Dan agaknya cinta

pertamaku dulu amat berkesan karena ia telah melam-bungkanku ke puncak kebahagiaan sekaligus

membuatku menggelongsor karena patah hati di antara keranjang buah mengkudu busuk di toko itu.

Kita dapat menjadi orang yang skeptis, selalu

curiga, dan tak gampang percaya karena satu orang pernah menipu kita. Tapi ternyata dengan satu

kasih yang tulus lebih dari cukup untuk mengubah seluruh persepsi tentang cinta. Paling tidak itu

terjadi padaku. Meskipun kemudian setelah dewasa beberapa kali cinta memperlakukan aku dengan

amat buruk, aku tetap percaya pada cinta. Semua itu gara-gara wanita berparas kuku ajaib di Toko

Sinar Harapan itu. Kemanakah gerangan dia sekarang? Aku tak tahu dan tak mau tahu. Gambaran

cinta seindah lukisan taman bunga karya Monet itu biarlah seperti apa adanya. Kalau aku

menjumpai A Ling lagi bisa-bisa citra lukisan itu pudar karena mungkin saja A Ling sekarang

adalah A Ling dengan parises, selulit, pantat turun, susu kempes, gemuk, perut buncit, dan kantong

mata. Ia dulu adalah venus dari Laut Cina Selatan dan aku ingin tetap mengenangnya seperti itu.

Aku mengeluarkan dari tasku buku Seandainya Mereka Bisa Bicara yang dihadiahkan A Ling

padaku sebagai kenangan cinta pertama kami. Bus reyot yang terlonjak-lonjak karena jalan yang

berlubang-lubang membuat aku tak dapat membacanya. Ketika jarak antara bus dan Toko Sinar

Harapan perlahan mengembang aku merasa takjub bagaimana lingkaran hidup merupakan jalinan

aksi dan reaksi seperti postulat Isaac Newton atau hidup tak ubahnya se-kotak cokelat seperti kata

Forest Gump. Jika membuka kotak cokelat kita tak 'kan dapat menduga rasa apa yang akan kita

dapatkan dari bungkus-bungkus plastik lucu di dalamnya. Sebuah benda kecil yang tak

penting atau suatu kejadian yang sederhana pada masa yang amat lampau dapat saja menjadi

sesuatu yang kemudian sangat memengaruhi kehidupan kita.

Buku itu kugenggam erat di atas pangkuanku dan aku segera menyadari bahwa seluruh kehidupan

dewasaku telah terinspirasi oleh buku kumal yang selalu kubawa ke mana-mana itu. Dulu ketika

frustrasi karena berpisah dengan A Ling maka pesona Desa Edensor, Taman Daffodil dan jalan

pasar berlandaskan batu-batu bulat, serta hamparan sabana di bukit-bukit Derbyshire telah

menghiburku. Kemudian pada masa dewasa ini ketika kehidupanku di Bogor berada pada titik

terendah aku perlahan-lahan bangkit juga karena semangat yang dipancarkan oleh Herriot, sang

tokoh utama buku itu. Seperti ajaran Pak Harfan, Bu Mus, dan Kemuham-madiyahan, Herriot juga

mengajariku tentang optimisme dan bagaimana aku harus berjuang untuk meraih masa depanku.

Seminggu setelah kulemparkan naskah bulu tangkisku ke Kali Ciliwung aku membaca sebuah

pengumuman beasiswa pendidikan lanjutan dari sebuah negara asing. Aku segera menyusun

rencana C, yaitu aku ingin sekolah lagi! Kemudian setelah itu tak ada satu menit pun waktu kusiasiakan selain untuk belajar. Aku membaca seba-nyak-banyaknya buku. Aku membaca buku sambil

menyortir surat, sambil makan, sambil minum, sambil tiduran mendengarkan wayang golek di radio

AM. Aku membaca buku di dalam angkutan umum, di dalam jamban, sambil mencuci pakaian,

sambil dimarahi pelanggan, sambil disindir ketua ekspedisi, sambil upacara Korpri, sambil

menimba air, atau sambil memperbaiki atap bocor. Bahkan aku membaca sambil membaca.

Dinding kamar kostku penuh dengan grafiti rumus-rumus kalkulus, GMAT, dan aturan-aturan

tenses. Aku adalah pengunjung perpustakaan LIPI yang paling rajin dan shift sortir subuh yang dulu

sangat kubenci sekarang malah kuminta karena dengan demikian aku dapat pulang lebih awal untuk

belajar di rumah. Jika beban pe-kerjaan demikian tinggi aku membuat resume bacaanku dalam

kertas-kertas kecil, inilah teknik jembatan keledai yang dulu diajarkan Lintang padaku. Kertaskertas kecil itu kubaca sambil menunggu ketua pos menurunkan kantong-kantong surat dari truk.

Di rumah aku belajar sampai jauh malam dan penyakit insomnia ternyata malah mendukungku.

Aku adalah penderita insomnia yang paling produktif karena saat-saat tak bisa tidur kugunakan

untuk membaca. Jika kelelahan belajar aku melakukan penyegaran mental yaitu kembali membuka

buku Seandainya Mereka Bisa Bicara dan di sana kutemukan bagaimana Herriot menghadapi

kesulitan membuktikan dirinya di depan para petani Derbyshire yang sangat skeptis, keras kepala,

dan antiperubahan. Dari buku itu juga aku merasakan angin pagi lembah Edensor yang dingin

bertiup merasuki dadaku yang sesak setelah menyelusup di antara dedaunan

astuaria. Membaca semua itu

semangatku kembali terpompa dan hatiku semakin bening siap menerima pelajaran-pelajaran baru.

\"Aku harus mendapatkan beasiswa itu!\" demi-kian kataku dalam hati setiap berada di depan kaca.

Aku benar-benar bertekad mendapatkan beasiswa itu karena bagiku ia adalah tiket untuk

meninggalkan hidupku yang terpuruk. Lebih dari itu aku merasa berutang pada Lintang, A Ling,

Pak Harfan, Bu Mus, Laskar Pelangi, Sekolah Muhammadiyah, dan Herriot.

Kemudian tes demi tes yang mendebarkan berlang-sung selama berbulan-bulan, diawali dengan

sebuah tes pe-nyaringan pertama di sebuah stadion sepak bola yang dipenuhi peserta. Hampir tujuh

bulan kemudian aku berada pada tahap yang disebut penentuan terakhir. Penentuan terakhir

merupakan sebuah wawancara di sebuah lembaga yang hebat di Jakarta. Wawancara akhir ini

dilakukan oleh seorang mantan menteri yang berwajah tampan tapi senang bukan main pada rokok.

\"Disgusting habit!\"Sebuah kebiasaan yang menjijikkan, kata Morgan Freeman dalam sebuah film.

Aku mengenakan pakaian rapi dan untuk per-tama kalinya. Berdasi, memakai sedikit minyak

wangi, dan menyemir sepatu. Pulpen di saku dan kubawa map yang tak tahu berisi apa. Aku telah

menjadi tipikal orang muda yang spekulatif. Sebuah pemandangan yang menyedihkan

Bapak perokok itu memanggilku, mempersilakanku duduk di depannya, dan mengamatiku dengan

teliti. Barangkali ia berpikir apakah anak kampung ini akan bikin malu tanah air di negeri orang.

Lalu ia membaca motivation ietterku yaitu suatu catatan alasan dari berbagai aspek yang dibuat

peserta mengapa ia merasa patut diberi beasiswa.

Mantan menteri itu mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu ajaib sekali! Ia sama sekali tidak

mengeluarkan kembali asap rokok itu. Rupanya asap itu diendapkannya sebentar di dalam rongga

dadanya. Matanya terpejam ketika menikmati racun nikotin lalu disertai sebuah senyum puas yang

mengerikan ia mengembuskan asap rokok itu dekat sekali dengan wajahku. Mataku perih, aku

menahan batuk dan ingin muntah tapi apa dayaku, laki-laki di depan-ku ini memegang tiket masa

depanku dan tiket itu amat kuperlukan. Maka aku duduk bertahan sambil membalas senyumnya

dengan senyum basi ala pramugari sementara perutku mual.

\"Saya tertarik dengan motivation ietter Anda, alasan dan cara Anda menyampaikannya dalam

kalimat Inggris sangat mengesankan,\" katanya.

Aku kembali tersenyum, kali ini senyum khas penjual asuransi.

\"Belum tahu dia, orang Melayu lincah benar bersilat kata,\" kataku dalam hati.

Lalu sang mantan menteri membuka proposal penelitianku yang berisi bidang yang akan kutekuni,

materi riset, dan topik tesis dalam pendidikan beasiswa nanti.

\"Ahhhh, ini juga menarik ....\"

la ingin melanjutkan kata-katanya tapi agaknya rokok yang sangat dicintainya itu lebih penting

maka ia kembali memenuhi dadanya dengan asap. Aku berani bertaruh jika dirontgen maka rongga

dada dan seluruh isinya pasti telah berwarna hitam. Bapak ini terkenal sangat pintar bukan hanya di

dalam negeri tapi juga di luar negeri, sumbangannya tak kecil untuk bangsa ini, tapi bagaimana ia

bisa menjadi demikian bodoh dalam persoalan rokok ini?

\"Hmmm ... hmmm ... sebuah topik yang me-mang patut dipelajah lebih jauh, menarik sekali, siapa

yang membimbing Anda menulis ini?\" beliau tersenyum lebar dan asap masih mengepul di

Aku tahu pertanyaan itu retoris, tak memerlu-kan jawaban, karena dia tahu seseorang tak mungkin

dibimbing untuk membuat proposal ter-sebut, maka aku hanya tersenyum.

\"Bu Mus, Pak Harfan, Lintang, Sekolah Muham-madiyah, A Ling, dan Herriot!\" Itulah jawaban

\"Saya telah lama menunggu ada proposal riset semacam ini, ternyata datang dari seorang pegawai

kantor pos! Ke mana kau pergi selama ini anak muda?\"

Kembali retoris dan aku kembali tersenyum. \"Edensor!\" Bisik hatiku.

Maka tak lama kemudian aku telah menjadi mahasiswa. Meskipun hanya langkah kecil aku merasa

telah membuat sebuah kemajuan dan sekarang aku dapat menilai hidupku dari perspektif

yang sama sekali berbeda. Aku lega terutama karena aku telah membayar utangku pada Sekolah

Muhammadiyah, Bu Mus, Pak Harfan, Lintang, Laskar Pelangi, A Ling, bahkan Herriot dan

Edensor. Setiap titik yang aku singgahi dalam hidupku selalu memberiku pelajaran berharga.

Sekolah Muham-madiyah dan persahabatan Laskar Pelangi telah membentuk karakterku. A Ling,

Herriot, dan Edensor telah mengajariku optimisme dan menunjukkan bahwa jalinan nasib dapat

menjadi begitu menak-jubkan. Kemudian, meskipun aku tidak menyukai pekerjaan sortir, tapi

orang-orang hebat kawan sekerja di kantor pos Bogor telah mengajariku arti integritas bagi sebuah

badan usaha dan makna dedikasi pada pekerjaan pos yang mulia, yaitu mengemban amanah.

ADA orang-orang tertentu yang memendam cinta demikian rapi. Bahkan sampai mereka mati,

sekerling pun me-reka tak pernah memperlihatkan getar hatinya. Cinta mereka sesepi stambul lama

nan melankolis dengan pengarang yang tak pernah dikenal. Jika malam tiba mereka mendengusdengus meratapi rindu, menampar muka sen-diri karena jengkel tak berani mendeklarasikan cinta

yang menggelitik perutnya. Cintanya tak pernah terungkap karena ngeri membayangkan risiko

ditolak. Lama-lama, seperti seorang narsis, mereka

menyukai mencintai seseorang di dalam hatinya sendiri. Cinta satu sisi, indah tapi merana tak

terperi. Mereka hidup dalam bayangan. Meng-ungkapkan cinta agaknya mengandung daya tarik

paling misterius dari cinta itu sendiri. Itulah yang dirasakan A Kiong selama belasan tahun.

Hampa karena cinta dan kecewa pada masa depan membuat A Kiong sempat menjalani hidup

sebagai seorang agnostik, yaitu orang yang percaya kepada Tuhan tapi tidak memeluk agama apa

pun, oleh karena itu ia tidak pernah beribadah. la mendaki puncak bukit keangkuhan di dalam

hatinya untuk berteriak lantang menentang segala bentuk penyembahan. Ia berkelana mengamati

agama demi agama, terombang ambing dalam kebingungan tentang keyakinan dan konsep keadilan

Tuhan. Hari demi hari ia semakin sesat. Ia kafir bagi agama mana pun.

Namun, menjelang dewasa ia mengalami suatu masa di saat setiap mendengar suara azan ia sering

disergap perasaan sepi nan indah yang menyelusup ke dalam kalbunya, membuatnya terpaku, dan

melelehkan air matanya. Panggilan shalat itu mengembuskan rasa hampa yang menyuruhnya

merenung. Ia cemas serasa akan mati esok pagi. Ia merenung dan pada suatu hari dengungan azan

magrib membuatnya berputar seperti gasing, perutnya naik memuntahkan seluruh makanan dan

minuman haram dari lipatan-lipatan ususnya, ia terjerembap tak berdaya seakan tulang belulangnya

hancur dihantam palu godam. Air matanya berlinang tak terbendung. Ia merangkak-rangkak

memohon ampunan. Ia telah dipilih oleh Allah untuk diselamatkan. A Kiong, makhluk pendusta

agama ini, bagian dari sebagian kecil orang yang amat beruntung, mendapat magfirah*.

Ia memeluk Islam, disunat, dan mengucapkan kalimat syahadat disaksikan Pak Harfan dan Bu

Mus. Bu Mus menganugerahkan sebuah nama untuknya: Muhammad Jundullah Gufron Nur

Zaman. Nama yang sangat hebat. Artinya tentara Allah, orang yang mendapat ampunan dan cahaya.

A Kiong tinggal sejarah, bagian dari sebuah masa lalu yang gelap. Ia segera menjadi muslim yang

taat. Hidupnya tenang, namun kesepian sepanjang malam masih merisaukannya.

Penerima cahaya ini menceritakan dengan se-penuh jiwa kepadaku bahwa yang merisaukannya itu

adalah cinta yang telah disimpannya sangat lama. Cinta yang tak terungkap. Tak seorang pun tahu

kalau Nur Zaman selama ini telah menjadi seekor pungguk. Wanita itu, katanya, telah membuat

malam-malamnya gelisah.

\"Aku lemas karena paru-paruku basah digena-ngi air mata rindu,\" demikian ungkapan perasaannya

padaku. Laki-laki berkepala kaleng kerupuk ini bisa juga puitis.

\"Berhari-hari terperangkap dalam bingkai kaca seraut wa-jah yang sama, tak dapat lagi kupikirkan

lagi hal-hal lain. Setiap melihat cermin yang terpantul hanya wajahnya. Aku tak mau makan, tak

bisa tidur ...,\" kenangnya. Romantis laksana opera sabun, sekaligus lucu dan menyedihkan.

Lalu setelah belasan tahun mengumpulkan keberanian, pada suatu malam, dengan basmallah, ia

menjumpai wanita itu dan langsung, di depan orangtuanya, menyatakan keinginannya melamar. Ia

pasrahkan semua keputusan kepada Allah. Ia siap hijrah ke Kanton naik kapal barang jika ditolak.

Ternyata wanita itu juga telah lama diam-diam menaruh hati padanya. Terberkatilah mereka yang

berani berterus terang. Wanita itu adalah Sahara.

Sekarang mereka sudah punya anak lima dan membuka toko kelontong dengan judul Sinar Perkasa

tadi. Mereka mempekerjakan seorang kuli dan memperlakukannya sebagai sahabat. Kulinya adalah

pria raksasa berambut sebahu seperti samurai itu, tak lain adalah Samson.

Jika waktu luang mereka bertiga mengunjungi Harun. Harun bercerita tentang kucingnya yang

berbelang tiga, melahirkan anak tiga, semuanya berbelang tiga, dan kejadian itu terjadi pada tanggal

tiga. Sahara mendengarkan penuh perha-tian. Kalau dulu Harun adalah anak kecil yang

terperangkap dalam tubuh orang dewasa, sekarang ia adalah orang dewasa yang terperangkap dalam

alam pikiran anak kecil.

\"Aku mendapatkan kebahagiaan terbesar yang mungkin didapatkan seorang pria,\" kata Nur Zaman

Ingatkah akan kata-kata itu? Bukankah dulu kata-kata itu pernah kuucapkan? Klise! Tidak, sama

sekali tidak klise bagi Nur Zaman. Ia adalah pria

terhormat yang telah memanfaatkan dengan baik waktu yang diberikan Tuhan. Ia berhasil menemukan kebenaran hakiki melalui penderitaan pergolakan batin. Tuhan mencintai orang-orang

BUS reyot itu menurunkan aku di seberang ja-lan di depan rumah ibuku. Aku mendengar lagu

Rayuan Pulau Kelapa di RRI, yang berarti wart a berita pukul 12. Sebuah siang yang panas dan

sunyi. Dan kesunyian itu bubar oleh suara klakson panjang dari sebuah mobil tronton kapasitas

sepuluh ton, gardan ganda, bertenaga turbo, dengan delapan belas ban berdiameter satu meter.

Seorang pria kecil terlonjak-lonjak di jok sopir. Ia terlalu kecil bagi truk raksasa pengangkut pasir

\"Pulang kampung juga kau akhirnya, Ikal. Hari yang sibuk! Datanglah ke proyek,\" teriaknya.

Aku melepaskan empat tas yang membebaniku tapi hanya sempat melambaikan tangan. Ia pun

pergi meninggalkan debu.

Esoknya aku berkunjung ke bedeng proyek pa-sir gelas sesuai undangan sopir kecil itu. Bedeng itu

memanjang di tepi pantai, tak berpintu, lebih seperti kandang ternak. Inilah tempat beristirahat

puluhan sopir truk pasir yang bekerja siang malam

bergiliran 24 jam untuk mengejar tenggat waktu mengisi tongkang. Tongkang-tongkang itu dimuati

ribuan ton kekayaan bumi Belitong, tak tahu dibawa ke mana, salah satu perbuatan kongkalikong

yang mengangkangi hak-hak warga pribumi.

Aku masuk ke dalam bedeng dan melihat ke sekeliling. Di tengah bedeng ada tungku besar tempat

berdiang melawan dingin angin laut. Di pojok bertumpuk-tumpuk kaleng minyak solar, bungkus

rokok Jambu Bol, dongkrak, beragam kunci, pompa minyak, tong, jerigen air minum, semuanya

serba kumal dan berkilat. Panci hitam, piring kaleng, kotak obat nyamuk, kopi, dan mi instan

berserakan di lantai tanah. Selembar sajadah usang terhampar lesu. Sebuah kalender bergambar

wanita berbikini tergantung miring. Walaupun sekarang sudah bulan Mei tak ada yang berminat

menyobek kalender bulan Maret, karena gambar wanita bulan Maret paling hot dibanding bulan

Pria yang kemarin menyapaku, yang menyetir tronton itu, salah satu dari puluhan sopir truk yang

tinggal di bedeng ini, duduk di atas dipan, dekat tungku, berhadap-hadapan denganku. la kotor,

miskin, hidup membujang, dan kurang gizi, ia adalah Lintang.

Aku tak berkata apa-apa. Terlihat jelas ia kelelahan melawan nasib. Lengannya kaku seperti besi

karena kerja rodi tapi tubuhnya kurus dan ringkih. Binar mata kepintaran dan senyum manis yang

jenaka itu tak pernah hilang walaupun sekarang kulitnya kering berkilat dimakan minyak.

Rambutnya semakin merah awut-awutan. Lin- tang dan keseluruhan bangunan ini menimbulkan

rasa iba, iba karena kecerdasan yang sia-sia terbuang.

Aku masih diam. Dadaku sesak. Bedeng ini ber-diri di atas tanah semacam semenanjung, daratan

yang menjorok ke laut. Aku mendengar suara ... Bum ...! Bum ...! Bum ...! Aku melihat ke luar

jendela sebelah kananku. Sebuah tug-boat* penarik tongkang meluncur pelan di samping bedeng.

Suara motor tempel yang nendang menggetarkan tiang-tiang bedeng dan asap hitam mengepul

tebal. Gelombang halus yang ditimbulkan tugboat tersebut memecah tepian yang berkilat seperti

permukaan kaca berwarna-warni karena digenangi minyak.

Kupandangi terus tugboat yang melaju dan sekejap aku merasa tugboat itu tak bergerak tapi justru

aku dan bedeng itu yang meluncur. Lintang yang dari tadi mengamatiku membaca pikiranku.

\"Einstein's simultaneous relativity...,\" katanya memulai pembicaraan. Ia tersenyum getir.

Kerinduannya pada bangku sekolah tentu membuatnya perih.

Aku juga tersenyum. Aku mengerti ia tidak mengalami apa yang secara imajiner baru saja aku

alami. Dua orang melihat objek yang sama dari dua sudut pandang yang berbeda maka pasti mereka

memiliki persepsi yang berbeda. Oleh karena itu, Lintang menyebutnya simultan. Sebuah konteks

yang relevan dengan perspektifku melihat hidup kami berdua sekarang.

Tak lama kemudian aku mendengar lagi suara

bum! Bum! Bum! Kali ini sebuah tugboat yang lain meluncur pelan dari arah yang berlawanan

dengan arah tugboat yang pertama tadi. Buritan tugboat yang pertama belum habis melewatiku

maka aku menoleh ke kiri dan ke kanan membandingkan panjang ke dua tugboat yang melewatiku

secara berlawanan arah.

Lintang mengobservasi perilakuku. Aku tahu ia kembali membaca isi kepalaku, keahliannya yang

selalu mem-buatku tercengang.

\"Paradoks ...,\" kataku.

\"Relatif...,\" kata Lintang tersenyum.

Aku menyebut paradoks karena ukuran yang kuper-kirakan sebagai subjek yang diam akan

berbeda dengan ukuran orang lain yang ada di tugboat meskipun untuk tugboat yang sama.

\"Bukan, bukan paradoks, tapi relatif,\" sanggah Lintang.

\"Ukuran objek bergerak dilihat oleh subjek yang diam dan bergerak membuktikan hipotesis bahwa

waktu dan jarak tidaklah mutlak tapi sebaliknya relatif. Einstein membantah Newton dengan pendapat itu dan itulah aksi oma pertama teori relativitas yang melambungkan Einstein.\"

Ugghh, Lintang! Sejak kecil aku tak pernah punya kesempatan sedikit pun untuk berhenti

mengagumi tokoh di depanku ini. Man tan kawanku sebangku yang sekarang menjadi penghuni

sebuah bedeng kuli ternyata masih sharp1. Walaupun bola mata jenakanya telah menjadi kusam

seperti kelereng diamplas namun intuisi kecerdasannya

tetap tajam seperti alap-alap mengintai anak ayam. Aku beruntung sempat bertemu dengan

beberapa orang yang sangat genius tapi aku tahu Lintang memiliki bakat genius yang jauh melebihi

Aku termenung lalu menatapnya dalam-dalam. Aku merasa amat sedih. Pikiranku melayang

membayangkan dia memakai celana panjang putih dan rompi pas badan dari bahan rajutan

poliester, melapisi kemeja lengan panjang berwarna biru laut, naik mimbar, membawakan sebuah

makalah di sebuah forum ilmiah yang terhormat. Makalah itu tentang terobosannya di bidang

biologi maritim, fisika nuklir, atau energi alternatif.

Mungkin ia lebih berhak hilir mudik keluar ne-geri, mendapat beasiswa bergengsi, dibanding

begitu banyak mereka yang mengaku dirinya intelektual tapi tak lebih dari ilmuwan tanggung tanpa

kontribusi apa pun selain tugas akhir dan nilai-nilai ujian untuk dirinya sendiri. Aku ingin membaca

namanya di bawah sebuah artikel dalam jurnal ilmiah. Aku ingin mengatakan pada setiap orang

bahwa Lintang, satu-satunya ahli genetika di Indonesia, orang yang telah menguasai operasi pohon

Pascal sejak kelas satu SMP, orang yang memahami filosofi diferensial dan integral sejak usia

demikian muda, adalah murid perguruan Muham-madiyah, temanku sebangku.

Namun, hari ini Lintang ternyata hanya seor-ang laki-laki kurus yang duduk bersimpuh menunggu

giliran kerja rodi. Aku teringat lima belas tahun yang

lalu ia memejamkan matanya tak lebih dari tujuh detik untuk menjawab soal matematika yang rumit

atau untuk meneriakkan Joan d'Arch! Merajai lomba kecerdasan, melejitkan kepercayaan diri kami.

Kini ia terpojok di bedeng ini, tampak tak yakin akan masa depannya sendiri. Aku sering beranganangan ia mendapat kesempatan menjadi orang Melayu pertama yang menjadi matematikawan. Tapi

angan-angan itu menguap, karena di sini, di dalam bendeng tak berpintu inilah Isaac Newtonku

\"Jangan sedih Ikal, paling tidak aku telah memenuhi harapan ayahku agar tak jadi nelayan ....\"

Dan kata-kata itu semakin menghancurkan hatiku, maka sekarang aku marah, aku kecewa pada

kenyataan be-gitu banyak anak pintar yang harus berhenti sekolah karena alasan ekonomi. Aku

mengutuki orang-orang bodoh sok pintar yang menyombongkan diri, dan anak-anak orang kaya

yang menyia-nyiakan kesempatan pendidikan.

ALASAN orang menerima profesi tertentu kadang-kadang sangat luar biasa.Adaorang yang senang

menjadi kondektur karena hobinya jalan-jalan kelilingkota, ada yang gembira memandikan gajah di

kebun binatang karena hobinya main air, dan ada yang selalu meminta tugas ke luarkotaagar dapat

sekian lama meninggalkan istrinya. Tapi tak ada yang senang menyortirsuratuntuk alasan apa pun.

Oleh karena itu, ketika 10 karungsuratditumpahkan di depanku untuk disortir sedangkan tambahan

tenaga yang kuminta berulang-ulang tak terpenuhi, aku langsung hengkang meninggalkan meja

sortir itu, tak pernah kembali.

Sebagian orang menduduki profesinya sekarang sesuai cita-citanya, sebagian besar tak pernah

sama sekali menduga bahwa ia akan menjadi seperti apa adanya sekarang, dan sebagian kecil

memilih profesi karena pertemuan dengan seseorang.

Pertemuan dengan seseorang sering menjadi sebuah titik balik nasib. Jika tak percaya, tanyakan itu

pada Mahar, Flo, dan seluruh anggota Societeit de Limpai. Pertemuan dengan Tuk Bayan Tula dan

pesan beliau yang berbunyi: \"Jika ingin lulus ujian, buka buku, belajar!\" Ternyata menjadi kata-kata

keramat yang mampu memutar haluan hidup mereka.

Pada hari Sabtu, sehari sesudah Mahar mem-baca pesan Tuk, kami berdesak-desakkan di jendela

kelas menyaksikan Flo dan Mahar menemui Bu Mus di bawah pohon filicium. Ketiga orang itu

berdiri mematung dan tak banyak bicara. Lalu tampak kedua anak berandal itu bergantian mencium tangan Bu Mus, guru kami yang bersahaja. Per-seteruan lama telah berakhir dengan damai.

Keesokan harinya Mahar membubarkan Societeit de Limpai, dan esoknya lagi, pada Senin pagi

yang biasa saja, kami menerima kejutan yang luar biasa, mengagetkan, dan

amat mengharukan, Flo datang ke sekolah mengenakan jilbab.

Mahar dan Flo berhasil lulus ujian caturwulan terakhir. Flo telah berubah total. la dulu seorang

wanita yang berusaha melawan kodratnya namun akhirnya ia menjadi wanita sejati. Momentum

dalam hidupnya jelas terjadi karena pertemuan dengan seseorang. Seseorang itu ada dua, yaitu

Mahar dan Tuk Bayan Tula. Kejadian itu telah memutarbalikkan hidupnya. Flo menempuh

perguruan tinggi di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Univer-sitas Sriwijaya. Setelah

lulus, ia menjadi guru TK di Tanjong Pandan dan bercita-cita membangun gerakan wanita

Muhammadiyah. Ia menikah dengan seorang petugas teller bank BRI mantan anggota Societeit, dan

keinginan lama Flo untuk menjadi laki-laki dibayar Allah dengan memberinya dua kali persalinan

yang melahirkan empat anak laki-laki yang tampan luar biasa dalam jarak hanya setahun. Dua kali

Pesan Tuk Bayan Tula telah memberi pence-rahan bagi para anggota Societeit, bahwa tak ada yang

dapat dicapai di dunia ini tanpa usaha yang rasional. Sebuah pencerahan terang benderang yang

datang justru dari seorang tokoh dunia gelap, manusia separuh peri, bahkan banyak yang

menganggapnya manusia separuh iblis.

Paraanggota Societeit adalah orang-orang biasa, miskin, dan kebanyakan, namun mereka kaya raya

akan pengalaman batin dan petualangan penuh mara bahaya untuk mencari kebenaran hakiki.

Mereka memastikan setiap kesangsian, membuktikan prasangka dan mitos-mitos, serta menga-lami

sendiri apa yang hanya bisa diduga-duga orang. Mereka memuaskan sifat dasar keingin tahuan

manusia sampai batas akhir yang menguji keyakinan. Mereka adalah orang-orang yang menjemput

hidayah dan tidak duduk termangu-mangu menunggunya. Kini mereka menjadi orang-orang Islam

yang taat yang menjauhkan diri dari syirik. Di bawah pemimpin baru, pemain organ tunggal itu,

mereka mem-bentuk perkumpulan yang aktif melakukan dakwah dan mengislamkan komunitaskomunitas terasing di pulau-pulau terpencil di perairan Bangka Belitong. Mereka laksana manusiamanusia baru yang dilahirkan dari kegelapan dan kini berjalan tegak di ladang ijtihad di bawah

siraman air Danau Kautsar yang membersihkan hati.

Tuk Bayan Tula sendiri tak ada kabar berita-nya. Anggota Societeit adalah manusia terakhir yang

melihat beliau masih hidup. Dalam kaar (peta laut) terakhir perairan Belitong yang dipetakan oleh

TNI AL, Pulau Lanun sudah tak tampak. Di perairan ini sering sekali pulau-pulau kecil timbul dan

tenggelam karena badai atau ketidakstabilan permukaan air laut. Adapun pensiunan syah bandar

yang dulu mengumandangkan azan ketika anggota Societeit hampir tewas dilamun badai sekarang

menjadi muazin tetap di Masjid Al-Hikmah

Nasib, usaha, dan takdir bagaikan tiga bukit biru samar-samar yang memeluk manusia dalam lena.

Mereka yang gagal tak jarang menyalahkan aturan main Tuhan. Jika me-reka miskin mereka

mengatakan bahwa Tuhan, melalui takdir-Nya, memang mengharuskan mereka miskin.

Bukit-bukit itu membentuk konspirasi rahasia masa depan dan definisi yang sulit dipahami

sebagian orang. Seseorang yang lelah berusaha menunggu takdir akan mengubah nasibnya.

Sebaliknya, seseorang yang enggan mem-banting tulang menerima saja nasibnya yang menurutnya

tak 'kanberubah karena semua telah ditakdirkan. Inilah lingkaran iblis yang umumnya melanda para

pemalas. Tapi yang pasti pengalaman selalu menunjukkan bahwa hidup dengan usaha adalah mata

yang ditutup untuk memilih buah-buahan dalam keranjang. Buah apa pun yang didapat kita tetap

mendapat buah. Sedangkan hidup tanpa usaha ada-lah mata yang ditutup untuk mencari kucing

hitam di dakan kamar gelap dan kucingnya tidak ada. Mahar memiliki bukti untuk hipotesis ini.

la hanya berijazah SMA. Nasibnya seperti Lintang. Mereka adalah dua orang genius yang

kemampuannya dinisbikan secara paksa oleh tuntutan tanggung jawab pada keluarga. Mahar tak

bisa meninggalkan rumah untuk berkiprah di lingkungan yang lebih mendukung bakatnya sejak

ibunya sakit-sakitan karena tua. Sebagai anak tunggal ia harus merawat ibunya siang malam karena

ayahnya telah meninggal.

Mahar pernah menganggur dan setiap hari, tanpa berusaha, menunggu takdir menyapanya. Ia

mengharapkan su-rat panggilan dari Pemda untuk tenaga honorer. Ketika itu ia berpikir kalau takdir

menginginkannya menjadi se-orang guru kesenian maka ia tak perlu melamar. Ternyata cara

berpikir seperti itu tak berhasil.

Maka ia mulai berusaha menulis artikel-artikel kebudayaan Melayu. Artikelnya menarik bagi para

petinggi lalu ia dipercaya membuat dokumentasi permainan anak tradisional. Dokumentasi itu berkembang ke bidang-bidang lain seperti kesenian dan bahasa yang membuka kesem-patan riset

kebu-dayaan yang luas dan memungkinkannya menulis beberapa buku

Jika dulu ia tak menulis artikel maka ia tak 'kanpernah menulis buku. Melalui buku-buku itu ia

tertakdirkan menjadi seorang narasumber budaya. One thing leads to another. Dalam kasus Mahar

nasib adalah setiap deretan titik-titik yang dilalui sebagai akibat dari setiap gerakan-gerakan

konsisten usahanya dan takdir adalah ujung titik-titik itu. Sekarang Mahar sibuk mengajar dan

mengor-ganisasi berbagai kegiatan budaya.

Tentu saja pekerjaan-pekerjaan itu tak mampu menyokong nafkah ia dan ibunya maka honor kecil

tapi rutin juga Mahar peroleh dari orang pesisir yang

meminta bantuannya melatih beruk memetik buah kelapa. la sangat ahli dalam bidang ini. Dalam

tiga minggu seekor beruk sudah bisa mengguncang-guncang kelapa untuk membedakan mana

kelapa yang harus dipetik.

Lain pula cerita Syahdan. Syahdan yang kecil, santun, dan lemah lembut agaknya memang

ditakdirkan untuk menjadi pecundang yang selalu menerima perintah. Jika kami membentuk tim ia

pasti menjadi orang yang paling tak penting. Ia adalah seksi repot, tempat penitipan barang,

pengurus konsumsi, pembersih, tukang angkat-angkat, dan jika makan paling belakangan. Ia adalah

kambing hitam tempat tumpahan semua kesalahan, dia tak pernah sekalipun dimintai pertimbangan

jika Laskar Pelangi mengambil keputusan, lalu dalam lomba apa pun dia selalu kalah. Lebih dari itu

ia sangat menyebalkan karena sangat gagap teknologi. Ia sama sekali tak bisa diandalkan untuk halhal berbau teknik, bahkan hanya untuk membetulkan rantai sepeda yang lepas saja ia sering tak

becus. Cita-citanya untuk menjadi aktor sangat tidak realistis, maka kami tak pernah berhenti

menyadarkannya dari mimpi itu, bahkan bertubi-tubi mencemoohnya. Namun tak disangka di balik

kelembutannya ternyata Syahdan adalah seorang pejuang. Semangat juangnya sekeras batu satam.

Setelah SMA ia berangkat keJakarta. Dengan map di ketiaknya ia melamar untuk menjadi aktor dari

satu rumah produksi ke rumah produksi lainnya, hanya bermodalkan satu hal: keinginan! Itu saja.

Aneh, setelah lebih dari setahun akhirnya ia benar-benar menjadi aktor!

Sayangnya sampai hampir tiga tahun berikut-nya ia masih saja seorang aktor figuran. Lalu ia bosan

berperan sebagai figuran makhluk-makhluk aneh: tuyul, setan, dan jin-jin kecil karena tubuhnya

yang mini dan berkulit gelap. Ia juga bosan menjadi pesuruh ini itu di sebuah grup sandiwara

tradisional kecil yang sering manggung di pinggiranJakarta. Tugas ini itu-nya itu antara lain

memikul genset dan mencuci layar panggung yang sangat besar. Lebih dari semua itu, menjadi

figuran dan pesuruh ternyata tak mampu menghidupinya. Di tengah kemelaratannya Syahdan

yangmalangiseng-iseng kursus komputer dan di tengah perjuangan mendapatkan kursus itu ia nyaris

menggelandang diJakarta.

Di luar dugaan, orang lain umumnya menge-tahui bakatnya ketika masih belia tapi Syahdan baru

tahu kalau ia berbakat mengutak-atik program komputer justru ketika sudah dewasa. Dengan cepat

ia menguasai berbagai bahasa pemrograman dan dalam waktu singkat ia sudah menjadi net-work

designer. Tahun berikutnya sangat mengejutkan. Ia mendapat beasiswa short course di bidang

computer net-work di Kyoto University, Jepang. Disanaia berhasil men-capai kualifikasi

keahliannya dan menjadi salah satu dari segelintir orangIndonesiayang memiliki sertifikat Sisco

Expert Network. Ia kembali ke Indonesia dan dua tahun kemudian Syahdan, pria liliput putra orang

Melayu, nelayan, jebolan sekolah gudang kopra Muhammadiyah telah menduduki posisi sebagai

Information Technology Manager di sebuah perusahaan multinasional terkemuka yang berkantor

pusat di Tangerang. Dari sudut pandang material Syahdan adalah anggota Laskar Pelangi yang

paling sukses. la yang dulu selalu menjadi penerima perintah, tukang angkat-angkat, dan tak becus

terhadap sesuatu yang berbau teknik, kini memimpin divisi inovasi teknologi dengan ratusan anak

Namun Syahdan tak pernah menyerah pada cita-citanya untuk menjadi aktor sungguhan. Suatu hari

ia meneleponku tanpa salam pembukaan dan tanpa basa-basi penutupan. Ia hanya mengatakan ini

dan tanpa sempat aku berkata apa-apa ia langsung menutup teleponnya.

\"Kau dengar ini Ikal, aku ingin menjadi aktor!!11Syahdan tak pernah melepaskan mimpinya

ka-rena ia adalah seorang pejuang.

DAN inilah yang paling menyedihkan dari seluruh kisah ini. Karena tak selembar pun daun jatuh

tanpa sepengetahuan Tuhan maka tak absurd untuk menyamakan PN Timah dengan The Tower of

Babel di Babylonia. Sebuah analogi yang pas karena setelah membentuk provinsi baru kawasan itu

juga disebutBabel: Bangka Belitung.

Pada tahun 1987 harga timah dunia merosot dari 16.000 USD/metriks ton menjadi hanya 5.000

USD/metriks ton dan dalam sekejap PN Timah lumpuh. Seluruh fasilitas produksi tutup, puluhan

ribu karyawan terkena PHK.

Ketika berada di puncak komidi putar dulu, barangkali itu sebuah kemunafikan, seperti

halnyaBabylonia, sebab Tuhan menghukum keduanya dengan kehancuran berkeping-keping yang

meng-hinakan. Ternyata untuk musnah tak harus termaktub dalam Talmud. Tak ada firasat

sebelum-nya, Perusahaan Gulliver yang telah berjaya ratusan tahun itu mendadak lumpuh hanya

dalam hitungan malam. Maka Babel adalah inskripsi,

sebuah prasasti peringatan bahwa Tuhan telah menghancurkan dekadensi diBabyloniaseperti

Tuhan menghancurkan kecongkakan di Belitong. Segera setelah harga timah dunia turun, keadaan

diperparah oleh ditemukannya sumber suplai lain di beberapa negara, PN Timah pun megap-megap.

Orang Islam tidak diperbolehkan memercayai ramalan namun ingin rasanya mengenang mimpi

Mahar bertahun-tahun yang lalu di gua gambar tentang kehancuran sebuah kekuatan besar di

Belitong. Hari ini mimpi meracau itu terbukti.

Pemerintah pusat yang rutin menerima royalti dan deviden miliaran rupiah tiba-tiba seperti tak

pernah mengenal pulau kecil itu. Mereka mema-lingkan muka ketika rakyat Belitong menjerit

menuntut ketidakadilan kompensasi atas PHK massal. Habis manis sepah dibuang. Jargon persatuan

dan kesatuan menjadi sepi ketika ayam petelur telah menjadi mandul. Pulau Belitong yang dulu biru

berkilauan laksana jutaan ubur-ubur Ctenopore redup laksana kapal hantu yang terapung-apung tak

tentu arah, gelap, dan sendirian.

Dalam waktu singkat Gedong berada dalam status quo. Warga pribumi yang menahankan sakit hati

karena kesenjangan selama puluhan tahun, dan yang agak sedikit picik, menyerbu Gedong. Para

Polsus kocar-kacir ketika warga menjarah rumah-rumah Victoria mewah di kawasan prestisus tak

bertuan itu. Laksana kaum proletar membalas kesemena-menaan borjuis, mereka merubuhkan

dinding, menariki genteng, menangkapi angsa dan ayam kalkun, men-cabuti pagar, mencuri daun

pintu dan jendela, mencongkel kusen, memecahkan setiap kaca, mengungkit tegel, dan membawa

Tanda-tanda peringatan \"DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK\"

diturunkan dan dibawa pulang untuk dijadikan koleksi seperti cinderamata pecahan batu

tembokBerlin. Sebagian penjarah yang marah duduk sebentar di sofa besar chesterfield dan makan

di meja terracotta yang mahal, berpura-pura menjadi orang staf sebelum mereka beramai-ramai

Rumah-rumahVictoriadi kawasan Gedong, negeri dongeng tempat puri dan Cinderella bersukaria

langsung berubah menjadi Bukit Carphatian tempat kastil keluarga Dracula. Jika malam kawasan

itu gelap gulita. Pohon-pohon beringin tak lagi imut tapi kini menunjukkan karakter asli-nya

sebagai pohon tempat kaum jin rajin beranak pinak. Daunnya yang rindang memayungi jalan raya

seakan siap memangsa siapa pun yang melintas di bawahnya. Danau-danau buatan ber-ubah

menjadi habitat biawak dan tiang-tiang utama dari bangunan yang telah dijarah tampak seumpama

bangkai binatang besar atau tombak-tombak perang bangsa Troya yang panjang dan di puncak-nya

ditancapkan kepala-kepala manusia. Sekolah-sekolah PN bubar, berubah menjadi bangunan kosong

yang termangu-mangu sebagai jejak feodalisme. Kini sekolah-sekolah itu lebih cocok

menjadi lokasi shooting acava misteri. Ratusan siswa PN yang masih aktif dilungsurkan ke

sekolah-sekolah negeri atau sekolah kampung.

Rumah Kepala Wilayah Produksi PN yang berdiri amat megah seperti istana di Manggar, puncak

Bukit Samak dengan pemandangan spektakuler laut lepas dan sebuah generator listrik terbesar

seAsia Tenggara dijarah sehingga rata dengan tanah. Rumah Sakit PN yang hebat juga tak luput

dari anarkisme. Obat-obatan dihamburkan ke jalan, kursi dan meja roda dibawa pulang atau

dihancurkan. Sepintas aku masih mencium amis darah di atas brankar dan bau cairan kompres yang

tergenang dalam piring piala ginjal*, suatu bau busuk kekayaan yang dikumpulkan dalam pundipundi ketidakadilan tanpa belas kasihan pada rakyat kecil.

Bentangan kawat telepon digulung. Kabel lis-trik yang masih dialiri tegangan tinggi dikampak

sehingga menimbulkan bunga api seperti asteroid menabrak atmosfer. Kapal keruk digergaji

menjadi besi kiloan. Sebuah dinasti yang kukuh dan congkak hancur berantakan menjadi remahremah hanya dalam hitungan malam, seiring dengan itu, reduplah seluruh metafora yang mewakili

kedigdayaan sebuah perusahaan yang telah membuat Belitong dijuluki Pulau Timah.

Yang terpukul knock out tentu saja orang-orang staf. Tidak hanya karena secara mendadak

kehilangan jabatan dan hancur citranya tapi sekian lama mapan dalam mentalitas feodalistik terorganisasi yang inheren tiba-tiba menjadi miskin tanpa pelindungan sistem. Karakter terbunuh

secara besar-besaran. Verloop ke wisma-wisma timah yang mewah diJakartaatauBandungdua kali

setahun sekarang harus diganti dengan mencang-kul, memanjat, memancing, menjerat, menggali,

mendulang, atau menyelam untuk menghidupi keluarga. Anakronistis mungkin, sebab mereka

kembali hidup bersahaja seperti zaman antediluvium ketika orang Melayu masih menyembah bulan.

Karena tak terbiasa susah dan ditambah de-ngan anak-anak yang tak mau berkompromi dalam

menurunkan standar hidup sementara mereka tengah kuliah di universitas-universitas swasta mahal

membuat orang-orang staf stres berke-panjangan. Tak jarang masalah mereka berakhir dengan

stroke, operasi jantung, mati mendadak, drop out massal, dan lilitan utang. Mereka seperti orang

tersedak sendok perak. Yang tak mampu menerima kenyataan dan hidup menipu diri sendiri didera

post power syndrome, biasanya tak bertahan lama dan segera check in di Zaal Batu. Komidi

berputar berbalik arah dalam kecepatan tinggi, penumpangnya pun terjungkal.

Kehancuran PN Timah adalah kehancuran agen kapitalis yang membawa berkah bagi kaum yang

selama ini terpinggirkan, yakni penduduk pribumi Belitong. Blessing in disguise, berkah tersamar.

Sekarang mereka bebas menggali timah di mana pun mereka suka di tanah nenek moyangnya dan

menjualnya seperti menjual ubi jalar.

Saat ini diperkirakan tak kurang dari 9.000 orang bekerja mendulang timah di Belitong. Mereka

menggali tanah dengan sekop dan mendulang tanah itu dengan kedua tangannya untuk memisahkan

bijih-bijih timah. Mereka bekerja dengan pakaian seperti tarzan namun menghasilkan 15.000 ton

timah per tahun. Jumlah itu lebih tinggi dari produksi PN Timah dengan 16 buah kapal keruk,

tambang-tambang besar, dan open pit mining, serta dukungan miliaran dolar aset. Satu lagi bukti

kegagalan metanarasi kapitalisme.

Ekonomi Belitong yang sempat lumpuh pelan-pelan menggeliat, berputar lagi karena aktivitas para

pendulang. Suatu profesi yang dulu dihukum sangat keras seperti pelaku subversi.

Tahun 1991 perguruan Muhammadiyah ditutup. Namun perintis jalan terang yang gagah berani ini

meninggalkan semangat pendidikan Islam yang tak pernah mati. Sekarang Belitong telah memiliki

dua buah pesantren. Pembangunan pesantren ini adalah harapan para tokoh Muhammadiyah sejak

lama. Generasi baru para legenda K.H. Achmad Dahlan, Zubair, K.A. Abdul Hamid, Ibrahim bin

Zaidin, dan K.A. Harfan Effendi Noor lahir silih berganti. Suatu hari nanti akan ada yang

mengisahkan hidup mereka laksana sebuah epik.

Tak dapat dikatakan bahwa seluruh alumni sekolah Muhammadiyah Belitong telah menjadi

orang yang suksesapalagi secara materialnamun para mantan pengajar sekolah itu patut bangga

bahwa mereka telah mewariskan semacam rasa bersalah bagi mantan muridnya jika mencoba-coba

berdekatan dengan khianat terhadap amanah, jika mempertimbangkan dirinya merupakan bagian

dari sebuah gerombolan atau rencana yang melawan hukum, dan jika membelakangi ayat-ayat

Allah. Itulah panggilan tak sadar yang membimbing lurus jalan kami sebagai keyakinan yang

dipegang teguh karena bekal dari pendidikan dasar Islam yang tangguh di sekolah miskin itu.

Perasaan beruntungku karena didaftarkan ayahku di 5D miskin itu puluhan tahun lalu terbukti dan

masih berlaku hingga saat ini.

Fondasi budi pekerti Islam dan kemuham-madiyahan yang telah diajarkan padaku menggema

hingga kini sehingga aku tak pernah berbelok jauh dari tuntunan Islam bagaimanapun ibadahku

sering berfluktuasi dalam kisaran yang lebar. Sepanjang pengetahuanku tak ada mantan warga

Muham-madiyah yang menjadi bagian dari sebuah daftar para kriminal, khususnya koruptor. Pesan

Pak Harfan bahwa hiduplah dengan memberi sebanyak-banyaknya, bukan menerima sebanyakbanyaknya terefleksi pada kehidupan puluh-an mantan siswa Muhammadiyah yang kukenal dekat

secara pribadi. Mereka adalah tipikal orang yang sederhana namun bahagia dalam kesederhanaan

Pak Harfan dan mantan pengajar perguruan Muhammadiyah hingga kini tak pernah berhenti

mendengungkan syiar Islam. Mereka bangga memikul takdir sebagai pembela agama. Bu Mus dan

guru-guru muda Muhammadiyah mendapat kesem-patan dari Depdikbud untuk mengikuti kursus

Pendidikan Guru (KPG) lalu diangkat menjadi PNS. Bu Mus sekarang mengajar Matematika di SD

Negeri 6 Belitong Timur. Beliau telah menjadi guru selama 34 tahun dan mengaku tak pernah lagi

menemukan murid-murid spektakuler seperti Lintang, Flo, dan Mahar.

AKUbangga duduk di sini di antara para panelis, yaitu para budayawan Melayu yang selalu

menimbulkan rasa iri. Sebuah benda segitiga dari plastik di depanku menyatakan eksistensiku:

Syahdan Noor Aziz Bin

Aku terutama bangga pada sahabat lamaku Mahar Ahlan bin Jumadi Ahlan bin Zubair bin Awam,

cicit langsung tokoh besar pendidikan Belitong, Zubair. la meluncurkan bukunya hari ini. Sebuah

novel tentang persahabatan yang sangat indah. Ketika ia memintaku menjadi panelis, aku langsung

setuju. Aku mengambil cuti di antara kesibukanku diBandungsekaligus pulang kampung ke

Di antara hadirin ada Nur Zaman dan guruku, Bu Mus serta Pak Harfan.Adapula Kucai, sekarang

ia adalah Drs. Mukharam Kucai Khairani, MBA dan selalu berpakaian safari. Dulu di kelas otaknya

paling lemah tapi sekarang gelar akademiknya termasuk paling tinggi di antara kami. Nasib

Kucai selalu berpakaian safari karena cita-citanya untuk menjadi anggota dewan rupanya telah

tercapai. la telah menjadi politisi walaupun hanya kelas kampung. la menjadi seorang ketua salah

satu fraksi di DPRD Belitong. Kucai sangat progresif. la bertekad menurunkan peringkat korupsi

bangsa ini dan ia geram ingin membongkar perilaku eksekutif yang sengaja membuat struktur baru

guna melegalisasi skenario besar, yaitu merampoki uang rakyat. Bersama Mahar ia juga berniat

mengem-balikan nama-nama daerah di Belitong kepada nama asli berbahasa setempat. Nama-nama

itu selama masa orde baru dengan konyol dibahasaIndonesiakan. Proyek prestisius mereka lainnya

adalah mematenkan permainan perosotan dengan pelepah pinang.

Tapi lebih dari semua itu aku rindu pada Ikal. Kasihan pria keriting yang pernah jadi tukang sortir

itu. Kelelahan mencari identitas, insomnia, dan terobsesi dengan satu cinta telah membuatnya agak

senewen. Kabarnya ia hengkang dari kantor pos lalu mendapat beasiswa untuk melanjutkan

pendidikan. Barangkali untuk tujuan sebenarnya: membuang dirinya sendiri.

Setelah acara peluncuran buku, aku, Nur Za-man, Mahar, dan Kucai mengunjungi ibu Ikal untuk

bersilaturahmi sekalian menanyakan kabar anaknya di rantau orang. Ketika bus umum yang kami

tumpangi melewati pasar Tanjong Pandan, aku melihat seorang pria yang sangat gagah seperti

seorang petinggi bank atau seperti petugas asuransi dariJakartayang sedang mengincar asuransi aset

di provinsi baruBabel.

Pria itu bercelana panjang cokelat teduh se-nada dengan warna ikat pinggangnya. Kemejanya jatuh

menarik di tubuhnya yang kurus tinggi dengan bahu bidang. Postur yang disukai para perancang

mode. Sepatu pantofelnya jelas sering disemir. Rambutnya lurus pendek disisir ke belakang.

Kulitnya putih bersih. Tak berlebihan, ia seperti Adrien Brody!

Sayangnya barang bawaannya sama sekali tak sesuai dengan penampilan gagahnya. Ia menenteng

plastik kresek be-lanjaan, ikatan daun saledri, kangkung, kardus, dan alat-alat dapur. Ia berjalan

tercepuk-cepuk mengikuti seorang ibu di depannya. Meskipun sangat repot dan kepanasan ta-pi ia

berseri-seri. Aku kenal pria ganteng itu, iaTrapani. Tahun lalu aku mendengar cerita pertemuannya

dengan Ikal di Zaal Batu. Ia mengalami kemajuan dan diizinkan pulang. Aku tak memberi tahu Nur

Zaman, Mahar, dan Kucai. Aku memandang ibu dan anak itu berjalan beriringan sampai jauh. Air

mataku mengalir. Nur Zaman, Mahar, dan Kucai tak tahu.

Aku terkenanglimabelas tahun yang lalu. Setelah tamat SMA, aku, Ikal,Trapani, dan Kucai

memutuskan untuk merantau mengadu nasib ke Jawa. Hari itu kami berjanji berangkat dengan

kapal barang dari Dermaga Olivir. Tapi sampai

soreTrapani tak datang. Karena kapal barang hanya

berangkat sebulan sekali maka terpaksa kami berangkat tanpa dia. Pada saat itu

rupanyaTrapanitelah mengambil keputusan lain. la tak datang ke dermaga karena ia tak mampu

meninggalkan ibunya. Setelah itu kami tak pernah mendengar kabarTrapani.

Sekarang kami duduk di beranda sebuah rumah panggung kuno khas Melayu, rumah ibu Ikal.

\"Bagaimana kabarnya si Ikal itu, Ibunda?\" ta-nya Mahar kepada ibu Ikal.

Ibu tua berwajah keras itu awalnya tadi sa-ngat ramah. Beliau menyatakan rindu kepada kami,

namun demi mendengar pertanyaan itu beliau menatap Mahar dengan tajam.

Mahar tersenyum kecut. Wajah ibu Ikal keli-hatan kecewa berat. Beliau diam. Tangannya

memegang sebilah pisau antip, mencengkeramnya dengan geram sehingga dua butir pinang terbelah

dua tanpa ampun. Salah satu belahan pinang jatuh berguling dan terjerumus di antara celah lantai

papan lalu diserbu ayam-ayam di bawah rumah, beliau tak sedikit pun peduli.

Si pemimpi itu pasti sudah bikin ulah lagi. Ma-har sedikit menyesal mengungkapkan pertanyaan

Ibu Ikal meramu tembakau, pinang, kapur sirih, dan gambir yang bertumpuk-tumpuk di dalam

kotak tembaga yang disebut keminangan. Lalu dua lembar daun sirih dibalutkan pada ramuan tadi

sehingga menjadi bola kecil. Beliau menggigit bola kecil itu dengan geraham di sudut mulutnya

seperti orang ingin memutuskan kawat dengan gigi, bersungut-sungut, dan bersabda dengan tegas:

\"Terakhir ia mengirimiku sepucuksuratdan diselipkannya selembar foto dalam suratnya itu.\"

Beliau meludahkan cairan merah yang terbang melalui jendela rumah panggung sambil melilitkan

jilbabnya dua kali menutupi dagunya sehingga seperti cadar. Beliau jelas sedang marah.

\"Rupanya dia dan kawan-kawannya sedang mengikuti semacam festival seni mahasiswa.

Wajahnya di foto itu di-coreng-moreng tak keruan tapi dia sebut itu seni?!!11

Kami menunduk tak berani berkomentar.

\"Menurutnya itu seni lukis wajah, ya seni lukis wajah, apa itu... gotik! Ya gotik! Dia sebut itu seni

lukis wajah gotik! Dan dia sangat bangga pada coreng-morengnya itu!\"

Beliau menghampiri kami yang duduk tertunduk melingkari meja tua batu pualam. Kami pun ciut.

\"Bukan main anak muda Melayu zaman seka-rang!!!\"

Ibu Ikal mengepalkan tinjunya, kami ketakut-an, beliau mengacung-acungkan pisau antip, kami tak

berkutik, suara beliau meninggi

\"Dia sebut itu seni??? Ha! Seni!! Barangkali dia ingin tahu pendapatku tentang seninya itu!!!\"

Beliau benar-benar muntab, murka tak terkira-kira. Untuk kedua kalinya beliau menyemburkan

cairan merah sirih melalui jendela seperti anak-anak panah yang melesat.

\"Pendapatku adalah wajahnya itu persis benar dengan wajah orang yang sama sekali tidak pernah

Demi mendengar kata-kata itu Kucai yang te-ngah memamah biak sagon tak bisa menguasai diri.

Dia berusaha keras menahan tawa tapi tak berhasil sehingga serbuk kelapa sagon terhambur ke

wajah Mahar, membuat jambul pengarang berbakat itu kacau balau. Kucai berulang kali minta maaf

pada ibu Ikal, bukan pada Mahar, tapi wajahnya meng-angguk-angguk takzim menghadap ke Nur

Dul Muluk:sandiwara orang Melayu, dipentaskan seperti ketoprak tapi pakemnya berbabak-babak,

dalam Dul Muluk tak ada unsur musik sebagai bagian dari dramatisasi sandiwara. Temanya selalu

tentang sesuatu yang berhubungan dengan kerajaan. Dul Muluk disebut Demulok dalam dialek

Belitong atau sekadar Mulok saja.

Filicium (Filicium decipiens; fern tree;pohon kere/kiara/kerai payung; Ki Sabun): pohon yang

termasuk familia Sapindaceae, disebut Ki Sabun karena seluruh bagian tubuhnya mengandung

saponin atau zat kimia yang menjadi salah satu bahan dasar sabun. Pohon peneduh ini termasuk

salah satu jenis pohon yang dapat mengurangi polusi udara sampai 67%.

Keramba:keranjang atau kotak dari bilah bambu untuk membudidayakan ikan yang diletakkan di

pinggir pantai, sungai, danau, atau bendungan; atau keranjang untuk mengangkut ikan,

bentuknya lonjong, terbuat dari anyaman bambu dengan kerangka kayu, biasanya berlapis ter

Kopra:daging buah kelapa yang dikeringkan untuk membuat minyak kelapa.

Tercepuk-cepuk: istilah daerah untuk menggam-barkan cara jalan yang terpincang-pincang/

Antediluvium:masa sebelum diluvium (zaman pleistosen).

Burungpelintangpulau: agaknya berada dalam keluarga betet dan bayan penampilannya seperti itu,

selebihnya misterius.

Bushman: suku yang hidup di dataran bersemak-semak dan belukar di sabana-sabana Afrika (push

dalam bahasa Inggris berarti semak/belukar). Nama

itu didapat dari antropolog Prancis. Suku ini terangkat pamornya karena film God Must be

Crazy, wajah dan sifat mereka polos dan lugu.

Cemara angin:salah satu jenis cemara (Casuarina eqnisetifolia)

yang penampakannya sangat seram, tinggi meranggas, sekeras batu. Entah menanggung karma apa

jenis cemara ini karena sering sekali disambar petir, tapi mungkin karena ada unsur medan magnet

di dalamnya. Daunnya jika ditiup angin kadang-kadang berbunyi seperti siulan, mungkin ini yang

menyebabkan orang menamainya cemara angin.

Crinum giganteum: jenis crinum yang paling besar (kata giganteum berasal dari kata gigantic

yang berarti raksasa). Umumnya setiap bunga crinum mengeluarkan aroma seperti aroma vanili.

Di dunia terdapat tidak kurang dari 180 jenis crinum,

banyak ahli yang menganggap ia masuk dalam familia lily, lebih tepatnya

parennial lily, karena warnanya yang putih dan bentuknya yang mirip

bunga tersebut. Tapi ada juga ahli yang tidak sependapat, karena jika dilihat dari jenis crinum

raw a (swamp crinum atau Crinum asiaticum) yang beracun, penampilannya jauh benar dibanding

Ketapang (Terminalia catapa):pohon besar yang berdaun lebar dan buahnya bertempurung keras.

Kulit buahnya dipakai untuk menyamak kulit dan bijinya dapat dibuat minyak. Pohon ini banyak

sekali tumbuh di daerah pinggir laut.

Lintang:bahasa Jawa, berarti bintang.

Nebula:sekelompok bintang di langit yang tampak sebagai kabut atau gas pijar bercahaya.

Nipah (Nipa fruticans):palem yang tumbuh merumpun dan subur di rawa-rawa daerah tropis,

menyerupai pohon sagu, tingginya mencapai 8 meter, daunnya digunakan untuk bahan atap, tikar,

keranjang, topi, dan payung. Nira dari sadapan perbungaannya digunakan untuk pembuatan gula

Pilea/bunga meriam (Pilea microphyllaatau artillery plant): tanaman ini berbentuk menyerupai

pakis, dengan daun-daun hijau yang mungil. Daunnya mengandung tepung sari yang pada musim

kemarau akan menebal dan jika terkena percikan air, tepung sari tersebut akan terlontar, atau seperti

meledak sehingga disebut bunga meriam.

Atap sirap:Atap yang dibuat dari kayu ulin (Eusideroxy/on zwageri), sebagian orang menye-butnya

kayu besi atau kayu belian. Ulin sirap secara alamiah berupa pohon yang batangnya seperti

berlapis-lapis sehingga begitu dibelah langsung rata menyerupai tripleks atau papan tipis. Langkah

selanjutnya tinggal memotong-motong ulin sirap sesuai dengan ukuran yang dikehendaki dan siap

digunakan untuk atap rumah. Kayu ulin sirap yang berusia tua sudah semakin sulit diperoleh karena

penebangan hutan yang tidak terkendali. Sekarang ini penggunaan atap sirap sudah semakin langka,

namun masih bisa dilihat misalnya gedung asli ITB di Bandung.

Tionghoa kebun:sebuah julukan di masyarakat Melayu untuk orang-orang Tionghoa yang tidak

berdagang seperti kebanyakan profesi komunitas-nya, melainkan berkebun untuk mencari nafkah.

Kebanyakan kehidupannya kurang beruntung diban-dingkan saudara-saudaranya yang berdagang,

sehingga julukan Tionghoa kebun identik dengan kemiskinan.

Lais (Tandarus furcatus):tanaman semacam pandan tapi berduri, anyaman daunnya digunakan

untuk membuat topi kerucut, karung, dan tas.

Aichang:dahan-dahan, ranting, dan dedaunan yang digunakan untuk menyumbat sela-sela kiaw

agar aliran air tidak bocor.

Aluvium:lempung, pasir halus, pasir, kerikil, atau butiran lain yang terendapkan oleh air mengalir;

zaman geologi yang paling muda dari zaman kuarter atau zaman geologi yang sekarang.

Bangsa Lemuria:seperti Pompeii yang dilanda bencana terus punah, Lemuria dianggap bangsa

berbudaya tinggi yang ada di wilayah Samudra Pasifik. Hilang secara misterius dan sebagian

arkeolog menganggap Lemuria hanya mitos.

Galena:mineral yang terdiri atas unsur plumbum (Pb) dan sulfur (S), berbentuk seperti bijih timah,

Granit:batuan keras yang berwarna keputih-putihan dan berkilauan.

Hematit:bijih besi yang berwarna merah kehitaman; Fe203

Ilmenit:mineral yang bentuknya persis bijih timah, yaitu berupa pasir, berwarna hitam, tapi sangat

ringan, sementara bijih timah amat berat. Berat segenggam timah seperti segenggam besi,

sedangkan segenggam ilmenit lebih ringan daripada segenggam pasir, sehingga ilmenit disebut juga

timah kosong. Ilmenit banyak sekali berada di lapisan aluvium yang dangkal. Sekian lama tak

dipedulikan karena dianggap tak berharga sampai seorang ilmuwan Australia menemukan bahwa

ilmenit merupakan bahan yang nyaris sempurna untuk produk-produk antipanas tinggi.

Kaolin:tanah liat yang lunak, halus, dan putih, terjadi dari pelapukan batuan granit, dijadikan

bahan untuk membuat porselen atau untuk campuran membuat kain tenun (kertas, karet, obatobatan, dan sebagainya); tanah liat Cina.

Khaknai:lumpur yang akan dibuang setelah bijih-bijih timah dipisahkan dari lumpur tersebut.

Kiaw:kayu-kayu bulat sepanjang dua atau tiga meter sebesar lengan laki-laki dewasa yang

digunakan untuk membuat phok.

Knautia (widow flower):tanaman ini diyakini hanya hidup di daerah tropis, karena susah tumbuh

jika terlindung dari sinar matahari. Bunganya bertangkai kurus, kelopaknya menyerupai daun-daun

kecil dan berwarna merah menyala.

Kuarsa: mineral penyusun utama dalam pasir, batuan, dan berbagai mineral, bersifat lebih tembus

cahaya ultraungu daripada kaca biasa sehingga banyak digunakan dalam alat optik; silika.

Monazite: fosfat berwarna cokelat kemerahan,

mengandung logam bumi yang langka dan merupakan sumber penting dari

thorium, lanthanum, dan cerium. Biasanya berupa kristal-kristal kecil yang terisolasi.

Phok:tanggul air yang dibuat oleh penambang dalam instalasi penambangan timah tradisional.

Senotim:berada pada lapisan aluvium, berbentuk butir-butir pasir berwarna kekuning-kuningan

dengan kandungan utama fosfat, thorium, dan yttrium. Mineral ini juga mengandung unsur

radioaktif, namun masih bisa ditoleransi karena kadarnya sangat rendah.

Siderit:mineral besi karbonat alamiah, lazim diperoleh dari meteor.

Silika:mineral terbesar dari pasir dan batu pasir; Si02; kristal; hablur.

Tanah ulayah:tanah hutan yang diwariskan turun-temurun (sudah menjadi milik orang/adat) tapi

Titanium:logam berwarna kelabu tua dan amorf; unsur dengan nomor atom 22, berlambang Ti.

Logam ini sangat ringan dan kuat.

Topas:batu permata berwarna macam-macam (kuning, cokelat, kemerah-merahan, tidak ber-warna,

dan sebagainya); aluminium silikat dengan berbagai campuran.

Trickle down effect:teori ekonomi yang menyebutkan bahwa keuntungan finansial dan lainnya

yang diterima oleh bisnis besar secara bertahap akan menyebar menjadi keuntungan seluruh

Zirkonium:logam tanah langka, berwarna putih perak kristalin atau kelabu amorf, tahan terhadap

korosi, lambang kimia Zr.

Caesar salad:salad yang dibuat dari campuran lettuce (daun dari tanaman serupa kol yang berwarna

putih kehijauan, lebar, dan renyah), croutons (roti tawar kering berbentuk dadu), keju parmesan,

dan anchovy (semacam ikan teri yang diasinkan), dengan bumbu (dressing) berbahan dasar telur.

Namanya diambil dari Caesar Gardini, pemilik sebuah restoran di Tijuana, Meksiko, yang konon

pertama kali menemukannya.

Cappuccino:minuman yang merupakan campuran dari kopi espresso dan susu panas yang berbusa,

kadang ditaburi bubuk kayu manis atau cokelat.

Chicken cordon bleu:ayam yang diisi dengan gulungan daging asap dan keju dan digoreng dengan

Chyisis (baby orchid): anggrek ini sepintas menyerupai catteiya, tapi bunganya lebih tebal dan

berlilin. Sepal dan petalnya lebar dan luas, labelumnya berdaging tebal dan berlilin. Daunnya

tersusun seperti kipas dan berbaris di sepanjang pseudobulbnya. Spesiesspesiesnya memiliki warna yang berbeda-beda: putih-kuning, putih dengan

ujung ungu, kuning kecokelatan, kur\\\

\\g-peachdengan setrip merah di labelumnya.

Culdesac: jalan yang tertutup di salah satu ujungnya, biasanya untuk di kawasan permukiman

Mannequin Piss:nama sebuah patung yg sangat terkenal, merupakan landmark berusia ratusan

tahun yang terletak di sebuah persimpangan kecil di pusat Kota Brussel, Belgia. Legendanya,

zaman dahulu ketika terjadi sebuah kebakaran hebat warga diselamatkan oleh seorang malaikat

yang berkemih. Patung-patung kecil menyerupai Manne-quin Piss banyak diproduksi dan

digunakan sebagai hiasan di air mancur.

Nymphaea caerulea(seroja biru; tunjung biru; the blue waterlily; blue lotus; egyptian lotus; Sacred

Narcotic Lily of the Nile)', jenis lotus air berwarna biru nan cantik. Dipercaya telah digunakan oleh

bangsa Mesir kuno sebagai obat dan pelengkap ritual. Bunga yang dikeringkan terkadang diisap

seperti rokok untuk menimbulkan efek sedatif ringan.

Plum:buah kecil bulat berwarna ungu gelap kemerahan dengan kulit licin. Berasal dari pohon plum,

yang satu genus (Prunus) dengan buah persik (peach), ceri, aprikot, dan Iain-Iain. Buah plum

mengandung antioksidan, vitamin C dengan kadar

sangat tinggi, rasanya asam, berair, dan bisa dimakan segar atau dibuat selai dan prunes

PumpkindanGorgonzola soup: sup labu yang dicampur dengan Gorgonzola (keju biru Italia yang

lembap dengan rasa yang kuat).

Saga (Adenanthera microsperma):Ada dua macam saga, yaitu saga pohon dan saga rambat. Saga

pohon biasa disebut saga saja, pohonnya bisa tumbuh sangat besar seperti be-ringin dan berbuah

keras, kecil, dan berwarna merah berkilap. Tum-buhan ini termasuk suku polong-polongan

(Papilio-caceae), berdaun majemuk menyirip ganjil, bunga-nya berwarna merah.

Snooker bar:tempat bermain snooker, yaitu sebuah variasi dari permainan biliar, yang dimainkan di

atas meja berlapis kain laken yang memiliki 6 kantung berbukaan bundar (4 di tiap sudut dan 2 di

tengah sisi panjangnya). Permainan ini meng-gunakan sebuah tongkat panjang (cue), satu bola putih

(cue ball), 15 bola merah, serta 6 bola warna lainnya (merah muda, hijau, cokelat, biru, kuning, dan

hitam). Permainan ini sangat populer di Inggris dan negara-negara yang pernah menjadi bagian dari

Tainia shimadai (azalea orchid):anggrek ini memiliki sepal berwarna kuning, cokelat kehijauan,

atau cokelat. Labelumnya berwarna kuning dengan bercak-bercak merah cokelat kecil di kedua

sisinya, dengan ujung depan terbelah tiga. Tainia banyak hidup di pegunungan yang dingin dan

lem-bap. Namanya berasal dari kata Vunani, \"tainia\" yang berarti fillet, karena daunnya yang

panjang dan sempit dengan tangkai daun yang panjang.

Teh Earl Grey: teh khas Inggris yang menggunakan bergamot sebagai campuran, sehingga menghasilkan warna seduhan yang lebih muda dengan rasa yang musky. Konon nama tersebut diambil

dari Charles Grey, yaitu Earl Grey kedua (1764-1845), seorang negarawan dan mantan perdana

Vitello alia Provenzale:masakan Italia, terbuat dari daging sapi muda (umumnya berusia 18-20

bulan) yang dimasak (di-stew) dengan tomat dan bumbu-bumbu lain.

Yuka:sebutan untuk pekerjaan terendah, jika di PN Timah pekerjaan itu adalah menjahit karung

timah yang bersifat musiman dan borongan.

Entok:itik yang dipelihara sebagai pengeram yang baik, terutama untuk mengerami telur bebek

yang tidak dapat dierami induknya sendiri, suaranya berdesis; itik manila; itik surati.

Gangan:nama semacam sayuran dengan bumbu kunir, bisa dimasak bersama daging (gangan

daging) atau ikan (gangan ikan).

Ikangabus (Ophiocephalus sthatus): ikan air tawar, bentuknya seperti ikan lele, tetapi tidak

berpatil; ikan aruan.

Jadam: getah dan semacam pohon yang hanya tumbuh di Arab, dibentuk seperti kapur, dan

berwarna hitam. Bila ada yang menderita sakit, misalnya memar di tulang rusuk, maka jadam

tersebut dikikis, dicampur air, dan diminum.

Bondol peking (Lonchura punctulata; scaly -breasted Munia; Nutmeg Mannikin; Spice Finch):jenis

bondol (Munia maja: burung kecil pemakan biji yang berkepala putih, pipit uban; emprit kaji) yang

setelah dewasa akan memiliki ciri: berparuh pendek, tebal, dan gelap, berpunggung cokelat,

berkepala cokelat gelap, dengan dada berbercak putih dan hitam atau cokelat. Panjang tubuhnya

sekitar 11-12 cm. Burung muda memiliki punggung yang lebih pucat, kepala lebih terang, dan dada

yang berwarna krem kekuningan.

Bubu:alat untuk menangkap ikan yang dibuat dari saga atau bambu yang dapat dianyam, dipasang

dalam air sehingga ikan dapat masuk tapi tidak bisa keluar lagi.

Burung matahari:burung kecil, berdada kuning, dengan sayap berwarna hitam, bentuk tubuhnya

seperti kolibri, dan ia pemakan sari bunga.

Cinenen kelabu (Orthotomus sepium; Ashy Tailorbird; Olive -backed Tailorbird): burung kicau

kecil (sekitar 13 cm) berwarna kelabu, dengan campuran warna hitam pada sayapnya, merah pada

bagian kepala, dan kuning pada dada. Burung ini memiliki sayap yang pendek dan membulat, ekor

pendek yang tegak, kaki yang kuat, serta paruh yang panjang dan melengkung. Nama tailorbird

diambil dari cara mereka membangun sarang menjahit tepian beberapa daun besar menjadi satu

dengan serat tanaman atau sarang laba-laba sehingga menjadi semacam kantung tempat sarang

rumput yang sesungguhnya dibangun.

Gay am (Inocarpus edulis):pohon yang daunnya lebat dan dapat dipakai sebagai pembungkus,

biasanya tumbuh di daerah yang banyak air. Buah pohon ini enak dimakan biasanya orang Melayu

merebusnya dan menyajikannya bersama kelapa parut, asal jangan digoreng, karena buah tersebut

akan mengeras seperti batu.

Gelatik (Munia oryzivora):burung pipit, bulunya berwarna abu-abu, berparuh merah, berbadan

Jalak (Sturnupostor jala)\\burung beo kecil, bulunya hitam, kaki dan paruhnya berwarna kuning.

Jalak biasa:jalak yang berparuh hitam.

Jamur telur:jamur kecil yang tumbuh di sembarang tempat, beracun.

Kertas kajang:kertas minyak berwarna merah, biru, kuning, biasa dibuat layangan.

Madu sepah:burung kecil dengan punggung berwarna merah dan paruh lancip.

Markacite: berbentuk batangan-batangan kecil kisut berwarna abuabu. Juga mengandung plum bum dan sulfur, namun kadarnya berbeda dengan phyrite .

Ornitologi: ilrnu pengetahuan tehtang burung, termasuk deskripsi dan klasifikasi, penyebaran, dan

P a rkit (Psitacula passerina; parakeet): b u ru n g bayan kecil, berbulu cerah (biasanya bertubuh

hijau, berkepala kuning, dan bermuka oranye), berekor panjang dan lancip, berukuran sekitar 30

cm. Burung jenis ini sekarang sudah semakin langka, dulunya mereka ditembaki karena dianggap

sebagai hama di perkebunan buah.

Peneng sepeda:pajak sepeda berupa semacam perangko yang ditempelkan di sepeda.

Phyrite:Mineral yang berbentuk seperti kristal, mengandung unsur sulfur (S) dan plumbum (Pb).

Dapat memengaruhi keasaman air.

Trapeze:artinya tongkat horizontal yang terikat pada dua lajur tali yang tergantung secara paralel,

digunakan untuk sebuah nomor dalam senam indah atau dalam permainan akrobat di sirkus.

Ungkut-ungkut (Coppersmith barbet; Megalaema haema)'. burung yg agak ke hijauhijauan pada punggungnya, dada berwarna putih.

Vessel board:adalah alat sambung komunikasi model lama yang ditunggui seorang operator. Jika

ada panggilan telepon maka operator ini akan menyambungkan kawat-kawat pada sebuah papan

yang penuh lubang saluran telekomunikasi.

Wasserij: (baca: wasray), bhs. belanda, tempat pencucian. Timah wasserij adalah timah yang telah

Andromeda:nama untuk konstilasi terbesar di belahan bumi utara yang terletak persis di selatan

dari konstilasi Cassiopeia dan di utara konstilasi Perseus. Tidak ada bintang di Andromeda

melainkan tempat beradanya Galaksi Andromeda, yaitu salah satu anggota dari kelompok yang

sama dengan Galaksi Bimasakti (Milky Way) kita.

Jawi (Ficus rhododendrifoiia):pohon sejenis beringin tapi kecil yang banyak sekali akar tunjangnya

dan biasanya tumbuh di tepi telaga atau sungai.

Kumpai (Panicum stagninum):rumput (gelagah), tumbuh di paya-paya, hijau, mengambang di atas

Musim selatan:sebutan orang Melayu untuk sekitar bulan April-Mei, di saat tiupan angin lebih

tenang. Berlawanan dengan musim barat yang dingin dan berangin (di saat nama bulan berakhiran

dengan suku kata \"-ber\").

Triangulum:konstilasi kecil di belahan bumi selatan yang berada di dekat Aries dan Perseus.

Zaman Cretaceous:istilah geologi untuk menyebutkan masa setelah zaman Mesozoic

berakhir, yaitu sekitar 65 sampai 144 juta tahun yang lalu. Bumi mulai menghangat pada masa ini,

beberapa genus reptilia besar mulai punah pada akhir zaman ini, sementara jenis flora yang masih

ada sampai sekarang mulai tumbuh (seperti pohon eik dan maple).

Auriga:konstelasi berbentuk layangan di langit sebelah utara. Bintang yang terbesar dalam

konstelasi ini adalah Capella. Bintang-bintang di dalam Auriga kebanyakan merupakan bintang

biner, yaitu sepasang bintang yang berputar mengelilingi pusat massa. Auriga mencapai titik

tertingginya pada bulan Juni dan dapat terlihat dari belahan bumi utara dan sebelah utara belahan

Gurindam:sajak dua baris yang mengandung petuah atau nasihat (misalnya: baik-baik memilih

kawan, salah-salah bisa jadi lawan).

Andante:tempo musik yang agak lambat, lebih pelan daripada moderate tapi lebih cepat daripada

adagio. Berasal dari bahasa Italia yang berarti \"berjalan\". Jika ditambah dengan \"maestoso\" maka

berarti tempo tersebut harus dimainkan dengan berwibawa.

Linaria (toadflax; butter-and-eggs)\

ama genus untuk tanaman liar yang memiliki bunga

bergerombol (ada yang tegak, ada yang merayap di atas tanah) yang umumnya berwarna menyala

kuning pucat-oranye (spesies lain ada yang berwarna ungu, biru, merah, putih) dan daun-daun yang

kecil. Bunganya berbentuk tabung sempit yang terbelah di ujungnya sehingga membentuk bibir atas

(disebut hood atau kerudung/topi) dan bibir bawah yang kecil dan berwarna lain. Tanaman ini

disebut toadflax karena jika bunganya ditekan sisinya, ia akan berbentuk seperti katak (toad) yang

sedang membuka mulut.

Perenjaksayap garis (Prinia familiaris; Barwinged Prinia)'.burung kecil pemakan serangga,

berwarna kelabu, memiliki sayap pendek bergaris-garis dan ekor yang panjang lentik seperti murai

batu. Paruhnya tipis dan agak melengkung. Habitat burung ini adalah di tempat terbuka seperti

Thistle crescent (Vanessa cardui; painted lady, thistle butterfly, cosmopolite)',jenis kupu-kupu yang

mungkin pa-ling luas persebarannya dan paling banyak dijumpai di seluruh dunia. Kupu-kupu ini

hidup di daerah yang terbuka dan terkena cahaya matahari terutama taman, lapangan, dan tanah

kosong. Sayapnya berwarna oranye atau merah kecokelatan dengan bercak dan tepian hitam,

sementara permukaan bawahnya biasanya ber-warna merah muda dengan corak putih dan hitam.

Sayap belakangnya biasa-nya memiliki corak seperti mata yang berwarna biru. Kupu-kupu ini

hidup dari nektar bunga thistle (tanaman dengan batang dan daun berduri, dengan braktea bunga

yang lancip-lancip seperti duri, biasanya berwarna ungu), aster, dan red clover (sejenis semanggi).

Cymbal:alat musik berupa dua piring kuningan yang diadu.

Eureka:istilah yang digunakan untuk mengeks-presikan keberhasilan dalam menemukan sesuatu

atau memecahkan suatu masalah. Dari kata Vunani \"heurgka\" yang secara harfiah berarti \"aku telah

menemukan(nya)\", konon diucapkan oleh Archi-medes saat ia berhasil menemukan hukum berat

Paleontologi:ilmu tentang fosil (binatang dan tumbuhan).

Sekstan:alat untuk mengukur sudut astronomis yang meliputi seperenam lingkaran (60°) untuk

menentukan posisi kapal di laut).

Colias crocea (Pure clouded yellow):kupu-kupu dengan warna dasar kuning-jingga, dengan tepian

luar sayap berwarna gelap bersetrip kuning di atas pembuluh darahnya. Habitat kupu-kupu ini

adalah di stepa, lembah, dan lereng yang kering.

Colias myrmidone (Danube clouded yellow)',mirip dengan C. Crocea, juga memiliki tepian

berwarna gelap, namun tanpa pembuluh-pembuluh kuning. Habitatnya di daerah stepa dan hutanstepa dengan pepohonan yang renggang, biasanya pinus.

Papilio blumei:kupu-kupu dari jenis swallowtail (dicirikan dengan \"ekor\" di ujung bawah

sayapnya) yang berukuran cukup besar (sekitar 12 cm lebar dan 10 cm panjang). Sayapnya yang

berwarna hitam begitu kontras dengan strip biru hijau sehingga memberinya tampilan yang sangat

eksotis. Konon ditemukan di Taman Nasional Bantimurung di Maros, Sulawesi Selatan, dan diberi

nama ber-dasarkan nama panggilannya, Belu, dan bulan penemuannya, Mei.

Pohon santigi:pohon langka yang biasanya tumbuh di daerah pantai. Pohon ini bisa dibonsai seperti

beringin dan harganya mencapai jutaan rupiah. Konon termasuk pohon keramat dan kayunya

banyak dicari karena diyakini dapat menolak santet atau bisa menjadi gagang keris atau tombak

Shaman:pemimpin spiritual, seseorang yang bertindak sebagai perantara antara wilayah fisik dan

wilayah spiritual, dan yang dipercaya memiliki kekuatan tertentu seperti kemampuan meramal dan

Pinang (Areca catechu):tumbuhan berumpun, berbatang lurus seperti lilin, tangkai daun yang

melekat pada batangnya berbentuk seperti lembaran kulit, buah yang tua berwarna kuning kemerahmerahan untuk kawan makan sirih.

Pohon kepang (Aquilaria malaccensis):pohon yang kulitnya bisa dijadikan tali.

Antip kuku:istilah orang Melayu untuk menyebut alat pemotong kuku.

Burung ayam-ayam (Gallierex cinerea)'.unggas yang serupa ayam, berkaki panjang, tidak kuat

terbang, biasa hidup di tambak atau di rawa-rawa.

Petunia:tanaman terna (tumbuhan dengan batang lunak tidak berkayu atau hanya mengandung

jaringan kayu sedikit sekali sehingga pada akhir masa tumbuhnya mati sampai ke pangkalnya

tanpa ada batang yang tertinggal di atas tanah) dari famili Solanaceal, tingginya antara 16-30 cm,

batangnya lengket, bunganya berbentuk kerucut seperti corong, ada yang bermahkota tunggal dan

ada pula yang bermahkota ganda dengan warna yang bervariasi (merah, putih, kuning pucat, biru,

Pohon angsana (Pterocarpus indica):pohon yang bunganya berwarna kuning dan berbau jeruk,

kulitnya dapat dimanfaatkan sebagai obat, kayunya digunakan untuk pembuatan alat-alat rumah

tangga, bahan bangunan, kerajinan tangan, dan Iain-Iain.

Pohon medang (Cinnamomum porrectum);pohon gadis; kayu lada; madang loso; medang sahang;

kisereh; kipedes; selasihan; marawali; merang; parari; pelarah; peluwari; palio): salah satu jenis

suku Lauraceae, yang kulit dan kayunya berbau harum. Pohon ini berukuran sedang hingga besar

dengan ketinggian bisa mencapai 35-45 meter. Batang pohonnya bundar, lurus, dan umumnya tidak

berbanir (banir: akar yang menganjur ke luar menyerupai dinding penopang pohon, seperti pada

beringin). Permukaan kulit batang berwarna kelabu atau kelabu cokelat sampai krem, serta beralur

dangkal merapat dan mengelupas kecil-kecil. Bagian kulit dalam pohon ini cokelat kemerahan, dan

makin ke dalam menjadi merah muda atau putih. Pohon ini

termasuk beruntung karena banyak dilestarikan oleh pen-duduk yang memanfaatkan kulitnya

sebagai sumber nafkah (meskipun seperti juga banyak jenis pohon lain, kayu pohon medang

sebenarnya bisa digunakan untuk bahan bangunan, kayu lapis, mebel, lantai, dinding, kerangka

pintu dan jendela, dan sebagainya). Kulit kayu medang merupakan bahan baku racun nyamuk bakar

dan gaharu (hio). Sementara getah yang menempel di kulitnya bisa digunakan untuk bahan baku

lem. Pohon itu tidak akan mati meskipun berkali-kali diambil kulitnya, melainkan akan semakin

besar sehingga semakin banyak kulitnya yang bisa diambil oleh para pemburu.

Pohon meranti:termasuk jenis Shorea, kayunya keras, digunakan untuk bahan bangunan, landasan

rel kereta api, tiang listrik, dan lain sebagainya.

Tanjung (Mimusops elengi):pohon yang bunganya berwarna putih kekuning-kuningan dan berbau

harum, biasa dipakai untuk hiasan sanggul.

Abutilon (Mallow, Indian Mallow, Flowering

Maple):genus besar yang terdiri dari sekitar ISO spesies tanaman berdaun lebar yang tergolong

dalam familia mallow (Malvaceae). Tanaman ini sangat populer di daerah subtropis. Daun-

daun abutilon ada yang tidak berkelompok, ada yang tanpa kelopak, ada juga yang menjari

dengan 3-7 kelopak. Bunga-bunganya sangat mencolok dengan lima petal, kebanyakan berwarna

merah, merah muda, jingga, kuning, atau putih.

Amarilis (Amaryllis; naked lady)',genus yang terdiri dari hanya satu spesies, yaitu Belladona Lily

(Amaryllis belladonna), yang berasal dari Afrika Selatan. Amarilis merupa-kan tanaman berumbi

yang memiliki beberapa helai daun dengan panjang 30-50 cm dan lebar 2-3 cm, yang tertata dalam

dua baris. Di musim gugur daun-daun amarilis akan tumbuh dan kemudian gugur di akhir musim

semi. Di akhir musim panas umbinya memproduksi satu atau dua batang setinggi 30-60 cm, di

ujungnya akan muncul 2 sampai 12 buah bunga berbentuk corong. Bunga ini berdiameter sekitar 6-

10 cm dan terdiri dari 6 tepal (3 sepal luar dan 3 petal dalam yang hampir mirip), dan berwarna

putih, merah mu-da, merah, atau ungu. Nama amarilis juga sering digunakan untuk menyebut

familia Amaryllidaceae yang terdiri dari beragam genus seperti Hippeas-trum, Narcissus, Galanthus, dan C/ivia.

Ardisia:kelompok besar beberapa jenis pohon dan semak hijau.Tanaman kecil akan tampak cantik

di dalam pot jika sedang tertutup oleh buah-buah berri kecilnya yang berwarna merah sampai

hitam. Daunnya kecil-kecil, berwarna hijauy gelap, dengan bunga putih-merah muda.

Aster (Aster corvifoiius):nama yang umum digunakan untuk sebuah genus yang memiliki lebih

dari 250 spesies tanaman berbunga majemuk yang ha rum, termasuk familia Compositae

(Composite Flowers) atau Asteraceae. Bunga aster berwama merah, putih, kuning, ungu, atau

merah muda. Aster memiliki floret tengah (disk floret) yang bundar dan berwama kuning sementara

floret pinggir (ray florets, terdiri dari banyak petal) yang mengelilinginya memiliki warna bervariasi

dari ungu sampai biru, serta dari merah muda sampai putih.

Azalea:nama spesies dari genus Rhododendron. Berasal dari kata Yunani \"azaleas\" yang berarti

\"kering\", meski sebenarnya ini tidak cocok dengan azalea zaman sekarang yang tidak tumbuh di

daerah kering seperti varietas aslinya. Tanaman ini merupakan sesemakan dengan kelompokkelompok besar bunga berwama merah muda, merah, jingga, ungu, kuning, atau putih.

Banar (Smiiax heiferi):pohon yang merambat seperti rotan, akarnya bisa digunakan sebagai

pengikat, juga sebagai obat.

Begonia:nama umum untuk familia tanaman berbunga yang terdiri lebih dari 1.000 spesies,

memiliki karakteristik berupa daun-daun yang asimetris serta bunga-bunga jantan dan betina yang

terpisah dalam tanaman yang sama. Bunga-bunga ini berwama kuning, oranye, merah muda, atau

putih. Batangnya kebanyakan berair, namun ada yang tegak, merambat, atau tumbuh di bawah

tanah. Begonia ada yang sengaja dibudidayakan karena keindahan daunnya (painted-ieaf begonia)

yang berbentuk hati (bisa mencapai panjang 30 cm) dan berpola mencolok dengan kombinasi warna

merah, hitam, perak, dan hijau dengan tepian yang berimpel.

Galathea: tanaman tropis yang unik, daunnya hijau gelap (pada Cafathea amabiiis [kadang juga

disebut Stromanthe amabiiis atau Ctenante] daunnya disertai pola garis-garis putih-hijau) dan

berimpel, berbentuk oval dan melancip di ujung, sementara bagian bawah daunnya berwama

maroon. Bentuk braktea (daun gagang; daun pelindung) bunganya bervariasi, dari bentuk kerucut

sarang lebah yang berkilau sampai bentuk ekor ular derik dan berwama biru, merah, putih, dan lain

sebagainya (pada Cafathea crocata bunganya berbentuk seperti nyala api dan berwama oranye atau

kuning). Di Afrika Selatan, orang menggunakan Calathea sebagai makanan, obat, anyaman

keranjang, dan atap. Menariknya, tanaman ini akan menutup daunnya di kala malam tiba.

Damar: getah keras yang berasal dari bermacam-macam pohon dan banyak macamnya.

Daun picisan (sisik naga): merupakan tumbuhan epifit, terna, tumbuh di batang dan dahan pohon,

memiliki akar rimpang panjang, kecil, merayap, bersisik, panjang 5-22 cm, dengan akar melekat

kuat. Daun yang satu dengan yang lainnya tumbuh dengan jarak yang pendek, tebal berdaging,

berbentuk jorong (bulat panjang), dengan ujung tumpul atau membundar, pangkal runcing, tepi rata,

permukaan daun tua gundul dan berambut jarang pada permukaan bawah, warnanya berkisar dari

hijau sampai kecokelatan. Ukuran daun yang berbentuk bulat sampai jorong hampir sama dengan

uang logam picisan sehingga tanaman ini dinamakan picisan. Tanaman ini memiliki berbagai

khasiat, salah satunya adalah bisa digunakan sebagai penghilang rasa nyeri dan obat batuk.

Delima (Punica granatum):tumbuhan perdu dengan cabang yang rendah dan berduri jarang.

Daunnya kecil-kecil agak kaku dan berwarna hijau berkilap. Buahnya dapat dimakan, berkulit

kekuning-kuningan sampai merah tua, kalau masak merekah. Juga disebut cempaka tanjung.

Dendrobium:merupakan jenis anggrek epifit (menumpang di pohon tapi tidak mengambil makanan darinya seperti anggrek parasit). Namanya diambil dari kataYunani, \"dendron\" yang berarti

pohon dan \"bios\" yang berarti hidup. Spesies dari anggrek ini memiliki bunga warna merah muda,

putih, kuning, atau kombinasi.

Gaharu: kayu yang harum baunya, biasanya dari pohon tengkaras (Aquiiaria malaccensis),

Jambu air ma war (Eugenia jambos):jambu air yang berbentuk bulat kecil, berwarna kuning pucat

atau kehijauan, berkulit licin dan agak keras.

Jurassic:periode geologi di saat dinosaurus berkembang pesat, burung-burung dan mamalia

pertama kali muncul, berlangsung sekitar 210-140 juta tahun yang lalu. Jurassic merupakan periode

pertengahan dari zaman Mesozoic.

Keladi (Coiocasia esculenta):tumbuhan jenis terna; berdaun lebar dan berumbi dan ada yang dapat

dimakan ada yang tidak.

Keranjang pempang:keranjang yang bercabang agar bisa diletakkan di bagian belakang sepeda.

Mammillaria:nama genus yang termasuk familia Cactaceae (cacti) atau kaktus. Nama Mammillaria

datang dari bahasa Latin \"mamma\" karena tonjolan-tonjolan (tubercuies) yang menutupi seluruh

tubuh tanaman tersebut, dan yang, pada beberapa spesies, mengandung cairan tubuh yang kental

sepeti susu (lateks). Tubuh kaktus ini bulat dan pendek, tumbuh soliter atau berkelompok. Duri-duri

kaktusnya tumbuh di puncak tonjolan tadi dan dibedakan menjadi duri sentral dan duri radial.

Bunganya berwarna merah, merah muda, putih,

kuning, atau bervariasi, biasanya mekar di sianghari.

Monstera (Monstera delicioca; Swiss cheese plant): tumbuhan berdaun besar berwarna hijau,

berkilap, dan bundar atau berbentuk hati ketika masih muda. Ciri khasnya adalah tepian yang robek

serta behubang, yang baru tampak ketika tanaman ini dewasa. Dengan perawatan yang tepat

tanaman ini bisa tumbuh sampai mencapai lebar 60 cm dan tinggi 2,4 m. Monstera menyukai posisi

yang terang tapi teduh. Di alam liar tanaman ini tumbuh di batang pohon dan se-pan-jang cabang

pohon, bergantung dengan akar aerialnya yang menyerupai ekor berwarna cokelat.

Nolina (Beaucarnea recurvata; pony tail plant; pony tail palm; elephants foot):sebuah genus dari

familia agave (Agavaceae). Nolina memiliki daun yang panjang, langsing, dan lancip, yang keluar

dan menjuntai dari puncak sebuah batang keras yang panjang dengan dasar yang menggelembung

mirip kaki gajah. Beberapa spesiesnya dibudidayakan sebagai tanaman hias. Jenis yang paling

sering ditemui adalah Nolina recurvata, yang biasa ditanam di dalam rumah.

Peperomia:genus dengan lebih dari 1.500 spesies di seluruh dunia dan sekitar 20 di antaranya

sudah populer sebagai tanaman pot. Semuanya memiliki varietas dengan dedaunan berwarna unik

yang tepiannya tidak rata. Batangnya berdaging, ada

yang tumbuh ke atas, ada yang menggantung atau merambat. Warnanya bervariasi antara hijau

muda, merah, kuning, dan kombinasi. Kebanyakan adalah tumbuhan epifit. Namanya diambil dari

kata Vunani \"pepri\" (lada) dan \"homoios\" (mirip), yang berarti \"tampak seperti lada\".

Stromanthe:genus dari familia yang sama dengan Calathea yang terdiri dari dua spesies tanaman

dalam ruang, yaitu S. amabilis dan 5. sanguinea. 5. amabilis memiliki daun-daun yang berukuran

panjang 15-25 cm dan lebar 5 cm, sementara S. sanguinea memiliki daun yang lebih besar

(mencapai panjang 30-50 cm dan lebar sekitar 10 cm) dan berkilat. Keduanya memiliki daun-daun

yang berbentuk seperti kipas.

Tabla:sepasang drum asli India, satu berbentuk silinder, satunya lagi berbentuk seperti mangkuk.

Trombon:alat musik tiup berbentuk trompet panjang dan cara memainkannya ditiup sambil

menyorong dan menarik alat pada pipa trompet tersebut.

Klarinet: alat musik tiup dengan lidah-lidah tunggal (single reeds) yang dapat bergetar, dibuat dari

kayu atau logam yang diberi lubang-lubang dan gamitan, menghasilkan suara kecil melengking.

Saksofon: alat musik tiup yang dibuat dari logam, berbentuk lengkung seperti pipa cangklong,

dileng-kapi dengan lubang dan tombol jari. Saksofon ada berbagai macamnya: saksofon tenor,

saksofon alto, dan saksofon bariton.

Snare drum(side drum): sejenis drum yang dilengkapi dengan bentangan kawat di bagian

bawahnya agar menghasilkan suara yang bergetar atau berderik.

Bugenvil(bunga kertas; Bougainvillea): nama umum genus tanaman bunga merambat yang

memiliki sulur berduri. Genus ini terdiri dari sekitar 13 spesies. Tanaman ini memiliki bunga yang

kecil, sederhana, dan terpisah, yang biasanya dikelilingi oleh braktea yang mencolok. Braktea ini

bisa berwarna merah, merah muda, ungu, kuning, oranye, atau putih. Namanya diambil dari Louis

Antoine de Bougainville, pria Prancis pemimpin ekspedisi saat tanaman ini ditemukan.

Burung sekretaris (secretary bird)', burung dari kelompok bangau, begitu anggun, tinggi, berkaki

panjang, dan berjalan melenggak lenggok, berasal dari Afrika.

Daffodil (Narcissus); dinamai dari tokoh pemuda dalam mitologi Yunani yang terpesona oleh

keindahannya sendiri sampai ajal menjemputnya dan ia pun berubah menjadi sekuntum bunga.

Genus Narcissus merupakan keluarga amarilis. Tanaman ini berumbi, memiliki bunga tunggal atau

ganda dengan enam petal, mahkota bunga yang memiliki enam petal yang bersatu, enam benang

sari, dan sebuah putik yang soliter. Sebuah mahkota berbentuk seperti piala disebut korona mencuat

dari permukaan dalam bunganya. Daffodil biasanya berwarna putih atau kuning, atau kombinasi

dari keduanya. Spesies yang paling umum ditemui adalah yeiiow daffodil (Narcissus

pseudonarcissus) yang memiliki ciri khas mahkota bunga berwarna kuning yang dalam dan

menyerupai trompet. Urnbi Narcissus mengandung alkaloid yang beracun jika dimakan karena bisa

menyebabkan gangguan pencernaan akut seperti muntah, diare, disertai dengan gemetar dan kejang.

Dracaena:genus besar tanaman tropis yang memiliki daun runcing seperti pedang atau oval dan

lancip di ujungnya, sering kali dengan corak warna yang bergradasi, yang berkelompok di ujung

batangnya. Tanaman ini jarang sekali memproduksi bunganya yang kecil dan berwarna putih

kehijauan. Spesiesnya yang paling umum ditemui adalah fragrant dracaena (Dracaena

fragrans; cornplant), dengan ciri khas berupa daun yang lemas dan melengkung, dengan setrip

warna daun yang lebih muda di tengahnya. Ada juga spesies golddust dracaena (Dracaena

surculosa)yang memiliki daun berbintik keemasan.

Katebelece: surat pendek untuk memberitakan hal seperlunya saja; surat pengantar dari pejabat

untuk urusan tertentu

Pittosporum:narna genus besar untuk semak hijau dengan daun kecil yang kasar. Bunganya berkelompok, berwarna putih, ungu, atau kuning kehijauan dan berbau harum. Biasa digunakan sebagai

Bambu tali (Gigantochha apus):bambu yang batangnya (setelah dibelah-belah) dapat dijadikan tali.

Callistemon laevis atau bunga jarum merah (Bottlebrush): adalah sebuah genus yang memiliki

34 spesies dari familia Myrtaceae. Disebut bottlebrush

karena bunganya yang silindris dan seperti sikat botol. Daun-daunnya berbentuk linier dan lancip.

Hipokondria:ketakutan yang berlebihan dan terus-menerus (bersifat jangka panjang) terhadap

gangguan kesehatan tubuh. Penderita hipokondria biasanya yakin bahwa ia memiliki penyakit serius

tanpa ada bukti yang objektif.

Vitex trifolia:tumbuhan dengan daun-daun yang bagian permukaan atasnya berwarna hijau keabuabuan dengan corak putih yang menawan, sementara permukaan bawahnya berwarna perak. Daundaun yang sangat dekoratif ini cocok untuk daerah tropis dan dapat tumbuh dengan mudah, selain

itu juga tanaman ini tak membutuhkan banyak air.

Camellia (Camellia japonic a; japonic a):tumbuhan sesemakan dari keluarga teh dengan bunga

yang bentuknya menyerupai mawar. Daunnya berwarna hijau dan berkilat. Berasal dari bahasa

Latin modern untuk nama Joseph Kamel (1661-1706), seorang misionaris dan ahli botani yang

pertama kali men-deskripsikan tanaman ini.

Hipotermia:keadaan suhu tubuh yang turun sampai di bawah 35° C, biasanya karena terpaan dingin

Buntat:semacam batu hitam yang terdapat di perut kelabang, dipercaya ampuh sebagai jimat

Incubus:berasal dari cerita rakyat Eropa, yaitu seorang setan laki-laki yang dipercaya suka mencari

wanita untuk disetubuhi saat mereka tidur.

Ma can akar:sebutan untuk macan kecil yang selalu berada di dekat akar pohon.

Paleolitikum:zaman batu tua; purba yang berlangsung dari 750.000 sampai 15.000 tahun yang lalu,

ditandai dengan pemakaian alat-alat serpih.

Syah bandar:pejabat pemerintah yang bertugas mengatur pelabuhan.

Metafisika: ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan hal-hal yang nonfisik atau tidak kelihatan.

Parapsikologi:cabang ilmu jiwa tentang hal-hal yang gaib atau di luar jangkauan pancaindra.

Trade-off: sebuah situasi saat seseorang harus berkompromi dengan menyerahkan seluruh atau

sebagian dari suatu hal untuk menukarnya dengan hal lainnya.

Cassiopeia:konstelasi bintang berbentuk seperti huruf \"W\" di belahan bumi utara, berada di dekat

Agnostik:orang yang berpandangan bahwa kebenaran tertinggi (Tuhan) tidak dapat diketahui dan

mungkin tidak akan dapat diketahui. Orang seperti ini percaya bahwa Tuhan ada tapi tak mau

memeluk agama apa pun. Agnotisisme tumbuh subur di Belanda.

Pungguk (Ninox sentulata malaccensis):burung elang malam (burung hantu) yang suka

Anakronistis(a):tidak cocok dengan zaman tertentu.Anakronisme(n): hal ketidakcocokan

dengan zaman tertentu; bisa juga berarti penempatan tokoh, peristiwa, percakapan, dan

unsur latar yang tidak sesuai menurut waktu dalam karya sastra.

Open pit mining:pertambangan sumur terbuka, istilah untuk bagian dari lubang sumur yang

digunakan untuk menahan guguran yang bisa menutupi sumur jika ada ledakkan dari dalam.

Gotik:dalam fesyen berarti gaya busana dan has wajah yang serbagelap, biasanya dengan lipstik

dan has mata hitam dengan wajah yang dipucatkan, dilengkapi dengan perhiasan perak yang berat.

Gaya ini populer di tahun 80an.

Pisau antip:sebutan untuk semacam alat pemotong dengan sistem per seperti pemotong kuku.

Tentang Tetralogi Laskar PelangiAndrea Hirata: Out of the Blue

Di negeri ini, tidak mudah menulis novel-novel yang kesemuanya best seller, apalagi merupakan

karya-karya pertama, ditulis seseorang yang tak berasal dari lingkungan sastra, dan lebih gawat lagi,

novel-novel itu sama sekali tak sejalan dengan trend pasar. Tapi hal itu dapat dilakukan Andrea

Hirata. Melalui Laskar Pelangi, Andrea Hirata langsung menempatkan dirinya sebagai salah satu

penulis muda Indonesia yang amat menjanjikan. Laskar Pelangi telah beredar di luar negeri, bahkan

mampu mencapai best seller di Malaysia.

Andrea Hirata, out of the blue, tak dikenal sebelumnya, tak pernah menulis sepotong pun cerpen,

tiba-tiba muncul, langsung menulis tetralogi sesuatu yang juga cukup ajaib bagi penulis pemula

dengan gaya realis bertabur metafora yang disebut Prof. Sapardi Djoko Damono, guru besar sastra

Universitas Indonesia, sebagai metafora yang berani, tak biasa, tak terduga, kadang kala ngawur,

Bagaimana karya-karya Andrea dapat menjadi best seller tanpa harus mengorbankan mutu?

Tentu tak terlepas dari muatan intelektualitas dan spiritualitas buku-buku itu. Sastrawan Ahmad

Tohari mengatakan, \"Andrea adalah jaminan bagi sebuah karya sastra bergaya saintifik dengan

penyampaian yang cerdas dan menyentuh.\" Prof. Dr. Syafii Maarif, mantan ketua umum Muhammadiyah berkomentar,, \"Andrea langsung membidik pusat kesadaran.\"

Meski masih terlalu hipotetik, karya Andrea diterima secara luas mungkin juga karena pembaca

kita jenuh akan sajian metropop bertema urban superringan, pornografi, hedonistik, dan mulai

mendamba tulisan yang lebih berkapasitas. \"Andrea mengobati kehausan para pencinta buku akan

buku-buku Indonesia bermutu\" (Kompas, 11 November 2006).

Daya tarik yang menonjol dari karya-karya Andrea juga terletak pada kemungkinan yang amat

luas dari eksplorasinya terhadap karakter dan peristiwa, sehingga paragrafnya selalu

mengandung kekayaan. Setiap paragraf seakan dapat berkembang menjadi sebuah cerpen, dan setiap bab

mengandung letupan intelejensia, kisah, dan romantika

untuk dapat tumbuh menjadi buku tersendiri. Andrea tak pernah kekeringan ide dan tak

pernah kehilangan tempat untuk melihat suatu fenomena dari satu sudut yang tak pernah dilihat

orang lain. Setiap kalimatnya potensial. Ironi diolahnya menjadi jenaka, cinta pertama yang

absurd menjadi demikian memesona, tragedi diparodikan, ia menyastrakan fisika, kimia, biologi, dan astronomi. \"Andrea adalah seorang seniman

kata-kata,\" ujar Nicola Horner. Majalah Tempo menye-butnya, \"Andrea berhasil menyajikan

kenangannya menjadi cerita yang menarik, deskripsinya kuat, filmis.\" Santi Indra Astuti, Msi.,

seorang dosen komunikasi, di Koran Tempo berpendapat, \"Laskar Petangi ageless, timeless,

borderless.\" Garin Nugroho, \"Inspiratif.\" Dan, Riri Riza, \"A must read.\"

Novel pertama Andrea Hirata, Laskar Pelangi, telah berkembang bukan hanya sebagai bacaan

sastra, namun sebagai referensi ilmiah. Novel ini banyak dirujuk untuk penulisan skripsi, tesis, dan

telah diseminarkan oleh birokrat untuk menyusun rekomendasi kebijakan pendidikan.

Adapun dalam novel keduanya, Sang Pemimpi,

Andrea menarikan imajinasi dan melantunkan stambul mimpi

mimpi dua anak Melayu kampung: Ikal dan Arai.

Novel Edensor adalah novel ketiga dari te-tralogi Laskar Pelangi. Novel ini bercerita tentang

keberanian bermimpi, kekuatan cinta, pencarian diri sendiri, dan penaklukan-penaklukan yang

Novel keempat, atau terakhir dalam rangkaian empat karya tetralogi Laskar Pelangi, adalah

Marya-mah Karpov. Dalam Maryamah Karpov, dengan satirenya yang khas, ironi yang

menggelitik, dan intelegensia yang meluap-luap namun membumi, Andrea berkisah tentang

perempuan dari satu sudut yang amat jarang diekspos penulis Indonesia dewasa ini.

Membaca keempat novel tetralogi Laskar Pe-angi, kita tak hanya menikmati epik yang bermutu.

Kita juga akan menyaksikan bagaimana seorang penulis berbakat berevolusi dari satu karya ke

karya lainnya untuk menuju master piecenya.